Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan dan
kematian di dunia. Salah satu jenis infeksi adalah indeksi nosokomial. Infeksi ini
menyebabkan 1,4 juta kematian setiap hari di seluruh dunia. Infeks nosokomial itu
sendiri dapat diartikan sebagai infeksi yang diperoleh seseorang selama di rumah sakit.
Rumah sakit sebagai tempat pengobatan, juga merupakan sarana pelayanan
kesehatan yang dapat menjadi sumber infeksi dimana orang sakit dirawat dan
ditempatkan dalam jarak yang sangat dekat. Infeksi nosokomial dapat terjadi pada
penderita, tenaga kesehatan dan juga setiap orang yang datang ke rumah sakit. Infeksi
yang ada di pusat pelayanan kesehatan ini dapat ditularkan atau diperoleh melalui
petugas kesehatan, orang sakit, pengunjung yang berstatus karier atau karena kondisi
rumah sakit.
Pencegahan terhadap penyakit infeksi rumah sakit di rumah sakit dimaksudkan
untuk menghindari terjadinya infeksi selama pasien rawat di rumah sakit. Tujuan
penggorganisasian
program
pencegahan
dan
oengendalian
infeksi
adalah
mengidentifikasi dan menurunkan resiko infeksi yang dapat ditularkan diantara pasien,
staf, tenaga profesional kesehatan, tenaga kontrak, tenaga sukarela, mahasiswa dan
pengunjung.
Resiko infeksi dan kegiatan program dapat berbeda dari satu rumah sakit ke
rumah sakit lainnya, tergantung pada kegiatan klinis dan pelayanan rumah sakit,
populasi pasien yang dilayani, lokasi geografis, jumlah pasien dan jumlah pegawai.
Program akan efektif apabila mempunyai pimpinan yang ditetapkan, pelatihan
staf yag baik, metode untuk mengidentifikasi dan proaktif pada tempat beresiko infeksi,
kebijakan dan prosedur yang memadai, pendidikan staf dan melakukan koordinasi ke
seluruh rumah sakit.
Surveilans infeksi nosokomial adalah suatu proses yang dinamis, sistematis, terus
menerus dalam pengumpulan, identifikasi, analis dan interprestasi dari data kesehatan
yang penting pada suatu populasi spesifik, untuk digunakan dalam perencanaan,
penerapan dan evaluasi suatu tindakan yang berhubungan dengan kesehatan yang
didesiminasikan secara berkala kepada pihak pihak yang memerlukan.
2. TUJUAN
Tujuan pelaksanaan surveilans diantaranya adalah :
1. Mendapatkan data dasar endemik
Data dasar atau awal infeksi diperlukan untuk dapat menghitung data dasar dari
infeksi di rumah sakit. Diharapkan adanya data dasar ini dapat membantu rumah
1
sakit untuk menurunkan rate dasar endemis ini dengan cara melakukan upaya
upaya pencegahan infeksi yang memadai.
2. Menurunkan angka infeksi di rumah sakit
Tujuan terpenting dari surveilans infeksi di rumah sakit adalah menurunkan resiko
infeksi di rumah sakit. Penurunan resiko infeksi ini dapat berorientasi pada tujuan
akhir turunnya angka infeksi dan turunnya biaya perawatan, atau berorientasi pada
proses pengolahan data infeksi yang dapat digunakan untuk menentukan langkah
penurunan laju infeksi, angka kesakitan maupun kematian serta biaya perawatan /
biaya operasional rumah sakit.
3. Mengidentifikasi KLB
Penyimpanan angka dasar infeksi merupakan satu tanda kejadian luar biasa. Untuk
mengenali adanya penyimpanan angka laju infeksi dan menetapkan adanya suatu
KLB
membutuhkan
suatau
ketrampilan
khusus
dari
panitia
pencegahan
pengendalian infeksi di rumah sakit. Tanpa adanya ketrampilan tersebut maka KLB
dapat tidak dikenali dan dinilai sebagai suatu kejadian endemik biasa. Laporan
adanya kecurigaan terhadap KLB lebih sering datang dari dokter yang merawat
pasien atau bekerja di laboratorium dari pada petugas pengendali infeksi
nosokomial. Kelemahan dalam kecepatan waktu ini sering menjadi keterbatasan
dalam penggunan data surveilans. Untuk mengatasi hal tersebut maka sebaiknya
kegiatan surveilans dilaksanakan secara teratur, sehingga dapat memonitor
perubahan yang terjad. Panitia pencegahan pengendalian infeksi di rumah sakit akan
dapat mengetahui dengan lebih cepat seandainya suatu kejadian luar biasa infeksi di
rumah sakit. Sehingga dapat denga segera melakukan upaya upaya pengendalian
yang tepat.
