You are on page 1of 16

TUGAS

REGULASI DISTRIBUSI BEBERAPA KOMODITI DI PDF


NARKOTIKA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG
NARKOTIKA
BAB I Ketentuan Umum
Pasal 1
(6) Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang
ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.
(7) Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan untuk mengimpor Narkotika dan
Prekursor Narkotika.
(8) Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan untuk mengekspor Narkotika
dan Prekursor Narkotika.
(9) Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan
Narkotika dari satu tempat ke tempat lain dengan cara, moda, atau sarana angkutan
apapun.
(10) Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang
memiliki izin untuk melakukan kegiatan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran
(11)sediaan farmasi, termasuk Narkotika dan alat kesehatan.
BAB IV Pengadaan
Bagian Kesatu
Rencana Kebutuhan Tahunan
Pasal 9 (1) Menteri menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Untuk keperluan ketersediaan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
disusun rencana kebutuhan tahunan Narkotika.
(3) Rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disusun berdasarkan data pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi produksi
tahunan yang diaudit secara komprehensif dan menjadi pedoman pengadaan,
pengendalian, dan pengawasan Narkotika secara nasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan
Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Penyimpanan dan Pelaporan
Pasal 14 (1) Narkotika yang berada dalam penguasaan Industri Farmasi, pedagang besar
farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit,
pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu
pengetahuan wajib disimpan secara khusus.
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,
dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan
menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika
yang berada dalam penguasaannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpana secara khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dikenai sanksi administratif oleh Menteri atas rekomendasi dari Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan berupa:
a. teguran;
b. peringatan;
c. denda administratif;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin.

BAB V Impor Dan Ekspor

Pasal
15

Bagian Kesatu
Izin Khusus dan Surat Persetujuan Impor
(1) Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang
besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai
importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan untuk melaksanakan impor Narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin kepada
perusahaan lain dari perusahaan milik Negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin sebagai importir sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk
melaksanakan impor Narkotika.
Pasal 16
(1) Importir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Impor
dari Menteri untuk setiap kali melakukan impor Narkotika.
(2) Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil audit Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan terhadap rencana kebutuhan dan
realisasi produksi dan/atau penggunaan Narkotika.
(3) Surat Persetujuan Impor Narkotika Golongan I dalam jumlah
yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(4) Surat Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada pemerintah Negara pengekspor.
Pasal 17
Pelaksanaan impor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan
pemerintah negara pengekspor dan persetujuan tersebut
dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di negara pengekspor.
Bagian Kedua
Izin Khusus dan Surat Persetujuan Ekspor

Pasal 18
(1) Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang
besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai
eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan untuk melaksanakan ekspor Narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin kepada
perusahaan lain dari perusahaan milik Negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin sebagai eksportir
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk
melaksanakan ekspor Narkotika.
Pasal 19
(1) Eksportir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Ekspor
dari Menteri untuk setiap kali melakukan ekspor Narkotika.
(2) Untuk memperoleh Surat Persetujuan Ekspor Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon harus
melampirkan surat persetujuan dari negara pengimpor.
Pasal 20
Pelaksanaan ekspor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan
pemerintah negara pengimpor dan persetujuan tersebut
dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di Negara pengimpor.
Pasal 21
Impor dan ekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika hanya
dilakukan melalui kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk
perdagangan luar negeri.
Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
memperoleh Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan
Ekspor diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Pengangkutan
Pasal 23
Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang
pengangkutan barang tetap berlaku bagi pengangkutan
Narkotika, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini
atau diatur kemudian berdasarkan ketentuan Undang-Undang

