You are on page 1of 26

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO 1 BLOK THT


Aduh Telingaku Bau!

Disusun oleh:
Kelompok Tutorial A3
Emirita Wulan P

G0011083

Melinda Didi Y

G0011137

Pertiwi Rahmadhany

G0011157

Rizka Abida F

G0011181

Sarah Nadya Rosana

G0011191

Winny Novietta K.N

G0011211

Andreas Agung Kurniawan

G0011021

Chandra Budi H

G0011057

I Nyoman Surya Ari W

G0011111

Yusiska Wahyu I

G0011215

Rr Vita Aprilina P

G0011185

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013

BAB I
PENDAHULUAN

Seseorang dengan riwayat alergi harus lebih berhati-hati dengan keadaan sekitar. Hal
ini disebabkan mudahnya seseorang tersebut untuk terpapar alergen yang ada di lingkungan
bebas. Selain itu, orang yang memiliki alergi tertentu dapat menderita suatu penyakit yang
masih bisa berhubungan dengan alerginya karena daya tahan tubuh yang menurun, seperti
pada skenario berikut:
Seorang buruh bangunan laki-laki usia 25 tahun, datang ke praktek dokter umum
dengan keluhan utama telinga kanan mengeluarkan cairan kuning, kental dan berbau busuk.
Pasien juga mengeluh telinga berdengingsehingga pendengaran terganggu, disertai kepala
pusing. Pasien sejak remaja sering pilek, disertai hidung tersumbat bergantian kanan dan
kiri terutama jika terpapar debu. Satu tahun yang lalu, telinga kanan keluar cairan encer,
jernih dan ada sedikit darah. Riwayat kambuh-kambuhan terutama jika batuk dan pilek.
Pada pemeriksaan otoskopi telinga kanan didapatkan: discharge mukopurulen dan
granuloma. Rinoskopi anterior terdapat : discharge seromukous, konka hipertrofi, livide.
Pemeriksaan pharing didapatkan : mukosa hiperemi. Selanjutnya, dokter merencanakan
pemeriksaan penunjang.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Telinga


1. Anatomi Telinga
Telinga (auris) terdiri dari auris externa, auris media/ cavitas tympani, dan auris
interna/ labyrinthus. Auris interna berisi organ cochlearis (pendengaran) dan
vestibularis (keseimbangan).
Auris Externa
Auris Externa terdiri dari auricula dan meatus acusticus externus.
a. Auricula mempunyai bentuk yang khas dan berfungsi untuk mengumpulkan getaran
udara. Auricula terdiri dari lempeng cartilago elastica tipis yang ditutupi oleh cutis.
Auricula mempunyai otot intrinsik dan ekstrinsik yang diinnervasi oleh nervus
facialis.
b. Meatus Acusticus Externus adalah saluran berkelok yang menghubungkan auricula
dengan

membrana

tympanica.

Meatus

acusticus

externus

berfungsi

untuk

menghantarkan gelombang suara dari auricula ke membrana tympanica.


Skeleton 1/3 bagian lateral meatus acusticus externus adalah
cartilago elastica (pars cartilaginea); dan 2/3 bagian medial adalah tulang
(pars ossea), yang dibentuk oleh tegmen tympani. Meatus acusticus
externus juga dilapisi oleh cutis, dan 1/3 bagian lateralnya mempunyai
lanugo, glandula sebacea, dan glandula ceruminosa. Glandula ceruminosa
merupakan modifikasi dari glandula sudorifera yang menghasilkan secret
lilin berwarna coklat kekuningan. Lanugo dan lilin ini merupakan
pelindung yang lengket , untuk mencegah masuknya benda asing. Saraf
sensorik yang menginnervasi cutis yang melapisi meatus acusticus
externus

berasal

dari

nervus

auriculotemporalis

(cabang

nervus

mandibularis) dan ramus auricularis nervi vagi.


Aliran limfe menuju ke nodi parotidei superficiales, mastoidei, dan
cervicales superficiales.

Auris Media

Auris media atau cavitas tympani adalah ruang berisi udara di dalam pars
petrosa ossis temporalis. Cavitas tympani berbentuk celah sempit yang dilapisi
oleh membrana mucosa. Ruangan ini berisi ossicula auditiva yang berfungsi
meneruskan getaran dari membrana tympanica ke perilympha auris interna. Di
anterior, cavitas tympanica berhubungan dengan nasopharynx melalui tuba
auditiva; dan di posterior dengan antrum mastoideum.
Auris media mempunyai atap, lantai, dinding anterior, dinding posterior,
dinding lateral, dan dinding medial.
a. Atap dibentuk oleh tegmen tympani yang tipis, yang merupakan bagian
dari pars petrosa ossis temporalis. Tegmen tympani memisahkan cavitas
tympani dari meningen dan lobus temporalis cerebri di dalam fossa cranii
media.
b. Lantai dibentuk oleh lempeng tipis tulang , yang mungkin sebagian
diganti oleh jaringan fibrosa. Lempeng ini memisahkan cavitas tympani
dari bulbus superius vena jugularis interna.
c. Dinding anterior di bentuk di bagian inferior oleh lempeng tipis tulang
yang memisahkan cavitas tympani dari arteria carotis interna. Di bagian
superior terdapat muara dari dua buah saluran. Saluran yang lebih besar
dan terletak lebih inferior menuju ke tuba auditiva; dan yang lebih kecil
dan terletak lebih superior menuju ke saluran untuk musculus tensor
tympani. Septum tulang tipis, yang memisahkan kedua saluran ini
diperpanjang ke belakang pada dinding medial.
d. Di bagian superior dinding posterior terdapat sebuah lubang besar yang
tidak beraturan, yaitu aditus ad antrum. Di bagian inferior terdapat
penonjolan yang berbentuk kerucut, sempit, dan kecil, yang disebut
pyramis. Dari bagian apex pyramis ini, keluar tendo musculus stapedius.
e. Dinding lateral sebagian besar dibentuk oleh membrana tympanica.
f. Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral auris interna. Bagian
terbesar dari dinding memperlihatkan penonjolan bulat, yang disebut
promontorium, yang disebabkan oleh lengkung pertama cochlea yang ada
di bawahnya. Di atas dan belakang promontorium terdapat fenestra
vestibuli/ fenestra ovalis yang berbentuk oval dan ditutupi oleh basis
stapedis. Pada sisi medial fenestra vestibuli, terdapat perilympha scalae
vestibuli auris interna. Di bagian bawah ujung posterior promontorium
terdapat fenestra cochleae/ fenestra rotunda, yang berbentuk bulat dan

