You are on page 1of 206

KELIRUMOLOGI KURIKULUM

Wendie Razif Soetikno, S.Si., MDM

KURIKULUM 2006 atau KURIKULUM 2013?

KELIRUMOLOGI KURIKULUM
Penulis
Editor
Perwajahan Isi
Desain Sampul

: Wendie Razif Soetikno, S.Si., MDM


: Yoen
: Simages
: Simages

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang


Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh
isi buku ini ke dalam bentuk apa pun, secara elektronis
maupun mekanis, tanpa izin tertulis dari penerbit dan penulis.
All Rights Reserved

Diterbitkan oleh:
Sibuku Media
Alamat : Ngringinan, Palbapang, Kec. Bantul, Kab. Bantul, Yogyakarta.
Hp. : 085643895795
E-mail : penerbitsibuku@gmail.com
Web : www.sibuku.com

Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Wendie Razif Soetikno, S.Si., MDM, Kelirumologi Kurikulum; Editor: Yoen
Cetakan 1Yogyakarta: Sibuku Media, 2015
xii+ 194; 21 x 29 cm
ISBN: 978-602-6814-02-9
Cetakan 1, 2015

Pendidikan kita masih mengajarkan ketaatan pada kekuasaan,


bukan pada nilai,
serta tidak mengembangkan kreativitas.
(Ignas Kleden)
1

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR (Telaah Kesalahan Mind Set)

i 2

PENDAHULUAN (Telaah Legalistik)

110

BAB I

FILOSOFI PENDIDIKAN (Telaah Filosofis)

39
39

BAB II

PENDIDIKAN

vs

PERSEKOLAHAN

(Kebijakan

vs

Tehnik

Implementasi) (Telaah Paedagogis)

72
67

BAB III

DUALISME PRANATA (Telaah Sosiologis)

93
81

BAB IV

KURIKULUM vs KOMPETENSI (Telaah Etimologis)

118
102

BAB V

KOMPETENSI vs PENILAIAN (Telaah Metodik)

137
113

BAB VI

KURIKULUM vs PENGAJARAN (Telaah Didaktis)

123
149

PENUTUP (Telaah Demokratisasi Pendidikan)

143
180

KILAS BALIK (Telaah Sejarah Pendidikan)

144
181

KESIMPULAN

148
186

DAFTAR PUSTAKA

189
150

10

KATA PENGANTAR
Ada beberapa kekeliruan yang mendasar : Pertama, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) secara harafiah berarti kurikulum tingkat sekolah sehingga sejalan dengan arti harafiahnya,
kurikulum setiap sekolah akan berbeda sesuai dengan Visi dan Misi sekolah masing-masing. Hal ini
sudah lama dipraktekkan di Perguruan Tinggi dan di sekolah-sekolah internasional di Indonesia.
Sama-sama belajar iptek dan terakreditasi A, tapi kurikulum ITB akan berbeda dengan kurikulum
ITS sehingga masyarakat mempunyai alternatif pilihan untuk masa depan putra putrinya. Sama-sama
sekolah internasional yang terakreditasi secara internasional, tetapi segera nampak bedanya antara
Binus International School di Simpruk, Jakarta (yang menggunakan Kurikulum IB), dan Gandhi
Memorial School di Kemayoran, Jakarta, (yang menggunakan Kurikulum Cambridge), bukan saja
karena kurikulum masing-masing sekolah itu berbeda, tetapi yang lebih dapat ditonjolkan adalah
sekolah-sekolah tersebut dapat menentukan ciri khasnya sendiri berdasar model kurikulum yang
dipilihnya, sehingga Visi dan Misi dapat dirumuskan sesuai kondisi sekolahnya.
Dalam perbedaan itu, selalu ada sesuatu hal yang sama sehingga dengan cepat kita dapat
menyatakan bahwa suatu institusi termasuk dalam institut teknologi atau bukan, atau suatu lembaga
dapat disebut SMA atau bukan.

Sudah tentu tidak dilihat dari papan namanya, tapi dari benang

merah persamaan dasariahnya. Kemampuan dasar tentang apa yang minimal harus dikuasai seorang
siswa atau mahasiswa itu sama (dengan kata lain, Standar Pelayanan Minimalnya sama (SPM-nya
sama), tetapi masing-masing sekolah atau perguruan tinggi mencari keunggulan lokalnya sendiri,
yang akan menjadi ciri khasnya (brand image). SPM dalam bidang engineering di ITB dan ITS itu
sama, tetapi masing-masing perguruan tinggi akan menonjolkan keunggulan lokalnya masingmasing. SPM Binus International School dan Gandhi Memorial School sama, yaitu penguasaan
dasar-dasar pengetahuan (foundation) atau pemahaman ilmu-ilmu dasar, sebagai bekal agar siswa
dapat mengikuti kuliah dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan akademik di perguruan
tinggi, namun masing-masing sekolah akan unjuk keunggulan lokalnya yang menjadi ciri khas dan
jati diri sekolahnya. Dengan kata lain, yang dijual oleh perguruan tinggi dan sekolah adalah
kurikulum yang diusung dengan keunggulan lokal pada model evaluasinya (yang menentukan
kualitas lulusannya), serta SDM yang mengampu kurikulum itu. Hal inilah yang membentuk budaya
ilmiah di perguruan tinggi atau budaya pembelajar di sekolah. Budaya pembelajar sekolah Taman
Siswa : ing ngarso sung tulodo (emong), ing madya mbangun karsa (among), tut wuri handayani
(pamong), (di depan memberi teladan (tuntun), di tengah menyemangati (bimbing), dan memberi
dorongan dari belakang (dukung), akan sangat berbeda dengan budaya pembelajar SMA Seminari St

Petrus Canisius Mertoyudan, Magelang

: sanctitas (kesucian), sanitas (sehat), dan scientia

(pengetahuan).
Dengan analogi itu, sesungguhnya KTSP mengusung semboyan Bhineka Tunggal Ika (unity
in diversity). Jadi seharusnya tidak ada kurikulum tunggal dan seragam secara nasional, karena
hal itu berarti Kemdikbud menjadi inisiator, implementor dan eksekutor serta regulator pendidikan,
bahkan sampai menjadi evaluator keberhasilan proyek launching kurikulum baru, suatu hal yang
melanggar sepuluh prinsip good governance dan menyalahi semangat debirokratisasi dan deregulasi
yang digaungkan oleh pemerintah sendiri melalui Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009.
Yang selalu dikuatirkan oleh para birokrat Kemdikbud adalah : Apa tidak menjadi terlalu
liberal? Tidak, sebab :
(1) Pertanyaan itu sebenarnya tidak relevan lagi diajukan sejak pemerintah mengeluarkan PP
No.77 Tahun 2007 yang mengijinkan pemodal asing (PMA) berinvestasi di sektor pendidikan
(pemerintah sudah lama membuka pintu bagi liberalisasi pendidikan).
(2) Kurikulum selalu menganut azas kebhinekaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 36 ayat 2
UU Sisdiknas tentang diversifikasi kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi sekolahnya,
potensi daerahnya dan keadaan siswanya.
Sedangkan kewajiban pemerintah (yang mencerminkan azas keikaan) sudah dirumuskan dalam Pasal
38 ayat 1 UU Sisdiknas : pemerintah hanya merumuskan kerangka dasar dan struktur kurikulum.
Kita semua pernah mengalami penerapan Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas ini, yaitu pada Kurikulum
1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, dan Kurikulum 1994 : kurikulum setiap sekolah berbeda
sesuai dengan Visi dan Misi sekolah masing-masing, sehingga ciri khas sekolahnya akan nampak
jelas, Kurikulum Sekolah Taman Siswa akan berbeda dengan Kurikulum Sekolah Muhammadiyah,
bahkan kurikulum antar sekolah negeripun bisa berbeda. Akibatnya, para guru terasah untuk
berlomba-lomba menggali keunggulan lokal sekolah masing-masing sehingga mau tidak mau,
kompetensi (kemampuan) gurunya akan terbaca oleh masyarakat. Keunggulan sekolahnya adalah
pembeda yang menjadi ciri khas sekolah tersebut. Apa akibatnya? Para guru akan terpacu untuk
menyusun kurikulum sampai ke tingkat HOT (Higher Order of Thinking). Kualitas pendidikan
meningkat dan Ujian Nasional (EBTANAS) hanya dipandang sebagai salah satu bentuk tes biasa
saja. Tidak ada istiqosah atau pengarahan menjelang pelaksanaan Ujian Nasional (EBTANAS)
saat itu. Ijazah sekolah kita diakui di luar negeri (siswa tidak perlu menempuh kelas persiapan
(foundation) di pre-university.

Malaysiapun pernah meminta guru-guru dari Indonesia untuk

mengajar di berbagai sekolah di sana.