ini.
Pasal 24
(1) Setiap pengangkutan impor Narkotika wajib dilengkapi dengan
dokumen atau surat persetujuan ekspor Narkotika yang sah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di
negara pengekspor dan Surat Persetujuan Impor Narkotika yang
dikeluarkan oleh Menteri.
(2) Setiap pengangkutan ekspor Narkotika wajib dilengkapi
dengan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang dikeluarkan
oleh Menteri dan dokumen atau surat persetujuan impor
Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di Negara pengimpor.
Pasal 25
Penanggung jawab pengangkut impor Narkotika yang memasuki
wilayah Negara Republik Indonesia wajib membawa dan
bertanggung jawab atas kelengkapan Surat Persetujuan Impor
Narkotika dari Menteri dan dokumen atau surat persetujuan
ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di Negara pengekspor.
Pasal 26
(1) Eksportir Narkotika wajib memberikan Surat Persetujuan
Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau Surat
Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di Negara pengimpor kepada
orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan
ekspor.
(2) Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan
pengangkutan ekspor wajib memberikan Surat Persetujuan
Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau Surat
Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di negara pengimpor kepada
penanggung jawab pengangkut.
(3) Penanggung jawab pengangkut ekspor Narkotika wajib
membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat
Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau
Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor.

Pasal 27
(1) Narkotika yang diangkut harus disimpan pada kesempatan
pertama dalam kemasan khusus atau di tempat yang aman di
dalam kapal dengan disegel oleh
nakhoda dengan disaksikan oleh pengirim.
(2) Nakhoda membuat berita acara tentang muatan Narkotika
yang diangkut.
(3) Nakhoda dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh
empat) jam setelah tiba di pelabuhan tujuan wajib melaporkan
Narkotika yang dimuat dalam kapalnya kepada kepala kantor
pabean setempat.
(4) Pembongkaran muatan Narkotika dilakukan dalam
kesempatan pertama oleh nakhoda dengan disaksikan oleh
pejabat bea dan cukai.
(5) Nakhoda yang mengetahui adanya Narkotika tanpa dokumen
atau Surat Persetujuan Ekspor atau Surat Persetujuan Impor di
dalam kapal wajib membuat berita acara, melakukan tindakan
pengamanan, dan pada persinggahan pelabuhan pertama segera
melaporkan dan menyerahkan Narkotika tersebut kepada pihak
yang berwenang.
Pasal 28
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 berlaku pula
bagi kapten penerbang untuk pengangkutan udara.
Bagian Keempat
Transito
Pasal 29
(1) Transito Narkotika harus dilengkapi dengan dokumen atau
Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang sah dari pemerintah
negara pengekspor dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor
Narkotika yang sah dari pemerintah negara pengimpor sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di negara pengekspor dan pengimpor.
(2) Dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari
pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau Surat
Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang:
a. nama dan alamat pengekspor dan pengimpor Narkotika;

b. jenis, bentuk, dan jumlah Narkotika; dan


c. negara tujuan ekspor Narkotika.
Pasal 30
Setiap terjadi perubahan negara tujuan ekspor Narkotika pada
Transito Narkotika hanya dapat dilakukan setelah adanya
persetujuan dari:
a. pemerintah negara pengekspor Narkotika;
b. pemerintah negara pengimpor Narkotika; dan
c. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor Narkotika.
Pasal 31
Pengemasan kembali Narkotika pada Transito Narkotika hanya
dapat dilakukan terhadap kemasan asli Narkotika yang
mengalami kerusakan dan harus dilakukan di bawah tanggung
jawab pengawasan pejabat Bea dan Cukai dan petugas Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan Transito Narkotika
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Pemeriksaan
Pasal 33
Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapan dokumen
impor, ekspor, dan/atau Transito Narkotika.
Pasal 34
(1) Importir Narkotika dalam memeriksa Narkotika yang
diimpornya disaksikan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menteri paling lambat 3
(tiga) hari kerja sejak tanggal diterimanya impor Narkotika di
perusahaan.
(2) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Menteri menyampaikan hasil penerimaan impor Narkotika
kepada pemerintah negara pengekspor.

Pasal 35

BAB VI Peredaran
Bagian Kesatu
Umum
Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau
penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun
pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu

Pasal 36

Pasal 37
Pasal 38
Pasal 39

Pasal 40

Pasal 41
Pasal 42

Pasal 48

pengetahuan dan teknologi.


