You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sianida adalah zat beracun yang sangat mematikan. Sianida telah digunakan
sejak ribuan tahun yang lalu. Sianida juga banyak digunakan pada saat perang
dunia pertama. Efek dari sianida ini sangat cepat dan dapat mengakibatkan
kematian dalam jangka waktu beberapa menit.1 Hidrogen sianida disebut juga
formonitrile, sedang dalam bentuk cairan dikenal sebagai asam prussit dan asam
hidrosianik Hidrogen sianida adalah cairan tidak berwarna atau dapat juga
berwarna biru pucat pada suhu kamar. Bersifat volatile dan mudah terbakar.
Hidrogen sianida dapat berdifusi baik dengan udara dan bahan peledak. Hidrogen
sianida sangat mudah bercampur dengan air sehingga sering digunakan. Bentuk
lain ialah sodium sianida dan potassium sianida yang berbentuk serbuk dan
berwarna putih.2,3
Sianida dalam dosis rendah dapat ditemukan di alam dan ada pada setiap
produk yang biasa kita makan atau gunakan. Sianida dapat diproduksi oleh
bakteri, jamur dan ganggan. Sianida juga ditemukan pada rokok, asap kendaraan
bermotor, dan makanan seperti bayam, bambu, kacang, tepung tapioka dan
singkong. Selain itu juga dapat ditemukan pada beberapa produk sintetik. Sianida
banyak digunakan pada industri terutama dalam pembuatan garam seperti
natrium, kalium atau kalsium sianida. Sianida yang digunakan oleh militer NATO
(North American Treaty Organization) adalah yang jenis cair yaitu asam
hidrosianik (HCN).1,3 Gejala yang ditimbulkan oleh zat kimia sianida ini
bermacam-macam; mulai dari rasa nyeri pada kepala, mual muntah, sesak nafas,
dada berdebar, selalu berkeringat sampai korban tidak sadar dan apabila tidak
segera ditangani dengan baik akan mengakibatkan kematian. Penatalaksaan dari
korban keracunan ini harus cepat, karena prognosis dari terapi yang diberikan juga
sangat tergantung dari lamanya kontak dengan zat toksik tersebut.2

1.2 Metode Penulisan

Makalah ini disusun dengan menggunakan metode studi kepustakaan yang


merujuk kepada berbagai literatur, termasuk buku teks dan makalah ilmiah.

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan referat ini bertujuan untuk memahami dan menambah pengetahuan
tentang Identifikasi Kematian Akibat Sianida.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanatologi
2.1.1 Definisi
Tanatologi berasal dari kata thanos (yang berhubungan dengan kematian)
dan logos (ilmu). Tanatologi adalah bagian dari Ilmu Kedokteran Forensik yang
mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor
yang mempengaruhi perubahan tersebut.8
2.1.2 Manfaat
Ada tiga manfaat tanatologi ini, antara lain untuk dapat penetapkan hidup
atau matinya korban, memperkirakan lama kematian korban, dan menentukan
wajar atau tidak wajarnya kematian korban. Menetapkan apakah korban masih
hidup atau telah mati dapat kita ketahui dari masih adanya tanda kehidupan dan
tanda-tanda kematian. Tanda kehidupan dapat kita nilai dari masih aktifnya siklus
oksigen yang berlangsung dalam tubuh korban. Sebaliknya, tidak aktifnya siklus
oksigen menjadi tanda kematian.9
2.1.3 Jenis Kematian
1. Mati Somatis (mati klinis) terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga sistem
penunjang kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskuler dan
sistem pernapasan, yang menetap (irreversible). Secara klinis tidak
ditemukan refleks-refleks, EEG mendatar, nadi tidak teraba, denyut
jantung tidak terdengar, tidak gerakan pernapasan dan suara nafas tidak
terdengar pada auskultasi.8
2. Mati Suri (suspended animation, apparent death) adalah terhentinya
ketiga sistim kehidupan di atas yang ditentukan dengan alat kedokteran
sederhana. Dengan peralatan kedokteran canggih masih dapat dibuktikan
bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi. Mati suri sering ditemukan
pada kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam.8
3. Mati seluler (mati molekuler) adalah kematian organ atau jaringan tubuh
yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup
masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya

kematian seluler pada tiap organ atau jaringan tidak bersamaan.


Pengetahuan ini penting dalam transplantasi organ.8
4. Mati serebral ialah suatu kematian akibat kerusakan kedua hemisfer otak
yang irreversible kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua
sistem lainnya yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskuler masih
berfungsi dengan bantuan alat.8
5. Mati otak (mati batang otak) ialah kematian dimana bila telah terjadi
kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang irreversible, termasuk
batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak (mati batang
otak) maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat
dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan.8
2.1.4 Cara mendeteksi Kematian
Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu (somatic
death), diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik
yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Kriteria diagnostik pertama
yang disusun oleh para ahli di bidang kedokteran adalah yang dirumuskan
berdasarkan konsep permanent cessation of heart and respiration death. Namun
dengan ditemukannya respirator (alat napas buatan) yang dapat mempertahankan
fungsi paru-paru dan jantung maka kriteria tradisional tidak dapat dilakukan
terhadap pasien-pasien yang menggunakan alat itu. Karena itulah disusun Kriteria
diagnostik baru yang berdasarkan pada konsep brain death is death. Terakhir
konsep diagnostik ini diperbaiki lagi menjadi brain stem death is death.6,7,8
Berdasarkan konsep tersebut, tidak kurang dari 30 buah set kriteria
diagnostik telah disusun, namun kriteria yang paling banyak digunakan para
dokter adalah kriteria diagnostik seperti dibawah ini, yaitu :6
1. Hilangnya

semua

respon

terhadap

sekitarnya

(respon

terhadap

komando/perintah, taktil, dan sebagainya).


2. Tidak ada gerakan otot serta postur, dengan catatan pasien tidak sedang
3.
4.
5.
6.

berada dibawah pengaruh obat-obatan curare.


Tidak ada reflex pupil
Tidak ada reflex kornea
Tidak ada respon motorik dari saraf cranial terhadap rangsangan.
Tidak ada reflex menelan atau batuk ketika tuba endotrakeal didorong
kedalam.

7. Tidak ada reflex vestibulookularis terhadap rangsangan air es yang


dimasukkan ke dalam lubang telinga.
8. Tidak ada nafas spontan ketika respirator dilepas untuk waktu yang cukup
lama walaupun pCO2 sudah melampaui nilai ambang rangsangan nafas (50
torr).
Tes klinik tersebut diatas baru boleh dilakukan paling cepat 6 jam setelah
onset koma serta apneu dan harus diulangi lagi paling cepat sesudah 2 jam dari tes
yang pertama. Sedangkan tes konfirmasi dengan EEG atau angiografi hanya
dilakukan kalau tes klinik memberikan hasil yang meragukan atau jika ada
kekhawatiran akan adanya tuntutan dikemudian hari.6,7
2.1.5 Perubahan Pasca Kematian
Jika seseorang meninggal dunia maka pada tubuhnya akan mengalami
berbagai perubahan, antara lain:6,7
1. Perubahan kulit muka
Akibat berhentinya sirkulasi darah maka darah yang berada pada kapiler dan
venula dibawah kulit muka akan mengalir ke bagian yang lebih rendah sehingga
warna raut muka tampak menjadi lebih pucat. Pada mayat dari orang yang mati
akibat kekurangan oksigen atau keracunan zat-zat tertentu (misalnya karbon
monoksida), warna semula dari raut muka akan bertahan lama dan tidak cepat
menjadi pucat.
2. Relaksasi otot
Pada saat mati sampai beberapa saat sesudahnya, otot-otot polos akan
mengalami relaksasi sebagai akibat dari hilangnya tonus. Relaksasi pada stadium
itu disebut relaksasi primer. Akibatnya rahang bawah akan melorot menyebabkan
mulut terbuka, dada kolap dan bila tidak ada yang menyangga anggota tubuh akan
jatuh kebawah. Relaksasi yang terjadi pada otot-otot muka akan mengesankan
lebih muda dari umur yang sebenarnya, sedang relaksasi otot polos akan
mengakibatkan iris dan sfingter ani dilatasi. Oleh sebab itu jika ditemukan dilatasi
pada anus, harus hati-hati untuk menyimpulkan sebagai akibat hubungan seks per
ani.6
Sesudah relaksasi primer akan terjadi kaku mayat dan selanjutnya akan terjadi
relaksasi lagi. Relaksasi terakhir ini disebut relaksasi sekunder.6
3. Perubahan pada mata

