You are on page 1of 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Manusia memiliki sepasang ginjal berbentuk kacang yang terletak di
retroperitoneal intra abdomen. Kedua ginjal terletak setinggi vertebra Thorakal 12
hingga Lumbal 3. Pada orang dewasa ukuran ginjal biasanya memiliki panjang
sekitar 11 cm dan tebal 5 cm dengan berat 150 gram. Ginjal kanan biasanya
terletak sedikit di bawah ginjal kiri untuk memberi tempat bagi hepar. Ukuran
ginjal manusia tergantung dari banyaknya jumlah nephron. 5,6
Nephron adalah unit dasar dari struktur dan fungsi ginjal. Nephron terdiri
dari tubulus renal dan glomerulusnya. Setiap manusia diperkirakan memiliki ratarata 1 juta nephron pada satu ginjal. Jika ginjal dipotong melintang, akan terlihat
dua bagian : bagian luar yang disebut korteks, dan bagian dalam yang disebut
medula. Korteks ginjal terdiri dari glomerulus yang dikelilingi oleh kapsul
Bowman. Tubulus renal terdiri dari beberapa bagian. Bagian yang paling dekat
dengan glomerulus disebut tubulus kontortus proksimal. 5,6
Ansa Henle terdiri dari tubulus kontortus proksimal, segmen tipis
desenden dan segmen tebal asenden. Segmen berikutnya adalah tubulus kontortus
distal yang ukurannya lebih pendek dan terhubung ke duktus koligentes.

5,6

Ginjal

kaya akan suplai perdarahan dan persarafan. Setiap ginjal biasanya disuplai oleh
satu pembuluh darah arteri renalis yang bercabang menjadi bagian anterior dan
posterior yang akan bercabang menjadi arteri segmented lalu bercabang lagi
menjadi arteri interlobar yang akan melewati kortek ginjal. Arteri interlobar akan
bercabang kembali menjadi arteri arkuata yang kemudian akan bercabang menjadi
arteri yang lebih kecil lagi yaitu arteri kortikal radiata. Arteriol aferen berasal dari
arteri kortikal radiata, kemudian diikuti oleh glomerulus dan arteriol eferen yang
berlanjut menjadi kapiler peritubular. Pembuluh darah vena berjalan paralel
dengan pembuluh darah arteri. 5,6

Gambar.1. Komponen dari nefron dan collecting systems duct. (diambil dari :
buku elektronik Medical Physiologi 2nd edition, William F. Ganong)
Ginjal banyak dipersarafi oleh persarafan simpatikus yang berasal dari
saraf spinal Thorakal 10, 11, 12, dan Lumbal 1. Perangsangan serabut saraf
simpatikus akan menyebabkan konstriksi pembuluh darah ginjal dan penurunan
aliran darah ke ginjal. Dinding arteriol aferen mengandung sel juxtaglomerular
yang mensekresikan renin. Sel ini secara histologis disebut sebagai makula densa.
Sel juxtaglomerular, makula densa, dan sel lacis yang berada di dekatnya disebut
sebagai juxtaglomerular apparatus. 5,6
Terdapat tiga proses yang terlibat dalam proses pembentukan urin : filtrasi
glomerular, reabsorpsi tubular, dan sekresi tubular. Filtrasi glomerular melibatkan
ultrafiltrasi plasma pada glomerulus. Cairan filtrat terkumpul di ruang antara
kapsul Bowman yang kemudian mengalir ke arah distal melalui lumen tubulus
yang komposisi dan volumenya dipengaruhi oleh aktivitas dari tubulus.
Reabsorpsi tubular adalah transport zat-zat keluar dari lumen tubulus untuk
kembali masuk ke dalam pembuluh darah kapiler. Proses reabsorpsi ini
melibatkan zat-zat ion yang penting, air, zat metabolit, dan zat sisa.
Sekresi tubular adalah proses transport masuk ke dalam lumen tubulus. Zat
anion dan kation organik diambil oleh sel epitel tubulus dari pembuluh darah

kapiler sekitarnya. Beberapa zat diproduksi dan disekresi oleh sel tubulus. Proses
ekskresi adalah proses eliminasi melalui urin. Secara umum, jumlah zat yang
diekskresi tercermin dalam rumus :
Ekskresi = Filtrasi Reabsorpsi + Sekresi
Status fungsional dari ginjal dapat dinilai dari beberapa pemeriksaan
berdasarkan konsep clearance ginjal. Pemeriksaan-pemeriksaan ini mengukur laju
filtrasi glomerular, aliran darah ginjal, dan resorpsi dan sekresi tubulus dari
beberapa zat. Beberapa dari pemeriksaan ini, seperti pemeriksaan GFR dilakukan
secara rutin di klinis. 5,6

Gambar 2. Proses yang terlibat dalam pembentukan cairan urin. (diambil dari :
buku elektronik Medical Physiology 2nd edition, William F. Ganong)

II.2 RADIOFARMAKA
Terdapat beberapa radiofarmaka yang dapat digunakan pada pemeriksaan
ginjal dan saluran kemih di bidang kedokteran nuklir. Penggunaan radiofarmaka
ini tergantung dari aspek spesifik fungsi ginjal yang akan diperiksa. 3 Ginjal dapat
melakukan banyak fungsi, oleh sebab itu beberapa radiofarmaka telah
dikembangkan untuk dapat menilai anatomi dan fungsi dari ginjal.
Pengelompokan radiofarmaka dibuat berdasarkan jenis pemeriksaan yang
akan dilakukan seperti pemeriksaan aliran darah ginjal, perfusi, dan gambaran
morfologi dari ginjal, serta pemeriksaan renografi, mengukur laju filtrasi
glomerulus (GFR) dan aliran plasma ginjal efektif (ERPF). Radiofarmaka untuk
pemeriksaan ginjal harus dapat menilai fungsi ginjal secara terpisah.2
Radiofarmaka juga harus memiliki komposisi yang konstan dan murni serta

nontoksik secara radionuklida dan secara radiokimia. Radionuklida yang


digunakan juga sebaiknya memiliki waktu paruh fisik yang cukup lama untuk
dapat memenuhi waktu pemeriksaan, namun juga memiliki waktu paruh yang
pendek untuk menghindari radiasi yang tidak perlu pada pasien. Idealnya
radionuklida yang dipakai adalah radionuklida yang memancarkan sinar gamma
pada kisaran energi 100-200 keV, yang sesuai dengan kamera gamma modern. 2,3
Radionuklida yang paling sering digunakan adalah technetium-99m
(99mTc). 99mTc dihasilkan dari generator yang berasal dari molybdenum-99.
Untuk menghasilkan 99mTc, generator perlu dielusi dengan cairan saline.
Generator yang modern dibuat untuk menghasilkan 99mTc yang steril untuk
periode 7 hari. Waktu paruh molybdenum-99 adalah 67 hari, sedangkan 99mTc
adalah 6 jam. 99mTc merupakan pemancar sinar gamma dengan energi 140 keV.
Selain itu 99mTc mudah diperoleh dan tidak rumit untuk dilabel dengan berbagai
zat yang berbeda, sehingga 99mTc sangat baik digunakan untuk pemeriksaan
kedokteran nuklir pada ginjal dan saluran kemih. 3
Sebelum 99mTc dipakai secara luas, radionuklida yang sering digunakan
dalam pemeriksaan kedokteran nuklir untuk ginjal dan saluran kemih adalah
iodium seperti 131I, 125I, dan 123I. Iodium yang paling sesuai untuk pemeriksaan
kedokteran nuklir adalah 123I, karena memancarkan sinar gamma dengan energi
159 keV dan waktu paruh 13 jam. Sayangnya 123I diproduksi oleh cyclotron yang
sangat sulit diperoleh karena harganya yang relatif lebih mahal. 123I digunakan
untuk menandai ortho-iodohippurate (hippuran), radiofarmaka yang biasanya
digunakan untuk pengukuran ERPF. Saat ini 123I telah digantikan dengan131I
atau 99mTc apabila ingin menandai hippuran. 3
131I memiliki waktu paruh 8.06 hari merupakan radionuklida pemancar
sinar beta dan sinar gamma dengan tingkat energi yang dihasilkan cukup tinggi
yaitu 364 keV, sehingga 131I tidak cocok digunakan untuk pemeriksaan
diagnostik namun lebih cocok bila digunakan untuk terapi. 125I memiliki waktu
paruh 60 hari dan energi sebesar 30 keV sehingga juga tidak cocok digunakan
untuk pemeriksaan diagnostic.3
Radionuklida yang lain yang dapat digunakan adalah Chromium-51 (51Cr).
51Cr memiliki waktu paruh 27.7 hari dan memancarkan sinar gamma dengan

tingkat energi sebesar 320 keV. Biasanya 51Cr digunakan untuk menandai
ethylene-diamine-tetra-acetic acid (EDTA) dan untuk mengukur laju filtrasi
glomerulus (GFR).3

Tabel.1. Dosis radiasi untuk pemeriksaan nefrourologi pada orang dewasa.