Situasi mulai berubah ketika ada upaya untuk menyeragamkan kurikulum di tingkat nasional
seiring dengan wacana digulirkannya dana 20% dari APBN untuk pendidikan pada sidang-sidang
3

ii

MPR tahun 2000. Pertanyaannya adalah : untuk apa anggaran yang begitu besar itu?, bagaimana
kalau anggaran itu tidak terserap habis, bukankah kinerja kementerian dinilai dari banyaknya
program yang mencerap anggaran itu?. Sehingga solusinya adalah pelaksanaan program yang
konsumtif (sekedar menghabiskan anggaran), seperti acara bagi-bagi uang melalui program
sertifikasi guru yang tidak terkait dengan profesionalitas guru, pemberlakuan

UN dan

peluncuran kurikulum baru, karena ketiga program ini pasti meliputi banyak proyek yang akan
mencerap anggaran sangat besar, sekali tepuk dapat beberapa lalat, mulai dari diklat sertifikasi untuk
jutaan guru, biaya UN : pencetakan jutaan lembar soal dan pendistribusiannya ke seluruh Indonesia,
sampai biaya peluncuran kurikulum baru : proyek pelatihan guru secara massal, proyek pencetakan
buku baru dan anggaran untuk proyek monitoring bagi para Pengawas di daerah serta pencetakan
ijazah/rapor baru. Mulai saat itu dicanangkanlah program sertifikasi guru yang tidak terkait dengan
uji kompetensi guru (UKG) dan kinerja guru, pemberlakuan Ujian Nasional sebagai satu-satunya
penentu kelulusan, dan peluncuran kurikulum baru, seperti Kurikulum 2004 (KBK), yang dikoreksi
melalui Kurikulum 2006, KTSP Bimtek (2008), lalu makin nampak instruksional pada tahun 2013
(Kurikulum 2013). Akibatnya segera terasa, pendidikan yang diproyekkan menyebabkan kualitas
pendidikan kita makin merosot, yang tercermin dari makin rendahnya score para siswa kita dalam
pemahaman IPA dan Matematika pada TIMSS (Trends in International Mathematics and Science
Study), rendahnya score pengetahuan umum dan kemampuan bernalar siswa kita dalam PISA
(Programme in International

Students Assessment), serta rendahnya score siswa kita dalam

kemahiran membaca apa yang tersirat melalui test PIRL (Progress in International Reading
Literature) (Lihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bab I A No. 2 b, yang dicabut dalam
Permendikbud No. 57 Tahun 2014, tapi anehnya isinya persis sama (copy paste) dengan Lampiran
Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bab I A No. 2 b. Jadi pencabutan permendikbud ini hanya untuk
melegalkan pembuatan silabus oleh pemerintah dan memangkas kewenangan guru sebagaimana
tercantum dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen)
Kekeliruan kedua, Kurikulum 2006 (KTSP awal) sering disamakan dengan KTSP Bimtek
(2008), padahal konsepnya berbeda. Kurikulum 2006 (KTSP awal) mengacu pada Pasal 36 ayat 2
UU Sisdiknas, dan Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005 yang menjunjung azas diversifikasi kurikulum,
disesuaikan dengan potensi daerah, kondisi sekolah dan keadaan siswanya. Oleh sebab itu, para
guru harus menyusun kurikulumnya sendiri, sesuai dengan amanat Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan
Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, yang diperkuat dengan ketentuan turunannya pada Pasal 20
PP No. 19 Tahun 2005 (Rincian isi pasal-pasal itu dapat dilihat pada Catatan kaki No. 2 tentang dasar
hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan). Dengan kata lain, Kurikulum 2006 (KTSP awal)
mengusung semangat otonomi guru dan otonomi sekolah. Sedangkan KTSP Bimtek (KTSP
4

iii

Bimbingan Teknis (2008) yang muncul setelah portofolio guru tidak lagi digunakan dalam proses
sertifikasi guru, adalah kurikulum hasil pelatihan guru yang seragam dalam Diklat sertifikasi guru.
Diklat sertifikasi guru ini juga tidak menyertakan LPMP (Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan) dan
PPPG (Pusat Pengembangan dan Penataran Guru) atau PPPPTK (Pusat Pengembangan dan
Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan) atau Kepala Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan
yang ada di daerah (semua sudah ditentukan dari pusat, bahkan penatarpun ditunjuk dari pusat),
sehingga sifat penyeragaman kurikulum ini makin menonjol. Jadi KTSP Bimtek (2008) adalah
kurikulum tunggal dan seragam secara nasional yang menunjukkan hegemoni pemerintah, yang
dikemudian hari juga dipakai sebagai acuan dalam akreditasi sekolah.

Di DKI Jakarta,

penyeragaman kurikulum ini terlihat melalui program SAS (Sistim Administrasi Sekolah) dan SIP
(Sistim Informasi Pendidikan) yang menjadi wahana untuk mengontrol dan mengendalikan
sekolah secara ketat sehingga semua sekolah di DKI Jakarta (termasuk mantan sekolah RSBI)
kehilangan daya saingnya menghadapi sekolah-sekolah internasional yang makin menjamur.
Para Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran1 membuat semuanya berjalan makin paralel
dan seragam, tidak boleh melenceng sedikitpun dari ketentuan yang sudah digariskan oleh
Kemdikbud, dengan demikian ciri khas sekolah menjadi hilang. Visi dan Misi sekolah hanya menjadi
slogan dan hiasan dinding saja. Dengan kata lain, KTSP Bimtek (2008) telah menafsirkan kata
bimbingan teknis itu menjadi kata wajib dibimbing. Inilah saat hegemoni pemerintah mulai
merasuki dunia pendidikan kita, lengkap dengan UN sebagai penentu kelulusan dan para pengawal
hegemoni itu, yaitu para Pengawas (Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran) (Lihat
Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b).
Kekeliruan ketiga adalah menganggap Kurikulum 2013 sebagai perbaikan dari Kurikulum
2006 (KTSP awal), padahal Kurikulum 2013 secara sengaja menghapus frasa penting dari Pasal 20
PP No.19 tahun 2005 : Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus, rencana pelaksanaan
pembelajaran, yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode
pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar;

Pasal yang menunjuk pada

profesionalitas guru ini diubah menjadi kerdil dalam Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 :
Perencanaan pembelajaran merupakan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
untuk setiap muatan pembelajaran.
1

Jabatan Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran ini tidak tercantum dalam UU No. 14 Tahun 2015 tentang
Guru dan Dosen (artinya guru dan dosen tidak perlu diawasi/otonom). Guru dan dosen itu otonom sesuai amanat
Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen. Bahkan kalau mengacu pada Pasal 19 ayat 3
PP No. 19 Tahun 2005 yang tidak diubah dalam Pasal 19 ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 : fungsi pengawasan itu melekat
pada tugas profesional guru (Menurut PP ini, Kurikulum 2013 seharusnya tidak mengenal adanya jabatan Pengawas)
Pada Pasal 10 UU Sisdiknas : pengawasan itu bukan diartikan sebagai watch dog, tetapi sebagai capacity building
(membimbing dan membantu) komunitas guru. Pengawas sebagai watch dog baru muncul pada Lampiran
Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b. (Pengawas menjadi eksekutor, regulator dan evaluator pendidikan)

