Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanatologi
2.1.1 Definisi
Tanatologi berasal dari kata thanos (yang berhubungan dengan kematian)
dan logos (ilmu). Tanatologi adalah bagian dari Ilmu Kedokteran Forensik yang
mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor
yang mempengaruhi perubahan tersebut.8
2.1.2 Manfaat
Ada tiga manfaat tanatologi ini, antara lain untuk dapat penetapkan hidup
atau matinya korban, memperkirakan lama kematian korban, dan menentukan
wajar atau tidak wajarnya kematian korban. Menetapkan apakah korban masih
hidup atau telah mati dapat kita ketahui dari masih adanya tanda kehidupan dan
tanda-tanda kematian. Tanda kehidupan dapat kita nilai dari masih aktifnya siklus
oksigen yang berlangsung dalam tubuh korban. Sebaliknya, tidak aktifnya siklus
oksigen menjadi tanda kematian.9
2.1.3 Jenis Kematian
1. Mati Somatis (mati klinis) terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga sistem
penunjang kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskuler dan
sistem pernapasan, yang menetap (irreversible). Secara klinis tidak
ditemukan refleks-refleks, EEG mendatar, nadi tidak teraba, denyut
jantung tidak terdengar, tidak gerakan pernapasan dan suara nafas tidak
terdengar pada auskultasi.8
2. Mati Suri (suspended animation, apparent death) adalah terhentinya
ketiga sistim kehidupan di atas yang ditentukan dengan alat kedokteran
sederhana. Dengan peralatan kedokteran canggih masih dapat dibuktikan
bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi. Mati suri sering ditemukan
pada kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam.8
3. Mati seluler (mati molekuler) adalah kematian organ atau jaringan tubuh
yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup
masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya
semua
respon
terhadap
sekitarnya
(respon
terhadap
Pada orang yang sudah mati pandangan matanya terlihat kosong, reflek
cahaya dan reflek kornea menjadi negative. Vena-vena pada retina akan
mengalami kerusakan dalam waktu 10 detik sesudah mati. Jika sesudah
kematiannya keadaan mata tetap terbuka maka lapisan kornea yang paling luar
akan mengalami kekeringan. Dalam waktu 10 sampai 12 jam sesudah mati
kelopak mata, baik terbuka atau tertutup, akan berubah menjadi putih dan keruh.
Perubahan lain yang terjadi ialah penurunan tekanan bola mata dan naikknya
kadar potassium pada cairan mata.7
4. Penurunan suhu tubuh
Sesudah mati, metabolisme yang menghasilkan panas akan terhenti sehingga
suhu tubuh akan turun menuju suhu udara atau medium sekitarnya. Penurunan ini
disebabkan oleh adanya proses radiasi, konduksi, dan pancaran panas.7
Pada jam-jam pertama penurunannya sangat lambat karena masih adanya
produksi panas dari proses glikogenolisis, tetapi sesudah itu penurunan menjadi
lebih cepat dan pada akhirnya menjadi lebih lambat kembali. Kalau proses
penurunan tersebut digambarkan dalam bentuk grafik maka gambarannya akan
seperti sigmoid atau huruf S terbalik. Jika rata-rata maka penurunan suhu tersebut
antara 0,9 sampai 1 derajat Celsius atau sekitar 1,5 Farenheit setiap jam, dengan
catatan penurunan suhu dimulai dari 37 derajat celcius atau 98,4 derajat Farenheit.
Pengukuran dilakukan per rectal dengan menggunakan thermometer kiimia yang
panjang (long chemical thermomether).4,6,7
Penurunan suhu tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain:6
a. Suhu tubuh pada saat mati
Suhu tubuh yang tinggi pada saat mati, seperti misalnya pada penderita infeksi
atau perdarahan otak, akan mengakibatkan tingkat penurunan suhu menjadi
lebih cepat. Sedangkan penderita dengan hipotermia tingkat penurunannya
akan menjadi sebaliknya.
b. Suhu medium
Semakin rendah suhu medium tempat tubuh mayat berada akan semakin cepat
tingkat penurunannya. Dengan kata lain semakin besar perbedaan suhu
medium dengan suhu tubuh mayat, semakin besar tingkat penurunannya.
c. Keadaan udara disekitarnya
Pada udara yang lembab, tingkat penurunannya suhu menjadi lebih besar. Hal
ini disebabkan karena udara yang lembab merupakan konduktor yang baik.