Radiofarmaka yang digunakan untuk pemeriksaan renografi dibagi menjadi
dua jenis. Yang pertama adalah Radiofarmaka jenis tubular agent. Pada
Radiofarmaka jenis ini ditangkap oleh sel-sel tubulus dan disekresikan ke dalam
lumen tubulus, dan hanya sebagian kecil yang ditangkap oleh glomerulus. Yang
termasuk ke dalam golongan Radiofarmaka tubular agent adalah 123I-hippuran,
99mTc-mercaptoacetyltrigliycine (99mTc-MAG3), dan 99mTc-ethylene dicysteine (EC).
Radiofarmaka jenis yang kedua adalah Radiofarmaka jenis glomerular agent
dimana Radiofarmaka ini ditangkap paling dominan melalui glomerulus dan
hanya sebagian kecil yang disekresikan melalui glomerulus. Yang termasuk ke
dalam

golongan

dari

diethylenetetraaminepenta

radiofarmaka
acetic

acid

jenis

ini
(DTPA)

adalah

99mTc-

dan

51Cr-

ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA). Karena lokasi penangkapan ginjalnya


yang spesifik di glomerulus maka radiofarmaka jenis glomerular agent ideal
digunakan untuk pemeriksaan GFR dan ERPF. 99mTc-dimercaptosuccinic acid
(DMSA)ditangkap paling tinggi pada korteks ginjal, dan merupakan radiofarmaka

pilihan untuk pencitraan pencitraan parenkim ginjal tanpa melalui pelvikalises


seperti pada umumnya.
99mTc-MAG3 diperkenalkan pertama kali sejak tahun 1986, 99mTc-MAG3
telah menjadi radiofarmaka yang berharga dan dapat diterima secara luas dalam
pemeriksaan ginjal dan saluran kemih di kedokteran nuklir. Hal ini dikarenakan
99mTc-MAG3 dapat memberikan hasil pencitraan dan renografi yang lebih
superior bila dibandingkan dengan DTPA ataupun hippuran. Clearance ginjal dari
99mTc-MAG3 secara keseluruhan terjadi pada proses filtrasi glomerulus dan
sekresi tubular, namun sebagian besar terjadi pada sekresi tubular sedangkan pada
proses filtrasi glomerulus hanya sebagian kecil saja karena ikatannya dengan
protein lebih tinggi.
Pola dari clearance ginjal pada 99mTc-MAG3 ini serupa dengan yang
terjadi pada hippuran. Namun bila dibandingkan dengan hippuran, 99mTc-MAG3
memiliki clearance plasma yang lebih lambat, rasio ekstraksi yang lebih rendah,
dan suatu volume distribusi yang lebih kecil. 99mTc MAG3 memiliki beberapa
kelemahan yaitu tidak dapat mengukur secara langsung nilai dari ERPF, namun
dengan menggunakan metode sederhana dan persamaan-persamaan untuk
merubah clearance dari 99mTc MAG3 telah berhasil dilakukan. Selain itu juga
99mTc MAG3 dapat ditangkap oleh hepar, sehingga pada saat membuat region
of interest (ROI) harus hati-hati sehingga tidak mempengaruhi hasil
pemeriksaan.2,3

Tabel.2. Dosis radiasi untuk pemeriksaan nefrourologi pada anak-anak

II.3 APLIKASI KLINIS


II.3.1 RENOGRAFI KONVENSIONAL
Renogafi atau bisa juga disebut pemeriksaan radionuklida ginjal dinamik
memiliki prinsip pemeriksaan yaitu menilai penangkapan radionuklida oleh ginjal,
yang dialirkan melalui nephron dan diekskresikan ke dalam pelvis ginjal dan
kemudian melalui ureter sampai dengan kandung kemih. Jumlah zat yang
difiltrasi tergantung dari derajat ikatan protein dari radionuklida di dalam plasma
darah. Jumlah zat radionuklida yang disekresikan tergantung dari afinitas dari
tempat transport di tubulus proksimal. Perubahan pada aktivitas ginjal terhadap
waktu direkam dan kurva aktivitas terhadap waktu dari area ginjal dibuat
(renogram). Berdasarkan kurva renografi, maka akan diperoleh nilai atau hasil
pengukuran yang berhubungan dengan fisiologis ginjal, seperti fungsi
penangkapan, waktu transit, dan efisiensi outflow). 7
Secara garis besar ginjal mempunyai dua fungsi utama yaitu fungsi
ekskresi (filtrasi) dan reabsorpsi serta sekresi. Fungsi ekskresi dilakukan oleh
glomerulus, sedangkan fungsi reabsorpsi dan sekresi dilakukan oleh sel-sel
tubuli.8 Oleh karena itu diperlukan radiofarmaka yang spesifik untuk lokasi yang
ingin diperiksa. Saat ini terdapat 3 radiofarmaka yang umum digunakan secara
rutin digunakan pada pemeriksaan renografi yaitu 99mTc-MAG3, 99m Tc-DTPA,
dan 123I-OIH (hippuran). 2,7,8
IINDIKASI
Indikasi klinis utama untuk pemeriksaan renografi adalah untuk
memeriksa pasien dengan obstruktif uropati, transplantasi ginjal, kelainan
kongenital pada ginjal, trauma pada saluran kemih, gagal ginjal akut dan kronis,
atau hipertensi. Renografi juga memiliki peranan yang penting dalam pemeriksaan
pasien dengan tumor ginjal, terutama untuk menilai status fungsi ginjal pada
bagian yang bukan bagian dari tumor. 7

10

Dosis radiofarmaka yang disuntikkan adalah 200 MBq (5 mCi) untuk


99mTc-DTPA, 100 MBq (2,5 mCi) untuk 99mTc-MAG3, 100 MBq (2,5 mCi)
untuk 99mTc-EC, atau 80 MBq (2 mCi) untuk 123I-hippuran. Radiofarmaka ini
diberikan secara bolus. Untuk anak-anak, dosis dewasa dibuat dengan
menggunakan skala berdasarkan luas permukaan tubuh, dengan dosis minimum
20 MBq (0,5 mCi) untuk99mTc-DTPA dan 15 MBq (0,4 mCi) untuk 99mTcMAG3. 7
PROSEDUR PEMERIKSAAN
Prosedur pemeriksaan pada renografi relatif mudah dan sederhana
dikerjakan. Prosedur yang diterapkan dapat diterima dengan baik oleh pasien baik
dewasa maupun anak-anak. Saat ini pemeriksaan renografi menggunakan kamera
gamma. Pada saat pencitraan ginjal dan vesika urinaria harus masuk kedalam
lapang pencitraan pada kamera dengan menggunakan kollimator jenis generalpurpose atau high-sensitivity. Matrix yang cukup dalam mengambil citra adalah
64x64 pixels, dimana semakin besar matrix hasilnya akan lebih baik. Akuisisi
citra biasanya diambil dengan pencitraan dinamik menggunakan frame 10-20
detik dan lama pemeriksaan berkisar antara 30-40 menit.
Untuk persiapan pada pasien, hanya menjaga status hidrasi dari pasien
selama proses pemeriksaan renografi. Pasien dewasa disarankan untuk minum 400
mL air 20-30 menit sebelum pemeriksaan agar kedua ginjal dapat terhidrasi
dengan baik.Untuk pasien anak-anak diberikan volume cairan sesuai dengan berat
badan. Tidak disarankan untuk melakukan pemeriksaan renografi pada waktu
yang bersamaan dengan pemeriksaan Intravenous Pylelography (IVP), karena
pada pemeriksaan IVP justru dibutuhkan status dehidrasi pada pasien. Selain itu
juga pada pemeriksaan IVP menggunakan media kontras yang hiperosmolar,
sehingga pada pasien yang sebelumnya telah dilakukan IVP, pemeriksan renografi
harus ditunda dahulu selama 2 minggu, agar edema sel-sel tubuli akibat
penggunaan media kontras IVP dapat mereda.
Penggunaan media kontras pada IVP dapat memperburuk obstruksi
anatomis dan menimbulkan hasil yang menyulitkan untuk dinilai. Pasien harus

11

mengosongkan vesika urinarianya terlebih dahulu sebelum dilakukan pemeriksaan


renografi. Biasanya posisi pasien pada akuisisi citra adalah supine atau tidur
terlentang dengan kamera gamma berada di posterior atau punggung pasien.
Namun posisi duduk atau setengah duduk juga dapat dilakukan. Bahkan posisi
setengah duduk lebih disarankan karena posisi demikian lebih fisiologis, dimana
aliran urin menjadi lebih baik dan tidak ada pemisah antara pasien dengan kamera.
Pemeriksaan dianalisa setelah data kasar dari pencitraan digabung dan
terlihat secara jelas ginjal dan vesika urinaria. Kemudian dibuat Regions of
Interests(ROI) pada kedua ginjal serta daerah di bawah ginjal (background).
Kesulitan dalam membuat ROI adalah ketika membuat ROI pada parenkim ginjal
harus tidak memasukkan aktivitas pelvis ke dalam ROI ginjal. ROI untuk
background biasanya ireguler di luar ginjal. Setelah itu akan diperoleh kurva dari
aktivitas setiap area, yang kemudian kurva aktivitas di kedua ginjal dikurangi
dengan kurva aktivitas di background. Hasilnya akan didapat kurva aktivitas
terhadap waktu yang telah dikoreksi, dan ditampilkan setelah disatukan antara
citra menit ke-1 sampai ke-30. 7
HASIL
Secara keseluruhan dalam menilai renografi harus dibuat dengan
mengkombinasikan antara pencitraan, renografi, hasil angka-angka, dan
intervensi. Suatu bentuk pelaporan haruslah mencantumkan data demografi, nama
pemeriksaan, jenis dan dosis aktivitas radiofarmaka yang disuntikkan. Pelaporan
juga harus menjelaskan pencitraan dan kurva, data angka-angka, kesimpulan yang
terpisah dan saran untuk klinisi bila diperlukan.

7,8

Pada penilaian suatu

pemeriksaan renografi, sangat membantu bila kita melihat urutan citra yang
didapat dan menganalisa kurva aktivitas terhadap waktu secara hati-hati. Pada
pencitraan diniliai penangkapan radioaktivitas oleh kedua ginjal untuk melihat
kemampuan ginjal mengekstraksi radiofarmaka.8 Pada pencitraan normal ginjal
relatif mempunyai ukuran yang sama dan selama dua menit pertama menunjukkan
distribusi radiofarmaka yang sama.

