You are on page 1of 45

!

35!

BAB II

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

2.1 Keadaan Geografi dan Demografi Desa Bayung Gede


Secara geografis Desa Bayung Gede terletak pada 11501343 dan 11502724
Bujur Timur, dan 80881 dan 803120 Lintang Selatan serta terletak pada
ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut (mDPL). Adapun batas-batas Desa
Bayung Gede yaitu, sebelah Utara berbatasan dengan Desa Batur; sebelah Timur
berbatasan dengan Desa Sekardadi; sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bonyoh
dan Sekaan dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Belancan (Profil Desa dan
Kelurahan Bayung Gede: 2012). Jarak dari pusat Kota Bangli ke Bayung Gede adalah
25 kilometer dengan waktu tempuh 30 menit apabila menggunakan kendaraan
bermotor. Jarak dari Kota Denpasar adalah 75 kilometer dengan waktu tempuh 2,5
jam, sedangkan jarak dari kota pariwisata Ubud adalah sekitar 1 jam dengan
kendaraan bermotor. Desa Bayung Gede saat ini telah menjadi salah satu tempat
wisata yang banyak dikunjungi wisatawan asing dan lokal terutama mereka yang
mencintai wisata alam dengan bersepeda. Perjalanan menuju Desa Bayung Gede
dapat diakses dengan mudah, karena telah didukung oleh infrastruktur jalan yang
memadai serta alat transportasi yang mudah diakses. Penulis sendiri berasal dari
daerah pariwisata Ubud yang sudah tidak asing melihat perubahan yang dibawa oleh

36!

pengaruh pariwisata, terutama dalam hal pembangunan. Mengunjungi Desa Bayung


Gede membangkitkan nostalgia, karena dalam perjalanan masih dijumpai hutan-hutan
hijau serta perkebunan jeruk yang membangkitkan memori Bali the last paradise.

Gambar 2.1 Peta Lokasi Desa Bayung Gede

BAYUNG!GEDE!

Sumber:https://www.google.com/search?q=lokasi+desa+bayung+
gede&source=lnms&tbm=isch&sa =1054&bih=494&dpr=1.2
Desa Bayung Gede, sebuah desa pegunungan kuno, merupakan salah satu
desa Bali pertama yang mendapatkan perhatian dunia, karena telah dipilih sebagai
tempat yang paling ideal untuk sebuah studi yang terkenal tentang Karakter Orang
Bali oleh Gregory Bateson dan Margaret Mead (1942) dalam Reuter (2005:244).
Pemukiman masyarakat Bayung Gede berbentuk seperti sarang lebah yang

37!

menggantung jika dilihat dari satelit. Bagian tengah desa terdapat ruang terbuka yang
berfungsi sebagai sirkulasi umum atau ruang publik untuk melaksanakan berbagai
upacara adat dan keagamaan. Gunung Batur yang terletak di sebelah Utara desa
menjadi orientasi tertinggi bagi masyarakat, berbeda dengan masyarakat Bali Dataran
yang menganggap Gunung Agung sebagai orientasi tertinggi. Desa Bayung Gede
terletak di antara dua sungai yang saling bermuara, sungai ini bertempat di sebelah
Barat dan Timur desa. Desa ini juga dikelilingi oleh bentang alam berupa hutan
bambu dan perkebunan yang dikelola oleh masyarakat setempat.
Gambar 2.2 Peta Pemukiman Desa Bayung Gede Melalui Satelit

Sumber:https://www.google.com/maps/place/Jl.+Bayung
+Gede,+Kintamani,+Kab.+Bangli,+Bali+80652,+Indonesia

38!

Desa Bayung Gede secara administratif termasuk ke dalam wilayah


Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Profil Desa dan Kelurahan Desa Bayung
Gede tahun 2012 menunjukkan bahwa luas wilayah Bayung Gede adalah 1443 ha/m2
dan sebagian besar digunakan sebagai lahan perkebunan. Luas wilayah keseluruhan
yang mencapai 1443 ha/m2 diklasifikasikan menurut penggunaannya yang terdiri atas
luas pemukiman seluas 26 ha/m2, perkebunan seluas 929,7 ha/m2, kuburan seluas 6,5
ha/m2, pekarangan seluas 26 ha/m2, taman seluas 2 ha/m2, perkantoran seluas 1,2
ha/m2, hutan adat 419,6 ha/m2 dan prasarana umum lainnya seluas 32 ha/m2 (Profil
Desa dan Kelurahan Desa Bayung Gede: 2012).
Gambar 2.3 Jalan Utama Desa Bayung Gede

Sumber : Dokumentasi Dewa Ayu 7 Februari 2015


Pertumbuhan penduduk di Desa Bayung Gede rata-rata 3,04% per tahun atau
sebanyak 92 jiwa/tahun. Jumlah penduduk pada tahun 2012 berdasarkan pada jenis

39!

kelamin adalah penduduk laki-laki berjumlah 1.098 orang dan penduduk perempuan
berjumlah 1.030 orang, dengan total jumlah penduduk sebanyak 2.128 orang. Jumlah
KK atau Kepala Keluarga di Desa Bayung Gede pada tahun 2012 adalah 560 KK.

Gambar 2.4 Denah Desa Bayung Gede

Sumber : Dokumentasi Dewa Ayu 7 Februari 2015

40!

2.2 Asal Usul Nama Bayung Gede


Tokoh terkemuka Desa Bayung Gede yang dikenal dengan sebutan Jero
Kebayan Muncuk menjelaskan bahwa secara etimologi Bayung Gede berasal dari
Bahasa Bali yakni bayu dan gede. Bayu berarti tenaga dan gede berarti besar.
Pemberian nama tersebut dimaksudkan atas adanya penafsiran bahwa masyarakat
Bayung Gede adalah masyarakat yang kuat dan pekerja keras. Nama Bayung Gede
yaitu Bayung diambil dari kata Ayung yang berarti perlindungan dengan maksud
mendapatkan perlindungan dari Tuhan, seperti pada pengertian pengayung jagat
(Tuhan sebagai pelindung dunia).
Wayan Suwela mantan Perbekel Bayung Gede mengungkapkan bahwa
Bayung Gede pada awalnya adalah kawasan hutan yang sangat lebat. Para pendiri
Bayung Gede yang berjumlah 35 KK di masa lalu berjuang keras untuk membabat
hutan itu sehingga menjadi kawasan yang layak untuk dijadikan pemukiman. Proses
membabat hutan yang sangat lebat itu memerlukan tenaga yang sangat kuat atau
dalam istilah lokal disebut bayu gede, sehingga ketika kawasan tersebut telah menjadi
pemukiman yang dikenal dengan nama Bayung Gede.
Versi lainnya diungkapkan oleh Jero Bahu (65 tahun) menuturkan bahwa
pada awalnya di Desa Bayung Gede terdapat satu padukuhan yang dihuni oleh satu
orang dukuh yang kemudian berkembang menjadi 35 KK, para warga ini merasa
bahwa kawasan tempat mereka tinggal tidak layak, sehingga mereka pindah ke

41!

tempat lain yang berupa kawasan hutan yang sangat lebat. Kawasan hutan ini
kemudian dibabat dan dibersihkan untuk dijadikan pemukiman dan tegalan. Proses
pembabatan ini memerlukan perjuangan dan semangat yang sangat kuat, sehingga
menjadikan hutan tersebut pemukiman yang layak dan dijadikan tegalan tempat
warga memulai perkebunan. Kekuatan dan semangat warga membuat mereka
memutuskan untuk menamai pemukiman mereka bayung gede yang berasal dari kata
bayu dan gede yang berarti tenaga yang besar dan kuat.
Jero Kebayan Muncuk juga menuturkan bahwa nama Bayung Gede diambil
dari asal-usul manusia pertama di sini yakni kayu gede atau pohon besar, sehingga
disebut dengan Bayung Gede. Ada juga yang menyebutkan bahwa nama Bayung
Gede diambil dari nama Betara Bayu, karena manusia pertama di sana dihidupkan
oleh putra Betara Bayu sehingga manusia itu dianggap memiliki bayu gede atau
tenaga yang besar dan kemudian menjadi Bayung Gede.
2.3 Sistem Mata Pencaharian Hidup
Desa Bayung Gede berada di ketinggian sekitar 1.100 meter di atas
permukaan laut (mDPL) dengan curah hujan 125 mm/tahun. Suhu rata-rata harian di
Bayung Gede adalah 18-250 C, tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi perubahan
suhu, tergantung dari perubahan iklim di Bali. Ketinggian tempat dan suhu rata-rata
di Bayung Gede mendukung mata pencaharian utama Desa Bayung Gede yaitu
perkebunan. Keseharian masyarakat Bayung Gede adalah bercocok tanam di kebun

