You are on page 1of 25

Tinjauan Pustaka

Bab 1
Pendahuluan
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa
tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium. SKA terdiri atas angina
pektoris tidak stabil, infact myocard acute (IMA) yang disertai elevasi segmen ST dan penderita
dengan infark miokardium tanpa elevasi ST.1
SKA ditetapkan sebagai manifestasi klinis penyakit arteri koroner. Penyakit jantung koroner
(PJK) merupakan manifestasi utama proses aterosklerosis. Yaitu suatu fase akut dari Angina
Pektoris Tak Stabil (APTS) yang disertai IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi
(NSTEMI) atau tanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena
adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil (Vulnerable).2
Sindrom ini menggambarkan suatu penyakit yang berat, dengan mortalitas tinggi. Mortalitas
tidak tergantung pada besarnya prosentase stenosis (plak) koroner, namun lebih sering ditemukan
pada penderita dengan plak kurang dari 5070% yang tidak stabil, yakni fibrous cap dinding
(punggung) plak yang tipis dan mudah erosi atau ruptur. Terminologi sindrom koroner akut
berkembang selama 10 tahun terakhir dan telah digunakan secara luas. Hal ini berkaitan dengan
patofisiologi secara umum yang diketahui berhubungan dengan kebanyakan kasus angina tidak
stabil dan infark miokard: baik Angina tidak stabil, infark miokard tanpa gelombang Q, dan
infark miokard gelombang Q mempunyai substrat patogenik umum berupa lesi aterosklerosis
pada arteri koroner.2
Terminologi yang akan sering dipakai pada penderita Angina Pectoris adalah perasaan berat,
sesak, ditekan, didorong atau diremas. Angina Pectoris yang khas biasanya akan terasa
di tengah dada/belakang sternum (retrosternal) dan akan menjalar ke dagu dan/atau ke lengan.
Angina bisa rasanya dari nyeri ringan sampai ke paling nyeri dan timbul keringatan dingin dan
perasaan cemas. Kadang kala akan berserta dengan sesak nafas. Angina sering dipicu dengan
aktivitas fisik terutama setelah makan dan pada cuaca yang dingin, dan kebanyakan dicetus oleh
perasaan marah atau gembira. Nyeri akan hilang cepat (biasanya berapa menit) dengan istirahat.
Kadang kala perasaan itu akan hilang sendiri dengan teruskan aktivitas.1

Tinjauan Pustaka

Gambar 1. Angina Pektoris pada SKA1

Istilah ACS banyak digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian yang gawat pada
pembuluh darah koroner. ACS merupakan satu sindrom yang terdiri dari beberapa penyakit
koroner yaitu, unstable angina, Acute Myocardial Infarction dengan segmen ST elevasi (STEMI)
dan Acute Myocardial Infarction tanpa segmen ST elevasi (NSTEMI), maupun angina pektoris
pasca infark atau pasca tindakan intervensi koroner perkutan. Alasan rasional menyatukan semua
penyakit itu dalam satu sindrom adalah karena mekanisme patofisiologi yang sama. Semua
disebabkan oleh terlepasnya plak yang merangsang terjadinya agregasi trombosit dan trombosis,
sehingga pada akhirnya akan menimbulkan stenosis atau oklusi pada arteri koroner dengan atau
tanpa emboli. Sedangkan letak perbedaan antara angina tak stabil, infark Non-elevasi ST dan
dengan elevasi ST adalah dari jenis thrombus yang menyertainya. Angina tak stabil dengan
trombus mural, Non-elevasi ST dengan thrombus inkomplet/nonklusif, sedangkan pada elevasi
ST adalah trombus komplet/oklusif.2
Proses terjadinya thrombus dimulai dengan gangguan pada salah satu dari Trias Virchow;
kelainan pada pembuluh darah, gangguan endotel, serta aliran darah terganggu. Selanjutnya
proses aterosklerosis mulai berlaku, inflamasi, dan formasi plak di pembuluh darah. Pada suatu
saat, terjadi rupture/fissure pada plak dan akhirnya menimbulkan thrombus yang akan
menghambat pembuluh darah. Apabila pembuluh darah tersumbat 100% maka terjadi STEMI.
Namun bila sumbatan tidak total, tidak terjadi infark, hanya UA atau NSTEMI.2

Tinjauan Pustaka

Bab II
Definisi dan Epidemiologi
2.1 Definisi
Sindrom koroner akut adalah gabungan gejala klinik yang menandakan iskemia
miokard akut, yang terdiri dari infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST segment
elevation myocardial infarction = STEMI), infark miokard akut tanpa elevasi segmen
ST (non ST segment elevation myocardial infarction = NSTEMI), dan angina pectoris tidak
stabil (unstable angina pectoris = UAP). Ketiga kondisi tersebut berkaitan erat,
hanya berbeda dalam derajat beratnya iskemia dan luasnya jaringan miokardiaum yang
mengalami nekrosis. UAP dan