ditutupi oleh membrana tympanica secundaria. Pada bagian medial


fenestra cochleae, terdapat perilympha pada ujung buntu scala tympani.
Auris Interna
Auris interna dibatasi sekelilingnya oleh tulang tengkorak. Di dalamnya
terdapat sistem keseimbangan (vestibular) yang terdiri dari 3 saluran setengah
lingkaran (canalis semicircularis) bersama bagian bernama sacculus dan utriculus.
Selain itu, terdapat pula organ pendengaran yang terdiri dari cochlea. Cochlea ini
menyerupai rumah siput dengan permukaan dalam yang berbentuk spiral.
2. Histologi Telinga
Telinga Luar
a. Daun Telinga
Daun telinga disusun oleh kartilago elastis yang ditutupi oleh kulit
yang tipis, yang menempel pada kartilago tesebut. Pada lapisan subkutis,
terdapat beberapa lembar otot lurik, yang pada manusia hanya berupa sisa
perkembangan, sedangkan pada hewan yang dapat menggerakkan telinganya,
otot ini berkembang dengan baik.
b. Meatus Akustikus Eksternus
Disusun oleh tulang rawaqn elastis, lanjutan dari daun telinga yang
ditutupi kulit dengan folikel rambut, kelenjar sebasea, dan kelenjar keringat
yang berdiferensiasi menjadi kelenjar seruminata yang akan menghasilkan
serumen.
Telinga Tengah
a. Membran Tympani
Di permukaan luarnya dilapisi oleh lapisan tipis epidermis, derivate
dari ectoderm. Sedangkan lapisan yang lebih dalam dilapisi oleh epitel gepeng
atau kuboid rendah, yang merupakan derivate endoderm. Diantara dua lapisan
inoi, terdapat serat kolagen, elastis, dan fibroblast.
b. Tuba Auditiva
Dilapisi oleh epitel selapis gepeng atau kuboid rendah pada bagian
yang lebih dekat dengan ruang telinga. Sedangkan pada bagian anteriornya,
dilapisi oleh epitel selapis silindris bersilia dengan sel goblet (Wonodirekso,
1990).
Telinga Dalam
a. Koklea

Merupakan organ berbentuk spiral yang mengelilingi modiolus. Di


dalam modiolus terdapat ganglion spiralis yang terdiri atas neuron bipolar
aferen. Akson panjang dari neuron bipolar ini akan menyatu menjadi nervus
cochlearis. Sedangkan dendrit yang lebih pendek akan menginervasi sel-sel
rambut dalam organ corti.
b. Ductus koklearis
Dinding luarnya dibentuk oleh area vaskuler yang disebut striae
vascularis. Epitel yang melapisinya adalah epitel berlapis yang mengandung
jalinan kapiler intraepithelial. Pada lamina proprianya, terdapat ligamentum
spiralis yang terdiri atas serat kolagen, fibroblast berpigmen, serta pembuluh
darah (Eroschenko, 2003).
3. Fisiologi Telinga
Telinga memiliki dua fungsi yakni sebagai alat pendengaran (organon
auditivus) dan keseimbangan (organon equilibrium) dimana sebagai pendengaran
untuk sensoris ada kokhlea yang mengandung reseptor untuk mengubah
gelombang suara menjadi impuls saraf sehingga kita bisa mendengar dan
apparatus vestibularis yang berfungsi untuk keseimbangan.
Proses mendengar dimulai dari adanya gelombang suara dari bagian luar
tubuh yang ditangkap oleh daun telinga kita yang kemudian melalui meatus
acusticus externus dihantarkan dari bagian luar ke tengah telinga dimana
gelombang suara tadi akan menggetarkan membran timpani. Getaran membran
timpani akan lanjut sebagai getaran tulang tulang pendengaran di telinga tengah
oleh maleus, incus, dan stapes. Getaran tulang pendengaran atau ossikula auditiva
tadi berakhir di ujung os stapes yaitu di basis stapedis yang akan menggetarkan
jendela oval (fenestra ovale) pada koklea dengan efek gerakan seperti piston.
Gerakan itu memicu gelombang tekanan di kompartemen atas atau skala vestibuli
koklea yang berisi perilimfe. Melalui skala vestibuli, getaran cairan perilimfe akan
lanjut mengelilingi helikotrema dan melalui skala timpani, menyebabkan jendela
bundar atau fenestra rotundum bergetar sebagai fungsinya untuk mereduksi energi
suara. Namun getaran tadi melalui jalan pintas dari skala vestibule ke skala
timpani akan melalui membran basalis yang ada di skala media yang berisi
endolimfe.
Rambatan getaran akan menyebabkan defleksi membran basilaris yang
diatasnya terdapat organ corti dan sel rambutnya. Menekuknya rambut di reseptor
sel rambut dalam organ corti sewaktu getaran membran basilaris menggeser
rambut rambut ini secara relative terhadap membran tektorium di atasnya yang

kontak dengan sel rambut. Akibatnya, terjadi perubahan potensial berjenjang di sel
reseptor