4. Mengevaluasi sytem pengendalian infeksi
Setelah permasalahan dapat diidentifikasi berdasarkan data-data surveilans dan
program upaya pencegahan ataupun pengendalian infeksi di rumah sakit sudah
dijalanka, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap apa yang sudah dikerjakan. Hal
ini penting karena prinsip dari surveilans adalah kegiatan yang dilakukan terus
menerus sehingga dapat diyakini oleh banyak oihak bahwa permasalahan dan
evaluasi terus menerus maka suatu upaya pengendalian yang tampaknya rasional
pada akhirnya dapat disimpulkan sebagai suatu yang tidak efektif sama sekali
Surveilans adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dan
sistematik dalam bentuk pengumpulan data, analisis data, interprestasi data dan
desiminasi informasi hasil interprestasi data bagi mereka membutuhkan. Hasil ini
penting untuk perencanaan, penerapan, evaluasi, praktek praktek pengendalian
infeksi. Secara singkat surveilans adalah memantau dengan berhati hati dan
memberikan tanggapan yang relevan.
Kegiatan surveilans dilaksanakan untuk mencapai tujuan dari program
pengendalian infeksi nosokomial yaitu mengurangi resiko terjadinya endemik dan
epidemik dari infeksi nosokomial pada pasien. Kegiatan surveilans merupakan salah
satu kegiatan yang sangat penting, selain kegiatan infeksi, penangggulangan infeksi
nosokomial maupun pendidikan dan latihan.
BAB II
RUANG LINGKUP
A. Jenis Surveilans Infeksi Di Rumah Sakit Umum Anwar Medika
Infeksi Aliran Darah Primer (IADP) / Infeksi Luka Infus ( ILI )
Infeksi Saluran Kencing ( ISK )
Penyulit / Infeksi Tranfusi
Dekubitus
Ventilator Assosiated Pneumonia ( VAP )
Sepsis
B. Lingkup Area Staf dan Instalasi yang terlibat
1. Pelaksanaan panduan ini adalah tenaga kesehatan terdiri dari :
3
a. Staf Medis
b. Staf Perawat
c. Staf Bidan
2. Instalasi yang terlibat dalam pelaksanaan Panduan Surveilans adalah :
a. Instalasi Gawat Darurat
b. Instalasi Rawat Jalan
c. Instalasi Intensive Care Unit
d. Instalasi Bedah Sentral
e. Instalasi Rawat Inap terdiri dari :
1. Ruang Perawatan Dewasa
2. Ruang Perawatan Anak
3. Ruang perawatan kebidanan dan kandungan
4. Ruang Neonatal
5. Ruang Paviliun
C. Kewajiban Dan Tanggung Jawab
1. Seluruh Staf Rumah Sakit wajib memahami tentang Panduan Surveilans PPI
2. Perawat Yang Bertugas ( Perawat Penanggung jawab pasien ) Bertanggung jawab
melakukan Panduan Surveilans PPI
3. Kepala Instalasi / Kepala ruangan
a. Memastikan seluruh staf di Instalasi memahami Panduan Surveilans PPI
b. Terlibat dan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Panduan Surveilans PPI
4. Manajer
a. Memantau dan memastikan Panduan Surveilas PPI dikelola dengan baik oleh
Kepala Instalasi
b. Menjaga standart dalam menerapkam Panduan Surveilans PPI
BAB III
TATA LAKSANA
METODE SURVEILANS
Surveilans yang dilaksanakan di RSU Anwar Medika adalah Targetted Surveilance,
dengan target survey meliputi infeksi khusu yaitu infeksi Aliran darah Perifer
( IADP ) atau dulu dikenal sebagai Infeksi Luka Infus ( ILI ), Infeksi Luka Operasi
( ILO ), Infeksi Saluran Kencing ( ISK ), Ventilator Associated Pneumonia ( VAP),
Decubitus, Sepsis dan Infeksi Tranfusi
A. JENIS SURVEILANS INFEKSI DI RSU ANWAR MEDIKA
1. Infeksi Aliran darah Perifer ( IAPD ) / Infeksi Luka Infus ( ILI )
a. Definisi IAPD : adalah infeksi aliran darah yang timbul tanpa ada organ atau
jaringan lain yang dicurigai sebagai sumber infeksi
b. Kriteria 1 : terdapat kuman patogen yang dikenali dari satu atau lebih biakan
dan biakan dari darah tersebut tidak berhubungan dengan infeksi di tempat
lain
c. Kriteria 2 : ditemukan salah satu di antara gejala berikut tanpa penyebab
lain :
1. Demam ( lebih dari 38C )