12

Pada citra berikutnya mungkin dapat terlihat kaliks, pelvis, dan ureter.
Fungsi relatif ginjal bervariasi antara 40-60 %. Kedua ginjal biasanya terletak
pada ketinggian yang sama, walaupun ginjal kanan dapat terletak pada posisi yang
lebih rendah daripada ginjal kiri karena adanya organ hepar. Kurva normal secara
khas memperlihatkan adanya tiga fase. Fase pertama/inisial dimana terjadi
peningkatan secara cepat segera setelah penyuntikan radiofarmaka yang
menunjukkan kecepatan injeksi dan aliran darah vaskuler ke dalam ginjal. Dari
fase ini dapat pula dilihat dari teknik penyuntikan radiofarmaka, apakah bolus
atau tidak. Fase ini terjadi kurang dari 2 menit. Fase kedua/sekresi menunjukkan
kenaikan yang lebih lamban dan meningkat secara bertahap. Fase ini berkaitan
dengan proses penangkapan radiofarmaka oleh ginjal melaui proses difusi lewat
sel-sel tubuli dan filtrasi glomerulus, atau keduanya ke dalam lumen tubulus.
Dalam keadaan normal fase ini mencapai puncak dalam waktu 2-5 menit.
Ketika aktivitas radiofarmaka mulai meninggalkan daerah ginjal maka
dimulailah fase ketiga. Fase ketiga/ekskresi dimana tampak kurva menurun
dengan cepat setelah mencapai puncak kurva yang menunjukkan keseimbangan
antara radioaktivitas yang masuk dan meninggalkan ginjal. Fase ketiga
menggambarkan terutama untuk eliminasi radiofarmaka dari daerah ginjal. Bentuk
kurva dari fase ketiga ini menggambarkan pola urodinamik dari ginjal dan pola
eliminasi melalui sistem pelvikalises menuju ke ureter dan vesika urinaria,
sehingga pada fase ini sangat sensitif untuk untuk kelainan pada saluran kemih
(pelvis, ureter, dan vesika urinaria) dan suatu bentuk kurva yang normal dapat
menyingkirkan dugaan adanya obstruksi pada saluran kemih.
Bentuk kurva renografi yang normal umumnya menggambarkan pula
fungsi ginjal yang normal, walaupn mungkin ukuran ginjal kecil dan memberikan
kontibusi dari fungsi ginjal di bawah 40 %. Kelainan pada fungsi ginjal yang
terlihat pada renografi dapat disebabkan oleh perfusi ginjal yang berkurang,
berkurangnya eliminasi radiofarmaka, berkurangnya filtrasi atau kelainan fungsi
seluler tubulus.3 Bila ginjal sudah tidak berfungsi, penangkapan radioaktivitas
akan minim atau tidak ada sama sekali, dan kurva akan berjalan datar/tidak
beraturan sebab hanya menggambarkan aktivitas background saja. Pada gambar

13

obstruksi total, vesika urinaria tidak tampak dan fase kedua akan tampak naik
terus dan tidak terlihat adanya fase ketiga.7
Parameter yang sering ditambahkan biasanya adalah Waktu Transit
Seluruh Ginjal (Whole Kidney Transit Time/WKTT) adalah waktu total yang
dibutuhkan radiofarmaka untuk transit melalui parenkim ginjal dan pelvis. WKTT
adalah jumlah antara Waktu Transit Parenkim Rata-rata (Mean Parenchyma
Transit Time/MPTT) dan Waktu Transit Pelvis (Pelvic Transit Time/PvTT). Nilai
normal MPTT adalah 100-240 detik. Parameter yang lain adalah Indeks Waktu
Transit Parenkim (Parenchymal Transit Time Index/PTTI) dan Indeks Waktu
Transit Seluruh Ginjal (Whole Kidney Transit Time Index/WKTTI). PTTI adalah
MPTT dikurangi Waktu Transit Minimum (MinTT), nilai normal untuk PTTI
adalah 10-156 detik. WKTTI adalah WKTT dikurangi MinTT, nilai normalnya
adalah 20-170 detik.3

II.3 2 RENOGRAFI DIURETIK


Renografi diuretik merupakan suatu metode yang telah diakui dalam
pemeriksaan pasien dengan dilatasi saluran kemih bagian atas dan follow up
pasien dengan hidronephrosis. Pada penggunaannya secara rutin di klinis,
pemeriksaan ini adalah metode terpilih untuk membedakan dilatasi yang nonobstruksi (obstruktif) dengan dilatasi yang obstruksi, dan juga berperan dalam
penatalaksaanaan pasien dengan hidronephrosis melalui pemeriksaan aliran cairan
urin dan fungsi ginjal.10
INDIKASI
Pasien dengan hidronephrosis atau hidroureteronephrosis yang ditemukan
dengan ultrasonography (USG) ginjal adalah kandidat untuk dilakukannya
renografi diuretik untuk menentukan apakah terdapat obstruksi atau tidak.
Penyebab dari terjadinya dilatasi pada ginjal adalah termasuk Refluks
Vesikoureteral (RVU), infeksi saluran kemih (ISK), kelainan kongenital, noncompliant bladder, dan obstruksi saluran kemih. 3

14

PROSEDUR PEMERIKSAAN
Prinsip dari pemeriksaan ini menggunakan obat furosemide karena
efeknya bersifat diuretik yang menghambat reabsorpsi garam dan air di limb
asenden ansa henle. Sifat diuretiknya tergantung dari fungsi ginjal, terutama
jumlah nephron pada ginjal, deplesi dari natrium dan chloride, dan tidak adanya
hipotensi.

Furosemide termasuk ke dalam golongan obat loop diuretics yang

menghambat secara selektif reabsorpsi dari NaCl pada tubulus kontortus asenden
tebal pada ansa Henle. Furosemide dieliminasi dari tubuh melalui sekresi ginjal
dan filtrasi glomerular dengan respon diuretik sangat cepat pada pemberian injeksi
intravena.
Durasi dari kerja furosemide biasanya 2-3 jam dan waktu paruh tergantung
dari fungsi ginjal. Respon diuretik dari furosemide berhubungan secara positif
dengan ekskresinya di dalam urin. Furosemide bekerja dengan menghambat
sistem transport Na+/K+/2Cl- pada membran lumen di tubulus kontortus
desenden dari ansa Henle. Furosemide meningkatkan aliran darah ke ginjal dan
menyebabkan redistribusi dari aliran darah di dalam korteks ginjal. Selain itu
furosemide juga meningkatkan jumlah volume urin dan meningkatkan kadar
potasium pada pasien dengan gagal ginjal akut.
Furosemide dikontraindikasikan bagi pasien-pasien yang alergi terhadap
obat ini, juga pada pasien dengan sirosis hepatik, gagal ginjal borderline, atau
gagal jantung kongestif. 9 Pada bayi baru lahir, dimana fungsi ginjal belum matur
pemeriksaan renografi diuretik sebaiknya ditunda hingga bayi berusia 4 minggu.
Sebelum usia tersebut tubulus ginjal belum dapat merespon dari kerja obat
furosemide. Menurut suatu penelitian, maturitas fungsi ginjal akan terjadi pada
tahun pertama kehidupan dan secara bertahap menjadi sempurna pada usia 2
tahun. 10
Persiapan yang perlu dilakukan pada pasien sebelum dilakukan
pemeriksaan renografi diuretik ini. Sebelum dilakukan pemeriksaan, sebaiknya
dilihat kembali hasil dari USG ginjal. Hasil USG ini akan membantu apakah

15

hidronephrosis yang terjadi unilateral atau bilateral, atau apakah disertai dengan
dilatasi dari ureter, atau apakah ada kelainan yang lain seperti duplikasi ginjal.
Disarankan sebaiknya pasien dalam status cukup terhidrasi dengan volume urin
yang cukup, karena pada pasien dengan status hidrasi yang buruk akan
memberikan hasil pada pencitraan menjadi tidak baik serta disertai dengan
penurunan fungsi ginjal dan ekskresi yang tertunda.3,10
Pada pasien bayi atau anak-anak yang tidak dapat mengendalikan proses
miksi, sebaiknya digunakan kateter ke dalam vesika urinaria untuk memastikan
aliran urin yang cukup. Untuk menilai dari respon furosemide dibutuhkan dua
faktor utama yaitu fungsi ginjal yang masih cukup baik pada ginjal yang diperiksa
(GFR > 15 mL/menit) dan status hidrasi dari pasien. Volume urin yang
mencerminkan respon dari diuretik dan status hidrasi sebaiknya diukur selama
pemeriksaan.

