Professional Documents
Culture Documents
JTMGB
Vol. 2
No. 3
Jakarta
Desember 2011
ISSN 2088-7590
JTMGB
ISSN 0216-6410
Dewan Redaksi
: DR. Ir. Taufan Marhaendrajana (Engineering Mathematics and
Well Testing/Performances)
Anggota
: DR. Ir. Asep K. Permadi (Karakterisasi dan Pemodelan Reservoir)
DR. Ir. Tutuka Ariadji (Production Optimization)
DR. Ir. Bambang Widarsono (Penilaian Formasi)
Redaktur Pelaksana : Ir. IGK. Budiartha
Ir. Elly M.Jusuf, MSc.
Ir. Ana Masbukhin
Sekretariat
: Ir. Bambang Pudjianto
Layout Desain
: Endy Hadianto, S.Kom
Alief Syahru
Sirkulasi
: Abdul Manan
Ketua
DAFTAR ISI
Pengaruh Saturasi Air Formasi Terhadap Efektivitas Resin Epoxy Pada Unconsolidated Core Model (Studi Laboratorium)
Tulus Imaro, Taufan Marhaendrajana ................................................................
113 - 126
A Method for Obtaining Inter-well True Resistivity (Rt) from Seismic Data
Bambang Widarsono and Fakhriyadi Saptono ..................................................
127 - 132
133 - 146
Aplikasi Inside Gravel Packing Sebagai Sand Control Pada Sumur X Dengan
Electrical Submersible Pump Sebagai Metode Sembur Buatan
Dwi Hermanto S dan Alvianti Dwi P .................................................................
147 - 152
Permanent Coil Tubing Gas Lift (PCTGL): A Solution for Developing Oil in
Monobore Well Completion
Ari Taufiq Kramadibrata, Pahala Panjaitan, Sumaryanto ..................................
153 - 160
KATA PENGANTAR
Kembali kami hadir di tengah anda dengan berbagai tulisan dan diskusi menarik sekitar upaya
peningkatan produksi migas kita. Topik ini memang tidak akan ada habisnya karena sifat reservoir
dan aliran fluida yang sangat spesifik dan dinamik. Penurunan produksi yang secara alamiah pasti
akan terjadi dapat diakibatkan karena penurunan tekanan reservoir atau adanya gangguan aliran dari
reservoir ke lubang sumur atau aliran di dalam lubang sumur sendiri.
Tulisan yang menarik diantaranya adalah penemuan dan penerapan korelasi baru untuk menentukan ultimate recovery factor (URF) suatu lapangan dalam kondisi sedang/sudah dilakukan
waterflooding. Dengan diketahui URF ini maka diharapkan kita dapat mengetahui sisa cadangan
yang ada pada saat dilakukan waterflooding maupun sesudahnya, sehingga perhitungan keekonomian
ataupun rencana EOR (enhanced oil recovery) lebih lanjut dapat disusun lebih dini. Tulisan lainnya,
mengenai usaha untuk mengekstrak data yang lebih luas dari data seismik berkaitan dengan data
petrofisika. Tulisan yang masih merupakan awal dari suatu pengembangan yang masih panjang tersebut diharapkan bisa membantu dalam usaha pembangunan model reservoir secara lebih baik. Dengan
model reservoir yang lebih baik maka pengelolaan lapangan dan pengembangan aset di lapangan
tersebut akan dapat dilaksanakan dengan lebih tepat.
Dari dunia laboratorium juga menurunkan penelitian yang dapat digunakan pada perusahaan minyak yang memiliki problem kepasiran di lapangannya. Tulisan ini membahas pengaruh air
formasi terhadap efektifitas penggunaan resin pada unconsolidated sand, yaitu pada saat kita ingin
mengatasi kepasiran dengan menggunakan resin sebagai perekat batupasir unconsolidated di sekitar
lubang sumur. Ternyata bahwa meskipun ada pengaruh air formasi, tetapi pemakaian resin masih
efektif dan tidak mempengaruhi permeabilitas formasi. Dalam tulisan lain, mengatasi masalah yakni
penggunaan inside gravel packing. Cara ini kemudian dikombinasikan dengan metoda pengangkatan
menggunakan ESP (electric sunmersible pump) untuk memaksimalkan produksi, sehingga hasilnya
cukup signifikan.
Masih dalam rangka peningkatan produksi di lapangan tua (mature), kajian dan penerapan
metoda lifting dengan menggunakan permanent coiled tubing gas lift ternyata memberikan hasil yang
maksimal, baik dilihat dari sisi efektifitas (keteknikan) maupun sisi efisiensi (keekonomian). Cara
ini bahkan telah menjadi standar operasi di lapangan Sanga-sanga milik Vico pada sumur monobore.
Sangat bermanfaat untuk dicoba di tempat lain.
Semoga apa yang disajikan JTMGB dalam edisi kali ini benar-benar memberikan manfaat
bagi pembaca, atau bahkan dapat mengembangkan ide dan gagasan yang lebih besar dalam rangka
bersama-sama membangun masa depan dunia migas Indonesia lebih baik.
Salam,
SSA
Sari
Penggunaan resin dilakukan pada formasi yang tidak terkonsolidasi dengan baik untuk
menangani masalah produksi pasir. Pada saat ini masalah kepasiran kerap muncul pada sumur-sumur
tua (brown fields) sehingga dibutuhkan penerapan teknologi agar sumur bisa tetap berproduksi dengan
penanganan masalah kepasiran, yang mana penggunaan resin merupakan salah satu solusinya. Studi
mengenai penggunaan resin sebelumnya belum memperhatikan adanya pengaruh saturasi air formasi
pada kinerja resin. Tujuan dari makalah ini adalah mengetahui efek adanya saturasi air terhadap
proses konsolidasi pasir (sand consolidation) yang dilakukan oleh resin.
Dalam makalah ini diteliti seberapa besar pengaruh saturasi air formasi terhadap kinerja
resin tersebut. Hasil dari studi ini menunjukkan pengaruh signifikan dari adanya air formasi. Nilai
compressive stress dari core tersaturasi air dan resin menunjukkan peningkatan sebesar 700 - 1300
psi, sedangkan pada core tersaturasi resin (tanpa air formasi) memiliki peningkatan nilai 900 - 1500
psi untuk perendaman core selama 1-7 jam. Untuk durasi perendaman yang sama, core yang dijenuhi
resin, nilai porositas berkurang 48% - 66% dan permeabilitas berkurang 58% - 99%. Sedangkan core
yang dijenuhi oleh air formasi+resin, nilai porositas berkurang 6% - 22% dan permeabilitas berkurang
21% - 65%. Hasil ini menunjukkan bahwa walaupun adanya air formasi akan menurunkan performa
resin epoxy, proses penggunaan resin masih direkomendasikan untuk digunakan.
Kata kunci: air formasi, resin epoxy, sand consolidation, core sintetik.
Abstract
Resin injection is conducted in unconsolidated formation to handle the sand problem. In
recent days, sand problem occurs in old well (brown fields) which need technology application to
maintain the well producing without sand problem, in which resin injection is one of the solutions.
Previous research about resin did not consider the formation water saturation effect to the resin
performance. The aim of this paper is to investigate the effect of saturation formation water to the
sand consolidation process by resin.
This paper investigates the effect of saturation formation water to resin performance. The
result of this research shows the significant effect of existed formation water saturation. Compressive
strength value of water-resin saturated core only shows 700 - 1300 psi, while resin saturated core
(without formation water) has increment value 900 - 1500 psi for soaking time 1 7 hours. For
the same duration of soaking time, cores saturated by resin have porosity decreases 48% - 66%
and permeability decreases 58% - 99%. Meanwhile, cores saturated by formation water + resin
have porosity decreases 6% - 22% and permeability decreases 21% - 65%. This result concludes
eventhough the formation water reduces the resin performance, but resin injection process still can
be implemented.
Keywords: formation water, resin epoxy, sand consolidation, synthetic core.
113
114
I. Pendahuluan
Permasalahan kepasiran dapat disebabkan
karena stress yang dialami oleh formasi lebih besar
dari pada kekuatan formasi batuan. Kekuatan
formasi batuan merupakan kekuatan alami
material sementasi batuan dalam menjaga kesatuan butir-butir pasir pada formasi. Stress yang
dialami batuan sehingga pasir dapat terproduksi
antara lain adalah tekanan dari perubahan stress
akibat pemboran, tekanan over burden, fluida
formasi yang diproduksi, maupun gaya tektonik.
Formasi batu pasir yang bersifat unconsolidated
(tidak terkompaksi dengan baik) biasanya tidak
mampu bertahan untuk melawan berbagai stress
sehingga pasir akan ikut terproduksi mulai dari
awal sumur dikomplesi.