Pada udara yang terus berhembus (angin), tingkat penurunannya juga semakin
cepat.
d. Jenis medium
Pada medium air, tingkat penurunan suhu menjadi lebih cepat sebab air
merupakan konduktor yang baik.
e. Keadaan tubuh mayat
Pada mayat bayi, tingkat penurunan suhu lebih cepat dibanding mayat orang
dewasa. Hal ini disebabkan karena pada bayi, luas permukaan tubuhnya relatip
lebih besar. Pada mayat yang tubuhnya kurus, tingkat penurunannnya juga
lebih cepat dibandingkan mayat yang tubuhnya gemuk.
f. Pakaian mayat
Semakin tipis pakaian yang dipakai, semakin cepat tingkat penurunannya.
Perlu diketahui bahwa estimasi saat kematian dengan memanfaatkan
penurunan suhu mayat hanya bisa dilakukan pada kematian kurang dari 12
jam.
Berbagai rumus kecepatan penurunan suhu tubuh pasca mati ditemukan
sebagai hasil dari penelitian di negara barat, namun ternyata sukar dipakai dalam
praktek karena faktor-faktor yang berpengaruh berbeda pada setiap kasus, lokasi,
cuaca dan iklim.6
Meskipun demikian dapat dikemukakan di sini formula Marshal dan Hoare
(1962) yang dibuat dari hasil penelitian terhadpa mayat telenjang dengan suhu
lingkungan 15,5 derajat Celcius, yaitu penurunan suhu dengan kecepatan 0,55
derajat Celsius tiap jam pada 3 jam pertama paska mati, 1,1 derajat Celsius tiap
jam pada 6 jam berikutnya, dan kira-kira 0,8 derajat Celsius tiap jam pada periode
selanjutnya. Kecepatan penurunan suhu ini menurun hingga 60% bila mayat
berpakaian. Penggunaan formula ini harus dilakukan dengan hati-hati mengingat
suhu lingkungan di Indonesia biasanya lebih tinggi. Penelitian akhir-akhir ini
cenderung untuk memperkirakan saat mati melalui pengukuran suhu tubuh pada
lingkungan yang menetap di tempat kejadian perkara (TKP). Caranya adalah
dengan melakukan 4-5 kali penentuan suhu rektal dengan interval waktu yang
sama (minimal 15 menit). Suhu lingkungan diukur dan di anggap konstan karena
faktor-faktor lingkungan dibuat menetap, sedangkan suhu saat mati dianggap 37
derajat Celsius bila tidak ada penyakit demam. Penelitian membuktikan bahwa
perubahan suhu lingkungan kurang dari 2 derajat Celsius tidak mengakibatkan
hebat pada daerah tersebut. Pada posisi menggantung lebam mayat ditemukan
pada ujung-ujung dari anggota badan dan alat kelamin laki-laki.6,7
Lebam mayat juga dapat ditemukan pada organ-organ dalam, sehingga perlu
dibedakan pada proses patologik. Lebam mayat pada paru-paru misalnya, perlu
dibedakan dengan proses perdarahan atau pneumonia.6
Setelah 4 jam, kapiler-kapiler akan mengalami kerusakan dan butir-butir
darah merah juga akan rusak. Pigmen-pigmen dari pecahan darah merah akan
keluar dari kapiler yang rusak dan mewarnai jaringan di sekitarnya sehingga
menyebabkan warna lebam mayam pada daerah tersebut akan menetap serta tidak
