You are on page 1of 71

PRESENTASI KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


Tanggal masuk RSUD

: 17 januari 2016

Jam

: 22.15 WIB

LAPORAN KASUS
I

IDENTITAS

II

Nama
Umur
Agama
Pendidikan terakhir

Ny. K
29 tahun
Islam

Pekerjaan
Status
Alamat
Nama Suami
Pendidikan Suami
Pekerjaan Suami
No CM

Ibu Rumah Tangga

Tn.

28XXXX

ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Keluhan Tambahan :
Pusing dan lemas

Riwayat Penyakit Sekarang :


Ny.M, 35 tahun, datang ke IGD PONEK RSUD Cilegon pada tanggal 31 Juli 2015 pukul
17.45 WIB setelah dirujuk dari Puskesmas Anyar dengan diagnosis G 3P1A1 Hamil 39
minggu dengan Kala II Lama + PEB. Pasien mengeluh mules-mules dan keluar air-air
sejak jam 01.00 WIB serta keluar lendir bercampur darah. Pada rujukan juga dikatakan
protein urin +4 dan sudah diberikan protap PEB di Puskesmas. Pasien juga diberikan drip
oksitosin di Puskesmas amp pada jam 12.15 WIB. Selama hamil Ny.M mengaku
memeriksakan kehamilannya ke bidan setiap bulan. Pasien juga mengatakan mengalami
mual dan muntah pada awal kandungan sampai usia kehamilan 4 bulan. Adanya demam
disangkal oleh pasien. Buang air besar dan buang air kecil dalam batas normal.
Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien menyangkal menderita penyakit jantung, hipertensi, diabetes melitus, maupun


alergi obat dan asma bronkial.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat hipertensi, penyakit jantung, gangguan ginjal, asma, maupun diabetes mellitus
pada anggota keluarga yang lain disangkal oleh pasien.
Riwayat Haid :
Pasien menarche pada usia 12 tahun, tidak teratur, tidak sakit, siklus 28 hari, lama 7-10
hari, HPHT tanggal 14 November 2014, taksiran partus tanggal 21 Agustus 2015.
Riwayat Pernikahan :
Pernikahan pertama dan telah berlangsung selama 13 tahun.
Riwayat Kontrasepsi :
Pasien mengaku menggunakan KB suntik / 3 bulan

IIIPEMERIKSAAN FISIK
STATUS TANDA VITAL
Keadaan Umum

: Lemah

Kesadaran

: Composmentis

Tek. Darah

: 150/100 mmHg

Nadi

: 80 x/menit

Pernafasan

: 20 x/menit

Suhu

: 36,5 C

TB/BB

: 140 cm / 38 kg

STATUS GENERALIS
Kepala

: Normocephal, rambut hitam, rontok(-)

Mata

: Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, mata cekung(-)

THT

: Dalam batas normal

Leher

: Tidak ada pembesaran KGB. Tiroid tidak teraba membesar

Dada

: Simetris saat statis dan dinamis, retraksi(-).

Paru

: Suara nafas dasar vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-.

Jantung

: Bunyi jantung I-II regular, murmur(-), gallop(-).

Abdomen

: Buncit simetris, supel, bising usus(+) normal

Ekstremitas

: Akral hangat, Edema tungkai -/-, Varises -/-

STATUS OBSTETRI
Pemeriksaan Luar
Inspeksi
:
Adanya warna kehitaman pada daerah wajah (cloasma gravidarum).
Turgor kulit kurang
Mata cekung (-), bibir kering (-), mukosa mulut kering (-)
Tampak abdomen buncit simetris
(Abdomen)
Plapis TFU

: 31 cm, : Letak punggung : Puka ; presentasi : kepala

TBJ

: 3.100 gram

Auskultasi

: DJJ = 180 x/menit teratur

His

: 4 x 35 detik/10menit

Pemeriksaan Dalam
Vaginal toucher (VT) : vulva vagina oedema, portio tidak teraba, pembukaan lengkap,
ketuban (-), kepala HII Caput HIII
IV PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium (31 Juli 2015)
Hemoglobin
: 10,5 g/dl
GDS
: 99 mg/dl
Leukosit
: 19.980 /l
Hematokrit
: 35 %
Trombosit
: 469.000 /l
Masa pendarahan
: 2 menit
Masa pembekuan
: 10 menit
Golongan darah
: A/ Rh (+)
HBSAg
: Negatif
Anti HIV
: Non reaktif
Pemeriksaan laboratorium (1 Agustus 2015)
Hemoglobin
: 9,7 g/dl
Leukosit
: 24.350 /l
Hematokrit
: 32,4 %
Trombosit
: 347.000 /l
SGOT/SGPT
: 84 / 47 /l
Ureum / Creatinin
: 36 / 1,0
Natrium
: 136,3 mmol/l
Kalium
: 5,06 mmol/l

Chlorida

: 98,5 mmol/l

Urinalisa (1 Agustus 2015)

Makroskopis
Warna

: kuning

Sedimen
Leukosit

: 4-8

Kekeruhan

: keruh

Eritrosit

: penuh

Berat jenis

: 1,030

Epitel

:+

PH

: 6.0

Silinder jenis : -

Albumin

:-

Kristal jenis

:-

Glukosa

:-

Bakteri

:+

Keton

:-

Jamur

:-

Bilirubin

:-

Darah samar

: +++

Nitrit

:-

Urobilinogen

:-

V DIAGNOSIS
Awal masuk RS
Pulang dari RS

: G3P1A1 hamil 39 minggu dengan Kala II Lama, PEB, KPD 17 jam.


: P2A1 Post Histerorafi + SC a/i Ruptur Uteri, Fetal Distress,

Kala II
Lama, KPD.
VI RENCANA PENATALAKSANAAN
1 Observasi tanda vital & DJJ
2 O2 3 lpm
3 IVFD RL 20 tpm
4 Nifedipine 10 mg
5 Injeksi ceftriaxone 2 x 1 amp/IV
6 Miring kiri
7 Observasi VK
VII

PROGNOSIS
Ibu

: Quo ad vitam

: dubia ad malam

Quo ad functionam : dubia ad malam


Quo ad sanationam : dubia ad malam
Janin

: dubia ad malam

VIII

FOLLOW UP
31 Juli 2015

S/ : Ibu kesakitan

Jam 21.30 WIB

O/ : KU : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Composmentis

TD : 150/100 mmHg

R : 22 x/menit

S :37,5 C

N : 90 x/menit

DJJ: 180 x/menit O2 3 lpm HIS: 4-5 x 1045-50


VT: lengkap, ket (-), kepala pada Hodge 2
DC: Urin (-)
A/ : G3P1A1 hamil aterm kala II dengan fetal distress + post drip
oksitosin amp di PKM
P/ : - Observasi DJJ, TFU, dan TTV
- Miring kiri
- O2 3 lpm

Jam 21.45 WIB

Co. Dr. Zainuri, SpOG : SC Cyto oleh dr. Indiarto, SpOG

Menghubungi dr. Indiarto, SpOG : ACC

Jam 22.10 WIB


Jam 23.00 WIB
1 Agustus 2015

--- TINDAKAN OPERASI / SC CYTO ---

Jam 00.00
--- OPERASI SELESAI ---

Jam 00.45

S/ : Os dijemput dari ruang OK. Ibu mengatakan telah dilakukan


tindakan operasi dan perut ibu membuncit.
O/ : KU : Baik

Kesadaran : Composmentis

TD : 140/100 mmHg

R : 26 x/menit

S : 36,5 C

N : 104 x/menit

PPV (+)

DC (+)

Hb: 9,7

Leukosit: 24.350

Trombosit : 347.000

GDS: 172

Ht: 32,4%

Abdomen: Distensi (+), nyeri tekan (+)


A/ : P2A1 Post SC + Post Histerorafi a/i Fetal Distress, Kala II
Lama, PEB, KPD 17 jam, Ruptur Uteri H0
P/ : Th/ dr. Indiarto, SpOG:
- Ceftriaxone 2 x 1 gr
- Metronidazole 3 x 500 mg
- Ketorolac 3 x 1 amp
Th/ dr. Zulkarnain lapor dr. Indiarto via WA:
2 Agustus 2015
Jam 06.00 WIB

Inj. Gentamycin 2 x 80 mg
Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
Sucralfate Syr 3 x 1 c
Pasang NGT terbuka
TTV / 2 jam

S/ Os mengeluh demam, sesak mulai berkurang, nyeri luka operasi


masih dirasakan.
O/ KU : Sedang

Kesadaran : Composmentis

TD : 150/90 mmHg

R : 28 x/menit

S : 39,3C

N : 108 x/menit

IVFD (+)

DC (+)

PPV (+)

NGT (+)

O2 (+)

Hb post op : 9,7

HBsAg/HIV : NR

Albumin urin (-)

Epitel (+)
A/ P2A1 Post SC + Histerorafi a/i H. Aterm, Fetal Distress, Kala II
Lama, KPD, Ruptur Uteri, Anemia H1
P/ - O2 3 lpm
- NGT terbuka
- Bilas lambung dengan NS 250 cc / 8 jam s/d retensi lambung
bening.
- Protap PEB observasi urin output, tunda dahulu
- Ceftriaxone 2x1 gr
- Metronidazole 3x500 mg
- Ketorolac 3x1 amp
- Ranitidine 2x1 amp
- Gentamycin 2x80 mg

- Sucralfate Syr 3x1C / NGT s/d retensi lambung bening


- Puasa
- Aminofusin 500 cc / hari
- Monitor balance cairan
- Observasi KU dan TTV
- Nifedipine 3x10 mg
- PCT drip 3x500 mg jika S > 38oC / 4 jam
- Alinamin 3x1 amp
- Ro Thorax : px (-)
- Novalgin amp / IV (bolus)
amp drip RL 28 tpm

3 Agustus 2015
Jam 08.00 WIB

S / Os mengatakan luka op sudah tidak begitu dirasakan nyeri dan


perut kembung sudah berkurang dan demam semalam tidak
dirasakan.
O/ KU : Baik

Kesadaran : Composmentis

TD : 130/70 mmHg

R : 20 x/menit

S : 36,9C

N : 88 x/menit

IVFD (+)

DC (+)

PPV (+)

NGT (+)

O2 (-)

Hb : 8,8

Leukosit : 25.070

OT/PT : 84/47

UR/CR : 36/1,0

Epitel (+)

HBsAg/HIV : NR

Albumin urin (-)

EKG (+)

Ro AP/PA (+)

A/ P2A1 Post SC + Histerorafi a/i H. Aterm, Fetal Distress, Kala II


Lama, KPD, Ruptur Uteri, Anemia H2
P/ - Memenuhi kebutuhan cairan dan nutrisi
- Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
- AFF DC & NGT
- Diet TKTP

- Hemafort 1x1 tab


- Cefixime 2x200 mg
- Mobilisasi
4 Agustus 2015
Jam 05.00 WIB
S / Os mengatakan sudah dapat berjalan, nyeri perut sudah berkurang, sudah tidak sesak, BAB normal.
O/ KU : Baik

Kesadaran : Composmentis

TD : 130/90 mmHg

R : 28 x/menit

S : 37,0C

N : 116 x/menit

IVFD (+)

DC (+)

PPV (-)
Ma/Mi (+)

NGT (-)
mob (+)

O2 (-)

Hb : 8,8

Leukosit : 25.070

OT/PT : 84/47

UR/CR : 36/1,0

Epitel (+)

HBsAg/HIV : NR

Albumin urin (-)

EKG (+)

Ro AP/PA Cardiomegali dd/posisi


Edema paru

A/ P2A1 Post SC + Histerorafi a/i H. Aterm, Fetal Distress, Kala II


Lama, KPD, Ruptur Uteri, Anemia H3
P/ - IVFD RL asnet
- Injeksi Furosemid 2x1 amp / IV
- Pasang DC dan NRM
- EKG (+)
5 Agustus 2015
Jam 08.00 WIB
S / Os mengatakan perut sudah tidak kembung dan sudah tidak
sesak.
O/ KU : Baik
TD : 130/90 mmHg

Kesadaran : Composmentis
R : 32 x/menit

S : 36,6C

N : 103 x/menit

IVFD (+)

DC (+)

PPV (+) min

NGT (-)

Ma/Mi (+)

mob (+)

O2 (-)

Hb : 8,8 g/dl

Leukosit : 25.070

OT/PT : 84/47

UR/CR : 36/1,0

Epitel (+)

HBsAg/HIV : NR

Albumin urin (-)

EKG (+)

Ro AP/PA Cardiomegali dd/posisi


Edema paru

A/ P2A1 Post SC + Histeror afi a/i H. Aterm, Fetal Distress, Kala II


Lama, KPD, Ruptur Uteri, Anemia, CHF H4
P/ th/ SpOG : - Furosemide 1 x 1 amp / IV
- Hemafort 1 x 1
- Cefixime 2 x 200 mg
- Asam Mefenamat 3 x 500 mg
th/ SpJP : - Furosemide 1 x 1 amp / IV
- Captopril 3 x 6,25 mg
- Spironolakton 1 x 25 mg
- Mengobservasi K/U dan Sesak
- Menjaga kebersihan diri dan lingkungan

6 Agustus 2015
Jam 05.30 WIB
S / Os mengatakan sudah tidak sesak dan sudah merasa kondisinya
lebih baik.
O/ KU : Baik

Kesadaran : Composmentis

TD : 120/80 mmHg

R : 20 x/menit

S : 37,4C

N : 120 x/menit

IVFD (+)

DC (+)

PPV (+)

NGT (-)

Ma/Mi (+)

mob (+)

O2 (-)

Hb : 8,8 g/dl

Leukosit : 25.070

OT/PT : 84/47

UR/CR : 36/1,0

Epitel (+)

HBsAg/HIV : NR

Albumin urin (-)

EKG (+)

Ro AP/PA Cardiomegali dd/posisi


Edema paru

A/ P2A1 Post SC + Histerorafi a/i H. Aterm, Fetal Distress, Kala II


Lama, KPD, Ruptur Uteri, Anemia, CHF H5
P/ th/ SpOG : - Amoxicilin 3 x 500 mg
- Asam Mefenamat 3 x 1 tab
th/ SpJP : - Furosemide 1 x 20 mg p.o.
- Captopril 3 x 6,25 mg
- Spironolakton 1 x 25 mg

Jam 08.00 WIB

- Mengobservasi K/U dan sesak


- Menganjurkan untuk bed rest
- Menjaga kebersihan diri dan lingkungan

- dr. Indiarto, SpOG :


- Pasien diperbolehkan pulang
- Terapi pulang :
th/ SpOG : - Amoxicilin 3 x 1
- Asam Mefenamat 3 x 1
- Hemafort 1 x 1
th/ SpJP : - Furosemide 1 x 20 mg
- Captopril 3 x 500 mg
- Spironolakton 1 x 25 mg

Laporan Pembedahan
Teknik : Sectio Cessaria + Histerorafi
1
2
3
4

Pasien terlentang dengan anestesi spinal.