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya
produksi pasir antara lain derajat konsolidasi
(degree of consolidation), penurunan tekanan
pori di reservoir (reduction in pore pressure),
laju produksi (production rate), dan viskositas
cairan reservoir (reservoir fluid viscosity). Akibat
dari terproduksinya pasir akan menyebabkan
akumulasi pasir baik di dalam sumur maupun di
peralatan permukaan, runtuhnya formasi, bahkan
menyebabkan erosi peralatan baik di dalam sumur
maupun di permukaan (Suman, G.O.Jr.,1992).
Usaha menangani produksi pasir pada
awalnya menggunakan metoda mekanik seperti
gravel pack. Metode ini mampu menahan pasir
pada formasi consolidated, akan tetapi tidak
memberikan fungsi yang efisien terhadap formasi
unconsolidated. Hal tersebut dikarenakan oleh
pertimbangan awal penggunaan gravel pack
adalah adanya kualitas formasi pasir yang baik
se-hingga diperkirakan mampu memberikan
produksi minyak kumulatif yang lebih besar.
Metode kimia akhirnya bekembang untuk
menangani permasalahan formasi unconsolidated
tersebut, yaitu dengan menggunakan resin (zat
sejenis plastik). Cara kerja resin adalah dengan
meningkatkan ikatan (bonding) antara matrik di
dalam batuan di sekitar 3-6 feet di sekitar lubang
sumur. Metode ini efektif dalam pencegahan
produksi pasir di reservoir namun dapat
memperkecil permeabilitas di sekitar sumur
sehingga masih harus dipertimbangkan dalam
penggunaan metoda tersebut.
Penggunaan resin dapat meningkatkan
kuat tekan batuan sekaligus menurunkan permeabilitas semula, namun bekerja baik pada fine
sand (yang sulit dikontrol menggunakan gravel
pack). Selain itu juga penggunaan resin termasuk
murah dibandingkan dengan menggunakan
gravel pack dan dapat dilakukan pada kondisi
wellbore open hole. Di sisi lain, penggunaan resin
yang berlebihan dapat mengakibatkan pengurangan
porositas sehingga produksi minyak menjadi lebih
kecil. Selain itu juga penggunaan resin memiliki
derajat kesuksesan yang kecil dalam penempatan
di sekitar lubang sumur. (A.Wasnik and S.Mete,
2007)
Bahan baku resin terdiri dari katalis dan
pelarut. Untuk jenis resin yang dipakai dalam
penelitian ini adalah resin epoxy. Katalis dari
resin epoxy disebut hardener, berfungsi untuk
mengontrol nilai viskositas. Sedangkan pelarut
dari resin ini biasanya adalah aseton, berfungsi
mengencerkan dan menyatukan komposisi
senyawa kimia sehingga terbentuk resin.
Penggunaan resin dalam mengikat butiran
pasir di formasi dipengaruhi juga oleh adanya
air formasi. Hal ini dimungkinkan apabila sumur
tersebut sudah mulai memproduksikan air atau
adanya connate water yang mengisi pori-pori
formasi reservoir.
Sand problem pada sumur produksi
memiliki permasalahan yang serius apabila
sumur tersebut memproduksi air. Hal tersebut
dikarenakan oleh beberapa alasan berikut:
a. Ketika air formasi bersifat mobile, gaya seret
(shear force) yang diberikan mampu melebihi
kekuatan ikatan batuan formasi sehingga pasir
ikut terproduksi.
b. Terjadi pelarutan atau pelunakan material
penyemenan batu pasir.
c. Ada dua fasa fluida yang bergerak sekaligus
dan memberikan gaya dorong fluida yang
besar.
d. Naiknya harga mobilitas fasa fluida pembasah
(wetting fluid).
Pada saat menaikkan fluida produksi total
untuk menjaga harga rate produksi minyak dan
gas, gaya dorong sepanjang aliran fluida dalam
formasi semakin besar. (Dwijono, 2004).
Air formasi memiliki kecenderungan
untuk mengurangi kinerja resin dalam mengikat
butiran pasir. Hal ini mengacu pada teori yang
menyatakan bahwa karakter kimiawi dari air
115
mengganggu kemampuan hardener di dalam
Cl-
: 2284, 8797 ppm
resin tersebut. Air formasi akan mengakibatkan
Ca2+
: 59,4118 ppm
curing time atau proses penggumpalan menjadi
Mg2+
: 76,0471 ppm
+
lebih lama, karena saat air formasi bercampur
Na
: 6949,4304 ppm
dengan resin akan membuat air bersifat lebih Sedangkan untuk core yang digunakan adalah core
mengencerkan. (Kuralwe, 2009).
sintetik dengan karakteristik sebagai berikut: (i)
ukuran butir matriks dalam rentang ukuran mesh
II. Metodologi Penelitian
80-120 dan (ii) sementasi antar matriks lemah
Penggunaan Bahan Penelitian
(perbandingan semen:pasir = 1:4). Core dibuat
secara manual dengan menggunakan paralon,
Penelitian ini menggunakan resin jenis
palu, dan batang pemadat. Setelah core menjadi
epoxy, air formasi lapangan X, dan core sintetik
kering, core dikeluarkan dari paralon dan dijenuhi
yang disesuaikan dengan keadaan reservoir
air secara bersamaan agar terjadi penyamarataan
unconsolidated.
sementasi (karena akan ada beberapa core yang
Beberapa keunggulan dengan meng- akan dijenuhi oleh air formasi). Seluruh core
gunakan resin jenis epoxy dibandingkan jenis yang sudah dijenuhi kemudian dikeringkan
resin lain (furan atau organosilane) adalah sebagai sekitar 3-4 hari, pengeringan bisa dilakukan
berikut:
secara mudah baik dengan meletakkan core di
Resistensi yang baik terhadap acid dan alkali tempat terbuka maupun diletakkan di dalam oven
Memiliki viskositas yang rendah
agar pengeringan terjadi lebih cepat.
Penetrasi yang dalam
Jumlah Core yang dibuat cukup
Lebih cepat dalam hal pengerasan (curing
banyak karena diperlukan untuk pengerjaan
time)
pengukuran compressive stress, porositas, dan
Namun di sisi lain, ada beberapa kelemahan jenis
permeabilitas yang dilakukan secara paralel.
resin epoxy, yaitu merupakan bahan baku yang
Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat proses
bereaksi dengan alam dan merupakan bahan
pengerjaan penelitian di laboratorium.
import sehingga agak sulit untuk mendapatkan.
(D. M. Slagle, 2008).
Penggunaan Alat Percobaan
Komposisi resin yang digunakan adalah
Dalam pengukuran sifat core yang akan
resin (epoxy-hardener):aseton = 1:1 karena
diberikan
perlakuan, diperlukan beberapa alat
merupakan komposisi paling optimum untuk
mengkonsolidasi pasir untuk studi kasus formasi untuk pengukuran tersebut. Untuk mengukur
unconsolidated tanpa banyak mengurangi nilai compressive stress, masing-masing core diuji
porositas dan permeabilitas. (Gema Wahyudi, dengan alat Single Stage Compressive Test (SST)
dan perubahan porositas-permeabilitas diuji
2010).
dengan menggunakan UltraporeTM 300 Helium
Untuk mencari hubungan antara air
Pycnometer System dan Hassler Permeameter.
formasi dengan kinerja resin maka digunakan air
formasi asli dari lapangan X. Air formasi adalah
Metode Kerja Penelitian
air yang diproduksi baik bersama dengan minyak
maupun sudah berada di reservoir tersebut
Dalam menganalisis efek saturasi air
sebagai irreducible water. Berdasarkan hasil formasi, dilakukan tiga buah perlakuan terhadap
percobaan di laboratorium mengenai air formasi core:
yang digunakan pada penelitian ini, didapatkan Core tanpa perlakuan apapun (selanjutnya
hasil sebagai berikut:
disebut Core NT)
API air formasi: 8,60 API
Core dengan saturasi resin (selanjutnya
Specific gravity air formasi: 1,009993
disebut Core R)
Total dissolved solid: 0,94 gram
Core dengan saturasi air formasi dan resin
Kandungan ion-ion
(selanjutnya disebut Core FR).