42!

atau ladang. Luas lahan yang dimanfaatkan untuk perkebunan oleh masyarakat
Bayung Gede adalah 929,7 ha/m2 dari total luas wilayah Bayung Gede yang
mencapai 1443 ha/m2, dengan kuantitas tanah kering berupa ladang sekitar 512
ha/m2. Masyarakat Bayung Gede mulai beraktifitas di kebun sejak pagi hari setelah
menyelesaikan semua urusan rumah tangga, dan akan pulang setelah senja hari.
Masyarakat Bayung Gede telah terbiasa menghabiskan waktu istirahat siang di
kebun, mereka memiliki gubuk kecil yang dilengkapi dengan berbagai peralatan yang
mendukung kebutuhan mereka, seperti perabotan rumah tangga untuk makan dan
bersih-bersih, tikar untuk istirahat dan ada beberapa yang membawa televisi untuk
mengisi waktu istirahat. Jarak antara perkebunan dengan perkampungan masyarakat
Bayung Gede cukup jauh yakni sekitar 2-10 kilometer dari Desa Bayung Gede.
Perladangan di Bayung Gede saat ini dapat digolongkan ke dalam
rudimentary sedentary cultivation atau bercocok tanam tanpa irigasi yang menetap
karena sudah menggunakan peralatan yang horticulture dan perladangan tidak
berpindah-pindah. Jenis tanaman yang menjadi penghasilan utama adalah jeruk.
Jumlah penduduk Bayung Gede yang berprofesi sebagai petani adalah 865 orang
terdiri atas laki-laki 545 orang dan perempuan 320 orang. Pekerjaan di ladang
dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, namun dalam beberapa tahap
pengerjaan terdapat pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Pekerjaan
pengolahan tanah yang memerlukan tenaga kasar, pada umumnya dilakukan oleh

43!

para laki-laki sedangkan pekerjaan menanam dan merawat tanaman serta panen lebih
banyak dilakukan oleh perempuan (Danandjaya, 1980:200).
Tabel II.1
Mata Pencaharian Pokok Masyarakat Desa Bayung Gede Tahun 2012
Jenis Pekerjaan

Jumlah Orang

Presentase (%)

865

60,3 %

Pegawai Negeri Sipil

0,6 %

Pengerajin Industri Rumah Tangga

0,2 %

536

37,4 %

Montir

0,1 %

Pensiunan PNS/TNI/POLRI

0,3 %

Pengusaha Kecil dan Menengah

16

1,1 %

Dosen Swasta

0,1 %

1434

100 %

Petani

Peternak

JUMLAH

Sumber: Monografi Desa Bayung Gede Tahun 2012


Jenis tanaman yang dominan ditanam pada tahun 2012 adalah tanaman jeruk
yang menghasilkan 17.430 ton/ha dengan total luas lahan 498 ha. Kondisi geografi
Bayung Gede yang terletak di pegunungan dengan jenis tanah regosol vulkanik yang
subur, tapi tidak mampu menyerap dan menyimpan banyak air dengan suhu udara
rata-rata 18o-25o C, menjadikan kawasan Bayung Gede sangat cocok untuk ditanami
tanaman jeruk. Tanaman jeruk adalah tanaman yang tidak memerlukan banyak air

44!

dalam masa pertumbuhannya serta memerlukan banyak sinar matahari, hal ini
didukung oleh kondisi geografis Bayung Gede yang sulit air karena curah hujan
pertahun hanya berkisar 125 mm/tahun dan terletak di dataran tinggi terbuka yang
kaya akan sinar matahari. Jeruk yang banyak ditanam masyarakat adalah jenis jeruk
siam karena memiliki cita rasa yang enak dan manis. Terdapat pula tanaman obat
seperti jahe 17,15 ton/ha, kunyit 9,93 ton/ha, dan kencur 3,8 ton/ha. Desa Bayung
Gede juga dikelilingi oleh hutan bambu yang dimanfaatkan masyarakat sebagai salah
satu bahan material bangunan terutama untuk pagar dan atap rumah.
Table II.2
Jenis Populasi Ternak Desa Bayung Gede Tahun 2012
Jenis Ternak

Jumlah Pemilik (orang)

Perkiraan Jumlah Ternak

Sapi

535

994

Babi

400

800

Ayam kampung

500

1.200

Ayam boiler

2.500

Bebek

10

20

Kelinci

10

Anjing

300

300

Kucing

100

105

Sumber : Monografi Desa Bayung Gede Tahun 2012

45!

Kawasan Bayung Gede yang dikelilingi oleh hutan bambu dan padang ilalang,
serta perkebunan jeruk yang banyak memerlukan pupuk organik menyebabkan
masyarakat Bayung Gede juga aktif berprofesi sebagai peternak yaitu berjumlah 536
orang dengan populasi ternak utama sapi. Berdasarkan Profil Desa dan Kelurahan
Desa Bayung Gede 2012, populasi ternak yang dikembangbiakkan di desa tersebut
adalah sapi dengan jumlah 994 ekor, babi 800 ekor dan ayam 3.700 ekor. Lahan
terbuka di sekitar perkebunan menjadi lokasi yang strategis sebagai penempatan
kandang ternak, sehingga kotoran yang dihasilkan bisa langsung dimanfaatkan
sebagai pupuk. Dedaunan yang banyak dihasilkan dari kawasan hutan adat, terutama
daun bambu serta padang rumput di sekitar lahan perkebunan menjadi pakan utama
ternak sapi yang paling banyak dikembangbiakkan di Bayung Gede. Kelimpahan
sumber pakan menyebabkan peternakan di Bayung Gede terus bertahan. Masyarakat
Bayung Gede menempatkan kandang ternak mereka di luar dari pekarangan rumah
mereka, karena kapasitas ruang pekarangan rumah yang sempit dan tidak adanya tebe
atau halaman yang terletak di belakang rumah.

2.4 Organisasi dan Stratifikasi Sosial


Masyarakat Bayung Gede memiliki berbagai jenis organisasi sosial yang
umumnya bergerak di bidang adat dan keagamaan. Organisasi sosial yang berupa
perkumpulan beberapa golongan masyarakat biasa disebut Sekaa. Sekaa yang
terdapat di Desa Bayung Gede antara lain : Sekaa Truna-Truni, Sekaa Subak, Sekaa

46!

Ebar (bertugas menyediakan dan mempersiapkan makanan pada saat odalan maupn
pada saat pernikahan), Sekaa Pecalang (bertugas menjaga keamanan), Sekaa Baris,
dan Sekaa Barong. Masing-masing Sekaa menjalankan tugas sesuai dengan fungsi
dan kedudukannya.
Masyarakat Bayung Gede memakai sistem pemerintahan dinas dan sistem
pemerintahan adat. Sistem pemerintahan dinas berkaitan dengan kesatuan wilayah
administratif Bayung Gede yang dipimpin oleh Kepala Desa atau Lurah. Tugas dan
kewajiban utama dari pemerintahan dinas adalah mengurus hal-hal yang bersifat
kedinasan dan administrasi, seperti mengurus masalah perijinan, kependudukan, dan
program-program pembangunan (Surpha, 2002:52). Desa Bayung Gede terdiri dari
dua dusun atau banjar yaitu Banjar Bayung Gede dan Banjar Peludu, sedangkan
secara adat Desa Bayung Gede merupakan sebuah desa adat yang hanya terdiri dari
satu banjar adat, yaitu Desa Adat Bayung Gede. Sistem Desa Adat adalah banjar adat
yang bergerak di bidang adat dan keagamaan serta dipimpin oleh Bendesa Adat
(Surpha, 2002: 57). Desa Bayung Gede memiliki satu banjar adat yang memiliki
peraturan adat (awig-awig) tidak tertulis dan dijalankan secara turun-temurun dengan
penuh kesadaran.

47!

