You are on page 1of 25

REFERAT

KERATITIS HERPETIKA

Pembimbing:
dr. Agah Gadjali, SpM
dr. Gartati Ismail, SpM
dr. Henry A. W, SpM
dr. Hermansyah, SpM
dr. Mustafa K. Shahab, SpM

Disusun oleh:
Fithra Fauzana

1102010103

Syahirah Shahab

1102010274

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I RADEN SAID SUKANTO
PERIODE 3 AGUSTUS 2015 4 SEPTEMBER 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami ucapkan kepada Allah SWT atas selesainya referat
yang berjudul Keratitis Herpetika. Kepada dr. Agah Gadjali, Sp.M, dr. Gartati
Ismail, Sp.M, dr. Henry A.W, Sp.M, dr. Hermansyah, Sp.M, dr. Mustafa. K.
Shahab, Sp.M selaku dosen pembimbing, kami juga ucapkan terima kasih banyak
atas bimbingannya selama kepaniteraan kami di Bagian Ilmu Penyakit Mata R.S
Bhayangkara Tingkat I Raden Said Sukanto.
Dalam referat ini kami akan mencoba membahas mengenai keratitis
herpetika. Semoga pembahasan kami ini dapat membantu membuka wawasan dan
pengetahuan bagi mahasiswa klinik ataupun dokter umum mengenai keratitis
herpetika.

Penulis,

Jakarta, Agustus 2015

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................................4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................6
I.

ANATOMI DAN FISIOLOGI KORNEA....................................................6

II. KERATITIS................................................................................................10
III. KERATITIS HERPES SIMPLEKS.............................................................14
BAB III
KESIMPULAN......................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................24

BAB I
PENDAHULUAN

Keratitis Herpes Simpleks adalah infeksi pada kornea yang disebabkan


oleh Virus Herpes Simpleks, ditandai dengan adanya infiltrasi sel radang & edema
pada lapisan kornea manapun. Pada mata, Virus Herpes Simpleks dapat diisolasi
dari kerokan epitel kornea penderita keratitis Herpes Simpleks. Penularan dapat
terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga hidung, mulut,
alat kelamin yang mengandung virus. 1
Kelainan mata akibat infeksi Herpes Simpleks dapat bersifat primer dan
kambuhan. lnfeksi primer Herpes Simpleks pada mata jarang ditemukan ditandai
oleh adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis
folikutans, blefaritis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99%
kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral
khususnya pada pasien-pasien atopik. 2
Bentuk ini dapat sembuh sendiri, tanpa menimbulkan kerusakan pada mata
yang berarti. Terapi antivirus topikal dapat dipakai untuk profilaksis agar kornea
tidak terkena dan sebagai terapi untuk penyakit kornea. Infeksi primer dapat
terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25
tahun. Keratitis Herpes Simpleks didominir oleh kelompok laki-laki pada umur 40
tahun ke atas. 1
Gejala utama iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian pusat yang
terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya
timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin tidak
datang berobat. Sering ada riwayat lepuh lepuh, demam atau infeksi herpes lain,
namun ulserasi kornea kadang kadang merupakan satu satunya gejala infeksi
herpes rekurens. 1,2

Pada penatalaksanaan bertujuan untuk menghentikan replikasi virus


didalam kornea, sambil memperkecil efek merusak akibat respon radang.
Pengobatan keratitis Herpes Simpleks makin marak semenjak ditemukannya
idoksunidin pada tahun 1962, kemudian diikuti dengan penemuan vidarabin,
namun ternyata kedua obat tersebut bersifat toksik terhadap sel kornea normal.
Penemuan obat-obat anti viral terus berkembang dengan ditemukannya asiklovir,
gansikiovir, dan penggunaan interferon tetes mata. 3
Tujuan referat ini adalah untuk mengetahui bagaimana diagnosis keratitis
yang disertai definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, komplikasi
serta prognosis dari keratitis. Dan sebagai syarat untuk mengikuti kepaniteraan
klinik ilmu penyakit mata di RS. Polri.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI DAN FISIOLOGI KORNEA