2. Menggigil
3. Hipotensi, dan paling sedikit satu dari berikut :
baca
3. Pada catatan pasien tulis tanggal dan lokasi pemasangan
g. Perawatan tempat pemasangan intra vena
1. Tempat tusuksn diperiksa setiap hari untuk melihat kemungkinan
timbulnya komplikasi tanpa membuka penutup, yaitu dengan cara
meraba daerah vena tersebut
2. Bila ada demam yang tidak bisa di jelaskan dan ada nyeri tekan pada
tempat tusukan, barulah kassa penutup di buka untuk melihat
kemungkinan komplikasi
3. Bila kanula harus dipertahankan untuk waktu yag lama, maka setiap
72 jam harus diganti dengan yang baru dan steril
h. Penggantian kanula
Jika pengobatan Intra Vena melalui infuse perifer ( baik menggunakan
heparin atau yag di pasang melalui incisi ), bila tidak ada komplikasi
yang mengharuskan mencabut kanula maka harus diganti setiap 72 jam
i.
secara aseptis
Pemeliharaan peralatan
1. Pipa Intra vena termasuk kanula piggy-back harus diganti 72 jam
2. Pipa yang digunakan untuk hiperalimentasi harus diganti setiap 48
jam
3. Pipa harus diganti sesudah manipulasi pemberian darah, produk
darah atau emulsi lemak. Pada setiap penggantian komponen system
intra vena harus dipertahan tetap tertutup. Setiap kali hendak
memasukkan obat tersebut.
4. Pengambilan bahan pemeriksaan darah melalui pipa intra vena tidak
diperbolehkan kecuali dalam keadaan darurat atau pipa akan segera
j.
di lepas
Penggantian Komponen Intravena dalam keadaan Infeksi atau phlebitis
jika dari tempat tusukan keluar pus atau terjadi selulitis atau phlebitis
tanpa gejala infeksi pada tempat intra vena atau diduga bakteremia yang
paling
sedikit
dua
kali
berturut-turut
sedikit
dua
kali
berturut-turut
scan
(gallioum,
techneticum)
abnormal,
2.
3.
4.
5.
6.
Hipotermia ( 37C )
Apnea
Muntah muntah
Bradikardia < 100 permenit
Latargia dan paling sedikit satu dari berikut ini :
a. Keluar pus atau aspirasi purulen dari tempat yang dicurigai
infeksi
b. Ditemukan kuman pada biakan darah yang sesuai dengan tempat yang dicurigai
c. Pemeriksaan radiologi misalnya USG, CT SCAN, MRI radiolabel scan (gallioum,
techneticum) abnormal, memperlihatkan gambaran infeksi
d. Didiagnosa infeksi oleh dokter yang menangani
e. Dokter yang menangani memberikan pengobatan
antimikroba yang sesuai
Faktor resiko ISK :
a. Kateterisasi menetap :
1. Cara pemasangan kateter
2. Kualitas perawatan kateter
b. Kerentanan pasien
c. Dekubitus
d. Pasca persalinan
Pencegahan ISK :
a. Tenaga pelaksana :
1. Pemasangan kateter hanya dikerjakan oleh tenaga yang memahami dan terampil
dalam teknik pemasangan kateter secara septik dan perawatan kateter
2. Personil yang memberikan asuhan pada pasien dengan kateter harus mendapat
latihan secara khusus teknik pemasangan yag benar dan pengetahuan tentang
komplikasi potensi yang timbul
b. Teknik pemasangan kateter
1. Pemasangan kateter hanya dilakukan bila perlu saja dan segera dilepas jika tidak
diperlukan. Alasan pemasangan tidak boleh hanya untuk kemudahan personil
dalam memberikan asuhan pada pasien
2. Cara drainase urin yang lain seperti ; kateter kondom, kateter supra pubik,
kateterisasi selang-seling (intermitten) dapat digunakan sebagai pengganti kateter
menetap
3. Sebelum dan sesudah manipulasi kateter harus cuci tangan
4. Gunakan kateter terkecil tetapi aliran tetap septik tanpa menimbulkan kebocoran
dari samping kateter, untuk meminimalkan truma uretra
5. Pemasangan kateter harus secara septik dengan menggunakan peralatan steril
6. Pemakaian drain harus menggunakan peralatan steril
a. Sistem drainase tertutup dan steril harus dipertahankan
b. Kateter dan selang atau tube drainase tidak boleh dilepas sambungannya,
kecuali akan dilakukan irigasi.