(1) Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin
edar dari Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara perizinan peredaran Narkotika
dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
(3) Untuk mendapatkan izin edar dari Menteri, Narkotika dalam bentuk obat jadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melalui pendaftaran pada Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pendaftaran Narkotika dalam
bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami maupun
sintetis, yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri.
Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.
Bagian Kedua
Penyaluran
(1) Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, besar farmasi, dan sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang ini.
(1) (2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin
khusus penyaluran Narkotika dari Menteri
(1) Industri Farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
a. pedagang besar farmasi tertentu;
b. apotek;
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu; dan
d. rumah sakit.
(2) Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
a. pedagang besar farmasi tertentu lainnya;
b. apotek;
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu;
d. rumah sakit; dan
e. lembaga ilmu pengetahuan;
(3) Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan
Narkotika kepada:
a. rumah sakit pemerintah;
b. pusat kesehatan masyarakat; dan
c. balai pengobatan pemerintah tertentu.
Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar farmasi tertentu
kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyaluran Narkotika diatur
dengan Peraturan Menteri.
BAB VIII Prekursor Narkotika
Bagian Kesatu
Tujuan Pengaturan
Pengaturan prekursor dalam Undang-Undang ini bertujuan:
a. melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Prekursor Narkotika;

b. mencegah dan memberantas peredaran gelap Prekursor Narkotika; dan


c. mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan Prekursor Narkotika.
Bagian Kedua
Penggolongan dan Jenis Prekursor Narkotika
Pasal 49 (1) Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam
Prekursor Tabel I dan Prekursor Tabel II dalam Lampiran Undang-Undang ini.
(2) Penggolongan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan merupakan
bagian tak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Prekursor Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi
dengan menteri terkait.
Bagian Keempat
Pengadaan
Pasal 51 (1) Pengadaan Prekursor Narkotika dilakukan melalui produksi dan impor.
(2) Pengadaan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
digunakan untuk tujuan industri farmasi, industri nonfarmasi, dan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Pasal 52 Ketentuan mengenai syarat dan tata cara produksi, impor, ekspor, peredaran, pencatatan
dan pelaporan, serta pengawasan Prekursor Narkotika diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR HK.03.1.34.11.12.7542 TAHUN 2012
TENTANG PEDOMAN TEKNIS CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK
BAB II Organisasi, Manajemen Dan Personalia
Pelatihan
2.15. Harus diberikan pelatihan khusus kepada personil yang menangani obat dan/atau bahan obat yang
memerlukan persyaratan penanganan yang lebih ketat seperti obat dan/atau bahan obat
berbahaya, bahan radioaktif, narkotika, psikotropika, rentan untuk disalahgunakan, dan sensitif
terhadap suhu.
BAB III Bangunan Dan Peralatan
3.5. Harus tersedia kondisi penyimpanan khusus untuk obat dan/atau bahan obat yang membutuhkan
penanganan dan kewenangan khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan (misalnya
narkotika).
7.33. Obat dan/atau bahan obat yang mengandung narkotika dan zat yang dapat menyebabkan
ketergantungan harus diangkut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
ANEKS III Narkotika dan Psikotropika
Prinsip
Cara distribusi narkotika dan psikotropika harus dilakukan dalam rangka pemenuhan CDOB termasuk
untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan/atau kehilangan narkotika dan psikotropika dari jalur
distribusi resmi.
Umum
Distribusi narkotika dan psikotropika wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan
CDOB.
Personalia