Kornea merupakan bagian selaput mata yang tembus cahaya, bersifat


transparan, berukuran 11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, tebal 0,6-1
mm. Indeks bias kornea 1,375 dengan kekuatan pembiasan 80%. Sifat kornea
yang dapat ditembus cahaya ini disebabkan oleh struktur kornea yang uniform,
avaskuler dan diturgesens atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea yang
dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar
epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam mencegah
dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat daripada
cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel jauh menyebabkan sifat transparan
hilang dan edema kornea, sedangkan kerusakan epitel hanya menyebabkan edema
lokal sesaat karena akan menghilang seiring dengan regenerasi epitel. 1
Batas antara sclera dan kornea disebut limbus kornea. Kornea merupakan
lensa cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Jika kornea oedem
karena suatu sebab, maka kornea juga bertindak sebagai prisma yang dapat
menguraikan sinar sehingga penderita akan melihat halo atau gambaran seperti
melihat pelangi.
Kornea bersifat avaskuler, maka sumber-sumber nutrisi kornea berasal dari
pembuluh-pembuluh darah limbus, humor aquaeus dan air mata. Kornea
superfisial juga mendapatkan oksigen sebagian besar dari atmosfer. Kornea
dipersarafi oleh banyak serat saraf sensorik yang didapat dari percabangan
pertama (oftalmika) dari nervus kranialis V yang berjalan supra koroid, masuk
kedalam stroma kornea, menembus membran bowman dan melepaskan selubung
schwannya. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan didaerah limbus. Daya
regenerasi saraf sesudah dipotong didaerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. 1

Kornea merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan
dan terdiri atas lima lapisan dari anterior ke posterior yaitu: lapisan epitel (yang
bersambung dengan lapisan epitel konjungtiva bulbaris), membran bowman,
stroma, membran descemet dan lapisan endotel. 1,2

Gambar 1. Anatomi Kornea


(Sumber: Thygeson P. (1997) "Superficial Punctate Keratitis". Journal of the
American Medical Association.

144:1544-1549. Available at : http://webeye.

ophth.uiowa.edu/ dept/service/cornea/cornea.htm Accessed on 20 Agustus 2015)

1. Epitel
Terdiri dari sel epitel squamous yang bertingkat, sebanyak 5 lapis
sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan
sel gepeng. Tebal lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh
lapisan kornea. Epitel dan film air mata merupakan lapisan permukaan dari
media penglihatan. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel dan sel muda
ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan
menjadi sel gepeng. Sel basal berikatan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan
makula okluden. Ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan

glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal


yang melekat

erat

kepadanya.

akan mengakibatkan erosi rekuren.

Bila

Epitel

terjadi

berasal

dari

gangguan
ektoderm

permukaan dan memiliki daya regenerasi. 1,2


2. Membran Bowman
Membran Bowman merupakan lapisan yang jernih dan aselular
yang terletak di bawah lapisan epitel dengan ketebalan sekitar 15 m.
Membran ini merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur
seperti stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi. 1,2
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea.
Merupakan lapisan tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibrilfibril kolagen yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh
diameter kornea, pada permukaan terlihat anyaman yang

teratur,

sedangkan di bagian perifer serat kolagen ini bercabang. Terdapat


sebanyak 200 lapis dengan ketebalan 1.5 m. Terbentuknya kembali serat
kolagen membutuhkan waktu lama, dan kadang sampai 15 bulan.
Keratosit adalah sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di
antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan
serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma. 1,2
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular yang membatasi belakang stroma
kornea yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih
yang tampak amorf pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini
berkembang terus seumur hidup dan mempunyai tebal 5-20 m. Lebih
kompak dan elastis daripada membran Bowman. Juga lebih resisten

terhadap trauma dan proses patologik lainnya dibandingkan dengan


bagian-bagian kornea yang lain.1,2
5. Endotel
Berasal dari mesotelium yang terdiri atas satu lapis sel yang
berbentuk heksagonal dengan tebal antara 20-40 m melekat erat pada
membran descemet. Endotel dari kornea ini dibasahi oleh aqueous humor.
Lapisan endotel berbeda dengan lapisan epitel karena tidak
mempunyai daya regenerasi. Sebaliknya, endotel mengkompensasi selsel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel dan
memberikan dampak pada regulasi cairan. Jika endotel tidak lagi dapat
menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa
endotel, stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan
kemudian hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas
dari kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang merupakan membrane
semi-permeable. Kedua lapisan ini mempertahankan kejernihan dari pada
kornea. Jika terdapat kerusakan pada lapisan ini, maka akan terjadi edema
kornea dan kekeruhan pada kornea.1,2
II. KERATITIS