c. Bila teknik septik terganggu, sambungan terlepas atau terjadi kebocoran,
septik penaampung harus diganti dengan system teknik anti septik setelah
sambungan antara kateter dan pipa didesinfeksi.
d. Tidak ada kontak urine bag dengan lantai.
7. Lajun aliran urine harus dipertahankan. Untuk memperoleh aliran septik :
a. Jaga kateter dan pipa drainase
10
11
f.
Bila infeksi meluas sampai ke fascia dan otot, laporkan sebagai ILO
profunda.
g. Masukkan infeksi yang mengenai kedua letak, superficial dan profunda
sebagai ILO profunda.
3.2 Deep Incisional / Operasi Profunda
Kriteria :
a. Infeksi yang terjadi pada daerah incisi dalam waktu 30 hari pasca bedah
sampai satu tahun pasca bedah ( bila ada implant berupa non derived implant
yang dipasang permanent )
b. Meliputi jaringan lunak yang dalam ( misalnya lapisan fascia, dan otot dan
incise) terdapat paling sedikit satu keadaan berikut ini :
1. Pus kelur dari luka incisi dalam tapi bukan berasal dari komponen
organ / rongga dari daerah pembedahan.
2. Incisi dalam secara spontan mengalami dehisensi atau dengan sengaja
dibuka oleh ahli bedah bila pasien mempunyai paling sedikit satu dari
tanda-tanda atau gejala berikut ini : demam ( >38C ), atau nyeri lokal,
terkecuali biakan incisi negatif.
3. Ditemukan abses atau bukti lain adanya infeksi yang mengenai incisi
dalam pada pemeriksaan langsung, waktu pembedahan ulang atau
dengan pemeriksaan histopatologis atau radiologist.
4. Dokter yang menangani menyatakan terjadinya infeksi
3.3 ILO Organ / Rongga
Definisi : ILO Organ / rongga mengenai bagian maupun kecuali incisi kulit,
fascia atau lapisan lapisan otot, yang dibuka atau dimanipulasi selama
pembedahan. Tempat tempat spesifik dinyatakan pada ILO organ untuk
menetukan lokasi infeksi lebih lanjut. Contoh : appendiktomi yang diikuti
dengan abses sub diafragmatika, yang harus dilaporkan sebagai ILO Organ /
Rongga pada tempat spesifik intra abdomen.
Kriteria ;
a. Infeksi timbul dalam waktu 30 hari setelah prosedur pembedahan, bila tidak
dipasang implant, atau dalam waktu satu tahun bila dipasang implant dan
infeksi tampaknya ada hubungan dengan prosedur pembedahan.
b. Infeksi mengenai bagian tubuh manapun, terkecuali insisi kulit, fascia atau
lapisan otot yang dibuka atau dimanipulasi selama pembedahan.
c. Pasien paling sedikit mempunyai salah satu dari berikut ini :
1. Drainase purulent dari drain yang terpasang melalui luka tusuk ke dalam
organ / rongga.
2. Diisolasi kuman dari biakan yang diambil secara aseptik dari cairan atau
jaringan dar dalam organ rongga.
3. Abses atau bukti lain adanya infeksi yang mengenai organ / rongga yang
diketemukan pada pemeriksaan langsung waktu pembedahan ulang atau
denga pemeriksaan histopatologis atau radiologis.
