Professional Documents
Culture Documents
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat . Tetanus ini
biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin
merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani.
Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Dan pada tahun 1890, diketemukan
toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah
anaerob yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut
menghasilkan pencegahan dari tetanus.
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh
karena terpotong, tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum)
ETIOLOGI
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif Clostridium tetani. Bakteri ini berspora dan
dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang
terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan
beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan bakteri lain, ia akan
memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.
Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonates. Bakteri masuk
melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama tetanus
neonatorum.
PATOGENESIS
Sering terjadi kontaminasi luka oleh spora C.tetani. C.tetani sendiri tidak menyebabkan
inflamasi dan port d'entrae tetap tampak tenang tanpa tanda inflamasi, kecuali bila ada
infeksi oleh mikroorganisme lain.
Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus
mensekresi dua macam toksin: tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin mampu secara lokal
merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan
kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri.
Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Ujung karboksil dari rantai berat terikat
pada membran saraf dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Rantai
ringan bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmitter dari neuron yang
dipengaruhi. Jika toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah yang
kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan
menyebar dan ditransportasikan dalam axon dan secara retrogred ke dalam badan sel di batang
otak dan saraf spinal.
Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan saraf otonom. Jika
toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk dan mempengaruhi ke
neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitors spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus
akan muncul. Transpor intraneuronal retrogred lebih jauh terjadi dengan menyebarnya toksin ke
batang otak dan otak tengah. Penyebaran ini meliputi transfer melewati celah sinaptik dengan
suatu mekanisme yang tidak jelas.
Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfide yang menghubungkan
rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai ringan. Efek toksin
dihasilkan melalui pencegahan lepasnya neurotransmitter. Sinaptobrevin merupakan protein
membran
yang
diperlukan
untuk
keluarnya
vesikel
intraseluler
yang
mengandung
hipotalamus mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal pada
penelitian pada hewan. Apakah mekanisme ini berperan terhadap spasme intermiten dan
serangan autonomik mash belum jelas. Efek prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat
berakibat kelemahan di antara dua spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf kranial
yang dijumpai pads tetanus sefalik, dan myopati yang terjadi setelah pemulihan. Paas spesies
yang lain, tetanus menghasilkan gejala karakteristik berupa paralisis flaksid.
Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan
menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks
inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan antagonis
berkonstraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau
ruptur tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur
aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer
tangan dan kaki relatif jarang terlibat.
Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya kontrol
otonomik dengan aktifitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang
berlebihan.
Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversibel. Pemulihan membutuhkan tumbuhnya ujung
saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama.
Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan yang
terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka memasuki
aliran limfa dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal: sawar darah
otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam s ystem saraf pusat. Jika
diasumsikan bahwa waktu transport intraneuronal same pada semua saraf, serabut saraf yang
pendek akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini menjelaskan urutan
keterlibatan serabut saraf di kepala, tubuh dan ekstremitas pads tetanus generalisata.
GEJALA KLINIS
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa
minggu)
Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak
dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan
gejala utama yang sering dijumpai (50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masetter,
bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan
menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka,
opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot
pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan
retensi urine, fraktur kompresi dan pendarahan di dalam otot. Kenaikan temperatur biasanya
hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40o C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi,
tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa
ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
Tetanus neonatal
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani yang masuk melalui tali pusat sewakti proses
pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang
tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C. tetani, maupun
penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan alat
pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril, merupakan faktor yang utama
dalam terjadinya tetanus neonatal.
DIAGNOSIS
Diagnosis cukup ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Anamnesis mengenai adanya
kelainan sebagai tempat masuknya kuman tetanus (C. tetani), adanya trismus, risus sardonikus,
kaku kuduk, opistotonus, perut keras seperti papan atau kejang tanpa gangguan kesadaran.
DIAGNOSIS BANDING
Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sular sekali dijumpati dari
pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan serebrospinal normal dan pemeriksaan darah
rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan SERUM aldolase sedikit
meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi, kekakuan otot-otot tubuh),
risus sardinicus dan kesadaran yang tetap normal.