2. 1. Definisi
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan
menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal
lapisan epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut
juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma.5

2. 2. Epidemiologi
Frekuensi keratitis di Amerika Serikat sebesar 5% di antara seluruh kasus
kelainan mata. Di negara-negara berkembang insidensi keratitis berkisar antara
5,9-20,7 per 100.000 orang tiap tahun. Insidensi keratitis pada tahun 1993 adalah
5,3 per 100.000 penduduk di Indonesia dengan perbandingan laki-laki dan
perempuan yang tidak begitu bermakna. Predisposisi terjadinya keratitis antara
lain ditemukan karena trauma, pemakaian lensa kontak, perawatan lensa kontak
yang buruk,

penggunaan lensa kontak yang berlebihan, Herpes genital atau

infeksi virus lain, kekebalan tubuh yang menurun karena penyakit lain, higienis
dan nutrisi yang tidak baik, dan kadang-kadang tidak diketahui penyebabnya.9
2. 3. Etiologi
Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya: 1,2,3,6
1. Virus
2. Bakteri
3. Jamur
4. Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari atau sunlamps
5. Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak
6. Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak
cukupnya pembentukan air mata
7. Adanya benda asing di mata
8. Reaksi terhadap obat tetes mata, kosmetik, polusi, atau partikel
udara seperti debu, serbuk sari, jamur, atau ragi
9. Efek samping obat tertentu
2. 4. Patofisiologi
Karena kornea memiliki serabut nyeri, kebanyakan lesi kornea, superficial
maupun dalam, menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit ini diperhebat
oleh gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea akan menetap
sampai sembuh. Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan

10

membiaskan berkas cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan,


terutama kalo letaknya dari pusat.
Fotofobia pada penyakit kornea adalah akibat kontraksi iris yang
meradang. Pada iris yang meradang, dapat terjadi dilatasi pembuluh iris yang
merupakan fenomena reflex yang disebabkan iritasi pada ujung saraf kornea.
Fotofobia yang berat pada kebanyakan penyakit kornea, ditemukan minimal pada
keratitis Herpetika karena terjadi hipestesi. Hal ini merupakan tanda diagnosis
yang bermakna. Meskipun mata berair dan fotofobia umumnya menyertai
penyakit kornea, umumnya tidak ada kotoran pada mata kecuali pada ulkus
bakteri purulen.1,2,3
2. 5. Klasifikasi
Klasifikasi keratitis berdasarkan causanya:2
1. Keratitis Bakteri
a. Diplococcus pneumonia
b. Streptococcus haemoliticus
c. Pseudomonas aeruginosa
d. Klebsiella pneumonia
2. Keratitis Jamur
a. Candida
b. Aspergillus
c. Nocardia
d. Cephalosporum
3. Keratitis Virus
a. Keratitis Infeksi Herpes Zoster
b. Keratitis Infeksi Herpes Simplek
4. Keratitis Alergi
a. Stafilokok (ulkus marginal)
b. Tuberkuloprotein (keratitis flikten)

11

c. Toksin (ring ulcer , ulkus anularis)


5. Defisiensi vitamin A (Xeroftalmia)
6. Keratitis neuroparalitik (kerusakan N.V)
7. Tidak diketahui penyebabnya (ulkus Moorens)