iv

Jadi nampak jelas bahwa Kurikulum 2013 memangkas kewenangan guru dalam menyusun
silabus, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar dan penilaian hasil belajar, dan
mengerdilkannya menjadi hanya menyusun RPP saja. Guru diturunkan martabatnya menjadi
hanya sekedar tukang mengajar dan petugas administrasi pengajaran. Fungsi pendidik
profesional sebagaimana dituntut dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU
Guru dan Dosen menjadi sumir. Proses panjang monitoring proses belajar dan penilaian hasil belajar
menjadi tidak berarti, karena test sesaat (UN) adalah penentu kelulusan, lalu sekarang ditambah
dengan menghilangkan kemampuan guru untuk menyusun Silabus, diktat (bahan ajar/materi/sumber
belajar) dan menilai hasil belajar tidak menurut situasi dan kondisi sekolahnya. Sejak awal, proyek
besar penyerapan anggaran dalam bentuk Kurikulum 2013 didisain untuk penyerapan anggaran
sebesar-besarnya (untuk menghabiskan dana 20% dari APBN yang dialokasikan untuk pendidikan)
melalui (1) pelaksanaan sertifikasi guru secara massal yang abai pada kinerja guru, (2) pemberlakuan
UN dan (3) launching kurikulum baru (pelatihan guru secara massal untuk aplikasi kurikulum baru,
dropping silabus, membuat buku ajar bagi siswa (karena materi ajar/sumber belajar sekarang
ditentukan oleh Kemdikbud), menyosialisasikan metode baru (metode 5 M) dan membuat buku
pegangan guru (menentukan buku panduan proses pembelajaran di kelas), serta merumuskan sistim
penilaian yang berkali-kali diubah itu (tanpa penjelasan yang memadai kenapa program penilaian itu
diubah lagi). Dengan demikian, Kemdikbud mempunyai legitimasi untuk meluncurkan program
sinterklas sertifikasi guru, evaluasi tunggal bersama (UN) dan menyosialisasikan kurikulum baru
yang seragam dan sama secara nasional, mengabaikan fungsi LPMP dan PPPG/PPPPTK atau Kepala
Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan setempat, serta mengabaikan ketentuan Pasal 36 ayat 2 UU
Sisdiknas serta Pasal 17 PP No. 19 tahun 2005, oleh sebab itu secara jelas memotong kewenangan
guru, yang disebut dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas, Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, dan
Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 (Rincian isi pasal-pasal ini dapat dilihat pada Catatan kaki No. 2
tentang dasar hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan)
Kewenangan LPMP juga dipangkas menjadi sekedar pengawas EDS (Evaluasi Diri Sekolah)
: pemerhati administratif yang tidak mempunyai otoritas seperti Pengawas, dan fungsi supervisi
akademik LPMP digantikan oleh Pengawas Mata Pelajaran, sedangkan fungsi supervisi manajerial
LPMP digantikan oleh Pengawas Sekolah (lihat Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab
VI No. 2 : Sistim dan Entitas Pengawasan).
Pelatihan guru yang seragam secara nasional yang dilengkapi dengan dropping buku ajar
siswa, buku pegangan guru, metode yang seragam dan program penilaian yang salah, lalu diubah
berkali-kali itu, sebenarnya melanggar dasar hukum dari Kurikulum 2013 itu sendiri, yaitu PP
No. 32 Tahun 2013. Pasal 77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013 : Kurikulum Tingkat Satuan
6

Pendidikan merupakan Kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masingmasing satuan pendidikan. Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 : : Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan
Pengerdilan Pasal 20 PP No.19 Tahun 2005 menjadi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 serta
pengabaian Pasal 77 M PP No.32 Tahun 2013 ini secara kasat mata merupakan proyek
penghamburan uang rakyat demi penyerapan anggaran, yang mencoba mengaburkan apa yang sudah
ditanam pada Kurikulum 2006 (KTSP awal) dan kurikulum-kurikulum sebelumnya.

Bukan saja

mempertaruhkan kualitas pendidikan Indonesia di masa lalu yang sudah diakui di luar negeri, tetapi
juga menjauhkan kita dari tujuan pendidikan nasional yang telah dirumuskan dalam Pembukaan
UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, yang dijabarkan dalam Pasal 3 UU Sisdiknas
(Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa). Jadi, jelas
bukan untuk meningkatkan kompetensi orang per orang, seperti yang diusung oleh KBK (2004) dan
Kurikulum 2013 (Lihat Lampiran Permendikbud No 67 Tahun 2013 II B Landasan Teoritis :
Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK (competency-based curriculum) yang dicabut
dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 tapi ajaibnya, isinya persis sama (copy paste) dengan
Lampiran Permendikbud No. 57 Tahun 2014 Bab II D Landasan Teoritis (Catatan * : Permendikbud
No. 67 Tahun 2013 ini diulang pada Permendikbud No.68, No.69 Tahun 2013 tergantung pada unit
sekolahnya (SD, SMP, atau SMA/SMK) dan dicabut (sebenarnya diperbarui (di copy paste) dalam
Permendikbud No.57 Tahun 2014, yang diulang pada Permendikbud No.58, No.59 dan No.60
tergantung pada unit sekolahnya (isi Permendikbud itu sama, kecuali bagian yang melegalkan
pembuatan Silabus oleh Kemdikbud dan pemangkasan hak mendidik guru menjadi hanya sekedar
hak mengajar dan petugas administrasi sekolah, pemangkasan hak yang sebelumnya merupakan
wewenang dan hak kewajiban guru (lihat Catatan kaki No.2 di Bab Pendahuluan).
Jadi Kurikulum 2013 itu tidak lain adalah pengembangan KBK. Padahal Kurikulum
2004 (KBK) itu sudah diganti menjadi Kurikulum 2006 (KTSP awal) karena adanya problematik
pengukuran kompetensi (kemampuan) siswa.

Jadi problematik pengukuran kompetensi

(kemampuan) siswa atau problem sistim penilaian, pasti akan berulang pada Kurikulum 2013.
Maka tidak heran kalau sampai saat ini, Kemdikbud tidak berani mencetak buku rapor (LHB) untuk
Kurikulum 2013 dan terlambat mencetak ijazah, sesuatu yang belum pernah terjadi selama 70 tahun
Indonesia merdeka.
Kurikulum 2006 (KTSP awal) mewajibkan para guru untuk bisa membuat kurikulumnya sendiri,
termasuk mampu melaksanakan evaluasi hasil belajar sendiri, seperti pada kurikulum-kurikulum
sebelumnya. Namun kalau guru mahir dalam penyusunan kurikulum dan evaluasi hasil belajar,
7

vi

pemerintah akan kehilangan proyek penyerapan anggaran 20% dari APBN melalui (1) program
bagi-bagi uang lewat sertifikasi guru yang tak terkait uji kompetensi guru dan tanpa check & recheck
kinerja guru, (2) pemberlakuan UN, (3) launching kurikulum baru melalui pelatihan guru, pembuatan
buku ajar (materi ajar/sumber belajar) dan penentuan buku pegangan guru (buku panduan proses
pembelajaran di kelas). Maka Kemdikbud kemudian memilih tetap melanjutkan acara tebar uang
untuk guru, melestarikan UN dan meluncurkan KTSP Bimtek di tahun 2008, yang berlanjut pada
Kurikulum 2013, demi pencitraan kinerja kementerian melalui kecepatan penyerapan anggaran.
Seperti biasa, Kemdikbud mengabaikan begitu banyak kritik dari para pakar pendidikan yang banyak
dimuat di media massa dan melupakan sejarah panjang dunia pendidikan kita, seolah-olah semuanya
dimulai lagi dari nol.
Kekeliruan keempat adalah memaksakan melanjutkan penerapan Kurikulum 2013
meskipun rezim telah berganti, pemaksaan dengan ancaman sanksi ini melupakan :
-

Isi Surat Edaran Mendikbud No.179342/MPK/KR/2014 tertanggal 5 Desember 2014 dan isi
Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No.160 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember 2014
yang mengijinkan permberlakuan kembali Kurikulum 2006, dan mengabaikan dasar hukum
Kurikulum 2013 sendiri yaitu Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013

Isi dari Nawa Cita No.8 : pemerintah akan menata kembali kurikulum pendidikan nasional
(bukan melanjutkan kurikulum 2013 yang mengandung banyak kesalahan) yang terbukti
menyebabkan pendidikan kita makin merosot (lihat hasil survey berbagai lembaga
internasional tentang rendahnya kualitas pendidikan RI di bagian akhir dari Bab Pendahuluan

Pemaksaan pemberlakuan Kurikulum 2013 ini melanggar prinsip kebebasan mimbar


akademik yang dijunjung dalam Pasal 39 ayat 3 UU No.14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen)
: guru harus bebas dari ancaman, intimidasi dan perlakuan tidak adil dari birokrasi, yang
dirinci pada Pasal 14 ayat 1 butir (c ) dan butir (g), serta Pasal 7 butir (h) UU Guru dan Dosen
Kekeliruan kelima adalah menganggap apapun kurikulumnya pasti compatible dengan SKS

(sistim kredit semester), padahal penerapan SKS memerlukan kemampuan (kompetensi) guru dalam
penyusunan diktat, LKS, dan modul, serta monitoring proses belajar + evaluasi hasil belajar, yang
dilengkapi dengan keahlian guru dalam menyusun program pengayaan, sehingga program
prerequisite pengambilan angka kredit pada IP tertentu, dapat berjalan secara simultan. Misalnya
untuk belajar statistika, prerequisitenya : para siswa harus sudah diajar tentang parabola, sehingga
para guru tidak perlu menerangkan dari awal tentang pengertian kurva normal dan statistika tidak
hanya dipandang sebagai sekumpulan rumus-rumus belaka. Guru Biologi yang ingin menerangkan
tentang membran sel, harus yakin bahwa difusi dan osmose sudah diajarkan di Fisika. Dengan kata
lain, penerapan analisis vertikal dan analisis horizontal pada Analisis Kurikulum harus sahih (valid).
8