Gambar 2.5 Jero Kebayan Muncuk Desa Bayung Gede

Sumber : Dokumentasi Anggara 20 Nopember 2014


Di Desa Bayung Gede juga terdapat sistem organisasi dan stratifikasi sosial
yang disebut dengan Ulu Apad, yang anggotanya terdiri dari 164 KK krama desa
ngarep (anggota inti) Desa Bayung Gede (Ledang, 1997). Masyarakat yang menjadi
krama desa ngarep mempunyai kewajiban dan hak yang berbeda dibandingkan
dengan anggota masyarakat biasa yang diistilahkan dengan krama angkepan atau
bala angkep, khususnya dalam pelaksanaan upacara dan hak untuk menempati tanah
desa yang disebut dengan karang ayahan desa. Orang yang dapat menjadi krama
desa ngarep adalah anak laki-laki dari krama ngarep, terutama anak laki-laki yang
termuda. Kedudukan seseorang dalam sistem ulu apad ini ditentukan berdasarkan

48!

kesenioran mereka dalam menjadi krama desa, yaitu dari nomor urut 1 sampai
dengan nomor urut 164.
Pengurus adat yang paling utama di antara 16 pengurus adat, yaitu empat
keluarga paling senior yang masing-masing dinamakan Jero Kebayan Muncuk
sebagai keluarga dengan nomor urut pertama, Jero Kebayan Nyoman sebagai
keluarga kedua, Jero Bahu Muncuk sebagai keluarga ketiga dan Jero Bahu Nyoman
sebagai keluarga keempat. Jero Kebayan bertugas memimpin pelaksanaan upacara
adat dan agama, sedangkan Jero Bahu sebagai pendamping Jero Kebayan. Keempat
pasang keluarga itu bebas dari segala bentuk dedosan atau denda dari desa.
Di bawah Jero Kebayan dan Jero Bahu ada Jero Tanding sebanyak empat
pasang keluarga. Tugasnya untuk nanding atau menata sarana upacara. Keluarga
yang menempati posisi ini adalah keluarga dengan nomor urut lima sampai dengan
delapan, selanjutnya masih ada delapan pasang keluarga lainnya yang menempati
posisi sebagai Pelancang. Keluarga yang menempati posisi ini adalah keluarga
dengan nomor urut sembilan hingga enam belas, tugasnya membantu menyiapkan
segala perlengkapan upacara. Semua krama desa ngarep Desa Bayung Gede akan
mendapatkan kesempatan untuk menduduki jabatan di jajaran Paduluan Saih
Enembelas dengan 164 krama ngarep yang terlibat di dalam sistem ulu apad, setiap
warga akan secara bergiliran mendapatkan kepercayaan sebagai Jero Kebayan atau
Jero Bahu sepanjang memenuhi syarat (Ginting dkk, 2014:27).

49!

Kelompok keagamaan di Bayung Gede merupakan salah satu komponen


dalam rangka kehidupan adat dan agama yang dipimpin oleh beberapa orang
bersama-sama, sehingga boleh dikatakan memakai pola pimpinan majemuk, serta
didasarkan pada konsep dualitas kiwa-tengen (kiri-kanan). Adapun pimpinan dari
kelompok tersebut adalah :
1.

Jero Kebayan yang dibedakan menjadi Jero Kebayan Muncuk dan Jero
Kebayan Nyoman. Jero Kebayan Muncuk juga dibagi menjadi dua yaitu,
Jero Kebayan Muncuk Tengen atau Tengawan dan Jero Kebayan Kiwa
atau Tengebot. Demikian juga Jero Kebayan Nyoman dibagi menjadi dua
yaitu Jero Kebayan Nyoman Tengen dan Jero Kebayan Kiwa, sehingga
Jero Kebayan ini berjumlah empat orang. Jero Kebayan bertugas untuk
muput dan memimpin upacara keagamaan di semua tempat suci setelah
segala perlengkapan untuk upacara disediakan.

2.

Jero Bahu yang dibedakan menjadi Jero Bahu Muncuk dan Jero Bahu
Nyoman yang masing-masing ada kiwa dan tengen, sehingga jumlahnya
empat orang. Jero Bahu bertugas untuk membantu Jero Kebayan terutama
apabila terdapat perlengkapan upacara yang kurang.

3.

Jero Pati yang dibedakan menjadi Jero Pati Muncuk

dan Jero Pati

Nyoman juga dengan posisi kiwa dan tengen, sehingga berjumlah empat
orang. Jero Pati bertugas untuk menyembelih segala hewan antara lain;
babi, ayam, itik, dan lain sebagainya untuk perlengkapan upacara.

50!

4.

Jero Singgukan yang dibedakan menjadi Jero Singgukan Muncuk dan Jero
Singgukan Nyoman dengan posisi kiwa dan tengen, sehingga berjumlah
empat orang. Jero Singgukan bertugas mencari perlengkapan upacara yang
kurang setelah mendapatkan perintah dari Jero Bahu.
Masing-masing peran memiliki tugas dan tanggung jawab yang telah diatur

dalam awig-awig desa, apabila tugas tidak dijalankan dengan benar akan mendapat
sanksi adat yang telah diatur dalam awig-awig desa Bayung Gede. Peran sebagai
pemuka adat akan lengser jika anak laki-laki termuda mereka sudah menikah dan
mempunyai cucu.
2.5 Sistem Kekerabatan
Masyarakat Bayung Gede memiliki hubungan kekerabatan yang erat dengan
desa-desa sekitarnya. Masyarakat Bayung Gede dan hubungan mereka dengan desadesa lain yang secara geografis terletak saling berjauhan, menamakan diri mereka
gebog satak dari Bayung Gede. Sistem kekerabatan antardesa ini terjalin karena
adanya kesamaan sejarah atau asal-usul penduduk desa. Desa-desa anggota gebog
satak yang utama adalah Bayung Gede, Penglipuran, Tiga Kawan, dan Sekardadi.
Interaksi ritual yang paling kuat terdapat di kalangan kelompok inti ini. Keanggotaan
yang lebih luas mencakup desa adat Sulahan, Pengiangan, Tanggahan, dan Lumbahan
(sebuah desa dinas), Pengotan dan Sunting (sebuah desa dinas), Kedisan, Buahan dan
Bonyoh. Desa-desa ini mempertahankan serentetan ikatan asal-usul dan hubungan
ritual yang secara konseptual berbeda terhadap Bayung Gede (Reuter, 2005: 244)

51!

Sebuah kumpulan desa dikatakan merupakan pondokan dari Desa Bayung


yang asli. Mereka berasal dari kelompok orang yang bertempat tinggal di kebun atau
pondok yang didirikan agak jauh dari desa dan telah lama tumbuh menjadi daerah
hunian tetap dan desa adat yang mandiri. Kelompok-kelompok pendiri semua desa ini
masih menyatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Bayung Gede. Di antara
pondokan ini adalah Desa Bonyoh, Penglipuran dan Sekardadi (Reuter, 2005: 244).
Sistem kekerabatan yang dianut masyarakat Bayung Gede adalah sistem
kekerabatan patrilineal, dimana garis kekerabatan diambil dari garis kerabat laki-laki.
Kelompok kekerabatan yang terkecil yang terdiri dari keluarga batih atau nuclear
family disebut dengan kuren. Anggota masyarakat yang sudah menjalankan proses
perkawinan untuk berumah tangga sudah dianggap sebagai warga penuh yaitu
mempunyai hak dan kewajiban di dalam kegiatan sosial sebagai suatu wadah yang
disebut banjar. Kuren dianggap penting disamping mendapat hak dan suara dalam
rapat banjar, dalam pemilihan kelian, perbekel dan lainnya. Awig-awig Desa Bayung
Gede menyebutkan bahwa setiap orang yang telah kawin atau makurenan wajib
menjadi anggota banjar (Ledang, 1997).
Sistem perkawinan yang dianut masyarakat Bayung Gede, adalah sistem
perkawinan endogami maupun perkawinan eksogami. Tidak ada larangan dan sanksi
bagi laki-laki dari Desa Bayung Gede untuk menikahi perempuan dari luar desa.
Berbeda halnya apabila seorang perempuan dinikahi oleh laki-laki dari luar Desa
Bayung Gede, maka laki-laki yang menikahi perempuan tersebut dikenai denda

52!