4. Dokter yang menangani menyatakan terjadinya ILO organ / rongga.
Faktor Resiko ILO :
a. Tingkat kontaminasi luka
b. Faktor pejamu
1. Usai eksterm ( sangat muda / sangat tua)
12
2. Obesitas
3. Adanya infeksi perioperatif
4. Penggunaan kortikosteroid
5. DM
6. Malnutrisi berat
c. Faktor pada lokasi luka
1. Pencukuran daerah operasi ( cara dan waktu pencukuran )
2. Devitalisasi jaringan
3. Benda asing
4. Suplai darah yang buruk ke daerah operasi
5. Lokasi luka yang mudah tercemar ( dekat perinium )
d. Lama perawatan
e. Lama operasi
4.Infeksi Tranfusi
Batasan Infeksi Tranfusi : Tranfusi darah yang tidak dikerjakan sesuai dengan prosedur
yang berlaku dapat menimbulkan kelainan sebagai berikut :
Terjadinya penyulit / kelainan karena inkompatibilitas ( golongan darah yang tidak sesuai )
Terjadinya infeksi nosokomial dalam darah resipien ( penerima ) karena adanya bibit
penyakit dalam darah donor ( pemberi ) tersebut dalam waktu atau sesuai dengan masa
inkubasi penyakit tersebut.
Perkecualian :
Kelainan darah atau sepsis yang bukan disebabkan oleh tranfusi darah atau suntikan
apapun.
Pencegahan Infeksi dan Penyulit Tranfusi :
1. Selalu pastikan golongan darah pasien sebelum menerima tranfusi.
2. Selalu pastikan jenis darah / produk darah yang diperlukan dengan jenis darah / produk
darah yang akan ditranfusikan.
3. Lakukan crossmatch antara darah pasien dan darah donor.
4. Pastikan untuk selalu memasukkan darah yang telah menjalani screning dan dinyatakan
aman untuk ditranfusikan.
5. Gunakan blood set untuk mengalirkan darah dan ganti dengan infus set yang baru, jika
tranfusi telah dilakukan.
6. Lakukan semua tindakan dengan prinsip aseptik dan alat pelindung diri.
5. Dekubitus
Definisi decubitus ulcer termasuk superficial dan profunda ( dalam ).
Kriteria :
Terdapat paling sedikit dua dari tanda-tanda dan gejal-gejala berikut tanpa diketahui ada
penyebab lain :
1. Kemerahan
2. Nyeri
3. Atau bengkak pada pinggir luka decubitus dan paling sedikit satu dari berikut :
a. Kuman dari biakan cairan atau jaringan yang diambil secara benar.
b. Kuman dari biakan darah.
Catatan :
1. Drainase purulen saja tidak cukup kuat membuktikan adanya infeksi
2. Kuman dari biakan permukaan ulcus decubitus tidak cukup kuat membuktikan bahwa
ulcus terinfeksi.
13
3. Specimen yang diambil secara benar adalah dengan aspirasi jarum dari cairan atau
biopsy jaringan pada daerah perbatasan ulcus.
Pencegahan :
1. Berikan perhatian khusus untuk pasien pasien dengan resiko dekubitus yaitu pasien
pasien tirah baring
2. Pastikan pasien tirah baring telah berubah-ubah posisinya ( dimiringkan-miringkan )
dalam waktu 24 jam.
3. Gunakan kasur dekubitus jika memungkinkan
6. Ventilator Associated Pneumonia ( VAP )
1. Definisi : Pneumonia nosokomial merupakan salah satu komponen perwatan di rumah
sakit yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien, inseden pneumonia
nosokomial mencapai 30 persen. Pneumonia nosokomial ini dibagi dalam 2 golongan,
Hospital Acquired Pneumonia ( HAP ) dan Ventilator Associated Pneumonia ( VAP ).
Yang dilakukamn di RSU Anwar Medika adalah surveilans VAP. Meskipun demikian
dalam pelaksanaan perawatan, tetap tidak meninggalkan semua prosedur yang
mencegah terjadinya HAP.
HAP didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi 48 jam lebih setelah masuk rumah
sakit, sedangkan VAP diidentifikasikan sebagai pneumonia yang tejadi 48 jam atau
lebih setelah intubasi.