hilang jika ditekan dengan ujung jari atau jika posisi mayat dibalik. Jika
pembalikan posisi dilakukan sesudah 12 jam dari kematiannya maka lebam mayat
baru tidak akan timbul pada posisi terendah karena darah sudah mengalami
koagulasi.6
Warna lebam mayat biasanya merah kebiruan. Pada keracunan karbon
monoksida (CO) lebam mayat berwarna merah cerah (cherry red), pada keracunan
potassium chlorate berwatna coklat dan pada kematian karena asfiksia berwarna
lebih gelap.6
6. Kaku mayat
Kaku mayat yang sering disebut rigor mortis atau post mortum rigidity terjadi
akibat proses biokimiawi, yaitu pemecahan ATP menjadi ADP. Selama masih ada
P berenersi tinggi dari pemecahan glikogen otot maka ADP masih dapat
diresintese menjadi ATP kembali. Jika persediaan glikogen otot habis maka
resintese tidak terjadi sehingga terjadi penumpukan ADP yang akan menyebabkan
otot menjadi kaku.6
Berdasarkan teori tersebut maka kaku mayat akan terjadi lebih awal pada otototot kecil, karena pada otot-otot yang kecil persendian glikogen sedikit. Otot-otot
yang kecil itu antara lain otot-otot yang terdapat pada muka; misalnya otot
palpebra, otot rahang dan sebagainya. Sesudah itu kaku mayat terjadi pada leher,
anggota atas, dada, perut dan terakhir anggota bawah.6
Lebih kurang 6 jam sesudah mati, kaku mayat akan mulai terlihat dan lebih
kurang 6 jam kemudian seluruh tubuh akan menjadi kaku. Kekakuan tersebut
akan berlangsung selama 36 sampai 48 jam. Sesudah itu, tubuh mayat akan
mengalami relaksasi kembali sebagai akibat dari proses degenerasi dan
terasa dingin dan bila digerakkan terasa adanya krepitasi. Freezing yang
terjadi di dalam tengkorak dapat menyebabkan sutura pada tulang
tengkorak lepas karena adanya desakan es dari dalam. Jika mayat
diletakkan pada suhu tinggi akan terjadi pelemasan otot.
7. Pembusukan atau Modifikasinya
Pembusukan yang terjadi pada tubuh mayat disebabkan oleh proses otolisa
dan aktifitas mikroorganisme.6
Proses otolisa terjadi sebagai akibat dari pengaruh enzim yang dilepaskan
oleh sel-sel yang sudah mati. Mula-mula yang terkena ialah nukleoprotein yang
terdapat pada kromatin dan sesudah itu sitoplasmanya. Seterusnya dinding sel
akan mengalami kehancuran dan akibatnya jaringan akan menjadi lunak atau
mencair.6
Proses otolisa ini tidak dipengaruhi oleh mikroorganisme dan oleh sebab
itu pada mayat yang bebas hama, misalnya mayat bayi dalam kandungan, proses
otolisa tetap berlangsung.6
Pada mayat yang dibekukan pelepasan enzim akan terhambat dan dengan
sendirinya akan memperlambat otolisa, sedang pada suhu yang panas proses
otolisa juga akan mengalami hambatan disebabkan rusaknya enzim oleh panas
tersebut.6,7
Mengenai mikroorganisme penyebab pembusukan, yang paling utama
adalah oleh kuman Clostridium Welchii yang biasanya ada pada usus besar.
