Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinik yang paling sering
ditemukan pada bayi baru lahir.1 Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat
dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini.1 Pada masa transisi
setelah lahir, hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga proses glukoronidasi
bilirubin tidak terjadi secara maksimal. Keadaan ini akan menyebabkan dominasi
bilirubin
tak
terkonjugasi
didalam
darah.
Pada
keadaan
bayi
baru
lahir,
yang
fisiologis
atau
patologis
serta
dimonitor
apakah
mempunyai
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Ikterus neonatorum
Ikterus (Jaundice) keadaan klinis pada bayi baru lahir yang ditandai oleh
pewarnaan ikterus pada kulit, sklera dan mukosa akibat akumulasi bilirubin tak
terkonjugasi yang berlebihan. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru
lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL atau disebut dengan hiperbilirubinemia. 1
Hiperbilirubinemia
Adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih
kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90. Biasanya
istilah hiperbilirubinemia dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada hasil
laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin. Hiperbilirubinemia
bisa disebabkan proses fisiologis atau patologis atau kombinasi keduanya.1
Ikterus fisiologis
Pada lingkungan normal, kadar bilirubin dalam serum tali pusat yang bereaksiindirek adalah 1-3 mg/dl dan naik dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dL/24 jam;
dengan demikian, ikterus dapat dilihat pada hari ke-2 sampai ke-3, biasanya berpuncak
antara hari ke-2 dan ke-4 dengan kadar 5-6 mg/dl dan menurun sampai di bawah 2
mg/dL antara umur hari ke-5 dan ke-7.2 Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu
formula kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3
kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan
yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 sampai 2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang
mendapat ASI kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi (7-14
mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat. Bisa terjadi dalam waktu 2-4 minggu,
bahkan dapat mencapai waktu 6 minggu. Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu
formula juga akan mengalami peningkatan dengan puncak yang lebih tinggi dan lebih
lama, begitu juga dengan penurunannya jika tidak diberikan fototerapi pencegahan.
Peningkatan sampai 10-12 mg/dL masih dalam kisaran fisiologis, bahkan hingga 15
mg/dL tanpa disertai kelainan metabolism bilirubin. Kadar normal bilirubin tali pusat
kurang dari 2 mg/dL dan berkisar dari 1,4 sampai 1,9 mg/dL.1
Ikterus non fisiologis
Dulu disebut dengan ikterus patologis tidak mudah dibedakan dari ikterus
fisiologis dan mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai
yang disebut hiperbilirubinemia. Ikterus non fisiologis mungkin merupakan petunjuk
penting untuk diagnosis awal dari banyak penyakit neonatus, walaupun kadar bilirubin
masih dalam batas-batas fisiologik, tetapi klinis mulai terdapat tanda-tanda Kern ikterus
maka keadaan ini disebut ikterus non fisiologi. Ikterus non fisiologis timbul dalam 36
jam pertama kehidupan biasanya disebabkan oleh kelebihan produksi bilirubin, karena
klirens bilirubin yang lambat jarang menyebabkan peningkatan konsentrasi diatas 10
mg/dl pada umur ini. 1,3
Ada beberapa keadaan ikterus yang cenderung menjadi patologik:
1. Ikterus terjadi sebelum usia 24 jam
2. Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi
3. Peningkatan kadar bilirubin total serum >0.5 mg/dL/jam
4. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi (muntah,letargis,
malas menetek, penurunan berat badan bayi yang cepat, apnea, takipnea atau suhu
yang tidak stabil)
5. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi
kurang bulan.
6. Ikterus yang disertai:
- Berat lahir < 2.000 g
- Masa gestasi < 36 minggu
3
hepatosit. Telah diketahui media transport yang membawa anion organik memasuki
hepatosit, termasuk bilirubin, bromsulfophthalein (BSP) dan indocyanine green (ICG),
walaupun baru-baru ini telah diketahui bahwa bilirubin juga dapat melewati membran
dengan difusi pasif sederhana. Bukti yang ada menunjukkan bahwa bilirubin, BSP, dan
ICG memakai karier reseptor hepatosit yang sama, karena akan terjadi inhibisi
kompetititf jika diberikan bersamaan. Hal ini tidak dapat dijelaskan oleh metabolisme
intrahepatik, karena anion-anion ini ditangani secara berbeda oleh hepatosit: bilirubin
berikatan dengan asam glukoronat di dalam mikrosomal, BSP berikatan dengan glutation
di dalam sitosol, dan ICG langsung diekskresi tanpa mengalami biotranformasi. Untuk
mengangkut bilirubin ke dalam hepatosit diperlukan karier, karena ikatan protein di
dalam hepatosit berbeda dari yang di luar. Di luar hepatosit, bilirubin terikat albumin
(dengan afinitas 1.108, konsentrasi 0,6 mM).4 Di dalam hepatosit, bilirubin terikat
glutation S-transferase (GST), yang dikenal sebagai ligandin atau protein Y (afinitas =
1.106, konsentrasi = 0,04 mM). GST merupakan kelompok protein yang mempunyai
fungsi baik sebagai enzim, maupun sebagai intracellular binding protein, misalnya untuk
bilirubin. Carrier mediated uptake membantu meningkatkan gradien konsentrasi uptake
bilirubin, untuk mengatasi perbedaan afinitas antara albumin dan GST. GST merupakan
cadangan intraselular bilirubin yang penting dan mengurangi refluks dari hepatosit
kembali ke plasma.4
3. Konjugasi
Di dalam hepatosit, bilirubin berkonjugasi dengan asam glukoronat. Proses ini
terjadi di dalam retikulum endoplasma (mikrosom). Sebagai donor asam glukoronat
adalah uridine diphosphate glucoronic acid (UDP-GA). Enzim yang bertanggung jawab
untuk esterifikasi ini adalah bilirubin uridine diphosphate glucuronasyltransferase
(BUGT). BUGT terdapat di bagian lipid membran mikrosomal dan gangguan pada
lemak ini, secara in vitro mempengaruhi pengukuran aktivitas BUGT.