Menurut tempatnya
a. Keratitis superfisial

1. Ulseratif
-

Keratitis pungtata superfisial ulserativa

Keratitis flikten

Keratitis herpetika

Keratitis sicca

Keratitis rosasea

2. Non-ulseratif
-

Keratitis pungtata superfisial Fuchs

Keratitis numularis Dimmer

Keratitis disiformis Westhoff

Keratokonjungtivitis epidemika

b. Keratitis profunda
1. Ulseratif
- Keratitis et lagoftalmos
- Keratitis neuroparalitik
- Xeroftalmia
- Trakoma dengan infeksi sekunder
- Keratitis gonore
- Ulkus serpens akut
- Ulkus serpens kronis
- Ulkus ateromatosis

12

13

2. Non-ulseratif
- Keratitis interstitial
- Keratitis pustuliformis profunda
- Keratiis disiformis
- Keratitis sklerotikans

III. KERATITIS HERPES SIMPLEKS

III.1.

Manifestasi klinis
Keratitis Herpes Simpleks dibagi dalam 2 bentuk yaitu epithelial dan

stromal. Pada yang epithelial terjadi akibat pembelahan virus di dalam sel epitel
yang mengakibatkan kerusakan pada sel epitel dan membentuk tukak kornea yang
superfisial. Pada stromal terjadi suatu reaksi imunologik tubuh terhadap virus
yang menyerang yaitu reaksi antigen antibody yang menarik sel radang ke dalam
stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus, tetapi
juga akan merusak jaringan stroma di sekitarnya. 1,2,3,4
Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi: epifora, fotofobia, injeksi
perikornea, dan penglihatan kabur. Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak
sebanding dengan luasnya lesi epitel, berhubung adanya hipestesi atau
insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai terhadap keratitis lain yang
juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis
akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan
keratitis kronik. Infeksi Herpes Simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca
infeksi primer.
Dengan mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron
sensorik atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior,
ganglion n. trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus.
Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai
tempat berlindung Virus Herpes Simpleks. Beberapa kondisi yang berperan

14

terjadinya infeksi kambuhan antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas,
stres emosional, pemaparan sinar matahari atau angin, haid, renjatan anafilaksis,
dan kondisi imunosupresi. Pada 1,16% pasien pasca cangkok ginjal yang disertai
penggunaan imunosupresan dalam kurun waktu 4 minggu ternyata timbul keratitis
Herpes Simpleks. Jumlah kasus keratitis Herpes mungkin semakin meningkat
sehubungan dengan bertambahnya kasus penderita AIDS di masa mendatang.3
Keratitis Herpes Simpleks kambuhan atau lazim disebut keratitis Herpes
Simpleks relaps dibedakan atas bentuk superfisial, profunda, dan bersamaan
dengan uveitis atau keratouveitis. Keratitis superfisial dapat berupa pungtata,
dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari
keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil
menimbulka kematian set serta membentuk defek dengan gambaran bercabang.
Keratitis dendritika dapat berkembang menjadi keratitis geografika, hal ini terjadi
akibat bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid.
Dengan demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki
cabang mengelilingi ulkus. 1,2,3,4,7,9

Gambar 2. Keratitis Herpes Simpleks recurrent


(Sumber: http://www.eyenet.com.cn/columns/news/20774.html)
Keratitis Herpes Simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis
herpes zoster. Pada Herpes Zoster, bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi
epitel yang dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.
Tirosinemia juga sering menimbulkan lesi dendriform, tetapi biasanya bilateral

15

dan terjadi pada anak-anak. Lesi semacam ini pernah pula dilaporkan sebagai
akibat infeksi Acanthamoeba, trauma kimia, dan akibat toksisitas thiornerosal.
Keratitis epitelial dapat berkembang menjadi ulkus metaherpetik, dalam hal ini
terjadi perobekan membrana basalis. ulkus metaherpetik bersifat steril,
deepitelisasi meluas sampai stroma. ulkus ini berbentuk bulat atau lonjong dengan
ukuran beberapa milimeter dan bersifat tunggal. Pada kasus ini dapat dijumpai
adanya edema stroma yang berat disertai lipatan membrana descemet. Reaksi
iritasi konjungtiva bersifat ringan akibat adanya hipestesia. Reflek lakrimasi
berkurang, sehingga produksi tear film menjadi relatif tidak cukup. Ulkus
metaherpetik dapat menetap dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Untuk penyembuhannya memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 minggu.5