yang menyebabkan perubahan dalam frekuensi potensial aksi yang

dikirim ke otak. Melalui mekanisme tersebut gelombang suara dapat diterima oleh
otak sebagai sensasi suara (Sherwood, 2007)
B. Otore
Sekret yang keluar dari liang telinga disebut Otore. Sekret yang sedikit
biasanya berasal dari infeksi telinga luar dan sekret yang banyak dan bersifat mukoid
umumnya berasal dari telinga tengah. Bila berbau busuk menandakan adanya
kolesteatom. Bila bercampur darah dicurigai adanya infeksi akut yang berat atau
tumor. Bila cairan yang keluar seperti air jernih, haruus curiga adanya cairan
serebrospinal. (Soepardi, 2010)
C. Telinga Berdenging (Tinnitus)
1. Definisi
Tinnitus adalah suatu gangguan pendengaran dengan keluhan perasaan
mendengar bunyi tanpa rangsangan bunyi dari luar. Keluhannya bisa berupa bunyi
mendenging, menderu, mendesis, atau berbagai macam bunyi lainnya. Gejalanya bisa
timbul terus menrus atau hilang timbul.
2. Etiologi
Tinnitus dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu tinnitus obyektif dan tinnitus
subyektif. Tinnitus obyektif adalah jika suara yang didengar oleh penderita dapat
didengar pula oleh pemeriksa, sedangkan pada tinnitus subyektif suara hanya
terdengar oleh penderita saja (Lockwood et.al., 2002).
Tinnitus subyektif bisa disebabkan oleh karena berasal dari gangguan telinga
(otologic), karena efek dari medikasi ataupun obat-obatan (Ototoxic), gangguan
neurologist, gangguan metabolisme, ataupun dikarenakan oleh depresi psikogenik.
Sedangkan tinnitus obyektif dapat disebabkan oleh karena adanya gangguan
vaskularisasi, gangguan neurologist ataupun gangguan pada tuba auditiva atau
Eustachian tube (Crummer & Hassan, 2004).
3. Patofisiologi
a. Tinnitus Subjektif
Penyakit atau gangguan pada telinga merupakan sebab yang paling
banyak sebagai etiologi tinnitus subyektif, yang kemudian disebut sebagai
otologic disorder atau gangguan otologik. Sebagian besar tinnitus sebyektif
disebabkan oleh hilangnya kemampuan pendengaran (hearing loss), baik
sensorineural ataupun konduktif. Gangguan pendengaran yang paling sering
menyebabkan tinnitus subyektif adalah NIHL (noise induced hearing loss)

karena adanya sumber suara eksternal yang terlalu kuat impedansinya


(Crummer & Hassan, 2004).
Sumber suara yang terlalu keras dapat menyebabkan tinnitus subyektif
dikarenakan oleh impedansi yang terlalu kuat. Suara dengan impedansi diatas
85 dB akan membuat stereosilia pada organon corti terdefleksi secara lebih
kuat atau sudutnya menjadi lebih tajam, hal ini akan direspon oleh pusat
pendengaran dengan suara berdenging, jika sumber suara tersebut berhenti
maka stereosilia akan mengalami pemulihan ke posisi semula dalam beberapa
menit atau beberapa jam. Namun jika impedansi terlalu tinggi atau suara yang
didengar berulang-ulang (continous exposure) maka akan mengakibatkan
kerusakan sel rambut dan stereosilia, yang kemudian akan mengakibatkan
ketulian (hearing loss) ataupun tinnitus kronis dikarenakan oleh adanya
hiperpolaritas dan hiperaktivitas sel rambut yang berakibat adanya impuls
terus-menerus kepa ganglion saraf pendengaran (Folmer et. al., 2004).
Menieres syndrome dengan adanya keadaan hidrops pada labirintus
membranaseous dikaranakan cairan endolimphe yang berlebih, tinnitus yang
terjadi pada penyakit ini ditandai dengan adanya episode tinnitus berdenging
dan tinnitus suara bergemuruh (Crummer & Hassan, 2004). Selain tinnitus,
yang merupakan trias penyakit meniere yaitu vertigo dan tuli sensorial
terutama nada rendah. Vertigo pada penyakit ini bersifat periodik dan merada
pada serangan-serangan berikutnya. Kemudian diikuti gangguan pendengaran
(tuli) juga tinitus, tapi hanya terasa ketika ada serangan saja (Hadjar, 2007).
Neoplasma berupa acoustic neuroma juga dapat menyebabkan
terjadinya tinnitus subyektif. Neoplasma ini berasal dari sel schwann yang
tumbuh dan menyelimuti percabangan NC VIII (Nervus Oktavus) yaitu n.
vestibularis sehingga terjadi kerusakan sel-sel saraf bahkan demyelinasi pada
saraf tersebut Crummer & Hassan, 2004).
Tinnitus yang diakibatkan oleh obat-obatan digolongkan dalam tinnitus
ototoksik. Ototoksisitas yang terjadi akibat dari penggunaan obat-obatan
tertentu sebagaimana telah dibahas sebelumnya akan mempengaruhi sel-sel
rambut pada organon corti, NC VIII, ataupun saraf-saraf penghubung antara
cochlea dengan system nervosa central (Crummer & Hassan, 2004).
Gangguan neurologis ataupun trauma leher dan kepala juga dapat
menyebabkan adanya tinnitus subyektif, namun demikian patofisiologi
ataupun mekanisme terjadinya tinnitus karena hal ini belum jelas (Crummer &
Hassan, 2004).

