You are on page 1of 16

DAMPAK PERKEMBANGAN PARIWISATA

DI OBJEK WISATA PENGLIPURAN

Oleh:
Putu Agus Prayogi
Dosen Program Studi Pariwisata STIPAR Triatma Jaya
ABSTRACT
As one of the Regional Tourist Destination in Bangli regency, Pengelipuran
Traditional Village has the potential of nature tourism potential of the bamboo forests that
grow around the village Penglipuran and cultural potential of traditional houses,
Handicrafts made of bamboo and some art activities and religious ceremonies. Natural and
cultural potential that is owned by Village Pengelipuran, which serves as a major attraction
for tourist attractions are the House of Traditional has a shape typical of most buildings
are made of bamboo trees. Another uniqueness is owned by the Village is a form angkulangkul Pengelipuran-(front door) is uniform between the houses to each other
Various tourist attractions owned by the Village Pengelipuran, making the village is
visited by many tourists, especially by foreign tourists. As a result of the impact of tourists
visit this village Pengelipuran, both positive and negative impacts. Impact of tourism
development in the Village Penglipuran is a physical impact on the environment
Penglipuran Village, social and cultural life of rural communities and their impact on the
village's economy Pengelipuran. It's certainly object to the sustainability of Pengelipuran
we need some form of action to maximize the tourism potential of all that is owned by
Village Pengelipuran thus further enhancing the positive impact of acquired and is able to
suppress the negative impacts as a result of tourism development in the village of
Penglipuran.

Keywords : traditional house, tourism impact

PENDAHULUAN
Bali memiliki beragam potensi
budaya dan alam yang dapat dijadikan

sebagai modal untuk mengembangkan


kepariwisataannya. Sehubungan dengan hal
tersebut, Pemerintah Daerah melalui
PERDA
Nomor
3
Tahun
1991
mencanangkan bahwa jenis kepariwisataan
yang dikembangkan di Bali adalah

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Agustus 2011, Vol.1 No.1 hal.64

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Putu Agus Prayogi


pariwisata budaya yang dijiwai oleh Agama
Hindu. Tingginya kemampuan Bali dalam
mengapresiasikan potensi yang dimiliki
sehingga dapat menampilkan beragam daya
tarik wisata, menarik minat wisatawan untuk
berkunjung ke Bali, disamping tersedianya
sarana dan prasarana pendukung pariwisata
yang memadai.
Keberhasilan Bali dalam menarik
wisatawan untuk berkunjung ke Bali telah
banyak
memberi
manfaat
kepada
masyarakat, melalui penciptaan lapangan
kerja, mendorong ekspor hasil-hasil industri,
kerajinan serta sebagai sumber devisa
daerah, bahkan dalam beberapa dasa warsa
sektor pariwisata telah mampu menjadi
generator penggerak (leading sector)
perekonomian daerah Bali
(Pitana,
1999:45). Keberhasilan tersebut memotivasi
kabupaten-kabupaten dan kota yang ada di
Bali
untuk
mengembangkan
serta
memanfaatkan potensi wisata yang dimiliki
menjadi objek dan daya tarik wisata, baik
yang berasal dari alam, dan budaya
masyarakatnya.
Salah satu kabupaten di Bali yang mencoba
mengembangkan potensi wisata yang
dimilikinya adalah Kabupaten Bangli.
Kabupaten Bangli merupakan salah satu dari
sembilan kabupaten yang ada di Bali,
disamping merupakan daerah agraris juga
memiliki kepariwisataan yang cukup besar
untuk dikembangkan, baik ditinjau dari segi
keindahan alamnya maupun dari sisi seni
budayanya telah mengakar dimasyarakat
berlandaskan
filsafat
agama
Hindu.
Berdasarkan catatan yang diperoleh dari
Dinas
Kebudayaan
dan
Pariwisata
Kabupaten Bangli (Statistik Kepariwisataan

Kabupaten Bangli) ada sekitar 35 Obyek dan


Daya Tarik Wisata (ODTW). Dari jumlah
tersebut 5 ODTW yang sudah berkembang,
8
ODTW
sedang
dalam
tahap
pengembangan dan 22 ODTW yang belum
dikembangkan.
Sebagai salah satu objek wisata di
Kabupaten Bangli, Desa Adat Penglipuran
memiliki berbagai potensi wisata yang dapat
dijadikan sebagai daya tarik bagi wisatawan
untuk berkunjung kesana. Daya tarik yang
dimiliki Desa Penglipuran sebagai salah satu
objek wisata budaya adalah rumah
tradisional, hutan bambu, adat istiadat
masyarakat lokal yang didukung oleh
keadaan lingkungan alam yang masih alami.
Maka tidaklah mengherankan jika Desa
Penglipuran merupakan salah satu objek
yang paling diminati oleh wisatwan yang
berkunjung ke Kabupaten Bangli.
Didalam perkembangannya sebagai
salah satu objek wisata di Kabupaten Bangli,
pengembangan
pariwisata
di
Desa
Penglipuran telah memberikan manfaat bagi
masyarakat setempat. Hal ini dapat dilihat
dari peranan sektor pariwisata sebagai salah
satu sumber penghasilan bagi Masyarakat
Desa Penglipuran. Namun pengembangan
pariwisata di suatu daerah tidak selamanya
memberikan dampak yang positif bagi
masyarakat maupun daerah tersebut.
Disadari ataupun tidak pengembangan
pariwisata di suatu daerah juga akan
memberikan
dampak
negatif
bagi
masyarakat, budaya maupun alam yang
dimiliki oleh daerah tersebut. Begitu juga
dengan pengembangan pariwisata di Desa
Penglipuran, sudah tentu akan memberikan
baik itu berupa dampak positif seperti

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Agustus 2011, Vol.1 No.1 hal.65

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Putu Agus Prayogi


peningkatan pendapatan maupun dampak
negatif seperti komersialisasi budaya dan
kerusakan lingkungan alami.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut
dirumuskan masalah sebagai berikut :
Bagaimanakah dampak yang ditimbulkan
oleh pengembangan pariwisata terhadap
lingkungan fisik, kehidupan sosial budaya
masyarakat dan perekonomian masyarakat
di Desa Adat Penglipuran ?

TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Pengembangan Pariwisata
Menurut
Purwadarminta
dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002)
pengembangan adalah suatu proses atau cara
menjadikan sesuatu menjadi maju, baik,
sempurna dan berguna. Moeliono (1990:
414) mengungkapkan, yang dimaksud
dengan pengembangan adalah proses, cara,
pembuatan mengembangkan.
Pengembangan pariwisata memiliki
karakter
aktivitas
yang
bersifat
multisectoral,
dalam
pelaksanaan
pengembangan pariwisata harus terencana
secara terpadu dengan pertimbanganpertimbangan terhadap aspek ekonomi,
sosial, budaya, lingkungan fisik dan politik.
Pada
setiap
tahapan
perencanaan
pengembangan
pariwisata
dapat
meminimalisasi sebanyak mungkin dampak
negatif yang akan timbul serta berkaitan erat
dengan pembangunan perekonomian suatu
daerah.

Jadi pengembangan dapat diartikan


sebagai perbuatan menjadikan sesuatu baik
yang ada maupun yang belum ada menjadi
lebih baik dari sebelumnya. Dalam
penelitian ini pengembangan diartikan
sebagai kegiatan untuk menjadikan Desa
Tihingan sebagai obyek wisata yang ideal
dengan mengembangkan potensi wisata
serta memberdayakan masyarakat lokal
dalam semua aktifitas pengembangan.

Potensi Wisata
Pengertian potensi wisata menurut
Mariotti dalam Yoeti (1983: 160-162)
adalah segala sesuatu yang terdapat di
daerah tujuan wisata, dan merupakan daya
tarik agar orang-orang mau datang
berkunjung ke tempat tersebut. Sukardi
(1998:67), juga mengungkapkan pengertian
yang sama mengenai potensi wisata, sebagai
segala yang dimiliki oleh suatu daya tarik
wisata dan berguna untuk mengembangkan
industri pariwisata di daerah tersebut.
Jadi yang dimaksud dengan potensi
wisata adalah sesuatu yang dapat
dikembangkan menjadi daya tarik sebuah
obyek wisata. Dalam penelitian ini potensi
wisata dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
potensi alam, potensi kebudayaan dan
potensi manusia.
1. Potensi Alam
Yang dimaksud dengan potensi alam
adalah keadaan dan jenis flora dan fauna
suatu daerah, bentang alam suatu daerah,
misalnya pantai, hutan, dll (keadaan
fisik suatu daerah). Kelebihan dan
keunikan yang dimiliki oleh alam jika

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Agustus 2011, Vol.1 No.1 hal.66

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Putu Agus Prayogi


dikembangkan dengan memperhatikan
keadaan lingkungan sekitarnya niscaya
akan
menarik
wisatawan
untuk
berkunjung ke obyek tersebut.
2. Potensi Kebudayaan
yang dimaksud dengan potensi budaya
adalah semua hasil cipta, rasa dan karsa
manusia baik berupa adat istiadat,
kerajinan tangan, kesenian, peninggalan
bersejarah nenek moyang berupa
bangunan, monument, dll.
3. Potensi Manusia
Manusia juga memiliki potensi yang
dapat digunakan sebagai daya tarik
wisata, lewat pementasan tarian/
pertunjukan dan pementasan seni
budaya suatu daerah.

Pengertian Obyek dan Daya Tarik


Wisata
Menurut UU RI No 9 Tahun 1990
tentang Kepariwisataan, dinyatakan bahwa
obyek dan daya tarik wisata adalah segala
sesuatu yang menjadi sasaran wisata baik itu
pembangunan obyek dan daya tarik wisata,
yang dilakukan dengan cara mengusahakan,
mengelola dan membuat obyek-obyek baru
sebagai obyek dan daya tarik wisata. Dalam
undang-undang di atas, yang termasuk
obyek dan daya tarik wisata terdiri dari a)
Objek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa, yang berwujud keadaan
alam, serta flora dan fauna; b) Objek dan
daya tarik wisata hasil karya manusia yang
berwujud museum, peninggalan purbakala,
peninggalan sejarah, seni budaya, wisata
agro, wisata tirta, wisata buru, wisata

petualangan alam, taman rekreaksi, dan


tempat hiburan.
Pengertian obyek dan daya tarik
wisata menurut Marpaung (2002:78) adalah
suatu bentukan dari aktifitas dan fasilitas
yang berhubungan, yang dapat menarik
minat wisatawan atau pengunjung untuk
datang ke suatu daerah atau tempat tertentu.
Obyek dan daya tarik wisata sangat erat
hubungannya dengan travel motivation dan
travel fashion, karena wisatawan ingin
mengunjungi serta mendapatkan suatu
pengalaman tertentu dalam kunjungannya
(Marpaung, 2002:78). Daya tarik yang tidak
atau belum dikembangkan semata-mata
hanya merupakan sumber daya potensial
dan belum dapat disebut daya tarik wisata,
sampai adanya suatu jenis pengembangan
tertentu, misalnya penyediaan aksesibilitas
atau fasilitas.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Obyek
dan Daya Tarik Wisata dalam penelitian ini
adalah segala sesuatu baik itu ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa maupun hasil karya
manusia yang menarik, bernilai dan unik
untuk dikunjungi oleh wisatawan ke sebuah
daerah wisata. Desa Tihingan ditetapkan
sebagai obyek dan daya tarik yang
berorientasi pada wisata budaya dengan
daya tarik utama kerajinan gamelan.

Tahapan Pengembangan Pariwisata


Dalam mengembangkan pariwisata baik
pengembangan
destinasi,
kawasan
pariwisata, maupun obyek daya tarik wisata
pada umumnya mengikuti alur atau siklus
hidup pariwisata. Adapun tujuannya adalah

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Agustus 2011, Vol.1 No.1 hal.67

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Putu Agus Prayogi


untuk menentukan posisi pariwisata yang
akan
dikembangkan.
Tahapan
pengembangan pariwisata (tourism life
cycle) mengacu pada pendapat Butler (1980)
yang dikutip oleh Cooper and Jackson
(1997) dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah

GAMBAR 1
TOURISM AREA CYCLE OF
EVOLUTION
DISCOVERY

LOCAL
CONTROL

INSTITUTIONALISM
STAGNATION

NUMBER OF TOURIST

REJUVENATION

DEVELOPMENT
CONSOLIDATION

DECLINE

INVOLVEMENT

EXPLORATION
TIME

Sumber: Butler, 1990 (dalam Cooper and Jackson,1997)

Adapun tahapannya terdiri dari:


1. Tahap eksplorasi (exploration) yang
berkaitan dengan discovery yaitu suatu
tempat sebagai potensi wisata baru
ditemukan baik oleh wisatawan, pelaku
pariwisata,
maupun
pemerintah.
Biasanya jumlah pengunjung sedikit,

wisatawan tertarik pada daerah yang


belum tercemar dan sepi, lokasinya sulit
dicapai namun diminati oleh sejumlah
kecil wisatawan yang justru menjadi
berminat
karena
belum
ramai
dikunjungi.
2. Tahap keterlibatan (involvement)yang
diikuti oleh kontrol lokal (local control),