10

Protokol pemilihan waktu untuk penyuntikan diuretik belum

distandarisasi secara universal.10,11


HASIL
Ketika pelvis ginjal berdilatasi, maka akan terlihat dari retensi
radiofarmaka. Pada saat itu furosemide diberikan untuk meningkatkan volume
urin yang dikeluarkan. Di Indonesia dosis furosemide yang dipakai adalah 20 mg
(1 ampul) pada orang dewasa.8 Menurut pedoman yang dibuat oleh Society of
Nuclear Medicine dan European Nuclear Medicine Association, dosis furosemide
adalah 1 mg/Kg berat badan dan maksimum mencapai 20 mg pada anak-anak dan
40 mg pada orang dewasa. Diuretik diberikan pada saat pelvis ginjal penuh,
biasanya hal ini terjadi pada 20 menit setelah radiofarmaka disuntikkan (F+20).
Respon dari diuretik dinilai secara visual dan interpretasi kuantitatif dari
pencitraan dinamik. 10
Selain dengan menggunakan protokol F+20, alternatif protokol yang lain
adalah dengan menggunakan protokol F-15 dan F+0. 11 Pada suatu penelitian,
dilakukan pengukuran volume urin pada menit 3 sampai 6 dan menit ke 15 sampai
18 setelah penyuntikan furosemide dan hasilnya didapatkan bahwa volume urin
lebih tinggi pada menit ke 15-18. Hal inilah yang menjadi dasar dari penyuntikan

16

furosemide pada 15 menit sebelum penyuntikan radiofarmaka F-15 sehingga akan


didapat nilai aliran urin yang maksimum pada saat penyuntikan radiofarmaka.
Dengan menggunakan teknik ini, akan dapat mengurangi jumlah hasil yang
meragukan dari 17 % menjadi 3 %. 10
Pada protokol F+0, furosemide disuntikkan secara intravena segera setelah
penyuntikan radiofarmaka. Menurut beberapa penelitian, hasil yang didapat pada
pemeriksaan renografi diuretik dengan menggunakan protokol F+0 tidak berbeda
jauh dengan F-15. Bahkan pada penggunaan protokol F+0 akan mengurangi
frekuensi gangguan pada saat pencitraan oleh pasien yang disebabkan keinginan
pasien untuk berkemih, dimana hal ini banyak ditemukan pada pemeriksaan
renografi diuretik dengan menggunakan protokol F-15.11 Selain itu, protokol F+0
sangat nyaman digunakan pada pasien bayi dan anak-anak, karena tidak perlu
melakukan penyuntikan sebanyak dua kali sehingga pasien menjadi lebih nyaman
begitu juga dengan petugas. 10,11

Gambar 3. Renografi diuretik protokol F+0 pada anak laki-laki berusia 6 bulan.
(diambil dari : Radionuclide Investigations of the Urinary Tract in the Era of
Multimodality Imaging)
Renogram aktivitas terhadap waktu dengan koreksi background digunakan
dalam penilaian aliran urin dan mengukur fungsi masing-masing ginjal. Bila
ginjal tidak mengalami obstruksi maka pada kurva dapat dengan mudah dilihat
pada fase pengosongan sistem saluran urin atau fase ekskresi, sedangkan bila
kurva terus naik pada fase ekskresi maka kemungkinan besar terdapat obstruksi
pada sistem saluran urin pada pasien tersebut. Dalam menilai respon ginjal pasien
terhadap furosemide juga dapat menggunakan parameter kuantifikasi yang
sederhana seperti time to peak (waktu puncak) atau waktu untuk mengekskresikan

17

50 % dari radiofarmaka (peak to half). Parameter kuantitatif lainnya yang dapat


digunakan untuk menilai fungsi ginjal seperti output efisiensi, efisiensi ekskresi
pelvis, Indeks Waktu Transit Parenkim, aktivitas residu terkoreksi. Parameter
kuantitatif tersebut dapat digunakan untuk menilai respon furosemide.
Selain menilai respon furosemid, mengukur fungsi ginjal juga penting
karena obstruksi yang bersifat kronis dapat menyebabkan kehilangan parenkim
ginjal akibat peningkatan tekanan pada sistem saluran kemih.

10

Ketika fungsi

ginjal berkurang secara bermakna, maka pemeriksaan ini tidak akan dapat menilai
respon diuretik secara akurat. Hasil pencitraan juga tidak dapat dinilai bila perunut
banyak terkumpul di pelvis ginjal. Hasil dari pemeriksaan renografi diuretik tidak
dapat digunakan bila fungsi ginjal yang dinilai telah berkurang menjadi kurang
dari 20 % dari total fungsi ginjal atau ketika pelvis ginjal tidak penuh dalam
waktu 60 menit sejak radiofarmaka disuntikkan. 10

II.3 3 RENOGRAFI KAPTOPRIL


INDIKASI
Pemeriksaan kedokteran nuklir pada ginjal dapat membantu para klinisi
dalam menegakkan diagnosa pada hipertensi renovaskuler (HTRV) dan berperan
penting dalam penatalaksanaan pasien-pasien hipertensi. Menurut Goldblatt,
terdapat hubungan antara stenosis arteri renalis (SAR) dengan hipertensi. Pada
penelitiannya, hipertensi yang diinduksi oleh SAR akan sembuh bila stenosisnya
dihilangkan. Sebenarnya jumlah pasien dengan SAR lebih banyak dari pada
HTRV. Pada 30-50 % orang-orang dengan normotensif ternyata ditemukan
memiliki SAR tingkat sedang sampai berat dan jumlahnya akan meningkat
dengan penambahan usia.
Sebaliknya jumlah pasien yang menderita HTRV hanya kurang dari 0,5 %
sampai dengan 45 % pada pasien dengan hipertensi. Akibatnya tidak semua
revaskularisasi dari SAR akan selalu dapat menyembuhkan HTRV. Sehingga
dibutuhkan suatu prosedur diagnostik untuk dapat mendeteksi HTRV secara

18

akurat dan secara implisit dapat memilih pasien yang dapat disembuhkan dengan
revaskularisasi. Pada saat ini metode revaskularisasi yang digunakan adalah
metode percutaneus transluminal renal angioplasty, suatu prosedur yang tidak
sepenuhnya aman dan memiliki komplikasi utama yang tidak ringan. Dan
menurut beberapa penelitian, bila dibandingkan antara angioplasty dengan terapi
pengobatan maka hasilnya didapat bahwa angioplasty lebih baik dibandingkan
dengan pengobatan. Sehingga benar-benar dibutuhkan suatu prosedur diagnostik
yang optimal dalam memilih pasien yang akan dilakukan revaskularisasi. 2
Gangguan renovaskuler dapat dicurigai pada pasien-pasien dengan
hipertensi yang sulit dikendalikan atau resisten dengan pengobatan, hipertensi
yang tejadi pada usia di bawah 35 tahun, perburukan fungsi ginjal selama terapi
dengan ACE inhibitor, hipertensi progresif, perburukan fungsi ginjal dengan sebab
yang tidak jelas, ditemukan penyakit vaskuler pada organ lain, penyempitan arteri
renalis yang terlihat pada angiografi, dan abdominal bruit.2 Pada saat ini banyak
para klinisi yang mengunakan SAR lebih dari 50 % pada angiografi sebagai
standar emas untuk mendiagnosa RVHT, walaupun ada juga yang menggunakan
SAR lebih dari 70 %. Namun perlu juga diingat bahwa SAR dapat terjadi dengan
bertambahnya usia dan dapat terjadi pada pasien-pasien nonhipertensif atau pada
pasien yang tidak ditemukan penyebab hipertensinya.
Kemudian pertanyaan berikutnya adalah, apakah pasien menderita RVHT
dan dapat diharapkan sembuh dengan revaskularisasi. Bukan pertanyaan apakah
pasien memiliki SAR atau tidak. Tidak heran apabila nilai sensitifitas dan
spesifisitas dari pemeriksaan renografi kaptopril akan meningkat bila standar emas
yang digunakan ada respon perbaikan dari pasien RVHT setelah dilakukan
revaskularisasi daripada menggunakan standar emas kelainan anatomi dari SAR
tersebut.2 SAR merupakan kelainan yang murni kelainan anatomi. Menurut
pedoman dari National Kidney Foundation/Disease Outcome Quality Iniative
yang disebut dengan stenosis apabila terjadinya penyempitan pembuluh darah
lebih dari 50 %, namun baru akan menimbulkan kelainan hemodinamik secara
bermakna bila stenosis terjadi lebih dari 75 %. Efek yang langsung terjadi pada
SAR dengan perubahan hemodinamik secara bermakna adalah penurunan pada

19

tekanan perfusi di arteriol eferen yang merangsang dari peningkatan sekresi renin
oleh sel juxtaglomerular di arteriol aferen.
Kemudian hal ini akan menyebabkan peningkatan angiotensin I yang
dirubah menjadi angiotensin II oleh Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) yang
bersifat vasokontriksi. Angiotensin II juga meningkatkan reabsorpsi natrium di
tubulus proksimal dan distal dengan merangsang peningkatan produksi dari
aldosteron. Sifat angiotensin II yang menyebabkan vasokontriksi secara luas akan
menyebabkan timbulnya hipertensi sistemik dengan peningkatan resistensi perifer
total. Maka sebenarnya efek dari angiotensin II adalah mencegah - atau minimal
membatasi - penurunan dari GFR karena SAR.
Dalam menegakkan diagnosa HTRV akan tergantung pada peningkatan
aktivitas sistem renin-angiotensin atau gangguan hemodinamik dan fungsi ginjal.
Pada ginjal yang terdapat SAR akan ditemukan peningkatan produksi renin,
memiliki GFR yang normal atau sedikit menurun, dan menunjukkan penurunan
fungsi ekskresi. Pada ginjal kontralateral, terdapat aliran darah dan GFR yang
meningkat atau normal, dan penurunan produksi renin karena negative feedback
dan peningkatan fungsi ekskresi. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa tingkat
kesembuhan pasien tergantung dari tingkat kerusakan ginjal kontralateral, oleh
sebab itu lebih cepat RVHT yang disebabkan oleh RAS diatasi, maka lebih besar
peluang dari hipertensi untuk sembuh. 2

20

Gambar 4. Komponen dari system Renin-Angiotensin-Aldosteron (diambil dari :


buku elektronik Medical Physiology 2nd edition, William F. Ganong)

Kaptopril adalah salah satu obat yang termasuk ke dalam golongan ACE
Inhibitor yang dapat digunakan sebagai suatu stressor pada ginjal, memperburuk
atau membuat gangguan fungsi dari ginjal pada kasus penyakit renovaskuler tetapi
bukan pada kasus hipertensi esensial. Hipertensi esensial berhubungan dengan
peningkatan vasokontriksi dari arteriol aferen korteks nephron, yang dibawah
kendali angiotensin II. Kaptopril menghambat proses ini dan meningkatkan aliran
darah sehingga memperbaiki fungsi ginjal. 2,9
Gangguan renovaskuler akan bertambah buruk jika diberikan kaptopril.
Tidak ada mekanisme pada arteriol aferen, dimana dilatasi secara maksimal yang
terjadi karena autoregulasi ginjal pada gangguan renovaskuler bukan karena
mekanisme dari kaptopril. Kaptopril memiliki mekanisme utama dalam

21

menghambat kerja angiotensin II yang bersirkulasi dalam darah yang bersifat


vasokontriktor pada arteriol eferen di daerah juxtamedulary.