Karena pada orang yang sudah mati semua sistem pertahanan tubuh hilang maka
kuman-kuman pembusuk tersebut dapat leluasa memasuki pembuluh darah dan
menggunakan darah sebagai media untuk berkembang biak. Kuman itu akan
menyebabkan hemolisa, pencairan bekuan-bekuan darah yang terjadi sebelum
10
11
12
Penggolongan
Berdasarkan sumber dapat dibagi menjadi racun yang berasal dari tumbuhtumbuhan,
opium
(dari
Papaver
somniverum),
kokain,
kurare,
aflatoxin(Aspergilus nigar),
2.2.2 Definisi Sianida
Sianida adalah bahan kimia yang mengandung gugus cyan (CN) yang
terdiri dari sebuah karbon atom yang terikat ganda tiga dengan sebuah atom
nitrogen. Sianida secara spesifik adalah anion CN -. Sianida dapat berbentuk gas,
cair, atau padat dan berbentuk molekul, ion, atau polimer. Singkatnya semua
bahan yang dapat melepaskan ion sianida (CN-) sangat toksik.10
2.2.3 Bentuk Sianida
Beberapa bentuk-bentuk sianida yaitu :11
a. Hidrogen Sianida (HCN) adalah cairan atau gas yang tidak berwarna atau
biru pucat dengan bau seperti almond. Nama lainnya adalah asam hidrosianik
dan asam prussik. HCN dipakai sebagai stabilizer untuk mencegah
pembusukan.
b. Sodium Sianida adalah bubuk kristal putih dengan bau seperti almond. Nama
lainnya adalah asam hidrosianik,sodium. Bentuk cair dari bahan ini sangat
alkalis dan cepat berubah menjadi hidrogen sianida jika kontak dengan asam
atau garam dari asam.
c. Potasium Sianida (KCN) adalah bahan padat berwarna putih dengan bau
sianida yang khas. Nama lainnya adalah asam hidrosianik, garam potasium.
Bentuk cair dari bahan ini sangat alkalis dan cepat berubah menjadi hidrogen
sianida jika kontak dengan asam atau garam dari asam.
d. Kalsium Sianida (Ca(CN)2) dikenal juga dengan nama calsid atau calsyan
adalah bahan padat kristal berwarna putih. Dalam bentuk cairnya secara
13
14
Tertelan dari hidrogen sianida sangat fatal. Karena sianida sangat mudah
masuk ke dalam saluran pencernaan. Tidak perlu melakukan atau merangsang
korban untuk muntah, karena sianida sangat cepat berdifusi dengan jaringan
dalam saluran pencernaan.3
2.2.5 Proses Biokimia
Walaupun sianida dapat mengikat dan menginaktifkan beberapa enzim,
tetapi yang mengakibatkan timbulnya kematian atau timbulnya histotoxic anoxia
adalah karena sianida mengikat bagian aktif dari enzim sitokrom oksidase
sehingga akan mengakibatkan terhentinya metabolisme sel secara aerobik.
Sebagai akibatnya hanya dalam waktu beberapa menit akan mengganggu
transmisi neuronal. Sianida dapat di buang melalui beberapa proses tertentu
sebelum sianida berhasil masuk kedalam sel. Proses yang paling berperan disini
adalah pembentukan dari cyanomethemoglobin (CNMetHb), sebagai hasil dari
reaksi antara ion sianida (CN) dan MetHb.1,12
Ikatan dengan endothelial-derived relaxing factor (EDRF) dalam hal ini adalah
asam nitirit.
Bahan-bahan metal seperti emas, molibdenum atau komponen organik seperti
15
16
Pada kasus keracunan sianida peroral, efek racun menjadi lebih kronis dan
ringan karena pada jalur ini, sianida terlebih dahulu melewati detoksifikasi hati.
Akan tetapi paparan sianida yang terus menerus dapat mengakibatkan
berkurangnya dopamine yang diasosiasikan dengan timbulnya parkinson yang
progresif. Intoksikasi sub letal dari sianida juga dapat menimbulkan distonia.
Detoksifikasi sianida oleh hati melibatkan enzim mitokondria rhodanese yang
mengkatalisasi transfer gugus sulfur dari thiosulfate menjadi thiosianat yang
merupakan rate limiting step. Sebanyak 80% metabolisme sianida melaui jalur ini.