Setelah terjadi konjugasi dengan asam glukoronat, uridin difosfat dapat
dikonversi menjadi uridin dan pirofosfat anorganik oleh nukleosida difosfatase, yang
juga terdapat di dalam retikulum endoplasma dan mencegah terjadinya reaksi simpang.
sirkulasi dapat ditemukan sejumlah kecil bilirubin terkonjugasi. Jika terjadi gangguan
glukuronidase hepatik bilirubin (misalnya pada neonatus), jumlah bilirubin terkonjugasi
di dalam serum berkurang. Data yang ada menunjukkan bahwa pada neonatus cukup
bulan terdapat peningkatan kadar bilirubin dikonjugat dalam serum (0,55 0,25% pada
umur 2-4 hari, sampai 1,62 0,99% pada umur 9-13 hari), yang konsisten dengan
maturasi glukuronidasi bilirubin. Sebaliknya, pada bayi prematur dengan usia kehamilan
kurang dari 33 minggu, kadar bilirubin tak terkonjugasinya sangat rendah, yang
menunjukkan adanya gangguan maturasi proses glukoronidasi.4
Berdasarkan keempat tahapan tersebut, ikterus dapat terjadi karena:
1. Pembentukan bilirubin yang berlebihan
2. Defek pengambilan bilirubin oleh sel hati
3. Defek konjugasi bilirubin
4. Penurunan ekskresi bilirubin
5. Campuran; peningkatan kadar bilirubin terjadi karena produksi yang berlebihan dan
sekresi yang menurun
Gangguan berupa pembentukan bilirubin yang berlebihan, defek pengambilan
dan konjugasi bilirubin menghasilkan peningkatan bilirubin indirek. Penurunan ekskresi
bilirubin akan menyebabkan peningkatan kadar bilirubin direk atau disebut kolestasis,
sedangkan bila mekanismenya bersifat campuran, terjadi peningkatan bilirubin direk
maupun indirek.1
5. Sirkulasi enterohepatik
Jika bilirubin terkonjugasi memasuki lumen usus, ada beberapa kemungkinan
terjadinya metabolisme lebih lanjut. Pada orang dewasa, flora normal akan
menghidrogenasi karbon ikatan rangkap dalam bilirubin untuk menghasilkan
urobilinogen. Oksidasi atom karbon tengah menghasilkan urobilin. Keluarga besar
reduksi-oksidasi hasil bilirubin ini dikenal sebagai urobilinoid, diekskresikan ke dalam
feses. Bakteri yang paling penting dalam peranannya memproduksi urobilinoid adalah
8
Clostridium ramosum, yang bekerja sama dengan Escherichia coli. Konversi bilirubin
terkonjugasi menjadi urobilinoid penting untuk menghalangi absorpsi bilirubin di
intestinal yang dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik. Neonatus hanya sedikit memiliki
flora intestinal, sehingga lebih banyak mengabsorpsi bilirubin dari intestinum.
Di dalam intestinum, bilirubin terkonjugasi juga dapat bertindak sebagai substrat,
baik untuk bakterial maupun untuk -glukuronidase jaringan endogen. Enzim ini
menghidrolisis asam glukoronat dari bilirubin glukuronida. Bilirubin tak terkonjugasi
yang diproduksi, diabsorbsi lebih cepat dari intestinum.
Pada fetus, -glukuronidase sudah terdeteksi pada usia kehamilan 12 minggu dan
diyakini mempunyai peranan penting dalam mempercepat absorpsi bilirubin intestinum,
yang memungkinkan bilirubin dikeluarkan melalui plasenta. Setelah lahir, peningkatan
kadar - glukuronidase intestinal dapat menyebabkan peningkatan kadar bilirubin serum.
Kemampuan -glukuronidase jaringan endogen untuk men-dekonjugasi bilirubin
glukuronida telah dibuktikan pada hewan-hewan yang steril. ASI dapat mengandung
banyak -glukuronidase, dan hal ini sudah diduga merupakan salah satu faktor yang
berhubungan dengan tingginya kadar jaundice pada bayi-bayi yang mendapat ASI.1
Gambar 2.2 Skema metabolisme bilirubin pada janin, neonatus dan orang dewasa4
10
2.3
Etiologi
Metabolisme bilirubin bayi baru lahir berada dalam transisi dari stadium janin yang
selama waktu tersebut plasenta merupakan tempat utama eliminasi bilirubin yang larut lemak,
ke stadium dewasa, yang selama waktu tersebut bentuk bilirubin terkonjugasi yang larut air di
ekskresikan dari sel hati ke dalam sistem biliaris dan kemudian ke dalam saluran pencernaan.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dapat disebabkan atau diperberat oleh setiap faktor yang
(1) menambah beban bilirubin untuk dimetabolisasi oleh hati (anemia hemolitik, waktu hidup
sel darah menjadi pendek akibat imaturitas atau akibat sel ditransfusikan, penambahan
sirkulasi enterohepatik, infeksi); (2) dapat mencederai atau mengurangi aktivitas enzim
transferase (hipoksia, infeksi, kemungkinan hipotermia, dan defisiensi tiroid); (3) dapat
berkompetisi dengan atau memblokade enzim tranferase (obat-obat dan bahan-bahan lain yang
memerlukan konjugasi asam glukoronat untuk ekskresi);(4) menyebabkan tidak adanya atau
berkurngnya jumlah enzim yang diambil atau menyebabkan pengurangan reduksi bilirubin
oleh sel hepar (cacat genetik, prematuritas). Resiko pengaruh toksis dari meningkatnya kadar
bilirubin tak terkonjugasi dalam serum bertambah dengan adanya faktor-faktor yang
mengurangi retensi bilirubin dalam sirkulasi (hipoproteinemia, perpindahan bilirubin dari
tempat ikatanya pada albumin karena ikatan kompetitif obat-obatan seperti sulfisoksazol dan
moksalaktam, asidodis, kenaikan sekunder kadar asam lemak bebas akibat hipoglikemia,
kelaparan atau hipotermia), atau oleh faktor-faktor yang meningkatkan sawar darah otak atau
membran sel saraf terhadap bilirubin atau kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya seperti
asfiksia, prematuritas, hiperosmolaritas dan infeksi. Pemberian makan yang awal menurunkan
kadar bilirubin serum, sedangkan ASI dan dehidrasi menaikkan kadar bilirubin serum.