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Agustus 2011, Vol.1 No.1 hal.68

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Putu Agus Prayogi


dimana biasanya oleh masyarakat lokal.
Pada tahapan ini terdapat inisiatif dari
masyarakat lokal, obyek wisata mulai
dipromosikan oleh wisatawan, jumlah
wisatawan meningkat, dan infrastruktur
mulai dibangun.
3. Tahap pengembangan (development)
dan adanya kontrol lokal (local
control)menunjukan adanya peningkatan
jumlah kunjungan wisata secara drastis.
Pengawasan oleh lembaga lokal agak
sulit membuahkan hasil, masuknya
industri wisata dari luar dan kepopuleran
kawasan wisata menyebabkan kerusakan
lingkungan alam dan sosial budaya
sehingga diperlukan adanya campur
tangan kontrol penguasa lokal maupun
nasional.
4. Tahap
konsolidasi
(consolidation)
dengan constitutionalism ditunjukkan
oleh penurunan tingkat pertumbuhan
kunjungan wisatawan. Kawasan wisata
dipenuhi
oleh
berbagai
industri
pariwisata berupa hiburan dan berbagai
macam atraksi wisata.
5. Tahap kestabilan (stagnation) dan
masih
diikuti
oleh
adanya
institutionalism,
dimana
jumlah
wisatawan tertinggi telah tercapai dan
kawasan ini telah mulai ditinggalkan
karena tidak mode lagi, kunjungan ulang
dan para pebisnis memanfaatkan fasilitas
yang telah ada. Pada tahapan ini terdapat
upaya untuk menjaga jumlah wisatawan
secara intensif dilakukan oleh industri
pariwisata dan kawasan ini kemungkinan
besar mengalami masalah besar yang
terkait dengan lingkungan alam maupun
sosial budaya.

6. Tahap penurunan kualitas (decline)


hampir
semua
wisatawan
telah
mengalihkan kunjungannya ke daerah
tujuan wisata lain. Kawasan ini telah
menjadi obyek wisata kecil yang
dikunjungi sehari atau akhir pekan.
Beberapa fasilitas pariwisata telah
diubah bentuk dan fungsinya menjadi
tujuan lain. Dengan demikian pada tahap
ini diperlukan upaya pemerintah untuk
meremajakan kembali (rejuvenate).
7. Tahap
peremajaan
kembali
(rejuvenate), dimana dalam tahapan ini
perlu dilakukan pertimbangan mengubah
pemanfaatan
kawasan
pariwisata,
mencari pasar baru, membuat saluran
pemasaran baru, dan mereposisi atraksi
wisata ke bentuk lain. Oleh sebab itu
diperlukan modal baru atau kerjasama
antara pemerintah dengan pihak swasta.
Dari
Tahapan
Pengembangan
Pariwisata (tourism life cycle) kemudian
dikaitkan dengan tingkat iritasi masyarakat
(level of host irritation). Tingkat iritasi
masyarakat (level of host irritation) yaitu
teori yang mengukur interaksi antara
wisatawan dan masyarakat lokal. Dengan
mempertimbangkan dampak sosial yang
terjadi pada tahapan pengembangan daerah
wisata, Doxey (dalam Ryan, 1991: 136)
menyimpulkan, bahwa terjadi perilaku
spesifik pada masyarakat lokal atas
pengaruh pariwisata dari waktu ke waktu.
Tingkat iritasi masyarakat (level of host
irritation) menurut Doxey dapat dilihat
dalam Gambar 2

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Agustus 2011, Vol.1 No.1 hal.69

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Putu Agus Prayogi


GAMBAR 2
MODEL IRRIDEX DOXEY LEVEL OF HOST IRRITATION

Euphoria

Apathy

Annoyance

- Visitor are welcome and there is little planning

- Visitors are taken for granted and contacts becomes more formal

- Saturations is approached and local people have misgivings.


Planning attempt to control via increasing infrastructure rather than limiting
growth.

Antagonism

- Open expression of irritation and planning is remedial yet promotion is


increased to offset the deteriorating of the resort

Sumber : Ryan 1991:137

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Agustus 2011, Vol.1 No.1 hal.70

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Putu Agus Prayogi


Teori ini dapat dipergunakan untuk
mengukur dampak sosial yang ditimbulkan
atas hubungan yang terjadi antara
masyarakat lokal dan wisatawan, adapun
tahapan dari model Irridex (Irritation
Index) Doxey, yaitu :
1. Tingkat euphoria (perasaan bangga
rohani dan jasmani), dimana pada awal
perkembangannya wisatawan disambut
gembira dan pariwisata dianggap
sebagai pembawa manfaat ekonomi
bagi masyarakat lokal. Wisatawan juga
dipandang tertarik dan menghargai
adat-istiadat,
gaya
hidup,
dan
kehidupan sehari-hari masyarakat
lokal.
2. Tingkat apathy (sikap acuh tak acuh),
dimana dalam tahapan ini volume
kunjungan wisatawan bertambah dan
pariwisata tersebut tidak lagi dianggap
sebagai sesuatu yang baru, malainkan
sesuatu yang biasa saja. Wisatawan
tidak lagi menggunakan bahasa
masyarakat lokal dan hubungan yang
terjadi lebih formal atau lebih bersifat
hubungan dagang bukan hubungan
pribadi. Sikap masyarakat lokal
menjadi
lebih
apatis
terhadap
pariwisata.
3. Tingkat annoyance (sikap terganggu/
terusik), dimana dalam tahapan ini jika
pengembangan
pariwisata
tetap
berlanjut,
berbagai
permasalahan
bermunculan mulai dari kemacetan,
susahnya memperoleh tempat parkir
dan
bertambahnya
kepadatan.
Masyarakat lokal merasa bahwa
mereka
mengalami
marginalisasi
dengan
keterlibatannya
dalam
pariwisata
4. Tingkat antagonism/xenophobia (rasa
benci/
pertentangan),
apabila
pariwisata dan berbagai fasilitas
dianggap sebagai penyebab berbagai
permasalahan
yang
menimpa
masyarakat lokal, baik masalah sosial,
maupun ekonomi. Pada tahapan ini
kegiatan
pariwisata
mengalami