Gambar 5. Diagram mekanisme aksi dari ACE Inhibitor (diambil dari : Reliability
of Captopril Renography in Patients Under Chronic Therapy with Angiotensin II
(AT1) Receptor Antagonists).
PROSEDUR PEMERIKSAAN
Kaptopril diberikan secara oral dengan dosis 25 mg. Tekanan darah
dipantau sebelum pemberian kaptopril dan setiap interval waktu 5 menit setelah
pemberian kaptopril. Jika tekanan diastolik turun sebesar 10 mmHg atau lebih
selama pemantauan, maka ini merupakan tanda bahwa efek kaptopril sudah mulai
bekerja dan pemeriksaan renografi sudah dapat dimulai. Jika hal ini tidak terjadi
maka pemeriksaan dapat dimulai 1 jam setelah pemberian kaptopril. Pasien

22

disarankan untuk puasa paling tidak empat jam sebelum pemberian kaptopril,
namun selama puasa cairan tetap harus masuk agar status hidrasi pada pasien tetap
terjaga dengan baik. Golongan obat ACE inhibitor lain yang dapat digunakan
adalah enalapril dengan dosis 2,5 mg yang diberikan secara intravena. 2,9
Untuk persiapan pasien pada pemeriksaan renografi kaptopril adalah
pasien diperintahkan untuk menghentikan obat ACE inhibitor selama kurang lebih
7 hari, dan untuk obat angiotensin II dan diuretik setidaknya dihentikan selama 2
hari. Namun, waktu yang direkomendasikan menurut literatur sangat bervariasi,
mulai dari 3 minggu sampai dengan 12 jam untuk kaptopril dan 24 jam untuk
enalapril. Sebaiknya waktu yang tepat untuk menghentikan konsumsi dari obat
ACE inhibitor adalah 5 kali interval dosis (3 hari untuk kaptopril dan 5 hari untuk
enalapril). Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kekurangan cairan atau
dehidrasi. Sedangkan obat-obatan antihipertensif lainnya tidak perlu dihentikan,
karena tidak terlalu mempengaruhi akurasi dari pemeriksaan renografi kaptopril.
2,7,8

HASIL
Pada pemeriksaan renografi kaptopril akan diperoleh gambaran yang dapat
menunjukkan retensi aktivitas pada parenkim, dan bertahan lebih lama pada
penggunaan kaptopril apabila dibandingkan dengan hasil pemeriksaan renografi
konvensional yang digunakan sebagai data dasar. Pada pemeriksaan renografi
yang menggunakan radiofarmaka tubular agent hal ini dapat disebabkan oleh
ketiadaan cairan filtrasi yang menghalangi washout dari tubular agents. Pada
penggunaan glomerular agents seperti DTPA dapat terlihat adanya penurunan
yang bermakna pada penangkapan radioaktivitas atau bahkan tidak nampak pada
ginjal yang terganggu. Indeks parameter seperti waktu transfer kortikopelvik
(waktu pada saat aktivitas pertama kali muncul di ginjal dan pelvis) dapat dicatat
dan dibandingkan antara renografi konvensional dengan renografi kaptopril.
Kurva aktivitas terhadap waktu bentuknya akan memburuk bila
dibandingkan dengan renografi konvensional; terutama terdapat gangguan pada
fase kedua dimana terjadi pemanjangan waktu menuju puncak dan perburukan,

23

atau bahkan tidak ada fase ketiga. Biasanya fungsi ginjal akan turun sebanyak 5
%, walaupun pada beberapa literatur menyebutkan penurunan fungsi sebesar 10 %
dapat digunakan untuk mendiagnosa RVHT. MPTT dapat meningkat menjadi
lebih dari 240 detik, atau 60 detik lebih lama dari nilai normal. Jika dicurigai
terdapat gangguan renovaskuler unilateral, maka ginjal kontralateral akan
menunjukkan renografi dan parameter yang normal. 2,7,8
Pemeriksaan renografi sebaiknya dilakukan pada pasien-pasien yang
mengkonsumsi ACE inhibitor secara teratur, namun jika hasilnya abnormal maka
pemeriksaan renografi konvensional yang sebenarnya dilakukan dengan
menghentikan obat ACE inhibitor selama satu minggu. Jika hasilnya
menunjukkan suatu perbaikan maka hal ini menunjukkan bahwa ACE inhibitor
memiliki pengaruh yang merugikan pada fungsi ginjal, dan menunjukkan adanya
gangguan renovaskuler. Selanjutnya pemeriksaan renografi kaptopril dapat
dilakukan untuk memastikan bahwa perburukan yang terjadi dapat disebabkan
oleh ACE inhibitor. Nephropati diabetik adalah penyebab yang umum untuk
gangguan renovaskuler.
Hal ini dapat disebabkan oleh penyakit pembuluh darah kecil walaupun
juga dapat disertai oleh kelainan pada pembuluh darah besar. Penyakit pembuluh
darah kecil dicurigai bila terdapat respon yang simetris pada pemberian kaptopril.
Jika responnya menunjukkan asimetris pada pemberian kaptopril, dimana ginjal
yang lebih buruk akan memiliki MPTT yang lebih panjang menjadi lebih dari 300
detik, dicurigai adanya suatu SAR yang berarti secara fungsional. Perbaikan pada
pemeriksaan renografi konvensional sebagai data dasar dapat menunjukkan bahwa
penggunaan kaptopril pada pasien diabetes tersebut tidak akan memperburuk
fungsi ginjal, yang akan membantu memperlambat terjadinya nephropati diabetik.
7,8

Pada suatu penelitian yang mengikutsertakan 3000 pasien dengan hipertensi,

diperoleh nilai sensitivitas dan spesifisitas bervariasi antara 83 % sampai 100 %


dan 62 % sampai 100 %.
Pada 12 penelitian yang lain melibatkan 2291 pasien nilai rata-rata untuk
sensitivitas dan spesifisitas dalam mendeteksi SAR adalah 92,5 % dan 92,2 %.
Nilai sensitivitas dari penelitian ini mungkin meningkat disebabkan tidak semua

24

pasien dalam penelitian ini dilakukan angiografi. Pada 2 buah artikel yang
diterbitkan di tahun 2000 menyebutkan di populasi yang menderita SAR tinggi
sekitar 20% dan 65%, nilai prediksi positif dan negatifnya juga tinggi yaitu 90 %
dan 95 %. Namun pada suatu penelitian lain, dimana populasi penderitanya
rendah hanya sekitar 5 %, yang melibatkan 667 dan 450 pasien penderita
hipertensi nilai sensitifitas dan spesifisitasnya tetap tinggi yaitu 90-100 % dan 9495 %.2

II.3.4 RENOGRAFI TRANSPLANTASI GINJAL


Operasi transplantasi ginjal memiliki beberapa risiko komplikasi dari
operasi tersebut. Komplikasi tersebut diantaranya adalah rejeksi (penolakan),
Acute Tubular Necrosis (ATN), obstruksi ureter, stenosis arteri renalis, thrombosis
vena renalis, infeksi, toksisitas siklosporin dan lain sebagainya. Renografi dan
teknik kedokteran nuklir lainnya telah digunakan pada perawatan pasien
transplantasi ginjal selama puluhan tahun yang lalu.
INDIKASI
Renografi pada transplantasi ginjal digunakan untuk follow-up pada
pasien-pasien pasca operasi transplantasi ginjal. Prosedur ini digunakan untuk
mendeteksi terjadinya risiko komplikasi pada pasien-pasien tersebut. Prosedur
renografi pada pasien transplantasi ginjal ini berasal dari prosedur yang sama pada
pasien non-transplantasi ginjal.3
Renografi juga dipakai untuk menilai fungsi ginjal pada calon donor yang
sehat. Renografi konvensional dilakukan untuk memastikan bahwa ginjal yang
akan didonorkan adalah ginjal yang baik dan tidak akan membahayakan bagi
pasien penerimanya. Sebelum dilakukan renografi, creatinine clearance dipakai
untuk menilai fungsi ginjal secara umum. Namun bila hasilnya meragukan maka
dapat dilakukan ranografi konvensional yang tidak terlalu invasif, aman, dan
mudah dikerjakan. Selain itu juga dapat dilakukan berulang-ulang.3

25

Tabel 3. Indikasi untuk Renografi Transplantasi Ginjal (diambil dari :