Penanggung Jawab
1. Penanggung jawab merupakan seorang apoteker sesuai dengan
peraturan perundang undangan.
Bangunan Dan Peralatan
2. Persyaratan bangunan dan peralatan yang digunakan untuk mengelola narkotika wajib memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Gudang atau lemari penyimpanan psikotropika harus aman dan terkunci.
4. Kunci lemari atau gudang penyimpanan psikotropika dikuasai oleh penanggung jawab fasilitas
distribusi atau personil lain yang dikuasakan sesuai dengan uraian pekerjaan.
5. Kapasitas lemari atau gudang khusus penyimpanan narkotika atau psikotropika harus sesuai dengan
yang dipersyaratkan.
6. Gudang khusus penyimpanan psikotropika tidak boleh dimasuki orang lain tanpa izin penanggung
jawab fasilitas distribusi
Operasional
Kualifikasi Pemasok
7. Pemasok yang menyalurkan narkotika wajib memiliki ijin khusus sebagai fasilitas distribusi atau
industri farmasi yang memproduksi narkotika.
8. Izin khusus menyalurkan atau memproduksi narkotika diterbitkan oleh Menteri Kesehatan.
Kualifikasi Pelanggan
9. Fasilitas distribusi harus memastikan penyaluran narkotika ke fasilitas distribusilain yang memiliki
ijin khusus penyalur narkotika, instalasi sediaan farmasi, apotek dan rumah sakit yang memiliki
kewenangan menyalurkan atau menyerahkan narkotika sesuai dengan peraturan perundangundangan.
10.Fasilitas distribusi harus memastikan penyaluran psikotropika ke fasilitas distribusi lain, instalasi
sediaan farmasi, apotek dan rumah sakit yang memiliki kewenangan menyerahkan psikotropika
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengadaan
11. Perencanaan kebutuhan tahunan harus dibuat dalam pengadaan narkotika atau psikotropika
12. Pengadaan narkotika atau psikotropika harus berdasarkan surat pesanan dengan format khusus
sesuai dengan peraturan perundangundangan.
13. Surat Pesanan wajib:
a) asli dan dibuat paling sedikit dalam rangkap 2 (dua) serta tidak dibenarkan dalam bentuk
faksimili dan fotokopi;
b) ditandatangani oleh penanggung jawab fasilitas distribusi dan dilengkapi dengan nama jelas
dan nomor Surat Izin Kerja (SIK) / Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA);
c) mencantumkan nama dan alamat lengkap, nomor telepon / faksimili, nomor izin dan stempel
fasilitas distribusi;
d) mencantumkan nama industri farmasi atau fasilitas distribusi pemasok beserta alamat lengkap;
e) mencantumkan nama narkotika atau psikotropika, jenis dan kekuatan sediaan, isi kemasan dan
jumlah dalam bentuk angka dan huruf;
f) diberi nomor urut dan tanggal dengan penulisan yang jelas;
g) dibuat terpisah dari surat pesanan obat lain;
Penerimaan
14. Pada saat penerimaan harus dilakukan pemeriksaan terhadap:
a) kebenaran nama, jenis, nomor bets, tanggal kedaluwarsa, jumlah dan kemasan harus sesuai
dengan surat pengantar / pengiriman barang dan/atau faktur penjualan;
b) kondisi kontainer pengiriman dan/atau kemasan termasuk segel, label dan/atau penandaan
dalam kondisi baik;
c) kebenaran nama, jenis, jumlah dan kemasan dalam surat pengantar / pengiriman barang

dan/atau faktur penjualan harus sesuai dengan arsip surat pesanan.