Gambar 3. Ulkus dendritik


(Sumber: http://coasssetengahdewa.blogspot.com/2010/10/keratitis-virus.html)
Terdapat dua bentuk keratitis stroma, yaitu keratitis disciform dan keratitis
interstitial. Keratitis disciform dihipotesiskan sebagai reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, sedang keratitis interstitialis terjadi akibat reaksi hipersensitivitas imun.
Gambar 4. Keratitis disciform

16

(Sumber :http://www.goodhopeeyeclinic.org.uk/herpetickeratitis.htm)

Karakteristik keratitis disciform berupa edema stroma berbentuk lonjong


atau gambaran melingkar seperti cakram dengan ukuran diameter 57 mm,
biasanya disertai infiltrat ringan. Edema dapat terbatas pada bagian depan stroma,
tetapi dapat juga meluas ke seluruh tebal stroma. Keratic precipitates biasanya
dijumpai menempel di endotel kornea belakang daerah edema. 5
Keluhan penderita antara lain: penglihatan kabur, epifora, rasa tidak enak,
dan fotofobia terjadi bila disertai adanya iritis. Pada kasus yang ringan, tanpa
disertai nekrosis dan neovaskularisasi penyembuhan dapat terjadi dalam beberapa
bulan tanpa meninggalkan sikatriks. Pada kasus yang berat, penyembuhan
memerlukan waktu sampai 1 tahun atau lebih, bahkan sering terjadi penyulit
berupa penipisan kornea maupun perforasi. Keratitis disciform dapat pula terjadi
akibat infeksi Herpes Zoster, varisela, campak, keratitis karena bahan kimia, dan
trauma tumpul yang mengenai kornea. Pada keratitis discform dapat diisolisir
Virus Herpes Simpleks dan cairan akuos.5
Keratitis interstisialis memiliki bentuk bervariasi, lesi dapat tunggal
maupun beberapa tempat. Gambaran klinisnya bahkan dapat mirip keratitis
bakteri maupun jamur. Infiltrat tampak mengelilingi daerah stroma yang edema,
dan dijumpai adanya neovaskularisasi. Kadang-kadang dijumpai adanya infiltrat
marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai infiltrat
polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi Virus Herpes Simpleks. 5,6

17

Gambar 5. Keratitis stromal


(Sumber: http://www.goodhopeeyeclinic.org.uk/herpetickeratitis.htm)
Beberapa penyulit keratitis stroma antara lain: kornea luluh, descemetocele,
penipisan kornea, superinfeksi, dan perforasi. Terjadinya kornea luluh disebabkan
oleh mekanisme aktif enzim kolagenase, nekrosis, replikasi virus, dan efek
steroid. Enzim kolagenase dilepaskan oleh sel epitel rusak, sel polimorfonuklear,
dan fibroblas selama reaksi radang. 4 -6
III.2.

Diagnosis
Gambaran spesifik dendritik tidak memerlukan konfirmasi pemeriksaan

yang lain. Pada gambaran lesi tidak spesifik, diagnosis ditegakkan atas dasar
gambaran klinik infeksi kornea yang relative tenang, dengan tanda-tanda
peradangan yang tidak berat serta riwayat penggunaan obat-obatan yang
menurunkan resistensi kornea seperti: anastesi lokal, kortikosteroid dan obatobatan imunosupresif. Apabila fasilitas memungkinkan dilakukan kultur virus
dari jaringan epitel, dan lesi stroma. 5,9
III.3.