PENATALAKSANAAN
1. Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin,
mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernafasan sampai pulih. Terapi tersebut
adalah:
a. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya dengan membersihkan luka, irigasi
luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang benda asing dalam luka
serta kompres dengan H2O2. Penatalaksanaan luka dilakukan 1-2 jam setelah
pemberian ATS dan antibiotika. Di sekitar luka disuntik ATS.
b. Diet cukup kalori dan protein. Bentuk makanan tergantung kemampuan membuka
mulut dan menelan. Dapat diberikan nutrisi personade atau parenteral.
c. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap
penderita.
d. Oksigen, pernafasan buatan dan trakeostomi bila perlu.
e. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Obat-obatan
a. Antibiotika
Diberikan penisilin parenteral 1,2 juta unit/hari selama 10 hari IM. Sedangkan tetanus
pada anak dapat diberikan penisilin dosis 50.000 unit/kgBB/12 jam secara IM selama
7-10 hari. Bila sensitif terhadap penisilin, obat dapat diganti dengan preparat
tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan
diberikan dalam dosis terbagi (4 dosis). Bila tersedia penisilin intravena, dapat
digunakan dengan dosis 200.000 unit/kgBB/24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika hanya bertujuan membunuh bentuk vegetative dari C. tetani, bukan untuk
toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi, pemberian antibiotika
spectrum luas dapat dilakukan.
b. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG) dengan dosis
3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara IV
karena TIG mengandung anti complementary aggregates of globulin yang mana ini
tidak dapat mencetuskan reaksi alergi yang serius.
Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal
dari hewan dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberian 20.000 U dari anti toksin
dimasukkan ke dalam 200 cc cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara intravena,
pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang
tersisa (20.000 U) diberikan secara IM.
c. Tetanus toksoid
Pemberian tetanus toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan dengan
pemberian antitoksin tetapi pada pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang
berbeda. Pemberian dilakukan secara IM. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai
imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. Berikut petunjuk pencegahan tetanus pada
keadaan luka:
d. Antikonvulsan
Golongan benzodiazepine yaitu diazepam dapat diberikan peningkatan 5 mg, atau
lorazepam peningkatan tiap 2 mg, dititrasi untuk mengatasi kejang secara bertahap
tanpa efek hipoventilasi dan sedasi yang berlebihan (untuk anak, ulai dosis 0,1-0,2
mg/kg setiap 2-6 jam, ditingkatkan bertahap bila diperlukan). Dosis tinggi mungkin
dibutuhkan (di atas 600 mg/hari).
Untuk mencegah kejang yang berlangsung lebih lama dari 5-10 detik, diazepam IV
biasanya diberikan 10-40 mg setiap 1-8 jam. Vecuronium (dengan infus kontinu) atau
pancuronium (dengan suntikan intermiten) merupakan alternative yang memadai. Jika
spasme tidak dapat dikontrol dengan benzodiazepine, blockade neuromuscular jangka
panjang diperlukan.
Fenobarbital adalah antikonvulsan lain yang dapat digunakan untuk memperpanjang
efek diazepam. Fenobarbital juga digunakan untuk menangani spasme otot parah dan
memberikan sedasi ketika agen memblokir neuromuscular digunakan. Agen lainnya
digunakan untuk kontrol kejang termasuk baclofen, dantrolene, barbiturat shortacting, dan klorpromazin. Propofol telah disarankan untuk sedasi.
Baclofen intratekal, relaksan yang bekerja sentral,telah digunakan
secara
PROGNOSIS
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Masa inkubasi
Periode awal pengobatan
Imunisasi
Lokasi fokus infeksi
Penyakit penyerta
Beratnya penyakit
Penyulit yang timbul
Menurut
Pasien yang termasuk dalam kelompok prognostik I (periode awal < 36 jam dan masa
inkubasi 6 hari) mempunyai angka kematian lebih tinggi daripada kelompok II (periode awal >
36 jam dan masa inkubasi > 6 hari) dan III ( periode awal tidak diketahui dan masa inkubasi
tidak diketahui). Perawatan intensif menurunkan angka kematian akibat kegagalan napas dan
kelelahan akibat kejang. Selain itu, pemberian nutrisi yang cukup dapat menurunkan angka
kematian.