NSTEMI merupakan suatu kesinambungan dengan

kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis. Perbedaan antara angina pectoris tidak
stabil (UAP) dengan infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) adalah
apakah iskemi yang ditimbulkan cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan
miokardium, sehingga adanya marker kerusakan miokardium dapat diperiksa.1
2.2 Epidemiologi
Penyakit jantung koroner terus-menerus menempati urutan pertama di antara jenis penyakit
jantung lainnya, dan angka kesakitannya berkisar antara 30 sampai 36,1%. Diagnosis
NSTEMI lebih sulit untuk ditegakkan dibanding diagnosis STEMI. Oleh karena itu
perkiraan prevalensinya menjadi lebih sulit. Secara keseluruhan, data menunjukkan bahwa
kejadian NSTEMI dan UA tahunan lebih tinggi daripada STEMI. Perbandingan antara SKA
dan NSTEMI telah berubah seiring waktu, karena laju peningkatan NSTEMI dan UA relatif
terhadap STEMI tanpa penjelasan yang jelasmengenai perubahan ini. Perubahan dalam pola
kejadian NSTEMI dan UA mungkin dapat dihubungkan dengan perubahan dalam
manajemen serta upaya pencegahan penyakit jantung koroner selama 20 tahun terakhir.
Secara keseluruhan, dari berbagai penelitian, didapatkan bahwa kejadian tahunan dari
penerimaan rumah sakit untuk NSTEMI dan UA sekitar 3 per 1000 penduduk.1

Bab III
Faktor Resiko

Tinjauan Pustaka

3.1 Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi


1. Usia
Kerentanan yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Tetapi hubungan antara usia
dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan lama paparan yang lebih panjang
terhadap faktor-faktor aterogenik.
2. Jenis kelamin
Kejadian penyakit koroner relatif lebih rendah pada wanita sampai menopause,
setelah menopause kerentanannya menjadi sama dengan pria. Efek perlindungan
estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita sebelum menopause.
3. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (yaitu saudara atau
orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan
kemungkinan timbulnya aterosklerosis prematur. Komponen genetik dapat dikaitkan pada
beberapa bentuk aterosklerosis yang nyata, atau yang cepat perkembangannya, seperti
pada gangguan lipid familial. Tetapi riwayat keluarga dapat pula mencerminkan
komponen lingkungan yang kuat, seperti gaya hidup yang menimbulkan stres atau
obesitas.1
3.2 Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
1. Merokok
Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek langsung terhadap
dinding arteri. Karbon monoksida (CO) dapat menyebabkan hipoksia jaringan arteri,
nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang dapat menambahkan reaksi
trombosit dan menyebabkan kerusakan pada dinding arteri, sedangkan glikoprotein
tembakau dapat mengakibatkan reaksi hipersensitif dinding arteri.
2. Hiperlipidemia
Lipid plasma (kolesterol, trigliserida, fosfolipida, dan asam lemak bebas) berasal dari
makanan (eksogen) dan sintesis lemak endogen. Kolesterol dan trigliserida adalah dua
jenis lipd yang relatif mempunyai makna klinis yang penting sehubungan dengan
aterogenesis. Lipid terikat pada protein, karena lipid tidak larut dalam plasma. Ikatan ini
menghasilkan empat kelas utama lipoprotein, yaitu; kilomikron, VLDL, LDL dan HDL.
LDL paling tinggi kadar kolesterolnya, sedangkan kilomikron dan VLDL kaya akan
trigliserida. Kadar protein tertinggi terdapat pada HDL. Peningkatan kolesterol LDL
dihubungkan dengan meningkatnya resiko penyakit jantung koroner, sementara kadar
4

Tinjauan Pustaka

HDL yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung penyakit

jantung

koroner,

sebaliknya kadar HDL yang rendah ternyata bersifat aterogenik.


3. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompaan
darah dari ventrikel kiri, akibatnya beban kerja jantung bertambah. Sebagai akibatnya
terjadi hipertrofi ventrikel untuk menguatkan kontraksi. Akan tetapi kemampuan
ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan hipertropi kompensasi
akhirnya terlampaui, tejadi dilatasi dan payah jantung. Jantung jadi semakin terancam
dengan adanya aterosklerosis koroner. Kebutuhan oksigen miokardium meningkat
sedangkan suplai oksigen tidak mencukupi, akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau
berlangsung lama bisa menjadi infark. Disamping itu, hipertensi dapat meningkatkan
kerusakan endotel pembuluh darah akibat tekanan tinggi yang lama (endothelial injury).
4. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus menyebabkan gangguan lipoprotein. LDL dari sirkulasi akan di
bawa ke hepar. Pada penderita diabetes mellitus, degradasi LDL di hepar menurun, dan
gikolasi kolagen meningkat. Hal ini mengakibatkan meningkatnya LDL yang
berikatan dengan dinding vaskuler.
5. Obesitas
Kegemukan mungkin bukan faktor resiko yang berdiri sendiri, karena pada umumnya
selalu diikuti oleh faktor resiko lainnya.1

Bab IV
Patogenesis dan Patofisiologi

4.1 Patogenesis
Mekanisme umum terjadinya SKA adalah ruptur atau erosi lapisan fibrotik dari plak arteri
koronaria. Hal ini mengawali terjadinya agregasi dan adhesi platelet, trombosis
terlokalisir, vasokonstriksi, dan embolisasi trombus distal. Keberadaan kandungan lipid yang
banyak dan tipisnya lapisan fibrotik, menyebabkan tingginya resiko ruptur plak arteri
koronaria. Pembentukan trombus

dan terjadinya

vasokonstriksi

yang disebabkan
5

Tinjauan Pustaka

pelepasan serotonin

dan

tromboxan

A2

oleh

platelet

mengakibatkan

iskemik

miokardium yang disebabkan oleh penurunan aliran darah koroner. Aterosklerosis adalah
bentuk arteriosklerosis dimana terjadi penebalan dan pengerasan dari dinding pembuluh
darah