Penatalaksanaan
Hal-hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan klinis keratitis

meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus dan
luasnya infiltrat. Tujuan dari terapi keratitis herpetik yaitu untuk menghentikan

18

replikasi virus di dalam kornea dan juga memperkecil efek perusakan respon
pandang.7
Pengobatan keratitis epitelial meliputi pemberian antiviral topikal mata
ditutup, dan pemberian antibiotik topikal untuk mencegah infeksi sekunder.
Sebagian besar para pakar menganjurkan melakukan debridement sebelumnya.
Debridement epitel kornea selain berperan untuk pengambilan spesimen
diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar epitelial sehingga antiviral lebih
mudah menembus. Diharapkan debridement juga mampu mengurangi kandungan
virus epitelial, konsekuensinya reaksi radang akan cepat berkurang. Apabila tidak
ada perbaikan dalam 21 hari, perlu diganti dengan antiviral yang lain.7-,9
Pada keratitis meta herpetik terjadi kerusakan membrana basalis, untuk itu
perlu dicegah kerusakan lebih lanjut dengan verban dan lensa kontak lunak.
Pengobatan yang diberikan meliputi pemberian antiviral, air mata buatan,
sikioplegik, dan asetil sistein 10-20% tetes mata tiap 2 jam bila ada tanda-tanda
penipisan dan Iuluhnya stroma. Selain itu, perlu ditambahkan lem cyanoacrylate
untuk menghentikan luluhnya stroma. Bila tindakan tersebut gagal, harus
dilakukan flap konjungtiva, bahkan bila perlu dilakukan keratoplasti. Flap
konjungtiva hanya dianjurkan bila masih ada sisa stroma kornea. Bila sudah
terjadi descemetocele, flap konjungtiva tidak perlu, tetapi dianjurkan dengan
keratoplastik lamellar.7,8
Pengobatan pada keratitis disciform meliputi pemberian steroid topikal,
antiviral salep, bila terjadi iritis perlu diberikan steroid oral 20-30mg selama 7-10
hari. Antibiotik topikal perlu diberikan, jika steroid topikal diberikan secara masif.
Bila terjadi ulserasi, steroid topikal agar dikurangi pembeniannya dan bila perlu
distop. Apabila terjadi penyulit misalnya luluh kornea, descemetocele, atau
perforasi, kemudian dikelola seperti pengelolaan ulkus metaherpetik yang
mengalami penyulit.

19

Pemilihan Antiviral
Antiviral yang efektif dan aman adalah jika mampu menghentikan
replikasi virus, tanpa merusak sel-sel sehat. Obat-obat lama sepenti idoksuridina
dan vidarabina memiliki toksisitas semacam dan khasiat sepadan guna
menghentikan replikasi virus. Efek samping pemberian idoksuridina antara lain:
keratitis pungtata, dermatitis kontakta, konjungtivitis folikularis, dan oklusi
pungtum lakrimalis. Efektivitas kedua obat tersebut untuk pengobatan keratitis
dendritik sebesar 80%, sedang trifluridina mempunyal efektivitas 97% dengan
waktu penyembuhan 2 minggu. Tingkat kepatuhan pasien pengguna trifluridin
lebih baik dibanding kedua obat antiviral terdahulu, karena lebih mudah larut
dalam air. Pada 3-5% kasus ternyata dalam 1 minggu tidak ada perbaikan dengan
trifluridin, dalam hal ini diperlukan debridement. Resistensi terhadap trifluridin
sangat jarang, dan bila dijumpai ternyata tidak dijumpai resistensi silang terhadap
idoksunidina maupun vidarahina. 5
Hasil penelitian tentang daya guna asikiovir dengan idoksuridina pertama
kali didapatkan hasil berupa lama penyembuhan keratitis dendritik rata-rata 4,4
hari dan secara bermakna lebih pendek dibandingkan kelompok idoksuridina.
Untuk kasus-kasus keratitis geografik memerlukan waktu penyembuhan rata-rata
5,6 hari.