Mekonium mengandung 1 mg bilirubin/dL dan dapat turut menyebabkan ikterus melalui
sirkulasi enterohepatik pasca-dekonjugasi oleh glukoronidase usus. Obat-obat seperti oksitosin
dan bahan kimia yang diberikan dalam ruang perawatan seperti deterjen fenol dapat juga
menimbulkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi.2
11
Bayi dalam waktu 30 menit diletakkan ke dada ibunya selama 30-60 menit
12
segera. Mekonium yang mengandung bilirubin tinggi bila tidak segera dikeluarkan,
bilirubinnya dapat diabsorbsi kembali sehingga meningkatkan kadar bilirubin dalam
darah.
Jangan diberikan air putih, air gula atau apapun lainnya sebelum ASI keluar karena
Monitor kecukupan produksi ASI dengan melihat buang air kecil bayi paling kurang
6-7 kali sehari dan buang air besar paling kurang 3-4 kali sehari.
Ikterus late onset
Penyebab ikterus karena ASI belum jelas tetapi ada beberapa faktor yang
diperkirakan memegang peran, yaitu :
peningkatan aktivitas
Kelaparan
Frekuensi menyusui
Pregnandiol
Unidentified inhibitor
Beta-glukorinidase
Hidrolisis alkaline
Asam empedu
14
Dasar
Peningkatan bilirubin yang tersedia
Peningkatan produksi bilirubin
Penyebab
-
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya ikterus dikatakan non fisiologis atau
patologis jika pigmennya dan waktu menghilangnya berbeda dari kriteria yang telah
disebutkan pada ikterus fisiologis. Walaupun kadar bilirubin masih dalam batas-batas
fisiologis, tetapi klinis mulai terdapat tanda-tanda Kern Ikterus, maka keadaan ini disebut
ikterus non fisiologis atau patologis.2
Hiperbilirubinemia yang signifikan dalam 36 jam pertama biasanya disebabkan karena
peningkatan produksi bilirubin (terutama karena hemolisis), karena pada periode ini
hepatic clearance jarang memproduksi bilirubin lebih dari 10 mg/dL. Peningkatan
penghancuran hemoglobin 1% akan meningkatkan kadar bilirubin 4 kali lipat.1
15
2.5
Penyebab
Incompatibiltas darah fetomaternal (Rh,
ABO)
Defisiensi enzim kongenital (G6PD,
galaktosemia)
Perdarahan
tertutup
(sefalhematom,
memar)
Sepsis
Polisitemia (twin-o-twin transfusion, SGA)
Keterlambatan klem tali pusat
Keterlambatan pasase meconium, ileus
meconium, Meconium plug syndrome
Puasa atau keterlambatan minum
Atresia atau stenosis intestinal
Imaturitas
Gangguan metabolik/endokrin (CriglarNajjar disease, Hipotiroidisem, gangguan
metabolism asam amino)
Asfiskia, hipoksia, hipotermi, hipoglikemi.
Sepsis (juga proses inflamasi)
Obat-obatan
hormone
(novobiasin,
pregnanediol)
Anomali kongenital (atresia biliaris,
fibrosis kistik)
Statis biliraris (hepatitis, sepsis)
Bilirubin load berlebihan (sering pada
hemolisis berat)
Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian
yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel
hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran
eritrosit,
polisitemia,
memendeknya
umur
eritrosit
janin/bayi,
keadaan protein Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan
asidosis atau dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan
kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim
glukoranil transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita
hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut
dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek
patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak.
Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada
umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan
timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin
melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin
tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah
melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat lahir
rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang
terjadi karena trauma atau infeksi.1
2.6
Manifestasi Klinis
Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi
baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6 mg/dl atau
100 mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1 mikro mol/L). Salah satu cara pemeriksaan derajat
kuning pada BBL secara klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut
Kramer (1969).7
Penilaian ikterik dapat dilakukan didalam ruangan atau dibawah sinar matahari. 7
Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan
jaringan subkutan.7 Ikterus muncul pertama kali dibagian wajah dan menyebar kearah
kaudal yaitu badan dan ekteremitas.2,7
Kramer menyatakan bahwa perkembangan ikterik cephalo-caudal berhubungan
dengan meningkatnya jumlah kadar serum bilirubin dan dibagi bayi menjadi 5 zona,
17
dengan tingkat pengukuran bilirubin serum jumlah yang terkait dengan setiap zona. Hal
ini dikenal sebagai aturan Kramer (lihat Gambar 2.3) dan dapat digunakan untuk
menentukan tingkat keparahan ikterik.7
Tabel 2.4. Hubungan kadar bilirubin (micromol/L) dengan daerah
hiperbilirubinemia menurut Kramer.7
18
sangat berat dan memerlukan terapi sinar secepatmya. Tidak perlu menunggu hasil
pemeriksaan kadar bilurubin serum untuk memulai terapi sinar.