Dilakukan tindakan aseptik dengan alkohol kemudian betadine pada daerah operasi.
Daerah operasi dipersempit dengan duk steril.
Dilakukan incisi kulit secara pfanenstiel sepanjang 10 cm, perdalam secara tajam

dan tumpul sampai kavum peritoneum terbuka.


Incisi diperdalam secara tumpul lapis demi lapis hingga mencapai peritoneum dan

6
7
8
9

tampak uterus.
Perdarahan intraabdomen 20 ml.
Plica vesica uterina disayat melintang.
Incisi diperlebar secara melintang ke lateral secara tumpul dengan menggunakan jari.
Selaput ketuban dipecahkan, lahir bayi dan didapatkan kepala pada pukul 23.15 WIB

10
11
12
13

dengan jenis kelamin perempuan, BB 2.700, Apgar Score 5/6


Plasenta dikeluarkan secara manual.
Eksteriorisasi uterus, ruptur SBR posterior 4-5 cm.
Dilakukan Histerorafi. Kontrol perdarahan.
Uterus dijahit jelujur, terkunci. Dilakukan kontrol perdarahan, lalu plica vesica uterina

14
15
16
17

dijahit.
Kavum abdomen dibersihkan dari darah dan bekuan.
Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
Luka ditutup dengan kassa.
Operasi selesai.

DISKUSI
I

IDENTIFIKASI
Ny.M, 35 tahun, datang ke IGD PONEK RSUD Cilegon pada tanggal 31 Juli
2015 pukul 17.45 WIB setelah dirujuk dari Puskesmas Anyar dengan diagnosis
G3P1A1 Hamil 39 minggu dengan Kala II Lama, PEB, KPD 17 jam. Pasien mengeluh
mules-mules dan keluar air-air sejak jam 01.00 WIB serta keluar lendir bercampur
darah. Pada rujukan juga dikatakan protein urin +4 dan sudah diberikan protap PEB di
Puskesmas. Pasien juga diberikan drip oksitosin di Puskesmas amp pada jam 12.15
WIB. Selama hamil Ny.M mengaku memeriksakan kehamilannya ke bidan setiap
bulan. Pasien juga mengatakan mengalami mual dan muntah pada awal kandungan
sampai usia kehamilan 4 bulan. Adanya demam disangkal oleh pasien. Buang air

II

besar dan buang air kecil dalam batas normal.


PERMASALAHAN
a Apakah diagnosis pada kasus ini sudah tepat?
b Apakah yang menjadi kemungkinan etiologi gawat janin (fetal distress) pada
c

kasus ini?
Apakah penatalaksanaan gawat janin (fetal distress) pada kasus ini sudah

d
e
f
g
h
i

tepat?
Apakah yang menjadi kemungkinan etiologi ruptura uteri pada kasus ini?
Apakah penatalaksanaan ruptura uteri pada kasus ini sudah tepat?
Apa saja faktor penyebab terjadinya ketuban pecah dini?
Apa komplikasi yang perlu diperhatikan dari ketuban pecah dini?
Apa saja faktor penyebab terjadinya Kala II Lama?
Apa komplikasi yang perlu diperhatikan dari Kala II Lama?

III
ANALISA KASUS
1 Apakah diagnosis pada kasus ini sudah tepat? Tidak tepat.
- Pasien ini dirujuk dari Puskesmas Anyar dengan diagnosis awal G3P1A1 Hamil 39
minggu dengan Kala II Lama, PEB, KPD 17 jam. Berdasarkan surat rujukan dikatakan
bahwa pemeriksaan Urin Lengkap didapatkan Protein Urin = +4. Namun pasien ini
dilakukan pemeriksaan Urin Lengkap ulang di RSUD Cilegon dan hasil menunjukan
Protein Urin (-) Sehingga diagnosis PEB tidak tepat dan dihapus.
-

Dari anamnesis didapatkan:

Ibu hamil ke-3 dengan HPHT 4 November 2014


Pasien mengatakan anak pertama perempuan berumur 8 tahun, sehat, lahir setelah

mengandung 9 bulan dengan berat lahir 3.000 gram secara normal di bidan.
Pasien mengatakan kehamilan kedua keguguran.
Pasien mengatakan keluar air-air disertai lendir bercampur darah 17 jam SMRS
Pasien mengaku memeriksakan kehamilannya ke bidan setiap bulan
Pasien juga mengatakan mengalami mual dan muntah pada awal kandungan

sampai usia kehamilan 4 bulan


Pasien mengaku memiliki tinggi badan 140 cm dan berat badan 38 kg
Berdasarkan anamnesis diagnosis yang disimpulkan :
1
2
-

Ibu G3P1A1 hamil 39 minggu


Ketuban pecah dini 17 jam

Ketuban pecah dini yang lebih dari 12 jam disebut prolonged PROM (Prolonged
Premature Rupture Of Membrane).
Dari pemeriksaan fisik di dapatkan:
TFU

: 31 cm

Letak punggung

: Puka

Presentasi

: Kepala

TBJ

: 3.100 gram

Auskultasi

: DJJ 180x/menit teratur

His

: 35x/10/4x/ menit

VT

: vulva vagina oedema, portio tidak teraba, pembukaan

lengkap,
ketuban (-), Kepala HII Caput HIII
TD

: 150/100mmHg

Berdasarkan pemeriksaan fisik diagnosis yang disimpulkan:


1
2
3

Ibu inpartu kala II


Fetal Distress
Hipertensi dalam kehamilan

Pada pasien ini, dari pemeriksaan denyut jantung janin yang dicatat secara kontinyu,
didapatkan denyut jantung janin pada 31 Juli 2015 pukul 21.30 WIB meningkat hingga

180 x/menit. Berdasarkan pemeriksaan tersebut dapat disimpulkan terjadi fetal


distress. Sehingga diagnosis fetal distress sudah tepat.
-

Indikasi-indikasi kemungkinan gawat janin adalah:


1 Bradikardi : denyut jantung janin kurang dari 120 kali permenit.
2 Takikardi : akselerasi denyut jantung janin yang memanjang (> 160) dapat
dihubungkan dengan demam pada ibu sekunder terhadap infeksi intrauterin.
Prematuritas dan atropin juga dihubungkan dengan denyut jantung dasar yang
3

meningkat.
Variabilitas: denyut jantung dasar yang menurun, yang berarti depresi sistem saraf
otonom janin oleh mediksi ibu (atropin, skopolamin, diazepam, fenobarbital,

magnesium dan analgesik narkotik).


Pola deselerasi: Deselerasi lanjut menunjukan hipoksia janin yang disebabkan oleh
insufisiensi uteroplasental. Deselerasi yang bervariasi tidak berhubungan dengan
kontraksi uterus adalah lebih sering dan muncul untuk menunjukan kompresi
sementara waktu saja dari pembuluh darah umbilikus. Peringatan tentang
peningkatan hipoksia janin adalah deselerasi lanjut, penurunan atau tiadanya
variabilitas, bradikardia yang menetap dan pola gelombang sinus.

Pada pemeriksaan fisik pasien ini juga didapatkan tekanan darah yang tinggi ( 140/90
mmHg), sehingga diagnosis yang dapat disimpulkan adalah Hipertensi Dalam
Kehamilan (HDK) karena tidak didapatkan proteinuria. Namun diagnosis ini tidak
dicantumkan pada pasien ini.

Kala II Lama (Prolonged Second Stage) diartikan sebagai memanjangnya waktu kala II
dimana pada primigravida berlangsung lebih dari 2 jam dan pada multipara
berlangsung lebih dari 1 jam.

Dari partograf, dapat dilihat bahwa pasien ini sudah memasuki Kala II (pembukaan
lengkap) sejak pukul 14.20 WIB dan tidak ada kemajuan persalinan hingga pukul
21.30 WIB dan kemudian dilakukan Sectio Cessaria. Dapat disimpulkan bahwa pasien
ini mengalami pemanjangan Kala II / Kala II Lama yang berlangsung > 1 jam
(multipara) yaitu 7 jam 10 menit pada pasien ini. Diagnosis Kala II Lama sudah
tepat.
-

Dapat disimpulkan juga terjadi keterlambatan perujukan pasien dimana seharusnya


pukul 15.20 WIB pasien sudah dapat dirujuk, namun pada akhirnya baru dirujuk pukul
17.20 WIB.

Diagnosis Ruptura Uteri ditegakkan berdasarkan laporan operasi dokter SpOG :


o Eksteriorisasi Uterus, didapatkan ruptur SBR posterior 4-5 cm.
o Dilakukan histerorafi.

Apakah yang menjadi kemungkinan etiologi gawat janin (fetal distress) pada kasus ini?
- Pada pasien ini kemungkinan terbesar terjadinya fetal distress disebabkan oleh
terjadinya partus lama atau pada kasus ini adalah Kala II Lama. Dimana tidak
terjadinya kemajuan persalinan atau tidak ada kelanjutan penurunan kepala dari janin,
-

yang berujung pada gangguan oksigenasi janin dan mengakibatkan gawat janin.
Ketuban pecah dini juga dapat menjadi salah satu factor predisposisi terjadinya gawat
janin karena dapat menyebabkan infeksi pada janin bahkan sampai sepsis. Ditambah
data pendukung dari pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan kadar leukosit yang
meningkat yaitu 19.980 /l.

Apakah penatalaksanaan gawat janin (fetal distress) pada kasus ini sudah tepat? Tepat.
1 Prinsip-prinsip umum
a Bebaskan setiap kompresi tali pusat.
b Perbaiki aliran darah uteroplasental.

Menilai apakah persalinan dapat berlangsung normal atau terminasi kehamilan


merupakan indikasi. Rencana kelahiran didasarkan pada faktor-faktor etiologi,
kondisi janin, riwayat obstetri pasien, dan jalannya persalinan.

Langkah-langkah khusus :
a Posisi ibu diubah dari posisi terlentang menjadi miring, sebagai usaha untuk
memperbaiki aliran darah balik, curah jantung, dan aliran darah uteroplasental.
b

Perubahan dalam posisi juga dapat membebaskan kompresi tali pusat.


Oksigen diberikan 6 liter/menit, sebagai usaha meningkatkan penggantian oksigen

fetomaternal.
Oksitosin dihentikan karena kontraksi uterus akan mengganggu sirkulasi darah

keruang intervilli.
Hipotensi dikoreksi dengan infus IV D5% dalam RL. Transfusi darah dapat

diindikasikan pada syok hemorragik.


Pemeriksaan pervaginan menyingkirkan prolaps tali pusat dan menentukan
perjalana persalinan. Elevasi kepala janin secara lembut dapat merupakan suatu

prosedur yang bermanfaat.


Pengisapan mekoneum dari jalan nafas bayi baru lahir mengurangi resiko aspirasi
mekoneum. Segera setelah kepala bayi lahir, hidung dan mulut dibersikan dari
mekoneum dengan kateter penghisap. Segera setelah kelahiran, pita suara harus
dilihat dengan laringoskopi langsung sebagai usaha untuk menyingkirkan
mekoneum dengan pipa endotrakeal.
Pada pasien ini sudah dilakukan beberapa tatalaksana / penanganan yang
sesuai diantaranya:
o Pemberian O2 sebagai usaha untuk meningkatkan penggantian oksigen
fetomaternal. Namun masih kurang tepat karena pasien ini diberikan O2 3
liter/menit sedangkan sebaiknya diberikan 6 liter/menit.
o Instruksi untuk mengubah posisi ibu dari terlentang menjadi miring, sebagai
usaha untuk memperbaiki aliran darah balik, curah jantung, aliran darah
uteroplasental. Posisi miring juga dapat membebaskan janin dari kompresi
tali pusat.

o Terminasi persalinan yaitu dilakukannya sectio cessaria karena tidak


didapatkan perbaikan pada keadaan ibu dan janin.
4

Apakah kemungkinan penyebab terjadinya ruptur uteri pada pasien ini?


- Kita ketahui bahwa ruptur uteri yang terjadi pada pasien ini adalah robekan pada
Segmen Bawah Rahim (SBR) sebesar 4-5 cm, dimana ruptur SBR ini biasanya
terjadi pada partus yang sulit dan lama tidak maju. SBR tambah lama tambah regang
dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri. Disebabkan oleh kontraksi uterus yang
terus menerus atau adanya induksi persalinan pada partus lama / partus tidak maju.

Apakah penatalaksanaan ruptura uteri pada kasus ini sudah tepat?


- Tepat. Perlu kita ketahui sebelumnya bahwa penanganan ruptur uteri ada dua, yaitu:
1 Histerektomi
Histerektomi adalah operasi pengangkatan kandungan (rahim dan
uterus) pada seorang wanita, sehingga setelah menjalani operasi ini dia
tidak bisa lagi hamil dan mempunyai anak. Histerektomi dapat dilakukan
melalui irisan pada bagian perut atau melalui vagina. Pilihan ini tergantung
pada

jenishisterektomi

yangakandilakukan, jenis penyakit yang mendasari, dan

berbagai

pertimbangan lainnya. Ada beberapa jenis histerektomi yang perlu kita


ketahui. Berikut ini adalah penjelasannya :
1 Histerektomi parsial (subtotal)
Pada histerektomi jenis ini, Rahim diangkat, tetapi mulut rahim (serviks)
tetap dibiarkan. Oleh karena itu, penderita masih dapat terkena kanker
mulut rahim sehingga masih perlu pemeriksaan pap smear (pemeriksaan
2

leher rahim) secara rutin.


Histerektomi total
Pada histerektomi ini,

rahim

dan

mulut

rahim

diangkat

secara keseluruhannya.
3 Histerektomi dan salfingo-ooforektomi bilateral
Histerektomi ini mengangkat uterus, mulut rahim, kedua tuba fallopii,
dan kedua ovarium.
4 Histerektomi radikal

Histerektomi ini mengangkat bagian atas vagina, jaringan, dan kelenjar


limfe disekitar kandungan. Operasi ini biasanya dilakukan pada
beberapa jenis kanker tertentu untuk bisa menyelamatkan nyawa
penderita.
2

Histerorafi
Histerorafi adalah tindakan operatif dengan mengeksidir luka dan
dijahit dengan sebaik-baiknya. Jarang sekali bisa dilakukan histerorafia
kecuali bila luka robekan masih bersih dan rapi serta pasiennya belum punya
anak hidup.