15. Setelah dilakukan pemeriksaan pada butir 14 dan dinyatakan telah sesuai, penanggung jawab
fasilitas distribusi harus menandatangani surat pengantar / pengiriman barang dan/atau faktur
penjualan dan dibubuhi stempel fasilitas distribusi.
16. Jika setelah dilakukan pemeriksaan pada butir 14 terdapat:
a) item obat yang tidak sesuai dengan surat pesanan atau
b) kondisi kemasan tidak baik, maka obat tersebut harus dikembalikan dengan disertai bukti retur
dan surat pesanan asli, dan segera meminta bukti terima pengembalian dari pemasok.
17. Jika terdapat ketidaksesuaian nomor bets, tanggal kedaluwarsa dan jumlah antara fisik dengan
dokumen pengadaan harus dibuat dokumentasi untuk mengklarifikasi ketidak sesuaian dimaksud ke
pihak pemasok.
Penyimpanan
18. Penyimpanan narkotika wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
19. Psikotropika harus disimpan dalam lemari atau gudang terkunci serta tidak boleh digunakan
menyimpan barang selain psikotropika untuk menjamin keamanan.
Pemusnahan
20. Pemusnahan dilakukan oleh penanggung jawab fasilitas distribusi dan disaksikan oleh petugas
Badan POM, serta dibuat berita acara pemusnahan yang ditandatangani oleh penanggung jawab
fasilitas distribusi dan saksi.
21. Pelaksanaan pemusnahan dilaporkan ke Badan POM dengan tembusan disampaikan ke Balai
Besar/Balai POM dan Dinas Kesehatan Provinsi setempat dengan melampirkan berita acara
pemusnahan.
22. Laporan pemusnahan sekurang-kurangnya memuat:
a) nama narkotika atau psikotropika, jenis dan kekuatan sediaan, isi kemasan, jumlah, nomor bets
dan tanggal kedaluwarsa;
b) tanggal, waktu dan tempat pelaksanaan pemusnahan;
c) cara dan alasan pemusnahan;
d) nama penanggung jawab fasilitas distribusi; dan
e) nama saksi-saksi.
Penyaluran
23. Dalam penyaluran harus memperhatikan tahap-tahap penerimaan pesanan, pengemasan dan
pengiriman.
24. Penerimaan pesanan
a) Pada saat penerimaan pesanan, penanggung jawab fasilitas distribusi wajib memeriksa hal-hal
sebagai berikut:
i) surat pesanan menggunakan format khusus yang telah ditentukan dan terpisah dari produk
lain
ii) keaslian surat pesanan, tidak dalam bentuk faksimili, fotokopi maupun email
iii) memeriksa kebenaran surat pesanan, meliputi:
nama dan alamat penanggung jawab sarana pemesan;
nama narkotika atau psikotropika, jenis dan kekuatan sediaan, isi kemasan dan jumlah
dalam bentuk angka dan huruf;
nomor surat pesanan;
nama, alamat dan izin sarana pemesan
iv) Keabsahan surat pesanan, meliputi:
tanda tangan dan nama jelas penanggung jawab
nomor Surat Izin Kerja (SIK) penanggung jawab
stempel fasilitas distribusi atau sarana pelayanan kefarmasian