Penelitian-penelitian yang dilakukan didapatkan karakteristik penderita


tinnitus obyektif yang memiliki gangguan metabolisme antara lain menderita
hypothyroidism, hyperthyroidism, anemia, avitaminosa B12, atau defisiensi
Zinc (Zn). Disamping itu penderita tinnitus rata-rata menunjukkan perubahan
sikap dan gangguan psikologis walaupun sebetulnya depresi merupakan salah
satu etiologi dari tinnitus subyektif (psikogenik). Gangguan tidur, deperesi,
dan gangguan konsentrasi lebih banyak ditemukan pada penderita tinnitus
subyektif dibandingkan dengan yang tidak mengalami gangguan psikologis
(Crummer & Hassan, 2004).
b. Tinnitus Obyektif
Tinnitus obyektif banyak disebabkan oleh adanya abonormalitas
vascular yang mengenai fistula arteriovenosa congenital, shunt arteriovenosa,
glomus jugularis, aliran darah yang terlalu cepat pada arteri carotis (highriding carotid) stapedial artery persisten, kompresi saraf-saraf pendengaran
oleh arteri, ataupun dikarenakan oleh adanya kelainan mekanis seperti adanya
palatal myoclonus, gangguan temporo mandibular joint, kekauan muscullus
stapedius pada telinga tengah (Folmer et. al., 2004).
Kelainan pada tuba auditiva (patulous Eustachian tube) akan
menyebabkan terdengarnya suara bergemuruh terutama pada saat bernafas
karena kelainan muara tuba pada nasofaring. Biasanya penderita tinnitus
dengan keadaan ini akan menderita penurunan berat badan, dan mendengar
suaranya sendiri saat berbicara atau autophony. Tinnitus dapat hilang jika
dilakukan valsava maneuver atau saat penderita tidur terlentang dengan kepala
dalam keadaan bebas atau tergantung melebihi tempat tidurnya (Crummer &
Hassan, 2004).
4. Pengobatan
Pada umumnya pengobatan gejala tinnitus dibagi dalam 4 cara, yaitu:
a. Elektrofisiologik, yaitu memberi stimulus elektroakustik (rangsangan bunyi)
dengan intensitas suara yang lebih keras dari tinnitusnya, dapat dengan alat
bantu dengar atau tinnitus masker.
b. Psikologik, yaitu dengan memberikan konsultasi psikologik untuk
meyakinkan pasien bahwa penyakitnya tidakmembahayakan dan bisa
disembuhkan, serta mengajarkan relaksasi dengan bunyi yang harus
didengarnya setiap saat.

c. Terapi medikametosa, sampai saat ini belum ada kesepakatan yang jelas
diantaranya untuk meningkatkan aliran darah koklea, transquilizer,
antidepresan sedatif, neurotonik, vitamin dan mineral.
d. Tindakan bedah, dilakukan pada tumor akustik neuroma. (Sosialisman,
2007)
D. Rinitis Alergi
Rinitis alergi adalah reaksi inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen
spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on
Asthma) adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal
dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E.
Usia 15-30 tahun sangat rentan akan paparan alergen sehingga menyebabkan rinitis
alergi.
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :
a. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau
debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur.
b. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.
c. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan
sengatan lebah.
d. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
1. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang di awali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti tahap provokas/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu Immediated Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) dan
Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL).
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk
komplek peptida MHC komplek peptida MHC kelas II yang kemudian di
presentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin
seperti IL 1 yang akan mengaktifkan Th 0 yang berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE.

Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi mastosit
dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia terutama histamin.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulakn rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler
meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid.
2. Klasifikasi Rinitis Alergi
Berdasarkan sifat berlangsungnya:
a. Rinitis alergi musiman
b. Rinitis Alergi sepanjang tahun
Berdasarkan rekomendasi dari WHO
a. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu
b. Persisten/menetap : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu
Berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit:
a. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
b. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
(Irawati, 2007)
3. Gejala Klinis
Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari, keluar
ingus(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi). Awitan gejala
timbul cepat setelah paparan allergen dapat berupa bersin, mata ataupalatum yang
gatal berair, rinore, hidung gatal, hidung tersumbat. Pada mata dapat menunjukkan
gejala berupa mata merah, gatal, conjungtivitis, mata terasa terbakar, dan lakrimasi.
Pada telinga bisa dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi telinga bagian tengah.
4. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema basah, berwarna pucat atau
lividdisertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior
tampak hipertofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah adanya bayangan gelap di

daerah bawah matayang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung.
Gejala ini disebut allergicshiner. Selain itu juga tampak anak menggosok-gosok
hidung, karena gatal dengan punggungtangan. Keadaan ini disebut allergic salute.
Menggosok-gosok hidung mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi
bagian sepertiga bawah yang disebut allergiccrease. Mulut sering terbuka dengan
lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan gigi-geligi ( facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler
dan edema(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah
tampak seperti gambaran peta ( geographictongue).
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Invitro : Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal.
b. Invivo : Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
ujiintrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/
SET). SETdilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam
berbagai konsentrasiyang bertingkat kepekatannya. Untuk allergen makanan, uji kulit
Intracutaneus ProvocativeDilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas
dapat dilakukan dengan dieteliminasi dan provokasi (Challenge Test).
6. Penatalaksanaan
a. Terapi yang paling ideal dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab
dan eliminasi.
b. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1 yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi1(klasik) dan generasi-2 (non-sedatif).
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung
akibat responfase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.
c. Operatif
Tindakan konkotomi parsial, konkoplasti atau multiple outfractured,
inferiorturbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berta dan
tidak berhasildikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau
triklor asetat.
7. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:

1.Polip hidung.
2.Otitis media.
3.Sinusitis paranasal.
E. Otitis Media Serosa / Otitis Media Efusi (OME)
Otitis media serosa adalah keadaan terdapatnya sekret nonpurulen di telinga
tengah dengan membran timpani utuh tampa adanya tanda tanda infeksi. Apabila efusi
tersebut encer disebut otitis media serosa dan apabila efusi tersebut kental seperti lem
disebut otitis media mukoid (glue ear). Otitis media serosa terbagi menjadi otitis media
serosa akut (barotraumas = aerotitis) dan otitis media spesifik, seperti otitis media
tuberkulosa atau otitis media sifilitika. Otitis media yang lain ialah otitis media adhesive.
(Soepardi, 2010).
Otitis media serosa disebut juga otitis media musinosa, otitis media efusi,
otitis media sekretoria, otitis media mukoid (glue ear) adalah keadaan terdapatnya sekret
nonpurulen di telinga tengah tanpa adanya tanda dan gejala infeksi aktif, sedangkan
membran timpani utuh. Secara teori, cairan ini sebagai akibat tekanan negative dalam
telinga tengah yang disebabkan oleh obstruksi tuba eustachii. Pada penyakit ini, tidak ada
agen penyebab definitive yang telah diidentifikasi, meskipun otitis media dengan efusi
lebih banyak terdapat pada anak yang telah sembuh dari otitis media akut dan biasanya
dikenal dengan glue ear. Bila terjadi pada orang dewasa, penyebab lain yang
mendasari terjadinya disfungsi tuba eustachii harus dicari. Efusi telinga tengah sering
terjadi pada pasien setelah mengalami barotrauma contoh pada seorang penyelam dan
pada pasien dengan disfungsi tuba eustachii akibat infeksi atau alergi saluran napas atas.
(Thrasher,2005)
Kondisi yang dianggap sebagai penyebab utama munculnya OME adalah
setiap keadaan yang mempengaruhi muara atau ujung proksimal tuba eustachius (TE) di
nasofaring ataupun mekanisme mukosiliari klirens dari TE. TE dianggap sebagai katup
(valve) penghubung telinga tengah dan nasofaring. Struktur ini menjamin ventilasi
telinga tengah, sehingga menjaga tekanan tetap ekual di kedua sisi gendang telinga.
Edema faring dan peradangan akibat ISPA biasanya berefek terhadap ujung proksimal
TE di nasofaring ataupun mekanisme mukosiliari klirens TE. Keadaan lain seperti: alergi
hidung, barotrauma, penekanan terhadap muara/torus tuba oleh massa seperti adenoid
yang membesar ataupun tumor di nasofaring, abnormalitas anatomi TE ataupun
deformitas celah palatum, benda asing seperti nasogastrik atau nasotrakeal tube, dapat
pula menjadi faktor predisposisi. (Thrasher,2005)

Otitis media serosa terjadi terutama akibat adanya transudat atau plasma yang
mengalir dari pembuluh darah ke telinga tengah yang sebagian besar terjadi akibat
adanya perbedaan tekanan hidrostatik. Sedangkan Pada Otitis media mukoid, cairan yang
ada di telinga tengah timbul akibat sekresi aktif dari kelenjar dan kista yang terdapat di
dalam mukosa telinga tengah, tuba eustachius, dan rongga mastoid.
Otitis media serosa / otitis media sekretoria / otitis media mukoid / otitis media
efusi terbatas pada keadaan dimana terdapat efusi dalam kavum timpani dengan
membran timpani utuh tanpa tanda-tanda radang. Bila efusi tersebut berbentuk pus,
disertai tanda-tanda radang maka disebut otitis media akut (OMA).
Otitis media serosa dibagi 2 jenis : otitis media serosa akut dan otitis media
serosa kronik (glue ear). Dimana pembagian ini berdasarkan pada durasi timbulnya
penyakit atau durasi timbulnya sekret dan bentuk sekret.
1.

Otitis Media Serosa Akut


Otitis media serosa akut adalah keadaan terbentuknya sekret di telinga tengah secara
tiba-tiba yang disebabkan oleh gangguan fungsi tuba. Penyebabnya antara lain
sumbatan tuba (barotrauma), virus, alergi dan idiopatik.
Gejala yang menonjol biasanya pendengaran yang berkurang, selain itu ada
rasa tersumbat pada telinga atau suara sendiri terdengar lebih nyaring atau berbeda
pada telinga yang sakit. Kadang terasa seperti ada cairan yang bergerak di dalam
telinga dengan perubahan posisi. Rasa nyeri relative. Vertigo kadang dalam bentuk
ringan. Dengan otoskop terlihat retraksi membrane timpani. Kadang tampak
gelembung udara atau permukaan cairan dalam kavum timpani. Tuli konduktif dapat
dibuktikan dengan garpu tala.(Effendi,2005)
Pengobatan dapat dengan medikamentosa dan pembedahan. Dapat diberikan
tetes hidung (vasokontriktor lokal), anti histamine, serta perasat valsava. Bila gejala
masih menetap setelah 12 minggu, dilakukan miringotomi, dan apabila belum
mebaik dengan miringotomi dapat ditambahkan pemasangan pipa ventilasi
(Grommet). (Effendi,2005)
2.

Otitis Media Serosa Kronik (Glue Ear)


Pada keadaan kronis secret terbentuk secara bertahap tanpa rasa nyeri dengan

gejala-gejala pada telinga yang berlangsung lama.Otitis media kronik lebih sering
terjadi pada anak-anak, sedangkan otitis media serosa akut lebih sering pada orang
dewasa. Otitis media serosa kronik dapat juga terjadi sebagai gejala sisa dari OMA

yang tidak sembuh sempurna. Penyebab lain diduga adanya hubungan dengan infeksi
virus, keadaan alergi atau gangguan mekanis pada tuba.(Soepardi,2005)
Batasan antara kondisi otitis media serosa akut dengan otitis media serosa
kronik hanya pada cara terbentuknya sekret.
a. Pada otitis media serosa akut, sekret terbentuk secara tiba-tiba di telinga tengah
b.

dengan disertai rasa nyeri pada telinga.