Pada orang yang sudah mati pandangan matanya terlihat kosong, reflek
cahaya dan reflek kornea menjadi negative. Vena-vena pada retina akan
mengalami kerusakan dalam waktu 10 detik sesudah mati. Jika sesudah
kematiannya keadaan mata tetap terbuka maka lapisan kornea yang paling luar
akan mengalami kekeringan. Dalam waktu 10 sampai 12 jam sesudah mati
kelopak mata, baik terbuka atau tertutup, akan berubah menjadi putih dan keruh.
Perubahan lain yang terjadi ialah penurunan tekanan bola mata dan naikknya
kadar potassium pada cairan mata.7
4. Penurunan suhu tubuh
Sesudah mati, metabolisme yang menghasilkan panas akan terhenti sehingga
suhu tubuh akan turun menuju suhu udara atau medium sekitarnya. Penurunan ini
disebabkan oleh adanya proses radiasi, konduksi, dan pancaran panas.7
Pada jam-jam pertama penurunannya sangat lambat karena masih adanya
produksi panas dari proses glikogenolisis, tetapi sesudah itu penurunan menjadi
lebih cepat dan pada akhirnya menjadi lebih lambat kembali. Kalau proses
penurunan tersebut digambarkan dalam bentuk grafik maka gambarannya akan
seperti sigmoid atau huruf S terbalik. Jika rata-rata maka penurunan suhu tersebut
antara 0,9 sampai 1 derajat Celsius atau sekitar 1,5 Farenheit setiap jam, dengan
catatan penurunan suhu dimulai dari 37 derajat celcius atau 98,4 derajat Farenheit.
Pengukuran dilakukan per rectal dengan menggunakan thermometer kiimia yang
panjang (long chemical thermomether).4,6,7
Penurunan suhu tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain:6
a. Suhu tubuh pada saat mati
Suhu tubuh yang tinggi pada saat mati, seperti misalnya pada penderita infeksi
atau perdarahan otak, akan mengakibatkan tingkat penurunan suhu menjadi
lebih cepat. Sedangkan penderita dengan hipotermia tingkat penurunannya
akan menjadi sebaliknya.
b. Suhu medium
Semakin rendah suhu medium tempat tubuh mayat berada akan semakin cepat
tingkat penurunannya. Dengan kata lain semakin besar perbedaan suhu
medium dengan suhu tubuh mayat, semakin besar tingkat penurunannya.
c. Keadaan udara disekitarnya
Pada udara yang lembab, tingkat penurunannya suhu menjadi lebih besar. Hal
ini disebabkan karena udara yang lembab merupakan konduktor yang baik.

Pada udara yang terus berhembus (angin), tingkat penurunannya juga semakin
cepat.
d. Jenis medium
Pada medium air, tingkat penurunan suhu menjadi lebih cepat sebab air
merupakan konduktor yang baik.
e. Keadaan tubuh mayat
Pada mayat bayi, tingkat penurunan suhu lebih cepat dibanding mayat orang
dewasa. Hal ini disebabkan karena pada bayi, luas permukaan tubuhnya relatip
lebih besar. Pada mayat yang tubuhnya kurus, tingkat penurunannnya juga
lebih cepat dibandingkan mayat yang tubuhnya gemuk.
f. Pakaian mayat
Semakin tipis pakaian yang dipakai, semakin cepat tingkat penurunannya.
Perlu diketahui bahwa estimasi saat kematian dengan memanfaatkan
penurunan suhu mayat hanya bisa dilakukan pada kematian kurang dari 12
jam.
Berbagai rumus kecepatan penurunan suhu tubuh pasca mati ditemukan
sebagai hasil dari penelitian di negara barat, namun ternyata sukar dipakai dalam
praktek karena faktor-faktor yang berpengaruh berbeda pada setiap kasus, lokasi,
cuaca dan iklim.6
Meskipun demikian dapat dikemukakan di sini formula Marshal dan Hoare
(1962) yang dibuat dari hasil penelitian terhadpa mayat telenjang dengan suhu
lingkungan 15,5 derajat Celcius, yaitu penurunan suhu dengan kecepatan 0,55
derajat Celsius tiap jam pada 3 jam pertama paska mati, 1,1 derajat Celsius tiap
jam pada 6 jam berikutnya, dan kira-kira 0,8 derajat Celsius tiap jam pada periode
selanjutnya. Kecepatan penurunan suhu ini menurun hingga 60% bila mayat
berpakaian. Penggunaan formula ini harus dilakukan dengan hati-hati mengingat
suhu lingkungan di Indonesia biasanya lebih tinggi. Penelitian akhir-akhir ini
cenderung untuk memperkirakan saat mati melalui pengukuran suhu tubuh pada
lingkungan yang menetap di tempat kejadian perkara (TKP). Caranya adalah
dengan melakukan 4-5 kali penentuan suhu rektal dengan interval waktu yang
sama (minimal 15 menit). Suhu lingkungan diukur dan di anggap konstan karena
faktor-faktor lingkungan dibuat menetap, sedangkan suhu saat mati dianggap 37
derajat Celsius bila tidak ada penyakit demam. Penelitian membuktikan bahwa
perubahan suhu lingkungan kurang dari 2 derajat Celsius tidak mengakibatkan

perubahan yang bermakna. Dari angka-angka di atas, dengan menggunakan rumus


atau grafik dapat ditentukan waktu antara saat mati dan saat pemeriksaan. Saat ini,
telah tersedia program komputer guna perhitungan saat mati dengan cara ini.4,6,7
5. Lebam mayat
Nama lain dari lebam mayat ialah livor mortis, post mortum lividity, post
mortum suggilation, post mortum hypostasis atau vibices.6,7

Terjadinya karena adanya gaya gravitasi yang menyebabkan darah


mengumpul pada bagian-bagian tubuh terendah. Mula-mula darah mengumpul
pada vena-vena besar dan kemudian pada cabang-cabangnya sehingga
mengakibatkan perubahan warna kulit menjadi merah kebiruan. Pada awalnya
warna tersebut hanya berupa bercak setempat-setempat yang kemudian berubah
menjadi lebih lebar dan merata pada bagian tubuh terendah. Kadang-kadang
cabang dari vena pecah sehingga terlihat bintik-bintik perdarahan yang disebut
Tardius spot.4,6
Timbulnya lebam mayat antara 20-30 menit setelah mati. Pada orang yang
menderita anemia atau perdarahan timbulnya lebam mayat menjadi lebih lama,
sedang pada orang yang mati akibat sakit lama timbulnya lebam mayat menjadi
lebih cepat.6,7,9
Lokalisasinya pada bagian yang terendah dari tubuh mayat, kecuali pada
daerah-daerah yang tertekan. Pada posisi terlentang, lebam mayat akan dapat
ditemukan pada leher bagian belakang, punggung, bokong, dan fleksor dari
anggota bawah. Kadang-kadang ditemukan juga lebam mayat paradoksal yang
terletak pada leher bagian depan, bahu dan dada sebelah atas. Pada posisi
tengkurap lebam mayat dapat ditemukan pada dahi, pipi, dagu, dada, perut, dan
bagian ekstensor dari anggota bawah. Kadang-kadang ditemukan darah keluar
dari hidungnya, disebabkan pecahnya pembuluh darah hidung akibat stagnansi
7