Jalur lain, sianida didetoksifikasi melalui penggabungan gugus sian (CN) dengan
hidroksikobalamin menjadi cyanocobalamin (vitamin B12). Thiosianat nantinya
akan dibuang melalui urine sementara cyanocobalamin akan dipakai sebagai
kofaktor berbagai reaksi lain di tubuh. Walaupun sebagian besar HCN telah
dibuang dalam bentuk tiosianat ke urine, bentuk bebasnya masi terdapat di paru,
air liur dan keringat.11
2.2.7 Toksisitas
Tingkat toksisitas dari sianida bermacam-macam tergantung dari bentuk dan
cara masuknya ke dalam tubuh. Takaran toksik peroral untuk HCN adalah 60-90
mg sementara untuk KCN atau NaCN adalah 200 mg. Pada inhalasi sianida dari
udara, gas sianida dalam menimbulkan efek tergantung dari konsentrasi dan
lamanya paparan. Pada kadar 20 ppm gejala keracunan sianida sangat ringan dan
muncul setelah beberapa jam. Kadar sianida 100 ppm sangat berbahaya karena
akan menimbulkan gejala dalam 1 jam. Bahkan kadar sianida antara 200 hingga
400 ppm dikatakan mampu membuat seseorang meninggal dalam waktu 30
menit.4
Dosis letal dari beberapa bentuk sianida adalah sebagai berikut:14
-
paparan dosis lethal tidak menimbulkan kematian. Kondisi ini dikenal dengan
nama imunitas rasputin. Daya toleransi yang tinggi pada orang ini disebabkan
oleh karena daya detoksifikasinya yang berlebihan. Hal ini di dapat dicapai
17
dengan mengubah CN menjadi sianat dan sulfosianat atau tidak terurainya garam
CN yang tertelan menjadi HCN karena pH lambung yang basa. Teori lain yang
dikemukakan adalah berubahnya bentuk sianida menjadi garam karbonat dalam
penyimpanan sehingga menjadi tidak toksik.4
2.2.8 Manifestasi Klinis Keracunan Sianida
Efek utama dari racun sianida adalah timbulnya hipoksia jaringan yang
timbul secara progresif. Akan tetapi, gejala dan tanda fisik yang ditemukan sangat
tergantung dari dosis sianida, banyaknya paparan, jenis paparan, dan bentuk dari
sianida. Sianida berefek pada banyak sistem organ, seperti pada tekanan darah,
penglihatan, paru, saraf pusat, jantung, sistem endokrin, sistem otonom dan sistem
metabolisme. Penderita akan mengeluh timbul rasa pedih dimata karena iritasi dan
kesulitan bernafas karena mengiritasi mukosa saluran pernafasan. Hal yang
khusus yang dapat diperhatikan pada penderita dengan keracunan sianida adalah
adanya warna merah terang pada arteri dan vena retinal pada pemeriksaaan
dengan funduskopi.14
Dalam konsentrasi rendah, efek dari sianida baru muncul sekitar 15-30
menit kemudian, sehingga masih bisa diselamatkan dengan pemberian antidote.
Tanda awal dari keracunan sianida adalah hiperpnea sementara, nyeri kepala,
dispnea, kecemasan, perubahan perilaku seperti agitasi dan gelisah, berkeringat
banyak, warna kulit kemerahan atau cherry red karena darah vena banyak
mengandung oksigen, tubuh terasa lemah dan vertigo juga dapat muncul.14
Pada paparan sianida dengan konsentrasi tinggi, hanya dalam jangka waktu
15 detik tubuh akan merespon dengan hiperpnea, 15 detik setelah itu seseorang
akan kehilangan kesadarannya. 3 menit kemudian akan mengalami apnea yang
dalam jangka waktu 5-8 menit akan mengakibatkan aktifitas otot jantung
terhambat karena hipoksia dan berakhir dengan kematian. Tanda akhir sebagai ciri
adanya penekanan terhadap CNS adalah koma dan dilatasi pupil, tremor, aritmia,
kejang-kejang, koma penekanan pada pusat pernafasan, gagal nafas sampai henti
jantung, tetapi gejala ini tidak spesifik bagi mereka yang keracunan sianida
sehingga menyulitkan penyelidikan apabila penderita tidak mempunyai riwayat
terpapar sianida.14
2.2.9 Diagnosis Keracunan Sianida
Untuk menentukan diagnosa kasus keracunan diperlukan
18
1.