seekor anak sapi. Perkawinan yang dilarang atau incest pada masyarakat Bayung
Gede adalah perkawinan dengan saudara kandung dan sepupu. Warga yang
melakukan pelanggaran akan diisolir atau kasepekang, tidak boleh tinggal di dalam
desa dan tidak menjadi krama desa (Ginting dkk, 2014: 25)
Kelompok kekerabatan terdiri dari satu keluarga inti senior atau kuren, tetapi
seluruhnya merupakan satu kesatuan sosial yang amat erat dan biasanya hidup atau
tinggal bersama satu tempat atau satu pekarangan. Keluarga luas atau extended family
pada masyarakat Bayung Gede adalah keluarga luas virilokal yang didasarkan atas
adat virilokal yang terdiri dari satu keluarga senior dengan keluarga inti dari anak
laki-laki. Pekarangan rumah yang sempit atau yang disebut dengan ayahan desa
menyebabkan masyarakat Bayung Gede mengembangkan adat menetap neolokal
setelah menikah. Masing-masing keluarga rumah tangga yang baru menikah akan
membangun rumah baru yang diistilahkan dengan ngarangin di luar rumah tua
mereka. Warga yang tetap tinggal di rumah tua atau tanah ayahan desa adalah
mereka yang berstatus sebagai krama arep atau anggota inti Desa Bayung Gede
(Ginting dkk, 2014: 25)
Kelompok kekerabatan yang terdiri dari semua keturunan dari seorang nenek
moyang yang diperhitungkan mulai dari garis keturunan sejenis yang oleh
Koentjaraningrat disebut dengan maximal lineage (1971:125). Klen besar oleh
masyarakat Bayung Gede disebut dengan kawitan atau lebih dikenal dengan sebutan
soroh. Kawitan atau soroh ini merupakan kumpulan dari klen kecil yang ada di

53!

berbagai desa adat. Menurut masyarakat Bayung Gede sangat penting dalam
kehidupan mereka untuk mengenal sorohnya, karena erat kaitannya dengan
kehidupan keseharian, yaitu dalam melaksanakan kegiatan keagamaan. Pusat
orientasi dari masing-masing soroh yang ada di desa adalah keberadaan Pura Paibon,
sedangkan pura bagi warga masyarakat Bali, termasuk juga masyarakat Bayung Gede
yang berasal dari klen yang sama disebut dengan Pura Kawitan. Warga masyarakat
Bayung Gede termasuk dalam klen atau soroh Pasek, yang terdiri dari Pasek Gelgel,
Pasek Tangkas, dan Pasek Kayu Selem.
2.6 Kesenian
Kehidupan agama Hindu tidak bisa dilepaskan dari kesenian, demikian juga
bagi masyarakat Hindu di Bayung Gede. Upacara yadnya di tempat-tempat suci tak
bisa dilepaskan dari seni, seperti seni suara, seni tari, seni kerawitan, seni lukis dan
sastra. Seni adalah sesuatu yang memuat hal-hal yang transendental, sesuatu yang
tidak dikenal sebelumnya dan kini dikenal lewat karya seorang seniman (Sumardjo,
2000:10).
Desa Bayung Gede memiliki beberapa tarian sakral yang seringkali
dipentaskan pada upacara keagamaan, di antaranya : Tari Baris Jojor, Baris Gede,
Baris Bajra, Baris Presi, Baris Dadap, dan Rejang.
1. Tari Baris Jojor merupakan tarian baris yang ditarikan sekelompok penari
dengan membawa senjata Jojor atau tombak bertangkai panjang yang

54!

ditarikan dalam upacara Dewa Yadnya dan hanya ada di daerah Buleleng,
Bangli dan Karangasem (Duija : 2002)
2. Tari Baris Gede merupakan tarian sakral yang diperkirakan telah ada sejak
abad ke-8. Tarian ini bisa dipentaskan saat upacara di pura dan mejadi bagian
pelengkap dari upacara. Menurut Prof. Dr. Wayan Dibia, tari Baris Gede
ditarikan secara berkelompok dalam jumlah tertentu sesuai arti di masingmasing daerah. Jumlah satu kelompok ada yang delapan orang sampai dengan
empat puluh orang penari, biasanya terikat dengan simbol-simbol tertentu.
Senjata yang digunakan dalam tari Baris Gede juga beragam, ada yang
menggunakan tombak, cakra, atau tamiang (tameng). Tari Baris Gede
menggambarkan Widiadara atau pengawal yang mengiringi para dewa serta
menyambut para dewa. Di sisi lain tari Baris Gede juga dapat diartikan
sebagai tarian prajurit perang (Dibia :1997)
3. Tari Baris Bajra merupakan tarian baris yang membawa senjata gada dengan
ujungnya berbentuk Bajra seperti senjata gada Bima dan ditarikan dalam
upacara Dewa Yadnya, tarian ini dapat dijumpai di daerah Bangli dan
Buleleng. Tarian Baris Bajra berjumlah sebelas orang dan masing-masing
penari membawa properti Bajra yang dibuat dari gabus. Sebelum menari
mereka mengucapkan aksara suci agama Hindu Ong, Ah, Ung, Krih, Brih,
Hrih, Bajra Yana Yanama Svaha dengan penuh percaya diri (Prayoga: 2011)

55!

4. Tari Baris Presi dicirikan dengan penari yang membawa senjata keris, dan
sejenis perisai yang dinamakan Presi. Tarian ini hanya dipentaskan saat
pelaksanaan upacara Dewa Yadnya dan umumnya dapat dijumpai di daerah
Bangli dan Buleleng (Duija : 2002)
5. Tari Baris Dadap adalah tari baris yang membawa senjata dadap (semacam
perisai), gerakannya lebih lembut dari jenis-jenis tari baris lainnya dan
penarinya menari sambil menyanyikan tembang berlaras slendro dan ditarikan
dalam upacara Dewa Yadnya dan kecuali di daerah Tabanan tarian ini
ditarikan dalam upacara Pitra Yadnya. Tarian ini banyak dijumpai di daerah
Bangli, Buleleng, Gianyar dan Tabanan.
6. Tari Rejang merupakan tarian khusus yang dipentaskan oleh remaja
perempuan yang masih perawan. Tari Rejang adalah salah satu Tari Wali
yang penyajiannya dilakukan di jeroan atau bagian utama pura. Tarian ini
adalah tarian klasik yang gerak-gerak tarinya sangat sederhana, lemah
gemulai, yang dilakukan secara berkelompok atau masal dan penuh dengan
rasa pengabdian kepada leluhur.
2.7 Sistem Religi
Sistem religi termasuk agama, pada dasarnya merupakan hubungan timbal
balik (sistemik) antara emosi keagamaan yaitu suatu getaran jiwa yang pada suatu
ketika pernah menghinggapi seorang manusia dalam jangka waktu hidupnya. Emosi

56!

keagamaan memicu perilaku religi dan sifat keramat dari kelakuan itu (sacred value)
(Koentjaraningrat, 1981:228), sistem keyakinan, kelompok keagamaan, dan sistem
ritual. Keempat elemen tersebut saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dari
emosi keagamaan (religious emotion) sebagai inti. Emosi keagamaan memicu
timbulnya perilaku religi suatu kelompok keagamaan seperti pemujaan pusaka
(Syam: 2001:19).
Thomas A. Reuter secara komprehensif memaparkan tentang budaya dan
masyarakat di pegunungan Bali. Bukunya yang berjudul Custodians of the Sacred
Mountains menjelaskan bahwa masyarakat Bali pegunungan dipandang sebagai
masyarakat yang masih tertinggal dibandingkan dengan masyarakat Bali yang tinggal
di dataran. Mereka dipandang sebagai masyarakat yang kurang baik dalam
menjalankan ajaran agama Hindu, kasar, kurang pandai berbahasa Bali halus, serta
berbagai stigma yang kurang baik lainnya. Representasi tentang orang Bali Aga ini
mungkin dihasilkan secara bersama-sama oleh ilmuan Barat dan orang Bali, yaitu
narasumber utama mereka di istana-istana dan rumah tangga di Bali bagian selatan
(Reuter, 2005:434). Kenyataanya yang ditemukan oleh Reuter setelah penelitian
panjangnya adalah bahwa orang-orang Bali Mula ternyata memiliki kekenyalan
budaya dalam usaha mereka mempertahankan eksistensinya melalui proses resistensi,
adaptasi, dan revitalisasi terhadap perubahan yang terjadi sebagai akibat persentuhan
dengan pendatang melalui sistem Banua (Reuter, 2005: 36-37).

57!