Radionuclide Investigations of the Urinary Tract in the Era of Multimodality
Imaging).
PROSEDUR PEMERIKSAAN
Yang membedakan dalam prosedur renografi konvensional dengan
renografi pada transplantasi ginjal adalah posisi kamera gamma, dimana pada
renografi transplantasi ginjal diletakkan di anterior fossa iliaka di daerah abdomen
bagian bawah dan pelvis. Vesika urinaria dan fossa iliaka kontralateral
dimasukkan ke dalam lapangan pencitraan. Setelah radiofarmaka disuntikkan
secara bolus, citra diambil pada interval satu detik selama 60 detik. Selanjutnya
dipakai protokol renografi konvensional dengan menggunakan frame 20 detik
selama 30 menit. Setelah selesai pencitraan, selanjutnya dibuat kurva renografi
dengan membuat ROI pada ginjal dan background terlebih dahulu. Untuk ROI
latar belakang biasanya dibuat di daerah fossa iliaka kontralateral, karena
mencerminkan aktivitas jaringan di sekitar transplantasi ginjal. Namun di
manapun ROI background dibuat, prinsipnya adalah tidak membuat ROI di pelvis,

26

ureter, dan vesika urinaria. Dan ROI yang dibuat harus konsisten selama
pemeriksaan renografi secara serial. 3,7
Parameter yang digunakan pada pemeriksaan perfusi dan renografi pada
pasien transplantasi ginjal adalah bladder appearance time, rasio ginjal-vesika
urinaria, waktu puncak renografi, indeks ekskresi, indeks perfusi, dan rasio ginjalaorta. Paremeter ini digunakan pada renografi transplantasi ginjal bukan dari
nilainya yang absolut, namun dilihat dari perubahan nilai pada pemeriksaan yang
dilakukan secara serial. Pada renografi transplantasi ginjal tidak ada kriteria
renografi normal, karena tidak ada nilai normal yang pasti untuk menyingkirkan
kemungkinan terjadinya rejeksi atau ATN. Pada pasien yang menerima ginjal dari
donor hidup yang sehat, biasanya memberikan gambaran renografi yang normal.
Walaupun renografi tidak pernah mencapai nilai normal, perubahan aktivitas
terjadi terhadap waktu dapat memberikan petunjuk kemajuan dari kondisi pasien
transplantasi ginjal. Yang perlu diperhatikan dari renografi pada transplantasi
ginjal ini adalah gambaran perfusi dan kurva renografinya karena dapat
memberikan informasi yang penting. 3
Terdapat dua metode yang digunakan sebagai petanda fungsional dan
penilaian perfusi ginjal pada pemeriksaan renografi transplantasi ginjal secara
serial, yaitu indeks perfusi dari Hilson dan rasio ginjal-aorta dari Kirschner. Untuk
indeks perfusi dari Hilson adalah menghitung indeks perfusi ROI dibuat pada
ginjal dan arteri iliaka yang kemudian dibuat kurva aktivitas terhadap waktu.
Rasio dari arteri dan ginjal digunakan sebagai indeks perfusi. Jika tidak ada aliran
darah ke ginjal yang ditransplantasi maka nilai indeks perfusi akan meningkat.
Sedangkan pada metode rasio ginjal-aorta dari Kirschner, dimana menggunakan
kurva aktivitas terhadap waktu dari ginjal dan aorta. Pada metode ini, nilai rasio
akan menurun bila tidak ada perfusi ke ginjal. Kelemahan dari kedua metode ini
adalah dibutuhkan penyuntikan bolus intravena yang baik, dimana tidak selalu
dapat dilakukan pada pasien-pasien transplantasi ginjal.
Metode yang lebih sedehana adalah dengan menggunakan waktu puncak
renografi dan jumlah total aktivitas pada ginjal, vesika urinaria, kateter, dan setiap
aliran urin . Lebih dekat waktu puncak pada tiga menit lebih baik, lebih tinggi

27

aktivitas lebih baik.3 Parameter yang digunakan untuk menilai bahwa operasi
transplantasi ginjal dikatakan berhasil atau ginjal berfungsi dengan baik
diantaranya adalah, apabila ginjal berfungsi dengan baik dan dapat menghasilkan
urin, kadar kreatinin dan ureum serum turun dan kadar kalium dalam batas
normal.
Masih dalam perdebatan apakah renografi dapat digunakan secara rutin
pada pasien demikian. Beberapa tempat memakai renografi pasca operasi untuk
menilai fungsi ginjal yang ditransplantasi sebagai data dasar untuk pemeriksaan
yang selanjutnya. Ini terbukti dalam literatur bahwa renografi dapat mendeteksi
adanya rejeksi sebelum terjadi perubahan pada parameter biokimia. Namun, perlu
dilakukan renografi secara serial terhadap pasien pasca operasi transplantasi ginjal
apakah itu berfungsi dengan baik atau tidak.3
Pasien biasanya tidak memproduksi urin dan memerlukan dialisis untuk
menjaga biokimia darah berada dalam kadar yang dapat diterima. Sehingga
pengukuran kadar biokimia darah tidak dapat digunakan. Renografi dan perfusi
ginjal secara rutin dilakukan dalam 24 jam pertama untuk memastikan
keberhasilan dari operasi. Pada beberapa kasus ATN dapat berlangsung selama
beberapa minggu pasca operasi. Biopsi ginjal adalah pemeriksaan yang definitif,
namun dapat memberikan morbiditas, walaupun menggunakan biopsi dengan
jarum yang halus atau dengan kontrol dari USG.
HASIL
Penggunaan renografi secara rutin dapat membantu menentukan waktu
yang tepat untuk dilakukan biopsi ginjal dan mengurangi jumlah biopsi yang tidak
perlu. Renografi akan memberikan gambaran perbaikan sampai ATN diatasi. Jika
terjadi rejeksi, gambaran renografi akan mengalami perburukan. Sayangnya
nephrotoksisitas siklosporin juga dapat memberikan gambaran yang sama dengan
rejeksi. Sehingga perlu dilakukan biopsi ginjal pada saat seperti ini untuk
membedakan kedua keadaan ini. Gambaran DTPA pada ATN berbeda dengan
gambaran pada MAG3 atau hipuran. Karena DTPA secara murni difiltrasi dan

28

tidak ada sekresi pada tubulus, maka setelah fase inisial aktivitas pada ginjal akan
turun secara cepat karena filtrasi glomerulus sangat kecil. 3
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa pada transplantasi ginjal
memiliki beberapa risiko komplikasi yang dapat memberikan gambaran yang
serupa pada pemeriksaan renografi. Komplikasi tersebut dapat memberikan
gambaran fase kedua dan ketiga yang memanjang akibat dari uptake dan ekskresi
yang berkurang. Sehingga pemeriksaan renografi pada transplantasi ginjal ini
bukan untuk mencari penyebab dari kegagalan transplantasi ginjal, namun untuk
memantau perkembangan fungsional dari transplantasi ginjal.
Oleh sebab itu, risiko komplikasi tersebut dapat digunakan sebagai
diagnosa pembanding dari penyebab terjadinya kegagalan fungsional dari
transplantasi ginjal. Nyeri yang akut disertai dengan oligouria atau anuria
cenderung disebabkan oleh obstruksi akut atau juga trombosis akut. Jika disertai
dengan pireksia maka dapat dipikirkan sebagai suatu rejeksi (penolakan). Suatu
obstruksi akut dapat disertai dengan sistem pelvikalises yang berdilatasi. Suatu
trombosis akut tidak akan memberikan gambaran ginjal pada pemeriksaan perfusi,
sedangkan rejeksi akut akan menunjukkan fungsi ginjal dan perfusi yang
berkurang. 3

II.3.5 CLEARANCE GINJAL


Laju Filtrasi Glomerulus (Glomerular Filtration Rate/GFR)
Pengukuran nilai GFR dianggap sebagai suatu pemeriksaan fungsi ginjal
yang sangat penting. Hal ini didasarkan atas konsep clearance suatu zat yang
secara ideal diberikan melalui pengukuran dengan menggunakan inulin. Namun,
pengukuran GFR menggunakan inulin sangat terbatas karena sulitnya prosedur
yang harus dikerjakan. Akibatnya nilai kreatinin clearance yang sering digunakan
untuk mengukur nilai GFR pada keadaan klinis dan telah diterima dengan baik
oleh para klinisi sebagai suatu metode yang baik dalam menilai fungsi ginjal.
Dengan asumsi bahwa bila nilai GFR turun hingga setengah dari nilai normal,

29

maka kadar kreatinin di dalam plasma akan meningkat hingga dua kali lipat dari
nilai normal pada saat produksi dan ekskresi dari kreatinin dalam keadaan
seimbang.6
Namun terdapat beberapa kelemahan dari kreatinin clearance ini. Beberapa
kelemahan tersebut adalah sekresi kreatinin pada tubulus yang kecil menyebabkan
kreatinin clearance kurang akurat bila dibandingkan dengan inulin. Kreatinin
clearance membutuhkan pengambilan sampel darah dan pengumpulan urin yang
akurat selama 24 jam. Hasil GFR yang diperoleh adalah hasil GFR total, bukan
GFR ginjal secara terpisah. Selain itu kreatinin clearance tidak dapat dilakukan
pada keadaan klinis yang memerlukan nilai GFR secara cepat. Dari sudut pandang
klinis, nilai GFR yang diperoleh dari inulin maupun kreatinin clearance tidaklah
bermakna, namun kebutuhan untuk memperoleh nilai GFR ginjal secara terpisah
dan pada saat akut membatasi penggunaan kedua metode tersebut. Akibatnya
teknik kedokteran nuklir pada nefrourologi telah dikembangkan untuk mengatasi
masalah ini dan dapat memberikan pelayanan dalam fungsi ginjal di klinis. 2,6
Laju Filtrasi Glomerulus (Glomerular Filtration Rate/GFR) adalah jumlah
filtrasi glomerulus yang dibentuk setiap menit dalam nefron kedua ginjal. Filtrasi
glomerulus terjadi akibat tekanan di dalam kapiler yang menyebabkan filtrasi
cairan melalui membran kapiler ke kapsul Bowmans. Tekanan filtrasi glomerulus
adalah tekanan netto yang memaksa cairan keluar melalui membran glomerulus,
hampir sam dengan tekanan hidrostatik glomerulus (60 mmHg) dikurangi tekanan
osmotik koloid glomerulus (32 mmHg) dan kapsula Bowmans (18 mmHg)
sehingga besarnya tekanan filtrasi normal kira-kira 10 mmHg. Koefisien filtrasi
merupakan konstanta yang besarnya 12,5 mL/menit/mmHg. Jadi didapatkan
persamaan bahwa :
GFR = Tekanan filtrasi x Koefisiensi filtrasi = 10 mmHg x 12,5 mL/menit/mmHg
= 125 mL/menit (protap)
Dalam penentuan GFR perlu dipahami konsep clearens ginjal yaitu
kemampuan ginjal untuk menjernihkan plasma dari berbagai macam zat. Laju
clearens adalah volume yang dijernihkan per unit waktu (mL/menit). GFR dapat