Pada otitis media serosa kronis, sekret terbentuk secara bertahap tanpa rasa

nyeridengan gejala-gejala pada telinga yang berlangsung lama.


c. Otitis media serosa kronik lebih sering terjadi pada anak-anak, sedangkan otitis media
serosa akut lebih sering terjadi pada orang dewasa.
d. Sekret pada otitis media serosa kronik dapat kental seperti lem, maka disebut glue ear.
e. Otitis media serosa kronik dapat juga terjadi sebagai gejala sisa dari otitis media akut
(OMA) yang tidak sembuh sempurna. (Effendi,2005).
F. Otitis Media Akut
Telinga tengah biasanya steril, meskipum terdapat mikroba di nasofaring dan
faring. Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke dalam
telinga tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius, enzim, dan antibodi.
Otitis media akut (OMA) terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini terganggu.
Sumbatan tuba Eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media. Karena
fungsi tuba Eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah
juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan.
Dikatakan juga, bahwa pencetus terjadinya OMA ialah infeksi saluran napas atas.
Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran napas, makin besar
terjadinya OMA. Pada bayi terjadinya OMA dipermudah oleh karena tuba Eustachiusnya
pendek, lebar dan letaknya agak horizontal.
1. Patologi
Kuman penyebab utama pada OMA ialah bakteri piogenik, seperti
Streptokokus hemolitikus, Stafilokokus aureus, Pneumokokus. Selain itu, kadang
kadang ditemukan juga Hemofilus influenza, Escherichia colli, Streptococcus
anhemoliticus, Proteus vulgaris, dan Pseudomonas aurugenosa.
Hemofilus influenza sering ditemukan pada anak yang berusia dibawah 5
tahun.
Stadium OMA
Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi atas 5
stadium. Keadaan ini berdasarkan pada gambaran membrane timpani yang diamati
melalui liang telinga luar.

a. Stadium Oklusi Tuba Eustachius


Tanda adanya oklusi tuba Eustachius ialah gambaran retraksi
membran timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga
tengah, akibat absorbsi udara. Kadang kadang membran timpani tampak
normal (tidak ada kelainan) atau berwarna keruh pucat. Efusi mungkin
telah terjadi, tetapi tidak dapat di deteksi. Stadium ini sukar dibedakan
dengan otitis media serosa yang disebabkan oleh virus atau alergi.
b. Stadium Hiperemis (Stadium Pre-Supurasi)
Pada stadium hiperemesis, tampak pembuluh darah yang melebar di
membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemesis serta
edem. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang
serosa sehingga sukar terlihat.
c. Stadium Supurasi
Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel
epitel superficial, serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum
timpani, menyebabkan membran timpani menonjol (bulging) ke arah liang
telinga luar.
Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat,
serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat.
Apabila tekanan nanah di kavum timpani tidak berkurang, maka terjadi
iskemia, akibat tekanan pada kapiler kapiler, serta timbul tromboflebitis
pada vena vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini
pada membran timpani terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan
berwarna kekuningan. Di tempat ini akan terjadi ruptur.
Bila tidak dilakukan insisi membran timpani (miringotomi) pada
stadium ini, maka kemungkinan besar membran timpani akan rupture dan
nanah keluar ke liang telinga luar.
Dengan melakukan miringotomi, luka insisi akan menutup kembali,
sedangkan apabila terjadi ruptur, maka lubang tempat ruptur (perforasi)
tidak mudah menutup kembali.
d. Stadium Perforasi
Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika
atau virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membrane
timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke liang telinga
luar. Anak yang tadinya gelisah sekarang menjadi tenang, suhu badan
turun dan anak dapat tertidur nyenyak.
e. Stadium Resolusi

Bila membrane timpani tetap utuh, maka keadaan membrane


timpani perlahan lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi
perforasi, maka sekret akan berkurang dan akhirnya kering. Bila daya
tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi
walaupun tanpa pengobatan. OMA berubah menjadi OMSK bila perforasi
menetap dengan secret yang keluar terus menerus atau hilang timbul.
OMA dapat menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa otitis media serosa
bila secret menetap di kavum timpani tanpa terjadinya perforasi.
2. Gejala Klinik OMA
Gejala klinik OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien.
Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam
telinga, keluhan di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat
batuk pilek sebelumnya.
Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri
terdapat pula gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang
dengar. Pada bayi dan anak kecil gejala khas OMA ialah suhu tubuh tinggi dapat
sampai 39,5oC (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba tiba
anak menjerit waktu tidur, diare, kejang kejang dan kadang kadang anak
memegang telinga yang sakit. Bila terjadi rupture membran timpani, maka secret
mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tertidur tenang (Soepardi,
2010).
Prognosis pada Otitis Media Akut baik apabila diberikan terapi yang
adekuat (antibiotik yang tepat dan dosis yang cukup ).
G. Otitis Media Supuratif Kronik
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah infeksi kronis di telinga tengah
dengan perforasi membrane timpani dan secret yang keluar dari telinga tengah terus
menerus atau hilang timbul. Secret mungkin encer atau kental, bening atau berupa
nanah.
Otitis media akut dengan perforasi membrane timpani menjadi otitis media
supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Beberapa faktor yang
menyebabkan OMA menjadi OMSK adalah terapi yang tidak adekuat , virulensi
kuman tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah, dan hygiene yang buruk (Soepardi,
2010).
Otitis media dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi bila tidak
ditangani secara benar. Sebelum ada antibiotika, OMA dapat menyebabkan terjadinya
abses sub-periosteal hingga komplikasi yang berat seperti meningitis atau abses otak.