2.
3.
Dari benda bukti, harus dapat dibuktikan bahwa benda bukti tersebut
memang mengandung racun sianida
4.
Dari bedah mayat, dapat ditemukan adanya perubahan atau kelainan yang
sesuai dengan keracunan sianida dan tidak ditemukan adanya penyebab
kematian lain
5.
atau
sianmethemoglobin
(karena
jaringan
tidak
dapat
2.
3.
4.
5.
20
6.
7.
2.
3.
21
5.
6.
7.
Urine. Ekskresi sianida pada urine dalam beberapa bentuk salah satunya
adalah tiosianat.5 Pada orang yang tidak merokok konsentrasi tiosianat
berkisar antara 1-4mg/L sementara pada perokok konsentrasinya hingga 312mg/L.16
Penting untuk membawa sampel ke laboratorium sesegera mungkin (dalam
beberapa hari) untuk menghindari struktur sianida yang tidak seperti aslinya lagi
dalam sampel darah yang telah disimpan. Hal ini biasanya dapat terjadi akibat
suhu ruangannya, sehingga jika ada penundaan, sampel darah dan jaringan
sebaiknya disimpan pada suhu 4 derajat celcius dan harus dianalisa sesegera
mungkin. Akan tetapi kualitas sampel telah menurun walaupun dengan adanya
pendingin. Lebih dari 70% isi sianida dapat hilang setelah beberapa minggu,
akibat reaksi dengan komponen jaringan dan konversi menjadi thiosianad.
Sebaliknya, sampel postmortem yang terlalu lama disimpan dapat menghasilkan
sianida akibat reaksi dari bakteri. Pencegahan terhadap hal ini dengan
mempergunakan kontainer yang berisi 2% sodium flourida.17
2.2.12 Pemeriksaan Laboratorium
1.1 Uji kertas saring
22
Kertas saring dicelupkan ke dalam larutan asam pikrat jenuh, biarkan hingga
lembab. Teteskan satu tetes isi lambung atau darah korban, diamkan sampai agak
mengering, kemudian teteskan Na2CO3 10% 1 tetes. Uji positif bila terbentuk
warna ungu.4
Kertas saring dicelupkan ke dalam larutan HJO3 1%, kemudian ke dalam
larutan kanji 1 % dan keringkan. Setelah itu kertas saring dipotong-potong seperti
kertas lakmus. Kertas ini dipakai untuk pemeriksaan masal pada para pekerja yang
diduga kontak dengan CN. Caranya dengan membasahi kertas dengan ludah di
bawah lidah. Uji positif bila warna berubah menjadi biru. Hasil uji berwarna biru
muda meragukan sedangkan bila warna tidak berubah (merah muda) berarti tidak
terdapat keracunan CN.4
Kertas saring dicelup ke dalam larutan KCl, dikeringkan dan dipotongpotong kecil. Kertas tersebut dicelupkan ke dalam darah korban, bila positif maka
warna akan berubah menjadi merah terang karena terbentuk sianmethemoglobin. 7
1.2 Reaksi Schonbein-Pagenstecher (reaksi Guajacol)
Caranya adalah dengan memasukkan 50 mg isi lambung/jaringan ke dalam
botol Erlenmeyer. Kertas saring (panjang 3-4 cm, lebar 1-2 cm) dicelupkan ke
dalam larutan guajacol 10% dalam alkohol, kemudian dikeringkan. Lalu
dicelupkan ke dalam larutan CuSO4 0,1% dalam air dan kertas saring
digantungkan di atas jaringan dalam botol. Botol tersebut dihangatkan. Bila hasil
reaksi positif, akan terbentuk warna biru-hijau pada kertas saring. Reaksi ini tidak
spesifik, hasil positif semu didapatkan bila isi lambung mengandung klorin,
nitrogen oksida atau ozon; sehingga reaksi ini hanya untuk skrining.4
1.3 Reaksi Prussian Blue (Biru Berlin)
Isi lambung/jaringan didestilasi dengan destilator. 5 ml destilat + 1 ml
