You are on page 1of 7

Judul : Penggunaan Metode Cross-link Dalam Pembuatan Scaffold

Kitosan-kolagen Ceker Ayam Terhadap Compressive Strength

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Salah satu limbah yang dihasilkan dari rumah potong ayam (RPA) adalah
ceker ayam (shank) dengan volume limbah cukup banyak. Data statistik pertanian
tahun 2003 yang dilaporkan oleh Suryana (2004) menunjukkan bahwa produksi
daging ayam sebanyak 973.000 ton (973.000.000 kg). Bila berat ayam yang
dipotong berkisar 1,5 kg maka jumlah ayam yang dipotong selama tahun 2003
adalah 648.666.667 (973.000.000:1,5) ekor dan jumlah potongan ceker ayam yang
dihasilkan 1.297.333.333 potong. Selama ini, potensinya belum tergali secara
optimal.
Kaki (ceker) ayam merupakan hasil ikutan pemotongan ayam yang
pemanfaatannya terbatas karena kandungan dagingnya sedikit dan tinggi
kandungan kulit serta tulangnya. Kulit dan tulang ceker ayam tersusun dari
jaringan ikat padat yang kaya akan kolagen (Hasdar et al., 2011 p.189).
Scaffold digunakan sebagai material biokompatibel untuk mendukung
proliferasi sel dan sebagai penahan mekanik. Bahan keramik telah digunakan

sebagai bahan utama scaffold yang digunakan untuk regenerasi tulang namun
biodegradabilitasnya yang rendah, kekerasannya dan modulusnya yang tinggi
membuat para peneliti mempelajari alternatif lain seperti penggunaan polimer.
Polimer alam, seperti kitosan, alginate dan kolagen muncul sebagai solusi yang
baik dan penggunaannya cenderung semakin meningkat. (Serafim et al.,2010
p.371)
Sebuah scaffold yang ideal digunakan untuk teknik rekayasa jaringan
harus memiliki karakteristik berupa biokompabilitas yang sangat baik,
mikrostruktur yang pori-porinya berukuran berkisar antara 100-200 mm, ukuran
dan porositasnya diatas 90%, diodegradabilitas yang terkontrol, dan kekuatan
mekanis yang sesuai. Maka, digunakanlah kolagen yang dikenal sebagai bahan
yang paling menjanjikan dan telah ditemukan beragam aplikasinya

dalam

rekayasa jaringan karena biokompabilitas dan biodegradabilitasnya yang sangat


baik (Lie Ma et al.,2003 p.4833)
Dengan demikian, maka penggunaan scaffold berbasis kolagen yang
diekstraksi dari ceker ayam dapat menjadi solusi karena adanya ketersediaan
bahan baku ceker ayam yang melimpah. Potensi ceker ayam sebagai bahan baku
scaffold adalah karena adanya kandungan kolagen didalam cakar ayam yaitu 5,64
31,39% dari total protein (Liu et al., 2001 p.1638) atau 28,73 - 36,83% dari total
protein (Prayitno, 2007 p.99).
Kitosan adalah massa produk deasetilasi dengan kadar molar tinggi yang
diproduksi dari kitin, massa polisakarida alam kedua yang paling melimpah.
Kitosan memiliki karakteristik struktural yang sama dengan glycosaminoglycans

dan menunjukkan banyak sifat biologis yang menarik. Selain itu, oligomer dari
kitosan didegradasi oleh enzim jaringan yang menjadi keunggulan pada regenerasi
jaringan area jaringan kulit dengan luka. Selain itu, berbeda dengan kolagen yang
memiliki sifat degradasi cepat, kitosan ditemukan bahwa memiliki sifat degradasi
yang lebih perlahan-lahan pada in vitro (Ligia L.,2011 p.1)
Pada matriks ekstraseluler alami, proteoglycans dan glycosaminoglycans
mempunyai peran yang penting dalam terjalinnya matriks seluler dengan struktur
fibrous kolagen untuk mendapatkan stabilitas mekanis dan compressive strength
(Tan et al, 2003 p.201). Ditambah lagi, grup amino dari chitosan berfungsi sebagai
binding sites dengan collagen untuk memperbaiki kestabilannya, tanpa mengubah
karakteristik kimia dari kedua polimer secara signifikan (Zhu et al, 2009 p.799).
oleh karena hal itu, maka pencampuran antara kolagen dengan kitosan pada
scaffold memiliki karakteristik yang lebih baik. Selain itu, pada penelitian
sebelumnya, telah disebutkan bahwa pada perbandingan kitosan kolagen 1:1
(w/w) dan 4:1 (w/w) didapatkan hasil scaffold yang memiliki sifat morfologi,
fisik, mekanis, dan

biodegradasi yang baik (Chen et al. 2008, p. 416;

Tangsadthakun et al. 2006, p. 38).


Ada banyak laporan mengenai aplikasi scaffold kolagen-kitosan pada
teknik rekayasa jaringan. Berbagai scaffold jenis ini telah sukses dibuat untuk
fibroblast, osteoblast, sel-sel periodontal ligamen, hepatosit, sel endothelial paru,
dan pada pembuatan nerve guide tubes (Ligia L, 2011 p.1)
Konsep teknik jaringan mewujudkan terciptanya struktur scaffold yang
memiliki fisik yang sesuai, kimia, dan sifat mekanik untuk memungkinkan