Namun di masa sekarang dimana sudah ditemukan berbagai macam antibiotik, semua
komplikasi di atas biasanya ditemukan sebagai komplikasi dari OMSK.
Komplikasi pada otitis media supuratif baik yang akut maupun yang kronis
dapat mengancam kesehatan dan menyebabkan kematian. Biasanya komplikasi
ditemukan pada pasien dengan OMSK tipe bahaya, tapi OMSK tipe aman pun dapat
menyebabkan komplikasi bila kuman yang menginfeksi adalah kuman yang virulen.
Pedoman Penatalaksanaan OMSK

(Soepardi, 2010)

BAB III

PEMBAHASAN
Dalam skenario, pasien laki-laki berusia 25 tahun sejak remaja sering pilek, disertai
hidung tersumbat bergantian kanan dan kiri terutama jika terpapar debu. Hal ini
mengindikasikan pasien memiliki riwayat rinitis alergi; kelainan pada hidung dengan gejala
bersin, rinore, gatal, dan tersumbat

setelah

mukosa terpapar alergen spesifik yang

diperantarai IgE. Dalam kasus ini, alergen spesifik yang diamaksud adalah debu. Namun,
pekerjaan pasien sebagai buruh bangunan membuat rinitis alergi menjadi kronis karena
pasien yang tidak dapat menghindari kontak terhadap debu sebagai alergen.
Pasien juga sering kali mengalami Otitis Media Akut (OMA) dimulai oleh infeksi
saluran pernapasan atas (ISPA) atau alergi, hal ini seperti pada kasus dalam skenario dimana
telinga pasien mengeluarkan cairan encer, jernih dan ada sedikit darah yang kambuh
terutama ketika pasien batuk ataupun pilek. Adanya pilek yang terus menerus dapat
mengakibatkan terjadinya ISPA sehingga dapat terjadi kongesti dan edema pada mukosa
saluran napas atas, termasuk nasofaring dan Tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi
sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila keadaan
demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari
nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius.
Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius untuk mengatur proses
ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan
mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini
merupakan faktor pencetus terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi. Bila tuba
Eustachius tersumbat, drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi
akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret.
Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi
yang dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus respiratori juga dapat
meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga menganggu pertahanan imun pasien
terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi lokal,
membran timpani dan tulang-tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap
getaran.
Komplikasi dari otitis media akut dan kronik dapat melibatkan perubahan perubahan
langsung pada struktur telinga dan mastoid, atau infeksi sekunder pada struktur di sekitarnya.
Selain berbagai komplikasi seperti tersebut di atas, gangguan pendengaran juga merupakan
komplikasi yang sering terjadi pada otitis media. Tuli konduktif dapat disebabkan oleh otitis
media kronis. Derajat tuli konduktif tidak selalu berkorelasi dengan beratnya penyakit karena

jaringan patologi pun masih mampu menyalurkan suara ke fenestra ovalis. Sedangkan tuli
persepsi atau sensorineural dapat disebabkan baik oleh otitis media akut maupun kronis.
Setiap ada infeksi di telinga tengah, terutama bila terjadi pada tekanan negatif, maka ada
kemungkinan produk-produk infeksi akan menyebar ke telinga dalam melalui fenestra
rotundum mengakibatkan terjadinya tuli persepsif menyebabkan telinga berdenging atau
tinnitus sehingga pendengaran menjadi semakin terganggu. (Soepardi, 2010).
Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat merobek membran timpani
akibat tekanannya yang meninggi. Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal
dan ekstraluminal. Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi
terjadi, lalu timbul edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain
itu, sebagian besar pasien dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal
dari tuba Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal
seperti tumor, dan hipertrofi adenoid.
Kemudian apabila terjadi perforasi membran yang menetap, dan pengobatan OMA
yang tidak adekuat disertai dipicu beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan kegagalan
terapi sehingga menyebababkan sekret tetap keluar lebih dari satu setengah bulan atau dua
bulan, maka keadaan ini akan berlanjut menjadi Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK). Pada
skenario, stadium resolusi pada OMA yang sudah dialami sejak 1 tahun yang lalu tidak
terjadi atau terjadi perforasi membrane timpani yang menetap. Karena hal tersebut OMA
dapat berlanjut menjadi OMSK yang ditandai dengan keluarnya cairan kuning, kental, dan
berbau busuk.
Sedangkan pusing pada pasien di skenario kemungkinan disebabkan oleh gangguan
pada sistem vestibuler atau keseimbangannya, karena telinga selain berfungsi sebagai alat
pendengaran juga terdapat canalis semicircularis yang berfungsi sebagai alat keseimbangan.
Selain itu pusing kemungkinan karena pasien menderita otitis media supuratif kronik karena
manifestasi kliniknya selain otorem tinnitus, telinga penuh, juga dapat terjadi vertigo
(Soepardi, 2010). Namun perlu ditelaah lagi melalui anamnesis apakah pusing yang
dikeluhkan pasien akibat dari sakit telinga yang dialaminya atau karena hal lain dan juga tipe
pusing yang dialami apakah berdenyut, terjadi di salah satu sisi kepala dan sebagainya.
Penatalaksanaan OMA pada prinsipnya memberikan terapi medikamentosa. Pemberian terapi
medikamentosa ini tergantung pada stadium penyakitnya.
1. Stadium oklusi
Pada stadium ini pengobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali tuba
Eustachius, sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Untuk ini diberikan obat tetes
hidung. HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologis (anak <12 tahun) atau HCl efedrin 1%