Pada pasien ini dilakukan histerorafi, karena pertimbangan keadaan uterus yang masih
baik dan robekan yang tidak terlalu besar, rapih, dan bersih.
6

Apa saja faktor penyebab terjadinya ketuban pecah dini?


Sampai saat ini penyebab KPD belum diketahui secara pasti, tetapi ditemukan
beberapa faktor predisposisi yang berperan pada terjadinya ketuban pecah dini, antara
lain:
1

Infeksi
Adanya infeksi pada selaput ketuban (korioamnionitis lokal) sudah cukup untuk
melemahkan selaput ketuban di tempat tersebut. Bila terdapat bakteri patogen di
dalam vagina maka frekuensi amnionitis, endometritis, infeksi neonatal akan
meningkat 10 kali. Ketuban pecah dini sebelum kehamilan preterm sering diakibatkan
oleh adanya infeksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bakteri yang terikat
pada membran melepaskan substrat seperti protease yang menyebabkan melemahnya
membran. Penelitian terakhir menyebutkan bahwa matriks metalloproteinase

merupakan enzim spesifik yang terlibat dalam pecahnya ketuban oleh karena infeksi.
Defisiensi vitamin C

Vitamin C diperlukan untuk pembentukan dan pemeliharaan jaringan kolagen. Selaput


ketuban (yang dibentuk oleh jaringan kolagen) akan mempunyai elastisitas yang
3

berbeda tergantung kadar vitamin C dalam darah ibu.


Faktor selaput ketuban
Pecahnya ketuban dapat terjadi akibat peregangan uterus yang berlebihan atau terjadi
peningkatan tekanan yang mendadak di dalam kavum amnion, di samping juga ada
kelainan selaput ketuban itu sendiri. Hal ini terjadi seperti pada sindroma EhlersDanlos, dimana terjadi gangguan pada jaringan ikat oleh karena defek pada sintesa
dan struktur kolagen dengan gejala berupa hiperelastisitas pada kulit dan sendi,
termasuk pada selaput ketuban yang komponen utamanya adalah kolagen. Dimana 72
% penderita dengan sindroma Ehlers-Danlos ini akan mengalami persalinan preterm

setelah sebelumnya mengalami ketuban pecah dini preterm.


Faktor umur dan paritas
Semakin tinggi paritas ibu akan makin mudah terjadi infeksi cairan amnion akibat

rusaknya struktur serviks akibat persalinan sebelumnya.


Faktor tingkat sosio-ekonomi
Sosio-ekonomi yang rendah, status gizi yang kurang akan meningkatkan insiden
KPD, lebih-lebih disertai dengan jumlah persalinan yang banyak, serta jarak kelahiran

yang dekat.
Faktor-faktor lain
Inkompetensi serviks atau serviks yang terbuka akan menyebabkan pecahnya selaput
ketuban lebih awal karena mendapat tekanan yang langsung dari kavum uteri.
Beberapa prosedur pemeriksaan, seperti amniosintesis dapat meningkatkan risiko
terjadinya ketuban pecah dini. Pada perokok, secara tidak langsung dapat
menyebabkan ketuban pecah dini terutama pada kehamilan prematur. Kelainan letak
dan kesempitan panggul lebih sering disertai dengan KPD, namun mekanismenya
belum diketahui dengan pasti. Faktor-faktor lain, seperti : hidramnion, gamelli, koitus,
perdarahan antepartum, bakteriuria, pH vagina di atas 4,5, stres psikologis, serta flora
vagina abnormal akan mempermudah terjadinya ketuban pecah dini.

Berdasarkan sumber yang berbeda, penyebab ketuban pecah dini mempunyai


dimensi multifaktorial yang dapat dijabarkan sebagai berikut :

Serviks inkompeten.

Ketegangan rahim yang berlebihan : kehamilan ganda, hidramnion.

Kelainan letak janin dalam rahim : letak sungsang, letak lintang.

Kemungkinan kesempitan panggul : perut gantung, bagian terendah belum masuk


pintu atas panggul, disproporsi sefalopelvik.

Kelainan bawaan dari selaput ketuban.

Infeksi yang menyebabkan terjadi proses biomekanik pada selaput ketuban dalam
bentuk proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah.

Apa komplikasi yang perlu diperhatikan dari ketuban pecah dini?


KPD dapat menyebabkan beberapa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin,
diantaranya:

Infeksi

Fetal distress

Hyaline membrane disease

Hipoplasi pulmoner

Abruptio placenta

Cacat pada janin

Apa saja faktor penyebab terjadinya Kala II Lama?

Secara umum penyebab kala II lama dapat dibagi ke dalam beberapa faktor yaitu
faktor tenaga (power), faktor panggul (passage), faktor anak (passenger), faktor psikis

dan faktor penolong.


Pada pasien ini ada kemungkinan disebabkan factor tenaga dari ibu, yang pada kasus

ini ibu dalam keadaan lemah, atau dapat juga factor anak dan factor panggul.
Factor anak diantaranya apabila adanya malpresentasi, malposisi, dan kelainan letak.
Namun pada pasien ini tidak ada kelainan letak karena didapatkan pada pemeriksaan
Vaginal Toucher dan USG bahwa bagian terbawah janin adalah kepala yang sudah
masuk pada HII. Dan tidak ada data penunjang lainnya untuk menegakkan diagnosis

malpresentasi ataupun malposisi.


Ada dugaan yang mengarah ke faktor panggul yaitu adanya cephalopelvic
disproportion (CPD) yang juga berpengaruh pada pasien ini. Dugaan ini muncul
karena adanya data pemeriksaan fisik tinggi badan pasien yakni 140 cm. Namun
diagnosis CPD ini tidak dapat dipastikan dan memang tidak tertera.

Apa komplikasi yang perlu diperhatikan dari Kala II Lama?


- Komplikasi pada persalinan dengan kala II lama dapat terjadi pada ibu maupun pada
bayi. Diantaranya :
o Infeksi sampai sepsis.
o Dehidrasi
o Syok
o Kegagalan fungsi organ-organ
o Robekan jalan lahir
o Ruptur uteri
o Penipisan abnormal segmen bawah uterus
o Inkontinesia urine
o Gawat janin dalam rahim sampai meninggal.
o Asfiksia berat
o Cacat otak menetap
o Trauma persalinan (eksoriasi kulit, sefalhematom, perdarahan subgaleal,
ikterus neonatorum berat, nekrosis kepala)
-

TINJAUAN PUSTAKA

GAWAT JANIN (FETAL DISTRESS)


I Definisi
Fetal distress adalah adanya suatu kelainan pada fetus akibat gangguan
oksigenasi dan atau nutrisi yang bisa bersifat akut (prolaps tali pusat), sub akut
(kontraksi uterus yang terlalu kuat), atau kronik (plasenta insufisiensi).
II Etiologi
Penyebab dari fetal distress diantaranya :
a

Ibu : hipotensi atau syok yang disebabkan oleh apapun, penyakit kardiovaskuler,

b
c
d
e

anemia, penyakit pernafasan, malnutrisi, asidosis dan dehidrasi.


Uterus : kontraksi uterus yang telalu kuat atau terlalu lama, degenerasi vaskuler.
Plasenta : degenerasi vaskuler, hipoplasi plasenta.
Tali pusat : kompresi tali pusat.
Fetus : infeksi, malformasi dan lain-lain.

III Klasifikasi
a Gawat janin sebelum persalinan
Gawat janin sebelum persalinan biasanya merupakan gawat janin yang
bersifat kronik berkaitan dengan fungsi plasenta yang menurun atau bayi sendiri
yang sakit.
i Data subyektif dan obyektif
Gerakan janin menurun. Pasien mengalami kegagalan dalam
pertambahan berat badan dan uterus tidak bertambah besar. Uterus yang lebih
kecil daripada umur kehamilan yang diperkirakan memberi kesan retardasi
pertumbuhan intrauterin atau oligohidramnion. Riwayat dari satu atau lebih
faktor-faktor resiko tinggi, masalah-masalah obstetri, persalinan prematur
atau lahir mati dapat memberikan kesan suatu peningkatan resiko gawat
janin.
ii Faktor predisposisi
Faktor-faktor resiko tinggi meliputi penyakit hipertensi, diabetes
mellitus, penyakit jantung, postmaturitas, malnutrisi ibu, anemia, dan lainlain.
iii Data diagnostik tambahan
Pemantauan denyut jantung janin menyingkirkan gawat janin
sepanjang (a) denyut jantung dalam batas normal (b) akselerasi sesuai dengan
gerakan janin (c) tidak ada deselerasi lanjut dengan adanya kontraksi uterus.
Ultrasonografi : Pengukuran diameter biparietal secara seri dapat
mengungkapkan bukti dini dari retardasi pertumbuhan intrauterin. Gerakan
pernafasan janin, aktifitas janin dan volume cairan ketuban memberikan
penilaian tambahan kesekatan janin. Oligihidramnion memberi kesan anomali
janin atau retardasi pertumbuhan.
Kadar estriol dalam darah atau urin ibu memberikan suatu pengukuran fungsi
janin dan plasenta, karena pembwentukan estriol memerluakn aktifitas dari
enzim-enzim dalam hati dan kelenjar adrenal janin seperti dalam plasenta.

HPL (Human Placental Lactogen) dalam darah ibu : kadar 4 mcg/ml atau
kurang setelah kehamilan 3 minggu member kesan fungsi plasenta yang
abnormal.
Amniosintesis : adanya mekonium di dalam cairan amnion masih
menimbulkan kontroversi. Banyak yang percaya bahwa mekonium dalam
cairan amnion menunjukkan stress patologis atau fisiologis, sementara yang
lain percaya bahwa fasase mekonium intrauterin hanya menunjukkan
stimulasi vagal temporer tanpa bahaya yang mengancam. Penetapan rasio
lesitin sfingomielin (rasio L/S) memberikan suatu perkiraan maturitas janin.
iv Penatalaksanaan
Keputusan harus didasarkan pada evaluasi kesehatan janin inutero dan
maturitas janin. Bila pasien khawatir mengenai gerakan janin yang menurun
pemantauan denyut jantung janin atau dimiringkan atau oksitosin challenge
test sering memberika ketenangan akan kesehatan janin. Jika janin imatur dan
keadaan insufisiensi plasenta kurang tegas, dinasehatkan untuk mengadakan
observasi tambahan. Sekali janin matur, kejadian insufisiensi plasenta
biasanya berarti bahwa kelahiran dianjurkan. Persalinan dapat diinduksi jika
servik dan presentasi janin menguntungkan. Selama induksi denyut jantung
janin harus dipantau secara teliti. Dilakukan sectio secaria jika terjadi gawat
janin, sectio sesaria juga dipilih untuk kelahiran presentasi bokong atau jika
pasien pernah mengalami operasi uterus sebelumnya.
b Gawat janin selama persalinan
Gawat janin selama persalinan menunjukkan hipoksia janin. Tanpa
oksigen yang adekuat, denyut jantung janin kehilangan variabilitas dasarnya dan
menunjukkan deselerasi lanjut pada kontraksi uterus. Bila hipoksia menetap,
glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat dengan pH janin yang menurun.
i Data subyektif dan obyektif

Gerakan janin yang menurun atau berlebihan menandakan gawat janin. Tetapi
biasanya tidak ada gejala-gejala subyektif. Seringkali indikator gawat janin
yang pertama adalah perubahan dalam pola denyut jantung janin (bradikardia,
takikardia, tidak adanya variabilitas, atau deselerasi lanjut).
Hipotensi pada ibu, suhu tubuh yang meningkat atau kontraksi uterus yang
hipertonik atau ketiganya secara keseluruhan dapat menyebabkan asfiksia
janin.

ii

Faktor-faktor etiologi
Insufisiensi uteroplasental akut

aktivitas uterus berlebihan.

hipotensi ibu.

solutio plasenta.

plasenta previa dengan pendarahan.

Insufisiensi uteroplasental kronik

penyakit hipertensi.

diabetes mellitus.

isoimunisasi Rh.

postmaturitas atau dismaturitas

3
4

Kompresi tali pusat


Anestesi blok paraservikal
iii Data diagnostik tambahan
Pemantauan denyut jantung janin : pencatatan denyut jantung janin
yang segera dan kontinu dalam hubungan dengan kontraksi uterus memberika
suatu penilaian kesehatan janin yang sangat membantu dalam persalinan.

Indikasi-indikasi kemungkinan gawat janin adalah:


1
2

Bradikardi : denyut jantung janin kurang dari 120 kali permenit.


Takikardi : akselerasi denyut jantung janin yang memanjang (> 160) dapat
dihubungkan dengan demam pada ibu sekunder terhadap infeksi intrauterin.
Prematuritas dan atropin juga dihubungkan dengan denyut jantung dasar yang

meningkat.
Variabilitas: denyut jantung dasar yang menurun, yang berarti depresi sistem saraf
otonom janin oleh mediksi ibu (atropin, skopolamin, diazepam, fenobarbital,

magnesium dan analgesik narkotik).


Pola deselerasi: Deselerasi lanjut menunjukan hipoksia janin yang disebabkan oleh
insufisiensi uteroplasental. Deselerasi yang bervariasi tidak berhubungan dengan
kontraksi uterus adalah lebih sering dan muncul untuk menunjukan kompresi
sementara waktu saja dari pembuluh darah umbilikus. Peringatan tentang
peningkatan hipoksia janin adalah deselerasi lanjut, penurunan atau tiadanya
variabilitas, bradikardia yang menetap dan pola gelombang sinus.
Contoh darah janin memberikan informasi objektif tentang status asam
basa janin. Pemantauan janin secara elektronik dapat menjadi begitu sensitif
terhadapt perubahan-perubahan dalam denyut jantung janin dimana gawat
janin dapat diduga bahkan bila janin dalam keadaan sehat dan hanya menber
reaksi terhadap stess dari kontraksi uterus selama persalianan. Contoh darah

janin diindikasikan bila mana pola denyut jantung janin abnormal atau kacau
memerlukan penjelasan.
Mekonium dalam cairan ketuban : arti dari mekoneum dalam cairan
ketuban adalah tidak pasti dan kontroversial sementara beberapa ahli
berpendapat bahwa pasase mekoneum intrauterun adalah suatu tanda gawat
janin dan kemungkinan kegawatan, yang lainya merasakan bahwa adanya
mekoneum tanpa kejadian asfiksia janin lainnya tidak menunjukan bahaya
janin. Tetapi, kombinasi asfiksia janin dan mekoneum timbul untuk
mempertinggi potensi asfirasi mekoneum dan hasil neonatus yang buruk.

iv Penatalaksanaan
Prinsip-prinsip umum
a Bebaskan setiap kompresi tali pusat.
b Perbaiki aliran darah uteroplasental.
c Menilai apakah persalinan dapat berlangsung normal atau terminasi
kehamilan merupakan indikasi. Rencana kelahiran didasarkan pada
faktor-faktor etiologi, kondisi janin, riwayat obstetri pasien, dan
jalannya persalinan.