5,8

Keratitis stroma memiliki hasil kurang baik bila diobati dengan

idoksuridina. Penggunaan kombinasi antara asikiovin dengan steroid topikal dapat


meningkatkan waktu penyembuhan. Steroid topikal dapat membantu menekan
reaksi radang, dan menghambat vaskularisasi. Asiklovir topikal menghasilkan
daya penetrasi terbaik dibandingkan vidarabina maupun trifluridina. Pada pasienpasien keratitis stroma yang mendapat pengobatan kombinasi asiklovir salep mata
dan betametason 0,01% ternyata sembuh komplit memerlukan waktu rata-rata
19,4 hari. 8
Pengobatan asiklovir secara topikal dan oral pada kasus-kasus keratitis
disciform. Masing-masing kelompok menggunakan tambahan prednisolon 0,05%
tetes mata 5 kali sehari. Hasil penelitian rnenunjukkan hilangnya lakrimasi dan
perbaikan visus lebih cepat pada kelompok pemberian oral, sedang waktu

20

penyembuhan tidak berbeda dan memerlukan waktu rata-rata 25 hari. Selain itu
tidak dijumpai perbedaan angka kekambuhan pada pengamatan sampai 3 tahun
pasca penyembuhan.9
Mengenai resistensi klinik antiviral, pernah dilaporkan untuk idoksuridina
sebesar 37%, dan vidarabina sebesar 11 %. Berdasarkan hasil uji laboratorik
sensitivitas, beberapa antiviral terhadap Virus Herpes Simpleks mengalami
penurunan, tetapi untuk asiklovir maupun gansiklovir tidak sampai 10%.
Sedangkan untuk foscarnet, vidarabina, dan icloksuridina didapatkan penurunan
sensitivitas jauh lebih banyak.5
Gansiklovir dan karbosiklik oksetanosin G merupakan calon obat antiviral
yang potensial, karena terbukti lebih baik dibandingkan asiklovir pada percobaan
binatang. Interferon tetes mata sebagai terapi tunggal pada keratitis dendritik
kurang bermanfaat, tetapi akan lebih efektif bila dikombinasi dengan antiviral
selain vidarabina. Mekanisme dasar interferon sebagai terapi adalah membuat selsel sehat menjadi resisten terhadap virus, dan memblok penyebaran virus. Pada
keratitis stroma pemberian kombinasi steroid dan interferon memberikan hasil
yang baik pada percobaan binatang. Kombinasi antiviral dan interferon
diharapkan dapat mengatasi resistensi Virus Herpes Simpleks di masa
mendatang.5,8,9
Pembedahan
Silindris tidak teratur akibat keratitis stroma kronis mungkin diperbaiki
dengan gas-permeable lensa kontak yang kaku. Pasien dengan kekeruhan kornea
visual yang signifikan atau perforasi kornea mungkin memerlukan keratoplasty
menembus untuk rehabilitasi visual. Jika mungkin, descemetocele kecil atau
perforasi pada mata bengkak awalnya mungkin dikelola dengan perekat jaringan,
lensa kontak perban, dan / atau transplantasi membran amnion. Transplantasi
kornea idealnya harus ditunda sampai mata kurang meradang. 7

21

Prognosis untuk cangkok berhasil mendekati 80% pada mata tanpa


peradangan sebelum operasi. Terapi antivirus profilaksis oral setelah keratoplasty
menembus mengurangi mata berulang HSV penyakit.7
III.4.

Komplikasi
Pada keratitis Herpetika dengan bentuk stroma, dapat menyebabkan inflamasi

hebat pada kamera okuli anterior.

Semua tipe keratitis stromal dapat berkembang

menjadi uveitis, trabekulitis, dan glaukoma sekunder. Komplikasi yang tersering dan
menyebabkan morbiditas yang paling tinggi adalah hilangnya penglihatan akibat
sikatriks pada kornea.14

III.5.

Pencegahan
Penelitian terus dilakukan untuk HSV dan vaksinasi sedang dilakukan.

Sementara hampir semua vaksin perkembangan menargetkan HSV-2 dan herpes


kelamin. Bukti menunjukkan bahwa vaksin ini mungkin menawarkan proteksisilang dalam mencegah mata HSV-1 infeksi. Namun, kekhawatiran tetap bahwa
dorongan dalam respon kekebalan terhadap HSV setelah vaksinasi dapat
memperburuk keratitis stroma herpetik.1,2
III.6.

Prognosis
Visual prognosis tergantung pada sejauh mana jaringan parut kornea. Virus

Herpes Simpleks adalah salah satu penyebab yang paling sering pada corneal
blindness di Amerika Serikat.

