You are on page 1of 4

ANJING BALI DAN RABIES KARYA

NYOMAN SADRA DHARMAWAN


Oleh :
Drh. Nining Hartaningsih, MVSc., Ph.D
(Balai Besar Veteriner Denpasar)
I. Pendahuluan
Keberadaan anjing di Bali sudah diketahui orang sejak lama. Berbagai
jenis anjing ada di Bali baik anjing lokal maupun anjing pendatang yang pada
umumnya anjing jenis ras. Anjing local adalah sebutan anjing kampung atau
anjing non ras. Anjing jenis kampong ini bisa disebut anjing jalanan karena
selalu berkeliaran di jalan-jalan baik ada pemiliknya maupun tak ada pemiliknya
atau anjing kampong yang dirumah dan dipelihara dengan baik. Sedangkan
anjing Ras adalah jenis anjing yang sudah standar dan diakui oleh dunia
peranjingan (kinologi). Selain kedua jenis anjing tersebut (local dan ras) ada
jenis lain yaitu anjing local Kintamani yang sedang diperjuangkan menjadi anjing
Ras.
Dari segi populasi, maka jumlah anjing local Bali sangat tinggi (
diperkirakan lebih dari 500 ribu ekor) dan dijumpai di seluruh kabupaten di Bali
termasuk Nusa Penida. Sebaliknya jumlah anjing ras di Bali rendah dan tidak
lebih dari 10 ribu ekor (catatan Dinas Peternakan Propinsi Bali). Namun demikian
seiring dengan meningkatnya kehidupan ekonomi dan pendidikan masyarakat
Bali serta meningkatnya jumlah populasi penduduk pendatang di Bali maka
jumlah anjing ras setiap tahun baik yang tercatat maupun tidak tercatat terus
meningkat. Jumlah anjing lokal yang sangat tinggi dan berkeliaran di jalan2 ini
sangat berbahaya untuk kehidupan manusia karena anjing bisa berubah dari
sahabat menjadi musuh pembunuh manusia.
Makalah bedah buku Anjing Bali dan Rabies ini, mencoba mengupas
tulisan yang dibuat oleh Nyoman Sadra Dharmawan. Kiranya makalah ini dapat
melengkapi dan mengajak para pembaca untuk memahami isi dari buku Anjing
Bali dan Rabies.
II. Pandangan Umum
Secara umum, buku ini sangat bagus. Tutur bahasa dan alur tulisan
sangat mudah dan enak dibaca serta mudah dimengerti oleh orang awam
sekalipun. Pembaca diajak untuk memahami terlebih dahulu apa arti anjing bagi
manusia dan bagaimana anjing bisa dekat dengan manusia. Penulis dengan baik
menuliskan arti penting anjing bagi masyarakat Bali dan bagaimana orang Bali
memandang seekor anjing. Bagi orang Bali anjing bisa diagungkan sebagaimana
Yudistira memandang seekor anjing, anjing bisa dipakai sebagai hewan
persembahan Bhuta Yadnya (mis anjing bang bungkem) atau bahkan sebaliknya
dianggap nista. Salah satu unsur kekuatan dari buku ini adalah diungkapkannya
penemuan yang menarik dari masyarakat Bali yaitu pemilihan terhadap karakter