Langkah-langkah khusus :
a Posisi ibu diubah dari posisi terlentang menjadi miring, sebagai usaha
untuk memperbaiki aliran darah balik, curah jantung, dan aliran darah
uteroplasental. Perubahan dalam posisi juga dapat membebaskan
b

kompresi tali pusat.


Oksigen diberikan 6 liter/menit, sebagai usaha meningkatkan

penggantian oksigen fetomaternal.


Oksitosin dihentikan karena kontraksi uterus akan mengganggu

sirkulasi darah keruang intervilli.


Hipotensi dikoreksi dengan infus IV D5% dalam RL. Transfusi darah
dapat diindikasikan pada syok hemorragik.

Pemeriksaan pervaginan menyingkirkan prolaps tali pusat dan


menentukan perjalana persalinan. Elevasi kepala janin secara lembut
dapat merupakan suatu prosedur yang bermanfaat.
Pengisapan mekoneum dari jalan nafas bayi baru lahir mengurangi

resiko aspirasi mekoneum. Segera setelah kepala bayi lahir, hidung dan
mulut dibersikan dari mekoneum dengan kateter penghisap. Segera setelah
kelahiran, pita suara harus dilihat dengan laringoskopi langsung sebagai
usaha untuk menyingkirkan mekoneum dengan pipa endotrakeal.

RUPTURA UTERI
I Definisi
Ruptur uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau dalam
persalinan dengan atau tanpa robeknya peritoneum visceral. Yang dimaksud dengan
ruptur uteri komplit adalah keadaan robekan pada rahim dimana telah terjadi hubungan
langsung antara rongga amnion dan rongga peritoneum. Peritoneum viserale dan kantong
ketuban keduanya ikut ruptur dengan demikian sebagian janin atau seluruh tubuhnya
telah keluar oleh kontraksi terakhir rahim dan berada dalam kavum peritonei atau rongga
abdomen. Pada ruptur uteri inkomplit hubungan kedua rongga tersebut masih dibatasi
oleh peritoneum viserale. Pada keadaan yang demikian janin belum masuk ke dalam
rongga peritoneum. Apabila pada ruptur uteri peritoneum pada permukaan uterus ikut
robek, hal tersebut dinamakan ruptur uteri komplit. Pada dehisens (regangan) dari parut
bekas bedah sesar ketuban juga belum robek, tetapi jika kantong ketuban ikut robek maka
disebut telah terjadi ruptur uteri pada parut. Dehisens bisa berubah jadi ruptur pada waktu
partus atau akibat manipulasi pada rahim yang berparut, biasanya bekas bedah sesar yang

lalu.

Dehisens

terjadi

perlahan,

sedangkan ruptur uteri terjadi

secara

dramatis.

Padadehisens perdarahan minimal atau tidak berdarah, sedangkan pada ruptur uteri
perdarahannya banyak yang berasal dari pinggir parut atau robekan baru yang meluas.

II Epidemiologi
Terjadinya ruptur uteri pada seorang ibu hamil atau sedang bersalin masih
merupakan suatu bahaya besar yang mengancam jiwanya dan janinnya. Kematian ibu dan
anak akibat ruptur uteri masih tinggi. Sebuah kajian deskriptif tentang profil kematian
janin dalam rahim di RS Hasan Sadikin, Bandung periode 2000-2002 mendapatkan 168
kasus kematian janin dalam rahim dari 2974 persalinan. Penyebab kematian janin dalam
rahim paling tinggi oleh karena faktor ibu yaitu ibu dengan penyulit kehamilan
ruptur uteri dan penyulit medis diabetes melitus. Lebih lanjut, dilakukan pula evaluasi
kasus ruptur uteri di RS Hasan Sadikin dan 3 rumah sakit jejaringnya pada periode 19992003. Hasilnya, insiden kasus ruptur uteri di RS Hasan Sadikin 0,09% (1 : 1074). Insiden
di rumah sakit jejaring sedikit lebih tinggi yaitu 0,1% (1:996). Di RSHS, tidak didapatkan
kematian ibu, sedangkan di 3 rumah sakit jejaring didapatkan sebesar 0,4%. Sebaliknya,
kematian perinatal di RSHS mencapai 90% sedangkan di rumah sakit jejaring 100%.
Maka dari itu dapat disimpulkan, kasus ruptur uteri memberi dampak yang negatif baik
pada kematian ibu maupun bayi.

III Klasifikasi
a Menurut Sebabnya
i Kerusakan atau anomali uterus yang telah ada sebelum hamil
1 Pembedahan pada miometrium : seksio sesarea atau histerektomi,
histerorafia,

miomektomi

yang

sampai

menembus seluruh ketebalan otot uterus, reseksi pada koruna


2

uterus atau bagian interstisial, metroplasti.


Trauma uterus koinsidensial : instrumentasi sendok kuret atau
sonde pada penanganann abortus, trauma tumpul atau tajam seperti
pisau atau peluru, ruptur tanpa gejala pada kehamilan sebelumnya

(silent rupture in previous pregnancy).


Kelainan bawaan : kehamilan dalam bagian rahim yang tidak
berkembang.

ii Kerusakan atau anomali uterus yang terjadi selama kehamilan


1 Sebelum kelahiran anak : his spontan yang kuat dan terus menerus,
pemakaian

oksitosin

atau

prostaglandin

untuk merangsang

persalinan, trauma luar tumpul atau tajam, pembesaran rahim yang


2

berlebihan misalnya hidramnion atau kehamilan ganda.


Dalam periode intrapartum : ekstraksi cunam yang sukar, ekstraksi
bokong, anomali janin yang menyebabkan distensi berlebihan pada
segmen bawah rahim, tekanan kuat pada uterus dalam persalinan,

kesulitan dalam melakukan manual plasenta.


Cacat rahim yang didapat : plasenta inkreta atau perkreta, neoplasia
trofoblas, gestasional, adenomiosis, retroversiouterus gravidus
inkarserata.

b Menurut Lokasinya
i Korpus uteri, ini biasanya

terjadi pada rahim yang sudah

pernahmengalami operasi seperti seksio sesarea klasik, miomektomi.


ii Segmen bawah rahim ( SBR ), ini biasanya terjadi pada partus yang
sulit dan lama tidak maju. SBR tambah lama tambah regang dan tipis
dan akhirnya terjadilah ruptur uteri yang sebenarnya.

iii Serviks uteri, ini biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi

forseps namun pembukaan belum lengkap.


iv Kolpoporeksis, robekan-robekan di antara serviks dan vagina.
Menurut Etiologinya
i Ruptur uteri spontanea
Dapat terjadi akibat dinding rahim yang lemah seperti pada bekas
operasi sesar, bekas miomektomi, bekas perforasi tindakan kuret atau
bekas tindakan plasenta manual. Ruptur uteri spontan dapat pula terjadi
akibat peregangan luar biasa dari Rahim seperti pada ibu dengan
panggul sempit, janin yang besar, kelainan kongenital dari janin,
kelainan letak janin, multipara dengan perut gantung (pendulum) serta
pimpinan persalinan yang salah.
ii Ruptur uteri violent
Dapat terjadi akibat tindakan-tindakan seperti misalnya Ekstraksi
forceps, versi dan ekstraksi, embriotomi, braxtonhicks version, manual
plasenta, kuretase ataupun trauma tumpul dan tajam dari luar.

IV Etiologi
Ruptur uteri bisa disebabkan oleh anomali atau kerusakan yang telah ada
sebelumnya, karena trauma, atau sebagai komplikasi persalinan pada rahim yang
masih utuh. Paling sering terjadi pada rahim yang telah diseksio sesarea
padapersalinan sebelumnya. Lebih lagi jika pada uterus yang demikian dilakukan
partus percobaan atau persalinan dirangsang dengan oksitosin atau sejenisnya.

Pasien yang berisiko tinggi antara lain :


a

Persalinan yang mengalami distosia, grande multipara, penggunaan oksitosin atau


prostaglandin untuk mempercepat persalinan.

b Pasien hamil yang pernah melahirkan sebelumnya melalui bedah seksio sesarea
atau operasi lain pada rahimnya.
c Riwayat histerorafi.
d Pelaksanaan trial of labor terutama pada pasien riwayat seksio sesarea
sebelumnya.

Oleh sebab itu, untuk pasien dengan panggul sempit atau bekas seksio sesarea
klasik berlaku adagium Once Sesarean Section always Sesarean Section. Pada keadaan
tertentu seperti ini dapat dipilih elective cesarean section (ulangan) untuk mencegah
ruptur uteri dengan syarat janin sudah aterm.

Gambar 1. Insisi klasik dan low transverse pada bedah sesar

V Patofisiologi
Saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi, dinding korpus
uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume korpus uteri menjadi
lebih kecil. Akibatnya tubuh janin yang menempati korpus uteri terdorong ke dalam
segmen bawah rahim. Segmen bawah rahim menjadi lebih lebar dan karenanya
dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik keatas oleh kontraksi segmen atas
rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran retraksi yang membatasi
kedua segmen semakin bertambah tinggi. Apabila bagian terbawah janin tidak dapat
turun oleh karena suatu sebab (misalnya : panggul sempit atau kepala besar) maka
volume korpus yang bertambah mengecil pada waktu ada his harus diimbangi
perluasan segmen bawah rahim ke atas. Dengan demikian lingkaran retraksi
fisiologis semakin meninggi kearah pusat melewati batas fisiologis menjadi patologis
yang disebut lingkaran bandl (ring vanbandl).
Ini terjadi karena, rahim tertarik terus menerus kearah proksimal tetapi
tertahan dibagian distalnya oleh serviks yang dipegang ditempatnya oleh ligamentumligamentum pada sisi belakang (ligamentum sakrouterina), pada sisi kanan dan
kiri( ligamentum cardinal) dan pada sisi dasar kandung kemih (ligamentum
vesikouterina). Jika his berlangsung terus menerus kuat, tetapi bagian terbawah janin
tidak kunjung turun lebih ke bawah, maka lingkaran retraksi semakin lama semakin
tinggi dan segmen bawah rahim semakin tertarik ke atas dan dindingnya menjadi
sangat tipis. Ini menandakan telah terjadi ruptur uteri iminens dan rahim terancam
robek. Pada saat dinding segmen bawah rahim robek spontan dan his berikutnya
datang,terjadilah perdarahan yang banyak (ruptur uteri spontanea).
Ruptur uteri pada bekas seksio sesarea lebih sering terjadi terutama pada parut
bekas seksio sesarea klasik dibandingkan pada parut bekas seksio sesarea profunda.
Hal ini disebabkan oleh karena luka pada segmen bawah uterus yang tenang pada saat

nifas memiliki kemampuan sembuh lebih cepat sehingga parut lebih kuat. Ruptur uteri
pada bekas seksio klasik juga lebih sering terjadi pada kehamilan tua sebelum
persalinan dimulai sedangkan pada bekas seksio profunda lebih sering terjadi saat
persalinan. Ruptur uteri biasanya terjadi lambat laun pada jaringan-jaringan di sekitar
luka yang menipis kemudian terpisah sama sekali. Disini biasanya peritoneum tidak
ikut serta, sehingga terjadiruptur uteri inkompleta. Pada peristiwa ini perdarahan
banyak berkumpul di ligamentum latum dan sebagian lainnya keluar.

VI Diagnosis
Ruptur uteri iminens mudah dikenal pada ring van Bandl yang semakin tinggi,
segmen bawah rahim yang tipis, dan keadaan ibu yang gelisah, cemas, atau
takut karena nyeri abdomen atau his kuat yang berkelanjutan disertai tanda-tanda
gawat janin. Gambaran klinik ruptur uteri adalah khas sekali. Oleh sebab itu, pada
umumnya tidak sukar menetapkan diagnosisnya atas dasar tanda-tanda klinik yang
telah diuraikan. Untuk menetapkan apakah ruptur uteri itu komplit perlu dilanjutkan
dengan periksa dalam.

Gambar 2. Ring van Bandl

Pada ruptur uteri komplit jari-jari tangan pemeriksa dapat menemukan


beberapa hal berikut :

Jari jari tangan dalam bisa meraba permukaan rahim dan dinding perut
yang licin.
Dapat meraba pinggir robekan, biasanya terdapat pada bagian depan di
segmen bawah rahim.
Dapat memegang usus halus atau omentum melalui robekan.
Dinding perut ibu dapat ditekan menonjol ke atas oleh ujung-ujung jari-jari
tangan dalam sehingga ujung jari-jari tangan luar saling mudah meraba
ujung jari-jari tangan dalam

Diagnosis ruptur uteri harus segera ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik sebagai berikut :
1

Riwayat Penyakit Sekarang


Nyeri Abdomen : dapat tiba-tiba, tajam dan seperti disayat pisau. Apabila
terjadi ruptur sewaktu persalinan, konstruksi uterus yang intermitten, kuat
dapat berhenti dengan tiba-tiba. Pasien mengeluh nyeri uterus yang menetap.
Perdarahan Pervaginam : dapat simptomatik karena perdarahan aktif dari
pembuluh darah yang robek.
Berhentinya persalinan dan tanda-tanda syok

Nyeri bahu dapat berkaitan dengan perdarahan intraperitoneum.


2

Riwayat Penyakit Dahulu


Ruptur uteri harus selalu diantisipasi bila pasien memberikan suatu riwayat
paritas tinggi, pembedahan uterus sebelumnya, seksio sessaria atau
miomektomi.

Pemeriksaan Umum
Takikardi dan hipotensi merupakan indikasi dari kehilangan darah akut.
Biasanya perdarahan eksterna dan perdarahan intra abdomen.

Pemeriksaan Abdomen
Sewaktu persalinan, kontur uterus yang abnormal atau perubahan kontur
uterus yang tiba-tiba dapat menunjukkan adanya ekstrusi janin.
Kontraksi uterus dapat berhenti dengan mendadak dan bunyi jantung janin
tiba-tiba menghilang.
Sewaktu atau segera melahirkan, abdomen sering teraba sangat lunak disertai
dengan nyeri lepas mengindikasikan adanya perdarahan intraperitoneum.