dalam larutan fisiologik untuk yang berumur di atas 12 tahun dan pada orang dewasa.
Disamping itu sumber infeksi harus diobati. Antibiotika diberikan apabila penyebab infeksi
adalah kuman, bukan oleh virus atau alergi.
2. Stadium Presupurasi
Pada stadium ini antibiotika, obat tetes hidunng dan analgetika perlu diberikan.
Bilamembran timpani sudah terlihat hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi.
Antibiotika yang dianjurkan adalah dari golongan penisilin atau ampisilin. Pemberian
antibiotika dianjurkan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap penisilin, maka
diberikan eritromisin. Pada anak ampisilin diberikan dengan dosis 50 100 mg/kgBB/hari,
dibagi dalam 4 dosis, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari.
3. Stadium Supurasi
Diamping diberikan antibiotika, idealnya harus disertai dengan miringotomi, bila
membran timpani masih utuh. Dengan miringotomi gejala gejala klinis lebih cepat hilang
dan ruptur dapat dihindari. Pada stadium ini bila terjadi perforasi sering terlihat adanya sekret
berupa purulen dan kadang terlihat keluarnya sekret secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan
yang diberikan adalah obat cuci telinga H2O2 selam 3 5 hari serta antibiotika yang adekuat.
Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam waktu 7 10 hari.
4. Stadium Resolusi
Pada stadium ini jika terjadi resolusi maka membran timpani berangsur normal
kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi membran timpani menutup. Tetapi bila tidak
terjadi resolusi akan tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi membran
timpani. Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa telinga tengah.
Pada keadaan demikian antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu bila 3 minggu setelah
pengobatan sekret masih tetap banyak, kemungkina telah terjadi mastoiditis.
Bila OMA berlanjut dengan keluarnya sekret dari telinga tengah lebih dari 3
minggu,maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Bila perforasi menetap dan
sekret masih tetap keluar lebih dari satu setengah bulan atau dua bulan maka keadaan ini
disebut otitis media supuratif kronik (OMSK).
(Soepardi, 2010)
Sedangkan terapi OMSK memerlukan waktu lama serta harus berulang-ulang. Bila
secret keluar terus menerus maka diberikan obat pencuci telinga (H2O2 3%) selama 3-5 hari.
Setelah secret berkurang maka terapi dengan obat tetes telinga yang mengandung antibiotika
dan kortikosteroid namun hanya dalam batas waktu maksimal 1-2 minggu. Bila secret kering
tetapi perforasi masih ada setelah observasi selama 2 bulan maka dilakukan miringoplasti

untuk menghentikan infeksi permanen, memperbaiki membrane timpani yang perforasi,


mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta
memperbaiki pendengaran. Jika terjadi OMSK yang telah mengenai tulang (tipe maligna)
maka dilakukan mastoidektomi. Bila terjadi abses subperiosteal retroaurikuler maka insisi
abses dilakukan sebelum mastoidektomi. (Arsyad, 2007)

BAB IV

PENUTUP
Kesimpulan
1. Pasien mengalami gangguan pada sistem pendengarannya.
2. Penyakit yang dialami pasien saat ini berawal dari riwayat alergi (rinitis alergi) yang
menjadi kronis akibat dari pajanan alergen berulang.
3. Diagnosis banding pada kasus skenario adalah rinitis alergi, otitis media akut (OMA),
otitis media supuratif kronis (OMSK), otitis media serosa (OMS), dan penyakit
Meniere
Saran
1. Pasien harus segera memperoleh diagnosis penyakit yang tepat agar dapat segera
diberikan medikamentosa maupun tindakan yang tepat dan adekuat.
2. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan harus sesuai agar lebih efisien dan tepat guna
untuk keperluan diagnosis.
3. Pemberian obat-obatan dan tindakan kepada pasien harus diberikan berdasarkan
riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, dan tentunya sesuai dengan
diagnosis.
4. Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya rhinitis alergi yang dialami
oleh pasien. Karena dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya dapat
mengurangi faktor resiko dari terjadinya rhinitis alergi serta pada Otitis Media Akut.
Salah satunya dengan cara melakukan tes alergi (Skin Prick Test) dan mendapatkan
pengobatan secara adekuat, Sehingga keadaan OMA tidak berlanjut sebagai OMSK.
Akan tetapi pada keadaan pasien ini telah berlanjut pada keadaan OMSK, sehingga
perlu dilakukan pengobatan yang adekuat serta tindakan miringoplasti dan
timpanoplasti.

DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Efiaty. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.
Jakarta: FKUI.
Crummer, Richard W., M.D., and Hassan Ghinwa A., M.D. 2004. Diagnostic Approach to
Tinnitus

http://www.aafp.org/afp/20040101/120.html. (28 Februari 2010).


Djaafar, Z.A., Helmi, dan Restuti, R. 2007. Kelainan Telinga Tengah, dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Eds. Soepardi, E.A.,
Iskandar, N., Bashiruddin, J., Resturi, R.D. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. pp: 64-77
Efendi, Harjanto; Santoso Kuswidayati. Editor: Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid.
BOIES Buku Ajar Penyakit THT, Ed.6. Jakarta: EGC. 2005.p 97-98.
Eroschenko, Victor P. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional Ed.9.
Jakarta: EGC.
Hadjar, Entjep. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher Edisi Keenam : Penyakit Meniere. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Irawati, Nina, dkk. 2007. Rinitis Alergi. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL edisi keenam.
Jakarta:Balai Penerbit FK UI.
Roland, Peter S et.al. 2013. Chronic Supurative Otitis Media
http://emedicine.medscape.com/article/859501-overview
Sherwood, Lauralee. 2007. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: Balai penerbit
Buku Kedokteran EGC
Soepardi, Efiaty Arsyad. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
& Leher edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Sosialisman, JB. 2007. TINNITUS: Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL edisi keenam.
Jakarta:Balai Penerbit FK UI.
Thrasher, Richard D. 2009. Middle Ear, Otitis Media With Effusion (28 Agustus 2013)
http:// emedicine.medscape.com/article/858990-overview
Wijaya, Putu. 2012. Kuliah KBK: Rinitis Alergi. FK UNS: Surakarta.
Wonodirekso S, tambajong J. 1990. Organ-organ Indera Khusus dalam Buku Ajar Histologi
Leeson and Leeson Ed.V. Jakarta: EGC

You might also like