kemandegan dan telah melampaui daya


dukung.
Menurut Mill (2000:1), bahwa
perpindahan dari satu tahapan ke tahapan
berikutnya disebabkan oleh tiga hal, yaitu
pertama jarak, semakin besar jarak
tersebut, baik ekonomi maupun budaya
antara masyarakat lokal dan wisatawan,
maka semakin besar akibat sosial yang
ditimbulkan dan semakin besar pula
kemungkinan terjadinya pergerakan pada
tahapan-tahapan
yang
ada;
kedua
kemampuan kawasan menyerap secara
fisik dan kejiwaan pertumbuhan jumlah
kunjungan, hal ini terkait dengan
perbandingan jumlah mereka yang datang
dan jumlah penduduk, sebuah kota besar
tentunya dapat menyerap lebih banyak
wisatawan
dibandingkan
dengan
komunitas pulau kecil; ketiga jumlah dan
kecepatan perkembangan pariwisata itu
sendiri, semakin cepat dan intensif tingkat
perkembangannya, maka semakin besarlah
kecenderungan terjadinya akibat sosial.

Jenis dan Sumber Data


Jenis data
Adapun jenis data yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah Data kualitatif.
Data kualitatif dalam penelitian ini
mencakup keterangan tentang : 1).
Gambaran umum Desa Penglipuran
meliputi tofografi, demografi, , pe 2).
Potensi wisata yang di miliki oleh Desa
Penglipuran yang bisa dijadikan suatu
daya tarik wisata
Sumber Data
1. Data Primer yaitu data yang berasal
langsung dari objek penelitian, yaitu
data-data berupa potensi wisata yang
dimiliki oleh Desa Pengelipuran
2. Data Sekunder yaitu data yang
diperoleh melalui dokumentasi seperti
buku-buku literatur dan sumber lainnya
Teknik Pengumpulan Data

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Agustus 2011, Vol.1 No.1 hal.71

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Putu Agus Prayogi


Observasi.
Observasi yaitu pengumpulan data dengan
cara
pengamatan
langsung
untuk
mendapatkan gambaran yang jelas tentang
kondisi objek yang diteliti yang ada di
Desa Penglipuran, yang disertai dengan
pencatatan dan pemotretan (dokumentasi).
Dengan cara ini data yang diperoleh adalah
data faktual dan actual, dalam arti data
yang dikumpulkan diperoleh pada saat
peristiwa berlangsung
Wawancara mendalam.
Data-data yang tidak didapat melalui
teknik observasi diperoleh melalui
wawancara mendalam dengan informan
kunci dan informan pendamping sesuai
dengan kriteria yang telah ditentukan.
Melalui wawancara ini diharapkan akan
diperoleh data-data tentang potensi budaya
masyarakat
dan
upaya-upaya
pelestariannya selengkap mungkin. Data
yang diperoleh dari tiap informan akan
dicocokkan atau dicek dengan informan
lain untuk mendapat data yang lebih
detail.

Studi kepustakaan
Yaitu pengumpulan data
dengan
menggunakan berbagai buku
atau
literatur-literatur yang berkaitan dengan
penelitian ini
Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis dampak yang
ditimbulkan oleh penpariwisata di Desa
Penglipuran, maka dianalisis secara
deskriptif kualitatif berdasarkan data yang
diperoleh di lapangan
PEMBAHASAN
Gambaran Umum Desa Penglipuran
Sejarah Desa Penglipuran
Menurut
penuturan
para
sesepuh/penglingsir
Desa
Adat
Penglipuran merupakan serpihan dari Desa
Bayung Gede di Kintamani, atau dapat
dijelaskan bahwa pendahulu/leluhur Desa

Pengelipuran berasal dari Desa Bayung


Gede, Kintamani. Kata Penglipuran
berasal dari kata Pengeling dan Pura
yang artinya Pengeling = Eling =
Ingat/mengingat dan Pura artinya tempat,
benteng atau tanah leluhur. Jadi
Pengelipuran artinya ingat kepada tanah
leluhur/tempat asal mula (Desa Bayung
Gede) .
Pada
jaman
dahulu
tenaga
masyarakat Desa Bayung Gede sangat
dibutuhkan oleh Raja Bangli sebagai
prajurit dan untuk membantu pekerjaan
lainnya. Karena jarak antara Desa Bayung
Gede dengan Pusat Kerajaan Bangli cukup
jauh (sekitar 25 Km) apalagi pada jaman
tersebut masyarakat masih berjalan kaki,
maka untuk memudahkan koordinasi oleh
Raja
Bangli,
dibuatkanlah
tempat
peristirahatan prajurit/benteng di daerah
Kubu (4,5 Km) dari Kota Bangli. Sebelum
bernama Penglipuran, desa ini disebut
Desa Kubu Bayung artinya Orang Bayung
yang tinggal di Wilayah Kubu. Namun
didalam setiap kegiatan dan kewajiban di
Desa Bayung Gede, warga Kubu Bayung
ini masih ikut didalam setiap kegiatan dan
melaksanakan
kewajiban
seperti
masyarakat Desa Bayung Gede lainnya.
Dalam perkembangannya jumlah
penduduk di Desa Penglipuran terus
bertambah, sehingga timbul keinginan
untuk mendirikan desa tersendiri terlepas
dari desa asalnya (Desa Bayung Gede).
Namun didalam penataan pola tata ruang
desanya tetap menggunakan konsep desa
leluhurnya di Desa Bayung Gede, sehingga
pola pola tata ruang Desa Penglipuran baik
secara fisik maupun non fisik disesuaikan
dengan Desa Bayung Gede. Dipihak lain
para penglingsir desaada yang berpendapat
bahwa Desa Penglipuran berasal dari kata
Penglipur yang berarti penghibur. Yang
mana konon pada jaman kerajaan dahulu,
Raja Bangli sering ke tempat ini untuk
menghibur diri atau menenangkan pikiran
beliau.
Kondisi Fisik Desa Penglipuran

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Agustus 2011, Vol.1 No.1 hal.72