yang

disebabkan

oleh

akumulasi

makrofag

yang berisi

lemak

sehingga

menyebabkan terbentuknya lesi yang disebut plak. Aterosklerosis bukan merupakan


kelainan tunggal namun merupakan proses patologi yang dapat mempengaruhi system
vaskuler seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan sindroma iskemik yang bervariasi
dalam manifestasi klinis dari tingkat keparahan. Hal tersebut merupakan penyebab utama
penyakit arteri koroner.2
Oksidasi LDL merupakan langkah terpenting pada atherogenesis. Inflamasi dengan
stress oksidatif dan aktivasi makrofag adalah mekanisme primer. Diabetes mellitus, merokok,
dan hipertensi dihubungkan dengan peningkatan oksidasi LDL yang dipengaruhi oleh
peningkatan kadar angiotensin II melalui stimulasi reseptor AT-I. Penyebab lain dapat berupa
peningkatan C-reactive protein, peningkatan fibrinogen serum, resistensi insulin, stress
oksidatif, infeksi dan penyakit periodontal. LDL teroksidasi bersifat toksik terhadap sel
endotel dan menyebabkan proliferasi sel otot polos, aktivasi respon imun dan inflamasi.
LDL teroksidasi masuk ke dalam tunika intima dinding arteri kemudian difagosit oleh
makrofag. Makrofag yang mengandung oksi LDL disebut foam cell berakumulasi dalam
jumlah yang signifikan maka akan membentuk jejas fatty streak. Pembentukan lesi tersebut
dapat ditemukan pada dinding pembuluh darah sebagian

orang

termasuk

anak-anak.

Ketika terbentuk, fatty streak memproduksi radikal oksigen toksik yang lebih banyak
dan mengakibatkan perubahan inflamasi dan imunologis sehingga terjadi kerusakan yang
lebih progresif. Kemudian terjadi proliferasi sel otot polos, pembentukan kolagen dan
pembentukan plak fibrosa di atas sel otot polos tersebut. Proses tersebut diperantarai
berbagai macam sitokin inflamasi termasuk growth factor (TGF beta).3
Plak fibrosa akan menonjol ke lumen pembuluh darah dan menyumbataliran darah ysng lebih
distal, terutama pada saat olahraga, sehingga timbul gejala klinis (angina atau claudication
intermitten). Banyak plak yang unstable (cenderung menjadi ruptur) tidak menimbulkan
gejala klinis sampai plak tersebut mengalami ruptur. Ruptur plak terjadi akibat aktivasi
reaksi inflamasi

dari

proteinase

seperti

metalloproteinase

matriks

dan

cathepsin

Tinjauan Pustaka

sehingga menyebabkan perdarahan pada lesi. Plak atherosklerosis dapat diklasifikasikan


berdasarkan strukturnya yang memperlihatkan stabilitas dan kerentanan terhadap ruptur.
Plak yang menjadi ruptur merupakan plak kompleks. Plak yang unstable dan cenderung
menjadi rupture adalah plak yang intinya banyak mengandung deposit LDL teroksidasi dan
yang diliputi oleh fibrous caps yang tipis. Plak yang robek (ulserasi atau rupture) terjadi
karena shear forces, inflamasi dengan pelepasan mediator inflamasi yang multiple,
sekresi macrophage-derived degradative enzyme dan apotosis sel pada tepi lesi. Ketika
rupture, terjadi adhesi platelet terhadap jaringan yang terpajan, inisiasi kaskade
pembekuan darah, dan pembentukan thrombus yang sangat cepat. Thrombus tersebut dapat
langsung menyumbat pembuluh darah sehingga terjadi iskemia dan infark.2,3

Gambar
2.

Proses
Pembentukan Plaque dan Trombus pada Pembuluh Darah Koroner

4.2 Patofisiologi
Proses progresifitas dari plak atherosklerotik dapat terjadi perlahan-lahan. Namun,
apabila terjadi obstruksi koroner tiba-tiba karena pembentukan thrombus akibat plak
aterosklerotik yang rupture atau mengalami ulserasi, maka terjadi sindrom koroner akut.
1. Unstable angina : adalah akibat dari iskemi miokard reversibel dan dapat
mencetuskan terjadinya infark.
2. Infark miokard : terjadi apabila iskemia yang berkepanjangan menyebabkan
kerusakan ireversibel dari otot jantung.1
4.2.1 Unstable Angina

Tinjauan Pustaka

Muncul akibat berkurangnya suplai oksigen dan/atau peningkatan kebutuhan oksigen


jantung (contoh karena takikardi atau hipertensi). Berkurangnya suplai oksigen terjadi
karena adanya pengurangan diameter lumen pembuluh darah yang dipengaruhi oleh
vasokonstriktor dan/atau thrombus. Pada banyak pasien unstable angina, mekanisme
berkurangnya suplai oksigen lebih banyak terjadi dibandingkan peningkatan oksigen
demand. Tetapi pada beberapa kasus, keduanya dapat terjadi secara bersamaan.

Ruptur Plak
Ruptur dari plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting dari angina pektoris tak
stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang
sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Dua pertiga dari pembuluh yang
mengalami rutur sebelumnya mempunyai penyempitan 50 % atau kurang, dan pada 97
% pasien dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70 %.
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan
menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus. Bila thrombus menutup pembuluh
darah 100 % akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus
tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi
angina tak stabil.