b) Penanggung jawab fasilitas distribusi harus memperhatikan kewajaran jumlah dan frekuensi
pesanan.
c) Pesanan yang ditolak atau yang tidak dapat dilayani harus segera diberitahukan kepada
pemesan dengan menerbitkan Surat Penolakan Pesanan paling lama 7 (tujuh) hari kerja.
d) Surat pesanan narkotika atau psikotropika yang dapat dilayani, disahkan oleh penanggung
jawab fasilitas distribusi dengan membubuhkan tanda tangan atau paraf atau sistem lain yang
dapat dipertanggungjawabkan.
25. Pengemasan
a) Pengemasan untuk tujuan pengiriman narkotika atau psikotropika harus dilaksanakan setelah
menerima surat pesanan
b) Setiap pengeluaran narkotika atau psikotropika untuk dilakukan pengemasan harus dicatat
dalam kartu stok dan disahkan dengan paraf Kepala Gudang
c) Sebelum dilakukan pengemasan narkotika atau psikotropika yang akan dikirim harus dilakukan
pemeriksaan terhadap:
i) kebenaran nama narkotika atau psikotropika, jenis dan kekuatan sediaan, isi kemasan dan
jumlah
ii) nomor bets, tanggal kedaluwarsa dan nama industri farmasi
iii) kondisi kemasan termasuk penandaan dan segel dari narkotika atau psikotropika
iv) kelengkapan dan keabsahan dokumen serta kebenaran tujuan pengiriman.
26. Pengiriman
a) Setiap pengiriman narkotika atau psikotropika harus disertai dan dilengkapi dengan dokumen
pengiriman narkotika atau psikotropika yang sah, antara lain surat jalan dan/atau surat
pengantar/pengiriman barang dan/atau faktur penjualan yang dikeluarkan oleh fasilitas
distribusi yang ditandatangani oleh kepala gudang dan penanggungjawab fasilitas distribusi.
b) Dokumen pengiriman harus terpisah dari dokumen lain.
c) Fasilitas distribusi wajib bertanggung jawab terhadap pengiriman narkotika atau psikotropika
sampai diterima di tempat pemesan oleh penanggung jawab sarana atau penanggung jawab
produksi, dibuktikan dengan telah ditandatanganinya surat pengantar/pengiriman barang
(nama, nomor SIK/SIPA, tanda tangan penanggung jawab, tanggal penerimaan, dan stempel
sarana)
d) Pengiriman narkotika atau psikotropika wajib sesuai dengan alamat yang tercantum pada surat
pesanan dan faktur penjualan atau surat pengantar/pengiriman barang
e) Setiap narkotika atau psikotropika yang mengalami kerusakan dalam pengiriman harus dicatat
dalam bentuk berita acara dan dilaporkan segera kepada penanggung jawab fasilitas distribusi
pengirim. Selanjutnya hal tersebut dilaporkan kepada Badan POM RI dengan tembusan Balai
Besar/Balai POM setempat.
f) Setiap kehilangan narkotika atau psikotropika selama pengiriman wajib dicatat dalam bentuk
berita acara dan dilaporkan segera kepada penanggung jawab fasilitas distribusi. Selanjutnya
hal tersebut segera dilaporkan kepada Badan POM RI dengan tembusan Balai Besar / Balai
POM setempat dilengkapi dengan bukti lapor kepolisian.
Ekspor dan Impor
27. Setiap pengadaan narkotika atau psikotropika melalui impor harus memenuhi peraturan perundangundangan.
28. Setiap pengadaan narkotika dan psikotropika impor harus dilengkapi dengan surat pesanan dan
estimasi kebutuhan tahunan dari industry farmasi pengguna.
29. Setiap kegiatan ekspor narkotika atau psikotropika, harus memenuhi peraturan perundangundangan.
Narkotika Dan Psikotropika Kembalian