CO3-
: 89,1177 ppm
Tujuan dalam memperlakukan core ke
HCO3-
: 30,201 ppm
dalam tiga buah perlakuan tersebut adalah untuk
116
melihat pengaruh resin terhadap kekuatan batuan
baik yang dipengaruhi oleh air formasi maupun
tidak. Pada masing-masing perlakuan, dibutuhkan
sejumlah core untuk melihat hasil dari perlakuan
tersebut. Dalam melihat compressive stress
core, dibutuhkan 3 (tiga) buah core yang akan
diambil nilai rata-rata sedangkan untuk melihat
sifat porositas dan permeabilitasnya hanya
menggunakan 1 buah core. Nilai compressive
stress yang akan digunakan merupakan nilai ratarata dari ketiga kekuatan batuan yang dihasilkan
oleh ketiga core tersebut.
Untuk melihat perbedaan hasil perlakuan
pada pengukuran compressive stress, core
direndam oleh resin dalam waktu (jam) yang
berbeda-beda. Hal ini memungkinkan untuk
melihat efek yang terjadi terhadap core oleh
pengaruh resin dan air formasi. Core (baik yang
sudah tersaturasi oleh air formasi maupun tidak
disaturasi) direndam dalam larutan resin di dalam
gelas plastik. Tinggi larutan resin harus mampu
merendam keseluruhan core sehingga pengaruh
resin tersebut bersifat merata. Volume resin
yang digunakan sebanyak 100mL yang terdiri
dari resin 50mL dan aseton sebanyak 50mL,
(epoxy:hardener = 1:1)
Dalam pengukuran porositas dan
permeabilitas, digunakan jumlah core yang
berbeda. Ketika menggunakan alat porosimeter
akan dilakukan 3 kali pengukuran pada 1 core
yang mewakili setiap perlakuan, sehingga dapat
memberikan nilai rata-rata. Sedangkan pada
saat menggunakan alat Hassler permeameter
dilakukan 1 kali pengukuran yang menghasilkan
korelasi antara volume dan waktu yang kemudian
diplot sehingga menghasilkan hubungan antara
q (rate) terhadap gradien persamaan dan yang
selanjutnya dapat dihitung nilai permeabilitas
core tersebut.
Secara garis besar, langkah kerja yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Pembuatan artificial core
Pembuatan resin epoxy
Pengukuran porositas dan permeabilitas
sebelum core mengalami perlakuan
Pengukuran compressive stress setelah core
mengalami perlakuan
Pengukuran porositas dan permeabilitas setelah core mengalami perlakuan
117
Tabel 1. Selisih nilai compressive stress core yang yang
disaturasi oleh resin (Core R) dan core yang disaturasi oleh
air formasi dan resin (Core FR)
Waktu Perendaman,
jam
1
3
5
7
9
118
Tabel 3. Selisih nilai porositas core sebelum perlakuan dan
setelah perlakuan untuk Core R (disaturasi resin).
Waktu
Perendaman
jam
Porositas
sebelum
perlakuan
%
Porositas
setelah
perlakuan %
Selisih
Porosi-tas
%
%
Selisih
1
3
5
7
28,28
28,39
28,15
28,59
14,68
15,95
14,18
9,54
13,60
12,43
13,97
19,05
48,09
43,81
49,64
66,63
Porositas
sebelum
perlakuan
%
Porositas
setelah
perlakuan
%
Selisih
Porosi-tas
%
% Selisih
1
3
5
7
31,48
29,24
30,04
28,61
24,38
25,79
24,18
26,71
7,11
3,45
5,86
1,90
22,57
11,81
19,51
6,64
119
penting dalam industri perminyakan. Konsep
permeabilitas lahir dari aliran fluida dalam poripori batuan sehingga dapat menentukan besarnya
fluida yang dapat diproduksikan ke permukaan
sesuai dengan rumus Darcy. Penggunaan
resin pada dasarnya akan menurunkan nilai
permeabilitas awal namun akan diteliti sampai
pada saat kapan nilai permeabilitas yang turun
masih dapat ditoleransi.
Penentuan permeabilitas pada percobaan
ini menggunakan alat Hassler Permeameter,
dengan metode penjenuhan core di dalam parafin
terlebih dahulu. Alat ini akan memanfaatkan
perbedaan tekanan pada core holder dengan
tekanan ruangan sehingga fluida mengalir melalui
core holder ke flask yang kemudian akan diukur
volume kumulatif terhadap waktu sehingga dapat
ditentukan laju alirnya. Penentuan permeabilitas
dengan menggunakan Hassler memiliki nilai
akurasi yang tidak besar.
Nilai permeabilitas dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu geometri dan susunan
butiran, distribusi dan ukuran pori-pori, serta
sementasi dan kandungan clay. Ada juga
kecenderungan yang menunjukkan bahwa
porositas memiliki hubungan sebanding dengan
permeabilitas namun hal tersebut tidak selalu
benar. Jika porositas besar namun permeabilitas
kecil, bisa saja karena kecilnya pore throat di
dalam batuan tersebut atau adanya pengaruh
turtuosity. Jika dalam batuan, jalur yang dilalui
oleh fluida terlalu berkelok-kelok maka akan
didapatkan waktu yang lama untuk mengalir
sehingga laju alir yang didapatkan menjadi kecil
dan permeabilitas juga menjadi kecil.
Pada percobaan ini akan dilihat pengaruh adanya saturasi air dan resin terhadap
permeabilitas core. Setelah melihat hasil dari
pengukuran porositas sebelumnya, akan juga
dibuktikan kecenderungan antara porositas dan
permeabilitas pada core yang dijenuhi oleh resin
saja maupun dengan air formasi.
Dari Tabel 5 dapat dilihat penurunan
permeabilitas core yang diberikan perlakuan
dan dijenuhi oleh resin maupun air formasi.
Nilai core non-treatment (core tanpa perlakuan)
adalah sebesar 150,758 mD dan nilai penurunan
permeabilitas bervariasi. Pada core yang hanya
dijenuhi resin, penurunan permeabilitas berada
pada rentang 58% 99% sedangkan pada core
yang dijenuhi oleh air formasi memiliki rentang
penurunan permeabilitas sebesar 21% - 65%.
Nilai penurunan tersebut bervariasi terhadap
sensitivitas waktu perendaman resin.
Apabila nilai permeabilitas dikaitkan
dengan porositas, maka akan didapatkan sebuah
kecenderungan. Penurunan porositas cenderung
berbanding lurus dengan penurunan permeabilitas
Tabel 5. Perbandingan permeabilitas core non-treatment
namun tidak untuk semua kasus.
(Core NT) dengan core yang dijenuhi oleh resin (Core R)
Pada Gambar 5, core yang hanya dijenuhi
dan air formasi+resin (Core FR).
Core NT
Core R
Core FR
Waktu
Penurunan
Perendaman,
K (mD)
jam
1
87,90
3
95,41
5
119,99
7
149,97
1
32,86
3
96,58
5
65,92
7
99,13
Penurunan
K (%)
58,31
63,28
79,59
99,48
21,79
64,07
43,73
65,76
120
oleh resin, semakin lama waktu perendaman
resin maka akan semakin besar penurunan
permeabilitas. Pada waktu perendaman resin 7
jam dapat dilihat bahwa core hampir tidak dapat
mengalirkan fluida padahal porositas yang ada
masih sebesar 26% (masih tergolong bagus). Hal
ini bisa saja disebabkan oleh faktor pore-throat
yang kecil sehingga aliran fluida tidak lancar.
Pada core yang dijenuhi oleh air formasi
(Gambar 6), terdapat kecenderungan yang
sama terhadap masing-masing nilai penurunan
permeabilitas dan porositas. Penurunan porositas
yang berkisar antara 6%-22% cenderung
memberikan penurunan permeabilitas yang
bervariasi berkisar 21%-65%. Pada core yang
direndam oleh resin selama 7 jam menunjukkan
Walaupun keberadaan air formasi
sedikit mengurangi efektifitas kerja resin dalam
memperbaiki compressive stress batuan, namun
penurunan nilai porositas dan permeabilitas
batuan dapat dikurangi (porositas berkurang
6-22% dibandingkan berkurang 48-66% untuk core yang disaturasi resin tanpa ada air
Tabel 6. Nilai permeabilitas dari core tanpa perlakuan formasi, dan permeabilitas berkurang 21-65%
(Core NT), core yang disaturasi resin (Core R), dan core
dibandingkan 58-99% untuk core yang disaturasi
yang disaturasi air formasi+resin (Core FR).
resin tanpa ada air formasi).
Waktu
K (mD)
Penggunaan resin dalam mengatasi kepasiran
Perendaman,
masih dapat digunakan pada lapangan yang
jam
memiliki saturasi air tinggi, yaitu dengan
Core NT
150,76
meningkatkan compressive stress sebesar 700
1
62,86
1300 psi.