2.7
Diagnosis
Berbagai faktor resiko dapat meningkatkan kejadian hiperbilirubinemia yang berat.
Perlu penilaian pada bayi baru lahir terhadap berbagai resiko, terutama untuk bayi-bayi
yang pulang lebih awal. Selain itu dilakukan pencatatan medis bayi dan disosialisasikan
pada dokter yang mengkaji bayi tersebut selanjutnya,1,2
Tampilan ikterus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi dalam ruangan dengan
pencahayaan yang baik, dan menekan kulit dengan tekanan ringan untuk melihat warna
kulit dan jaringan subkutan. Ikterus pada kulit bayi tidak terperhatikan pada kadar
bilirubin kurang dari 4 mg/dL.1,7
Pemeriksaan fisis harus difokuskan pada identifikasi dari salah satu penyebab ikterus
patologis. Kondisi bayi haris diperiksa pucat, ptekie, extravasasi darah, memar kulit yang
berlebihan, hepatosplenomegali, kehilangan berat badan, dan bukti adanya dehidrasi.1
Tabel 2.5 Faktor resiko hiperbilirubinemia berat bayi usia kehamilan 35 minggu1,3
19
Pada breast milk jaundice terjadi hiperbilirubinemia pada 1 % dari bayi yang
diberikan ASI. Hiperbilirubinemia biasanya terjadi pada hari kelima dan kadar bilirubin
mencapai puncak pada hari ke-14 dan kemudian turun dengan pelan. Kadar normal tidak
akan tercapai sebelum umur 12 minggu atau lebih lama. Jika pemberian ASI dihentikan
dan fototerapi singkat diberikan, kadar bilirubin akan menurun dengan cepat dalam
waktu 48 jam.1
20
2.8
Diagnosis Banding
Ikterus yang terjadi pada saat lahir atau dalam waktu 24 jam pertama kehidupan
mungkin sebagai akibat eritroblastosis fetalis, sepsis, penyakit inklusi sitomegalik, rubela
atau toksoplasmosis kongenital. Ikterus pada bayi yang mendapatkan tranfusi selama
dalam uterus, mungkin ditandai oleh proporsi bilirubin bereaksi-langsung yang luar biasa
tingginya. Ikterus yang baru timbul pada hari ke 2 atau hari ke 3, biasanya bersifat
fisiologik, tetapi dapat pula merupakan manifestasi ikterus yang lebih parah yang
dinamakan hiperbilirubinemia neonatus. Ikterus nonhemolitik familial (sindroma
Criggler-Najjar) pada permulaannya juga terlihat pada hari ke-2 atau hari ke-3. Ikterus
21
yang timbul setelah hari ke 3, dan dalam minggu pertama, harus dipikirkan kemungkinan
septikemia sebagai penyebabnya; keadaan ini dapat disebabkan oleh infeksi-infeksi lain
terutama sifilis, toksoplasmosis dan penyakit inklusi sitomegalo virus. Ikterus yang
timbul sekunder akibat ekimosis atau hematoma ekstensif dapat terjadi selama hari
pertama kelahiran atau sesudahnya, terutama pada bayi prematur. Polisitemia dapat
menimbulkan ikterus dini.1,2
Ikterus yang permulaannya ditemukan setelah minggu pertama kehidupan,
memberi petunjuk adanya, septikemia, atresia kongenital saluran empedu, hepatitis
serum homolog, rubela, hepatitis herpetika, pelebaran idiopatik duktus koledoskus,
galaktosemia, anemia hemolitik kongenital (sferositosis) atau mungkin krisis anemia
hemolitik lain, seperti defisiensi enzim piruvat kinase dan enzim glikolitik lain,
talasemia, penyakit sel sabit, anemia non-sperosit herediter), atau anemia hemolitik yang
disebabkan oleh obat-obatan (seperti pada defisiensi kongenital enzim-enzim glukosa-6fosfat dehidrogenase, glutation sintetase, glutation reduktase atau glutation peroksidase)
atau akibat terpapar oleh bahan-bahan lain.1,2
Ikterus persisten selama bulan pertama kehidupan, memberi petunjuk adanya apa
yang dinamakan inspissated bile syndrome (yang terjadi menyertai penyakit hemolitik
pada bayi neonatus), hepatitis, penyakit inklusi sitomegalik, sifilis, toksoplasmosis,
ikterus nonhemolitik familial, atresia kongenital saluran empedu, pelebaran idiopatik
duktus koledoskus atau galaktosemia. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi
perenteral total. Kadang-kadang ikterus fisiologik dapat berlangsung berkepanjangan
sampai beberapa minggu, seperti pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme atau
stenosis pilorus.1,2
Tanpa
mempersoalkan
usia
kehamilan
atau
saat
timbulnya
ikterus,
2.9
Penatalaksaan
Berbagai cara telah digunakan untuk mengelola bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia indirek. Strategi tersebut termasuk : pencegahan, penggunaan
farmakologi, fototerapi, dan tranfusi tukar.3
Strategi Pencegahan Hiperbilirubinemia
American Academy of Pediatrics tahun 2004 mengeluarkan strategi praktis dalam
pencegahan dan penanganan hiperbilirubinemia bayi baru lahir (<35 minggu atau lebih)
dengan tujuan untuk menurunkan insidensi dari neonatal hiperbilirubinemia berat dan
ensefalopati bilirubin serta meminimalkan resiko yang tidak menguntungkan seperti
kecemasan ibu, berkurangnya breastfeeding atau terapi yang tidak diperlukan.