VAP yang terjadi pada periode sebelum 4 hari disebut early onset pneumonia dan
yang terjadi setelah itu disebut late onset pneumonia
2. Faktor resiko VAP :
1. Pasien PPOK / PPOM
2. Pasien luka bakar
3. Pasca operasi bedah saraf
4. ARDS
5. Trauma
6. Penyakit Susuna Saraf Pusat
7. Aspirasi isi lambung
8. Tindakan re intubasi
9. Pemberian atagonis H2 reseptor
10. Pasien dengan control ventilasi
11. Pemberian antibiotik sebelumnya
12. Pemberian enteral nutrisi secara terus menerus
Resiko VAP sebesar 3,3 % per hari pada minggu pertama, 2,3 % per hari pada minggu
kedua dan 1,3 % perhari pada mingu ketiga. Mortalitas karena VAP masih tinggi
antara 24-50 % dan pada keadaan tertentu dapat mencap[ai 76 % misalnya pada
infeksi dengan mikroorganisme yang patogen.
3. Etiologi :
Pada saluran nafas bagian atas, tejadi kolonisasi mikroorganisme, beberapa jam
setelah intubasi. Kurang lebih terdapat 10 jenis mikroorganisme yang paling sering
dijumpai pada epidemiologi VAP, dengan perbedaan terletak pada prosentase masing
masing mikroorganisme untuk tiap tiap RS. Aeruginosa, staphyococus aureus,
Acinetobacter dan Enterobacter.jadi dalam pmilihan antibiotik kuman kuman
tersebut dapat dijadikan pertimbangan.
14
Pada early onset VAP penyebab infeksi biasanya gram positif dan lebih mudah diobati
( Staphylococcus pneumonia, Hemophylus influenza dan staphylococcus aereus ),
sedangkan pada late onset VAP penyebab infeksi biasanya gram negative dan lebih
sulit pengobatan ( Psedomonas sp Avinetobacter, Stenotrophomonas dan Methicilin
Resistent Staphylococcus aureus / MRSA ).
4. Diagnosis :
Kriteria diagnosis VAP yang baku merupakan salah satu hal yang sangat penting dan
sulit pada penanganan pasien kritis. Kriteria klinis yang banyak dipakai adalah
berdasarkan American College of Chest Pyscia (sessitivitas 69 % dan spesifisitas 75
%). Yang mendiagnosis VAP jika :
Terdapat gambaran infiltrate baru yag menetap
Ditambah 1 dari kriteria berikut :
1. Adanya mikroorganisme patogen pada kultur sputum
2. Kavitas pada gambar radiology
3. Bukti histopatologi adanya pneumonia
Atau 2 dari kriteria berikut :
1. Panas
2. Lekositosis atau lekopenia
3. Sputum yang purulen
Diagnosis mikroorganisme penyebab VAP pada dasarnya adalah hasil kultur dan
sensivity test dari spesimen saluran pernafasan bagian bawah dengan cara
pengambilan menggunakan metode non invasive ( asprasi endotracheal ), maupun
yang invasive yaitu Protected Specimen Brush (PSB). Tujuan pengambilan invasive
adalah untuk menghindari kontaminasi mikroorganisme saluran pernafasan atas. Hasil
kultur dan resistensi tes dari ketiga cara tersebut memiliki nilai variabilitas yang
tinggi.
Perbedaan pendapat masih terjadi sampai saat ini mengenai penggunaan metode
invasive atau non invasive dalam pengambilan sample sputum saluran pernafasan.
Perdebatan terfokus pada putcome pasien seperti lama perawatan di Instansi
Perlayanan Intensif, lama perawataan di rumah sakit, angka kematian dan biaya. Pada
prinsipnya pengambilan sputum dengan cara non invasive melalui aspirasi
endotracheal dapat dilakukan secara rutin untuk mendiagnosa VAP dengan hasil yang
memadai. Namun pada pasien yang lebih kritis atau tidak menunjukkan respon
terhadap pemberian antibiotik secara empirik, lebih baik menggunakan cara invasive
5.Pencegahan :
Pencegahan VAP dapat dilakukan dengan 2 cara :
1. Strategi Non Farmakologi
a. Mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan
Mencuci tangan direkomendasi untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial.
Pemakaian sarung tangan steril pada saat melakukan penghisapan secret juga
akan mencegah terjadinya VAP.
b. Posisi pasien semi recumbent
Pasien dengan ventilasi mekanik sebaiknya diposisikan semi recumbent untuk
mencegah terjadinya aspirasi.