3
55,35
Keberadaan air formasi membuat soaking
Core R
5
30,77
time dari resin ke dalam batuan lebih lama,
7
0,79
tanpa menutup pori-pori keseluruhan, sehingga
1
117,90
memberikan peluang penetrasi resin kedalam
3
75,14
batuan. Ini disebabkan karena penggumpalan
Core FR
5
72,26
resin menjadi lebih lama.
7
51,62
Acuan
penurunan porositas yang rendah namun Dwijono, M., 2004. Petunjuk Praktis
penurunan permeabilitas yang paling tinggi
Menanggulangi Problem Sand Di
diantara core yang lain. Adanya air formasi
Lapangan Pertamina dan Meningkatkan
menyebabkan porositas tetap tinggi namun tidak
Produksi.
menutup kemungkinan resin dapat memperkecil Kurawle Irfan et al. 2009. Silanol Resin
pore throat maupun meningkatkan turtuosity di
consolidation system for deepwater
dalam batuan sehingga permeabilitas mengecil.
completions and production optimization:
8th European Formation Damage
Conference
Scheveningen,
The
Secara umum, hasil yang didapatkan
Netherlands 2009.
cukup memberikan gambaran tentang kondisi
permeabilitas batuan yang dijenuhi oleh air Mujib, M.E., 2010. Design Lab Apparatus:
Single Stage Compressive Test (SST)
formasi maupun tidak.
pada Tekanan dan Temperatur Tinggi:
Hasil penentuan permeabilitas terhadap
Tugas Akhir S1 Perminyakan ITB 2010.
dua jenis core tersebut menunjukkan hasil
positif dan masih termasuk dalam klasifikasi Purnama, G.W., 2010. Studi Laboratorium:
Analisis Komposisi
Resin Untuk
permeabilitas yang baik. Nilai permeabilitas
Menangani
Masalah
Kepasiran
Pada
masing-masing core dapat dilihat pada Tabel 6.
121
Formasi Gas Yang Tidak Terkonsolidasi: Slagle, D.M. et al. 1969. Control of Sand
Tesis Magister Perminyakan ITB 2010.
Production in the Underground Storage
of Natural Gas: Journal of Petroleum
Rasyid, I.F., 2010. Studi Pengembangan Resin
Epoxy Dalam Mengatasi Permasalahan
Technology, Volume 21, Number 5
1969.
Kepasiran: Tugas Akhir S1 Perminyakan
ITB 2010.
LAMPIRAN A: NILAI COMPRESSIVE STRESS
Tabel A1. Core non-treatment (tanpa perlakuan perendaman resin maupun air formasi + resin)
122
Tabel A6. Core perendaman resin 9 jam (R9)
123
LAMPIRAN B: PENGUKURAN POROSITAS DENGAN GAS POROSIMETER
Tabel B1. Pengukuran core R
124
Tabel B2. Pengukuran -core FR
125
126
A Method for Obtaining Inter-well True Resistivity (Rt) from Seismic Data
Bambang Widarsono1 and Fakhriyadi Saptono1
1)
Researcher at PPPTMGB LEMIGAS,
Jl. Ciledug Raya, Kav 109, Cipulir, Kebayoran Lama.
Telepon: 62-21-7394422, Fax: 62-21-7246150
(e-mail: bwidarsono@lemigas-core.com)
Abstract
Water saturation data throughout an oil or gas field is always desired. This can be materialized if a
means can be established to extract the data from seismic data. This is true since seismic data is the
only widespread source that provides information for inter-well locations. This paper presents a
field trial of a proposed approach that is basically based on the application of artificial intelligence
(artificial neural network, ANN) on well-log and seismic data to extract formation true resistivity (Rt)
data. The method itself, which has been successfully verified through a series of laboratory trials,
includes training of the ANN using relevant well-log data, Rt prediction using the trained ANN,
and blind tests as a means of result validation. An oil field located in East Java is chosen for the
trial. It has been shown that there is a certain correlation between log-derived resistivity and logderived acoustic impedance (AI). As the method is applied to map the resistivity and water-saturation,
comparisons between conventional/ deterministic water-saturation map and the corresponding map
resulted from the trial has shown the superiority of the method in presenting inter-well variations
in water-saturation. It is also found that the new method has provided a high level of flexibility in
interpreting and distributing the inter-well Sw values.
Keywords: water saturation, seismic, formation true resistivity, artificial intelligence, water-saturation
map
Sari
Informasi mengenai data saturasi air yang menyeluruh bagi sebuah lapangan minyak atau gas selalu
menjadi hal yang dibutuhkan. Hal ini akan dapat terwujud jika dapat ditemukan suatu cara untuk
mengekstraksikannya dari data seismik yang umumnya tersedia bagi seluruh lokasi di reservoir.
Tulisan ini menyajikan suatu pengujian atas data log sumur dan seismik lapangan dengan bantuan
sistem kecerdasan semu artificial neural network (ANN) dengan tujuan memperoleh data tahanan
jenis formasi (Rt) di keseluruhan lapangan. Metode ini telah berhasil diterapkan pada skala
laboratorium mencakup pelatihan atas sistem ANN dengan menggunakan data log sumur, estimasi
Rt dengan menggunakan ANN yang sudah terlatih, dan melaksanakan blind test sebagai suatu cara
untuk validasi model. Untuk pengujian data lapangan, data dari sebuah lapangan yang berlokasi
di Jawa Timur digunakan. Dari pelatihan yang dilakukan atas ANN terlihat jelas adanya korelasi
antara tahanan jenis dan impedansi akustik, yang keduanya diperoleh dari data log sumur. Penerapan
kemudian dari metode ini untuk memetakan data tahanan jenis formasi dan saturasi air menunjukkan
bahwa metode ini bekerja dengan baik. Disamping itu, telah diamati juga bahwa metode baru ini
memberi keleluasaan dalam interpretasi dan pendistribusian harga saturasi air di lokasi-lokasi di
luar sumur.
Kata kunci: saturasi air, seismik, tahanan jenis formasi, kecerdasan semu, peta saturasi air.
127
128
Introduction
129
Widarsono et al., 2003). It is shown there that
in spite of differences in the order of influence
imposed by variation in Sw onto Rt, and AI, there
is essentially a theoretical correlation between Rt,
and AI that needs to be further investigated.
By observing theoretical relationships between
water saturation and Rt and AI it can be shown
that, after some mathematical manipulations over
their basic equations, Rt relates to AI through
aRw
Rt =
n
AI 2 ( hc m w ) m
(1)
(
)
w
hc
130
The blind test has shown that the ANN has Prediction of Sw distribution map
achieved a fairly good degree of training, and it is In transforming the R data into S Archie equation
w
also shown that there is indeed a correlation (i.e. (Archie, 1942) of t
pattern) that characterizes the Rt AI relationship.
This result confirms the preceding laboratory
a R
Swn = m w
works reported in Widarsono et al. (2003).
f Rt
(2)
Prediction of Rt distribution map
was used based on the assumption that the
131
comparison between predicted Sw and actual Conclusions
average Sw at well locations (Figure 5), it has
been concluded that the predicted Sw distribution From the study, some main conclusions have
been drawn:
map (Figure 6) is valid.
Despite high level of rock heterogeneity, an
obvious correlation between rock resistivity
Discussions of results
and acoustic impedance is observed.
By comparing the Sw distribution map presented The field trial has proved that the degree of
in Figure 6 to the top-structure map in the Figure
variation in resistivity is higher than in the
1, it is obvious that a satisfactory degree of
case of acoustic impedance hence allowing
consistence has been achieved. This is indicated
sharper interpretation of water saturation.
by the gradually increasing Sw values at positions
The field trial has proved successful. However,
near the oil-water contact (lower right of Figure
more trials on other fields are required for
6). The case is also true for low Sw values, despite
more firm confirmation and possible further
the variation, at middle parts of the structure.
development.
High Sw values at some spots in the middle are
probably high irreducible water saturation trapped The new method has provided a high degree
of flexibility in the interpretation of water
in low permeability parts.
saturation. This allows adjustments towards
When compared to the old Sw map presented in
reasonable values of water saturation that
Figure 2, the new Sw map presented in Figure 6
are acceptable from the point of view of
has shown more consistency. At locations close
geologists and engineers.
to the northern oil-water contact, the Sw values
are lower than values in the middle part of the
References
structure. This is logical for any locations in a
reservoir close to oil-water contact. The reverse Archie, G.E. (1942). The Electrical resistivity
is true for the old Sw map.
logs as an aid in determining some reservoir
Another significant difference between the two
characteristics, Transaction of AIME, 146,
Sw maps is that most values in the new Sw map
hal 54-62.