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Putu Agus Prayogi


Desa Adat Penglipuran terletak di
Kecamatan Kubu, Kabupaten Bangli,
dengan batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara
: Desa Adat Kayang
Sebelah Timur
: Desa Adat Kubu
Sebelah Selatan
:
Desa
Adat
Gunaksa, dan
Sebelah Barat
: Desa Adat Cekeng
Untuk mencapai desa ini, dapat
mengunakan jalur sebagai berikut :
Sisi Timur
: Jalan Raya Bangli
Kintamani, dari Desa
Kubu belok ke kiri/barat
dengan kondisi jalan
sudah di aspal
Sisi Utara
: Jalur Kintamani
Kayuambua Bangli,
dengan kondisi jalan
sudah beraspal namun
agak terjal
Seperti halnya desa adat umumnya di Bali,
Desa Adat Penglipuran mengikuti pola
Nawa Sanga, yaitu penggabungan
orientasi antara gunung dan laut serta
terhadap arah mata angin. Desa Adat
Penglipuran termasuk Desa Bali Aga,
dengan ciri yang paling menonjol adalah
adanya as Utara Selatan dengan axis linier
yang berfungsi sebagai open space. Open
Space ini membagi desa menjadi dua
bagian, yaitu jejer barat dan jejer timur,
dengan orientasi arah kaja-kelod serta
menanjak dari selatan ke utara berorientasi
pada gunung yaitu Gunung Batur.
Secara simbolis pola tata ruang
Desa Adat Penglipuran secara makro
dibagi menjadi tiga ruang dengan tingkat
kesucian yang berbeda (Konsep Tri
Mandala), yaitu :
a. Utama Mandala : adalah tempat/ruang
yang paling disucikan, yang terletak
dibagian utara desa dengan dataran
paling tinggi dan merupakan area bagi
para dewa/nenek moyang lelehur. Pada
bagian ruang ini terletak Pura
Penataran, Pura Puseh dan pura-pura
lainnya yang terdapat disebelah utara
dan timur Hutan Bambu .
b. Madia Mandala : adalah bagian ruang
yang kedua dimana masyarakat Desa

Pengelipuran menempatinya sebagai


areal pemukiman. Dimana pada bagian
ini juga terdapat tempat suci yaitu :
Pura Ratu Pingit, Pura Balai Banjar,
Pura Dadia Dalem Tampuagan dan
Balai Banjar. Pada sisi selatan rang ini
tedapat Tugu Pahlawan yang memiliki
ruang terbuka dan balai pertemuan,
yang
pada
setiap
tahunnya
dipergunakan
sebagai
tempat
peringatan wafatnya pahlawan Bangli
Anak Agung Anom Jaya Mudita
dan tempat peringatan hari bersejarah
lainnya.
c. Nista Mandala : adalah bagian ruang
ketiga yang terletak di bagian paling
Selatan Desa Penglipuran. Tempat ini
merupakan areal kuburan bagi
masyarakat Desa Penglipuran. Pada
areal ini juga terdapat bangunan suci,
yaitu Pura Dalem (Pelapuhan), Pura
Prajapati dan Pura Ratu Mas Ayu
Manik Melasem.
Secara
mikro
tataruang
dengan
menggunakan konsep Tri Mandala
tercermin pada tata ruang rumah penduduk
di Desa Penglipuran, yaitu :
a. Utama Mandala : bagian yang
paling suci, terletak dibagian Timur
Laut areal pekarangan penduduk.
Pada areal ini terdapat bangunan
sanggah/pura keluarga.
b. Madia Mandala : bagian kedua
yang dipergunakan sebagai tempat
aktifitas
keluarga
sehari-hari,
dengan bangunan tradisionalnya
seperti :
1). Dapur : disebelah utara,
dan
juga
dipergunakan
sebagai tempat tidur bagi
mereka yang sudah lanjut
usia.
2). Balai Saka Enam : disebelah
selatan,
sebagai
tempat
upacara
yadnya
seperti
Manusia
Yadnya,
Pitra
Yadnya dan upacara lainnya.
3). Bangunan Loji : disebelah
barat,
sebagai
tempat
tidur/istirahat keluarga.

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Agustus 2011, Vol.1 No.1 hal.73

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Putu Agus Prayogi


c. Nista
Mandala
:
adalah
bagian/ruang
ketiga
dari
pekarangan
masyarakat.
Ruang/areal ini merupakan areal
dimana terdapat WC/kamar kecil
dan kandang ternak.
Keadaan Penduduk
Desa Adat Penglipuran dengan luas
wilayah mencapai 112 Ha, memiliki
jumlah penduduk sebesar 832 jiwa, dengan
193 KK (Demografi, 2001). Sebagian
besar penduduk Desa Adat Penglipuran
memiliki matapencaharian sebagai petani,
karena sebagian besar wilayahnya adalah
berupa areal persawahan dan perkebunan.
Selain di bidang pertanian, mata
pencaharian penduduk Desa Penglipuran
adalah sebagai pengerajin terutama
kerajinan yang berbahan dasar bambu,
seperti anyaman, sokasi (tempat sesajen),
alat musik tradisional dll. Hal ini tidaklah
mengherankan mengingat Desa Adat
Penglipuran memiliki areal Hutan Bambu
yang luas. Disamping sebagai petani dan
pengerajin ada juga penduduk Desa Adat
Penglipuran yang bekerja pada bidang
perdagangan, pegawai dan bekerja di
sektor pariwisata.
Dilihat dari segi pendidikan, secara
umum penduduk di Desa Adat Penglipuran
bisa dikatakan sudah berpendidikan. Hal
ini dapat dilihat dari data yang diperoleh di
kantor desa yang menjelaskan bahwa
tingkat pendidikan penduduk Desa Adat
Penglipuran mulai dari tingkat Sekolah
Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi,
disamping kejar paket.
Potensi Wisata Desa Adat Penglipuran
Sebagai salah satu objek wisata
budaya
yang ada
di
Kabupaten
Bangli(Keputusan
Kepala Daerah
Kabupaten Bangli Nomor 03 tahun 1999),
Desa Penglipuran tidak bisa lepas dari
potensi yang ada disekitar desanya, seperti
:
1. Pura Kehen
Pura Kehen juga merupakan salah
satu objek wisata dan merupakan pura