hebat pada daerah tersebut. Pada posisi menggantung lebam mayat ditemukan
pada ujung-ujung dari anggota badan dan alat kelamin laki-laki.6,7
Lebam mayat juga dapat ditemukan pada organ-organ dalam, sehingga perlu
dibedakan pada proses patologik. Lebam mayat pada paru-paru misalnya, perlu
dibedakan dengan proses perdarahan atau pneumonia.6
Setelah 4 jam, kapiler-kapiler akan mengalami kerusakan dan butir-butir
darah merah juga akan rusak. Pigmen-pigmen dari pecahan darah merah akan
keluar dari kapiler yang rusak dan mewarnai jaringan di sekitarnya sehingga
menyebabkan warna lebam mayam pada daerah tersebut akan menetap serta tidak
hilang jika ditekan dengan ujung jari atau jika posisi mayat dibalik. Jika
pembalikan posisi dilakukan sesudah 12 jam dari kematiannya maka lebam mayat
baru tidak akan timbul pada posisi terendah karena darah sudah mengalami
koagulasi.6
Warna lebam mayat biasanya merah kebiruan. Pada keracunan karbon
monoksida (CO) lebam mayat berwarna merah cerah (cherry red), pada keracunan
potassium chlorate berwatna coklat dan pada kematian karena asfiksia berwarna
lebih gelap.6
6. Kaku mayat
Kaku mayat yang sering disebut rigor mortis atau post mortum rigidity terjadi
akibat proses biokimiawi, yaitu pemecahan ATP menjadi ADP. Selama masih ada
P berenersi tinggi dari pemecahan glikogen otot maka ADP masih dapat
diresintese menjadi ATP kembali. Jika persediaan glikogen otot habis maka
resintese tidak terjadi sehingga terjadi penumpukan ADP yang akan menyebabkan
otot menjadi kaku.6
Berdasarkan teori tersebut maka kaku mayat akan terjadi lebih awal pada otototot kecil, karena pada otot-otot yang kecil persendian glikogen sedikit. Otot-otot
yang kecil itu antara lain otot-otot yang terdapat pada muka; misalnya otot
palpebra, otot rahang dan sebagainya. Sesudah itu kaku mayat terjadi pada leher,
anggota atas, dada, perut dan terakhir anggota bawah.6
Lebih kurang 6 jam sesudah mati, kaku mayat akan mulai terlihat dan lebih
kurang 6 jam kemudian seluruh tubuh akan menjadi kaku. Kekakuan tersebut
akan berlangsung selama 36 sampai 48 jam. Sesudah itu, tubuh mayat akan
mengalami relaksasi kembali sebagai akibat dari proses degenerasi dan

pembusukan. Relaksasi yang terjadi sesudah mayat mengalami kaku mayat


disebut relaksasi sekunder.6
Urutan terjadinya relaksasi sekunder seperti urutan terjadinya kaku mayat;
yaitu dimulai dari otot-otot pada daerah muka, leher, anggota atas, dada, perut dan
terakhir anggota bawah.6
Kekakuan pada tubuh jenazah akibat rigor mortis perlu dibedakan dengan
kekakuan akibat proses lainnya, seperti misalnya:
a. Cadaveric spasme atau instantaneous rigor
Kekakuan yang terjadi di sini disebabkan oleh kekakuan serombongan
otot akibat ketegangan jiwa atau ketakutan sebelum kematiannya. Keadaan
seperti ini sering ditemukan pada orang yang melakukan bunuh diri,
orang-orang yang mengalami kecelakaan atau yang megalami ketakutan
yang sangat ketika akan dibunuh. Dalam perang Vietnam ditemukan mayat
tentara Amerika dengan cadaveric spasme.

Cadaveric spasme ini sebetulnya merupakan proses intravital, tidak


dapat direkayasa dan akan hilang berkenaan dengan terjadinya proses
pembusukan.
b. Heat stiffening
Pada mayat yang terbakar, akan mengalami kekakuan otot yang
disebabkan karena proses koagulasi protein. Untuk membedakannya
dengan kekakuan akibat rigor mortis tidaklah sulit, sebab pada heat
stiffening pengaruh panas pada daerah kulit akan terlihat jelas.
c. Freezing
Kekakuan yang terjadi di sini disebabkan oleh pembekuan cairan di
sendi atau di dalam sel-sel otot atau jaringan interstisiil. Pada perabaan

terasa dingin dan bila digerakkan terasa adanya krepitasi. Freezing yang
terjadi di dalam tengkorak dapat menyebabkan sutura pada tulang
tengkorak lepas karena adanya desakan es dari dalam. Jika mayat
diletakkan pada suhu tinggi akan terjadi pelemasan otot.
7. Pembusukan atau Modifikasinya
Pembusukan yang terjadi pada tubuh mayat disebabkan oleh proses otolisa
dan aktifitas mikroorganisme.6
Proses otolisa terjadi sebagai akibat dari pengaruh enzim yang dilepaskan
oleh sel-sel yang sudah mati. Mula-mula yang terkena ialah nukleoprotein yang
terdapat pada kromatin dan sesudah itu sitoplasmanya. Seterusnya dinding sel
akan mengalami kehancuran dan akibatnya jaringan akan menjadi lunak atau
mencair.6

Proses otolisa ini tidak dipengaruhi oleh mikroorganisme dan oleh sebab
itu pada mayat yang bebas hama, misalnya mayat bayi dalam kandungan, proses
otolisa tetap berlangsung.6
Pada mayat yang dibekukan pelepasan enzim akan terhambat dan dengan
sendirinya akan memperlambat otolisa, sedang pada suhu yang panas proses
otolisa juga akan mengalami hambatan disebabkan rusaknya enzim oleh panas
tersebut.6,7
Mengenai mikroorganisme penyebab pembusukan, yang paling utama
adalah oleh kuman Clostridium Welchii yang biasanya ada pada usus besar.
Karena pada orang yang sudah mati semua sistem pertahanan tubuh hilang maka
kuman-kuman pembusuk tersebut dapat leluasa memasuki pembuluh darah dan
menggunakan darah sebagai media untuk berkembang biak. Kuman itu akan
menyebabkan hemolisa, pencairan bekuan-bekuan darah yang terjadi sebelum

10

atau sesudah mati, pencairan trombus atau emboli, perusakan jaringan-jaringan


dan pembentukan gas-gas pembusukan. Proses tersebut mulai tampak lebih
kurang 48 jam sesudah mati.6
Tanda-tanda yang dapat dilihat pada mayat yang mengalami pembusukan
ialah:6
a. Warna kehijauan pada dinding perut sebelah kanan bawah. Perubahan warna
ini disebabkan adanya reaksi antara H2S (dari gas pembusukan yang terjadi di
usus besar) dengan Hb menjadi Sulf-Met-Hb. Perubahan ini merupakan tanda
pembusukan yang paling dini.
b. Pelebaran pembuluh darah vena superfisial. Pelebaran pembuluh darah ini
disebabkan oleh desakan gas pembusukan yang ada di dalamnya sehingga
pembuluh darah tersebut serta cabang-cabangnya nampak lebih jelas, seperti
pohon gundul (arborescent pattern atau arborescent mark)
c. Muka membengkak
d. Perut mengembung akibat timbunan gas pembusukan
e. Skrotum laki-laki atau vulva membengkak
f. Kulit terlihat gelembung atau melepuh
g. Cairan darah keluar dari lubang hidung dan mulut
h. Bola mata menjadi lunak
i. Lidah dan bola mata menonjol akibat desakan gas pembusukan
j. Dinding perut atau dada pecah akibat tekanan gas
k. Kuku dan rambut lepas
l. Organ-organ dalam membusuk dan kemudian hancur. Organ dalam yang
paling cepat membusuk ialah otak, hati, lambung, usus halus, limpa, rahim
wanita hamil atau nifas. Organ yang lambat membusuk ialah esofagus,
jantung, paru-paru, diafragma, ginjal dan kandung kencing. Organ yang paling
lambat mengalami pembusukan ialah kelenjar prostat pada laki-laki dan rahim
wanita yang tidak sedang hamil atau nifas. Jika kedua organ tersebut masih
dapat dikenali pada pemeriksaan mayat tak dikenal yang sudah dalam keadaan
membusuk maka hal ini akan sangat berguna bagi kepentingan identifikasi.