(within a range of 34% to 76%) are significantly Bishop, C.M. (1995). Neural Network for Pattern
higher than the values in the old Sw map (within a
recognition, Oxford University Press,
range of 11% to 44%). Apparently, the Sw values
London.
in the new map are more consistent whenever the Gassmann, F. (1951). Elastic waves through a
chosen Sw cut-off value of 70% for the reservoir
packing of spheres. Geophysics, 16, 673is applied. In this light, for locations close to oil685.
water contact, Sw values in the new map are close Saptono, F., Widarsono, B., Hardiman, H. &
to the cut-off value.
Kosasih (2003). Pembuktian hubungan
serial pada berbagai batuan formasi.
The difference in the Sw values between the
(Investigation on serial relationship for
two maps is possible to materialize since Sw
various formation rocks). (in Bahasa
re-analysis was made on the Rt map (including
Indonesia). Accepted for publication in
for the wells) prior to the new Sw distribution
Lembaran Publikasi Lemigas.
mapping. More representative a, m, n, and Rw data
was used (as well as other Sw models, if needed), Widarsono, B., Munadi, S., & Saptono, F.
(2001). Application of Soft Computing in
which in the end results in more reasonable Sw
Determining Petrophysical Properties from
values. Implicitly, it can be concluded that the
Seismic Survey in Soft Computing for
new method has provided very high level of
Reservoir Characterization and Modelling
flexibility for interpreting and distributing inter(edited by P.M. Wong et. al.), Springer
well Sw values. It may be said that the kind of
Verlag Publ., 586 pp. 217 figs., 3-7908flexibility typically characterizes the traditional
1421-0.
well-log analysis does now also characterize the
evaluation of seismic-derived water saturation.
132
Widarsono, B. And Saptono, F. (2004).
Resistivity data from a seismic survey?
An alternative approach to assist inter-well
water saturation mapping, SPE Paper
87065, SPE Asia Pacific Conference on
Integrated Modeling for Asset Management,
Kuala Lumpur, Malaysia, March 29-30.
Widarsono, B., Saptono, & Atmoko, H. (2003).
An intelligent approach for obtaining
true resistivity (Rt) from rock acoustic data
a laboratory verification, Lemigas
Scientific Contributions, no. 1/2003, p: 2 - 7.
Appendix
Vp =
Pd + f ( K f )
(A-1)
rb
Kf
Km
K
(1 d ) 2
Km
)f + ( K m K d )
Kf
Km
(A-3)
(A-8)
AI 2 ( hc w + w )
( w hc )
(A-10)
+ (1 f ) r
+ (1 S w ) r
(A-4)
where:
r
= Sw r
hc
(A-5)
Rt =
aRw
AI 2 ( hc m + w ) m
( w hc )
and the fluid incompressibility, Kf, which is the which is referred to as Equation 1 in the text.
inverse of compressibility, cf, is given by:
1
1
Kf =
=
(A-6)
cf
S w c w + (1 S w )c hc
Sari
Estimasi Ultimate Recovery factor (URF) untuk memperkirakan cadangan terambil ataupun
cadangan tersisa adalah sangat penting sebagai langkah awal pengembangan suatu lapangan. Studi
ini menggunakan data lapangan untuk membuat model reservoir dan selanjutnya mengembangkan
analisa sensitivitas pada parameter geologi dan reservoir dalam rangka menghasilkan korelasi recovery
factor baru. Lapangan X merupakan lapangan yang terletak di daerah cekungan Sumatera Selatan
(South Sumatera Basin), yang terdiri dari 31 titik serap dengan 3 sumur produksi yang masih aktif,
dengan reservoir berupa Formasi Talang Akar dan Baturaja. Dengan menggunakan metode simulasi
reservoir, dilakukan prediksi kinerja reservoir jika dilakukan waterflooding untuk meningkatkan
recovery factor.
Korelasi baru yang dikembangkan didasarkan pada metode Guthrie and Greenberger yang
mempertimbangkan beberapa parameter seperti permeabilitas, porositas, saturasi air awal, ketebalan,
dan viskositas minyak. Studi ini bertujuan untuk memperbaiki hasil antara recovery factor yang
ditentukan berdasarkan metode Guthrie and Greenberger dibandingkan dengan recovery factor
yang diperoleh dari korelasi usulan pada kasus waterflooding. Korelasi baru yang dihasilkan dapat
memperbaiki 15,29 %.terhadap korelasi yang ada sebelumnya.
Kata Kunci: Recovery factor, Waterflooding, Metode Guthrie and Greenberger
Abstract
Estimate Ultimate Recovery factor (EUR) to predict recoverable reserves or remaining
reserves is very important as the first step of field development. This study uses field data to make a
reservoir model and to develop sensitivity analysis in geology and reservoir parameter to determine
new recovery factor correlation. Field C is located in South Sumatera Basin that consists of 31 wells
include 3 active production wells which produce oil from Talang Akar and Baturaja Formation. Using
reservoir simulation method, we predict performance of reservoir with waterflooding to increase
recovery factor.
New correlation which develops is based on Guthrie and Greenberger method that consider
some of parameters such as permeability, porosity, initial water saturation, pay zone, and oil viscosity.
The purpose of this study is to correct the result of recovery factor that determined by Guthrie and
Greenberger method compare with recovery factor from propose correlation in waterflooding case.
The new correlation can correct 15.29 % of the old correlation.
Keywords: Recovery factor, Waterflooding, Guthrie and Greenberger Method
133
134
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kebutuhan dunia akan minyak terus meningkat seiring dengan berkembangnya industri.
Hal ini menjadi faktor pendorong dalam mengoptimalkan minyak yang dapat diangkat dari
reservoir. Salah satu cara yang dilakukan adalah
dengan meningkatkan recovery factor.
Tidak semua minyak yang berada di
dalam reservoir dapat diperoleh di permukaan dan
akan terdapat saturasi minyak tersisa yang sudah
tidak dapat diproduksikan lagi atau tertinggal.
Nilai ekonomis hidrokarbon yang tersisa dari
tahapan produksi primer (primary recovery)
dapat diusahakan untuk diproduksikan lagi dengan penerapan metode teknik produksi sekunder
(secondary recovery) yaitu metode injeksi air atau
waterflooding. Dengan metode ini diharapkan
akan dapat memperkecil nilai saturasi minyak
tertinggal sehingga dapat mengambil minyak
yang masih tertinggal di reservoir lebih banyak,
dengan demikian akan meningkatkan recovery
factor.
Salah satu cara untuk menentukan recovery factor adalah dengan menggunakan metode
Guthrie and Greenberger. Dalam perhitungan
menggunakan metode ini dipertimbangkan
beberapa parameter yaitu, permeabilitas,
porositas, saturasi air awal, ketebalan, dan
viskositas minyak. Metode lain yang dilakukan
adalah dengan melakukan simulasi untuk
menghitung total produksi kumulatif minyak dan
pada akhirnya ditentukan nilai recovery factor.
1.2 Tujuan Percobaan
Studi ini bertujuan untuk mengembangkan
korelasi baru yang lebih akurat untuk perhitungan
ultimate recovery factor di bawah kondisi reservoir
waterflooding dengan memakai simulasi reservoir
dengan bentuk umum persamaan Guthrie and
Greenberger.
1.3 Metodologi
Studi ini dilakukan dengan menggunakan
metode simulasi reservoir. Simulasi reservoir
adalah salah satu cara untuk membangun model
reservoir berdasarkan data geologi, geofisika,
pemboran, reservoir dan produksi. Tujuan
135
dingan antara produksi hidrokarbon maksimum
(Estimate Ultimate Recovery) terhadap cadangan
hidrokarbon mula-mula di tempat.
Penentuan ultimate recovery factor
biasanya didasarkan pada bukti keberhasilan
perolehan di reservoir lain yang dipandang
mempunyai batuan dan cekungan sedimen yang
sama sehingga diharapkan mengandung minyak
dan batuan dengan sifat fisik yang mirip dan
mempunyai mekanisme pendorongan yang sama.
Berdasarkan hal tersebut dikembangkan korelasi
yang menghubungkan recovery factor dengan
sifat fisik batuan dan fluida untuk jenis batuan
tertentu pada tekanan abandonment tertentu.
Berikut ini adalah korelasi yang digunakan untuk
menghitung nilai recovery factor.