Trombosis dan Agregasi Trombosit


Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya
angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena
integrasi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak
merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit,
sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak tak stabil.
Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa
untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin
dan fibrin. Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan
platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas,
vasokonstriksi dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan
dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai
trombosis yang intermitten, pada angina tak stabil.

Vasospasme
8

Tinjauan Pustaka

Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil.
Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh
platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan
spasme.

Erosi pada Plak Tanpa Ruptur


Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi dan
migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan
bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan
pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemi.3,4

4.2.2 Infark Miokard


Ketika aliran darah koroner terganggu pada waktu tertentu, dapat terjadi nekrosis sel
miosit. Hal tersebut disebut infark miokard. Gangguan, progresivitas plak, dan
pembentukan klot lebih lanjut yang terjadi pada MI sama halnya seperti yang terjadi pada
sindrom koroner akut yang lainnya. Namun, pada MI trombusnya lebih labil dan dapat
menyumbat pembuluh darah dalam waktu yang lebih lama, sehingga iskemia miokardial
dapat berkembang menjadi nekrosis dan kematian miosit. Jika thrombus lisis sebelum
terjadinya nekrosis jaringan distal yang komplet, infark yang terjadi hanya melibatkan
miokardium yang berada langsung di bawah endokardium (subendocardial MI). Jika
thrombus menyumbat pembuluh darah secara permanent, maka infarknya dapat
memanjang hingga epikardium sehingga menyebabkan disfungsi jantung yang parah
(transmural MI). Secara klinis, MI transmural harus diidentifikasi, karena dapat
menyebabkan komplikasi yang serius dan harus mendapat terapi yang segera.

Jejas Selular
Sel jantung dapat bertahan terhadap iskemi hanya dalam waktu 20 menit sebelum
mengalami kematian. Perubahan EKG hanya terlihat pada 30-60 detik setelah hipoksia.
Bahkan jika telah terjadi perubahan metabolisme yang non fungsional, sel miosit tetap
viable jika darah kembali dalam 20 menit. Penelitian menunjukkan bawa sel miosit dapat
beradaptasi terhadap perubahan suplai oksigen. Proses tersebut dinamakan ischemic
preconditioning. Setelah 8-10 detik penurunan aliran darah, miokardium yang terlibat
menjadi sianotik dan lebih dingin.

Tinjauan Pustaka

Kekurangan oksigen juga disertai gangguan elektrolit Na, K, dan Mg. secara normal
miokardium berespon terhadap kadar katekolamin (epinefrin dan norepinefrin/NE) yang
bervariasi. Pada sumbatan arteri yang signifikan, sel miokardium melepaskan
katekolamin sehingga terjadi ketidakseimbangan fungsi simpatis dan parasimpatis,
disritmia dan gagal jantung.
Katekolamin merupakan mediator pelepasan dari glikogen, glukosa dan cadangan lemak
dari sel tubuh. Oleh karena itu terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas dan gliserol
plasma dalam satu jam setelah timbulnya miokard akut. Kadar FFA (Free Fatty Acid)
yang berlebih memiliki efek penyabunan terhadap membran sel. NE meningkatkan kadar
glukosa darah melalui perangsangan terhadap sel hepar dan sel otot. NE juga
menghambat aktivitas sel beta pankreas sehingga produksi insulin berkurang dan terjadi
keadaan hiperglikemia. Hiperglikemia terjadi setelah 72 jam onset serangan.
Angiotensin II yang dilepaskan selama iskemia miokard berkontribusi dalam patogenesis
MI, dengan cara yaitu: (1)Efek sistemik dari vasokonstriksi perifer dan retensi cairan
sehingga meningkatkan beban jantung, akibatnya memperparah penurunan kemampuan
kontraktilitas jantung. (2) Angiotensin II mempunyai efek lokal yaitu sebagai growth
factor sel otot polos pembuluh darah, miosit dan fibroblast jantung, sehingga merangsang
peningkatan kadar katekolamin dan memperparah vasospasme koroner.

Kematian Selular
Iskemia miokard yang berlangsung lebih dari 20 menit merupakan jejas hipoksia
irreversible yang dapat menyebabkan kematian sel dan nekrosis jaringan. Nekrosis
jaringan miokardium dapat menyebabkan pelepasan beberapa enzim intraseluler tertentu
melalui membrane sel yang rusak ke dalam ruang intersisisal.Enzim yang terlepas
kemudian diangkut melalui pembuluh darah limfe ke pembuluh darah.Sehingga dapat
terdeteksi oleh tes serologis.

Perubahan Fungsional dan Structural


Infark miokardial menyebabkan perubahan fungsional dan struktural jantung. Perubahan
makroskopis pada daerah infark tidak akan terlihat dalam beberapa jam. Walaupun dalam
30-60 detik terjadi perubahan EKG. Miokardium yang infark dikelilingi oleh zona jejas
hiposia yang dapat berkembang menjadi nekrosis, kemudian terjadi remodeling atau
menjadi normal kembali. Perubahan fungsional termasuk: (1)Penurunan kontraktilitas
jantung dengan gerak dinding jantung abnormal, (2)Perubahan compliance dari ventrikel
10

Tinjauan Pustaka

kiri, (3)Penurunan stroke volume, (4)Penurunan fraksi ejeksi, (5)Peningkatan tekanan


akhir diastolik ventrikel kiri, (6)Malfungsi dari SA node, (7)Disritmia yang mengancam
jiwa dan gagal jantung sering menyertai MI.