11

Pada keadaan tertentu, tanda-tanda pembusukan seperti yang disebutkan


di atas tidak dijumpai. Yang ditemukan adalah modifikasinya, yaitu
mumifikasi atau saponifikasi (adipocere).6
Mumifikasi dapat terjadi kalau keadaan disekitar mayat kering,
kelembabannya rendah, suhunya tinggi dan tidak ada kontaminasi dengan
bakteri.6
2.2 Intoksikasi Sianida
2.2.1 Toksikologi
Toksikologi ialah ilmu yang mempelajari sumber, sifat serta khasiat racun,
gejala-gejala dan pengobatan pada keracunanseerta kelainan yang didapatkan
pada korban yang meninggal.
Racun ialah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan
fisiologik yang dalam dosis toksisk akan menyebabkan gangguan
kesehatan atau mengakibatkan kematian berasal dari hewan :
bisa/toksin ular atau laba-laba/ hewan laut, mineral: arsen, timah hitam
atau sinteetik: heroin, berdasarkan tempat dimana racun berada,
dapat dibagi menjadi racun yang terdapat di alam bebas, misalnya gas
racun dialam, racun yangh terdapt di rumah tangga; misalnya
deterjen, disenfektan, insektisida, pembersih (cleaners). Racun yang
digunakan dalam pertanian, misalnya insektisida herbisida, pestisida.
Racun yang digunakan dalam industri dan laboratorium, misalnya
asam yang digunakan dalam industri dan laboratorium, misalnya asam
kuat dan basa kuat, logam berat. Racun yang terdapat dalam
makanan, misalnya CN dalam singkong, toksin botullinus, bahan
[pengawet, zat aditif serta racun dalam bentuk obat nmisalnya
hipnotik, sedatif dan lain-lain. Dapat pula pembagian racun
berdasarkan organ tubuh yang dipengaruhi misalnya racun yang
bersifat hepatotoksik dan nefrotoksik. Berdasarkan mekanisme kerja,
dikenal racun yang mengikat gugus sufrihidril (SH) misalnya Pb, yang
berpengaruh pada ATPase yang membentuk Met-hemoglobin misalnya
nitrat dan nitrit (nitrat dalam usus oleh flora usus diubah menjadi
nitrit).
Pembagian lain didasarkan atas cara kerja atau efek yang
ditimbulkan. Ada racu yang bekerja lokal dan menimbulkan beberapa
reaksi misalnya perangsangan, peradangan atau korosif. Keadaan ini
dapat menimbulkan rasa nyeri yang hebat dan dapat menyebabkan
kematian akibat syok neurogenik. Contoh racun korosif adalah asam
dan basa kuat : H2SO4, HNO3, NaOH, KOH, golongan Hallogen seperti
fenol, lisol dan senyawa logam. Racun yang bekerja sistemik dan
mempunyai afinitas tewrhadap salah satu sistem misalnya barbiturat,

12

alkohol, morfin terhadap susunan saraf pusat, digitalis, oksalat


terhadap jantung, CO terhadap hemoglobin darah. Terdapat pula racun
yang mempunyai efek lokal dan sistemik sekaligus misalnya asam
karbol menyebabkan erosi lambung dan sebagian yang di absorbsi
akan menimbulkan depresi susunan saraf pusat. Tetra etilead yang
masih dalam campuran bensin selain mempunyai efek iritasi, jika
diserap dapat menimbulkan hemolisis akut

Penggolongan
Berdasarkan sumber dapat dibagi menjadi racun yang berasal dari tumbuhtumbuhan,

opium

(dari

Papaver

somniverum),

kokain,

kurare,

aflatoxin(Aspergilus nigar),
2.2.2 Definisi Sianida
Sianida adalah bahan kimia yang mengandung gugus cyan (CN) yang
terdiri dari sebuah karbon atom yang terikat ganda tiga dengan sebuah atom
nitrogen. Sianida secara spesifik adalah anion CN -. Sianida dapat berbentuk gas,
cair, atau padat dan berbentuk molekul, ion, atau polimer. Singkatnya semua
bahan yang dapat melepaskan ion sianida (CN-) sangat toksik.10
2.2.3 Bentuk Sianida
Beberapa bentuk-bentuk sianida yaitu :11
a. Hidrogen Sianida (HCN) adalah cairan atau gas yang tidak berwarna atau
biru pucat dengan bau seperti almond. Nama lainnya adalah asam hidrosianik
dan asam prussik. HCN dipakai sebagai stabilizer untuk mencegah
pembusukan.
b. Sodium Sianida adalah bubuk kristal putih dengan bau seperti almond. Nama
lainnya adalah asam hidrosianik,sodium. Bentuk cair dari bahan ini sangat
alkalis dan cepat berubah menjadi hidrogen sianida jika kontak dengan asam
atau garam dari asam.
c. Potasium Sianida (KCN) adalah bahan padat berwarna putih dengan bau
sianida yang khas. Nama lainnya adalah asam hidrosianik, garam potasium.
Bentuk cair dari bahan ini sangat alkalis dan cepat berubah menjadi hidrogen
sianida jika kontak dengan asam atau garam dari asam.
d. Kalsium Sianida (Ca(CN)2) dikenal juga dengan nama calsid atau calsyan
adalah bahan padat kristal berwarna putih. Dalam bentuk cairnya secara

13

bertahap membentuk hidrogen sianida. Keempat bahan diatas membentuk


ikatan yang kuat dengan metal.
e. Sianogen adalah gas beracun yang tidak berwarna dengan bau seperti
almond. Nama lainnya adalah karbon nitril, disianogen, etane dinitril, dan
asam oksalat dinitril. Bahan ini secara perlahan terhidrolisis pada bentuk cair
menjadi asam oksalat dan amonia.
f. Sianogen Klorida adalah gas tidak berwarna. Nama lainya adalah klorin
sianida (nama dagang Caswell no. 267). Bahan ini melepaskan hidrogen
sianida saat terhidrolisis.
g. Glikosida Sianogenik diproduksi secara natural oleh berbagai jenis
tumbuhan. Saat terhidrolisis membentuk hidrogen sianida.
2.2.4 Asal Paparan
Inhalasi
Sisa pembakaran produk sintesis yang mengandung karbon dan nitrogen
seperti plastik akan melepaskan sianida. Rokok juga mengandung sianida, pada
perokok pasif dapat ditemukan sekitar 0.06g/mL sianida dalam darahnya,
sementara pada perokok aktif ditemukan sekitar 0.17 g/mL sianida dalam
darahnya. Hidrogen sianida sangat mudah diabsorbsi oleh paru, Gejala keracunan
dapat timbul dalam hitungan detik sampai menit. Ambang batas minimal
hydrogen sianida di udara adalah 2-10 ppm, tetapi angka ini belum dapat
memastikan konsentrasi sianida yang berbahaya bagi orang disekitarnya. Selain
itu, gangguan dari saraf-saraf sensoris pernafasan juga sangat terganggu. Berat
jenis hidrogen sianida lebih ringan dari udara sehingga lebih cepat terbang ke
angkasa. 1,3
Mata
Paparan hidrogen sianida dapat menimbulkan iritasi pada mata dan kulit.
Muncul segera setelah paparan atau paling lambat 30 sampai 60 menit.
Kebanyakan kasus disebabkan kecelakaan pada saat bekerja sehingga cairan
sianida kontak dengan kulit dan meninggalkan luka bakar.3
Saluran pencernaan