NaOH 50% + 3 tetes FeSO4 10% rp + 3 tetes FeCl3 5%, panaskan sampai hampir
mendidih, lalu dinginkan dan tambahkan HCl pekat tetes demi tetes sampai
terbentuk endapan Fe(OH)3, teruskan sampai endapan larut kembali dan terbentuk
biru berlin.4
1.4 Cara Gettler Goldbaum
Dengan menggunakan 2 buah flange (piringan) dan di antara 2 flange
dijepitkan kertas saring Whatman No.50 yang digunting sebesar flange. Kertas
saring dicelupkan ke dalam larutan FeSO4 10% rp selama 5 menit, keringkan lalu
celupkan ke dalam larutan NaOH 20% selama beberapa detik. Letakkan dan
jepitkan kertas saring di antara kedua flange. Panaskan bahan dan salurkan uap
23
yang terbentuk hingga melewati kertas saring bereagensia antara kedua flange.
Hasil positif bila terjadi perubahan warna pada kertas saring menjadi biru.4
Analisa Sianida pada darah dapat mempergunakan metode calorimetrik.
Metode ini yang mempergunakan reagent pyrazolone merupakan teknik
konvensional untuk kuantifikasi sianida pada darah dan jaringan. Kelemahan
utama dari teknik ini adalah pengerjaannya yang rumit dan memakan waktu. Cara
yang lebih simpel, cepat dan tetap dapat dipercaya untuk kuantifikasi dari sianida
dalam darah adalah dengan mempergunakan Gas Cromatography Nitrogen
Phosporus Detection (GC-NPD). Metode ini jika dibandingkan dengan metode
standar calorimetric mempunyai hasil yang serupa sehingga dapat dipergunakan
untuk mendeteksi dan kuantifikasi sianida pada sampel darah postmortem.18
Cara lain penentuan kasus keracunan sianida dikemukakan oleh Varnell
pada penelitiannya yang memperlihatkan bahwa gambaran CT Scan kranial
setelah 3 hari kematian terlihat berbeda dengan kasus dengan hipoksia dan
iskemia serebral. Terlihat pembengkakan cerebral dengan hilangnya batas antara
substantia alba dan subtansia nigra dengan onset yang cepat menjadi petunjuk dari
diagnosis keracunan sianida akut. Kebanyakan kasus dengan gangguan serebral
seperti hipoksia dan iskemia tidak memperlihatkan perubahan ini pada waktu
yang sama cepatnya.19
BAB III
KESIMPULAN
Tanatologi berasal dari kata thanos (yang berhubungan dengan kematian)
dan logos (ilmu). Tanatologi adalah bagian dari Ilmu Kedokteran Forensik yang
mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor
yang mempengaruhi perubahan tersebut.
Sianida adalah zat beracun yang sangat mematikan. Sianida telah digunakan
sejak ribuan tahun yang lalu. Sianida juga banyak digunakan pada saat perang
dunia pertama. Efek dari sianida ini sangat cepat dan dapat mengakibatkan
24
kematian dalam jangka waktu beberapa menit. Sianida dalam dosis rendah dapat
ditemukan di alam dan ada pada setiap produk yang biasa kita makan atau
gunakan. Sianida dapat diproduksi oleh bakteri, jamur dan ganggan. Sianida juga
ditemukan pada rokok, asap kendaraan bermotor, dan makanan seperti bayam,
bambu, kacang, tepung tapioka dan singkong. Selain itu juga dapat ditemukan
pada beberapa produk sintetik.
Gejala yang ditimbulkan oleh zat kimia sianida ini bermacam-macam; mulai
dari rasa nyeri pada kepala, mual muntah, sesak nafas, dada berdebar, selalu
berkeringat sampai korban tidak sadar dan apabila tidak segera ditangani dengan
baik akan mengakibatkan kematian.