vii

Jelas sekali hal ini tidak mungkin dicapai bila profesionalitas guru dipangkas pada Kurikulum 2013
melalui Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 (guru hanya menyusun RPP saja). Bisa-bisa yang muncul
adalah penerapan paket SKS (bukan penerapan sistim baku SKS) yang tidak lain adalah penerapan
kelas akselerasi yang sudah banyak diterapkan di berbagai sekolah unggulan atau sekolah-sekolah
mantan RSBI dulu.
Kekeliruan keenam adalah upaya Kemdikbud untuk membendung arus globalisasi dan
liberalisasi pendidikan. Karena Kemdikbud abai pada amanat Perpres No. 77 Tahun 2007 dimana
sektor pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi modal asing (PMA) dan ketentuan Pasal 5
Permendikbud No. 158 Tahun 2014 : sekolah yang terakreditasi A, dapat menerapkan SKS (sistim
kredit semester). (Bukan penerapan paket SKS, tetapi penerapan sistim baru yaitu SKS).
Tanpa melihat konteksnya dengan WTO (World Trade Organization) dan ACMW (ASEAN
Committee on Migrant Workers), Kemdikbud mencoba melakukan pembatasan arus masuk modal
asing dan lalu lintas SDM asing itu melalui Permendikbud No. 31 Tahun 2014, sesuatu yang absurd
ditengah arus globalisasi dan liberalisasi pendidikan yang sudah kita ratifikasi dalam AFTA 2015
dan APEC 2020. Apalagi ide pembatasan arus lalu lintas SDM asing itu hendak dijabarkan melalui
pengakuan sertifikasi keahlian tenaga kerja yang bisa menjadi bumerang bagi tenaga kerja kita
sendiri yang kebanyakan unwell-educated dan unskilled labour (lihat score siswa kita dalam TIMSS,
PISA dan PIRL yang tak kunjung membaik). Kenapa? Karena sesuai dengan perjanjian WTO,
AFTA dan APEC, suatu keputusan itu selalu bersifat resiprokal (negara lain berhak melakukan dan
menerapkan peraturan yang sama). Negara lain bisa menuntut sertifikasi keahlian dari TKI/TKW
kita yang akan bekerja di luar negeri, seperti yang kita tuntut.
Maka tak ada jalan lain, dunia pendidikan kita harus mengadopsi e-learning melalui Disain
Kurikulum Digital dan TQM (Total Quality Management) agar dapat memenuhi standar ISO
9001:2008 sehingga kita dapat menjalankan amanat Pasal 3 UU Sisdiknas dan Pasal 5 Permendikbud
No. 158 Tahun 2014. Dengan demikian, kita mewujudkan komitmen kita dalam bersaing secara
kreatif pada era global saat ini.
Harapannya

agar

pemerintah

dan/atau

pemerintah

daerah

dapat

menjamin

terselenggarakannya pendidikan yang bermutu, sesuai amanat Pasal 3 dan Pasal 11 UU Sisdiknas,
sehingga dapat menjadi rujukan bagi negara-negara lain seperti yang sudah pernah terjadi dimasa
lalu, dan para diplomat kita dan tenaga kerja migran kita sudi mengirim kembali anak-anaknya
bersekolah di Sekolah Indonesia di luar negeri.
Pemenang Indonesia MDGs Award 2011
Penggagas e-learning dengan Disain Kurikulum Digital
Finalis untuk Asian CSR Award Category Education Improvement 2015, Bangkok, Sept 2015
9

viii

PENDAHULUAN
Tahun ajaran baru sudah dimulai pada bulan Juli 2015, namun Kemdikbud malah
memaksakan kelanjutan penerapan Kurikulum 2013, lupa akan adanya Surat Edaran Mendikbud
No. 179342/MPK/KR/2014 tertanggal 5-12-2014 dan Permendikbud No.160 Tahun 2014 tertanggal
11-12-2014, yang memberlakukan Kurikulum 2006 dan hendak mengkaji ulang Kurikulum 2013
sesuai Nawa Cita No.8 (bukan melakukan perubahan tambal sulam terhadap Kurikulum 2013)
Dua kurikulum yang sangat berbeda, yaitu Kurikulum 2006 (KTSP awal) dan Kurikulum 2013 :
1. Kurikulum 20062 mengusung ide bhineka tunggal ika (unity in diversity) dan otonomi
pendidikan (otonomi sekolah, otonomi guru dan kebebasan mimbar akademik) serta
desentralisasi pendidikan.
Kurikulum 2006 (KTSP awal) adalah kurikulum kontekstual berbasis local wisdom yang mengusung azas
kebhinekaan : Pasal 36 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) : Kurikulum pada semua jenjang dan
jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi
daerah, dan peserta didik. Diperkuat dengan turunannya yaitu Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005 : KTSP
dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan
peserta didik. Azas keikaan nampak dalam kewajiban pemerintah yang sudah dirumuskan dalam Pasal 38
ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) : Kerangka dasar dan struktur kurikulum ditetapkan oleh
pemerintah. (bukan merambah sampai ke Silabus, Buku Ajar, buku Pegangan Guru dan metode
pembelajaran (5 M); Karena guru harus membuat semuanya sendiri, maka guru tersebut disebut guru
profesional sesuai ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU No.20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) : Pendidik merupakan
tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan. (guru adalah konseptor dan inisiator kurikulum)
Hal ini juga diperkuat oleh Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen) : Dalam
melaksanakan tugas keprofesionalannya, guru berkewajban merencanakan pembelajaran, melaksanakan
proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran. ; Dielaborasi
dengan turunannya yaitu Pasal 19 ayat 3 PP No.19 Tahun 2005 : Setiap satuan pendidikan melakukan
perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan
pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Yang
dirinci secara detail dalam Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 : Perencanaan proses pembelajaran meliputi
silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran,
materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. (Jadi pembuatan silabus dan
penentuan materi ajar serta pemilihan sumber belajar mencerminkan otonomi guru (hak guru). Hal ini
diperkuat oleh Pasal 52 ayat 1 (a) PP No. 19 Tahun 2005 : Setiap satuan pendidikan harus memiliki pedoman
yang mengatur tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Silabus. Pasal 52 ayat 2 PP No. 19 Tahun
2005 : Pedoman sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (a) diputuskan oleh rapat Dewan Pendidikan dan
ditetapkan oleh Kepala Satuan Pendidikan. Penetapan kurikulum oleh kepala sekolah mencerminkan
otonomi sekolah. Lokalitas kurikulum terlihat dalam Pasal 14 PP No. 19 Tahun 2005 : Kurikulum dapat
memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal. (kurikulum menjadi kontekstual, tidak lagi kurikulum
tunggal dan seragam di tingkat nasional) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas;
Pasal 1 ayat 1 Permendiknas No.22 Tahun 2006 : Standar Isi mencakup lingkup materi minimal, dan tingkat
kompetensi minimal, untuk mencapai tingkat kelulusan minimal. (pemerintah menyusun SPM (standar
pelayanan minimal ) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 51 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas)
: Pengelolaan satuan pendidikan berdasarkan SPM berbasis MBS. (manajemen berbasis sekolah), bukan
manajemen ala Kemdikbud atau Dinas Pendidikan); dan Pasal 1 ayat 2 Permendiknas No. 24 Tahun 2006 :
Satuan pendidikan dapat mengembangkan kurikulum dengan standar yang lebih tinggi. (bukan
kurikulum seragam apapun visi dan misi sekolahnya)
11
2

Dasar pemberlakuan kembali Kurikulum 2006 (KTSP awal) adalah Pasal 1 dan Pasal 2 ayat
3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember 2014. Yang sebenarnya juga
termaktub dalam Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 yang ditanda tangani
oleh Presiden SBY tanggal 7 Mei 2013 (dalam tata perundangan : PP setingkat di atas
Permendikbud sehingga Permendikbud seharusnya mengacu pada PP)
Pasal 77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013 : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
merupakan Kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing
satuan pendidikan.
(Secara harafiah, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) itu bukan kurikulum tunggal dan
seragam secara nasional, tetapi kurikulum tingkat sekolah, maka dari itu kurikulum setiap sekolah
seharusnya berbeda, seperti yang sudah kita alami pada Kurikulum 1968, Kurikulum 1975,
Kurikulum 1984 dan Kurikulum 1994 dimana ijazah kita diakui di luar negeri, oleh karenanya para
guru kita diakui kualifikasinya sehingga banyak yang diminta mengajar di luar negeri). Kenapa?
Karena kebebasan mimbar akademik di sekolah dijaga (pemerintah hanya menyusun kerangka
dasar dan struktur kurikulum saja). Fungsi Dinas Pendidikan adalah men-supervisi apakah kurikulum
sungguh-sungguh dikembangkan sesuai ketentuan Standar Proses, sehingga bisa bersaing dengan
standar negara tetangga (siswa familiar dengan soal-soal GMAT, TOEFL, SAT, dll) (Lihat Pasal 38
ayat 2 UU Sisdiknas). Maka dari tahun ke tahun, para guru harus bisa menunjukkan adanya
perubahan pada Silabus dan RPP sebagai wujud pengembangan kurikulum (lihat Standar Proses
Kurikulum 2006). Akibat kontinuitas pengembangan Silabus dan RPP ini, kualitas pendidikan
meningkat, Sekolah Indonesia di luar negeri juga diminati warga asing, tidak seperti sekarang,
diplomat Indonesia dan para buruh migranpun tak mau menyekolahkan anaknya di Sekolah Indonesia
di luar negeri karena kualitasnya terus merosot.
Para asesor akreditasi sekolah dan Kepala Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan setempat saat
itu, bekerja bahu membahu untuk suksesnya penerapan Pasal 11 UU Sisdiknas : Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Para guru selalu diarahkan
untuk dapat mengembangkan Silabus dan RPP sehingga guru terdorong menjadi manusia
pembelajar (kualitas pendidikan makin meningkat). Masyarakat tahu dan bisa menilai, mana sekolah
yang sungguh-sungguh bermutu : artinya menjalankan semua ketentuan dalam Standar Proses dan
mana sekolah yang bersikap minimalis. Tanpa memasang iklan seperti sekarang, peminat ke
sekolah-sekolah yang mengembangkan kurikulum sampai ke tingkat HOT (Higher Order of
Thinking), selalu diserbu (dalam arti harafiah) oleh masyarakat.