2.1.1 Persamaan Empirik Arps2,3
Perasamaan empirik Arps untuk batuan
sandstone atau karbonat dengan mekanisme
pendorongan solution gas drive adalah sebagai
berikut:
f 1 Sw
E R ,o (%) = 41.815
Bob
0.1611
mob
0.0979
( )
0.3722
Sw
pb
pa
0.1741
(1)
Adapun untuk batuan sandstone
mekanisme pendorongan water drive:
f 1 Sw
E R ,o (%) = 54.898
Bob
0.0422
mob
0.0770
( )
Sw
0.1903
dengan
pb
pa
0.2159
(2)
Guthrie
and
Persamaan
empirik
Guthrie
and
Greenberger merupakan suatu metode empirik
yang digunakan untuk menentukan nilai recovery
factor untuk reservoir dengan waterdrive, yang
berdasarkan pada4:
1. Korelasi antara property batuan dan fluida
(3)
2.2 Waterflooding
Waterflooding merupakan salah satu
teknik produksi sekunder (secondary recovery)
yang dilakukan dengan menginjeksikan air untuk
mendorong minyak menuju sumur produksi.
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam metode
ini antara lain:
1. Pendesakan melibatkan dua fluida yang
tidak tercampur satu sama lain (immiscible),
yaitu air dan minyak. Implikasi dari asumsi
ini adalah terdapat bidang kontak yang jelas
diantara kedua fluida.
2. Proses pendesakan adalah imbibisi yaitu
air mendesak minyak dalam reservoir yang
bersifat water-wet. Implikasi dari asumsi ini
adalah permeabilitas relative dan tekanan
kapiler harus diukur dalam keadaan imbibisi.
3. Pendesakan bersifat incompressible karena
hanya melibatkan air sebagai fluida pendesak
dan minyak sebagai fluida yang didesak.
Implikasi dari asumsi ini adalah:
qt = qw + qo
4. Pendesakan terbatas pada geometri linier
dengan sumur injeksi dan produksi diperforasi
sepanjang ketebalan formasi yang didesak
tanpa memperhitungkan efek dari keberadaan
stream line (potensial konstan) di sekitar
sumur dan saturasi dianggap seragam di
setiap titik di reservoir.
III. Model Reservoir
3.1 Karakteristik dan Deskripsi Reservoir
Lapangan X merupakan sebuah lapangan yang terletak di cekungan Sumatera Selatan
(South Sumatera Basin), yang mulai berproduksi
dari tahun 1964 dan terdiri dari struktur penghasil
minyak yang mempunyai 31 titik serap dengan 3
136
sumur produksi yang
masih aktif sampai
akhir Mei 2007.
Berdasarkan
korelasi
sekuen
secara stratigrafik,
lapangan ini dibagi
ke dalam 4 batas
sikuen pada Formasi
Baturaja dan Talang
Akar yang dibagi
ke dalam 13 zona
reservoir
(TopBRF sampai SB-0).
Formasi Talang Akar Gambar 2. Kurva permeabilitas relatif sistem air-minyak pada lapisan top BRF
umumnya memiliki
analisa routine core dan special core analysis.
ketebalan 610 m dan merupakan endapan late Data yang diperoleh hanya dari hasil log.
syn-rift sampai post-rift. Formasi ini diendapkan Perhitungan permeabilitas relatif menggunakan
secara tidak selaras diatas Formasi Lahat dan hasil log dengan korelasi Standing. Dapat dilihat
setempat mengalami onlap dengan Formasi pada Gambar 2 untuk korelasi kurva permeabilitas
Lahat dan basement. Formasi ini pada umumnya air-minyak dengan saturasi air pada lapisan Top
didominasi oleh endapan klastik dan diendapkan BRF. Hasil analisa terhadap sampel core dan
pada ling kungan delta plain yang berubah ke log menunjukkan harga porositas yang cukup
arah basin-ward, pada umumnya ke arah barat besar tetapi permeabilitas cukup kecil. Kisaran
atau selatan, menjadi batu pasir dan batu lempung harga porositas yaitu 0,1784, sedangkan harga
marginal. Formasi Baturaja terdiri dari karbonat permeabilitas yaitu 13,3 md. Data ini diperoleh
paparan yang tersebar luas dengan ketebalan 20- dari nilai tengah atau median dari distribusi
75 m. Disertai karbonat build-up dan reef, dengan porositas dan permeabilitas. Distribusi porositas
ketebalan berkisar antara 60-120 m. Pembagian dan permeabilitas dapat dilihat pada Gambar 3
zona reservoir ini dapat dilihat pada Gambar 1.
dan Gambar 4.
3.1.1 Properti Batuan
3.1.2 Properti Fluida Reservoir
Pada lapangan X tidak tersedia hasil
Pada lapangan X juga tidak tersedia
analisa data PVT. Hasil analisa PVT sampel fluida
reservoir diperoleh dari perata-rataan hasil analisa
fluida pada beberapa sumur yang tercantum pada
data dan diperoleh hasil 0API = 33,50 dan Rs =
336,7 scf/stb. Dari data tersebut diketahui bahwa
jenis fluida tersebut adalah black oil.
3.1.3 Original Oil In Place (OOIP)
Dengan menggunakan nilai net to gross
rata-rata, oil formation volume factor (Bo),
porositas (), dan saturasi air (Sw), nilai Proven
Original Oil In Place (OOIP) sebesar 51,24
MMSTB dan OOIP tiap zona dapat dilihat pada
Tabel 1.
Gambar 1. Pembagian zona reservoir
137
History Matching dilakukan dari tahun
1964 - 2007 dengan mengubah beberapa parameter seperti permeabilitas, tekanan kapiler,
transmisibility, dll. Parameter yang diubah adalah
yang mempunyai tingkat error yang cukup
besar. Dalam history matching ini menggunakan
model aquifer berupa Carter Tracy. Hasil history
matching dapat dilihat pada Gambar 6, Gambar
7, dan Gambar 8.
3.2.3 Prediksi
Lapangan X sudah mulai berproduksi dari
tahun 1964 dengan rate produksi sekitar 200 stb/d.
Untuk mengoptimalkan produksi, pada tahun 2009
dilakukan waterflooding dan dilakukan prediksi
sampai tahun 2037. Waterflooding dilakukan
dengan menambah empat sumur injeksi dan
membuka kembali empat belas sumur produksi
138
Tabel 2. Daftar Schedule Untuk Prediksi
139
140
Grafik yang menunjukkan produksi
kumulatif, rate produksi, serta profil tekanan
dari masing-masing skenario optimum dapat
dilihat pada Gambar 13 sampai dengan Gambar
24. Sedangkan plot grafik keempat skenario
tersebut dapat dilihat pada Gambar 25, Gambar
26, Gambar 27, dan Gambar 28.
Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa
skenario paling optimum adalah skenario 3 karena memberikan nilai recovery factor yang
paling besar. Pada skenario 3 ini dapat dilihat
bahwa ketika BHP diturunkan, maka nilai recovery factor semakin meningkat sampai pada
titik optimumnya. Untuk nilai optimum terletak
pada control BHP = 800 psia karena pada nilai
tersebut nilai recovery factor memberikan nilai
yang paling maksimal yaitu 9,55 % dengan total
kumulatif produksi minyak sebesar 4.893.410
141
total kumulatif produksi liquid (FOPT) naik,
maka sebenarnya yang terproduksi lebih banyak
adalah air dan bukan minyak. Hal inilah yang
menyebabkan produksi minyak menurun sehingga
nilai recovery factor-nya pun menurun. Selain itu
pada dua skenario ini, tekanan yang diperlukan
untuk menginjeksikan air di permukaan sangat
besar dan melebihi dari initial pressure. Hal ini
Gambar 27. Grafik hasil prediksi skenario 3
menyebabkan untuk skenario ini diperlukan fasilitas permukaan yang cukup mahal, karena untuk
menginjeksikan air diperlukan tekanan yang
cukup besar untuk dapat menginjeksikan air ke
dalam sumur. Akibatnya tekanan kompresor yang
diperlukan juga cukup besar.
Hasil nilai recovery factor yang diperoleh
pada skenario 1 dan skenario 2 tidak terlalu
berbeda jauh yaitu hanya berbeda 0,04 % saja.
Gambar 28. Grafik hasil prediksi skenario 4
Trend ini sama seperti pada scenario 3 dan
STB, dan setelah BHP diturunkan terus nilai scenario 4, yaitu bahwa hasil waterflooding tidak
recovery factor sudah tidak akan meningkat lagi. akan berbeda jauh jika injeksi diletakkan sejajar
Tekanan yang diperlukan untuk menginjeksi air dengan pay zone ataupun jika diletakkan di bawah
sebesar 1400 psia, lebih tinggi sedikit daripada pay zone.
initial pressure.