14

Tertelan dari hidrogen sianida sangat fatal. Karena sianida sangat mudah
masuk ke dalam saluran pencernaan. Tidak perlu melakukan atau merangsang
korban untuk muntah, karena sianida sangat cepat berdifusi dengan jaringan
dalam saluran pencernaan.3
2.2.5 Proses Biokimia
Walaupun sianida dapat mengikat dan menginaktifkan beberapa enzim,
tetapi yang mengakibatkan timbulnya kematian atau timbulnya histotoxic anoxia
adalah karena sianida mengikat bagian aktif dari enzim sitokrom oksidase
sehingga akan mengakibatkan terhentinya metabolisme sel secara aerobik.
Sebagai akibatnya hanya dalam waktu beberapa menit akan mengganggu
transmisi neuronal. Sianida dapat di buang melalui beberapa proses tertentu
sebelum sianida berhasil masuk kedalam sel. Proses yang paling berperan disini
adalah pembentukan dari cyanomethemoglobin (CNMetHb), sebagai hasil dari
reaksi antara ion sianida (CN) dan MetHb.1,12

Selain itu juga, sianida dapat dibuang dengan adanya:1


-

Ikatan dengan endothelial-derived relaxing factor (EDRF) dalam hal ini adalah

asam nitirit.
Bahan-bahan metal seperti emas, molibdenum atau komponen organik seperti

hidrokobalamin sangat efektif mengeliminasi sianida dari dalam sel.


Terakhir kali, albumin dapat merangsang kerja enzim dan menggunakan sulfur
untuk mengikat sianida.
Sianida dapat dengan mudah menembus dinding sel. Oleh karena itu pihak

militer sering menggunakan racun sianida walaupun secara inhalasi, memakan


atau menelan garam sianida atau senyawa sianogenik lainnya. Karena sianida ini
sebenarnya telah ada di alam walaupun dalam dosis yang rendah, maka tidak
heran jika kebanyakan hewan mempunyai jalur biokimia intrinsik tersendiri untuk
mendetoksifikasi ion sianida ini. Jalur terpenting dari pengeluaran sianida ini
adalah dari pembentukan tiosianat (SCN-) yang diekresikan melalui urin.
Tiosianat ini dibentuk secara langsung sebagai hasil katalisis dari enzim rhodanese
dan secara indirek sebagai reaksi spontan antara sianida dan sulfur persulfida.1,13

15

2.2.6 Farmakokinetik dan Farmakodinamik


Seseorang dapat terkontaminasi melalui makanan, rokok dan sumber
lainnya. Makan dan minum dari makanan yang mengandung sianida dapat
mengganggu kesehatan. Setelah terpapar, sianida langsung masuk ke dalam
pembuluh darah. Jika sianida yang masuk ke dalam tubuh masih dalam jumlah
yang kecil maka sianida akan diubah menjadi tiosianat yang lebih aman dan
diekskresikan melalui urin. Selain itu, sianida akan berikatan dengan vitamin B12.
Tetapi bila jumlah sianida yang masuk ke dalam tubuh dalam dosis yang besar,
tubuh tidak akan mampu untuk mengubah sianida menjadi tiosianat maupun
mengikatnya dengan vitamin B12.1,3
Setelah terabsorpsi, inhalasi dan percutaneus sianida secara cepat akan
terdistribusi di sirkulasi. Sementara peroral sodium dan potasium sianida akan
melewati detoksifikasi hati terlebih dahulu. Distribusi sianida sangat cepat dan
merata di seluruh jaringan akan tetapi pada beberapa tempat konsentrasinya tinggi
seperti pada hati, paru, darah, otak. Pada orang yang meninggal karena inhalasi
sianida, kadar sianida dalam jaringan paru, darah, otak masing-masing 0,75; 0,41;
0,32mg/100g. Dalam darah sianida akan terkonsentrasi pada sel darah merah dan
sedikit di plasma maka dari itu konsentrasi sianida plasma menggambarkan
konsentrasi sianida jaringan.11
Dalam tubuh sianida akan cepat bereaksi membentuk hidrogen sianida
yang mempunyai afinitas kuat terhadap gugus Fe heme dari sitokrom a3 atau yang
lebih dikenal dengan sitokrom c oksidase, oksidase terminal pada rantai transfer
electron. Pembentukan ikatan sitokrom c oksidase CN yang stabil pada
mitokondria akan menghambat transfer oksigen dan menghentikan respirasi
selular yang menyebabkan hipoksia sitotoksik, walaupun terdapat HbO2 dalam
jumlah yang cukup. Anoksia jaringan yang diinduksi oleh inaktivasi dari sitokrom
oksidase mengakibatkan perubahan pada metabolisme sel, dari aerobik menjadi
anareobik. Hal ini nantinya akan menyebabkan berkurangnya glikogen,
fosfoceratin , dan ADP seiring dengan akumulasi dari laktat dan penurunan pH
darah. Kombinasi dari hipoksia sitotoksik dengan asidosis laktat akan menekan
CNS, area paling sensitif terhadap anoksia, yang menyebabkan henti nafas dan
kematian.11

16

Pada kasus keracunan sianida peroral, efek racun menjadi lebih kronis dan
ringan karena pada jalur ini, sianida terlebih dahulu melewati detoksifikasi hati.
Akan tetapi paparan sianida yang terus menerus dapat mengakibatkan
berkurangnya dopamine yang diasosiasikan dengan timbulnya parkinson yang
progresif. Intoksikasi sub letal dari sianida juga dapat menimbulkan distonia.
Detoksifikasi sianida oleh hati melibatkan enzim mitokondria rhodanese yang
mengkatalisasi transfer gugus sulfur dari thiosulfate menjadi thiosianat yang
merupakan rate limiting step. Sebanyak 80% metabolisme sianida melaui jalur ini.
Jalur lain, sianida didetoksifikasi melalui penggabungan gugus sian (CN) dengan
hidroksikobalamin menjadi cyanocobalamin (vitamin B12). Thiosianat nantinya
akan dibuang melalui urine sementara cyanocobalamin akan dipakai sebagai
kofaktor berbagai reaksi lain di tubuh. Walaupun sebagian besar HCN telah
dibuang dalam bentuk tiosianat ke urine, bentuk bebasnya masi terdapat di paru,
air liur dan keringat.11
2.2.7 Toksisitas
Tingkat toksisitas dari sianida bermacam-macam tergantung dari bentuk dan
cara masuknya ke dalam tubuh. Takaran toksik peroral untuk HCN adalah 60-90
mg sementara untuk KCN atau NaCN adalah 200 mg. Pada inhalasi sianida dari
udara, gas sianida dalam menimbulkan efek tergantung dari konsentrasi dan
lamanya paparan. Pada kadar 20 ppm gejala keracunan sianida sangat ringan dan
muncul setelah beberapa jam. Kadar sianida 100 ppm sangat berbahaya karena
akan menimbulkan gejala dalam 1 jam. Bahkan kadar sianida antara 200 hingga
400 ppm dikatakan mampu membuat seseorang meninggal dalam waktu 30
menit.4
Dosis letal dari beberapa bentuk sianida adalah sebagai berikut:14
-

Asam hidrosianik sekitar 2,5005,000 mgmin/m3

Sianogen klorida sekitar 11,000 mgmin/m3.

Perkiraan dosis intravena 1.0 mg/kg,

Perkiraan dalam bentuk cairan yang mengiritasi kulit 100 mg/kg.