12

Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa KTSP itu harus disusun sendiri oleh para guru (bukan
menunggu dropping silabus, buku ajar, dan buku pegangan guru, serta penetapan metode
pembelajaran

tunggal dan seragam, seperti metode saintifik (5 M), maka seharusnya KTSP

dilaksanakan sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing).

Guru bukan sekedar petugas

administrasi pengajaran (hanya sekedar membuat RPP), yang tunduk pada arahan instruktur
Kurikulum 2013 dan petunjuk para Pengawas. Harap diingat bahwa RPP bukan barang baru bagi
para guru. RPP sudah dikenal dalam Kurikulum 2006 dan KTSP Bimtek (2008). Jadi jelas, pelatihan
Kurikulum 2013 yang hanya bertumpu pada pembuatan RPP dengan segala kelengkapannya,
melecehkan program pendidikan S-1 para guru (menganggap program pendidikan calon guru di
LPTK : FKIP/PGSD itu jelek), dan menisbikan program diklat sertifikasi guru yang telah
menghasilkan jutaan guru bersertifikat. Kemampuan guru dalam menyusun kurikulumnya sendiri
menunjukkan profesionalitas guru sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas
dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, yang dijabarkan dalam Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005
dan Pasal 52 ayat 1 PP No. 19 Tahun 20053 (Lihat dasar hukum Kurikulum 2006 di Catatan kaki
No.2 pada Bab Pendahuluan). Harap diingat, istilah KTSP tetap dipakai dalam Kurikulum 2013,
sehingga maknanya tidak boleh digeser menjadi berlawanan dengan ketentuan Pasal 77 M ayat 1 PP
No. 32 Tahun 2013 (kurikulum yang disusun oleh masing-masing satuan pendidikan (sekolah) dan
dilaksanakan di masing masing satuan pendidikan (sekolah). Sebab ada upaya keras untuk
mengubahnya menjadi kurikulum yang disusun dan ditetapkan oleh pemerintah dan harus
dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan (sekolah) yang berarti Kemdikbud menjadi
inisiator, implementor dan eksekutor, serta regulator dan evaluator pendidikan, suatu hal yang
melanggar sepuluh prinsip good governance dan menyalahi semangat debirokratisasi dan deregulasi
yang dicetuskan pemerintah sendiri melalui Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009.
Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan.
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ini ditetapkan oleh kepala sekolah, artinya
Kurikulum 2006 (KTSP awal) itu sebenarnya mengakomodasi otonomi sekolah, yang dieksplisitkan
dalam Pasal 52 ayat 2 PP No. 19 Tahun 2005 (lihat dasar hukum Kurikulum 2006 di Catatan kaki
No.2 di Bab Pendahuluan). Fungsi Dinas Pendidikan adalah menjamin terlaksananya Standar Proses
(pengembangan

Silabus,

pengembangan

RPP,

implementasi

PAKEM/PAIKEM/PAIKEM

GEMBROT, dan penerapan pendidikan yang kontekstual (contextual teaching learning) seperti yang

Jadi profesionalitas guru ditentukan dari kemampuannya membuat kurikulum sendiri, bukan melalui kelulusan pada
program Diklat sertifikasi guru (lihat ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen

13

sudah diuraikan di atas. Dengan efektivitas penerapan Standar Proses, pengadopsian Pasal 11 UU
Sisdiknas menjadi lebih mudah dilaksanakan.
Karena menjunjung azas otonomi sekolah ini, maka dalam Kurikulum 2006 (KTSP awal) tidak
pernah disebut adanya para pengawas4 dalam artian Pengawas sekarang (baik Pengawas Sekolah
maupun Pengawas Mata Pelajaran), karena fungsi pengawasan dalam Kurikulum 2006 (KTSP awal)
itu inheren dengan tugas profesional guru dan mencerminkan otonomi guru (Lihat Catatan kaki
No.2 tentang dasar hukum Kurikulum 2006 di Bab ini, dan UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen). Keberadaan Pengawas Sekolah saat ini menafikan kepemimpinan (leadership) kepala
sekolah yang sudah dibina oleh LPPKS (Lihat Catatan kaki no.4). Keberadaan Pengawas saat ini
betul-betul menjadi watch dog kebijakan sekolah, melupakan fungsi pembinaan sekolah untuk
mempercepat pencapaian Standar Nasional Pendidikan (SNP), sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 10 UU Sisdiknas (pengawasan sebagai capacity building bagi kepala sekolah dan guru :
membantu dan membimbing).

Pengawasan gaya watch dog ini mempersulit sekolah dalam

menerapkan azas diversifikasi kurikulum sesuai amanat Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas karena
Pengawas hanya berpegang pada peraturan yang lebih rendah yaitu Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013
(Defungsionalisasi guru : guru hanya menyusun RPP saja, guru bukan lagi pendidik, tetapi hanya
sekedar tukang mengajar dan petugas administrasi pengajaran) Bandingkan Catatan kaki No.2 dan
peraturan yang lebih rendah lagi yaitu Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b (supervisi
akademik oleh Pengawas Mata Pelajaran dan supervisi Manajerial oleh Pengawas Sekolah,
sedangkan LPMP dikerdilkan menjadi sekedar pengawas administrasi : pengawas EDS saja).

Kurikulum 2006 tidak mengenal adanya jabatan Pengawas (baik Pengawas Sekolah maupun Pengawas Mata
Pelajaran sebagaimana adanya sekarang) karena pengawasan itu melekat pada tugas profesional guru : Pasal 19 ayat
3 PP No. 19 Tahun 2005 : Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan
proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya
proses pembelajaran yang efektif dan efisien, yang isinya sama dengan Pasal 19 ayat 3 PP No.32 Tahun 2013
(pengawasan itu inheren dalam KBM sehingga Kurikulum 2013 itu seharusnya juga tidak mengenal adanya pengawas
eksternal atau Pengawas Manajerial/Pengawas Akademik. Guru itu otonom sesuai dengan UU Guru dan Dosen. Jadi
Pengawas yang dimaksud dalam Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No.2 bertentangan dengan
dasar hukum Kurikulum 2013 sendiri, yaitu Pasal 19 ayat 3 PP 32 Tahun 2013
Kriteria Kepala Sekolah sebagai pengawas internal pendidikan dan manajer sekolah juga sudah dibakukan dalam Pasal
38 PP No. 19 Tahun 2005 (yang tidak diubah dalam PP No. 32 tahun 2013) Peraturan turunan dari PP ini sudah
dirumuskan dengan baik dalam Permendiknas No.28 Tahun 2010 tentang prasyarat menjadi kepala sekolah.
Permendiknas ini menguatkan eksistensi LPPKS (Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah) yang
didirikan atas dasar Permendiknas No.6 Tahun 2009 jadi Kurikulum 2006 (KTSP awal) tidak mengenal jabatan
pengawas eksternal. Dengan kata lain, Kurikulum 2006 menjunjung azas otonomi pendidikan.
Pengawas sebagai watch dog kebijakan sekolah muncul dalam peraturan yang lebih rendah : Permendikbud No.65
Tahun 2013 Bab VI No. 2 b. (Lihat juga Catatan kaki No. 1) : Pengawas dalam Lampiran Permendikbud No.65 Tahun
2013 Bab VI No.2 b adalah wujud dari inisiator, konseptor, implementor, eksekutor, regulator dan evaluator proyek
pendidikan yang menyalahi sepuluh prinsip good governance yang diusung dalam Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009.
4