Nilai optimum setiap skenario yang
Hasil yang diperoleh dari skenario 4 tidak dilakukan dapat dilihat pada Tabel 3.
terlalu berbeda jauh dari skenario 3, yaitu nilai
recovery factor sebesar 9.45 % dan perbedaannya IV. Sensitivity
hanya 0.1 % saja. Hal ini menunjukan bahwa
ketika dilakukan waterflooding pada zona 4.1. Sensitivity Analysis
sejajar dengan pay zone dibandingkan dengan
Karena pada studi ini ditujukan untuk
waterflooding pada zona di bawah pay zone,
menentukan korelasi baru dalam menentukan
nilai recovery factor nya tidak berbeda secara
recovery factor dan selanjutnya hasil yang
signifikan. Akan tetapi hasil paling optimum tetap
didapat akan dibandingkan dengan metode
dihasilkan pada waterflooding yang dilakukan
Guthrie and Greenberger, maka sensitivity
sejajar dengan pay zone (sweep injection).
dilakukan pada parameter-parameter yang mem
Skenario 1 dan skenario 2 memberikan bentuk persamaan tersebut, diantaranya adahasil dengan trend yang sama, yaitu semakin lah permeabilitas, porositas, saturasi air awal,
besar rate injeksi, maka nilai recovery factor ketebalan, dan viskositas minyak.
akan semakin menurun. Hal ini kemungkinan
Sensitivity tersebut dilakukan dengan
diakibatkan karena mobilitas air yang diinjeksikan
menggunakan simulasi reservoir dengan kasus
lebih besar daripada mobilitas minyak karena rate
optimum yang telah didapat pada prediksi
injeksinya terlalu besar. Oleh karena itu meskipun
dengan beberapa skenario, yaitu waterflooding
dengan skenario 3. Parameter-parameter
Tabel 3. Hasil nilai RF optimum setiap skenario
yang berpengaruh terhadap metode Guthrie
and Greenberger tersebut diubah tiap-tiap
nilainya pada input simu- lasi reservoir untuk
kemudian dilihat perbedaan nilai recovery
factor yang dihasilkan.
Sensitivity permeabilitas dilakukan dengan mengubah faktor pengali pada input
142
143
(4)
144
Tabel 5. Perbandingan RF simulasi dengan RF korelasi
4.3. Batasan
Batasan yang harus dipenuhi untuk
berlakunya persamaan ini adalah cakupan data
yang digunakan untuk input penentuan persamaan
tersebut, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
145
V. Kesimpulan Dan Saran
Kesimpulan
146
per satu, terima kasih banyak atas bantuan dan
doanya.
Daftar Simbol
Rs
Bo
=
=
o
RF
k
h
Swi
Np
=
=
=
=
=
=
=
IOIP =
Daftar Pustaka
Guthrie, R.K., and Greenberg-er, M.H., March,
1955: "Ihe Use of Multiple Correlation
Analyses for Inter-preting Petroleum
Engineering Data," API Paper 901-31-G,
New Orleans, La.
Arps, J. J., and Roberts, T. G.:"The Effect of
the Relative Per-meability Ratio, the
Oil Gravity, and the Solution Gas-Oil
Ratio on the Primary Recovery from a
Depletion Type Reservoir," Trans.AlME
(1955)204,120
Aprs, J.J., 1986: Estimation of Primary Oil
Reserves," Petroleum Transactions, T.P.
4331 Vol. 207.
Permadi, Asep Kurnia. 2004. Teknik Reservoir I.
Bandung.
Permadi, Asep Kurnia. 2004. Teknik Reservoir
II. Bandung.
Carcoana, A. 1992. Applied Enhanced Oil
Recovery, Prentice-Hall, Englewood
Cliffs, New Jersey.
Siregar, S. 2000. Teknik Peningkatan Perolehan,
Departemen Teknik Perminyakan ITB.
Sari
Permasalahan produksi yang berhubungan dengan terproduksinya pasir serta partikel-partikel
halus formasi lainnya merupakan hal yang sering terjadi pada sumur-sumur produksi di lapangan
minyak manapun. Masalah ini menyebabkan terjadinya penurunan produksi sumur dan kehilangan
produksi sumur bila terjadi kerusakan pada peralatan produksi dan penyumbatan pada daerah
perforasi. Usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah masalah tersebut adalah dengan menurunkan
laju produksi dibawah laju alir kritis kepasiran pada formasi, namun hal tersebut akan menyebabkan
produksi sumur yang tidak optimum dan tidak menjadi jaminan pasir formasi tidak akan ikut
terproduksi dengan terjadinya peningkatan produksi air dan penurunan tekanan pada reservoir selama
waktu produksi. Oleh karena itu upaya penanggulangan untuk mengatasi masalah kepasiran harus
dilakukan sedini mungkin dengan memperhatikan karakteristik formasinya.
Inside gravel packing (IGP) adalah salah satu metode yang diterapkan sebagai sand control
(pengendalian pasir). Hal ini dilakukan karena dapat memperbaiki kestabilan formasi, namun penerapan
IGP akan menurunkan produktifitas sumur sehingga diterapkan electrical submersible pump (ESP)
untuk memperbaiki produktifitas sumur. Hasil tes produksi menunjukkan IGP efektif untuk mencegah
terproduksinya pasir dan menghindarkan sumur dari kerusakan yang akan mengganggu produksi
sumur meskipun diterapkan ESP sebagai metode sembur buatan untuk meningkatkan produktifitas
sumur akan berakibat pada meningkatnya biaya operasi.
Kata Kunci: inside gravel packing, kepasiran, ESP, laju alir optimum
Abstract
Problems associated with sand and fine particles production often occur in oil field. This
problem caused declining and even losing of production rate in the event of damage to production
equipment and blockage of the perforation area. Effort to minimize sand production by reducing
production rate below sand critical flow rate, will lead to un-optimum production and there is no
guarantee that sand will not be reproduced again if water production increase and reservoir pressure
decrease during production life. Therefore, preventive efforts to overcome sand problem should be
done as early as possible with due regard to the characteristics of the formation.
Inside gravel packing (IGP) is one method of sand control. It can improve stability of the
formation, but the application of the IGP will reduce productivity so electrical submergible pump
(ESP) is applied to improve the well productivity. Production test indicated that application IGP is
effective to prevent sand production and prevent well from damage that would disrupt production
although when ESP is applied as a method of the artificial lift it will increase operating cost.
Keywords: inside gravel packing, sand problem, ESP, optimum production rate
147
148
Pendahuluan
Sumur X adalah salah satu sumur
produksi pada lapangan Y. Dimana pada sumur
ini memiliki formasi produktif Talang Akar dan
Baturaja. Hasil uji kandung lapisan (DST) yang
dilakukan pada akhir tahun 1975 pada sumur
ini diperoleh 32 barrel minyak dari formasi
Baturaja dan 7650 barrel dari formasi Talang
Akar. Pada awal produksinya pertengahan tahun
1976 produksi dilakukan secara commingle dari
kedua formasi tersebut dengan menerapkan ESP
sebagai metode sembur buatan tanpa ada metode
pencegahan kepasiran. Awal sumur ini diproduksi
diperoleh laju produksi minyak 5100 BOPD.
Seiring waktu produksi maka pada awal tahun
1977 sumur tersebut mulai mengalami masalah
terutama kepasiran, hal ini sebenarnya telah
teridentifikasikan saat penggantian ESP akibat
kepasiran pada waktu awal diproduksikan namun
kepasiran mulai mengganggu produktifitas sumur
sejak awal tahun 1977 karena terjadi kerusakan
ESP yang berulang hanya dalam waktu singkat
sekitar 7 12 hari.
Penanggulangan awal yang dilakukan
untuk mengatasi kepasiran tersebut adalah
dengan melakukan pembersihan disekitar daerah
perforasi. Pada bulan Mei 1977 sumur mengalami
penurunan produktifitas karena kepasiran
menjadi 1000 BOPD dengan water cut 20%
sehingga dilakukan kerja ulang mengkonsolidasi
pasir dengan metode kimia menggunakan sand
consolidation pada bulan Agustus 1977. Namun
metode sand consolidation tersebut rusak pada
Juli 1978 sehingga pada akhir Agustus 1978
dilakukan kerja ulang. Pekerjaan ini menurunkan
produktifitas sumur dari 2000 BFPD menjadi
500 BFPD. Untuk menanggulangi kehilangan
produktifitas sumur maka dilakukan pekerjaanpekerjaan pengasaman (acidizing) untuk
memperbaiki plugging (penyumbat) disekitar
zona perforasi. Oktober 1978 dilakukan
penutupan pada zona perforasi Baturaja karena
tidak memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap produksi berdasarkan data Drill Stem
Test (DST) terakhir yang dilakukan pada sumur
tersebut. Hingga pada April 1979 dilakukanlah
pemasangan IGP untuk menanggulangi kepasiran
dan secara bersamaan diterapkan ESP untuk
meningkatkan produktifitas sumur.