Pada beberapa orang terdapat suatu mekanisme unik yang menyebabkan

paparan dosis lethal tidak menimbulkan kematian. Kondisi ini dikenal dengan
nama imunitas rasputin. Daya toleransi yang tinggi pada orang ini disebabkan
oleh karena daya detoksifikasinya yang berlebihan. Hal ini di dapat dicapai
17

dengan mengubah CN menjadi sianat dan sulfosianat atau tidak terurainya garam
CN yang tertelan menjadi HCN karena pH lambung yang basa. Teori lain yang
dikemukakan adalah berubahnya bentuk sianida menjadi garam karbonat dalam
penyimpanan sehingga menjadi tidak toksik.4
2.2.8 Manifestasi Klinis Keracunan Sianida
Efek utama dari racun sianida adalah timbulnya hipoksia jaringan yang
timbul secara progresif. Akan tetapi, gejala dan tanda fisik yang ditemukan sangat
tergantung dari dosis sianida, banyaknya paparan, jenis paparan, dan bentuk dari
sianida. Sianida berefek pada banyak sistem organ, seperti pada tekanan darah,
penglihatan, paru, saraf pusat, jantung, sistem endokrin, sistem otonom dan sistem
metabolisme. Penderita akan mengeluh timbul rasa pedih dimata karena iritasi dan
kesulitan bernafas karena mengiritasi mukosa saluran pernafasan. Hal yang
khusus yang dapat diperhatikan pada penderita dengan keracunan sianida adalah
adanya warna merah terang pada arteri dan vena retinal pada pemeriksaaan
dengan funduskopi.14
Dalam konsentrasi rendah, efek dari sianida baru muncul sekitar 15-30
menit kemudian, sehingga masih bisa diselamatkan dengan pemberian antidote.
Tanda awal dari keracunan sianida adalah hiperpnea sementara, nyeri kepala,
dispnea, kecemasan, perubahan perilaku seperti agitasi dan gelisah, berkeringat
banyak, warna kulit kemerahan atau cherry red karena darah vena banyak
mengandung oksigen, tubuh terasa lemah dan vertigo juga dapat muncul.14
Pada paparan sianida dengan konsentrasi tinggi, hanya dalam jangka waktu
15 detik tubuh akan merespon dengan hiperpnea, 15 detik setelah itu seseorang
akan kehilangan kesadarannya. 3 menit kemudian akan mengalami apnea yang
dalam jangka waktu 5-8 menit akan mengakibatkan aktifitas otot jantung
terhambat karena hipoksia dan berakhir dengan kematian. Tanda akhir sebagai ciri
adanya penekanan terhadap CNS adalah koma dan dilatasi pupil, tremor, aritmia,
kejang-kejang, koma penekanan pada pusat pernafasan, gagal nafas sampai henti
jantung, tetapi gejala ini tidak spesifik bagi mereka yang keracunan sianida
sehingga menyulitkan penyelidikan apabila penderita tidak mempunyai riwayat
terpapar sianida.14
2.2.9 Diagnosis Keracunan Sianida
Untuk menentukan diagnosa kasus keracunan diperlukan
18

1.

Anamnesa kontak antara korban dengan sianida atau yang dicurigai


sebagai sumber sianida

2.

Ada gejala dan tanda keracunan sianida

3.

Dari benda bukti, harus dapat dibuktikan bahwa benda bukti tersebut
memang mengandung racun sianida

4.

Dari bedah mayat, dapat ditemukan adanya perubahan atau kelainan yang
sesuai dengan keracunan sianida dan tidak ditemukan adanya penyebab
kematian lain

5.

Analisa kimia atau pemeriksaan toksikologi harus dapat dibuktikan adanya


racun sianida dan atau metabolitnya, dalam tubuh atau cairan tubuh korban
secara sistemik.6

2.2.10 Pemeriksaan Kematian Keracunan Sianida


-Pemeriksaan luar
Tercium bau amandel yang patognomonik untuk keracunan CN, dapat
tercium dengan menekan dada mayat sehingga akan keluar gas dari mulut dan
hidung. Bau ini harus cepat dapat ditentukan karena indera pencium kita cepat
teradaptasi sehingga tidak dapat membaui bau khas tersebut.1Selain itu, secara
genetik 40% populasi tidak dapat mencium bau tersebut karena hal ini bersifat
genetic sex-linked trait
Penampakan lebam mayat pada kondisi ini cukup bervariasi. Yang klasik
dikatakan menjadi berwarna merah bata, sesuai dengan kelebihan oksi
hemoglobin

atau

sianmethemoglobin

(karena

jaringan

tidak

dapat

menggunakan oksigen). Banyak deskripsi lebam mayat yang mengarah pada


kulit yang berwarna merah muda gelap atau bahkan merah terang, terutama
bergantung pada daerahnya, yang dapat dibingungkan dengan karboksi
hemoglobin (HbCO). Terdapat pula kemungkinan muntahan hitam disekitar
bibir. Hal lain dapat dilihat adanya tanda-tanda sianosis seperti kebiruan pada
bibir dan ujung jari-jari. Akan tetapi jika lebih dari 24 jam maka tanda ini akan
dikacaukan oleh perubahan postmortal. Tanda lain adalah adanya perdarahan
berbintik pada selaput biji mata dan kelopak mata.6
-Pemeriksaan dalam
Sebelum pemeriksaan dalam dilakukan sangat penting diketahui bahwa
pemeriksaan dalam (autopsi) korban dengan keracunan sianida cukup beresiko
karena pemeriksa akan terpapar sianida dalam waktu yang cukup lama.11
19

Kematian oleh karena sianida disebabkan oleh karena histotoksik


hipoksia maka tanda-tanda asfiksia dapat dilihat pada pemeriksaan dalam
seperti adanya kongesti organ-organ dalam akibat perbendungan sistemik.
Organ dalam terlihat membesar dan jaringan di dalam mungkin juga menjadi
berwarna merah muda terang disebabkan karena oksi-hemoglobin yang tidak
dapat digunakan oleh jaringan - yang mungkin lebih umum terjadi dari pada
karena sianmethemoglobin. Selain itu terjadi kongesti pada paru-paru dan
dilatasi jantung kanan.6
Striae pada lambung dapat mengalami kerusakan hebat dan terlihat
menutupi permukaan, selain itu terdapat resapan darah pada lekukan mukosa.
Ini terutama disebabkan kekuatan alkali yang kuat dari hidrolisa garam-garam
natrium dan kalium sianida. Pada kasus keracunan berat, lambung akan
ditandai dengan striae berwarna merah gelap. Lambung dapat berisi darah
maupun rembesan darah akibat erosi maupun pendarahan di dindingnya. Jika
sianida berada dalam larutan encer, kerusakan yang terjadi lebih minimal.
Apabila racun masuk secara oral maka kekuatan alkali dari sianida akan
mengiritasi saluran cerna. Esofagus dapat mengalami kerusakan, terutama pada
bagian mukosa pada sepertiga distal, terutama saat post mortem dimana terjadi
regurgitasi isi perut karena relaksasi dari sphincter. Organ lain tidak
menunjukkan perubahan yang spesifik dan diagnosis dibuat berdasarkan bau
dan warna kemerahan pada jaringan dalam tubuh.11
Verslag dalam bukunya mengatakan terdapat beberapa perubahan histologis
yang mengindikasikan adanya kematian akibat defisiensi oksigen melalui asfiksia
yaitu:
1.

Hilangnya lemak terutama pada vakuola sitoplasma dari epitel


pada jaringan hati, sel otot jantung, dan sel pada tubulus renal

2.

Pembengkakan sel endotel pada otak dan otot jantung

3.

Mobilisasi dan proliferasi dari makrofag alveolar dengan


pembentukan sel raksasa polinuklear (hanya terjadi pada paru-paru yang
sehat)

4.