Pemeriksaan Pelvis
Menjelang kelahiran, bagian presentasi mengalami regresi dan tidak lagi
terpalpasi melalui vagina bila janin telah mengalami ekstrusi kedalam
rongga peritoneum.
Perdarahan pervaginam mungkin hebat.
Ruptur uteri setelah melahirkan dikenali melalui eksplorasi manual
segmen uterus bagian bawah dan kavum uteri. Segmen uterus bagian
bawah merupakan lokasi yang paling sering untuk terjadinya ruptur.

VII Komplikasi
Syok hipovolemik karena perdarahan yang hebat dan sepsis akibat infeksi
adalah

dua

komplikasi

yang

fatal

pada peristiwa ruptur

uteri.

Syok

hipovolemik terjadi bila pasien tidak segera mendapat infus cairan kristaloid yang
banyak untuk selanjutnya dalam waktu yang cepat digantikan dengan transfusi darah
segar. Darah segar mempunyai kelebihan selain menggantikan darah yang hilang juga
mengandung semua unsur atau faktor pembekuan dan karena itu lebih bermanfaat
demi

mencegah

dan

mengatasi

koagulopati

dilusional

akibat

pemberian

cairankristaloid yang umumnya banyak diperlukan untuk mengatasi atau mencegah

gangguan keseimbangan elektrolit antar-kompartemen cairan dalam tubuh dalam


menghadapi syok hipovolemik.
Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptur uteri telah
terjadi sebelum tiba di rumah sakit dan telah mengalami berbagai manipulasi termasuk
periksa dalam yang berulang. Jika dalam

keadaan yang demikian pasien tidak segera

memperoleh terapi antibiotika yang sesuai, hampir pasti pasien akan menderita
peritonitis yang luas dan menjadi sepsis pasca bedah. Sayangnya hasil pemeriksaan
kultur dan resistensi bakteriologik dari sampel darah pasien barudiperoleh beberapa
hari kemudian. Antibiotika spektrum luas dalam dosis tinggibiasanya diberikan untuk
mengantisipasi kejadian sepsis. Syok hipovolemik dansepsis merupakan sebab-sebab
utama yang meninggikan angka kematian maternal dalam obstetrik. Meskipun pasien
bisa diselamatkan, morbiditas dan kecacatan tetap tinggi. Histerektomi merupakan cacat
permanen, yang pada kasus yang belum punya anak hidup meninggalkan sisa trauma
psikologis yang berat dan mendalam. Kematian maternal dan/atau perinatal yang
menimpa

sebuah

keluarga

merupakan

komplikasi

sosial

yang

sulit untuk

mengatasinya.
VIII Penatalaksanaan
Dalam menghadapi masalah ruptur uteri semboyan prevention is better than
cure sangat perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh setiap pengelola persalinan
dimana pun persalinan itu berlangsung. Pasien risiko tinggi haruslah dirujuk agar
persalinannya berlangsung di rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang cukup dan
berpengalaman. Bila telah terjadi ruptur uteri tindakan terpilih hanyalah histerektomi
dan resusitasi serta antibiotika yang sesuai. Diperlukan infus cairan kristaloid dan
transfusi darah yang banyak, tindakan antisyok, serta pemberian antibiotika spektrum
luas, dan sebagainya.Tindakan-tindakan pada ruptur uteri dapat diuraikain sebagai
berikut:
3 Histerektomi

Histerektomi adalah operasi pengangkatan kandungan (rahim dan


uterus) pada seorang wanita, sehingga setelah menjalani operasi ini dia
tidak bisa lagi hamil dan mempunyai anak. Histerektomi dapat dilakukan
melalui irisan pada bagian perut atau melalui vagina. Pilihan ini tergantung
pada

jenishisterektomi

yangakandilakukan, jenis penyakit yang mendasari, dan

berbagai

pertimbangan lainnya. Ada beberapa jenis histerektomi yang perlu kita


ketahui. Berikut ini adalah penjelasannya :
1

Histerektomi parsial (subtotal)


Pada histerektomi jenis ini, Rahim diangkat, tetapi mulut rahim (serviks)
tetap dibiarkan. Oleh karena itu, penderita masih dapat terkena kanker
mulut rahim sehingga masih perlu pemeriksaan pap smear (pemeriksaan

leher rahim) secara rutin.


Histerektomi total
Pada histerektomi ini,

rahim

dan

mulut

rahim

diangkat

secara keseluruhannya.
3 Histerektomi dan salfingo-ooforektomi bilateral
Histerektomi ini mengangkat uterus, mulut rahim, kedua tuba fallopii,
dan kedua ovarium.
4 Histerektomi radikal
Histerektomi ini mengangkat bagian atas vagina, jaringan, dan kelenjar
limfe disekitar kandungan. Operasi ini biasanya dilakukan pada
beberapa jenis kanker tertentu untuk bias menyelamatkan nyawa
penderita.

Gambar 3. Histerektomi
4

Histerorafi
Histerorafi adalah tindakan operatif dengan mengeksidir luka dan
dijahit dengan sebaik-baiknya. Jarang sekali bisa dilakukan histerorafia
kecuali bila luka robekan masih bersih dan rapi serta pasiennya belum punya
anak hidup.

IX Prognosis
Prognosis bergantung pada apakah ruptur uteri pada uterus yang masih utuh
atau pada bekas seksio sesarea atau suatu dehisens. Bila terjadi pada bekas seksio
sesarea atau pada dehisens perdarahan yang terjadi minimal sehingga tidak sampai
menimbulkan kematian maternal dan kematian perinatal. Faktor lain yang
mempengaruhi adalah kecepatan pasien menerima tindakan bantuan yang tepat dan
cekatan. Ruptur uteri spontan dalam persalinan pada rahim yang tadinya masih utuh
mengakibatkan robekan yang luas dengan pinggir luka yang tidak rata dan bias
meluas ke lateral dan mengenai cabang-cabang arteri uterina atau ke dalam
ligamentum latum atau meluas ke atas atau ke vagina disertai perdarahan yang banyak
dengan mortalitas maternal yang tinggi dan kematian yang jauh lebih tinggi.

KETUBAN PECAH DINI


1

Definisi
Ketuban pecah dini atau spontaneus/early/premature rupture of membrans
(PROM) merupakan pecahnya selaput ketuban secara spontan pada saat belum
menunjukkan tanda-tanda persalinan / inpartu (keadaan inpartu didefinisikan sebagai
kontraksi uterus teratur dan menimbulkan nyeri yang menyebabkan terjadinya efficement
atau dilatasi serviks) atau bila satu jam kemudian tidak timbul tanda-tanda awal
persalinan atau secara klinis bila ditemukan pembukaan kurang dari 3 cm pada
primigravida dan kurang dari 5 cm pada multigravida. Pecahnya selaput ketuban dapat
terjadi kapan saja baik pada kehamilan aterm maupun preterm. Saat aterm sering disebut
dengan aterm prematur rupture of membrans atau ketuban pecah dini aterm. Bila terjadi
sebelum umur kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini preterm / preterm
prematur rupture of membran (PPROM) dan bila terjadi lebih dari 12 jam maka disebut
prolonged PROM.

Etiologi
Secara teori pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya elastisitas yang
terjadi pada daerah tepi robekan selaput ketuban dengan perubahan yang besar. Hilangnya
elastisitas selaput ketuban ini sangat erat kaitannya dengan jaringan kolagen, yang dapat
terjadi karena penipisan oleh infeksi atau rendahnya kadar kolagen. Kolagen pada selaput
terdapat pada amnion di daerah lapisan kompakta, fibroblas serta pada korion di daerah
lapisan retikuler atau trofoblas, dimana sebagaian besar jaringan kolagen terdapat pada
lapisan penunjang (dari epitel amnion sampai dengan epitel basal korion). Sintesis
maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan inhibisi intrleukin1 dan prostaglandin. Adanya infeksi dan inflamasi menyebabkan bakteri penyebab infeksi

mengeluarkan enzim protease dan mediator inflamasi interleukin-1 dan prostaglandin.


Mediator ini menghasilkan kolagenase jaringan sehingga terjadi depolimerisasi kolagen
pada selaput korion/amnion menyebabkan selaput ketuban tipis, lemah dan mudah pecah
spontan. Selain itu mediator terebut membuat uterus berkontraksi sehingga membran
mudah ruptur akibat tarikan saat uterus berkontraksi.
Sampai saat ini penyebab KPD belum diketahui secara pasti, tetapi ditemukan
beberapa faktor predisposisi yang berperan pada terjadinya ketuban pecah dini, antara
lain:
1

Infeksi
Adanya infeksi pada selaput ketuban (korioamnionitis lokal) sudah cukup untuk
melemahkan selaput ketuban di tempat tersebut. Bila terdapat bakteri patogen di
dalam vagina maka frekuensi amnionitis, endometritis, infeksi neonatal akan
meningkat 10 kali. Ketuban pecah dini sebelum kehamilan preterm sering diakibatkan
oleh adanya infeksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bakteri yang terikat
pada membran melepaskan substrat seperti protease yang menyebabkan melemahnya
membran. Penelitian terakhir menyebutkan bahwa matriks metalloproteinase
merupakan enzim spesifik yang terlibat dalam pecahnya ketuban oleh karena infeksi.

Defisiensi vitamin C
Vitamin C diperlukan untuk pembentukan dan pemeliharaan jaringan kolagen. Selaput
ketuban (yang dibentuk oleh jaringan kolagen) akan mempunyai elastisitas yang
berbeda tergantung kadar vitamin C dalam darah ibu.

Faktor selaput ketuban


Pecahnya ketuban dapat terjadi akibat peregangan uterus yang berlebihan atau terjadi
peningkatan tekanan yang mendadak di dalam kavum amnion, di samping juga ada
kelainan selaput ketuban itu sendiri. Hal ini terjadi seperti pada sindroma EhlersDanlos, dimana terjadi gangguan pada jaringan ikat oleh karena defek pada sintesa

dan struktur kolagen dengan gejala berupa hiperelastisitas pada kulit dan sendi,
termasuk pada selaput ketuban yang komponen utamanya adalah kolagen. Dimana 72
% penderita dengan sindroma Ehlers-Danlos ini akan mengalami persalinan preterm
setelah sebelumnya mengalami ketuban pecah dini preterm.
9

Faktor umur dan paritas


Semakin tinggi paritas ibu akan makin mudah terjadi infeksi cairan amnion akibat
rusaknya struktur serviks akibat persalinan sebelumnya.

10 Faktor tingkat sosio-ekonomi


Sosio-ekonomi yang rendah, status gizi yang kurang akan meningkatkan insiden
KPD, lebih-lebih disertai dengan jumlah persalinan yang banyak, serta jarak kelahiran
yang dekat.
11 Faktor-faktor lain
Inkompetensi serviks atau serviks yang terbuka akan menyebabkan pecahnya selaput
ketuban lebih awal karena mendapat tekanan yang langsung dari kavum uteri.
Beberapa prosedur pemeriksaan, seperti amniosintesis dapat meningkatkan risiko
terjadinya ketuban pecah dini. Pada perokok, secara tidak langsung dapat
menyebabkan ketuban pecah dini terutama pada kehamilan prematur. Kelainan letak
dan kesempitan panggul lebih sering disertai dengan KPD, namun mekanismenya
belum diketahui dengan pasti. Faktor-faktor lain, seperti : hidramnion, gamelli, koitus,
perdarahan antepartum, bakteriuria, pH vagina di atas 4,5, stres psikologis, serta flora
vagina abnormal akan mempermudah terjadinya ketuban pecah dini.
Berdasarkan sumber yang berbeda, penyebab ketuban pecah dini mempunyai dimensi
multifaktorial yang dapat dijabarkan sebagai berikut :

Serviks inkompeten.

Ketegangan rahim yang berlebihan : kehamilan ganda, hidramnion.

Kelainan letak janin dalam rahim : letak sungsang, letak lintang.

Kemungkinan kesempitan panggul : perut gantung, bagian terendah belum masuk


pintu atas panggul, disproporsi sefalopelvik.

Kelainan bawaan dari selaput ketuban.

Infeksi yang menyebabkan terjadi proses biomekanik pada selaput ketuban dalam
bentuk proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah.

Diagnosis
Menegakkan diagnosis KPD secara tepat sangat penting, karena diagnosis yang

positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkan bayi terlalu awal atau
melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya diagnosis yang negatif
palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai resiko infeksi yang akan
mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu, diperlukan diagnosis yang
cepat dan tepat. Diagnosis KPD ditegakkan dengan cara :
a

Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Anamnesa pasien dengan KPD merasa basah pada vagina atau mengeluarkan
cairan yang banyak berwarna putih jernih, keruh, hijau, atau kecoklatan sedikit-sedikit
atau sekaligus banyak, secara tiba-tiba dari jalan lahir.Keluhan tersebut dapat disertai
dengan demam jika sudah ada infeksi.Pasien tidak sedang dalam masa persalinan, tidak
ada nyeri maupun kontraksi uterus.Riwayat umur kehamilan pasien lebih dari 20
minggu.
Pada pemeriksaan fisik abdomen, didapatkan uterus lunak dan tidak adanya
nyeri tekan.Tinggi fundus harus diukur dan dibandingkan dengan tinggi yang
diharapkan menurut hari pertama haid terakhir.Palpasi abdomen memberikan perkiraan

ukuran janin dan presentasi.


Pemeriksaan dengan speculum

Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD untuk mengambil sampel cairan


ketuban di forniks posterior dan mengambil sampel cairan untuk kultur dan
pemeriksaan bakteriologis.
Tiga tanda penting yang berkaitan dengan ketuban pecah dini adalah :
i Pooling
: Kumpulan cairan amnion pada fornix posterior.
ii Nitrazine Test
: Kertas nitrazin merah akan jadi biru.
iii Ferning
: Cairan dari fornix posterior di tempatkan pada objek glass dan
didiamkan dan cairan amnion tersebut akan memberikan gambaran seperti daun pakis.
Pemeriksaan spekulum pertama kali dilakukan untuk memeriksa adanya cairan
amnion dalam vagina.Perhatikan apakah memang air ketuban keluar dari ostium uteri
eksternum apakah ada bagian selaput ketuban yang sudah pecah.Gunakan kertas lakmus.Bila
menjadi biru (basa) adalah air ketuban, bila merah adalah urin.Karena cairan alkali amnion
mengubah pH asam normal vagina.Kertas nitrazine menjadi biru bila terdapat cairan alkali
amnion. Bila diagnosa tidak pasti, adanya lanugo atau bentuk kristal daun pakis cairan
amnion kering (ferning) dapat membantu. Bila kehamilan belum cukup bulan penentuan rasio
lesitin-sfingomielin dan fosfatidilgliserol membantu dalam evaluasi kematangan paru janin.
Bila kecurigaan infeksi, apusan diambil dari kanalis servikalis untuk pemeriksaan kultur
serviks terhadap Streptokokus beta group B, Clamidia trachomatis dan Neisseria gonorea.
c

Pemeriksaan dalam
Pemeriksaan dalam dilakukan untuk menentukan penipisan dan dilatasi
serviks.Pemeriksaan vagina juga mengindentifikasikan bagian presentasi janin dan
menyingkirkan kemungkinan prolaps tali pusat. Periksa dalam harus dihindari kecuali
jika pasien jelas berada dalam masa persalinan atau telah ada keputusan untuk
melahirkan.