anjing melalui istilah paksa, jaya guna, ketek dan kiul. Sayangnya penulis tidak
menggali lebih dalam dari mana istilah2 tersebut diperoleh. Meskipun begitu,
penulis mengajak kita semua untuk meneliti kebenaran cara pemilihan karakter
anjing tersebut.
Tulisan anjing Kintamani hampir tidak berbeda dengan paparan anjing
Kitamani yang ada pada buku sebelumnya. Penambahan menarik adalah
bagaimana penulis mencoba menggali sifat anjing Kintamani dilihat dari dua sisi
peneliti sebelumnya dan ungkapan yang menggambarkan bagaimana desa
Sukawana dapat menjadi tempat / pusat anjing Kintamani.
Bab terakhir (Bab ke III) terlihat bahwa penulis mencoba menambah
wawasan pembaca anjing Bali dengan menambahkan penyakit Rabies (anjing
Gila). Jelas terlihat bahwa Rabies dimunculkan karena saat ini penyakit rabies
sedang mengancam masyarakat Bali dan menjadi persoalan besar bagi
pemerintah untuk membebaskannya kembali.
Yang menjadi kekuatan dari buku ini adalah dituliskannya beberapa fakta
tulisan yang tidak ditemui di buku pertama Anjing Bali (Pemuliabiakan dan
Pelestarian). Sebaliknya ada juga kelemahan atau kekurangan data (missing
data) khususnya di Bab III yang menyebabkan buku ini menjadi kurang greget
(kurang tajam). Masalahnya apakah memang tidak ada data dan tak mampu
ditelusuri atau memang penulisnya yang terlalu sopan sehingga tidak mau
memasukkannya dalam buku ini.
III. Anjing Bali
Mengapa jumlah anjing di Bali sangat tinggi? dan mengapa anjing di Bali
dibiarkan berkeliaran di jalan-jalan?. Ini dua pertanyaan besar yang belum
diungkapkan dalam buku ini. Apakah masyarakat Bali memang mengagungkan
anjing atau membiarkan / tidak perduli. Tidak diketahui apakah sebagian besar
orang Bali memang tidak sayang anjing atau apa?. Sering sekali ditemui ada
anjing mati tertabrak motor atau mobil dan sampai lama dibiarkan di jalan.
Sebaliknya sebagian besar orang asing akan langsung membawa anjing ke
dokter hewan apabila ditemukan anjing nista atau tertabrak dijalan. Kepedulian
orang asing dibuktikan dengan tumbuhnya Yayasan2 di Bali yang
mengakomodasi kepentingan hewan anjing itu sendiri. Apa yang membedakan
sikap orang Bali dan sikap orang asing terhadap anjing ? Pendidikankah?,
ekonomi?, hukum? budaya ? atau apa?. Apabila ini mampu ditelusuri, tentu
akan memperkaya wawasan dan mungkin dengan diketahui sikap orang Bali,
maka peraturan pengendalian anjing dapat dibuat sesuai dengan sikap tersebut.
IV. Anjing Kintamani.
Dari mana anjing Kintamani berasal?. Paparan pada buku ini hanya
menggambarkan ceritra yang sama seperti buku sebelumnya yang secara ilmiah
belum dapat dipertanggung jawabkan. Dengan kemajuan teknologi kedokteran
saat ini, sebenarnya bisa ditambahkan hasil temuan lain misalnya dengan uji
jejak ragam DNA. Saya kira sudah ada peneliti yang mencoba menelusuri jejak

ragam DNA anjing Kintamani. Apalagi kenyataan saat ini, PERKIN (Perhimpunan
Kinologi Indonesia) sudah memasukkan anjing Kintamani dalam Grup V (Spitzs
dan Tipe primitive), dimana didalamnya termasuk Chow-Chow, Samoyed,
Siberian Husky dan Pomeranian. Mengapa dimasukkan dalam grup V? .
Pertanyaan ini sebenarnya harus digali.
V.

Rabies

a.

Pengertian dan Sejarah rabies


Pengertian dan sejarah rabies dituliskan dengan sangat baik oleh penulis.
Banyak fakta sejarah yang diungkap untuk mengajak pembaca memahami
bahwa penyakit rabies sudah dikenal sejak jaman sebelum Masehi.
b.

Penyakit rabies
Penyakit rabies dipaparkan dengan baik dan memenuhi kaidah atau
standar penulisan ilmiah. Pembaca diajar untuk mengetahui atau waspada
terhadap anjing yang menunjukkan gejala khusus rabies. Masukknya penyakit
rabies ke daerah baru selalu disebabkan oleh masuknya anjing penderita
rabies yang dibawa oleh manusia. Mengapa orang bisa tidak mengenali
kalau anjingnya sudah terjangkit rabies? Ini tidak disinggung oleh penulis.
c.