Masyarakat Bayung Gede adalah mayoritas Hindu dengan konsep


kepercayaan Bali Mula yang masih sangat kuat yaitu; 1). Bayung Gede kurang
memiliki penamaan terhadap manifestasi Tuhan; 2). Mereka tidak menjalankan
kremasi; 3). Mereka tidak menempatkan relevansi warna terhadap dewa-dewi dalam
pembuatan sesajen; 4). Mereka tidak memiliki kasta; 5). Mereka tidak memiliki
ketabuan tentang memakan sapi; 6). Mereka tidak memiliki hubungan dengan
pendeta Brahmana. Mead dan Bateson juga menjelaskan bahwa masyarakat Bayung
Gede memang memiliki nama-nama dewa-dewi seperti Betara Sri sebagai dewi
kesuburan, Betara Wisnu sebagai pelindung dunia, serta Betara Surya sebagai dewa
matahari, tetapi masyarakat Bayung Gede tidak mengenal konsep Tri Murti yang
biasa dikenal oleh masyarakat Bali Dataran (dalam Jensen dan Suryani, 1992:37).
Bayung Gede juga masih mempertahankan konsep kepercayaan animisme,
karena masih banyak ditemukan pura-pura khusus untuk pemujaan para leluhur.
Selain itu mereka juga masih mempercayai konsep dinamisme, terbukti dengan masih
kuatnya konsep Pura Mertiwi yang terletak di sekeliling desa. Pura Mertiwi diambil
dari kata Perthiwi yang berarti dewi bumi sehingga memiliki makna sebagai Pura
Bumi, bentuk puranya sangat sederhana dan berada di tengah lapangan terbuka yang
dikelilingi hutan lebat, dalam pura tidak dibangun pelinggih atau dugul sebagaimana
pura pada umunya, tetapi hanya pangkal pohon besar, batu atau pohon keramat yang
dipercayai memiliki makna yang suci berdasarkan pada kepercayaan mereka secara
turun-temurun.

58!

Kuantitas umat yang berbeda agama tidak banyak, tetapi hal ini membuktikan
adanya keterbukaan masyarakat Bali Mula untuk menerima perbedaan budaya. Pusat
orientasi keagamaan pada masyarakat Bayung Gede tidak berbeda jauh dengan Bali
Dataran yaitu pada Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang terdiri dari Pura
Desa atau Bale Agung, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Masing-masing keluarga di
Desa Bayung Gede memiliki tempat pemujaan atau Utama Mandala yang terdiri dari
satu sanggah pokok, sanggah Dewa Hyang atau Turus Lumbung, Dugul Karang,
sanggah Bhatara Hyang Guru dan Kemulan. Orientasi keagamaan bagi klen atau
soroh di Desa Bayung Gede terdapat di beberapa pura paibon sesuai dengan jumlah
klen yang ada.
Tabel II.3
Agama Masyarakat Desa Bayung Gede Tahun 2012
Agama

Jumlah Orang

Presentase (%)

Islam

0,14 %

Hindu

2121

99,67 %

Budha

0,18 %

2128

100 %

JUMLAH

Sumber: Monografi Desa Bayung Gede Tahun 2012

59!

Ritual yang dilakukan oleh masyarakat Bayung Gede berdasarkan pada Panca
Yadnya yang sesuai dengan dresta sima atau peraturan dan keyakinan yang dianut
oleh masyarakat Bayung Gede sebagai Bali Mula. Upacara Panca Yadnya ini terdiri
dari:
2.7.1 Upacara Dewa Yadnya
Dewa Yadnya adalah korban suci atau persembahan pada para Dewa sebagai
wujud syukur kepada Ida Betara dan segala manifestasinya. Upacara Dewa Yadnya
yang dilakukan di Bayung Gede dilakukan dari bentuk upacara yang paling sederhana
sampai dengan upacara terbesar yang melibatkan seluruh keturunan asli dari warga
Bayung Gede yang tergabung dalam gebog satak. Upacara terbesar ini dirayakan
setiap Purnama Kapat dan disebut dengan upacara Usaba Agung dan dilaksanakan di
Pura Panti Kayu Selem. Selain itu masyarakat Bayung Gede juga melakukan upacara
Ngusaba Dalem setiap satu tahun sekali yang dilakukan di Pura Dalem Mertiwi.
Seluruh warga Bayung Gede akan melakukan persembahyangan di Pura Dalem
Mertiwi, ketika Usaba Dalem berlangsung. Orang-orang yang wajib membawa
banten adalah para paduluan saih enembelas, sedangkan warga hanya membawa alat
persembahyangan. Persembahyangan akan dilakukan menghadap ke pohon di sebelah
Barat. Upacaranya dilakukan di malam hari sekitar jam 10 malam dan selesai jam 12
malam.

60!

Tempat suci atau pura di Bayung Gede terdiri dari Pura Bale Agung, Pura
Puseh, Pura Pasek Gelgel, Pura Panti Kayu Selem, Pura Ibu, Pura Tangkas, Pura
Pingit dan Pura Pendem, semua bangunan Pura ini terdapat di dalam wilayah
Bayung Gede, selain itu juga terdapat Pura Mertiwi yang terdiri dari Pura Dalem,
Pura Naluah, Pura Dukuh, Pura Bukit, Pura Dalem Kaliasem, Pura Puaji, dan Pura
Pludu. Pura Mertiwi adalah areal yang dipercayai sebagai tempat keramat dari jaman
dahulu kala sehingga areal tersebut disucikan dan dijadikan pura. Pura ini biasanya
terletak di wilayah lapang atau hutan yang berada di sekitar Desa Bayung Gede.
Mertiwi berasal dari kata Perthiwi yang berarti tanah atau bumi, wujud Pura Mertiwi
adalah areal hutan yang ditandai oleh adanya pohon besar yang dikeramatkan, ada
pula yang hanya berwujud tued kayu (pangkal pohon), di beberapa tempat ada yang
ditandai oleh batu, patung dan hutan bambu. Kepercayaan Pura Mertiwi merupakan
warisan budaya yang turun-temurun, sehingga sejarah mengapa suatu tempat
dijadikan Pura Mertiwi, tidak diketahui.
Masyarakat Bayung Gede juga memiliki bentuk sesajen yang unik dan
sederhana, sesajen tersebut mirip dengan banten gebogan, tetapi perangkat sesajen
dibungkus dalam anyaman bambu berbentuk tabung atau wakul dan disebut dengan
banten tapakan. Komposisi banten tapakan terdiri atas eteh-eteh daksina, buah, jajan
dan sampiyan canang. Banten tapakan wajib dipersembahkan oleh krama desa
ngarep, sedangkan bagi warga biasa banten persembahan boleh ditata dalam bokor,
keben, dulang dan sebagainya.

61!

Upacara yang berkaitan dengan Dewa Yadnya akan diselenggarakan oleh


krama desa ngarep yang dipimpin oleh Jero Kebayan Muncuk, sedangkan untuk
upacara Manusa Yadnya atau upacara kematian akan diselenggarakan oleh Sekaa
Teruna.
2.7.2 Upacara Pitra Yadnya
Upacara Pitra Yadnya adalah persembahan yang tulus ikhlas pada para
leluhur yang diwujudkan dalam upacara kematian dan ngaben. Masyarakat Bayung
Gede termasuk ke dalam Bali Mula sehingga penguburan jenasahnya masih
menggunakan kepercayaan bea tanem.
Upacara penguburan jenasah dilakukan di seme atau kuburan masyarakat
setempat. Sebelum dibawa ke kuburan, untuk sementara jenasah akan ditempatkan di
paon atau dapur, kemudian jenasah akan diupacarai dengan upacara pebersihan.
Pebersihan pertama dilakukan di dapur dengan air tawar, selanjutnya jenasah akan
dimandikan di dekat kuburan, jenasah diletakkan atau dibaringkan di atas papaga.
Air yang dipakai memandikan merupakan Tirta Bujanga Sakti, Tirta Bhatara Hyang
Guru, Tirta Kawitan dan Tirta Kemimitan. Tujuan dari upacara pemandian jenasah
ini adalah untuk pembersihan lahir dan batin bagi orang yang meninggal agar dalam
perjalanan mendatang dapat menjadi manusia yang sempurna. Proses memandikan
jenasah adalah proses yang penting, karena tanpa dimandikan terlebih dahulu akan
menjadi penghalang untuk mencapai surga, untuk mencapai tujuan yang tertinggi

62!