Pencegahan dititik beratkan pada pemberian minum sesegera mungkin, sering menyusui
untuk menurunkan shunt enterohepatik, menunjang kestabilan bakteri flora normal, dan
merangsang aktifitas usus halus.3
1. Pencegahan primer
Rekomendasi 1.0: Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12
kali perhari untuk beberapa hari pertama.
Rekomendasi 1.1: Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air
pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
2. Pencegahan sekunder
23
Rekomendasi 2.0
Harus melakukan penilaian sistematis terhadap resiko kemungkinan terjadinya
hiperbilirubinemia berat selama periode neonatal.
Rekomendasi 2.1 tentang golongan darah: Semua wanita hamil harus diperiksa
golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringan serum untuk antibodi isoimun
yang tidak biasa.
o
Rekomendasi 2.1.1: Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif,
dilakukan pemeriksaan antibodi direk (tes coombs), golongan darah dan tipe
Rh (D) darah tali pusat bayi.2
3. Evaluasi laboratorium
4. Penyebab kuning
Rekomendasi 4.1.2: Bayi sakit dan ikterus pada atau umur lebih dari 3
minggu harus dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk atau bilirubin
konjugasi untuk mengidentifikasi adanya kolestasis. Juga dilakukan
penyaringan terhadap tiroid dan galaktosemia.
25
Rekomendasi 5.1: Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai
terhadap risiko berkembangnya hiperbilirubinemia berat dan semua perawatan
harus menetapkan protokol untuk menilai risiko ini. Penilaian sangat penting
pada bayi yang pulang sebelum umur 72 jam.3
o Rekomendasi 5.1.1: Ada dua pilihan rekomendasi klinis yaitu:
Rekomendasi 6.1: Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orang
tua saat keluar dari RS termasuk penjelasan tentang kuning, perlunya monitoring
terhadap kuning, dan anjuran bagaimana monitoring harus dilakukan.
o Rekomendasi 6.1.1 (follow up): Semua bayi harus diperiksa oleh petugas
kesehatan profesional yang berkualitas beberapa hari setelah keluar RS untuk
menilai keadaan bayi dan ada tidaknya kuning. Waktu dan tempat untuk
melakukan penilaian ditentukan Berdasarkan lamanya perawatan, dan ada
atau tidaknya faktor risiko untuk hiperbilirubinemia dan risiko masalah
neonatal lainya.
Bayi Keluar RS
72 jam
96 jam
120 jam
28
Penggunaan Farmakoterapi
Farmakoterapi telah digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia dengan
merangsang induksi enzim-enzim hati dan protein pembawa, guna mempengaruhi
penghancuran heme, atau untuk mengikat bilirubin dalam usus halus sehingga reabsorpsi
enterohenpatik menurun. Antara lain :
1. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi-bayi dengan Rh yang berat dan
inkompaibilitas ABO untuk menekan hemolysis isoimun dengan menurunan tindakan
tranfusi ganti
2. Fenobarbital telah memperlihatkan hasil efektif, merangsang aktivitas, dan
konsentrasi UDPGT dan ligandin serta dapat meningkatkan jumlah ikatan bilirubin.
Penggunaan fenobarbital setelah lahir masih kontroversial dan secara umum tidak
direkomendasikan. Diperlukan waktu beberapa hari sebelum terlihat perubahan
bermakna, hal ini membuat penggunaan fototerapi nampak jauh lebih mudah.
Fenobarbital telah digunakan pertama kali pada inkompatibilitas Rh untuk
mengurangi jumlah tindakan transfusi ganti. Penggunaan fenobarbital profilaksis
untuk mengurangi pemakaian fototerapi atau transfusi ganti pada bayi dengan
defisiensi G6PD ternyata tidak membuahkan hasil.
3. Pencegahann hiperbilirubinemia dengan menggunakan metalloprotoporphrin juga
telah diteliti Zat ini adalah analog sintesis heme. Protoporphyrin terbukti efektif
sebagai inhibitor kompetitif dari heme oksigenase, enzim ini diperlukan untuk
katabolisme heme menjadi biliverdin. Dengan zat-zat ini heme dicegah dari
katabolisme dan diekstresikan secara utuh didalam empedu.
4. Pada penelitan terhadap bayi kurang dan cukup bulan, bayi dengan atau tanpa
penyakit hemolitik, tin-protoporphyrin (Sn-PP) dan tin-mesoporphyrin (Sn-MP) dapat
menurunkan kadar bilirubin serum. Penggunaan fototerapi setelah pemberian Sn-PP
berhubungan dengan timbulnya eritemea foto toksis. Sn-MP kurang bersifat toksik,
khususnya jika digunakan bersaamn dengan fototerapi. Pada penelitian terbaru dengan
29
penggunaan Sn-MP, maka fototerapi pada bayi cukup bulan tidak diperlukan lagi,
sedangkan pada byi kurang bulan penggunaanya telah banyak berkurang. Pemakaian
obat ini masih dalam percobaan dan keluaran jangka panjang belum diketahui,
sehingga pemakian obat ini sebaiknya hanya digunkan untuk bayi yang mempunyai
resiko tinggi terhadap kejadian hiperbilirubinemia yang berkembang menjadi
disfungsi neurologi dan juga sebagai clinical trial.
5. Baru-baru ini dilaporkan bahwa pemberian inhibitor -glukoronidase pada bayi sehat
cukup bulan yang mendapat ASI, seperti L-aspartik dan kasein hidrolisat dalam
jumlah kecil (5 ml/dosis 6x/hari) dapat meningkatkan pengeluaran bilirubin pada
feses dan ikterus menjadi kurang dibandingan dengan bayi kontrol. Kelompok bayi
yang mendapat campuran whey/kasein (bukan inhibitor -glukoronidase) kuningnya
juga tampak menurun dibandingkan dengan kelompok kontrol, hal ini mungkin
disebabkan oleh peningkatan ikatan bilirubin konjugasi yang berakibat pada
penurunan jalur enterohepatik.