Presipitasi droplet hialin pada epitel hati

5.

Perdarahan pada paru-paru dan otak

20

6.

Degenarasi sel ganglion dan hilangnya substansi Nissl terutama


pada girus hippocampus
Emfisema akut pada jaringan interstistial dan alveolar paru.15

7.

2.2.11 Pemeriksaan Toksikologi Kasus Keracunan Sianida


Jumlah sianida yang ditemukan dalam pemeriksaan tergantung jumlah
sianida yang masuk dalam tubuh dan waktu antara masuknya sianida dengan
kematiannya. Yang mana akhir-akhir ini biasanya diukur dalam menit, atau pada
kasus dengan dosis rendah dan sempat diterapi, korban dapat bertahan hidup
dalam jam bahkan hari. Sianida yang ditemukan dalam jumlah cukup adalah bukti
bahwa sianida telah masuk dalam tubuh yang mana hal itu sendiri tidak normal
dan dikonfermasi sebagai barang bukti dari terjadinya keracunan. Akan tetapi,
Karhunen et al telah melaporkan kasus dimana seorang tersangka pembunuhan
terbakar dan pada post mortemnya menunjukkan tingkat sianida dalam darah 10
mg/l, yang diperkirakan sesuai dengan difusi pasif dari sianida melalui seluruh
cavitas tubuh yang terbuka saat terjadinya kebakaran. Maka dari itu sangat
penting untuk mengidentifikasi sumber pasti sianida pada kasus- kasus keracunan
dan rute masuknya zat ke dalam tubuh sehingga dapat diketahui penyebab
kematiannya.11
Beberapa spesimen yang dapat diambil untuk pemeriksaan laboratorium
adalah
1.

Lambung (isi dan jaringannya). Material ini berguna untuk mengetahui


keracunan sianida peroral atau pada kasus mati mendadak dimana terdapat
sejumlah besar obat-obat yang tidak terabsorpsi pada lambung. Pada kasuskasus overdosis obat maka lambung harus diambil seluruhnya. Jika terdapat
tablet atau capsul pada lambung maka harus ditempatkan di kontainer
terpisah dan dikirim bersama specimen lambung.

2.

Hati. Specimen ini berguna untuk kasus keracunan yang kompleks.


Biasanya diambil 100 gram pada dari lobus kanan karena tidak
terkontaminasi dengan empedu.

3.

Darah. Dianjurkan untuk mengambil spesimen darah dari berbagai


pembuluh darah perifer. Khasnya, tingkat sianida darah dalam 1 serial kasus
yang fatal antara 1-53 mg/l, dengan rata-rata 12 mg/L. 9 Kadar sianida normal

21

dalam darah sebesar 0,016-0,014mg/L.10 Selain pemeriksaan kadar sianida


dapat juga dilakukan pemeriksaan pH darah yang akan menjadi lebih asam
karena peningkatan asam laktat.
4.

Otak. Pada kasus-kasus dimana sumber sianida tidak diketahui, dianjurkan


untuk mengambil sampel otak kurang lebih 20 gram dari bagian dalam untuk
mengkorfirmasi keberadaan sianida.

5.

Paru-paru. Jika kematian mungkin disebabkan oleh inhalasi gas hidrogen


sianida, paru-parunya harus dikirim utuh, dibungkus dalam kantong yang
terbuat dari nilon (bukan polivinil klorida).

6.

Limpa merupakan jaringan dengan konsentrasi sianida yang paling tinggi,


diperkirakan karena limpa banyak mengandung sel darah merah, dalam 1
serial seperti diatas, tingkat sianida limpa berkisar antara 0,5-398 mg/l,
dengan rata-rata 44 mg/l. Dalam serial lain, tingkat sianida darah rata-rata 37
mg/l.

7.

Urine. Ekskresi sianida pada urine dalam beberapa bentuk salah satunya
adalah tiosianat.5 Pada orang yang tidak merokok konsentrasi tiosianat
berkisar antara 1-4mg/L sementara pada perokok konsentrasinya hingga 312mg/L.16
Penting untuk membawa sampel ke laboratorium sesegera mungkin (dalam

beberapa hari) untuk menghindari struktur sianida yang tidak seperti aslinya lagi
dalam sampel darah yang telah disimpan. Hal ini biasanya dapat terjadi akibat
suhu ruangannya, sehingga jika ada penundaan, sampel darah dan jaringan
sebaiknya disimpan pada suhu 4 derajat celcius dan harus dianalisa sesegera
mungkin. Akan tetapi kualitas sampel telah menurun walaupun dengan adanya
pendingin. Lebih dari 70% isi sianida dapat hilang setelah beberapa minggu,
akibat reaksi dengan komponen jaringan dan konversi menjadi thiosianad.
Sebaliknya, sampel postmortem yang terlalu lama disimpan dapat menghasilkan
sianida akibat reaksi dari bakteri. Pencegahan terhadap hal ini dengan
mempergunakan kontainer yang berisi 2% sodium flourida.17
2.2.12 Pemeriksaan Laboratorium
1.1 Uji kertas saring

22

Kertas saring dicelupkan ke dalam larutan asam pikrat jenuh, biarkan hingga
lembab. Teteskan satu tetes isi lambung atau darah korban, diamkan sampai agak
mengering, kemudian teteskan Na2CO3 10% 1 tetes. Uji positif bila terbentuk
warna ungu.4
Kertas saring dicelupkan ke dalam larutan HJO3 1%, kemudian ke dalam
larutan kanji 1 % dan keringkan. Setelah itu kertas saring dipotong-potong seperti
kertas lakmus. Kertas ini dipakai untuk pemeriksaan masal pada para pekerja yang
diduga kontak dengan CN. Caranya dengan membasahi kertas dengan ludah di
bawah lidah. Uji positif bila warna berubah menjadi biru. Hasil uji berwarna biru
muda meragukan sedangkan bila warna tidak berubah (merah muda) berarti tidak
terdapat keracunan CN.4
Kertas saring dicelup ke dalam larutan KCl, dikeringkan dan dipotongpotong kecil. Kertas tersebut dicelupkan ke dalam darah korban, bila positif maka
warna akan berubah menjadi merah terang karena terbentuk sianmethemoglobin. 7
1.2 Reaksi Schonbein-Pagenstecher (reaksi Guajacol)
Caranya adalah dengan memasukkan 50 mg isi lambung/jaringan ke dalam
botol Erlenmeyer. Kertas saring (panjang 3-4 cm, lebar 1-2 cm) dicelupkan ke
dalam larutan guajacol 10% dalam alkohol, kemudian dikeringkan. Lalu
dicelupkan ke dalam larutan CuSO4 0,1% dalam air dan kertas saring
digantungkan di atas jaringan dalam botol. Botol tersebut dihangatkan. Bila hasil
reaksi positif, akan terbentuk warna biru-hijau pada kertas saring. Reaksi ini tidak
spesifik, hasil positif semu didapatkan bila isi lambung mengandung klorin,
nitrogen oksida atau ozon; sehingga reaksi ini hanya untuk skrining.4
1.3 Reaksi Prussian Blue (Biru Berlin)
Isi lambung/jaringan didestilasi dengan destilator. 5 ml destilat + 1 ml
NaOH 50% + 3 tetes FeSO4 10% rp + 3 tetes FeCl3 5%, panaskan sampai hampir
mendidih, lalu dinginkan dan tambahkan HCl pekat tetes demi tetes sampai
terbentuk endapan Fe(OH)3, teruskan sampai endapan larut kembali dan terbentuk
biru berlin.4
1.4 Cara Gettler Goldbaum
Dengan menggunakan 2 buah flange (piringan) dan di antara 2 flange
dijepitkan kertas saring Whatman No.50 yang digunting sebesar flange. Kertas
saring dicelupkan ke dalam larutan FeSO4 10% rp selama 5 menit, keringkan lalu
celupkan ke dalam larutan NaOH 20% selama beberapa detik. Letakkan dan
jepitkan kertas saring di antara kedua flange. Panaskan bahan dan salurkan uap