Untuk menentukan diagnosa kasus keracunan diperlukan anamnesa kontak
antara korban dengan sianida atau yang dicurigai sebagai sumber sianida, gejala
dan tanda keracunan sianida dan dari benda bukti, harus dapat dibuktikan bahwa
benda bukti tersebut memang mengandung racun sianida serta dari bedah mayat,
dapat ditemukan adanya perubahan atau kelainan yang sesuai dengan keracunan
sianida dan tidak ditemukan adanya penyebab kematian lain.
Analisa kimia atau pemeriksaan toksikologi harus dapat dibuktikan adanya
racun sianida dan atau metabolitnya, dalam tubuh atau cairan tubuh korban secara
sistemik. Penatalaksaan dari korban keracunan ini harus cepat, karena prognosis
dari terapi yang diberikan juga sangat tergantung dari lamanya kontak dengan zat
toksik tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1
Maryland.
USA.
Tersedia:
Februari 2016.
Anonymus.
Hydrogen
Cyanide
(HCN).
UN.
Tersedia
25
Centers for Disease Control and Prevention. The Facts About Cyanides. New
York
State
Department
Of
Health.
New
York.
2004.
Tersedia:
www.health.state.ny.us/nysdoh/bt/chemical_terrorism/docs/cyanide_general.p
df. Diakses pada tanggal : 16 Februari 2016.
4
Al-Fatih
II,
Muhammad.
Forensik.
Klinik
Indonesia.
Tersedia
Februari 2016.
Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Jakarta: Binarupa
7
8
1996; p.243-273.
10 Ballantyne B. 1983. Acute Systemic toxicity of cyanide by topical application
to the eye. Journal of Toxicology-Cutaneous and Ocular Toxicology, 2:119129.
11 ATSDR. 1997. Toxicology profile for cyanide. Atlanta, GA, United States
Department of Health and Human Service, Public Health Service, Agency for
Toxic Substance and Disease Registry.
12 Agency for Toic Substance and Disease Registry. Cyanide. Division of
Toxicology and Environmental Medicine. Atlanta. 2006. Available from :
http://www.atsdr.cdc.gov/toxprofiles/tp8.pdf . Access on February 15, 2016.
13 Alcorta R, FAcep MD, Smoke Inhalation & Hydrogen Cyanide Poisoning.
Jems Communication. EMD Pharmaceuticals. Elsevier. 2004. Available from :
http://www.firesmoke.org/wpcontent/uploads/2010/10/JEMS_Supplement.pdf
. Access on : February 15, 2016.
14 Utama,
Harry
Wahyudy.
Keracunan
Sianida.
2006.
http://blog.ub.ac.id/fawzy/files/2013/06/Keracunan-Sianida.pdf
Diakses
di
pada
15
Ferbuari 2016.
15 Bismuth, C., Clarmann, M.V., Dijk, A.V., Mallinckrodt, M.G.V., Hall., Heijst,
A.N.P., Marrs, T.C., Meredith, T.J., Parren, A.C.G.M., Persson, H., Taitelman,
U., 1993, Antidote for Poisoning by Cyanide, Cambrige University Press.
26
16 IPCS. 2004. Hydrogen cyanide and cyanide : Human health aspect. Geneva,
World Health Organization, International Programme on Chemical Safety
(Concise International Chemical Assessment Document No. 61). Diakses pada
tanggal 25 Oktober 2014.
17 Chishiro T, 2000. Clinical Aspect of Accidental Poisoning with Cyanide.
Asian Medical Journal 43(2) : 59-64.
18 Knight, B., 1996. Forensic Pathology. Edward Arnold, A Division of Hodder
and Stonghton. London.
19 Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N., 2005.Robbins and Cotran: Pathologic
Basis of Disease Seventh Edition. Elsevier Saunders Inc. Philadelphia.
27