Foto Terapi dan Tranfusi Tukar
Rekomendasi 7.1 : jika kadar bilirubin total serum tidak menurun atau terus meningkat
walaupun telah mendapat fototerapi intensif, kemungkinan telah terjadi hemolisis dan
direkomendasikan untuk menghentikan fototerapi
Terapi
Lakukan fototerapi intensif dan atau transfusi tukar sesuai indikasi
Lakukan pemeriksaan laboratorium :
Serum albumin
30
Jumlah retikulosit
G6PD (bila terdapat kecurigaan (berdasarkan etnis dan geografis) atau respon
terhadap foto terapi kurang)
Urinalisa
Bila anamnesis dan atau tampilan klini menunjukan kemungkinan sepsi lakukan
pemeriksaan kultur darah, urin, liquor untuk protein, glukosa, hitung sel dan kultur
Tindakan :
Bila bilirubin total 25 mg atau 20 mg pada bayi sakit atau bayi < 38 minggu,
lakukan pemeriksaan golongan darah dan cross match pada pasien yang akan
direncakana transfusi ganti
Pada bayi dengan penyakit autoimun hemolitik dan kadar bilirubin total
meningkat waktu telah dilakukan foto terapi intensif atau dalam 2-3 mg/dL kadar
tranfusi ganti, berikan immunoglobulin intravena 0.5-1 g/kg selam 2 jam dan
boleh diulang bila perlu 12 jam kemudian
Pada bayi yang mengalami penurunan berat badan lebih dari 12 % atau secara
klinis atau bukti secara biokimia menunjukan tanda dehidrasi, dianjurkan
pemberian susu formula atau ASI tambahan. Bila pemberian peroral sulit dapat
diberika intravena
31
Bila bilirubin total 20-25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 3-4 jam,
bila <20 mg/dl diulang dalam 4-6 jam. Jika bilirubin total terus turun periksa
ulang dalam 8-12 jam
Bila kadar bilirubin total tidak turun atau malah mendekati kadar transfusi tukar
atau perbandingan bilirubin total dengan albumin (TSB/albumin) meningkat
mendekati angka untuk transfusi tukar maka lakukan tranfusi ganti
Bila kadar bilirubin total kurang dari 13-14 mg/dL foto terapi dihentikan
Tergantung kepada penyebab hiperbilirubinemia, pemeriksaan bilirubin ulangan
boleh dilakukan setelah 24 jam setelah bayi pulang untuk melihat kemungkinan
terjadinya rebound
serum berkisar 2-3 mg/dL dari kadar transfusi ganti. Jika diperlukan dosis ini dapat
diulang dalam 12 jam.
Rasio albumin serum dan rasio bilirubin/albumin
Rekomendasi 7.1.5 : Merupakan suatu pilihan untuk mengukur kadar serum
albumin dan mempertimbangkan kadar albumin kurang dari 3 g/dl sebagai satu
faktor resiko untuk menurunkan ambang batas penggunaan fototerapi.
Rekomendasi 7.1.6: Jika dipertimbangkan tranfusi ganti, kadar albumin serum
harus diukur dan digunakan rasio bilirubin/albumin yang berkaitan dengan kadar
bilirubin total serum dan faktor-faktor lainnya yang menentukan dilakukannya
transfusi ganti.
Bilirubin ensefalopati akut
Rekomenadai 7.1.7 : Dirkomendasikan untuk segera melakukan transfusi ganti
pada setiap bayi ikterus dan tampak manifestasi fase menengah sampai lanjut dari
akut bilirubin ensefalopati (hipoternia, arching, retrocollis, opistotonus, demam,
menangis melengking) meskipun kadar bilirubin total serum telah turun
Rekomendasi 7.2 : Semua fasilitas perawatan dan pelayanan bayi harus memiliki
peralatan untuk fototerapi intensif
Manajemen bayi ikterus pada rawat jalan
Rekomendasi 7.3 : Pada bayi yang menyusu yang memerlukan fototerapi, AAP
merekomendasikan bahwa jika memungkinkan menysusi harus diteruskan. Juga
terdapat pilihan memilih untuk mengehentikan
menyusui sementara
dan
menggantinya dengan formula. Hal ini dapat mengurangi kadar bilirubin dan atau
meningkatkan efektifitas fototerapi. Pada bayi menyusui yang mendapat fototerapi,
suplementasi dengan pemberian ASI yang dipompa atau formula adalah cukup jika
asupan bayi tidak adekuat, berat badan turun berlebihan atau bayi tampak dehidrasi.
33
Fototerapi
Faktor resiko : isoimune hemolytic disease, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis, suhu
tubuh yang tidak stabil, sepsi, asidosis, atau kadar bilirubin < 3 g/dL
Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu diperbolehkan untuk melakukan
fototerapi pada kadar biluribin total sekitar medium risk line. Merupakan pilihan
untuk melakukan intervensi pada kadar bilirubin total serum yang lebih rendah
untuk bayi-bayi yang mendekati usia 35 minggu dan dengan kadar bilirubin total
serum yang lebih tinggi untuk bayi yang berusia mendekati 37 6/7 minggu.