penetrasi sel dan pembentukan jaringan dalam tiga dimensi. Scaffold yang tepat
untuk teknik jaringan akan menjadi salah satu yang dibuat dengan konsep biologi.
Tujuannya adalah tumbuhnya jaringan baru pada scaffold untuk diingintegrasikan
dengan jaringan host. Scaffold harus menyediakan jalur sementara untuk
regenerasi dan akan berkurang selama atau setelah penyembuhan, sehingga
menghindarkan kebutuhan untuk mengeluarkan bahan sesudah dilakukannya
tindakan dan menghilangkan kemungkinan efek samping yang berhubungan
dengan meninggalkan suatu material di dalam tubuh. Tentu saja, harus ada
perhatian khusus untuk memastikan bahwa produk degradasinya bersifat nonsitotoksik (Chakkalakal, 2001 p.161)
Scaffold harus memiliki compressive strength yang baik, karena salah satu
sifat ideal scaffold ialah harus mempunyai kekuatan mekanis yang konsisten
dengan struktur anatomi yang akan diimplatasi, dan dari perspektif praktisnya,
scaffold harus cukup kuat untuk memungkinkan tindakan bedah selama tindakan
implantasi. Memproduksi scaffold yang memadai secara sifat mekanisnya
merupakan suatu tantangan besar dalam rekayasa jaringan tulang atau kartilago.
Karena hal ini, maka implan scaffold harus memiliki integritas mekanik yang
cukup untuk berfungsi mulai dari waktu implan sampai dengan sempurnanya
proses remodelling (Serafim, 2010 p.371)
Kekuatan mekanik rendah dari scaffold berbasis kolagen adalah masalah
penting yang membatasi penggunaan lebih lanjut dari bahan ini (OBrien, 2005
p.435). Telah diteliti bahwa kekuatan mekanis compressive dan tensile dari
kolagen dan scaffold kolagen-gycosaminoglykan (CG) dapat diperbaiki dengan
metode cross-linking secara fisika dan kimia (OBrien,2011 p.91).

Penggunaan metode cross-linking dari scaffold berbasis kolagen


merupakan metode yang efektif untuk memodifikasi tingkat biodegradasi dan
mengoptimalkan sifat mekaniknya. Dengan alasan ini, treatment cross-linking
pada kolagen telah menjadi salah satu hal yang paling penting pada scaffold
berbasis kolagen (OBrien,2015 p.435). Pada penelitian sebelumnya, tidak
ditemukan perbedaan berarti pada scaffold kitosan kolagen cakar ayam
perbandingan 1:1 (w/w) dengan perbandingan 4:1 (w/w). Hipotesis yang dapat
diambil adalah karena tidak digunakan metode cross-linking dalam pembuatan
scaffold kitosan kolagen cakar ayam tersebut. Berdasarkan latar belakang hal itu,
maka scaffold kitosan kolagen cakar ayam yang telah mengalami proses crosslinking diharapkan memiliki compressive strength yang lebih baik daripada
scaffold kitosan kolagen cakar ayam yang tidak melalui proses cross-linking.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah ada perbedaan nilai compressive strength antara scaffold kitosan kolagen
cakar ayam perbandingan 1:1 (w/w) dengan perbandingan 4:1 (w/w) dengan metode
cross-link dan tanpa cross-link

1.3 Tujuan Penelitian


Mengetahui adanya perbedaan compressive strength antara scaffold kitosan
kolagen cakar ayam perbandingan 1:1 (w/w) dengan perbandingan 4:1 (w/w) dengan
cross-link dan tanpa cross-link

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini bermanfaat untuk membuat scaffold berbahan alternatif ceker ayam
kitosan dengan kekuatan compressive strength yang baik sehingga dapat berguna menjadi
salah satu bahan biomaterial di bidang rekayasa jaringan.

DAFTAR PUSTAKA
Chalonglarp Tangsadthakun, Sorada Kanokpanont, Neeracha Sanchavanakit,
Tanom

Banaprasert,

Siriporn

Damrongsakkul,

2006.

Properties

of

Collagen/Chitosan Scaffolds for Skin Tissue Engineering. Journal of Metals,


Materials and Minerals. Vol. 16 No.1 p.37-44.
D.A. Chakkalakal, B.S. Strates, K.L. Garvin, J.R. Novak, E.D. Fritz, T.J. Mollner,
and M.H. McGuire, Tissue Eng. 7 (2) (2001) p. 161.
Lie Ma, Changyou Gao, Zhengwei Mao, Jie Zhou, Jiacong Shen, Xueqing Hu,
Chunmao Han, 2003. Collagen/chitosan porous scaffolds with improved
biostability for skin tissue engineering. Biomaterials 24 : 48334841
Ligia L. Fernandes, Cristiane X. Resende, Dbora S. Tavares, Gloria A. Soares,
2011. Cytocompatibility of Chitosan and Collagen-Chitosan Scaffolds for Tissue
Engineering. Polmeros, vol. 21, no 1, p. 1-6, 2011
O'Brien, F.J., Harley, B.A., Yannas, I.V., Gibson, L.J., 2005. The effect of pore
size on cell adhesion in collagen-GAG scaffolds. Biomaterials, 26, 433-441.
OBrien. F.J, 2011. Biomaterials & Scaffold For Tissue Engineering. Biomaterials,
14(3), p.91

Prayitno. 2007. Ekstraksi kolagen cakar ayam dengan berbagai jenis larutan asam
dan lama perendaman. Animal Production. 9(2) : 99104.
Serafim M. Oliveira, Rushali A. Ringshia, Racquel Z. Legeros, Elizabeth Clark,
Michael J. Yost,Louis Terracio, Cristina C. Teixeira. 2010. An improved collagen
scaffold for skeletal regeneration. Wiley Periodicals Inc. p.371
Suryana, A. 2004. Ketahanan Pangan Cukup Baik Meski Belum Sempurna. Sinar
Tani Edisi 31 Desember 2003 6 Januari 2004. No. 3028 Th XXXIV.
Tan, W.; Krishnaraj, R. & Desai, T. A. - Tissue Eng., 7, p.203 (2001).

You might also like