Professional Documents
Culture Documents
anjing melalui istilah paksa, jaya guna, ketek dan kiul. Sayangnya penulis tidak
menggali lebih dalam dari mana istilah2 tersebut diperoleh. Meskipun begitu,
penulis mengajak kita semua untuk meneliti kebenaran cara pemilihan karakter
anjing tersebut.
Tulisan anjing Kintamani hampir tidak berbeda dengan paparan anjing
Kitamani yang ada pada buku sebelumnya. Penambahan menarik adalah
bagaimana penulis mencoba menggali sifat anjing Kintamani dilihat dari dua sisi
peneliti sebelumnya dan ungkapan yang menggambarkan bagaimana desa
Sukawana dapat menjadi tempat / pusat anjing Kintamani.
Bab terakhir (Bab ke III) terlihat bahwa penulis mencoba menambah
wawasan pembaca anjing Bali dengan menambahkan penyakit Rabies (anjing
Gila). Jelas terlihat bahwa Rabies dimunculkan karena saat ini penyakit rabies
sedang mengancam masyarakat Bali dan menjadi persoalan besar bagi
pemerintah untuk membebaskannya kembali.
Yang menjadi kekuatan dari buku ini adalah dituliskannya beberapa fakta
tulisan yang tidak ditemui di buku pertama Anjing Bali (Pemuliabiakan dan
Pelestarian). Sebaliknya ada juga kelemahan atau kekurangan data (missing
data) khususnya di Bab III yang menyebabkan buku ini menjadi kurang greget
(kurang tajam). Masalahnya apakah memang tidak ada data dan tak mampu
ditelusuri atau memang penulisnya yang terlalu sopan sehingga tidak mau
memasukkannya dalam buku ini.
III. Anjing Bali
Mengapa jumlah anjing di Bali sangat tinggi? dan mengapa anjing di Bali
dibiarkan berkeliaran di jalan-jalan?. Ini dua pertanyaan besar yang belum
diungkapkan dalam buku ini. Apakah masyarakat Bali memang mengagungkan
anjing atau membiarkan / tidak perduli. Tidak diketahui apakah sebagian besar
orang Bali memang tidak sayang anjing atau apa?. Sering sekali ditemui ada
anjing mati tertabrak motor atau mobil dan sampai lama dibiarkan di jalan.
Sebaliknya sebagian besar orang asing akan langsung membawa anjing ke
dokter hewan apabila ditemukan anjing nista atau tertabrak dijalan. Kepedulian
orang asing dibuktikan dengan tumbuhnya Yayasan2 di Bali yang
mengakomodasi kepentingan hewan anjing itu sendiri. Apa yang membedakan
sikap orang Bali dan sikap orang asing terhadap anjing ? Pendidikankah?,
ekonomi?, hukum? budaya ? atau apa?. Apabila ini mampu ditelusuri, tentu
akan memperkaya wawasan dan mungkin dengan diketahui sikap orang Bali,
maka peraturan pengendalian anjing dapat dibuat sesuai dengan sikap tersebut.
IV. Anjing Kintamani.
Dari mana anjing Kintamani berasal?. Paparan pada buku ini hanya
menggambarkan ceritra yang sama seperti buku sebelumnya yang secara ilmiah
belum dapat dipertanggung jawabkan. Dengan kemajuan teknologi kedokteran
saat ini, sebenarnya bisa ditambahkan hasil temuan lain misalnya dengan uji
jejak ragam DNA. Saya kira sudah ada peneliti yang mencoba menelusuri jejak
ragam DNA anjing Kintamani. Apalagi kenyataan saat ini, PERKIN (Perhimpunan
Kinologi Indonesia) sudah memasukkan anjing Kintamani dalam Grup V (Spitzs
dan Tipe primitive), dimana didalamnya termasuk Chow-Chow, Samoyed,
Siberian Husky dan Pomeranian. Mengapa dimasukkan dalam grup V? .
Pertanyaan ini sebenarnya harus digali.
V.
Rabies
a.
Penyakit rabies
Penyakit rabies dipaparkan dengan baik dan memenuhi kaidah atau
standar penulisan ilmiah. Pembaca diajar untuk mengetahui atau waspada
terhadap anjing yang menunjukkan gejala khusus rabies. Masukknya penyakit
rabies ke daerah baru selalu disebabkan oleh masuknya anjing penderita
rabies yang dibawa oleh manusia. Mengapa orang bisa tidak mengenali
kalau anjingnya sudah terjangkit rabies? Ini tidak disinggung oleh penulis.
c.