kuno di Bangli. Terletak sekitar 4 km


dari Desa Penglipuran, keberadaan
Pura Kehen secara tidak langsung
memberikan dampak positif terhadap
keberadaan
Desa
Penglipuran.
Biasanya
wisatawan
setelah
mengunjungi Pura Kehen, mereka juga
selanjutnya akan mengunjungi Desa
Penglipuran.
2. Desa Cekeng
Desa Cekeng terletak disebelah
barat Desa Penglipuran atau berjarak
kurang lebih sekitar 1 km, dengan
waktu tempuh selama 30 menit.
Potensi yang dimiliki oleh Desa
Cekeng hampir mirip dengan potensi
yang dimiliki oleh Desa Penglipuran,
yaitu berupa tata ruang tradisional.
Desa cekeng juga termasuk kedalam
jenis Desa Kuno, sama halnya dengan
Desa Penglipuran. Selain menawarkan
tata ruang tradisional, Desa Cekeng
juga menawarkan keindahan panorama
alam.
3. Merupakan Jalur Kintamani-Bangli
Letak desa yang dekat dengan jalur
Bangli-Kintamani, merupakan potensi
yang baik, karena potensi ini bisa
dipakai lintas wisata dari DenpasarGianyar-Bangli-PenglipuranKintamani atau sebaliknya. Dengan
akses berupa jalur ini, akan memberi
kemudahan bagi wisatawan untuk
mengunjungi Desa Penglipuran.
Adapun potensi wisata yang
dimiliki oleh Desa Adat Penglipuran
adalah sebagai berikut :
1.
Potensi alam
Kondisi alam yang dimiliki oleh
Desa Penglipuran boleh dikatakan masih
terjaga keasriannya. Selain kondisi tanah
yang subur, mata pencaharian penduduk
berupa bercocok tanam juga sangat
mendukung kelestarian lingkungan alam
yang ada. Salah satu potensi alam yang
dimiliki oleh Desa Penglipuran adalah
keberadaan Hutan Bambu yang sudah
begitu dikenal oleh para wisatawan. Hutan
Bambu ini terletak di utara desa, dan sudah
dilengkapi dengan fasilitas rekreasi seperti

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Agustus 2011, Vol.1 No.1 hal.74

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Putu Agus Prayogi


keberadaan jalan setapak yang di paping
dan pendirian beberapa bangunan untuk
istirahat (Balai Bengong). Pendirian
beberapa fasilitas ini menandakan Desa
Penglipuran
juga
berupaya
untuk
menampilkan daya tarik alam yang mereka
miliki. Selain hutan bambu, Desa
penglipuran juga menawarkan keasrian
alam disekitar Sungai Sungsang, dimana
air sungai ini juga masih dalam keadaan
bersih.
2.
Potensi Budaya
a. Tata ruang Desa Penglipuran yang
masih mempergunakan konsep Tri
Mandala, dengan axis Linier dan as
kaja-kelod, sehingga desa ini masih
terlihat menjaga tradisi para leluhur.
b. Pura kuno dengan struktur tradisional
Penglipuran
c. Bangunan rumah tradisonal yang
masih menjaga tradisi yang diturunkan
secara turun temurun
d. Kerajinan yang berbahan baku bambu,
yang dijadikan sebagai identitas Desa
Penglipuran
e. Aktifitas seni baik berupa seni tari,
seni lukis maupun seni ukir yang
masih dijalankan oleh penduduk Desa
Penglipuran
f. Terdapat
pelaksanaan
upacara
keagamaan
sebagai
warisan
masyarakat agraris religius, yang
disesuaikan dengan dengan sasih /
bulan seperti :
Upacara Nyeeb, pada sasih kasa
Upacara Mungkah, pada sasih kasa
Nyungsung, pada sasih karo
Nakluk Merana, pada sasih keenem
Ngusaba Bantal, pada sasih ke
sanga
Ngaturang Upeti, pada sasih ke
desta
Disamping upacara pertanian,
terdapat pula rangkaian upacara adat yang
disebut Pengusaban, seperti : Ngaturang
Pekeling, Ngusaba Paruman dan Ngusaba
Nangkan.
Dari potensi alam dan potensi
budaya yang dimiliki oleh Desa
Penglipuran, yang dijadikan sebagai

produk utama yang ditawarkan kepada


para wisatawan adalah Rumah Tradisional.
Rumah tradisional yang dimiliki oleh Desa
Penglipuran memiliki keunikan berupa
bangunan dan atap bangunan yang terbuat
dari bilah pohon bambu. Disamping bahan
bangunan berupa bilah pohon bambu,
rumah tradisional Desa Penglipuran juga
menampilkan keunikan dari Angkulangkul masing-masing rumah yang terlihat
seragam. Dengan potensi alam dan potensi
budaya yang dimiliki oleh Desa
Penglipuran, menjadikan desa ini banyak
dikunjungi oleh wisatawan baik itu
wisatawan domestik maupun wisatawan
mancanegara.
Namun
dari
perkembangan
pariwisata di Desa Adat Penglipuran sudah
tentu akan memberikan dampak terhadap
lingkungan Fisik, Sosial Budaya dan
Ekonomi masyarakat setempat, baik yang
dirasakan secara langsung maupun tidak
langsung.
Dampak
pengembangan
pariwisata di Desa Adat Penglipuran sudah
tentu tidak hanya memberikan dampak
secara
positif
namun
juga
bisa
memberikan dampak negatif.
Dampak Perkembangan Wisata di Desa
Penglipuran
Secara
umum
pengembangan
pariwisata di suatu daerah, akan
berdampak bagi daerah tersebut baik itu
terhadap kondisi alam, budaya ataupun
kondisi
dari
masyarakat
tersebut.
Demikian halnya dengan yang terjadi di
Desa Penglipuran. Pengembangan Desa
Penglipuran sebagai Objek dan Daya tarik
Wisata di Kabupaten Bangli, telah
memberikan dampak yang secara langsung
bisa dinikmati oleh masyarakat setempat.
Namun tidak semuanya dampak yang
diberikan itu bermanfaat bagi masyarakat,
tetapi juga memberikan dampak yang
sifatnya
negatif.
Dampak
dari
perkembangan pariwisata bagi Desa
Penglipuran dapat dijelaskan seperti
berikut :
Dampak yang
ditimbulkan
oleh
pengembangan pariwisata terhadap

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Agustus 2011, Vol.1 No.1 hal.75