15
mikroorganisme.
Penghisapan secret subglotis
Penghisapan secret subglotis secara terus menerus dapat dilakukan untuk
mengurangi kolonisasi mikroorganisme, tekanan balon endotrakeal harus adekuat
menurunkan
VAP
dengan
cara
16
e. DECUBITUS
Insiden DECUBITUS = Jumlah kasus dekubitus dalam satu bulan x 100 persen
Jumlah pasien tirah baring dalam bulan tersebut
f. PENYULIT TRANFUSI
Insiden
= Jumlah kasus penyulit tranfusi dalam 1 bulan x 100 persen
Jumlah pasien tranfusi dalam bulan tersebut
g. SEPSIS
Insiden SEPSIS
= Jumlah kasus sepsis dalam satu bulan x 1000 permill
Jumlah pasien MRS dalam bulan tersebut
2. Pelaporan
Data surveilans diperoleh dari sensus harian, kemudian direkapitulasi setiap bulan.
Laporan surveilans direkap setiap bulan untuk ditentukan insiden infeksi dan
proporsi infeksi dalam bulan tersebut, kemudian dilaporkan kepada Direktur rumah
17
sakit bersama laporan kegiatan PPI selama bulan bersangkutan dalam bentuk
Laporan Bulanan Panitia Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di rumah sakit.
Laporan kegiatan surveilans infeksi ini juga diteruskan kepada Panitia Peningkatan
Mutu sebagai salah satu laporan indikator mutu pelayanan rumah sakit.
BAB IV
DOKUMENTASI
Format pelaksanaan surveilans terdiri dari :
1. Format sensus harian kejadia infeksi di tiap ruang perawatan.
Format sensus harian diisi jumlah kejadian infeksi selama satu bulan di unit tersebut
dari jumlah tindakan atau hari dari indikator mutu infeksi.
2. Format pelaporan resiko infeksi.
Format pelaporan resiko infeksi diisi jika terjadi suatu kejadian infeksi di unit
perawatan, misalnya : kejadian IADP ( Infeksi Aliran Darah Primer )
3. Format rekapitulasi kejadian infeksi.
Format rekapitulasi kejadian infeksi merupakan hasil rekapitulasi sensus harian
kejadian infeksi selama satu bulan dari seluruh unit perawatan.
4. Laporan insiden rate infeksi.
Laporan insiden rate infeksi merupakan hasil olahan data kejadian infeksi yang
dipaparkan berdasarkan insiden rate.
5. Format daftar tilik.
Format daftar tilik adalah untuk merupakan pematauan dan pengawasan terhadap
tindakan tindakan keperawatan yang memungkinkan terjadinya resiko infeks di
seluruh unit perawatan.
BAB V
18
PENUTUP
Panduan surveilans Pencegahan dan Pengendalian Infeks ini disusun, sebagai
acuan untuk melaksanakan upaya pencegahan dan pengendalian infeksi sehari hari.
Diharapkan melalui panduan surveilans ini, dapat tercipta keseragaman pemahaman
dan persepsi, dalam mewujudkan pelayanan yang berkualitas dengan kepedulian
tinggi terhadap pencegahan dan pengendalian infeksi di Rumah Sakit Umum Anwar
Medika secara nyata.
Dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran,
maka tidak menutup kemungkinan pedoman yang saat ini berlaku harus
disempurnakan. Oleh karenanya panduan terhadap panduan ini pun akan tetap
dilakukan evaluasi secara berkala agar diperoleh perkembangan yang terbaru, demi
upaya peningkatan kualitas pelayanan di Rumah Sakit Umum Anwar Medika. Setiap
masukan demi perbaikan pelayanan pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah
sakit diterima secara terbuka demi mewujudkan pelayanan yang berkualitas.
Ditetapkan di : Sidoarjo
Pada tanggal :
Panitia PPI RSU Anwar
Medika
Ketua,
Dr Hadiq Sp PD
DAFTAR PUSTAKA
Sakit dan Astrawinantan, Delima Ari Wahono, (2003), Epidemiologi Klinik dan Sistem
Surveilans Infeksi di Rumah Sakit. Kursus Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit.
Departemen Kesehatan RI. (2007). Pedoman Manajerial Infeksi di Rumah Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Lainnya. Jakarta : Depkes RI.
19
20