30

diukur dengan menghitung laju clearens ginjal dari zat khusus. Zat khusus
tersebut harus memiliki sifat yang dibutuhkan dalam pemeriksaan GFR seperti
harus diekskresi secara eksklusif oleh ginjal, harus dapat difiltrasi secara bebas
melalui glomerulus, harus secara fisiologis bersifat inert, dan juga tidak
direabsorpsi atau disekresi oleh tubulus ginjal. 99mTc-DTPA hampir memenuhi
semua kriteria diatas, sehingga dapat digunakan untuk pemeriksaan GFR. 99mTcDTPA dieliminasi secara eksklusif oleh filtrasi glomerulus. Tiga menit setelah
penyuntikan 99mTc-DTPA secara intravena, kuantitas dari radiofarmaka yang
meninggalkan ginjal dapat diabaikan sehingga dapat diasumsikan bahwa selama
interval tersebut dapat merefleksikan filtrasi glomerulus pada ginjal.12
INDIKASI
Indikasi klinis untuk pengukuran nilai GFR adalah untuk mencari dan
menilai penyakit-penyakit nefrourologi kronis, bersama dengan renografi sebelum
operasi ginjal dan atau saluran kemih, menilai fungsi ginjal sebelum dilakukan
transplantasi ginjal, memonitor fungsi ginjal selama menjalani pengobatan dengan
obat-obatan yang berpotensi untuk terjadinya nephrotoksik, selain itu juga dapat
digunakan untuk menghitung dosis obat terutama yang diekskresikan melalui
ginjal. 8
Penggunaan penanda dari logam seperti EDTA yang ditandai dengan 51Cr
memiliki clearance plasma yang serupa dengan clearance inulin, sehingga 51CrEDTA dapat digunakan sebagai standar emas alternative untuk pengukuran nilai
GFR. Namun penggunaan 51Cr-EDTA juga terbatas karena sulit diperoleh. DTPA
yang ditandai dengan 99mTc saat ini digunakan sebagai radiofarmaka pilihan
pada renografi yang membutuhkan nilai GFR. 99mTc-DTPA bersifat stabil,
memiliki ikatan protein yang rendah dibersihkan melalui filtrasi glomerulus, dan
tidak bekerja pada tubulus ginjal. Berdasarkan hasil penelitian dari Klopper et al.
menunjukkan bahwa 99mTc-DTPA dapat memberikan hasil yang memuaskan
untuk pengukuran nilai GFR walaupun terdapat ikatan protein yang minimal. 2

PROSEDUR PEMERIKSAAN DAN HASIL

31

Terdapat 4 metode teknik yang dapat digunakan untuk pengukuran nilai


GFR dengan menggunakan radiofarmaka 99mTc-DTPA. Dua diantara teknik ini
membutuhkan sampel darah yaitu teknik sampel darah multiple dan sampel darah
single, yang ketiga membutuhkan pengumpulan urin, dan yang terakhir dengan
menggunakan kamera gamma. Sehingga secara umum dapat dibagi menjadi 2
metode, pengukuran secara internal dan pengukuran secara eksternal. Semua
teknik ini harus dikerjakan sesuai dengan prosedur secara tepat, bila tidak maka
akibatnya adalah hasil yang diperoleh menjadi tidak valid.2
1. Teknik Sampel Darah Multipel
Beberapa penelitian mengatakan bahwa pengukuran GFR dengan
99mTc-DTPA dengan

metode

penyuntikan

tunggal

menggunakan

kecepatan hilangnya perunut di dalam plasma untuk menilai fungsi


glomerulus. Sampel darah multiple diambil dengan interval waktu 4 jam
setelah penyuntikan perunut untuk dibuat kurva analisa terhadap hilangnya
99mTc-DTPA dari dalam darah. Kinetika 99mTc-DTPA di dalam plasma
dapat dijelaskan oleh konsep dua kompartemen, dengan pencampuran
antara perunut di ruang intravaskuler dan ekstravaskuler dan perunut yang
dibersihkan melalui urin.
GFR dihitung dengan mengalikan nilai konstanta clearance dari
aktivitas di dalam plasma dengan volume distribusi aktivitas, yang akan
memberikan hasil volume distribusi yang hilang secara cepat. 2 Penelitian
dari Russell melaporkan akurasi terbaik dicapai untuk pengukuran GFR
dengan menggunakan 99mTc-DTPA dan teknik sampel darah multiple
adalah pengambilan sampel pertama pada 10 menit setelah perunut
disuntikkan dan dilanjutkan pada interval 3-4 jam yang kemudian dibuat
kurva aktivitas terhadap waktu di dalam plasma (r=0.87). Kurva ini juga
penting untuk menghitung nilai clearance.2
Ash dan Gilday melakukan penelitian yang sama terhadap 26
pasien, dan menunjukkan hasil yang baik (r=0.91). Balachandran et al.
mendapatkan korelasi yang dapat diterima dengan baik antara kreatinin
clearance dengan pengukuran GFR yang menggunakan 99mTc-DTPA
(r=0.833). Waller et al. menggunakan 99mTc-DTPA dan membandingkan
dengan penghitungan clearance yang sampel darahnya diambil pada jam

32

ke-2 dan ke-4 dengan teknik pengambilan sampel darah sebanyak 7 kali
selama 4 jam dengan pengambilan yang pertama pada jam ke-1 dan
dilanjutkan setiap 30 menit. Hasilnya, diperoleh hubungan yang sempurna
(r=0.996) dan lebih baik bila dibandingkan dengan menggunakan
pengambilan sampel pada jam ke-1 dan ke-2 atau jam ke-2 dan ke-3. Hal
ini dipercaya karena disebabkan oleh belum terjadinya keseimbangan pada
saat itu.2
2. Teknik Sampel Darah Tunggal
Teknik ini memiliki prinsip dalam menentukan suatu hubungan
semiempiris antara clearance perunut di dalam plasma (merupakan akibat
dari proses GFR) dan distribusi volume yang merupakan aktivitas yang
disuntikkan dibagi dengan aktivitas sampel di dalam plasma. Prinsipnya
adalah mengukur konsentrasi 99mTc-DTPA di dalam plasma pada waktu
tertentu dan dibandingkan dengan jumlah perunut disuntikkan dengan
menggunakan teknik laboratorium in vitro yang telah distandarisasi.
Persentase perunut yang disuntikkan yang tinggal di dalam darah pada saat
itu akan lebih rendah pada pasien dengan nilai GFR yang normal bila
dibandingkan dengan pasien yang fungsi ginjalnya telah berkurang.2
Russel et al. menunjukkan suatu metode untuk menghitung GFR
total oleh teknik clearance plasma dengan pengambilan sampel darah
tunggal. Russel melaporkan bahwa waktu optimal untuk pengambilan
sampel adalah pada menit ke-180 setelah penyuntikkan 99mTc-DTPA,
walaupun waktu yang terbaik untuk pengambilan sampel sebenarnya
tergantung dari kondisi fungsi ginjal itu sendiri. Penentuan GFR dengan
menggunakan teknik ini memiliki kesepakatan yang erat dengan 51CrEDTA sebagai standar emas karena clearance-nya serupa dengan inulin.2
Teknik sampel darah tunggal ini juga dilaporkan telah memberikan
hasil yang valid pada anak-anak dalam mengukur nilai GFR. Tauxe et al.
menghitung nilai GFR pada 30 anak dengan usia berkisar 4-16 tahun
menggunakan prosedur teknik yang sama pada orang dewasa, didapatkan
hasil waktu optimal untuk pengambilan sampel darah adalah pada menit
ke-91. Bahkan, teknik ini juga dapat digunakan pada semua kondisi fungsi
ginjal. 2