Fase Perbaikan
Infark miokard menyebabkan respon inflamasi yang parah yang diakhiri dengan
perbaikan luka. Perbaikan terdiri dari degradasi sel yang rusak, proliferasi fibroblast dan
sintesis jaringan parut. Banyak tipe sel, hormone, dan substrat nutrisi harus tersedia agar
proses penyembuhan dapat berlangsung optimal. Dalam 24 jam terjadi infiltrasi lekosit
dalam jaringan nekrotik dan degradasi jaringan nekrotik oleh enzim proteolisis dari
neutrofil scavenger.
Fase pseudodiabetik sering timbul oleh karena lepasnya katekolamin dari sel yang rusak
yang dapat menstimulasi lepasnya glukosa dan asam lemak bebas. Pada minggu kedua,
terjadi sekresi insulin yang meningkatkan pergerakan glukosa dan menurunkan kadar
gula darah. Pada 10-14 hari setelah infark terbentuk matriks kolagen yang lemah dan
rentan terhadap jejas yang berulang. Pada masa itu, biasanya individu merasa sehat dan
meningkatkan aktivitasnya kembali sehingga proses penyembuhan terganggu. Setelah 6
minggu, area nekrosis secara utuh diganti oleh jaringan parut yang kuat namun tidak
dapat berkontraksi seperti jaringan miokardium yang sehat.3,4

Bab V
Diagnosis
Diagnosis angina pectoris tidak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi sedangkan
tidak ada kenaikan troponin maupun CK-MB dengan ataupun tanpa perubahan EKG untuk
iskemi, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi yang sebentar atau adanya
gelombang T yang negatif. Karena kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12 jam, maka
pada tahap awal serangan angina pectoris tidak stabil seringkali tak bisa dibedakan dari
NSTEMI.1
5.1 Diagnosis dan Gambaran Klinis Angina Pektoris Tidak Stabil

11

Tinjauan Pustaka

Anamnesis merupakan hal yang sangat penting. Penderita yang datang dengan
keluhan utama nyeri dada atau nyeri ulu hati yang hebat, bukan disebabkan oleh trauma,
yang mengarah pada iskemia miokardium, pada laki-laki terutama berusia > 35 tahun
atau wanita terutama berusia > 40tahun, memerlukan perhatian khusus dan evaluasi lebih
lanjut tentang sifat, onset, lamanya, perubahan dengan posisi, penekanan, pengaruh
makanan, reaksi terhadap obat-obatan, dan adanya faktor resiko. Wanita sering mengeluh
nyeri dada atipik

dan

gejala

tidak

khas,

penderita

diabetes

mungkin

tidak

menunjukkan gejala khas karena gangguan saraf otonom. Nyeri pada SKA bersifat
seperti dihimpit benda berat, tercekik, ditekan, diremas, ditikam, ditinju, dan rasa
terbakar. Nyeri biasanya berlokasi di blakang sternum, dibagian tengah atau dada kiri
dan dapat menyebar keseluruh dada, tidak dapat ditunjuk dengan satu jari. Nyeri dapat
menjalar ke tengkuk, rahang, bahu, punggung, lengan kiri atau kedua lengan. Lama
nyeri > 20menit, tidak hilang setelah 5 menit istirahat atau pemberian nitrat.
Keluhan pasien umumnya berupa
a. Resting angina : terjadi saat istirahat berlangsung > 20 menit
b. New onset angina
: baru pertama kali timbul, saat aktivitas fisik sehari-hari,
aktifitas ringan/ istirahat
c. Increasing angina : sebelumnya usah terjadi, menjadi lebih lama, sering,
nyeri atau dicetuskan aktivitas lebih ringan.
Keluhan SKA dapat berupa rasa tidak enak atau nyeri di daerah epigastrium yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya dan dapat disertai gejala otonom sesak napas, mual
sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani
seringkali tidak ada yang khas.
Elektrokardiografi (ECG)
Pemeriksaan ECG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko
pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukan
kemungkinan adanya iskemi atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan T yang
nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0.5mm dan gelombang T negatif
kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemi, dan dapat disebabkan karena hal
lain. Pada angina tak stabil 4% mempunyai EKG normal, dan pada NSTEMI 1-6%
ECG juga normal.
12

Tinjauan Pustaka

Exercise test
Pemeriksaan EKG tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak stabil secara
lansung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya mitral
insuffisiensi dan abnormalitas gerakan dinding reginal jantung, menandakan prognosis
kurang baik. Stress ekokardiografi juga dapat membantu menegakkan adanya iskemi
miokardium.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima sebagai
petanda paling penting dalam diagnosis SKA. Menurut European

Society of

Cardiology (ESC) dan ACC dianggap adanya mionekrosis bila troponin T atau I positif
dalam 24 jam. Troponin tetap positif sampai 2 minggu. Risiko kematian bertambah
dengan tingkat kenaikan troponin. CKMB kurang spesifik karena juga ditemukan di
otot skeletal, tapi berguna untuk diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam
beberapa jam dan kembali normal dalam 48 jam.1