14

Sayang sekali, semua ayat penting yang mendukung pelaksanaan otonomi pendidikan ini tidak
tersosialisasikan dengan baik kepada para kepala sekolah dan para guru. Nampaknya hal ini sudah
dipatronkan oleh Mendikbud M.Nuh saat meluncurkan Kurikulum 2013 tanggal 28 November 2012
di Hotel Mega Anggrek Jakarta : Tidak ada pertanyaan, lalu beliau pergi dari tempat pertemuan
begitu saja, meninggalkan para undangan dengan 5 M (melongo, menganga, mengernyitkan dahi,
yang berujung pada mengekor dan membebek apapun yang diputuskan). Saat itu, mulailah
dikumandangkan pemujaan pada pendangkalan (cult of philistinism). Banyak pihak selalu lupa
makna harafiah dari KTSP5, apalagi makna filosofisnya.
Makna filosofisnya tercermin dari diusungnya azas otonomi pendidikan dan desentralisasi
pendidikan, serta azas bhineka tunggal ika (unity in diversity) pada Kurikulum 2006, sehingga
Kurikulum 2006 sering juga disebut KTSP dalam arti harafiah (KTSP awal).
Azas bhineka tunggal ika (unity in diversity) dalam Kurikulum 2006 (KTSP awal) dijabarkan
menjadi azas kebhinekaan yang mengacu pada ketentuan Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas : diversifikasi
kurikulum sesuai dengan potensi daerah, kondisi sekolah dan keadaan siswanya, yang diperkuat
dengan peraturan turunannya yaitu Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005 : KTSP dikembangkan sesuai
dengan satuan pendidikan, potensi daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik
Penjabarannya terlihat di Pasal 52 ayat 1 butir (a) PP No. 19 Tahun 2005, dan Pasal 52 ayat 2 PP No.
19 Tahun 2005 (lihat Catatan kaki No.5 tentang kurikulum sekolah (KTSP)
Sedangkan azas keikaan digariskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas : pemerintah hanya
berkewajiban menyusun kerangka dasar dan struktur kurikulum (tidak merambah kemana-mana,
sampai ikut menyusun Silabus, buku ajar (materi ajar/sumber belajar), buku pegangan guru (buku
pedoman pelaksanaan proses pembelajaran), tidak merambah penilaian (yang terbukti salah) serta
penentuan metode pembelajaran (5 M), karena hal itu berarti menjadikan Kemdikbud sebagai
inisiator dan konseptor, implementor dan eksekutor, serta regulator dan evaluator program sekaligus,
menyalahi azas good governance dan debirokratisasi dan deregulasi yang digaungkan pemerintah
sendiri. Maka langkah Mendikbud Anies Baswedan untuk menghentikan fungsi UN sebagai satusatunya penentu kelulusan itu sudah benar : mengembalikan otonomi sekolah dalam proses kelulusan
5

KTSP : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Kurikulum sekolah), kurikulum tiap sekolah akan berbeda sesuai dengan
Visi dan Misi sekolah masing-masing, mengacu pada Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas tentang diversifikasi kurikulum dan
Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas tentang tugas profesional guru, yang diperkuat dengan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan
Dosen, yang dijabarkan dalam Pasal 17 PP No.19 Tahun 2005 dan Pasal 20 PP No.19 Tahun 2005, serta Pasal 52 ayat
1 butir (a) PP No. 19 Tahun 2005 : Setiap satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur KTSP dan
Silabus, yang dirinci dalam Pasal 52 ayat 2 PP No. 19 Tahun 2005 : Pedoman dimaksud diputuskan oleh rapat dewan
pendidikan dan ditetapkan oleh kepala sekolah, serta Pasal 1 ayat 2 Permendiknas No.24 Tahun 2006 : Satuan
pendidikan dapat mengembangkan kurikulum dengan standar yang lebih tinggi. (bukan kurikulum seragam). Hal
ini sejalan dengan tugas profesional seorang guru sesuai ketentuan Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 yang dirinci
dalam Pasal 20 PP No.19 Tahun 2005 (lihat Catatan kaki No.9), yang diperkuat dengan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3
PP No.32 Tahun 2013 (lihat Catatan kaki No.26)

15

Kemdikbud harusnya bergerak di tataran policy, bukan mencampuri urusan implementasi


(pemerintah mengakui otonomi sekolah dalam proses penentuan kelulusan). Sedangkan dalam
Kurikulum 2013 : Pemerintah sekaligus bertindak sebagai konseptor, pelaksana sekaligus pelaku
monev (monitoring dan evaluasi), sesuatu yang sebenarnya sangat ditentang oleh fungsi pengawasan
DPR/DPRD. Kalau mengacu pada Pasal 77 M ayat 3 PP No.32 Tahun 2013, seharusnya penetapan
kurikulum oleh kepala sekolah itu juga harus dihormati oleh Kemdikbud.
Azas bhineka tunggal ika dalam kurikulum ini sudah lama diterapkan dalam Kurikulum 1968,
Kurikulum 1975, Kurikulum 1984 dan pada penerapan Kurikulum 1994, dimana kurikulum lama ini
masih mengembangkan 6 wilayah makna yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika
dan sinoptis. Oleh sebab itu, pendalaman tentang sejarah pendidikan di Indonesia itu penting
sekali dikaji agar kurikulum kita tidak menjadi makin miskin (lihat Catatan * di Kata Pengantar,
yang tercermin dari perubahan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, yang dikerdilkan menjadi Pasal 20
PP No. 32 Tahun 2013 (defungsionalisasi guru : wewenang guru dipangkas hingga hanya tinggal
penyusunan RPP) (Isi lengkap dari pasal-pasal ini dapat dilihat pada Catatan kaki No.2 : dasar hukum
Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan)(Lihat juga Catatan kaki No.21)
2. Sedangkan Kurikulum 20136 dalam prakteknya, justru menegasikan dan menafikan otonomi
pendidikan serta menegakkan hegemoni pemerintah atas dunia pendidikan dan pengajaran,
oleh karenanya mencoba menyentralisasi kembali pendidikan dan pengajaran kita sehingga
menabrak ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen yang
sudah mengatur tugas profesional seorang guru, serta melanggar azas desentralisasi pendidikan
sebagaimana tercantum dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas (lihat Catatan kaki No.2)
Kurikulum 2013 juga abai pada dasar hukumnya sendiri, yaitu PP No.32 Tahun 2013 yang ditanda
tangani oleh Presiden SBY tanggal 7 Mei 2013. (Otonomi pendidikan tertuang dalam Pasal 77 M
ayat 1 : menjunjung otonomi guru, karena kurikulum disusun oleh guru di masing-masing sekolah,
dan Pasal 77 M ayat 3 : menjunjung otonomi sekolah, karena kurikulum ditetapkan oleh kepala
sekolah), namun pasal ini kurang disosialisasikan, bahkan kurang dikenal isinya di kalangan para
birokrat Kemdikbud cq Puskurbuk Balitbang Kemdikbud. Dasar hukum Kurikulum 2013 hanya
setingkat Peraturan Menteri (ada 28 permendikbud terkait dengan Kurikulum 2013, tapi anehnya
6

Dasar hukum dari Kurikulum 2013 ternyata hanya setingkat 28 Peraturan Menteri (terakhir menurut laman Kemdikbud
adalah Permendikbud No.108 Tahun 2014) yang justru menabrak perundangan di atasnya (Pasal 38 ayat 1 UU
Sisdiknas, dan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013). Juga Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas tentang
diversifikasi kurikulum, dan merampas hak dan kewenangan guru yang diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan
Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen (lihat Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 yang justru mendefungsionalkan guru yang
sudah diatur dalam Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005)
Permendikbud terakhir yang ditanda tangani oleh Mendikbud M.Nuh terkait dengan Kurikulum adalah Permendikbud
No. 158 Tahun 2014 tertanggal 17 Oktober 2014, Pasal 5 justru menyebut pemberlakuan SKS, bukan Kurikulum 2013

16

semua permendikbud itu menyebut KTSP, padahal KTSP punya arti dan konotasi khusus, seperti
yang sudah diuraikan di Catatan kaki No.5). Karena dasar hukumnya peraturan menteri, maka
menyalahi tata urutan perundangan yang berlaku (Permen (peraturan menteri) seharusnya mengacu
pada PP (peraturan pemerintah) yang ditanda tangani oleh Presiden, sebab Menteri adalah pembantu
Presiden) : 28 Permendikbud terkait Kurikulum 2013 itu seharusnya mengacu pada PP No.32 Tahun
2013 yang menjadi dasar hukum Kurikulum 2013.
Penegasian dan penafian otonomi pendidikan ini tercermin dari :

pelatihan guru dalam menyusun kurikulum tunggal dan seragam secara nasional, padahal
menurut ketentuan Pasal 77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013 : kurikulum harus disusun sendiri
oleh para guru di masing-masing sekolah, sesuai dengan makna harafiah KTSP dan makna
filosofis KTSP (lihat Catatan kaki No. 5 tentang kurikulum sekolah (KTSP). Pelatihan ini
mengabaikan kualitas pendidikan S-1 para guru di FKIP/PGSD dan menisbikan pengakuan
profesionalitas guru lewat program sertifikasi guru, yang juga sudah melewati diklat khusus.