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Putu Agus Prayogi


lingkungan Fisik di Desa Adat
Penglipuran
1. Dampak Positif
Dengan perkembangan pariwisata di
Desa
Penglipuran,
perhatian
masyarakat
terhadap
kelestarian
alamnya menjadi lebih baik dari
sebelumnya. Hal ini terbukti dari
beberapa kegiatan pelestarian yang
dilakukan seperti penanaman pohon di
sekitar
Sungai
Sungsang
oleh
masyarakat, pelestarian Hutan Bambu
dengan jalan pembuatan aturan secara
hukum adat dan penghijauan yang
dilakukan disekitar pekarangan rumah.
Pelestarian ini dilakukan dengan tujuan
agar keindahan alam yang dimiliki
oleh Desa Penglipuran tetap terjaga,
dan masih menjadi daya tarik bagi
wisatawan.
2. Dampak Negatif
Selain memberikan dampak positif
terhadap lingkungan fisik di Desa
Penglipuran, perkembangan pariwisata
juga berdampak negatif terhadap
lingkungan fisik alami di sana.
Dampak negatif ini diakibatkan dari
terjadinya kontak langsung antara
wisatawan dengan lingkungan alami
seperti Hutan Bambu. Dengan adanya
aktifitas wisatawan di sekitar Hutan
Bambu, berdampak pada timbulnya
onggokan sampah di dalam lingkungan
Hutan Bambu tersebut. Baik secara
langsung maupun tidak langsung
onggokan sampah ini, apalagi sampah
plastik akan mempengaruhi tingkat
polusi pada areal tersebut disamping
timbul kesan yang jorok. Pemasangan
paping pada beberapa areal di desa
tersebut juga akan memberikan
pengaruh terhadap daya resap tanah
terhadap air hujan. Pembangunan
beberapa fasilitas wisata seperti
pembangunan tempat peristirahatan
(Bale Bengong) di beberapa sudut
disekitar kawasan Hutan Bambu juga
secara
tidak
langsung
akan
memberikan dampak negatif terhadap

lingkungan alami di kawasan Hutan


Bambu tersebut.
Dampak yang
ditimbulkan
oleh
pengembangan pariwisata terhadap
kehidupan
sosial
dan
budaya
Masyarakat di Desa Adat Penglipuran
Secara
umum
dampak
pengembangan
pariwisata
terhadap
kehidupan sosial dan budaya masyarakat
diakibatkan
oleh
terjadinya
ketersinggungan antara wisatawan dengan
masyarakat lokal. Begitu juga yang terjadi
dengan masyarakat Desa Penglipuran.
Akibat dari pengembangan pariwisata
disana terjadi interaksi antara wisatawan
dengan Masyarakat Desa Penglipuran yang
meberikan dampak berupa dampak positif
maupun negatif terhadap kehidupan sosial
budaya masyarakat setempat. Secara lebih
jelas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Dampak Positif
Dengan
adanya
perkembangan
pariwisata, timbul keinginan dari
Masyarakat Desa Penglipuran untuk
melestarikan potensi budaya yang
mereka miliki. Salah satu kegiatan
pelestarian budaya yang mereka miliki
adalah dengan diadakannya pelatihan
tari yang dilakukan oleh masyarakat
Desa Penglipuran, yang biasa mereka
laksanakan setiap sore hari di Balai
Desa setempat. Pelestarian terhadap
bangunan tradisional seperti perbaikan
secara kontinyu tetap masyarakat
lakukan yang bertujuan agar Desa
Pengelipuran tetap diminati oleh
wisatawan. Munculnya sentra-sentra
kerajinan juga merupakan salah satu
dampak postif yang ditimbulkan
dengan
adanya
perkembangan
pariwisata di sana. Jadi kalau kita
simpulkan
dengan
adanya
perkembangan
pariwisata
menyebabkan timbulnya keinginan
masyarakat untuk melestarikan budaya
tradisional yang mereka miliki.
2. Dampak Negatif
Dengan
adanya
pariwisata secara

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Agustus 2011, Vol.1 No.1 hal.76

perkembangan
tidak langsung

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Putu Agus Prayogi


memberikan dampak negatif terhadap
tatanan kehidupan Masyarakat Desa
Penglipuran. Kehidupan sosial yang
sebelumnya terjaga dengan baik mulai
cendrung
mengarah
kedalam
kehidupan yang lebih individualistis.
Hal ini terlihat dari makin tingginya
intensitas kerja seiring dengan
pengembangan pariwisata di Desa
Penglipuran. Orientasi masyarakat
sekarang
ini
cendrung
kearah
peningkatan perekonomian keluarga.
Hal
ini
mendorong
terjadinya
komersialisai budaya lokal yang
mereka
miliki.
Tarian
yang
sebelumnya
disakralkan
mulai
dipertontonkan kepada wisatawan.
Tanpa
disadari
juga
akibat
pengembangan
pariwisata
telah
menyebabkan terjadinya komodifikasi
budaya yang mereka miliki, dimana
budaya yang dimiliki mengalami
perubahan bentuk sebagai akibat
pemenuhan kebutuhan
wisatwan.
Seperti yang terjadi pada beberapa
barang kerajinan khas yang terbuat dari
bilah pohon bambu telah mengalami
beberapa perubahan bentuk, sebagai
akibat
pemenuhan
kebutuhan
wisatawan. Pendirian artshop diareal
pekarangan
rumah
juga
telah
mempengaruhi nilai tradisional dari
arsitektur bangunan tradisional yang
dimiliki oleh Masyarakat Desa
Penglipuran.
Dibeberapa rumah penduduk terlihat
rumah-rumah tradisional sudah tidak
diperhatikan keberadaanya. Atap-atap
yang bocor tidak diperbaiki, beberapa
bilah bambu untuk tembok juga tidak
diperbaiki jika mengalami kerusakan.
Hal ini disebabkan karena kebanyakan
rumah-rumah tradisional tersebut tidak
mereka huni, melainkan hanya
dijadikan daya tarik wisata bagi para
wisatawan. Selain masalah pelestarian
bangunan tradisional, masalah yang
ditimbulkan
oleh
pengembangan
pariwisata di Desa Penglipuran adalah
kecendrungan generasi muda yang

mulai meninggalkan budaya-budaya


leluhur mereka. Mereka cendrung
misalnya belajar untuk memainkan alat
musik
modern
dibandingkan
mempelajari
alat-alat
musik
tradisional. Kegiatan pelatihan taripun
hanya dilakukan oleh anak-anak.
Sudah tentu kalau ini terus dibiarkan
akan memberikan dampak pada
kelestarian budaya lokal yang mereka
miliki.
Dampak yang
ditimbulkan
oleh
pengembangan pariwisata terhadap
perekonomian Masyarakat di Desa
Adat Penglipuran
1. Dampak Positif
Perkembangan pariwisata di Desa
Penglipuran juga memberikan
dampak terhadap perekonomian
masyarakat. Dengan perkembangan
pariwisata
ini
membuka
kesempatan bagi masyarakat untuk
membuka usaha sebagai penyedia
kebutuhan wisatawan. Ini dapat
dilihat dari pendirian art shop
dirumah-rumah penduduk, yang
menawarkan berbagai cendra mata
khas Penglipuran yang berbahan
dasar pohon bambu. Sudah tentu
hal ini akan berdampak terhadap
peningkatan
pendapatan
dari
masyarakat.
Perkembangan
pariwisata secara tidak langsung
juga berdampak pada sektor
industri
kecil/rumah
tangga.
Dimana
masyarakat
Desa
Penglipuran mendirikan kelompokkelompok pengerajin bambu, yang
sudah tentu bisa meningkatkan
pendapatan masyarakat.
Selain pemasukan berupa
hasil
penjualan
cindramata,
Masyarakat Desa Penglipuran juga
memperoleh
masukan
dari
restribusi yang dibayarkan oleh
wisatawan ketika memasuki objek
wisata. Adapun restribusi yang
dikenakan
kepada
wisatawan
adalah sebesar Rp. 2.500,- dari
total restribusi yang diperoleh 40 %