5.2 Diagnosis dan Gambaran Klinis Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST
(NSTEMI)
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala epigastrium dengan ciri
khas seperti diperas, diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau
tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI. Analisis
berdasarkan gambaran klinis menunjukkan mereka memiliki gejala dengan onset
baru angina berat / terakselerasi memiliki prognosis lebih baik berbanding dengan
memiliki nyeri pada waktu istirahat. Gejala tidak khas seperti dispneu, mual,
diaforesis, sinkop atau nyeri lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi
dalam kelompok yang lebih besar terutama pasien lebih dari 65 tahun.
Elektrokardiogram (ECG)
Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting
yang menentukan risiko pada pasien. Pada Thrombolysis in Myocardial Ischemia
Trial (TIMI) III Registry, adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0.05mV merupakan
13

Tinjauan Pustaka

predictor outcome yang buruk. Outocme yang buruk meningkat secara progresif dengan
memberatnya depresi segmen ST dan baik depresi segmen ST maupun perubahan
troponin T keduanya memberikan tambahan informasi prognosis pasien-pasien dengan
NSTEMI.
Biomarker Kerusakan Miokard
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih disukai,
karena lebih spesifik berbanding enzim jantung seperti CK dan CKMB. Pada pasien
dengan IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam dan dapat
menetap sampai 3-4 minggu.1

5.3 Diagnosis dan Gambaran Klinis Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST
(STEMI)
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesa nyeri dada yang
khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST > 2mm, minimal pada dua sadapan
prekordial yang berdampingan atau > 1mm pada dua sadapan ektremitas. Pmeriksaan
enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun
keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan
enzim, dalam mengingat tatalaksana IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah time is
muscle.
Anamnesis
Anamnesis yang cermat perlu dilakukan apakah nyeri dadanya berasal dari jantung
atau diluar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu
dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula
apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko antara lain
hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung
koroner pada keluarga.Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum
terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau
bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian
dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.

14

Tinjauan Pustaka

Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Harus mampu
mengenal nyeri dada angina dan mamapu membedakan dengan nyeri dada lainnya,
karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :
a. Lokasi: substernal , retrosternal, dan prekordial.
b. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
sperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
c. Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung interskapular, perut dan dapat juga ke lengan kanan.
d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
e. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
f. Gejala yang menyertai: mual muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas
dan lemas.

Gambar 3. Pola Nyeri pada Pasien Infark Miokard Akut1

Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta
akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada
STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes melitus dan usia lanjut.

15

Tinjauan Pustaka

Gambar

4.
Diagnosis Banding Nyeri pada Dada

Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat
disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak
keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior
mempunyaimanifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipotensi) dan
hampir setengah pasien

infark

posterior

menunjukkan

hiperaktivitas

parasimpatis

(bradikardia dan/atau hipotensi). Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4
dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal
bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal
yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction
rub. Peningkatan suhu sampai 380 C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI .
Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau
keluhan yang dicurigai STEMI dan harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak
16

Tinjauan Pustaka

kedatangan di UGD. Pemriksaan EKG menentukan keputusan terapi karena bukti kuat
menunjukkan

gambaran

elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien

yang

bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik
untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI,
EKG serial dengan interval 5-10menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinu
harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien
dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan
infark pada ventrikel kanan. Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen
ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosa
infark miokard gelombang Q, sebagian kecil menetap menjadi infark miokard
gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau
ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST dan
biasanya

megalami

UA

atau

NSTEMI.

Pada

sebagian pasien tanpa elevasi ST

berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya istilah


infark miokard transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q

atau

menghilangnya gelombang R dan infark miokard nontransmural jika EKG hanya


menunjukkan perubahan sementara segmen ST atau gelombang T. Namun tidak selalu ada
korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark (mural atau transmural)
sehingga terminologi IMA gelombang Q atau non Q menggantikan infark mural atau
nontransmural.1

Gambar 4. (A)ST-elevasi pada leads II, III dan aVF; ST depresi pada V1 - V4 gambaran pada infak
miokard akut inferior atau inferior AMI. (B) ST-Elevasi pada gambaran anterior acute myocard infark.1

17

Tinjauan Pustaka

Petanda Kerusakan Jantung (Biomarkers)


Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya
nekrosis jantung (infark miokard).
a. CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. CKMB turut meningkat pada operasi
jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik.
b. cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada
infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
a. Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8
jam.
b. Creatinine Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai punak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
c. Lactic Dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.5
Bab VI
Penatalaksanaan

6.1 Angina Pektoris Tidak Stabil (Unstable Angina)


Tindakan umum
Pasien perlu perawatan rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner, dan
diistirahatkan (bed rest), diberi obat penenang dan oksigen. Pemberian morfin atau
petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat
nitrogliserin.
Terapi Medikamentosa
a. Nitrat
Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer,
dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall stress
dan kebutuhan oksigen. Nitrat juga menambah oksigen suplai dengan vasodilatasi
pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Yang ada di Indonesia
18