Pemeriksaan penunjang

Dengan tes lakmus, cairan amnion akan mengubah kertas lakmus merah menjadi biru.
Pemeriksaan leukosit darah, bila meningkat > 15.000 /mm3 kemungkinan ada infeksi.
USG untuk menentukan indeks cairan amnion, usia kehamilan, letak janin, letak
plasenta, gradasi plasenta serta jumlah air ketuban.
Kardiotokografi untuk menentukan ada tidaknya kegawatan janin secara dini atau
memantau kesejahteraan janin. Jika ada infeksi intrauterin atau peningkatan suhu, denyut
jantung janin akan meningkat.
Amniosintesis digunakan untuk mengetahui rasio lesitin - sfingomielin dan
fosfatidilsterol yang berguna untuk mengevaluasi kematangan paru janin..

Penatalaksanaan
Manajemen pada pasien dengan ketuban pecah dini tergantung dari keadaan pasien.

Pasien yang sedang dalam persalinan

Tidak ada usaha yang dapat dilakukan untuk menghentikan proses persalinan dan
memperlama kehamilan jika sudah ada his yang teratur dan pada pemeriksaan dalam
didapatkan pendataran servix 100 % dan dilatasi servix lebih dari 4 cm. Penggunaan
tokolitik tidak efektif dan akan mengakibatkan oedem pulmo.

Pasien dengan paru-paru janin yang matur

Maturitas

paru

janin

dapat

diketahui

dari

rasio

lesitin-spingomielin,

phosphatidylglycerol dan rasio albumin-surfaktan. Maturitas paru janin diperlukan


untuk amniosintesis pada evaluasi awal pasien dengan ketuban pecah dini.
c

Pasien dengan cacat janin


Terapi konservatif dengan risiko infeksi pada ibu tidak perlu dilakukan bila janin
mempunyai kalainan yang membahayakan. Namun pada janin dengan kelainan yang
tidak membahayakan harus diperlakukan sebagai janin normal, namun input yang
tepat merupakan terapi yang sangat penting.

Pasien dengan fetal distress


Kompresi tali pusat dan prolps tali pusat merupakan komplikasi tersering ketuban
pecah dini, terutama padapresentasi bokong yang tidak maju (engaged), letak lintang
dan oligohidramnion berat. Jika DJJ menunjukkan pola deselerasi sedang atau berat
maka pasien harus cepat diterminasi. Jika janin dalam presentasi belakang kepala,
maka dapat dilakukan amnioinfusion, induksi dan dapat dilakukan persalinan
pervaginam. Namun bila janin tidak dalam presentasi kepala maka terapi yang dapat
dilakukan adalh section cesaria.

Pasien dengan infeksi


Pasien dengan chorioamnionitis harus dilakukan induksi bila tidak ada kontraindikasi
untuk dilakukan persalinan pervaginam dan bila belum dalam persalinan. Bila ada
kontraindikasi untuk persalinan pervaginam, maka dilakukan section cesaria setelah
pemberian antibiotic yang dimaksudkan untuk menurunkan komplikasi pada ibu dan
janin. Beberapa penelitian menyebutkan section cesaria sebaiknya dilakukan bila

persalinan pervaginam tidak dapat terjadi setelah 12 jam diagnosis chorioamnionitis


ditegakkan.
Menurut Mansjoer, 2002 terapi ketuban pecah dini adalah:
a

Ketubaan pecah dini pada kehamilan aterm atau preterm dengan atau tanpa
komplikasi harus dirujuk ke rumah sakit

Bila janin hidup dan terdapat prolaps tali pusat, pasien dirujuk dengan posisi panggul
lebih tinggi dari badannya. Kalau perlu kepala janin didorong ke atas dengan 2 jari
agar tali pusat tidak tertekan kepala janin

Bila ada demam atau dikhawatirkan terjadi infeksi atau ketuban pecah lebih dari 6
jam, berikan antibiotik

Pada kehamilan kurang dari 32 minggu dilakukan tindakan konservatif yaitu tirah
baring dan berikan sedative, antibiotic selama 5 hari, glukokortikosteroid dan
tokolisis, namun bila terjadi infeksi maka akhiri kehamilan

Pada kehamilan 33-35 minggu, lakukan terapi konservatif selama 24 jam lalu induksi
persalinan. Bila terjadi infeksi maka akhiri kehamilan

Pada kehamilan lebih dari 36 minggu, bila ada his, pimpin persalinan dan lakukan
akselerasi bila ada inersia uteri. Bila tidak ada his, lakukan induksi persalinan bila
ketuban pecah kurang dari 6 jam dan bishop score kuran dari 5 atau ketuban pecah
lebih dari 6 jam dan bishop score lebih dari 5, section cesaria bila ketuban pecah
kurang dari 5 jam dan bishop score kurang dari 5.

Konservatif

Rawat di rumah sakit.

Berikan antibiotik (ampisilin 4 x 500 mg atau eritromisin bila tidak tahan dengan

ampisilin dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari).

Jika umur kehamilan < 32 34 minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar atau

sampai air ketuban tidak keluar lagi.

Jika umur kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa

negatif : beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi dan kesejahteraan janin. Terminasi
pada kehamilan 37 minggu.

Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah in partu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik

(salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24 jam.

Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi.

Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin).

Pada usia kehamilan 32-34 minggu, berikan steroid untuk memacu kematangan paru

janin dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Dosis
betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason i.m 5 mg setiap 6 jam
sebanyak 4 kali.
Aktif

Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal pikirkan seksio sesarea.

Dapat pula diberikan misoprostol 50g intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali.

Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika dosis tinggi dan persalinan diakhiri

jika :
a.

Bila skor pelvik < 5, lakukanlah pematangan serviks, kemudian induksi. Jika tidak

berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea.

b.

Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam.

Komplikasi

KPD dapat menyebabkan beberapa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin,
diantaranya:
g

Infeksi

Infeksi korioamniotik sering terjadi pada pasien dengan KPD. Diagnosis


korioamnionitis dapat dilihat dari gejala klinisnya antara lain demam (37,8 0C), dan
sedikitnya dua gejala berikut yaitu takikardi baik pada ibu maupun pada janin, uterus
yang melembek, air ketuban yang berbau busuk, maupun leukositosis.
h

Hyaline membrane disease

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa hyaline memnrane disease sebagian besar


disebabkan oleh ketuban pecah dini (KPD). Terdapat hubungan antara umur
kehamilan dengan hyaline membrane disease dan chorioamnionitis yang terjadi pada
pasien dengan KPD. Pada usia kehamilan kurang dari 32 minggu, angka risiko
hyaline mebran disease lebih banyak dibandingkan risiko infeksi.
i

Hipoplasi pulmoner
Hal ini terjadi bila ketuban pecah sebelum usia kehamilan 26 minggu dan fase laten
terjadi lebih dari 5 minggu yang diketahui dari adanya distress respirasi yang berat
yang terjadi segera setelah lahir dan membutuhkan bantuan ventilator.

Abruptio placenta

Hal ini tergantung dari progresifitas penurunan fungsi plasenta yang mengakibatkan
pelepasan plasenta. Gejala klinik yang terjadi adalah perdarahan pervaginam.
k

Fetal distress

Hal ini dapat diketahui dari adanya deselerasi yang menggambarkan kompresi tali
pusat yang disebabkan oleh oligohidramnion. Sehingga untuk mengatasinya maka
dilakukan sectio cesaria, yang mengakibatkan tingginya angka section cesaria pada
pasien dengan KPD.
l

Cacat pada janin

Kelainan kongenital

KALA II LAMA
Persalinan lama, yang disebut juga dengan istilah distosia secara umum dimaksudkan
untuk persalinan yang abnormal atau sulit. Sementara itu, WHO secara lebih spesifik
mendefinisikan persalinan lama (prolonged labor / partus lama) sebagai proses persalinan
yang berlangsung lebih dari 24 jam. Waktu pemanjangan proses persalinan yang dimaksud
adalah penambahan kala I dan/atau kala II

persalinan. Dalam penentuan batas waktu,

terdapat variasi terdapat sebuah sumber yang menyatakan bahwa batasan waktu
dalam penentuan partus lama adalah 18 jam.
Nullipara

Multipara

Prolonged latent phase

> 20 jam

>14 jam

Protracted dilation

< 1.2 cm/ jam

< 1.5 cm/ jam

Protracted descent

< 1 cm/ jam

< 2 cm/ jam

Arrest of dilation

>2 jam

>2 jam

Arrest of descent

>2 jam

>1 jam

Prolonged second stage

>2 jam

>1 jam

Prolonged third stage

>30 menit

>30 menit

Tabel 2.1. Perpanjangan fase-fase persalinan


Kala II lama (Prolonged Second Stage) diartikan sebagai memanjangnya waktu kala
II dimana pada primigravida berlangsung lebih dari 2 jam dan pada multipara berlangsung
lebih dari 1 jam. Menurut AGOG (American Congress of Obstetricians and
Gynecologists), kala II lama didefinisikan sebagai tidak adanya kemajuan pada kala II
dengan batasan waktu dilakukan pimpinan persalinan sebagai berikut: persalinan dengan
anestesi epidural pada nullipara yang berlangsung lebih 3 jam dan multipara berlangsung
lebih 2 jam, sedangkan untuk persalinan tanpa anestesi epidural nullipara berlangsung lebih 2
jam dan multipara berlangsung 1 jam.
II.2 Insidensi
Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SKDI) tahun 2002-2003
melaporkan bahwa dari seluruh persalinan, 64% ibu tidak mengalami komplikasi selama
persalinan, persalinan lama sebesar 31%, perdarahan berlebihan sebesar 7%, infeksi sebesar
5%. Pada ibu yang melahirkan melalui bedah sesarea, 59% terjadi akibat persalinan yang
mengalami komplikasi, dimana sebagian besar merupakan persalinan lama yang mencapai
42 persen (perpanjangan kala I dan/atau kala II persalinan). Berdasarkan survei ini juga
dilaporkan bahwa bayi yang meninggal dalam usia satu bulan setelah dilahirkan, 39% terjadi
akibat komplikasi termasuk persalinan lama (30%), perdarahan 12% dan infeksi (10%).
Berdasarkan data WHO tahun 2010 sebanyak 99% kematian ibu akibat masalah
persalinan atau kelahiran terjadi di negara-negara berkembang merupakan yang tertinggi
dengan 450 kematian/100.000 kelahiran hidup, jika dibandingkan dengan rasio kematian ibu

di negara-negara maju. Angka Kematian Ibu karena persalinan lama di Indonesia menempati
urutan kelima (5%) setelah perdarahan (28%), eklampsi (24%), infeksi (11%), komplikasi
nifas (8%) dari jumlah AKI sebesar 228/100.000 kelahiran hidup (SDKI 2007).

Tabel 2.2. Data persalinan Patologis Di RSUD Soewandhi Surabaya tahun 2009 hingga 2010.
II.3 Faktor Resiko
Faktor Resiko terjadinya kala II lama masih belum diketahui secara pasti, tetapi dalam
South Australian Perinatal Practice Guidelines, disebutkan terdapat beberapa hal yang
mempengaruhi terjadinya variasi waktu dalam kala II, yaitu posisi ibu pada kala II, posisi dari
janin, penurunan pada saat pembukaan lengkap, kualitas dari his, penggunaan oksitosin,
kekuatan mengejan ibu dan penggunaan analgesik. Dalam penelitiannya, Thomas dan
Santolaya menemukan bahwa nullipara, preeklamsia, diabetes, makrosomia, janin laki-laki,
anestesi epidural, induksi persalinan, penggunaan oksitosin, serta koriamnionitis sebagai
faktor resiko terjadinya persalinan dengan kala II lama.
II.3. Etiologi
Secara umum penyebab kala II lama dapat dibagi ke dalam beberapa faktor yaitu
faktor tenaga (power), faktor panggul (passage), faktor anak (passenger), faktor psikis dan
faktor penolong.

II. 3.1 Faktor Tenaga


His yang normal dimulai dari salah satu sudut di fundus uteri kemudian
menjalarmerata simetris ke seluruh korpus uteri dengan dominasi kekuatan pada fundusuteri
(lapisan otot uterus paling dominan) kemudian terdapat relaksasi secaramerata dan
menyeluruh. Kelainan his terutama ditemukan pada primigravida tua. Kelainan anatomis uteri
juga menghasilkan kelainan his. Pada multipara lebih banyak ditemukan kelainan yang
bersifat inersia uteri. Peregangan rahim yang berlebihan pada kehamilan ganda atau
hidramnion juga dapat menyebabkan inersia uteri.
Kelainan tenaga pada kala II lama, dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1

Inertia uteri Kelainannya terletak dalam hal kontraksi uterus yaitu lebih singkat, dan
jarang daripada biasanya. Keadaan umum penderita biasanya baik, dan rasa nyeri tidak
seberapa. Selama ketuban masih utuh umumnya tidak banyak bahaya, baik bagi ibu
maupun bagi janin, kecuali jika persalinan berlangsung terlalu lama. Keadaan ini
dinamakan inersia uteri primer atau hypotonic uterine contraction Kalau timbul setelah
berlangsungnya his kuat untuk waktu yang lama, hal itu dinamakan inersia uteri sekunder.
Hingga saat ini etiologi dari inertia belum diketahui tetapi beberapa faktor dapat
mempengaruhi: umum (primigravida pada usia tua, anemia, perasaan tegang dan
emosional, pengaruh hormonal: oksitosin dan prostaglandin, dan penggunaan analgetik
yang tidak tepat), dan lokal (overdistensi, perkembangan anomali uterus misal
hypoplasia, mioma, malpresentasi, malposisi, dan disproporsi cephalopelvik, kandung

kemih dan rektum penuh).