yaitu Moksa atau tujuan tertinggi dari umat Hindu harus dilandasi dengan kesucian
baik lahir maupun batin (Ariawan, 1995:95).
Jenasah setelah mengalami proses pebersihan kemudian akan dibawa ke
kuburan dengan diusung di atas bale-bale kecil atau asagan oleh empat orang pria,
ketika jenasah mulai diusung ke kuburan, pemilik rumah mulai menyalakan api di
paon atau dapur, hal ini bertujuan untuk membersihkan kotoran secara niskala yang
dibawa oleh orang yang telah meninggal. Pada proses penguburan seluruh pakaian
jenasah dilepas. Jalur yang dilalui untuk mengusung jenasah selalu mengarah ke
teben atau Selatan, dengan posisi jenasah yang berbeda, untuk pria dengan posisi
tertelungkup dan wanita dengan posisi menengadah.
Kepercayaan masyarakat Bayung Gede menyebutkan bahwa jenasah pria
harus dikubur dengan posisi tertelungkup, karena laki-laki adalah lambang akasa atau
langit yang memayungi pertiwi (bumi) serta bertujuan agar roh yang telah
bereinkarnasi menghadap ke Barat Laut sebagai wujud bakti kepada Bhatara Dalem
Karu. Jenasah wanita dikubur dengan posisi tengadah karena wanita adalah lambang
pertiwi atau bumi yang menghadap langit dan bertujuan agar roh yang telah
bereinkarnasi menuju Timur Laut sebagai bakti kepada Bhatara Sakti Gunung Agung.
Tempat penguburan di Bayung Gede berbeda-beda, yaitu kuburan yang paling Timur
adalah kuburan untuk anak-anak, kuburan bagian tengah untuk orang dewasa yang
masih bujang, paling Barat untuk kuburan orang tua. Lain halnya dengan orang yang
meninggal salah pati/ulah pati atau meninggal secara tidak wajar akan dikubur pada

63!

Seme Pengerancab, kuburan khusus untuk orang yang meninggal secara tidak wajar
(Ariawan, 1995 : 103).
Masyarakat Desa Bayung Gede tidak menjalani ritual ngaben dengan cara
membakar jenasah, tetapi yang dibakar adalah adegan atau simbol badan manusia
yang meninggal, biasanya prosesi tersebut dikenal dengan nama mianin. Tujuan
mianin adalah untuk meningkatkan taraf dari Sang Pitaa istilah Pitara atau roh
leluhur masyarakat di Desa Bayung Gede agar bisa bersatu dengan Tuhan.

2.7.3 Upacara Rsi Yadnya


Upacara Rsi Yadnya adalah persembahan suci yang ditujukan pada para rsi
atau orang suci dan para guru. Desa Bayung Gede menganut sistem pemerintahan ulu
apad dan Jero Kebayan Muncuk memiliki peranan yang sangat penting sebagai
pemimpin paduluan saih enembelas sekaligus juga memimpin upacara adat yang
berlangsung di Bayung Gede.
Upacara penyucian dan pembersihan kepada calon Jero Kebayan menjadi
tanggung jawab dari masyarakat Bayung Gede. Upacara yang dilakukan juga melalui
beberapa tahapan yang terdiri dari; 1) Upacara Mesayut dengan sesajen utama
mempersembahkan ayam serta ngaturang piuning; 2) Upacara Nilem dengan sesajen
utama menghaturkan sapi sebagai kurban dan dipersembahkan di Pura Bale Agung;
3) Upacara Mesayut kembali dilakukan sebagai bentuk penyucian dan pembersihan
dari raga atau badan dari calon Jero Kebayan Muncuk; 4) Upacara Mapas

64!

menghaturkan sesajen berupa ayam dan bebek yang dipersembahkan di Pura Bale
Agung; 5) Upacara Ngubung dilakukan dengan melakukan persembahyangan di purapura dan ke segala arah sesuai dengan pengider-ider atau arah mata angin; 6)
Upacara Ngantah adalah upacara yang terbesar dengan menghaturkan banteng
dengan menghiasi tanduknya dengan emas serta pakaian, dan babi hitam yang
dihaturkan di Bale Agung, selain itu masyarakat juga menghaturkan dulang sejumlah
150 yang diletakkan berjejer di Bale Agung; 7) Upacara Nuada adalah upacara
tingkat akhir dengan menghaturkan kambing sebagai sesajen. Jero Kebayan terpilih
yang telah melakukan upacara ini akan dibuatkan rumah baru dan dilarang tinggal di
rumahnya yang lama. Warga Bayung Gede akan membangun rumah dalam waktu
satu hari dengan konsep bah bangun yang memiliki pengertian bah berarti runtuh
untuk memotong pohon dan bangun yang berarti mendirikan rumah yang juga
berdasarkan pada dewasa ayu atau hari baik. Jero Kebayan Muncuk diperbolehkan
menempati bangunan setelah 2-3 hari kemudian.

2.7.4 Upacara Manusa Yadnya


Upacara Manusa Yadnya adalah persembahan yang bertujuan untuk
kesempurnaan dan kesejahteraan hidup manusia. Di Bayung Gede upacara ini
diwujudkan dalam bentuk upacara perkawinan dan Usaba Lampuan yang
diperuntukkan bagi para daha dan teruna di Bayung Gede. Upacara ini dilaksanakan
sekitar empat tahun sekali dengan mengambil tempat di sebelah Selatan pemukiman

65!

di Pura Pelampuan. Selama pelaksanaan upacara tersebut, para peserta dilarang


memakai sandal dan keluar dari areal pura. Jika melanggar akan dikenakan sanksi
dengan membayar sebanyak tujuh puluh lima tandingan khusus yang berisi jaja uli
dan pisang. Proses upacara Usaba Lampuan dikatakan mirip seperti upacara
perkawinan.
Upacara Usaba Lampuan dimaksudkan sebagai acara perjodohan. Selama
pelaksanaan upacara para daha dan teruna diwajibkan untuk makan sirih. Anak dari
Jero Kebayan lebih diutamakan pada prosesi ini. Selama pelaksanaan upacara remaja
laki-laki tidak diperbolehkan mengejar wanita dan tidak boleh bersentuhan.
Pelaksanaannya berlangsung selama lima belas hari. Hari terakhir pelaksanaan para
peserta dibawa ke Pura Bale Agung, dengan memberikan pembatas berupa penjor
antara para daha dan teruna. Pemberian batas ini dilakukan karena terdapat
kepercayaan masyarakat bahwa jika para teruna sampai memegang daha, maka
pasangan tersebut harus dinikahkan.

2.7.5 Upacara Bhuta Yadnya


Upacara Bhuta Yadnya adalah persembahan suci yang ditujukan pada para
Bhuta Kala atau kekuatan-kekuatan alam yang bersifat negatif yang perlu dilebur
atau somya (disucikan) agar kembali pada sifat positif dan tidak mengganggu
kehidupan manusia. Upacara ini diwujudkan dalam upacara mecaru Tawur Kesanga
yang diadakan setahun sekali di sebelah Selatan pemukiman yakni pada pertemuan

66!

jalan menuju Seme Gede atau kuburan umum dan di sebelah Barat pada pertemuan
jalan menuju ke arah Seme Pengerancab. Tempat pelaksanaan mecaru oleh
masyarakat Desa Bayung Gede disebut sebagai pemangkalan, yaitu pintu keluar desa.
Selain dari Upacara Panca Yadnya seperti yang telah dijelaskan di atas
masyarakat Bayung Gede juga melakukan banyak upacara lainnya yang berhubungan
dengan kepercayan mereka terhadap alam semesta dan lingkungan seperti rangkaian
upacara untuk padi, upacara penggantungan ari-ari yang memiliki hubungan erat
dengan kepercayaan asal-usul manusia Bayung Gede dan keterkaitannya dengan
sistem ulu apad. Masyarakat Bayung Gede juga memiliki konsep kepercayan Bhuana
Agung, Bhuana Alit, Tri Hita Karana, Tri Angga, Tri Mandala dan Sekala Niskala
yang tercermin dalam pola perkampungan serta pandangan mereka terhadap
lingkungannya.
2.8 Pola Perkampungan Desa Bayung Gede
Pandangan masyarakat Bali mengenai konsep territorial memiliki dua
pengertian, yaitu : pertama, teritorial sebagai suatu kesatuan wilayah tempat para
warganya secara bersama-sama melaksanakan upacara-upacara dan berbagai kegiatan
sosial yang ditata oleh suatu sistem budaya dengan nama desa adat; dan kedua desa
sebagai kesatuan wilayah administrasi dengan nama desa dinas atau perbekelan
(Depdikbud, 1985). Sistem kemasyarakatan (organisasi) desa merupakan pengikat
warga yang diatur dalam awig-awig desa , kebiasaan dan kepercayaan (Bappeda,
1982:32). Teritorial sebagai suatu kesatuan wilayah di Bali, biasanya dibagi menjadi