33

3. Teknik Clearance Cairan Urin


GFR dapat diukur berdasarkan kecepatan munculnya perunut di
dalam urin, dan menurut teori nilainya akan sama bila ditentukan dari
teknik pengambilan sampel darah. Jackson et al. membandingkan teknik
ini dengan kreatinin clearance selama 24 jam pada 13 pasien dan
menemukan hubungan yang baik (r=0.968). Jackson mengukur aktivitas
ekskresi di kandung kemih pada 30 menit setelah penyuntikan perunut dan
dibandingkan dengan aktivitas dalam plasma yang diperoleh dari teknik
sampel plasma pada 30 menit. Teknik ini memiliki keuntungan dapat
digunakan pada semua volume distribusi perunut dari setiap pasien.
Tapi teknik ini juga memiliki kelemahan yang penting yaitu tidak
baik digunakan pada pasien dengan retensi urin. 2 Semua nilai GFR yang
diperoleh dari teknik pengambilan sampel darah dan urin tetap
membutuhkan pecitraan dengan menggunakan teknik kamera gamma
untuk menentukan persentase penangkapan dari perunut yang kemudian
digunakan untuk membagi nilai GFR bagi kedua ginjal.2
4. Teknik Kamera Gamma
Keinginan untuk menghitung nilai GFR secara cepat di klinis tanpa
menggunakan pengambilan sampel darah atau urin telah membuat
berkembangnya teknik pencitraan kamera gamma dengan menggunakan
99mTc-DTPA. Alasan yang lain yang mendorong perkembangan teknik ini
adalah keinginan untuk memperoleh nilai GFR dalam bentuk terpisah
bukan dalam bentuk nilai GFR total yang akan memberikan keuntungan
tersendiri.2 Perhitungan GFR dengan teknik pencitraan kamera gamma
berdasarkan prinsip bahwa jumlah penangkapan radioaktif yang
menggambarkan filtrasi radioaktif selama waktu pengukuran, asalkan
tidak terjadi ekstravasasi dan ekskresi selama waktu tersebut. 8
Penggunaan pemeriksaan GFR dengan metode ini biasanya
ditujukan untuk menilai perfusi dan fungsi ginjal serta juga untuk menilai
fungsi ginjal setelah terjadi trauma. Radiofarmaka yang digunakan adalah
99mTc-DTPA dengan dosis aktivitas sebanyak 5 mCi yang disuntikkan
melalui intravena secara bolus.8 Tidak ada persiapan khusus terhadap
pasien yang akan menjalani pemeriksaan GFR dengan metode ini, hanya
sebaiknya pasien dalam keadaan terhidrasi dengan baik. Sebelum

34

memasuki ruangan pemeriksaan, pasien disarankan untuk buang air kecil


dahulu. Kemudian pasien diposisikan tidur terlentang dan detektor
ditempatkan sedemikian rupa sehingga ginjal dan kandung kemih berada
di lapang pandang pencitraan dari proyeksi posterior.
Pencitraan dilakukan secara dinamik dengan menggunakan matriks
128x128. Seluruh data kasar digabung, kemudian dibuatkan ROI pada
kedua ginjal dan area dibawah masing-masing ginjal untuk substaksi latar
belakang. Cacahan kedua ginjal ditentukan pada interval 2 sampai 3 menit
pertama setelah penyuntikan radifarmasi.8 Penangkapan 99mTc-DTPA oleh
ginjal dihitung dari persentasi dosis yang diberikan. GFR kemudian
dihitung dengan pengumpulan data subyek, yaitu penangkapan ginjal
antara 2-3 menit setelah penyutikan yang akhirnya akan didapatkan
persentase penangkapan oleh ginjal kanan dan kiri. Nilai normal GFR
untuk metode ini adalah 125 15 ml/menit.8
Gates, melakukan penelitian pada 51 pasien dewasa dan
mendapatkan hubungan yang baik antara 99mTc-DTPA dengan kreatinin
clearance selama 24 jam (r=0.97). Gates mengembangkan metode yang
cepat untuk menentukan nilai total GFR dan juga nilai GFR secara
terpisah dengan menggunakan kamera gamma tanpa membutuhkan
pengambilan sampel darah ataupun urin. Gates menentukan akumulasi
99mTc-DTPA di dalam ginjal selama 2-3 menit setelah perunut disuntikan
dan disebut sebagai persentase dari cacahan yang disuntikan, setelah
background dan kedalaman ginjal dikoreksi terlebih dahulu. Nilai GFR
total dan secara terpisah ditentukan dengan fraksi penangkapan perunut
pada setiap ginjal setelah 99mTc-DTPA ditangkap oleh ginjal. Teknik juga
sudah teruji pada penelitian Gates yang lainnya dengan menggunakan 44
pasien yang berbeda dan memperoleh hasil yang serupa dengan penelitian
sebelumnya (r=0.98).
Secara umum teknik kamera gamma sedikit kurang akurat bila
dibandingkan dengan pengitungan dengan teknik in vitro, namun teknik
kamera gamma unggul dalam hal mudah dilakukan, hasilnya dapat diulang
kembali, dan terbukti sesuai untuk kondisi klinis. Teknik pengambilan
sampel lebih banyak memakan waktu daripada teknik kamera gamma

35

karena pada teknik pengambilan sampel membutuhkan ketepatan waktu


dalam pengambilan sampel darah (diambil sampai 3 jam setelah perunut
disuntikan) dan dibutuhkan tingkat ketelitian yang tinggi dalam
menganalisa sampel darah. Selain itu juga peralatan laboratorium perlu
distandarisasi secara akurat dan petugas laboratorium yang terlatih dalam
menganalisa sampel darah agar terhindar dari kesalahan hasil.
II.3.6 ALIRAN PLASMA GINJAL EFEKTIF (Effective Renal Plasma
Flow/ERPF)
ERPF adalah bagian dari aliran plasma ginjal yang mengalami perfusi ke
jaringan sekresi ginjal, tidak termasuk fraksi kecil yang mengalami perfusi ke
lemak, pelvis, dan kapsul. ERPF merupakan salah satu parameter yang lebih dapat
dipercaya untuk mendeteksi gangguan fungsi ginjal pada penderita dengan
hipertensi esensial. 8 Suatu zat yang diekstraksi secara sempurna oleh ginjal (rasio
ekstraksi 100%) dapat digunakan untuk mengukur aliran plasma ginjal total. PAminohippuric acid (PAH) adalah zat yang mendekati syarat tersebut walaupun
rasio ekstraksi-nya hanya 85-95 %, sehingga PAH dapat digunakan untuk
memperkirakan nilai ERPF. Namun PAH tidak dilakukan secara rutin di klinis,
karena prosedur pemeriksaannya membutuhkan waktu yang lama dan analisanya
membutuhkan analisa secara kimia atau khromatograpi. 2
Ortho-Iodohippuric acid (hippuran) adalah suatu analog dari PAminohippuric acid (PAH). Hippuran pertama kali dilabel dengan 131I dan
selanjutnya dengan menggunakan 125I dan 123I. Hippuran memiliki clearance
yang lebih tinggi dibandingkan dengan radiofarmaka yang lainnya, walaupun
clearance hippuran diperkirakan 10 % lebih rendah dari PAH namun secara klinis
berguna untuk mengukur ERPF. Hippuran memiliki struktur dan sistem transport
aktif yang mirip dengan PAH.
Hippuran telah digunakan secara luas sebagai suatu tubular function agent
karena memiliki nilai efisiensi ekstraksi yang lebih tinggi dari radiofarmaka yang
digunakan pada pemeriksaan GFR, dan memberikan rasio ginjal terhadap
background yang lebih tinggi sehingga dapat mendeteksi penyakit ginjal yang

36

ringan dan yang tidak dapat dideteksi oleh radiofarmaka untuk GFR. 2 Hippuran
juga digunakan untuk pemeriksaan ginjal dan saluran kemih pada bayi dan anakanak.

2,3

Namun, penggunaan hippuran yang dilabel dengan 123I tidak diterima

secara luas di Amerika Serikat karena harganya yang mahal, sulit didapat dan
dapat juga diganti dengan 99mTc sebagai alternatif untuk tubular secretory
function agent. 2,3
INDIKASI
Pemeriksaan ERPF ini diindikasikan untuk menilai perfusi dan fungsi
ginjal, menilai fungsi ginjal setelah trauma, dan uji saring pada pasien hipertensi
esensial.
PROSEDUR PEMERIKSAAN
Radiofarmaka yang digunakan adalah 131I-hippuran sebanyak 300 uCi
atau 99mTc-MAG3 dengan dosis aktivitas sebanyak 5 mCi yang disuntikkan
secara intravena secara bolus.8 Pada pemakaian radiofarmaka 131I-hippuran,
penderita sebelumnya diberi larutan lugol 10 tetes untuk memblok jaringan tiroid
agar tidak menangkap 131I. Penderita harus dalam keadaan terhidrasi dengan baik
dengan cara diberikan minum 500 mL sebelum pemeriksaan. Kandung kemih
penderita diusahakan dalam keadaan kosong dengan buang air kecil terlebih
dahulu sebelu dilakukan pemeriksaan.8
Pasien diposisikan terlentang dengan detektor ditempatkan sedemikian
rupa sehingga ginjal dan kandung kemih berada dalam lapang pandang pencitraan
dari proyeksi posterior. Teknik pencitraan dilakukan secara dinamik dengan
matriks 128x128. Setelah itu seluruh data kasar digabung, kemudian dibuat ROI
pada kedua ginjal serta dibawah kedua ginjal untuk substraksi latar belakang,
didapatkan kurva aktivitas terhadap waktu. Pengukuran penangkapan ginjal
radiofarmaka dilakukan pada 1-2 menit setelah titik injeksi dari kurva renografi
yang mencerminkan total ERPF pada masing-masing ginjal.8
Pemeriksaan ERPF dengan metode lain adalah dengan cuplikan plasma
tunggal, menggunakan 131I-hippuran 44 menit setelah penyuntikan. Fraksi filtrasi

37

(FF) adalah rasio antara GFR dan ERPF yaitu fraksi dari plasma dalam
glomerulus yang ditransfer ke daerah kapsula Bowmans sebagai filter. Nilai
normal FF adalah 18-22 % atau berkisar yang berarti jumlah filtrasi glomerulus
adalah kurang lebih seperlima jumlah plasma yang melalui ginjal. Nilai GFR
berkisar 20 % dari ERPF. 2 Pada penyakit jantung kongestif nilai FF meningkat.
Pada glomerulopati karena nilai GFR menurun maka FF juga menurun.8
HASIL
Nilai normal untuk ERPF adalah 491 817 ml/menit/1,73 m2 untuk pria,
dan 439-745 ml/menit/1,73 m2 untuk wanita. 8

You might also like