Diperbolehkan melakukan foto terapi baik di rumah sakit atau dirumah pada kadar
bilirubin 2-3 mg/dL dibawah garis yang ditunjukan, namun pada bayi-bayi yang
memiliki faktor resiko foto terapi sebaiknya tidak dilakukan dirumah
Fototerapi intensif adalah fototerapi dengan menggunakan sinar blue-green
spectrum (panjang gelombang 430 -490 nm) dengan kekuatan paling kurang 30 uW/cm2
diperiksa dengan radiometer, atau diperkirakan dengan menempatkan bayi langsung di
bawah sumber sinar dan kulit bayi yang terpajan lebih luas).
Bila konsentrasi bilirubin tidak menurun atau cenderung naik pada bayi-bayi yang
mendapat foto terapi intensif, kemungkinan besar terjadi proses hemolisis.
Hasil dari otopsi pada bayi yang mendapatkan fototerapi yang telah meninggal di
NICU karena kernikikterus menunjukan bahwa fototerapi berpengaruh besar terhadap
perbaikan dari kernikikterus tersebut. Fototerapi efektif telah menurunkan secara drastis
kebutuhan transfusi tukar pada bayi prematur. Penelitian yang dilakukan oleh Neonatal
Research Network Study, hanya 5 neonatus dari 1974 neonatus (0,25% ) yang lahir
dengan berat sangat rendah sekali mendapatkan transfusi tukar.8
34
Gambar 2.6 Panduan foto terapi pada bayi usia kehamilan 35 minggu
Transfusi Tukar
Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukan keadaan tanpa patokan pasti
karena terdapat pertimbangan klinis luas dan tergantung respon terhadap fototerapi
35
Faktor resiko : penyaki hemolitik autoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis, suhu
tidak stabil, sepsi, asidosis
Pada bayi sehat dan usia kehamilan 35-37 minggu (risiko sedang) tranfusi tukar
dapat dilakukan bersifat individual berdasarkan kadar bilirubin total seusai usianya.
Harus
Bil Tot (mg/dl) / alb, g/dl
Bayi 38 0/7 mg
Dipertimbangkan
Bil Tot (mol/L)/Alb,
mol/L
8.0
0.94
7.2
0.84
6.8
0.80
Usia (jam)
Pertimbangan
Fototerapi
Fototerapi
Tranfusi tukar
Tranfusi tukar
Jika Fototerapi
& Fototerapi
Intensif Gagal
Intensif
25-48
12 (170)
15(260)
20 (340)
25 (430)
49-72
15 (260)
18(310)
25 (430)
30 (510)
>72
17 (290)
20(340)
25 (430)
30 (510)
Fototerapi
Tranfusi Tukar
<28 0/7
5-6
11-14
28 0/7 29 6/7
6-8
12-14
30 0/7 31 6/7
8-10
13-16
32 0/7 33 6/7
10-12
15-18
34 0/7 34 6/7
12-14
17-19
sakit
37
Berat badan
Fototerapi
Tranfusi tukar
Fototerapi
Transfusi tukar
<1000 g
5-7
Bervariasi
4-6
Bervariasi
1001 1500 g
7-10
Bervariasi
6-8
Bervariasi
1501 2000 g
10-12
Bervariasi
8-10
Bervariasi
2001 2500 g
12-15
Bervariasi
10-12
Bervariasi
15-18
20-25
12-15
18-20
Kurang bulan
Cukup bulan
>2500 g
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang ditakuti dari hiperbilirubinemia adalah kern ikterus. Kern
ikterus atau ensefalopati bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh
deposisi bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di
basal ganglia dan nukleus batang otak. Patogenesis kern icterus bersifat multifactorial
dan melibatkan interaksi antara kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar
bilirubin yang tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak, dan suspektibilitas
saraf terhadap cedera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia, dan perubahan
permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern ikterus.2,3
Tanda-tanda dan gejala-gejala kernikterus biasanya muncul 2-5 hari sesudah lahir
pada bayi cukup bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi prematur, tetapi
hiperbilirubinemia dapat menyebabkan sindrom setiap saat selama masa neonatus.
Tanda-tanda awal bisa tidak terlihat dan tidak dapat dibedakan dengan sepsis, asfiksia,
hipoglikemia, perdarahan intrakranial, dan penyakit sistemik akut lainnya pada
nenonatus.2 Lesu, nafsu makan jelek dan hilangnya refleks moro merupakan tanda-tanda
awal yang lazim. Selanjutnya bayi dapat tampak sakit, tidak berdaya disertai refleks
moro yang menjadi negatif dan kegawatan pernafasan. Opistotonus dengan fontanela
yang mencembung, muka dan tungkai berkedut, dan tangisan melengking bernada tinggi
menyertai. Pada kasus yang lanjut terjadi konvulsi dan spasme, kekakuan pada bayi
38
dengan lengan yang terekstensi dan berotasi ke dalam serta tangannya menggenggam.
Rigiditas jarang terjadi pada stadium lanjut.
Banyak bayi yang menjelek ke tanda-tanda neurologis berat ini meninggal; yang
bertahan hidup biasanya mengalami cedera berat tetapi agaknya dapat sembuh dan 2-3
bulan kemudian timbul beberapa kelainan. Selanjutnya pada usia 1 tahun, opistotonus,
rigiditas otot, gerakan-gerakan yang tidak teratur dan konvulsi cenderung kambuh. Pada
tahun ke-2 opistotonus dan kejang mereda, tetapi gerakan-gerakan yang tidak teratur dan
tidak disadari, rigiditas otot atau pada beberapa bayi hipotonia bertambah secara teratus.