67!

beberapa zona untuk menjalankan kegiatan kemanusiaan dan keagamaan. Pembagian


zona ruang desa di Bali memiliki tipologi yang berangkat dari tatanan tradisi yang
berdasarkan pada adat dan kepercayaan setempat. Bentuk tipologi paling utama
ditentukan oleh adanya konotasi yang bersifat dualistik antara profan dan sakral yang
diterjemahkan dalam wujud fisik dengan adanya area hulu atau luan dan hilir atau
teben (Alit, 2004:85).
Tipologi pemukiman di Bali dikenal sebagai pemukiman yang mewadahi
suatu masyarakat yang ketat berpegang dan mengamalkan unsur-unsur sistem
budayanya, terutama unsur kepercayaan atau religi dengan segala nilai, kaidah,
norma dan aturan-aturannya. Unsur kepercayaan ini merasuk pula ke dalam pola
pemukiman di Bayung Gede sebagai salah satu unsur lingkungan budayanya. Hal ini
dapat dibuktikan dengan adanya bermacam-macam pandangan yang terakumulasi
dalam suatu konsep yang dapat dijabarkan dalam berbagai norma dan aturan terhadap
pola dan orientasi pemukiman sesuai dengan idealisme masyarakatnya (Alit,
2004:78).
Ciri khas pola pemukiman di Bali dimana daerah tinggi (gunung, bukit)
sebagai area hulu (luan) dan area rendah sebagai area hilir (teben). Menurut Alit
(1996) ciri khas pola tempat tinggal dari unit terkecil sampai pola-pola pemukiman
skala regional diteladani dari kondisi topografi alam Bali. Desa Bayung Gede terletak
di pegunungan, sehingga kondisi geografis mempengaruhi pola pemukiman yang
linier atau memanjang dari Utara ke Selatan (kaja-kelod). Masyarakat Bayung Gede

68!

adalah masyarakat yang tetap teguh menjalankan kepercayaannya dan memiliki


idealisme tersendiri di dalam mengatur pola pemukiman desa sehingga selaras
dengan lingkungan dan budayanya. Masyarakat Bayung Gede mempraktekkan
konsep Tri Hita Karana yang mengatur keseimbangan antara manusia sebagai
Bhuana Alit dengan Bhuana Agung atau alam semesta. Konsepsi ini diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari sebagai unsur tunggal yang tercermin pada wadah
interaksinya, yaitu pola rumah dan desa yang memenuhi ketiga unsur tersebut.
Keharmonisan dari alam semesta dengan segala isinya yakni bhuana agung
(makrokosmos) dengan bhuana alit (mikrokosmos), dalam kaitan ini bhuana agung
adalah lingkungan buatan atau bangunan dan bhuana alit adalah manusia yang
mendirikan dan menggunakan wadah tersebut (Subandi, 1990). Manusia (bhuana
alit) merupakan bagian dari alam (bhuana agung), selain memiliki unsur pembentuk
yang sama, juga terdapat perbedaan ukuran dan fungsi. Manusia sebagai isi dan alam
sebagai wadah, senantiasa dalam keadaan harmonis dan selaras seperti manik atau
janin dalam cucupu atau rahim ibu (Dwijendra, 2003). Rahim sebagai tempat yang
memberikan kehidupan, perlindungan dan perkembangan janin tersebut, demikian
pula halnya manusia berada, hidup, berkembang dan berlindung pada alam semesta,
ini yang kemudian dikenal dengan konsep manik ring cucupu, dengan alasan itu pula,
setiap wadah kehidupan atau lingkungan buatan, berusaha untuk diciptakan senilai
dengan suatu bhuana agung, dengan susunan unsur-unsur yang utuh yaitu Tri Hita
Karana.

69!

Tri Hita Karana yang secara harfiah Tri berarti tiga, Hita berarti
kemakmuran, baik, gembira, senang dan lestari, dan Karana berarti penyebab. Tri
Hita Karana mengandung konsep Parahyangan

yang berarti hubungan yang

harmonis dengan Sang Pencipta, Pawongan yang berarti hubungan yang harmonis
antara manusia dengan sesama manusia dan Palemahan yang berarti hubungan yang
harmonis antara manusia dengan alam lingkungan. Di Bayung Gede konsepsi Tri
Hita Karana melandasi terwujudnya susunan kosmos dari yang paling makro
(bhuana agung atau alam semesta) sampai pada hal yang paling mikro (bhuana alit
atau manusia). Alam semesta adalah jiwa atau Paramatma, manusia dan makhluk
hidup lainnya adalah tenaga atau prana dan jasad adalah Panca Maha Bhuta atau
unsur pembentuk alam semesta, sedangkan di tingkat desa, jiwa adalah Parahyangan
yang bertempat di Pura, tenaga adalah Pawongan atau masyarakat dan jasad adalah
Palemahan atau wilayah banjar (Dwijendra, 2003:10).
Tri Hita Karana atau tiga unsur kehidupan yang mengatur keseimbangan atau
keharmonisan manusia dengan lingkungan, tersusun dalam susunan jasad atau angga,
memberikan turunan konsep ruang yang disebut dengan Tri Angga. Secara harfiah
Tri berarti tiga dan Angga berarti badan, yang lebih menekankan tiga nilai fisik yaitu
: Utama Angga, Madya Angga dan Nista Angga, dalam alam semesta atau bhuana
agung, pembagian ini disebut Tri Loka, yaitu: Bhur Loka atau bumi, Bwah Loka atau
angkasa dan Swah Loka atau sorga. Ketiga nilai tersebut didasarkan secara vertikal,
dimana nilai utama pada posisi teratas atau sakral, madya pada posisi tengah dan

70!

nista pada posisi terendah atau kotor. Di Bayung Gede gunung memiliki nilai utama,
daratan bernilai madya dan lautan bernilai nista.
2.8.1 Zona Utama Angga
Tri Angga memberikan arahan tata nilai secara vertikal, juga terdapat tata nilai
hulu-teben, merupakan pedoman tata nilai di dalam mencapai tujuan penyelarasan
antara bhuana agung dan bhuana alit. Hulu-teben memiliki orientasi nilai antara lain:
1) berdasarkan sumbu bumi atau garis episentrum yaitu, arah kaja-kelod atau gunung
dan laut; 2) arah tinggi rendah atau tegeh dan lebah; 3) berdasarkan sumbu matahari
yaitu matahari terbit dan terbenam Timur-Barat (Sulistyawati dkk, 1985:7)
Tata nilai berdasarkan garis episentrum (kaja/gunung-kelod/laut) memberikan
nilau utama pada arah kaja/gunung dan nista pada arah kelod, sedangkan berdasarkan
sumbu matahari, nilai utama pada arah matahari terbit dan nista pada arah matahari
terbenam. Selain kedua konsep Tri Hita Karana dan Tri Angga, masyarakat Bayung
Gede juga mengenal konsep Tri Mandala atau konsep ruang horizontal. Konsep ini
terdiri dari Utama Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala. Masyarakat
Bayung Gede menempatkan kegiatan yang bersifat sakral di daerah utama, seperti
berbagai bentuk upacara yadnya dan persembahan kepada para Dewa yang
dilaksanakan pada Pura Bale Agung yang terletak di Utara desa, sedangkan untuk
upacara kematian dan daerah pembuangan yang besifat nista terletak di Selatan desa.
Pola pemukiman desa Bayung Gede dengan jelas membagi zonasi ruang desa
menjadi tiga bagian yaitu bagian utama angga yang bertempat di Utara terdiri dari

71!