30. Ketentuan tentang narkotika dan psikotropika kembalian mengacu pada Bab VI, dengan ketentuan
tambahan sebagai berikut:
a) Narkotika atau psikotropika kembalian harus disimpan terpisah dari obat dan/atau bahan obat
kembalian lain, terkunci dan aman untuk mencegah pendistribusian kembali.
b) Penanganan produk kembalian dan tindak lanjutnya harus didokumentasikan. Untuk produk
kembalian yang akan dimusnahkan harus dilaporkan ke Badan POM RI.
Dokumentasi
31. Pencatatan mutasi narkotika atau psikotropika wajib dilakukan dengan tertib dan akurat.
32. Melakukan stock opname secara berkala sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sekali.
33. Melakukan investigasi adanya selisih stok dengan fisik saat stock opname dan mendokumentasikan
hasil investigasi dalam bentuk berita acara hasil investigasi selisih stok serta melaporkan ke Badan
POM RI dengan tembusan Balai Besar/Balai POM setempat.
34. Dokumen pengadaan meliputi arsip surat pesanan, faktur penjualan dan/atau surat
pengantar/pengiriman barang / dari industri farmasi atau fasilitas distribusi lain, bukti retur dan/atau
nota kredit, wajib diarsipkan menjadi satu berdasarkan nomor urut atau tanggal penerimaan barang
dan terpisah dari dokumen lain.
35. Dokumen penyaluran meliputi surat pesanan, faktur penjualan dan/atau surat
penyerahan/pengiriman barang, bukti retur dan/atau nota kredit, wajib diarsipkan menjadi satu
berdasarkan nomor urut atau tanggal penyaluran barang dan terpisah dari dokumen produk lain.
36. Surat pesanan yang tidak dapat dilayani tetap diarsipkan dengan diberi tanda pembatalan yang jelas
37. Dokumen berita acara pemusnahan, berita acara kerusakan, berita acara kehilangan dan berita acara
hasil investigasi selisih stok, wajib didokumentasikan, dipisahkan dari dokumen obat dan/atau
bahan obat lain dan disusun berdasarkan urutan tanggal berita acara.
38. Arsip kartu stok manual wajib disimpan secara terpisah dari kartu stok produk lain dan disusun
berdasarkan tanggal sehingga mudah ditampilkan dan dapat ditelusuri pada saat diperlukan.
39. Fasilitas distribusi wajib menyampaikan laporan bulanan penyaluran narkotika dan atau
psikotropika sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
40. Fasilitas distribusi yang melakukan importasi narkotika dan/atau psikotropika wajib menyampaikan
laporan realisasi impor sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
41. Fasilitas distribusi yang melakukan eksportasi narkotika dan/atau psikotropika wajib
menyampaikan laporan realisasi ekspor sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997
TENTANG PSIKOTROPIKA
BAB IV Peredaran
Bagian Pertama
Umum
Pasal 8
Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan.
Pasal 9
(1) Psikotropika yang berupa obat hanya dapat diedarkan setelah terdaftar pada departemen yang
bertanggung jawab di bidang kesehatan.
(1) (2). Menteri menetapkan persyaratan dan tata cara pendaftaran psikotropika yang berupa obat.
Pasal 10
Setiap pengangkutan dalam rangka peredaran psikotropika, wajib dilengkapi dengan dokumen
pengangkutan psikotropika.
Pasal 11
Tata cara peredaran psikotropika diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Bagian Kedua

Penyaluran
Pasal 12
(1) Penyaluran psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya dapat
dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi
Pemerintah.
(2) Penyaluran psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh :
a. Pabrik obat kepada pedagang besar farmasi, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi
Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan.
b. Pedagang besar farmasi kepada pedagang besar farmasi lain-nya, apotek, sarana penyimpanan
sediaan farmasi Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan.
c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah kepada rumah sakit Pemerintah, puskesmas dan
balai pengobatan Pemerintah.
(3) Psikotropika golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi
kepada
lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan guna kepentingan ilmu pengetahuan.
Pasal 13
Psikotropika yang digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan hanya dapat disalurkan oleh pabrik
obat
dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan atau diimpor
secara
langsung oleh lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Bagian Ketiga
Penyerahan
Pasal 14
(1) Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya
dapat
dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter.
(2) Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepa-da apotek lainnya, rumah sakit,
puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien.
(3) Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai pengobatan, puskesmas sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1) hanya dapat dilakukan kepada pengguna/pasien.
(4) Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
(5) Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dalam
hal :
a. menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(6) Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat diperoleh
dari
apotek.
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi kegiatan penyerahan psikotropika diatur oleh Menteri.
BAB V
EKSPOR DAN IMPOR
Bagian Pertama