Pada usia 3 tahun sering tampak sindrom neurologis yang lengkap, terdiri atas
koreoastetosis dengan spasme otot involunter, tanda-tanda ektrapiramidal, kejang
defisiensi mental, wicara disartrik, kehilangan pendengaran terhadap frekuensi tinggi,
strabismus, dan gerakan mata ke atas tidak sempurna. Tanda-tanda pyramidal, hipotonia,
dan ataksia terjadi pada beberapa bayi. Pada bayi yang terkenanya ringan sinrom ini
hanya dapat ditandai melalui inkoordinasi neuromuscular ringan sampai sedang, ketulian
parsiaol atau disfungsi otak minimal yang terjasi sendiri atau bersamaan, masalah ini
mungkin tidak tampak sampai anak masuk sekolah.2
Selain itu hiperbilirubinemia yang berat dapat menyebabkan kerusakan pada saraf
pendengaran dan / atau inti batang otak dalam sistem pendengaran, khususnya neuron di
inti koklea, yang akan mengalami kerusakan parah. Hal ini dapat melibatkan lesi dari
basal ganglia dan dapat mempengaruhi sistem okulomotor, sistem vestibular dan
serebelum. Banyak bayi dan anak didiagnosis gangguan pendengaran disebut sebagai
Auditory Neuropati Spectrum Disorder yang mempunyai riwayat hiperbilirubinemia.9
2.11 Prognosis
Ikterus baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar
darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati
biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat segera terlihat pada masa neonatus atau baru
tampak setelah beberapa lama kemudian. Pada masa neonatus gejala mungkin sangat
ringan dan hanya memperlihatkan gangguan minum, letargi dan hipotonia. Selanjutnya
bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan opistotonus. Pada stadium lanjut mungkin
39
didapatkan adanya atetosis disertai gangguan pendengaran dan retardasi mental di hari
kemudian. Dengan memperhatikan hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita
hiperbilirubinemia dilakukan pemeriksaan berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisis dan
motorik, ataupun perkembangan mental serta ketajaman pendengarannya.
40
BAB III
KESIMPULAN & SARAN
KESIMPULAN
Ikterus (Jaundice) Neonatorum keadaan klinis pada bayi baru lahir yang
ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit, sklera dan mukosa akibat akumulasi bilirubin
tak terkonjugasi yang berlebihan. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru
lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL atau disebut dengan hiperbilirubinemia.
Ikterus terdiri dari dua keadaan yaitu ikterus yang terjadi secara fisiologis dan patologis.
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir bisa disebabkan oleh berbagai macam keadaan
yaitu pembentukan bilirubin yang berlebihan, defek pengambilan bilirubin oleh sel hati,
defek konjugasi bilirubin, penurunan ekskresi bilirubin dan campuran; peningkatan kadar
bilirubin terjadi karena produksi yang berlebihan dan sekresi yang menurun. Harus
dilakukan pemeriksaan secara rinci untuk menentuka penyebab pada ikterus agar dapat
mencegah terjadinya keadaan kern ikterus dimana sudah terjadi deposisi bilirubin indirek
di batang otak yang akan menimbulkan prognosis yang buruk. Pengobatan yang
diberikan pada ikterus bertujuan untuk mencegah agar konsentrasi bilirubin indirek
dalam darah tidak mencapai kadar yang menimbulkan neurotoksitas, pengobatan yang
sering diberikan adalah fototerapi dan transfusi tukar. Prognosis ikterus tergantung
diagnosa secara dini dan penatalaksanan yang cepat dan tepat.
SARAN
Berikut merupakan saran-saran yang direkomendasikan oleh pedoman dari
American Academy of Pediatrics yang harus dilakukan oleh para ahli kesehatan :
1. Mempromosikan dan mendukung ibu untuk memberikan ASI
2. Menciptkan protocol keperawatan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi
hiperbilirubinemia
3. Mengukur total serum bilirubin (TSB) atau trans-cutaneous bilirubin (TcB) pada
neonatus yang mengalami iktrus pada 24 jam pertama
41
4. Harus diingat bahwa menilai ikterus berdasarkan visual sering menyebakan kesalahan
terutama pada kulit hitam
5. Interpretasi semua nilai bilirubin berdasrkan usia bayi baru lahir dalam jam
6. Harus diingat bahwa neonatus dengan masa gestasi <38 minggu disertai pemberian
ASI mempunyai resiko yang tinggi untuk berkembang menjadi hiperbilirubinemia
sehingga harus dilakukan observasi secara khusus
7. Melakukan pemeriksaan sistematis sebelum neonatus pulang untuk mencegah resiko
hiperbilirubinemia yang berat
8. Memberikan informasi secara tertulis dan lisan kepada orang tua mengenai ikterus
neonatorum
9. Melakukan tindak lanjut sesui dengan pasien pulang
10. Melakukan tatalaksana fototerapi dan transfusi tukar sesuai dengan indikasi
42
DAFTAS PUSTAKA
1. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar
Neonatologi. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2010.p.147-68
2. Ambalavanan M, Carlo M. Ikterus dan Hiperbilirubinemia pada bayi baru
lahir. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Wahab S editors. Ed 15 th. Vol.1
Jakarta.EGC:2000.p.610-616
3. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyperbilirubinemia.
2004. Management Of Hyperbilirubinemia In The Newborn Infant 35 Or
More Weeks Of Gestation. Pediatrics; 114;297-316.
4. Martiza
I.
Ikerus.
Ikatan
Dokter
Anak
Indonesia.
Buku
Ajar
prevention,
assessment
and
management.
Queensland
Government.p.1-20.
8. Maisels MJ, Watchko JF, Bhutani VK, Stevenson DK. An approach to the
management of hyperbilirubinemia in the preterm infant less than 35 weeks
of gestation. Journal of Perinatology:2012;32.p.6604
9. OSDH Newborn Hearing Screening Program. Listen from Ear to Ear Tips of
the Month, How is bilirubin and hearing loss related?. 2011.vol.1issue1.
43