23

yang terbentuk hingga melewati kertas saring bereagensia antara kedua flange.
Hasil positif bila terjadi perubahan warna pada kertas saring menjadi biru.4
Analisa Sianida pada darah dapat mempergunakan metode calorimetrik.
Metode ini yang mempergunakan reagent pyrazolone merupakan teknik
konvensional untuk kuantifikasi sianida pada darah dan jaringan. Kelemahan
utama dari teknik ini adalah pengerjaannya yang rumit dan memakan waktu. Cara
yang lebih simpel, cepat dan tetap dapat dipercaya untuk kuantifikasi dari sianida
dalam darah adalah dengan mempergunakan Gas Cromatography Nitrogen
Phosporus Detection (GC-NPD). Metode ini jika dibandingkan dengan metode
standar calorimetric mempunyai hasil yang serupa sehingga dapat dipergunakan
untuk mendeteksi dan kuantifikasi sianida pada sampel darah postmortem.18
Cara lain penentuan kasus keracunan sianida dikemukakan oleh Varnell
pada penelitiannya yang memperlihatkan bahwa gambaran CT Scan kranial
setelah 3 hari kematian terlihat berbeda dengan kasus dengan hipoksia dan
iskemia serebral. Terlihat pembengkakan cerebral dengan hilangnya batas antara
substantia alba dan subtansia nigra dengan onset yang cepat menjadi petunjuk dari
diagnosis keracunan sianida akut. Kebanyakan kasus dengan gangguan serebral
seperti hipoksia dan iskemia tidak memperlihatkan perubahan ini pada waktu
yang sama cepatnya.19

BAB III
KESIMPULAN
Tanatologi berasal dari kata thanos (yang berhubungan dengan kematian)
dan logos (ilmu). Tanatologi adalah bagian dari Ilmu Kedokteran Forensik yang
mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor
yang mempengaruhi perubahan tersebut.
Sianida adalah zat beracun yang sangat mematikan. Sianida telah digunakan
sejak ribuan tahun yang lalu. Sianida juga banyak digunakan pada saat perang
dunia pertama. Efek dari sianida ini sangat cepat dan dapat mengakibatkan

24

kematian dalam jangka waktu beberapa menit. Sianida dalam dosis rendah dapat
ditemukan di alam dan ada pada setiap produk yang biasa kita makan atau
gunakan. Sianida dapat diproduksi oleh bakteri, jamur dan ganggan. Sianida juga
ditemukan pada rokok, asap kendaraan bermotor, dan makanan seperti bayam,
bambu, kacang, tepung tapioka dan singkong. Selain itu juga dapat ditemukan
pada beberapa produk sintetik.
Gejala yang ditimbulkan oleh zat kimia sianida ini bermacam-macam; mulai
dari rasa nyeri pada kepala, mual muntah, sesak nafas, dada berdebar, selalu
berkeringat sampai korban tidak sadar dan apabila tidak segera ditangani dengan
baik akan mengakibatkan kematian.
Untuk menentukan diagnosa kasus keracunan diperlukan anamnesa kontak
antara korban dengan sianida atau yang dicurigai sebagai sumber sianida, gejala
dan tanda keracunan sianida dan dari benda bukti, harus dapat dibuktikan bahwa
benda bukti tersebut memang mengandung racun sianida serta dari bedah mayat,
dapat ditemukan adanya perubahan atau kelainan yang sesuai dengan keracunan
sianida dan tidak ditemukan adanya penyebab kematian lain.
Analisa kimia atau pemeriksaan toksikologi harus dapat dibuktikan adanya
racun sianida dan atau metabolitnya, dalam tubuh atau cairan tubuh korban secara
sistemik. Penatalaksaan dari korban keracunan ini harus cepat, karena prognosis
dari terapi yang diberikan juga sangat tergantung dari lamanya kontak dengan zat
toksik tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
1

Baskin SI, Brewer TG. Cyanide Poisoning. Chapter. Pharmacology Division.


Army Medical Research Institute of Chemical Defense, Aberdeen Proving
Ground,

Maryland.

USA.

Tersedia:

www.bordeninstitute.army.mil/cwbw/Ch10.pdf. diakses pada tanggal 16


2

Februari 2016.
Anonymus.
Hydrogen

Cyanide

(HCN).

UN.

Tersedia

www.atsdr.cdc.gov/mhmi/mmg8.pdf. Diakses pada tanggal : 16 Februari 2016.

25

Centers for Disease Control and Prevention. The Facts About Cyanides. New
York

State

Department

Of

Health.

New

York.

2004.

Tersedia:

www.health.state.ny.us/nysdoh/bt/chemical_terrorism/docs/cyanide_general.p
df. Diakses pada tanggal : 16 Februari 2016.
4

Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, et al.Ilmu Kedokteran Forensik.


Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 1997.

Al-Fatih

II,

Muhammad.

Forensik.

Klinik

Indonesia.

Tersedia

http://www..klinik indonesia.com/forensik. 2007. Diakses pada tanggal 16


6

Februari 2016.
Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Jakarta: Binarupa

7
8

Aksara, 1997; p.25-36.


A Abdussalam. Forensik. Jakarta: Restu Agung, 2006; p. 41-43.
Hueske E. Firearms and Tool Mark The Forensic Laboratory Handbooks,

Practice and Resource. 2006.


Anonim. Forensic Pathology, Second Edition. USA: Oxford University Press,

1996; p.243-273.
10 Ballantyne B. 1983. Acute Systemic toxicity of cyanide by topical application
to the eye. Journal of Toxicology-Cutaneous and Ocular Toxicology, 2:119129.
11 ATSDR. 1997. Toxicology profile for cyanide. Atlanta, GA, United States
Department of Health and Human Service, Public Health Service, Agency for
Toxic Substance and Disease Registry.
12 Agency for Toic Substance and Disease Registry. Cyanide. Division of
Toxicology and Environmental Medicine. Atlanta. 2006. Available from :
http://www.atsdr.cdc.gov/toxprofiles/tp8.pdf . Access on February 15, 2016.
13 Alcorta R, FAcep MD, Smoke Inhalation & Hydrogen Cyanide Poisoning.
Jems Communication. EMD Pharmaceuticals. Elsevier. 2004. Available from :
http://www.firesmoke.org/wpcontent/uploads/2010/10/JEMS_Supplement.pdf
. Access on : February 15, 2016.
14 Utama,

Harry

Wahyudy.

Keracunan

Sianida.

2006.

http://blog.ub.ac.id/fawzy/files/2013/06/Keracunan-Sianida.pdf

Diakses

di

pada

15

Ferbuari 2016.
15 Bismuth, C., Clarmann, M.V., Dijk, A.V., Mallinckrodt, M.G.V., Hall., Heijst,
A.N.P., Marrs, T.C., Meredith, T.J., Parren, A.C.G.M., Persson, H., Taitelman,
U., 1993, Antidote for Poisoning by Cyanide, Cambrige University Press.
26

16 IPCS. 2004. Hydrogen cyanide and cyanide : Human health aspect. Geneva,
World Health Organization, International Programme on Chemical Safety
(Concise International Chemical Assessment Document No. 61). Diakses pada
tanggal 25 Oktober 2014.
17 Chishiro T, 2000. Clinical Aspect of Accidental Poisoning with Cyanide.
Asian Medical Journal 43(2) : 59-64.
18 Knight, B., 1996. Forensic Pathology. Edward Arnold, A Division of Hodder
and Stonghton. London.
19 Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N., 2005.Robbins and Cotran: Pathologic
Basis of Disease Seventh Edition. Elsevier Saunders Inc. Philadelphia.

27

You might also like