Surat Persetujuan Ekspor dan


Surat Persetujuan Impor
Pasal 16
(1) Ekspor psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat atau pedagang besar farmasi yang telah
memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Impor psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat atau pedagang besar farmasi yang telah
memiliki izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
serta lembaga penelitian atau lembaga pendidikan.
(3) Lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang
untuk
mengedarkan psikotropika yang diimpornya.
Pasal 17
(1) Eksportir psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) harus memiliki surat
persetujuan
ekspor untuk setiap kali melakukan kegiatan ekspor psikotropika.
(2) Importir psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) harus memiliki surat
persetujuan
impor untuk setiap kali melakukan kegiatan impor psikotropika.
(3) Surat persetujuan impor psikotropika golongan I hanya dapat diberikan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan.
Pasal 18
(1) Untuk dapat memperoleh surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor psikotropika,
eksportir
atau importir sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 17 mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Menteri.
(2) Permohonan secara tertulis untuk memperoleh surat persetujuan ekspor psikotropika dilampiri
dengan
surat persetujuan impor psikotropika yang telah mendapat persetujuan dari dan/atau dikeluarkan oleh
pemerintah negara pengimpor psikotropika.
(3) Menteri menetapkan persyaratan yang wajib dicantumkan dalam permohonan tertulis untuk
memperoleh
surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor psikotropika.
Pasal 19
Bagian Kedua Menteri menyampaikan salinan surat persetujuan impor psikotropika kepada pemerintah
negara pengekspor psikotropika
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi kegiatan ekspor atau impor psikotropika diatur oleh
Menteri.
Pengangkutan
Pasal 21
(1) Setiap pengangkutan ekspor psikotropika wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor
psikotropika yang dikeluarkan oleh Menteri.
(2) Setiap pengangkutan impor psikotropika wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor
psikotropika
yang dikeluarkan oleh pemerintah negara pengekspor.
Pasal 22
(1) Eksportir psikotropika wajib memberikan surat persetujuan ekspor psikotropika dari Menteri dan

surat
persetujuan impor psikotropika dari pemerintah negara pengimpor kepada orang yang bertanggung
jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.
(2) Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor wajib memberikan surat
persetujuan ekspor psikotropika dari Menteri dan surat persetujuan impor psikotropika dari peme-rintah
negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
(3) Penanggung jawab pengangkut ekspor psikotropika wajib membawa dan bertanggung jawab atas
kelengkapan surat persetujuan ekspor psikotropika dari Menteri dan surat persetujuan impor
psikotropika dari pemerintah negara pengimpor.
(4) Penanggung jawab pengangkut impor psikotropika yang mema-suki wilayah Republik Indonesia
wajib
membawa dan bertang-gung jawab atas kelengkapan surat persetujuan impor psikotro-pika dari
Menteri
dan surat persetujuan ekspor psikotropika dari pemerintah negara pengekspor.
Bagian Ketiga
Transito
Pasal 23
(1) Setiap transito psikotropika harus dilengkapi surat persetujuan ekspor psikotropika yang terlebih
dahulu telah mendapat persetujuan dari dan/atau dikeluarkan oleh pemerintah negara pengekspor
psikotropika.
(2) Surat persetujuan ekspor psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat keterangan tentang :
a. nama dan alamat pengekspor dan pengimpor psikotropika;
b. jenis, bentuk dan jumlah psikotropika; dan
c. negara tujuan ekspor psikotropika.
Pasal 24
Setiap perubahan negara tujuan ekspor psikotropika pada transito psikotropika hanya dapat dilakukan
setelah adanya persetujuan dari:
a. pemerintah negara pengekspor psikotropika;
b. pemerintah negara pengimpor atau tujuan semula ekspor psikotro-pika; dan
c. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor psikotropika.
Pasal 25
Pengemasan kembali psikotropika di dalam gudang penyimpanan atau sarana angkutan pada transito
psikotropika, hanya dapat dilakukan terhadap kemasan asli psikotropika yang mengalami kerusakan
dan
harus dilakukan di bawah pengawasan dari pejabat yang berwenang.
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi kegiatan transito psiko-tropika ditetapkan dengan
Peraturan
Pemerintah.
Bagian Keempat
Pemeriksaan
Pasal 27
Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapan dokumen ekspor, imp or, dan/atau transito
psikotropika.
Pasal 28
(1) Importir psikotropika memeriksa psikotropika yang diimpornya, dan wajib melaporkan hasilnya

kepada
Menteri, yang dikirim selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya impor psikotropika di
perusahaaan.
(2) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menyampaikan hasil
penerimaan impor psikotropika kepada pemerintah negara pengekspor.

You might also like