Di negara Barat, keratitis Herpetika adalah

penyebab kebutaan dari penyakit infeksi yang tersering.

Keratitis Herpetika

merupakan indikasi utama untuk transplantasi kornea. Dengan pengobatan yang


agresif, prognosis keratitis Herpetika adalah baik. Akan tetapi, walaupun dengan
terapi yang tepat, sikatriks kornea tetap dapat terjadi. Jika sikatriks terbentuk di
bagian sentral, gangguan penglihatan akan timbul.

14

22

BAB III
KESIMPULAN

1. Keratitis Herpes Simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh


infeksi Virus Herpes Simpleks tipe 1 maupun tipe 2.
2. Bentuk infeksi keratitis Herpes Simpleks dapat berupa keratitis epithelial dan
stromal.
3. Keratitis Herpes Simpleks dapat bersifat infeksi primer maupun infeksi
rekuren. Infeksi rekuren dibagi menjadi keratitis superficial, profunda dan
keratouveitis.
4. Gejala subjektif yang ditimbulkan akibat keratitis Herpes Simpleks dapat
berupa epifora, fotofobia, injeksi perikornea, dan penglihatan kabur.
5. Debridement dan terapi medikamentosa merupakan penatalaksaan yang dapat
dilakukan pada keratitis Herpes Simpleks. Terapi medikamentosa dapat
dilakukan dengan pemberian pemberian antiviral, air mata buatan, sikioplegik,
dan asetil sistein.
6. Antiviral yang dapat digunakan antara lain idoxuridine, trifluridine,
vidarabine, dan asyclovir.

DAFTAR PUSTAKA

23

1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata edisi4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2006.
p.113116
2. Roderick B. Kornea. In: Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17.
Jakarta : EGC. 2009. p. 125-49.
3. American Academy of Ophthalmology. External Eye Disease and Cornea.
San Fransisco 2008-2009. p. 179-90
4. Kaufman HE. Herpes simplex in ophthalmology, in F.C. BloW (ed): Herpes
Simplex Infections of the Eye, vol. l,chap. 12. New York: Churchill
Livingstone Inc., 1984. pp. 15360Kenyon KR, Fogle JA, Stone DL, Stark
WL. Regeneration of corneal epithelial basement membrane following
thermal cauterization. Invest Ophthalmol Vis Sci, 1977; 16: 2925. 16.
Porrier RH, Kingham JJ, deMiranda P. Annel M. Intra ocular antiviral
penetration, Arch Ophthalmol. 1982; 100: 19647.
5. Collum LMT, Logan P. Rovenschott T. Acyclovir in herpetic disciform
keratitis, Br I Ophthalmol. 1983; 67: 1158
6. Epstein RI, Wilhelmus KR. Dendritic keratitis, will wiping it off wipe it out,
in TA Deutsch (ed): Ophthalmic Clinical Debates, Year Book Med. Publ.,
Chicago 1989. pp. 8590.
7. Foster CS, Duncan J. Penetrating keratoplasty for herpes simplex keratitis.
AmJ Ophthalmol. 1981; 92: 3369.
8. Meyers-Elliot RH, Pettit TH. Maxwel A. Viral antigens in the immune ring
of herpes simplex stromal keratitis, Arch Ophthalmol. 1980; 98: 98790.
9. Poiler SM, Patterson A, Kho P. A comparison of local and systemic
acyclovir in the management of herpetic disciform keralitis. Br J
Ophthalrnol. 1990; 74: 2835.

24

10. Thygeson P. "Superficial Punctate Keratitis". Journal of the American


Medical Association.1997.

144:1544-1549. Available at : http://webeye.

ophth.uiowa.edu/ dept/service/cornea/cornea.htm
11. http://coasssetengahdewa.blogspot.com/2010/10/keratitis-virus.html
12. http://www.goodhopeeyeclinic.org.uk/herpetickeratitis.htm
13. http://www.eyenet.com.cn/columns/news/20774.html
14. Wang,

Jim.

Herpes

Simplex

Keratitis.

Available

at

http://emedicine.medscape.com/article/1194268-overview#a7 Accessed on:


20 Agustus 2015

25

You might also like