Incoordinate uterine action.
Disini sifat his berubah sehingga tonus otot uterus meningkat, juga diluar his, dan
kontraksinya tidak berlangsung seperti biasa karena tidak ada sinkronasi antara kontraksi

bagian-bagiannya. Tidak adanya koordinasi antara kontraksi bagian atas, tengah dan
bawah menyebabkan his tidak efisien dalam mengadakan pembukaan.
Selain 2 hal tersebut diatas, kurang adekuatnya mengejan dapat menyebabkan
terjadinya kala II lama. Kekuatan yang dihasilkan oleh kontraksi otot abdomen dapat
terganggu secara bermakna sehingga bayi tidak dapat lahir secara spontan melalui vagina.
Sedasi berat atau anestesia regional kemungkinan besar mengurangi dorongan refleks untuk
mengejan.
II.3. 2 Faktor Jalan Lahir (Passage)
Pada panggul ukuran kecil akan terjadi disproporsi dengan kepala janin sehingga
kepala janin tidak dapat melewati panggul meskipun ukuran janin berada dalam batas normal.
Panggul sempit yang penting pada obstetric bukan sempit secara anatomis namun panggul
sempit secara fungsional artinya perbandingan antara kepala dan panggul. Selain panggul
sempit dengan ukuran yang kurang dari normal, juga terdapat panggul sempit lainnya. Karena
kepentingan tersebut panggul sempit dapat dibagi menurut Munro Kerr:
1 Kelainan herediter:
Panggul Naegele: tidak adanya salah satu sacral alae
Panggul Robert: tidak adanya kedua sacral alae
High assimilation pelvis: sakrum terdiri dari 6 vertebra
Low assimilation pelvis: sakrum terdiri dari 4 vertebra
Split pelvis: simfisis pubis terpisah
2 Kelainan tulang sendi: rakitis, osteomalasia, neoplasma, fraktur,atrofi, nekrosis, penyakit
3
4

pada sendi sakroiliaka dan sendi sakrokoksigea.


Kelainan tulang belakang: kifosis, skoliosis, spondilolistesis
Kelainan kaki: koksitis, luksasio koksa, atrofi atau kelumpuhan satu kaki
Kesempitan panggul dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
1 Kesempitan pada pintu panggul atas
Pintu atas panggul dianggap sempit apabila conjugata vera kurang dari 10 cm atau
diameter transversa kurang dari 12 cm. Pada panggul sempit kepala memiliki
kemungkinan lebih besar tertahan oleh pintu atas panggul, sehingga serviks uteri kurang
mengalami tekanan kepala.
2 Kesempitan pada pintu panggul tengah
Dengan sacrum melengkung sempurna, foramen ischiadikus mayor cukup luas dan spina
ischiadika tidak menonjol diharapkan bahwa panggul tengah tidak akan menghalangi bagi

lewatnya kepala janin. Ukuran terpenting yang hanya bisa ditetapkan dengan
pelvimetrirontenologik ialah distansia interpinarum. Apabila ukuran ini kurang dari 9,5
cm maka perlu kita waspada terhadap kemungkinan kesukaran pada persalinan, terutama
jika ukuran diameter sagitalis posterior pendek. Pada panggul tengah yang sempit, lebih
sering ditemukan posisi kepala janin berupa posisi oksipitalis posterior persisten atau
presentasi kepala dalam posisi lintang tetap (tranverse arrest).
3 Kesempitan pada pintu panggul bawah
Bila diameter transversa dan diameter sagitalis posterior kurang dari 15cm, maka sudut
arkus pubis juga mengecil (<80) sehingga timbul kemacetan pada kelahiran janin ukuran
biasa.
Selain panggul, jalan lahir terbentuk melalui bagian lunak yang dalam kenyataannya
bisa terdapat gangguan yang menyebabkan terjadinya kala II lama:
1 Vulva
Edema
Walaupun jarang merupakan rintangan bagi kelahiran pervaginam, adanya edema
pada vulva dapat memperlama kala pengeluaran. Edema tersebut dapat disebabkan
karena penderita dibiarkan meneran terus-menerus pada kala II. Selain itu,
kemungkinan adanya edema juga bisa pada waktu hamil, disebabkan oleh
preeklamsia maupun gangguan gizi.
Stenosis
Disebabkan oleh adanya perlukaan maupun radang yang menyebabkan ulkus dan
sembuh dengan meninggalkan parut-parut yang mengganggu kala II persalinan.

Tetapi kesulitan ini dapat diatasi dengan epiostomi yang cukup luas
Tumor
Bentuk neoplasma yang ditemukan pada vulva.
Vagina
Stenosis vagina kongenital
Stenosis vagina kongenital dibagi menjadi dua, yaitu: septum vagina lengkap atau
septum tidak lengkap. Gangguan kala II lebih sering disebabkan oleh adanya
septum tidak lengkap pada vagina. Septum tidak lengkap sering menahan turunnya
kepala janin pada persalinan. Stenosis dapat terjadi karena parut-parut akibat

perlukaan dan radang. Pada stenosis vagina yang tetap kaku pada kehamilan dan
merupakan halangan untuk lahirnya janin, perlu dipertimbangkan sectio cesaria.
Tumor vagina
Adanya tumor pada vagina bisa pula menyebabkan persalinan rintangan bagi
lahirnya janin per vaginam. Adanya tumor vagina bisa pula menyebabkan persalinan
3

per vaginam dianggap mengandung terlampau banyak resiko.


Serviks uteri
Distosia servikalis atau dysfungctional uterine action
Konglutio orifisii eksternii
Jarang terjadi, dimana kala I serviks uteri menipis akan tetapi pembukaan tidak
terjadi, sehingga merupakan lembaran kertas di bawah kepala janin. Diagnosis
ditegakkan dengan dengan menumukan ostium uteri eksternum ditengah-tengah

lapisan tersebut.
Karsinoma servisis uteri
Uterus
Kelainan yang dapat mengganggu persalinan adanya mioma uteri, dimana mioma uteri
tersebut dapat menghalangi jalan lahir, menyebabkan janin letak lintang, dan

menyebabkan adanya inersia uteri


Ovarium
Tumor ovairum dapat menyebabkna adanya halangan lahirnya janin pervaginam. Tumor
tersebut untuk sebagian atau seluruhnya terletak dalam cavum douglas. Membiarkan
persalinan berjalan lama, yang dapat menyebabkan pecahnya tumor (tumor kistik) atau
rupture uteri (tumor solid), dan atau infeksi intrapartum.

II.3.3. Faktor Anak (passenger)


Selain kelainan karena tenaga dan panggul, kala II lama dapat disebabkan karena
terdapatnya kelainan pada faktor anak (passenger). Kelainan tersebut meliputi:
1

Kelainan pada presentasi, posisi maupun letak, yang meliputi:


a Malpresentasi
Presentasi Puncak
Pada presentasi ini, kepala janin dalam keadaan defleksi ringan ketika melewati
jalan lahir. Sehingga ubun-ubun besar menjadi bagian terendah. Pada presentasi

puncak kepala, lingkaran kepala yang melalui jalan lahir adalah sirkumfernsia
frontooksipitalis dengan titik perputaran yang berada di bawah simfisis adalah
glabella. Presentasi ini memriliki prognosis yang buruk karena dapat
meningkatkan mortalitas dan morbiditas baik ibu maupun janin.
Presentasi Muka
Presentasi muka adalah keadaan dimana kepala dalam kedudukan defleksi
maksimal, sehingga oksiput tertekan pada punggung dan muka merupakan bagian
terendah yang menghadap ke bawah. Presentasi muka dikatakan primer jika
terjadi sejak masa kehamilan, dan dikatakan sekunder jika baru terjadi pada masa
persalinan. Pada umumnya penyebab terjadinya presentasi muka adalah keadaankeadaan yang memaksa terjadinya defleksi kepala atau keadaan yang menghalangi
terjadinya fleksi kepala. Oleh karena itu presentasi muka dapat ditemukan pada
panggul sempit atau pada janin besar. Multiparitas dan perut gantung juga
merupakan faktor yang memudahkan terjadinya presentasi muka. Kelainan janin
seperti anensefalus dan tumor di leher depan juga dapat menyebabkan presentasi
muka. Terkadang presentasi muka dapat terjadi pada kematian janin intrauterine
akibat otot janin yang telah kehilangan tonusnya.
Presentasi Dahi
Presentasi dahi adalah keadaan dimana kedudukan kepala berada diantara fleksi
maksimal dan defleksi maksimal, sehingga dahi merupakan bagian terendah. Pada
umumnya, presentasi dahi bersifat sementara, dan sebagian besar akan berubah
menjadai presentasi muka atau presentasi belakang kepala. Sebab terjadinya
presentasi dahi pada dasarnya sama dengan sebab terjadinya presentasi muka
karena semua presentasi muka biasanya melewati fase presentasi dahi lebih
dahulu.
Presentasi Ganda/Majemuk
Presentasi majemuk adalah terjadinya prolaps satu atau lebih ekstremitas pada
presentasi kepala ataupun bokong. Kepala memasuki panggul bersamaan dengan

kaki dan atau tangan. Presentasi majemuk juga dapat terjadi manakala bokong
memasuki panggul bersamaan dengan tangan. Dalam pengertian presentasi
majemuk tidak termasuk presentasi bokong-kaki, presentasi bahu, atau prolaps tali
pusat. Apabila bagian terendah janin tidak menutupi dengan sempurna pintu atas

panggul, maka presentasi majemuk dapat terjadi.


b Malposisi
POPP (Persistent Occiput Posterior Postision)
Prevalensi kondisi ini adalah 10%. Pada posisi ini ubun-ubun tidak berputar ke
depan, tetapi tetap berada di belakang. Salah satu penyebab terjadinya adalah
usaha penyesuaian kepala terhadap bentuk dan ukuran panggul. Penyebab yang
lain adalah otot-otot dasar panggul yang lembek pada multipara atau kepala janin
yang kecil dan bulat sehingga tidak ada paksaan pada belakang kepala janin untuk
c

memutar ke depan.
Letak
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan
kepala di fundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri. Dikenal
beberapa jenis letak sungsang, yaitu presentasi bokong, presentasi bokong
sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna, dan presentasi kaki. Diagnosis
letak sungsang umumnya tidak sulit. Pada pemeriksaan luar, kepala teraba di
fundus uteri, sementara pada bagian bawah uterus teraba bokong yang tidak dapat
digerakkan semudah kepala. Selain dari pemeriksaan luar, diagnosis juga dapat
ditegakkan dari pemeriksaan dalam dan pemeriksaan penunang seperti USG dan
MRI.
Letak lintang adalah suatu keadaan dimana janin melintang dalam uterus dengan
kepala pada sisi yang satu dan bokong berada pada sisi yang lain. Sebab tersering
terjadinya letak lintang adalah multiparitas disertai dinding uterus dan perut yang
lembek. Pada kehamilan prematur, hidramnion, dan kehamilan kembar, janin
sering dijumpai dalam letak lintang. Kelainan bentuk rahim seperti uterus arkuatus

atau subseptus juga merupakan penyebab terjadinya letak lintang. Adanya letak
lintang dapat diduga hanya dengan inspeksi. Uterus tampak melebar dan fundus
tampak lebih rendah tidak sesuai dengan usia kehamilannya. Pada palpasi, fundus
2

uteri kosong, kepala janin berada di samping, dan diatas simfisis juga kosong.
Kelainan pada bentuk janin
Hidrochepalus
Adalah keadaan dimana terjadi penimbunan cairan serebrospinalis dalam ventrikel
otak, sehingga kepala menjadi besar dan terjadi pelebaran sutura serta ubun-ubun.
Cairan yang tertimbun dalam ventrikel biasanya berkisar antara 500-1500 ml, akan
tetapi kadang-kadang dapat mencapai 5 liter. Karena kepala janin terlalu besar dan
tidak dapat berakomodasi di bagian bawah uterus, maka sering ditemukan dalam
keadaan sungsang. Bagaimanapun letaknya, hidrosefalus akan menyebabkan
disproporsi sefalopelvik dengan segala akibatnya
Makrosomia
Berat neonatus yang besar adalah apabila berat janin melebihi 4000 gram. Pada janin
besar, faktor keturunan memegang peran penting. Selain itu janin besar juga dijumpai
pada wanita hamil dengan diabetes mellitus, postmaturitas, dan grande multipara.
Tumor pada janin
Kembar siam

II. 3.4 Faktor Penolong


Dalam proses persalinan, selain faktor ibu dan janin, penolong persalinan juga
mempunyai peran yang sangat penting. Penolong persalinan bertindak dalam memimpin
proses terjadinya kontraksi uterus dan mengejan hingga bayi dilahirkan. Seorang penolong
persalinan harus dapat memberikan dorongan pada ibu yang sedang dalam masa persalinan
dan mengetahui kapan haruis memulai persalinan. Selanjutnya melakukan perawatan
terhadap ibu dan bayi. Oleh karena itu, penolong persalinan seharusnya seorang tenaga
kesehatan yang terlatih dan terampil serta mengetahui dengan pasti tanda-tanda bahaya pada
ibu yang melahirkan, sehingga bila ada komplikasi selama persalinan, penolong segera dapat

melakukan rujukan. Pimpinan yang salah dapat menyebabkan persalinan tidak berjalan
dengan lancar, berlangsung lama, dan muncul berbagai macam komplikasi.
Di Indonesia, persalinan masih banyak ditolong oleh dukun. Dan baru sedikit sekali
dari dukun beranak ini yang telah ditatar sekedar mendapat kursus dukun. Karenanya kasuskasus partus kasep masih banyak dijumpai, dan keadaan ini memaksa kita untuk berusaha
menurunkan angka kematian ibu maupun anak. Yang sangat ideal tentunya bagaimana
mencegah terjadinya partus kasep. Bila persalinan berlangsung lama, dapat menimbulkan
komplikasi-komplikasi baik terhadap ibu maupun terhadap anak, dan dapat meningkatkan
angka kematian ibu dan anak.
Hasil penelitian Irsal dan Hasibuan di Yogyakarta menunjukkan bahwa faktor-faktor
yang berpengaruh dan secara statistik bermakna terhadap kejadian kala II lama adalah
penolong persalinan bukan dokter, sehingga selanjutnya perlu persalinan tindakan di RS.
Demikian pula hasil penelitan Rusydi di RSUP Palembang, menemukan bahwa partus kasep
yang akhirnya dilakukan tindakan operasi, merupakan kasus rujukan yang sebelumnya
ditolong oleh bidan dan dukun di luar rumah sakit.
II. 3. 5. Faktor Psikis
Suatu proses persalinan merupakan pengalaman fisik sekaligus emosional yang luar
biasa bagi seorang wanita. Aspek psikologis tidak dapat dipisahkan dari aspek fisik satu
sama lain. Bagi wanita kebanyakan proses persalinan membuat mereka takut dan cemas.
Ketakutan dan kecemasan inilah yang dapat menghambat suatu proses persalinan. Dengan
persiapan antenatal yang baik, diharapkan wanita dapat melahirkan dengan mudah, tanpa rasa
nyeri dan dapat menikmati proses kelahiran bayinya.
II.4. Gejala Klinis

Gejala klinis terjadinya kala 2 lama dapat dijumpai pada ibu dan janin. Gejala klinis
yang dapat dijumpai pada ibu meliputi:
1

Tanda-tanda kelelahan dan dehidrasi dari ibu (nadi cepat dan lemah, perut kembung,

2
3

demam, nafas yang cepat dan his hilang dan lemah)


Vulva edema
Cincin retraksi patologi Brandl
Sering timbul akibat persalinan yang terhambat disertai peregangan dan penipisan
berlebihan segmen bawah uterus, dan menandakan ancaman akan rupturnya segmen

1
2
3

bawah uterus.
Gejala Klinis yang dapat ditemui pada janin:
Denyut jantung janin cepat, hebat, tidak teratur, bahkan negatif
Air ketuban terdapat mekonium, kental kehijau-hijauan, berbau.
Kaput suksedaneum yang besar. Kaput ini dapat berukuran cukup besar dan menyebabkan
kesalahan diagnostik yang serius. Biasanya kaput suksedaneum, bahkan yang besar

sekalipun, akan menghilang dalam beberapa hari.