Tinjauan Pustaka

terutama Isosorbit dinitrat, yang dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1- 4
mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali infus dapat diganti isosorbid dinitrat per oral.
b. Beta-blocker
Beta-blocker menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek penurunan
denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Meta-analisis dari 4700 pasien dengan
UA menunjukkan penyekat

beta dapat menurunkan

resiko infark sebesar 13%

(p<0.04). Semua pasien UA harus diberi penyekat beta kecuali ada kontraindikasi
seperti asam bronkiale dan pasien dengan bradiaritmia. Beta-bloker seperti propanolol,
metoprolol, atenolol, telah diteliti pada pasien UA, yang menunjukkan effektivitas
yang serupa.
c. Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium dibagi dalam 2 golongan besar: golongan dihidropiridin
seperti nifedipin dan golongan nondihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil.
Kedua

golongan ini dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan

tekanan darah.Golongan dihidropiridin mempunyai efek vasodilatasi lebih kuat dan


penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit, dan efek inotropik
negatif juga lebih kecil. Verapamil dan diltiazem memperbaiki survival dan
mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi
normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload memberikan
keuntungan pada golongan nondihidropiridin pada pasien SKE dengan faal jantung
normal. Pemakaian antagonis kalsium pada pasien yang ada kontraindikasi
dengan beta-bloker.
d. Aspirin
Banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi kematian jantung
dan mengurangi infark fatal pada pasien UA. Oleh karena itu aspirin dianjurkan
seumur hidup dengan dosis awal 160 mg per hari dan dosis selanjutnya 80-325 mg per
hari.
e. Klopidogrel
Klopidogrel merupakan derivat tienopiridin, yang menghambat agregasi platelet.
Klopidogrel

juga

kardiovaskular

terbukti

dapat

mengurangi

strok,

infark

dan

kematian

dan dianjurkan pada pasien yang tidak tahan aspirin. AHA

menganjurkan pemberian klopidogrel bersama aspirin paling sedikit 1 bulan sampai 9


bulan. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg per hari dan selanjutnya 75 mg per hari
f. Unfractionated Heparin
19

Tinjauan Pustaka

Heparin adalah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagai rantai polisakarida
yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagualn yang berbeda-beda.
Antitrombin III, bila terikat dengan heparin, akan bekerja menghambat trombin
dan faktor Xa. Kelemahan heparin adalah efek terhadap trombus yang kaya
trombosit dan heparin dapat dirusak oleh platelet faktor 4.
g. Low Molekuler Weight Heparin (LMWH)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai polisakarida heparin.
Kebanyakan mengandung sakarida kurang dari 18 jam dan hanya bekerja pada
faktor Xa.LMWH di Indonesia adalah dalteparin, nadroparin dan enoksaparin.

Stratifikasi Risiko
Pasien yang termasuk risiko rendah antara lain adalah :
a. Pasien yang tidak pernah memiliki angina sebelumnya, dan sudah tidak ada
serangan
b. Sebelumnya tidak memakai obat anti angina.
c. ECG normal atau tak ada perubahan dari sebelumnya.
d. Enzim jantung tidak meningkat termasuk troponin dan biasanya usia lebih muda.
Pasien yang termasuk dalam risiko sedang adalah :
a. Bila ada angina baru dan makin berat, didapatkan angina pada waktu istirahat.
b. Laki-laki, usia >70 tahun, menderita diabetes melitus.
c. Tidak ada perubahan ST segmen.
d. Enzim jantung tidak meningkat.
Pasien yang termasuk dalam risiko tinggi adalah :
a. Angina berlansung lama atau angina pasca infark; sebelumnya mendapat terapi
yang intensif.
b. Ditemukan hipotensi, diaforesis, edema paru pada pemeriksaan fisik.
c. Terdapat perubahan segmen ST yang baru.
d. Didapatkan kenaikan troponin, keadaan hemodinamika tidak stabil.
Bila manifestasi iskemia kembali secara spontan atau pada waktu pemeriksaan, maka
pasien sebaiknya dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil dan termasuk risiko
rendah maka terapi medikamentosa sudah mencukupi. Hanya pasien dengan risiko
tinggi

yang membutuhkan tindakan invasif segera, dengan kemungkinan tindakan

revaskularisasi.1,6-8

20

Tinjauan Pustaka

6.2 Infark miokard akut tanpa elevasi ST (NSTEMI)


Terapi antiiskemia
Terapi awal mencakup nitrat dan penyekat beta dapat diberikan untuk menghilangkan
nitrogliserin sublingual dan dapat dilanjutkan dengan intravena dan penyekat beta oral
antagonis kalsium nondihidropiridin diberikan pada pasien dengan iskemia refrakter
atau yang tidak toleran dengan obat penyekat beta.

a. Nitrat
Nitrat pertama kali diberikan sublingual atau spray bukal jika pasien mengalami nyeri
dada iskemia. Jika nyeri menetap setelah diberikan nitat sublingual 3 kali dengan
interval 5 menit, direkomendasi pemberian nitrogliserin intravena (mulai 5-10ug/menit).
b. Penyekat Beta
Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60 kali/menit.
Antagonis kalsium yang mengurangi frekuensi jantung seperti diltiazem dan verapamil
pada pasien dengan nyeri dada persisten.
Terapi antitrombotik
Oklusi trombus subtotal pada koroner mempunyai peran utama dalam patogenesis
NSTEMI dan keduanya mulai dari agregasi platelet dan pembentukan thrombinactivated fibrin bertanggung jawab atas klot.
Terapi antiplatelet
a. Aspirin
Peran penting aspirin adalah menghambat siklooksigenase-1 yang telah dibuktikan
dari penelitian klinis multipel dan beberapa meta-analisis, sehingga aspirin
menjadi tulang punggung dalam penatalaksanaaan UN/NSTEMI.
b. Klopidogrel
Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine diphosphate P2Y12 pada permukaan
platelet dan dengan demikian menginhibisi aktivasi platelet. Penggunaanya pada
UA/NSTEMI.
Klopidogrel sebaiknya diberikan pada pasien UA/NSTEMI dengan kondisi:

Direncanakan untuk mendapat pendekatan non-invasif dini


Diketahui memiliki kontraindikasi untuk operasi
21

Tinjauan Pustaka

Kateterisasi ditunda/ditangguhkan selama > 24-36jam.1,6-8

6.3 Infark Miokard Dengan ST Elevasi


Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian
antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi
IMA.
Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup :

Mengurangi / menghilangkan nyeri dada


Identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera,
Triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit
Menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI

Tatalaksana Umum
1. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%.
Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam
pertama.
2. Nitrogliserin (NTG)
NTG sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0.4mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG
juga dapat menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan
cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral.
Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena. NTG juga
diberikan

untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru. Terapi

nitrat

harus

dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau pasien yang
dicurigai

menderita

infark

ventrikel

kanan. Pasien

yang

menggunakan

22

Tinjauan Pustaka

phosphodiesterase-3 inhibitor sildanefil dalam 24 jam karena dapat memicu efek


hipotensi nitrat.

3. Mengurangi/ Menghilangkan Nyeri Dada


Hal ini sanagat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivitas simpatis yang
menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.
Morfin
Morfin merupakan pilihan dalam nyeri dada STEMI. Diberikan dengan dosis 2-4
mg dan dapat diulangi dengan interal 5-15 menit sampai dosis total 320 mg.
Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada
spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit A2 dicapai
dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di ruangan EMG.
Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
Beta Blocker
Beta Blocker diberikan jika morfin tidak efekif. Regimen yang biasa diberikan adalah
metoprolol 5 mg setiap 1-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi
jantung >60x/menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR <0.24 detik dan
ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan
dilanjutkan 100 mg setiap 12 jam.6,9.10

23

Tinjauan Pustaka

Bab VII
Penutup
7.1 Kesimpulan
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah penyakit yang gawat dan harus diidentifikasi dan
ditangain dengan cepat supaya komplikasi yang lebih parah tidak terjadi. Pada fase awal,
SKA masih reversible, tapi bila sudah fase lebih lama, infark tidak dapat dikembali ke otot
jantung yang normal. Otot jantung tidak dapat pulih dengan sendirinya. Selain itu, faktor
faktor resiko ACS seperti diabetes mellitus, hipertensi, dislipidemia, obesitas, merokok dan
lain-lain dapat menyebabkan lapisan endotel pembuluh darah koroner yang normal akan
mengalami kerusakan sehingga terbentuknya plak pada pembuluh darah koroner dan
menyempitnya lumen arteri koroner, dan mengurangi aliran darah/iskemia miokard. Bila
plak aterosklerotik mengalami rupture akan menyebabkan ACS. Walaupun cara cara
diagnosis SKA bermacam macam, setiap dokter harus mengetahui kemampuan dan
keterbatasan masing masing cara tersebut. Untuk membuat suatu diagnosis yang
menyeluruh tidak selalu membutuhkan semua pemeriksaan tersebut. Pada penderita, uji
latihan jasmani mungkin merupakan pemeriksaan yang sudah mencukupi tetapi pada
penderita lain mungkin diperlukan arterigrafi koroner tanpa harus sebelumnya menjalani uji
latihan jasmani.
Pengobatan SKA ada banyak cara, pengobatan farmakologis, tindakan intervensi kardiologi
dan pembedahan. Tetapi yang paling penting kita harus evaluasi apa factor risiko yang ada
pada penderita dan menghilangkan risiko itu. Dengan cara modifikasi gaya hidup, mengatasi
factor risiko/penyebab agar progresi penyakit dapat dihambat dan rekurensi SKA
diminimalisasikan.

24

Tinjauan Pustaka

Daftar Pustaka
1. Hamm, W. Christian. Acute coronary syndrome: pathophysiology, diagnosis and risk
stratification. 2011. p5-58.
2. Fauci A, et al. Harrisons principles of internal medicine.16th edition. 2005.h1425.
3. Rani A. et al. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006.h63-9.
4. Kumar P, Clark M. Clinical medicine. 2006. 7th edition. h743.
5. Nawawi, RA, dkk. Nilai troponin (Ctnt) penderita sindrom koroner akut (SKA). Dalam:
Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 3, Juli
2006: 123-6.
6. Soerianata S, Sanjaya W. Penatalaksanaan sindrom koroner akut dengan revaskularisasi
non bedah. Cermin Dunia Kedokteran: 2004. h143.
7. ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients presenting
without persistent ST-segment elevation. Eur Heart Journal. 2011; 32:2999-3054.
8. ACC/AHA Guidelines for the management of patients with unstable angina/non STelevation myocardial infarction. A report of the American College of Cardiology/
American Heart Association Task Force on Practive Guidelines. J Am Coll Cardiol. 2007;
http://cir.ahajournals.org/cgi/reprint/CIRCULATIONAHA.107.185752.
9. ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting

with ST-segment elevation. European Heart Journal. 2012; 33:2569-619.


10. The 2007 Focused Update of the ACC/AHA Guidelines for management of patients with
st-elevation myocardial infarction. In: journal of the American College of Cardiology
published ahead of print on December 10. 2007; http://content.onlinejacc.

25

You might also like