tempat suci yaitu: 1) Pura Bale Agung adalah tempat suci untuk memuja nenek
moyang yang mendirikan desa Bayung Gede; 2) Pura Puseh adalah tempat suci
untuk upacara adat yang dilaksanakan setiap 6 bulan sekali, sekaligus juga tempat
pemujaan nenek moyang pendiri desa dan Dewa Wisnu. Pura ini lebih ditinggikan
dari kontur tanah sekitar dan mempunyai sembilan tingkat meru; 3) Pura Pasek
Gelgel adalah tempat suci untuk memperingati Catur Wangsit dan dapat
dipergunakan untuk empat kasta; 4) Pura Panti Kayu Selem adalah tempat suci untuk
pelaksanaan upacara Usaba Agung; 5) Pura Ibu adalah tempat suci yang merupakan
pura pribadi sesepuh Desa Bayung Gede; 6) Pura Tangkas adalah tempat suci untuk
upacara adat menek kelih atau beranjak dewasa untuk anak; 7) Pura Pingit adalah
tempat suci untuk melakukan upacara pingit terhadap penduduk yang sedang
menjalani masa pingitan; Pura Pendem adalah tempat suci untuk pelaksanaan
upacara pada binatang lubak (musang) dan anjing.
2.8.2 Zona Madya Angga
Zona madya atau di tengah-tengah adalah kawasan perumahan dengan kondisi
pekarangan dan pola bangunan yang telah diatur di dalam awig-awig desa. Rumahrumah di Bayung Gede memanjang secara linier dari Utara ke Selatan dan
menghadap ke arah jalan utama desa. Fungsi jalan utama desa adalah sebagai ruang
terbuka milik komunitas dan sekaligus sebagai sumbu utama desa. Rumah-rumah
yang tidak menghadap ke jalan utama dibangun saling bertolak belakang dan
menghadap lorong sempit di depannya, lorong sempit ini seakan membentuk labirin

72!

teratur yang sedikit melengkung, sehingga ujung yang satu dengan yang lainnya tidak
terlihat.
Rumah penduduk Desa Bayung Gede terdiri atas satu pekarangan yang sempit
yang diapit oleh gang kecil yang diatur sedemikian rupa. Luas serta pola bangunan
dalam setiap pekarangan memiliki luas dan pola yang hampir seragam. Adanya
kesamaan luas karang paumahan atau pekarangan rumah dilandasi oleh peraturan
pemilikan tanah yang diatur dalam awig-awig atau peraturan adat setempat yang
berlaku secara turun-temurun. Pekarangan yang sempit itu dikelilingi oleh beberapa
bangunan dengan fungsi tersendiri. Bangunan tersebut antara lain : 1) paon atau
dapur yang berfungsi sebagai tempat kegiatan memasak sehari-hari dan juga sebagai
tempat untuk melaksanakan upacara kematian (menyimpan jenasah) sebelum dibawa
ke kuburan. Menurut kepercayaan masayarakat Desa Bayung Gede, paon atau dapur
merupakan tempat pemujaan Bhatara Guru dan Bhatara Brahma; 2) Bale adat
adalah bangunan yang berfungsi untuk melaksanakan kegiatan upacara Manusa
Yadnya, menurut kepercayaan masyarakat bangunan ini merupakan tempat pemujaan
Bhatara Aji Saraswati dan Hyang Kompyang; 3) Jineng atau lumbung adalah
tempat untuk menyimpan padi, bangunan ini merupakan tempat pemujaan Sri Manik
Galih Magembal, Ratu Sakti Gunung Lebah dan Patih Mas Pahit.
Sanggah (Merajan) adalah tempat pemujaan atau kuil untuk keluarga, letak
kuil ini tergantung pada pintu keluar atau kori, apabila pintu keluar menghadap ke
Timur, maka kuil menghadap ke Timur dan berada di sebelah Barat pekarangan

73!

rumah, dan demikian juga apabila pintu keluar menghadap ke Barat, maka kuil akan
diletakkan di sebelah Timur pekarangan rumah menghadap ke Barat. Sanggah di
Bayung Gede umumnya terdiri dari Palinggih Utama yaitu Sanggah Kemulan dan
Bhatara Guru. Di Desa Bayung Gede terdapat tempat pemujaan yang disebut Turus
Lumbung, yaitu palinggih yang sifatnya tentatif dan terbuat dari batang pohon
dadap (Erythrina variegata) setinggi 2m yang ditanam dan di atasnya diletakkan
anyaman bambu sebagai tempat untuk menaruh sesajen. Setiap pekarangan rumah
terdapat dua Turus Lumbung yang merupakan simbol dari kehidupan suami istri.
Jumlah Turus Lumbung dapat bertambah apabila anak yang telah menikah menetap
dalam satu pekarangan rumah.
Pekarangan rumah di Bayung Gede juga dilengkapi dengan natah, yang
biasanya terletak di tengah-tengah pekarangan di antara bangunan, fungsinya untuk
keperluan keluarga, seperti tempat bermain anak, tempat kegiatan upacara dan lain
sebagainya. Pekarangan rumah juga akan dikelilingi penyengker yang berfungsi
sebagai tembok pembatas pekarangan dan pintu keluar yang sempit sesuai dengan
sifat dan fungsi bangunan tersebut.
Adanya perkembangan dan kemajuan di bidang ekonomi, transportasi dan
komunikasi menyebabkan penduduk Bayung Gede mendirikan tempat tinggal baru
yang bersifat neolokal atau ngarangin pada tempat yang masih kosong di ladang atau
tegal dengan struktur bangunan yang sama seperti bangunan di desa induk.

74!

2.8.3 Zona Nista Angga


Zona nista terletak di Selatan desa dan terdiri dari beberapa areal kuburan.
Kuburan merupakan kawasan penting di Desa Bali Mula, karena masyarakatnya
menganut konsep bea tanem. Mengacu pada pembahasan pada bab sebelumnya
mengenai prosesi kematian serta jenis-jenis kuburan, di Bayung Gede terdapat satu
kuburan yang sangat unik dan dijadikan kawasan konservasi hutan di dalam desa
yaitu setra ari-ari.
Setra ari-ari masuk ke dalam zona nista angga atau kawasan yang kotor dan
leteh karena marupakan tempat penguburan ari-ari bayi yang baru lahir. Setra ari-ari
merupakan bagian integral dari Desa Bayung Gede dan menjadi kawasan yang sangat
penting di dalam zonasi pembagian ruang desa, karena terletak di kawasan nista
angga tapi memiliki status yang sakral bagi masyarakat. Hal ini menunjukkan
hubungan yang dualitas antara kawasan sakral setra ari-ari dan kawasan profan
pemukiman oleh karena letak setra ari-ari yang berada di dalam kawasan desa induk
yang merupakan pusat Desa Bayung Gede. Desa Bayung Gede dikeliling oleh hutan
bambu dan perkebunan yang dikelola oleh masyarakat, setra ari-ari masuk ke dalam
salah satu kawasan hutan adat desa yang dimanfaatkan sebagai kawasan kuburan dan
dilindungi oleh awig-awig desa.

75!

Gambar 2.6 Konsepsi Arah Orientasi Ruang Desa Bayung Gede

Kaja
Kaja(Utara)
Gunung
(Utara)/Gunung
Kauh (Barat)/Matahari
Terbenam

Kangin(Timur)/Matahari
Terbit

Kelod (Selatan)/Laut
Berdasarkan Sumbu Matahari

Tenggelam

Terbit

Utama

Madya

Nista

Utamaning Madya

Madyaning Madya

Berdasarkan Sumbu
Kaja/Kelod
Kaja/Gunung

Utama

Dataran

Madya

Kelod/Laut

Nista

Sumber : Eko Budihardjo (1986)

Nistaning Madya

76!

Gambar 2.7 Denah Desa Bayung Gede

2.7 Denah Desa Bayung Gede

77!

Sumber : Dokumentasi Dewa Ayu, 2015


Keterangan denah : huruf = pura, angka = bangunan
1. Lapangan

A. Pura Kawitan Dadia Gelgel

2. Pasar Bayung Gede

B. Pura Gebagan

3. Pos Kambling

C. Pura Pasek Kayu Selem

4. Kantor Desa

D. Pura Ibu

78!

5. SD Negeri Bayung Gede

E. Pura Bingin

6. Toilet

F. Pura Puseh Bale Agung

7. Balai banjar

G. Pura Dadia Tangkas

8. Bale Pewaregan

H. Pura Puseh Kahyangan Tiga

9. Bale Kukul

I. Pura Pelampuan

10. LPD Desa Bayung Gede

J. Pura Dalem Mertiwi

11. Hutan Setra Ari-ari

79!

Gambar 2.8 Denah Pola Menetap Desa Bayung Gede

Sumber : Dokumentasi Dewa Ayu, 2015


Keterangan gambar :
1. Sanggah atau Merajan

5. Jineng atau lumbung

2. Bale adat

6. Kamar tidur

3. Paon atau dapur

7. Kamar mandi

4. Gudang
!

You might also like