Moulase kepala yang hebat akibat tekanan his yang kuat, tulang tengkorak saling

bertumpang tindih satu sama lain.


Kematian janin dalam kandungan atau intra uterine fetal death (IUFD).

II.5. Patofisiologi Uterus Pada Kala II Lama


Pada awal persalinan, uterus akan menghasilkan energi untuk berkontraksi dan
relaksasi. Kondisi metabolik ini dapat berlangsung jika energi ibu cukup, dan aktivitas ini
dipertahankan selama berjam-jam. Namun, jika kondisi ini berlangsung terlalu lama, akan
menyebabkan patologi pada uterus. Pertama-tama, akan timbul gangguan emosi dan
kelelahan pada ibu yang mengakibatkan cadangan glikogen pada uterus akan berkurang,
sehingga ATP yang dihasilkan juga akan berkurang. Selain itu juga dapat terjadi asidifikasi
karena timbunan asam laktat untuk memenuhi kebutuhan ATP. Timbunan asam laktat ini bisa
mengurangi kemampuan uterus untuk berkontraksi. Kontraksi yang terus-menerus pada
miometrium yang mengalami deplesi energi dan hipoksia akan mengakibatkan ruptur uteri.

Gambar 2.1. Patofisiologi Uterus Pada Persalinan Lama


II.6 Diagnosis Kala II lama
Berdasarkan Nice Clinical Guidelines, diagnosis kala II lama dapat ditegakkan
sebagai berikut:
1

Nullipara
Kala II lebih dari 2 jam tanpa pengaruh regional anestesi (AGOG 2003) atau lebih
dari 3 jam dengan pengaruh regional anestesi. (Kala II dimulai terjadi pembukaan

lengkap pada serviks)


Multipara:

Kala II lebih dari 1 jam tanpa pengaruh regional anestesis (AGOG 2003), atau lebih
dari 2 jam dengan pengaruh regional anestesi ((Kala II dimulai terjadi pembukaan
lengkap pada serviks)
II.7 Penatalaksanaan Kala II Lama
Kala II lama merupakan salah satu kegwawatdaruratan obstetrik yang memerlukan
penanganan tepat dan cepat dimana penanganan tersebut dapat mengurangi morbiditas
maupun mortalitas ibu dan janin. Ketika Kala II lama ditegakkan maka penilaian klinik perlu
dilakukan, diantaranya:
1 Penilaian klinik terhadap ibu
Kondisi ibu
Kontraksi/his
Pemeriksaan klinik berupa: pemeriksaan kandung kemih, palpasi abdomen, dan
pemeriksaan dalam (evaluasi pelvik, imbangan feto pelvik/penentuan CPD, maupun
2

ada tidaknya tumor pada jalan lahir)


Penilaian Klinik terhadap janin
Janin berada di dalam atau di luar Rahim
Jumlah janin
Letak
Presentasi dan penurunan bagian terbawah janin
Posisi, moulage, dan kaput suksadenum
Bagian kecil janin (tangan, tali pusat dll)
Anomali kongenital yang dapat mengganggu ekspulsif bayi
Tafsiran berat janin
Gawat janin
Janin hidup atau tidak
Penilaian terhadap kekuatan mengejan ibu
Berdasarkan hasil penilaian tersebut, maka dapat ditentukan dengan segera etiologi

gangguan kemajuan proses persalinan saat kala II dapat segera diambil keputusan yang tepat.

Faktor

Temuan Klinik

Diagnosis

Jalan Lahir

Palpasi luar menunjukkan bagian


terbawah janin belum masuk PAP

Kesempitan pintu panggul


atas

Diameter anteropsoterior
kecil dari normal
Promotorium menonjol

lebih

Dinding
samping
panggul
menyempit dan krista iliaka sangat
menonjol

Kesempitan
tengah

panggul

Arcus pubis kurang 900

Bayi

Tenaga Ekspulsi

Sacrum melengkung ke depan dan


cocygeus mengarah pada sumbu
jalan lahir

Kesempitan pintu panggul


bawah

Tafsiran berat badan ekstrim

Makrosomia

Bagian terbawah muka

Presentasi muka

Dagu dibelakang dan dasar panggul

Mentoposterior persisten

Sutura sagitalis melintang dan


parietal tertahan di promotorium

Asinklitimus

Teraba
tangan
atau
lengan
disamping tangan atau bokong

Presentasi Majemuk

Teraba rusuk dan atau lengan


dengan kepala di lateral

Letak Lintang

Bahu pada posisi anteroposterior


dan tertahan pada dasar panggul

Distosia Bahu

Kontraksi
lemah
terkoordinasi

Inersia uteri

dan

tidak

Ibu tidak mampu membuat posisi


efektif mengejan

Ibu kelelahan

Lingkaran konstriksi

CPD

Tabel 2.3. Hubungan faktor penyebab Kala II lama, temuan klinik dan Diagnosis
Setelah ditegakkan diagnosis, maka harus segera dilakukan intervensi untuk
menyelesaikan kala II, sebagai berikut:
1

Pada wanita dengan kondisi fisik yang lelah dan panik, klinisi dapat memberikan
dukungan dan semangat untuk melakukan persalinan. Selain itu dapat diberikan analgesik

2
3
4

ataupun anestesi dan dilakukan rehidrasi maupun pemberian kalori.


Pemberian oksitosin sesuai dengan indikasi adanya inersia uteri.
Pada distosia bahu dilakukan ALARM
Tindakan bedah baik per vaginam maupun Sectio Cesaria sesuai indikasi

Sectio Cesaria dilakukan pada keadaan yang tidak memungkinkan persalinan per vaginam
dengan tindakan operatif misalnya: panggul sempit, makrosomia, malpresentasi, letak
lintang, CPD, dan asinklitimus.

Gambar 2.2. Bagan Manajemen Kala II Lama


II. 8. Komplikasi

Komplikasi pada persalinan dengan kala II lama dapat terjadi pada ibu maupun pada
bayi. Pada kala II lama dapat terjadi infeksi sampai sepsis. Infeksi adalah bahaya serius yang
mengancam ibu dan janinnya, terutama bila disertai pecahnya ketuban. Bakteri didalam
cairan amnion menembus amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion sehingga
terjadi bakteremia dan sepsis pada ibu dan janin.
Selain itu dapat terjadi dehidrasi, syok, kegagalan fungsi organ-organ, robekan jalan
lahir, ruptur uteri. Penipisan abnormal segmen bawah uterus menimbulkan bahaya serius
selama partus lama, terutama pada wanita dengan paritas tinggi dan pada mereka dengan
riwayat bedah sesar. Robekan serta pembentukan fistula pada buli-buli, vagina, uterus dan
rektum. Apabila bagian terbawah janin menekan kuat ke pintu atas panggul tetapi tidak maju
untuk jangka waktu yang cukup lama, bagian jalan lahir yang terletak di antaranya dan
dinding panggul dapat mengalami tekanan berlebihan. Karena gangguan sirkulasi, maka
dapat terjadi nekrosis yang akan jelas dalam beberapa hari setelah melahirkan dengan
munculnya fistula vesikovaginal, vesikoservikal, atau rektovaginal. Umumnya nekrosis
akibat penekanan ini terjadi setelah persalinan kala dua yang sangat berkepanjangan.

Gambar 3. Komplikasi Fistula Pada Kala II Lama


Menurut Myles dan Santolaya, terjadinya morbiditas maternal yang meliputi laserasi
jalan lahir, dan pendarahan postpartum sebanding dengan lama kala II berlangsung. Selain

itu, dalam penelitiannya, Myles dan Santolaya mendapatkan bahwa tindakan bedah obstetri
meningkat sesuai dengan lama dari kala II. Dalam peneltiannya Brown et al, menyimpulkan
bahwa ibu dengan kala II lama memiliki resiko 1,4 kali terjadinya inkontinesia urine
dibandingkan ibu yang tidak mengalami kala II lama, dalam 3 bulan postpartum.
Komplikasi yang terjadi pada janin akibat kala II lama adalah gawat janin dalam
rahim sampai meninggal. Juga dapat terjadi kelahiran janin dalam asfiksia berat sehingga
menimbulkan cacat otak menetap. Trauma persalinan merupakan akibat lain dari persalinan
kala II lama yang dilakukan tindakan operastif per vaginam. Trauma tersebut meliputi
eksoriasi kulit, sefalhematom, perdarahan subgaleal, ikterus neonatorum berat, dan nekrosis
kepala yang akan diikuti alopesia di kemudian hari. Selain itu dapat terjadi patah tulang dada,
lengan, kaki, kepala karena pertolongan persalinan dengan tindakan.
II. 6 Prognosis
Prognosis dari partus kala II lama ini ditentukan oleh kecepatan dan ketepatan dalam
mendiagnosis serta menanganinya. Semakin lama partus tersebut berlangsung, maka
semakin besar kemungkinan terjadinya partus lama dan semakin banyak komplikasi yang
ditimbulkan baik pada ibu maupun pada janinnya hingga terjadinya partus kasep.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Bari, S. 2003. Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi. PB POGI, FKUI,
Jakarta. Pp : 35-45
Anonymous. Buku Acuan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED).
Jakarta:Bakti Husada, 2008.
Anonymous. Intrapartum care: Care of healthy women and their babies during childbirth.
NICE Guidelines; 2007.
Anonymous. Managing Prolonged and Obstructed Labour. Education for Safe Motherhood.
Second edition. Geneva:Department of Making Pregnancy safer WHO; 2006.
Anonymous. South Australia Perinatal Practice Guideline: Chapter 9a Delays in the second
stage of labour. South Australia, 2012.
Branch

D,

Porter

T, Hypertensive

Disorders

of

Pregnancy,

dalam

Danforths

Obstetrics&Gynecologiy, edisi ke-8, Scott J, Saia P, Hammond C, Spellacy W,


penyunting, Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 1999: 309-326
Brown, SJ., Gartland, D., Donath, S., MacArthurc, C., Effects of prolonged second stage,
method of birth, timing of caesarean section and other obstetric risk factors on
postnatal urinary incontinence: an Australian nulliparous cohort study. International
Journal of Obstetrics and Gynaecology, 2011.
Cunningham., Gary et-al. Williams Obstetrics. 23rd Edition. New York: Mc Graw Hill, 2010.
Cunningham, Mac Donald, Gant, Levono, Gilstrap, Hanskin, Clark. 1997. Williams
Obstretics 20th edition. Prentice-Hall International Inc. Pp : 773-818
Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K, Hypertensive
Disorders in Pregnancy, dalam William Obstetrics, edisi ke-22, New York: McGrawHill, 2005 : 761-808
Husodo, L. 1999. Pembedahan dengan Laparotomi. Dalam Wiknjosastro H, Ilmu Kebidanan.
Edisi Ketiga Cetakan Keenam. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Jakarta. Hal : 863-870

Prawirohardjo,

Hutagalung, Filderia., Marliandiani. Hubungan antara Usia, Paritas Dengan Persalinan Kala
II Lama (Studi Kasus di RSUD dr. Moch. Soewandhie Surabaya). Program studi D-III
Kebidanan Universitas PGRI Adi Buana Surabaya. 2011.
James R., Md. Scott, Ronald S., Md. Gibbs, Beth Y., Md. Karlan, Arthur F., Md. Haney,
David N. Danforth's Obstetrics and Gynecology, 9th Ed:. Danforth By Lippincott
Williams & Wilkins Publishers; 9th edition.
Joy, S., Thomas, P. 2011. Abnormal Labor. Emedicine (Serial Online), 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/273053-overview, Diakses pada
tanggal 24 Agustus 2015.
Kusumawati, Yuli. 2006. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Persalinan dengan
Tindakan (Tesis). Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro; 2006.
Melfiawati S. 1994. Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi, EGC, Jakarta, hal
368-371
Mochtar., Rustam. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi,Obstetri Patologi. Edisi 2. Jakarta:
EGC; 1998.
Myles, Thomas D., Santolaya, Joaquin. Maternal and Neonatal Outcomes in Patients With a
Prolonged Second Stage of Labor. Jobstet Gynecol America 2003: 102 (1); 52-8.
Neilson, J.P., lavender, T., Quenby, S., Wray, S. Obstructed labour: reducing maternal death
and disability during pregnancy. British Medical Bulletin, 2003: 67: 191204.
Ness, Amen., Golberg, Jay., Berghella, Vicenzo. Abnormalities of the First and Second Stages
of Labor. J Obstet Gynecol Clin 2005: 32; 201-20.
Pernoll, M. L. Benson & Pernolls handbook of obstetrics and gynecology. Tenth edition.
New York: Mc Graw Hill, 2001.
Sumapraja, S; Rachimhadhi, T. 1999. Perdarahan Antepartum. Dalam Wiknjosastro H, Ilmu
Kandungan. Edisi Ketiga Cetakan Keenam. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta. Pp : 497-521
Syakurah,

Risma.

Tinjauan

Pustaka

Partus

Kasep

(Serial

http//www.wordpress.com. diakses tanggal 23 Agustus 2015.

Online),

2011.

Wiknjosastro, H. 2012. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo

You might also like