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Agustus 2011, Vol.1 No.1 hal.77

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Putu Agus Prayogi


nya diserahkan kepada pihak Desa
Penglipuran.
2. Dampak Negatif
Dalam
perkembangannya,
kepariwisataan
di
Desa
Penglipuran
tidak
hanya
memberikan
dampak
positif,
namun juga memberikan dampak
negatif terhadap perekonomian
masyarakat. Salah satu dampak
negatif yang menjadi kendala
selama ini adalah belum meratanya
pendapatan
masyarakat
yang
diperoleh dari pengembangan
pariwisata. Bagi masyarakat yang
menjual hasil kerajinan kepada
wisatawan sudah tentu memberikan
hasil yang lebih dibandingkan
masyarakat yang tidak memiliki
hasil kerajinan. Hal ini akan
menimbulkan kecemburuan sosial
dikalangan masyarakat setempat.
Penanggulangan
Dampak
Negatif,
sebagai
akibat
perkembangan
pariwisata di Desa Penglipuran
Perkembanga pariwisata secara
umum memang sangat bermanfaat bagi
peningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun tidak selamanya pariwisata selalu
memberikan
dampak
positif
bagi
masyarakat. Kadang kala pariwisata juga
memberikan dampak negatif, yang kalau
tidak segera ditangani akan berdampak
pada terhambatnya pembangunan disuatu
daerah. Demikian halnya dengan dampak
negatif yang ditimbulkan pariwisata
sebagai akibat perkembangan wisata di
Desa Penglipuran. Kalau tidak segera
dicarikan
jalan
pemecahan,
maka
ditakutkan perkembangan pariwisata akan
menghancurkan
tatanan
kehidupan
masyarakat disana. Untuk itu perlu
dilakukan tindakan-tindakan pencegahan
yang harus dilakukan oleh segenap unsur
yang memiliki kepentingan seperti
pemerintah Kabupaten Bangli, Masyarakat
Penglipuran dan juga pihak swasta (travel

agent). Adapun tindakan-tindakan yang


bisa diambil untuk menanggulangi dampak
negatif adalah :
1. Pendidikan
Kemampuan masyarakat dibidang
pelayanan jasa pariwisata perlu
ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan yang
diberikan kepada wisatawan, misalnya
terkait dengan kemampuan berbahasa
asing. Dengan peningkatan kualitas
pelayanan sudah tentu akan berdampak
pada peningkatan jumlah kunjungan
wisatawan ke Desa Penglipuran.
Pendidikan ini bisa dilakukan dengan
cara pelatihan ataupun pemberian
beasiswa bagi masyarakat yang kurang
mampu.
2. Peningkatan kesadaran masyarakat
akan pentingnya pelestarian alam dan
budaya
Pengembangan pariwisata tidak hanya
menuntuk kita untuk mengeksploitasi
segala potensi yang dimiliki oleh suatu
daerah untuk dijadikan produk ataupun
daya tarik wisata. Namun kita juga
diwajibkan untuk menjaga kelestarian
alam dan budaya tersebut sehingga
potensi alam dan budaya ini bersifat
berkelanjutan. Kegiatan ini bisa
dilakukan
dengan
melaksanakan
penyuluhan-penyuluhan
yang
dilakukan oleh pemeritah yang dibantu
oleh pihak swasta.
3. Pelatihan-pelatihan informal
Pelatihan informal dapat dilaksanakan
dengan jalan memberikan pelatihan
singkat
mengenai
keterampilan
dibidang kerajinan tangan. Hal ini
bertujuan agar kesempatan kerja bisa
ditingkatkan, sehingga pemerataan
pendapat bisa dilaksanakan
4. Peningkatan keterlibatan masyarakat
didalam pengelolaan
Hal ini bertujuan agar masyarakat Desa
Penglipuran dapat meningkatkan rasa
memiliki,
dimana
dengan
ini
diharapkan keinginan mereka untuk
menjaga segala potensi yang mereka
miliki semakin meningkat.

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Agustus 2011, Vol.1 No.1 hal.78

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Putu Agus Prayogi

DAFTAR PUSTAKA
Anonimnus. 2007. Data Pariwisata.
Bangli : Dinas Pariwisata dan
Budaya Kabupaten Bangli
Tahun 2007
------------. 2007. Data Monografi Desa
Penglipuran Tahun 2001
Butler, R. 1992. Alternative tourism: The
Thin Edge Of The Wedge. In:
V.L.
Smith
and
W.R.
Eadington
(eds)
Tourism
Alternatives: Potentials and
Problems in the Development
ofTourism.
Philadelphia:
University of Pennsylvania
Press. p. 3146.
Cooper, Chris and Stephen Jackson.1997.
Destination Life Cycle: The
Isle Of Man Case Study.
In:Lesley France (Eds) The
Earthscan
Reader
In
Sustainable Tourism. UK:
Earthscan Publications Limited.
Marpaung, Happy. 2000. Pengetahuan
Kepariwisataan.
Bandung:
Alfabeta.

Paturusi, Syamsul Alam. Perencanaan


Kawasan
Pariwisata.
Denpasar: Universitas Udayana
Pitana, I Gde dan Gayatri, Putu G. 2005.
Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta : Andi
Pitana, I Gde. 1999. Pelangi Pariwisata
Bali. Denpasar: Bali Post.
Purwadarminta, W. J. S. 2002. Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia.Jakarta:
Balai
Pustaka.
Ryan,

Chris.
1991.
Recreational
Tourism:A
Social
Science
Perpective. London: Routledge.

Smith, V. L & Eadington W.R (eds)


Tourism alternatives:Potentials
and
Problems
in
the
Development
ofTourism.
Philadelphia: University of
Pennsylvania Press.
Sukardi,

Nyoman. 1998. Pengantar


Pariwisata. STP Nusa DuaBali.

Yoeti, Oka A. 1996. Pengantar Ilmu


Kepariwisataan. Bandung :
Angkasa

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Agustus 2011, Vol.1 No.1 hal.79

You might also like