Penanggulangan rabies di Bali


Didalam upaya menanggulangi rabies di Bali, penulis menyatakan bahwa
semua upaya penanggulangan rabies telah sesuai dengan prosedur yang ada
(Hal 110) dan penulis juga memasukkan poin2 dalam prosedur tetap (PROTAP).
Apabila penanggulangan telah dilakukan sesuai prosedur sesuai dengan poin2
yang ada dalam buku ini, seharusnya rabies sudah mampu ditanggulangi. Tetapi
nyatanya saat ini justru rabies sudah menyebar hampir diseluruh Bali kecuali
kabupaten Klungkung dan Jembrana. Ini berarti belum sesuai dengan prosedur
yang ada.. Prosedur pemberantasan penyakit yang baku dari Direktorat Jenderal
Peternakan adalah menutup daerah tertular, melakukan vaksinasi di daerah
tertular dan terancam sebagai immune belt dan menolak hewan masuk. Dua
prosedur terakhir (immune belt dan menolak hewan masuk Bali) tidak atau
belum dilakukan. Immune belt bisa dibuat dengan vaksinasi.
Untuk penanggulangan rabies didaerah tertular, maka vaksinasi hewan
penular rabies (HPR) merupakan jalan terbaik untuk memutus rantai penyakit.
Dalam prosedur vaksinasi, sangatlah penting ditetapkan jenis vaksin yang dipakai
dan cakupan vaksinasi (coverage). Pada awal wabah, sangat jelas bahwa
vaksinasi tidak dilakukan di daerah terancam seperti Kuta, Legian, Denpasar dan
Sanur. Akibatnya dalam waktu hanya 3 minggu setelah vaksinasi di Kuta Selatan
selesai, penyakit sudah telajur menyebar ke Legian. Ada berbagai jenis vaksin
rabies untuk hewan yang beredar di Indonesia yaitu buatan Indonesia
(Pusvetma) dan ada yang dari luar negeri (LN). Perbedaannya terletak pada
pengulangan vaksinasi. Untuk vaksin buatan Indonesia, vaksinasi harus diulang 3

bulan setelah vaksinasi pertama, sedangkan buatan LN pengulangan dilakukan 1


tahun kemudian.
Pada hal 121 terlihat gambar vaksin yang dipakai untuk vaksinasi masal
adalah rabivet supra produksi PUSVETMA Surabaya. Vaksin ini memerlukan
pengulangan 3 bulan setelah immunisasi pertama. Keputusan menggunakan
vaksin ini pasti didasarkan pada harga yang lebih murah namun sebenarnya
biaya operasional vaksinasi menjadi sangat mahal. Cakupan vaksinasi HPR
sangat penting namun sayang dalam buku ini tidak terungkap berapa prosentase
anjing yang telah divaksin 2 kali dengan rabivet supra. Cakupan vaksinasi rabies
pada HPR sebaiknya diatas 80% atau paling ideal 100%. Saya perkirakan
cakupan vaksinasi HPR yang menerima 2 kali vaksinasi dibawah 40% dari
populasi terancam, sehingga rantai penularan rabies tidak terputus. Hingga hari
ini tinggal Jembrana dan Klungkung yang belum positif rabies. Apabila
penanggulangan Rabies masih seperti saat ini maka dalam waktu tidak terlalu
lama Bali bukannya bebas rabies tapi justru seluruh Bali akan dinyatakan
tertular.
Tertularnya Bali oleh rabies disebabkan karena ada orang yang
memasukkan anjing dari daerah tertular ke Bali. Peran karantina hewan belum
disinggung dalam buku ini. Bahkan sampai saat ini disinyalir pemasukan HPR dari
daerah tertular masih berlangsung, terutama lewat Gilimanuk.
d. Pembebasan Rabies di Indonesia.
Dalam upaya pembebasan rabies di Indonesia umumnya dan di Bali
khususnya, penulis sudah mencoba memaparkan langkah2 yang sudah diambil
oleh para pakar yang tergabung dalam tim penanggulangan rabies. Sayangnya
penulis tidak berusaha menuliskan pemikirannya sendiri tentang bagaimana kita
bisa dengan cepat membebaskan rabies dari Bali. Kalau ini bisa digali dan
dikemukakan oleh penulis, pasti gagasan itu bisa menambah argumentasi dan
wawasan kita semua. Saya yakin, penulis sebenarnya mampu melakukan itu dan
sudah berusaha mengungkapnya seperti tertulis pada halaman 90. Saya yakin
kalau penulis sebenarnya tahu bahwa penyakit rabies sangat berbeda dengan
penyakit anjing lainnya. Rabies merupakan penyakit masyarakat (Public health).
Maka yang harus dan mampu menanggulangi penyakit ini hanya masyarakat itu
sendiri (penulis sudah mencoba menyatakannya dengan istilah stake holder).
Masyarakat yang saya maksudkan adalah masyarakat awam yang menjadi victim
utama dari penyakit rabies. Nah bagaimana kita menggerakkan peran
masyarakat inilah yang akan menjadi kunci keberhasilan pembebasan penyakit
rabies. Penjelasan di halaman 90 mengungkapkan bahwa peran masyarakat
memang harus disertakan dan dipaksa dengan peraturan2 dan ini sudah disadari
sejak sebelum Masehi. Cara ini pula yang mampu membebaskan negara2 maju
dari rabies.
Semoga istilah Bali menjadi daerah TERAWAN penyakit rabies akan
segera berubah menjadi Bali menjadi daerah TER-AMAN dari rabies. SEMOGA !

You might also like