munculnya Pengawas Sekolah sebagai supervisor manajerial dan Pengawas Mata Pelajaran
sebagai supervisor akademik (Lihat Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No.2
: Sistim dan Entitas Pengawasan), padahal pada Kurikulum 2006 (KTSP awal) dan
kurikulum-kurikulum sebelumnya, fungsi pengawasan itu melekat pada tugas profesional
guru (Lihat Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005, yang tidak diubah dalam Pasal 19 ayat 3
PP No. 32 Tahun 2013) (rincian isi Pasal-pasal ini dapat dilihat catatan kaki No. 9).
Keberadaan Pengawas saat ini sebagai watch dog kebijakan sekolah juga mengacaukan arti
Pasal 10 UU Sisdiknas (fungsi pengawasan sebagai capacity building kepala sekolah dan
guru : membantu dan membimbing) serta merendahkan hakekat kepemimpinan
(leadership) kepala sekolah yang sudah dibina oleh LPPKS (lihat Catatan kaki No.4),
akibatnya budaya organisasi sekolah juga tidak teraktualisasikan dengan baik, karena
Kemdikbud sekaligus berfungsi sebagai konseptor, inisiator, implementor, eksekutor dan
regulator serta evaluator, sesuatu yang sebenarnya sangat ditentang dalam era reformasi ini,
karena melanggar sepuluh prinsip good governance dan debirokratisasi serta deregulasi yang
digaungkan pemerintah sendiri, melalui Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009

guru itu seharusnya otonom (mempunyai kebebasan mimbar akademik, sesuai ketentuan
Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen). Kebebasan mimbar
akademik juga dijamin melalui Pasal 39 ayat 3 UU Guru dan Dosen (yang dijabarkan dalam
Pasal 14 ayat 1 butir (c ) dan Pasal 7 butir (h) UU Guru dan Dosen), sehingga tugas
pengawasan itu melekat pada tugas profesional seorang guru. Maka jabatan pengawas itu
17

tidak pernah disebut dalam UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan
Dosen). Sayangnya, hal ini hanya dipraktekkan di dunia perguruan tinggi (dosen itu tidak
mempunyai pengawas), padahal UU yang mengatur guru dan dosen itu sama.

pemangkasan isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi kerdil dalam Pasal 20 PP No.32
Tahun 2013 melalui pemberlakuan silabus tunggal dan seragam, buku ajar (buku teks/materi
pelajaran/sumber belajar) dan buku pegangan guru (buku panduan proses pembelajaran di
kelas) yang sama meskipun kondisi sekolah dan keadaan siswanya berbeda,

padahal

seharusnya penetapan semuanya itu bukan dilakukan oleh pemerintah, tapi oleh kepala
sekolah sendiri sesuai dengan amanat Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 (Pasal 77 M
ayat 3 ini mencerminkan diakuinya otonomi sekolah). Akibat pemangkasan itu, sekolah tidak
mempunyai pilihan, kecuali menghamba pada kekuasaan. Wewenang kepala sekolah selaku
manajer sekolah juga dipangkas melalui Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI
No.2 : Sistim dan entitas pengawasan

pemberlakuan model pendekatan yang seragam yaitu pendekatan saintifik (metode 5 M),
padahal masih ada begitu banyak metode, strategi dan model pembelajaran yang lain yang
lebih kontekstual dan situasional. Ukuran kinerja guru menjadi sangat terbatas, karena
metode hanya bisa diaplikasikan untuk peningkatan prestasi/kemampuan akademik siswa,
sesuai dengan Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II A No.3, yang di copy
paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian II A No.3 (Lihat Catatan * di Kata
Pengantar). Padahal metode tidak bisa mengatasi kemalasan siswa atau kebosanan/kejenuhan
belajar siswa. Kemalasan belajar siswa harus diatasi dengan penerapan strategi pembelajaran,
sedangkan kebosanan/kejenuhan belajar siswa harus diatasi dengan model pembelajaran.
Akibat penerapan metode tunggal (5 M) ini, kinerja guru dalam manajemen kelas menjadi
sangat terkungkung dalam satu tafsir. Manajemen berbasis sekolah (MBS) seturut Pasal 51
ayat 1 UU Sisdiknas, hanya tinggal kenangan saja.

karena Kurikulum 2013 itu dasarnya adalah KBK (2004)7 , maka masalah KBK berulang
pada Kurikulum 2013 yaitu pada masalah pengukuran capaian kompetensi siswa (program
penilaian). Program penilaian yang berkali-kali diubah8 dan tetap salah secara matematis itu
menurunkan wibawa akademik Kemdikbud. Tidak heran bila kemudian Perguruan Tinggi
diminta keluar dari naungan Kemdikbud dan bergabung dengan Kemristek, dengan harapan
agar Kemdikbud fokus pada pencapaian Pasal 3 dan Pasal 11 UU Sisdiknas.

7
8

Lihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis )(lihat Catatan * di Kata Pengantar)
Penilaian Kurikulum 2013 ada di Permendikbud No. 66 Tahun 2013, diubah melalui Lampiran IV Permendikbud No.
81 A Tahun 2013, lalu diubah lagi menjadi Lampiran II Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No.
5496/C/KR/2014 dan No. 7915/D/KP/2014, tanpa penjelasan matematis yang memadai kenapa penilaian diubah

18

Kecerdikan Presiden SBY untuk menyelipkan pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013
yang mengusung semangat otonomi pendidikan ini ternyata tidak diikuti oleh Mendikbud M.Nuh
dan jajarannya, yang masih berkutat dengan semangat hegemoni pemerintah melalui proyek
penyerapan anggaran 20% dari APBN sehingga melanggar Pasal 38 ayat 1 UU No.20 Tahun
2003 (UU Sisdiknas) dimana kewajiban pemerintah hanyalah sebatas menyusun kerangka dasar
dan struktur kurikulum saja, dan menabrak azas diversifikasi kurikulum, kurikulum yang
disesuaikan dengan potensi daerah, kondisi sekolah dan keadaan siswanya sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 36 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas). Sesuai dengan makna
harafiah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), maka guru adalah penyusun kurikulum
(tugas profesional guru sudah dirumuskan dalam Pasal 39 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 (UU
Sisdiknas) dan Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen), maka dari itu,
tugas pemerintah sudah dirumuskan dengan baik dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas, yaitu
menentukan kerangka dasar dan struktur kurikulum. Dengan kata lain, porsi terbesar pembuatan
kurikulum seharusnya mengacu pada ketentuan Pasal 77 M ayat 1 PP No.32 Tahun 2013,
kurikulum disusun oleh guru sendiri di masing-masing sekolah.9
Jadi sebenarnya pemberlakuan Kurikulum 2013 itu melanggar undang-undang, menabrak
10 prinsip good governance, abai pada debirokratisasi dan deregulasi, dan tidak mempunyai
pijakan hukum.10 (pijakan hukumnya sangat lemah, hanya setingkat Peraturan Menteri yang
justru mengabaikan PP No. 32 Tahun 2013 yang disebut-sebut sebagai dasar hukumnya (lihat Pasal
77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013). Azas bhineka tunggal ika (unity in diversity) dan
otonomi pendidikan direnggut dengan memangkas profesionalitas guru melalui pemangkasan isi
Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, yang dikerdilkan menjadi Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013 (lihat
catatan kaki No.2 tentang dasar hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan)
Permendikbud No. 81 A tahun 2013 yang disebut-sebut sebagai dasar hukumnya (pada saat
gencar-gencanrya pelatihan guru dalam Kurikulum 2013), ternyata hanyalah menyebut tentang SKS
(Lampiran I C Permendikbud No. 81A Tahun 2013) dan pedoman penilaian dalam Kurikulum 2013

Lihat Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 : Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses
pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses
pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien , yang dirinci dalam Pasal 20 PP No.
19 Tahun 2005 : Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, yang
memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian
hasil belajar. (Lihat juga Catatan kaki No.4 dan Catatan kaki No.5)
10
Bandingkan dengan dasar hukum dari Kurikulum 2006 pada catatan kaki No.2 di Bab Pendahuluan.
Dasar hukum Kurikulum 2013 adalah 28 Peraturan Menteri (yang terakhir adalah Permendikbud No.108 Tahun
2014) Permendikbud No. 158 Tahun 2014 justru tidak menyebut Kurikulum 2013, tapi SKS (lihat Pasal 5).
9

Seharusnya 28 Permendikbud itu gugur menghadapi peraturan yang lebih tinggi yaitu Pasal 77M PP No. 32 Tahun 2013
(28 Peraturan Menteri itupun juga hanya menyebut KTSP, bukan kurikulum baru atau KTSP 2013)