Rock Description
Cementation
Factor, m
Unconsolidated Rocks
(loose sand, oolitic, limestone)
1.3
1.4-1.5
Slighly Cemented
(most sands with 20% porosity
or more)
1.6-1.7
Moderately Cemented
(highly consolidated sands of
15% porosity or less)
1.8-1.9
Highly Cemented
(low-porosity sands, quartzite,
limestone, dolomite of
intergranular porosity, chalk)
2.0-2.2
149
tersebut diterapkan untuk mendapatkan laju
alir yang maksimum dimana terkadang laju
alir produksi aktualnya melebihi nilai dari
sand critical rate (laju alir kritis kepasiran)
sumur itu sendiri, dimana besar laju alir
kritis dari formasi Talang Akar pada sumur
tersebut adalah 2303 BFPD. Nilai tersebut
didapatkan berdasarkan metode berikut:
QZ = 0 ,025 x10 6
K Z N Z GZ AZ
BZ Z At
................ (1)
Dimana:
Qz
Kz
Nz
Gz
Bz
z
Az
At
:
:
:
:
:
:
:
150
produksi yang besar maka hal tersebut memberikan
gaya seret yang besar terhadap kerekatan butirbutir pasir. Sehingga menyebabkan butiran pasir
formasi terlepas sehingga menurunkan kestabilan
formasi. Metode ini diterapkan pada Agustus
1977 dan gagal pada Juli 1978 karena tidak cukup
kuat untuk menahan butiran pasir saat sumur
diupayakan untuk mendapatkan laju alir yang
besar, sehingga pasir terakumulasi pada interval
perforasi dan merusak ESP (Gambar 1).
Sehingga untuk menanggulangi masalah
kepasiran pada sumur X maka diterapkan IGP,
karena metode ini merupakan penanggulangan
kepasiran secara mekanis sehingga selain
meningkatkan kestabilan butir-butir formasi juga
lebih stabil terhadap gaya seret yang terjadi antara
fluida dan butir-butir pasir formasi saat diupayakan
mendapatkan laju alir yang lebih besar (diatas
laju alir kepasirannya), meningkatkan kestabilan
formasi dan lebih tahan terhadap gaya seret dari
fluida produksi.
Untuk mendapatkan hasil yang optimum
dari penerapan IGP maka dilakukan analisa
terhadap butir pasir formasi dengan sieve analysis
sehingga didapatkan distribusi pasir formasi
(Tabel 2 dan Gambar 2).
Dari hasil analisa tersebut diketahui bahwa
pemilahan ukuran butir pasir formasi adalah
151
mencegah ikut terproduksinya pasir setelah
terjadinya penurunan tekanan formasi dan
peningkatan produksi air.
Pemasangan IGP sangat berpengaruh
terhadap penurunan produktifitas formasi karena
memperbesar penurunan tekanan yang melalui
komplesi tersebut karena terjadi penghambatan
dari formasi menuju lubang sumur (Gambar 4).
152
7. Densitas perforasi pada sumur X
mempengaruhi besar penurunan tekanan,
semakin besar densitas maka semakin kecil
penurunan tekanannya.
Acuan
Data internal perusahaan.
Economides, M.J., Hill, A.D. and Economides
C.E.,1993. Petroleum Production System.
Prentice Hall PTR, New Jersey, h.119-132.
Kermit E.Brown. et al. 1984. Technology of
Artificial Lift Methods, Vol.4. Tulsa,
Oklahoma. PennWell Books.
Syahrani. dkk. 2001. Aplikasi Slotted Liner
Completion sebagai Sand Control pada
Sumur-sumur Horizontal Dilapangan Attaka
Unocal Indonesia, Proceeding Simposium
Nasional IATMI, Yogyakarta 3-5 Oktober.
Sparlin D.D.1993. Sand Control, Internationnal
Training and Development, Houston.
William K. and Joe D.W. 2003. World Oil-Modern
Sandface Completion Practices Handbook.
2nd Ed. Gulf Publishing, Houston, Texas.
154
I. INTRODUCTION
155
can be written (Begg, 1991):
dp dp dp dp
= + +
dL dL el dL f dL acc
(Eq. 1)
dp
Where is the pressure gradient due to ele dL el
dp
156
157
4
4
150
30
1750
1800
250
6000
80
0.37
1600
6000
yes
yes
Calculated dP@Orifice
Beggs and Brill
Petroleum Experts 2
1684
337
1.755
1750
14
5663.2
6000
MMscfd
MMscfd
psig
psig
psig
psig
psig
feet
percent
psi/ft
scf/STB
STB/day
Inflow Type
Completion Type
Sand Control
Gas Coning
Reservoir Model
M&G Skin Model
Compaction Permeability
Relative Permeability
Formation PI
Absolute Open Flow (AOF)
Reservoir Pressure
Reservoir Temperature
Water Cut
Total GOR
Reservoir Permeability
STB/day
STB/day
MMscfd
psig
64ths inch
feet
feet
Figure 5. Pressure vs. depth plot during unloading and PCTGL operation (PROSPER, 2010)
Single Branch
Cased Hole
None
No
Darcy
Skin by Hand
No
No
10.43
11094
2600
220
88
1500
294
STB/day/psi
STB/day
psig
deg F
percent
scf/STB
md
158
159
(a)
(b)
Figure 7 (a) Surface configuration of PCTGL consisting of (A) block X-mast tree supports tee-spool; (B) CT hanger; (C)
PCTGL gripped by donut; and (D) CT slip. (b) PCTGL surface picture of well N-254L. (VICO Indonesia, 2010a)
160
Challenges
The challenge of using PCTGL is that PCTGL
depth must be optimized in terms of liquid level.
Declining reservoir pressure may result in lower
liquid level with a consequence that gas lift
operation must be set lower. PCTGL can still
be retrieved using coil tubing unit. However,
possibility of scale plugging in the nozzles must
be taken into consideration in case that there is
no pressure communication between PCTGL
and annulus. Special attention has to be taken to
understand the nature of scales in the wellbore
and the most appropriate manner to prevent their
generation.
IV. SUMMARY
1. PCTGL is proven method of gas lifting in
monobore wells. In Nilam case, 345 BOPD
is gained from a dead monobore oil well
and subsequently the well still produced
127 BOPD after four months of PCTGL
installation.
2. Flow restriction occurs when nozzle get
plugged by scale because of which the PCTGL
unit has to be retrieved and serviced/cleaned.
3. Continuous optimization of PCTGL depth has
to be carried out due to continuous decline of
reservoir pressure.
ACKNOWLEDGEMENTS
The authors would like to thank Pak Bambang
Ismanto and Mr. Bill Turnbull from VICO
Indonesia for encouraging the writing of this
paper.
NOMENCLATURE
r L = liquid density
r g = gas density
H L = Hold-up factor
C = Constant
f = friction factor
r m = density of mixture
qL = liquid rate
q g = gas rate
d = diameter of pipe
REFERENCES
Baker Hughes (2010). Coil Tubing Solutions,
Baker Hughes Manual Handbook, Houston,
Texas.
Beggs, D. (1991). Optimization using Nodal
Analysis, OGCI and Petroskills Publications, Tulsa, Oklahoma.
Prosper (software) (2010), Petroleum Experts,
Edinburgh, United Kingdom.
Vico Indonesia (2010a). Nilam Field Database.
Unpublished meterial.
Vico Indonesia (2010b). Production Rate Database 2010. Unpublished material.
INDEKS
A
absence of mandrel 153
air formasi 113,114,115,116,117,118,119,120
,121,122
artificial intelligence 127
C
core sintetik 113,115
cost efficiency
153
E
efisiensi biaya
153
ESP
147,148,149,150,151
133
I
inside gravel packing 147,150
K
kecerdasan semu
127
kepasiran
113,114,120,147,148,149,150,151
ketiadaan mandrel 153
L
laju alir optimum
147,151
M
Metode Guthrie and Greenberger
141,144,145
monobore well
153,154,160
O
optimum production rate
133,134,
147
P
permanent coil tubing gas lift
peta saturasi air
127
113,114,115,116,120
S
sand consolidation 113,148,149,151
sand problem 113,114,147
saturasi air 113,115,116,117,118,119,120,127
,133,134,136,141,143,145
seismic 127,128,129,130,131,132
seismik 127
synthetic core 113
T
tahanan jenis formasi 127
F
formation true resistivity
127
formation water
113,130
G
Guthrie and Greenberger Method
resin epoxy
153,155
R
Recovery factor
133,134,135,139,140,141,
142,143,144,145,153
W
Waterflooding
133,134,135,137,138,140,
141,143,144,145
water saturation
113,127,128,129,130,131,
132,133,144,145
water-saturation map 127,128