19

(Lampiran IV Permendikbud No. 81 A Tahun 2013) yang kemudian diubah beberapa kali. Padahal
penerapan SKS memerlukan prasyarat tumbuhnya kebebasan (mimbar) akademik, yang dijunjung
tinggi dalam otonomi pendidikan dan bertolak belakang dengan hegemoni pemerintah. Memang
pemerintah meng-claim sudah menjalankan SKS di beberapa sekolah, tetapi hal itu bukan penerapan
SKS dalam arti sesungguhnya seperti di sekolah-sekolah internasional atau di perguruan tinggi, yang
membutuhkan prerequisite mata pelajaran lanjutan yang akan diambil siswa dan mengenal
penambahan angka kredit untuk siswa yang mendapat IP tinggi (yang diwujudkan dengan
disiapkannya modul berkelanjutan, adanya moving class dan micro teaching), tetapi SKS yang
diterapkan di beberapa sekolah itu adalah SKS paket (1 semester 24 SKS, tak ada moving class dan
prerequisite penambahan angka kredit untuk IP yang berbeda-beda). SKS paket ini tak ubahnya
seperti penerapan kelas akselerasi yang sudah umum dilakukan pada sekolah unggulan dan RSBI.
Dengan demikian, nampak kebingungan birokrat Kemdikbud dengan Kurikulum 2013 :
a. Dicabutnya Permendikbud No. 67 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur
Kurikulum (yang sebenarnya mengacu pada Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas), diganti dengan
Permendikbud No. 57 Tahun 2014 (Implementasi Kurikulum 2013 di SD), dimana terlihat
jelas hegemoni pemerintah dan pemasungan otonomi sekolah dan pemangkasan otonomi
guru, yang dapat disimak pada bunyi ketentuan Pasal 1 ayat 2 (b) : (Kurikulum 2013 SD
terdiri atas Silabus) dan Pasal 1 ayat 2 (c) : (Kurikulum 2013 SD terdiri atas Pedoman Mata
Pelajaran dan Pembelajaran Tematik Terpadu) , juncto Pasal 9 ayat 2 (Silabus mata
pelajaran Agama dan Budi Pekerti dikembangkan oleh pemerintah) dan Pasal 9 ayat 3
(Silabus tematik terpadu dikembangkan oleh pemerintah dan dapat diperkaya dengan
muatan lokal oleh pemerintah daerah), serta Pasal 10 ayat 2 (Pedoman Mata Pelajaran dan
pembelajaran Tematik Terpadu dikembangkan oleh Pemerintah dan atau Pemerintah
Daerah).
Padahal kewajiban pemerintah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas11 dan
kewajiban Pemerintah Daerah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas12 agar
pemerintah fokus pada layanan pendidikan yang bermutu sebagaimana diamanatkan pada
Pasal 11 UU Sisdiknas dan Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas tentang penetapan SPM dan MBS

11
12

Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas : Pemerintah hanya menyusun kerangka dasar kurikulum dan struktur kurikulum saja.
Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas : Pemerintah Daerah hanya berfungsi sebagai koordinator dan supervisor dalam
pengembangan kurikulum (sesuai Standar Proses Kurikulum 2006), bukan malah sibuk mengikuti instruksi Pusat atau
sibuk menyusun dan mengembangkan kurikulum menurut penafsiran sendiri, sehingga ketika terjadi keterlambatan
pembagian ijazah lulusan sekolah saat ini, pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan tidak tahu mesti berbuat apa.

20

10

b. Dicabutnya Permendikbud No. 68 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur
Kurikulum (yang sebenarnya mengacu pada Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas), diganti dengan
Permendikbud No. 58 Tahun 2014 tentang Implementasi Kurikulum 2013 di SMP, dimana
terlihat jelas hegemoni pemerintah dan pemasungan otonomi sekolah dan pemangkasan
otonomi guru, yang dapat disimak pada bunyi ketentuan Pasal 1 ayat 2 (b) : (Kurikulum 2013
SMP terdiri atas Silabus) dan Pasal 1 ayat 2 (c) : (Kurikulum 2013 SMP terdiri atas Pedoman
Mata Pelajaran), juncto Pasal 9 ayat 2 (Silabus mata pelajaran umum kelompok A
dikembangkan oleh pemerintah) dan Pasal 9 ayat 3 (Silabus mata pelajaran umum kelompok
B dikembangkan oleh pemerintah dan dapat diperkaya dengan muatan lokal oleh pemerintah
daerah), serta Pasal 10 ayat 2 (Pedoman Mata Pelajaran dikembangkan oleh Pemerintah dan
atau Pemerintah Daerah).
Padahal kewajiban pemerintah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas dan
kewajiban Pemerintah Daerah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas agar
pemerintah fokus pada layanan pendidikan yang bermutu sebagaimana diamanatkan pada
Pasal 11 UU Sisdiknas dan Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas tentang penetapan SPM dan MBS
c. Dicabutnya Permendikbud No. 69 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum (yang
sebenarnya mengacu pada Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas), diganti dengan Permendikbud No.
59 Tahun 2014 tentang Implementasi Kurikulum 2013 di SMA, dimana terlihat jelas
hegemoni pemerintah dan pemasungan otonomi sekolah dan pemangkasan otonomi guru,
yang dapat disimak pada bunyi ketentuan Pasal 1 ayat 2 (b) : (Kurikulum 2013 SMA terdiri
atas Silabus) dan Pasal 1 ayat 2 (c) : (Kurikulum 2013 SMA terdiri atas Pedoman Mata
Pelajaran), juncto Pasal 9 ayat 2 (Silabus mata pelajaran umum kelompok A dikembangkan
oleh pemerintah), Pasal 9 ayat 3 (Silabus mata pelajaran umum kelompok B dikembangkan
oleh pemerintah dan dapat diperkaya dengan muatan lokal oleh pemerintah daerah), Pasal
9 ayat 4 (Silabus mata pelajaran peminatan Kelompok C dikembangkan oleh pemerintah),
serta Pasal 10 ayat 2 (Pedoman Mata Pelajaran dikembangkan oleh Pemerintah dan atau
Pemerintah Daerah).
Padahal kewajiban pemerintah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas dan
kewajiban Pemerintah Daerah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas agar
pemerintah fokus pada layanan pendidikan yang bermutu sebagaimana diamanatkan pada
Pasal 11 UU Sisdiknas dan perumusan Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas tentang penetapan SPM
dan MBS

21

11

Dengan demikian, nampak jelas bahwa pencabutan Permendikbud No.67, No.68, No.69 dan No.70
Tahun 2013 hanya untuk memuluskan jalan bagi Kemdikbud dalam pembuatan Silabus tunggal
dan seragam serta dropping buku siswa dan buku pegangan guru, karena isi Bagian I A sampai
Bagian II D Permendikbud No.57, No.58, No.59 dan No.60 Tahun 2014 itu persis sama (copy paste)
dengan permendikbud yang dicabut tersebut. (Lihat Catatan * di Kata Pengantar). Di sinilah
pemujaan terhadap pendangkalan (cult of philistinism) mulai diterapkan dalam pendidikan.
Pemaksaan pemberlakuan kembali Kurikulum 2013 menunjukkan bahwa jajaran
Kemdikbud bersikukuh pada visi dan misinya sendiri, meskipun rezim telah berganti, yang
mengabaikan Surat Edaran Mendikbud No. 179342/MPK/KR/2014 tertanggal 5 Desember
2014 dan Pasal 1 + Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember
2014.

Pemaksaan itu sebenarnya adalah bentuk pembangkangan terhadap visi dan misi

Presiden RI yaitu Nawa Cita No. 5 (peningkatan kualitas pendidikan), dan Nawa Cita No. 8 (akan
menata ulang kurikulum pendidikan nasional) : lihat hasil survey berbagai lembaga internasional
terhadap rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia di bagian akhir dari Bab Pendahuluan.
Jadi kontradiksinya adalah ketidak-sinkronannya peraturan menteri dengan peraturan
perundangan di atasnya, berbagai ketentuan dalam pasal-pasal permendikbud di atas ini jelasjelas melanggar Undang-undang yaitu :

Pasal 38 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) tentang batas yang boleh dilakukan
oleh pemerintah agar tidak terjebak menjadi Kementerian Persekolahan atau Dinas
Persekolahan (hanya sebatas menyusun Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum saja).
Kemdikbud terjebak menjadi konseptor, eksekutor, implementor dan regulator. Kemdikbud
merambah sampai ke jantung persekolahan, sehingga keterlambatan pembagian ijazah
lulusan hanya dianggap sebagai masalah administrasi, bukan masalah pelanggaran hak azasi
siswa yang akan bekerja atau melanjutkan ke pendidikan berikutnya (para lulusan tidak
dibekali ijazah asli yang justru dituntut oleh semua lembaga penyeleksi para lulusan itu).

Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas dengan pasal turunannya yaitu Pasal 17 PP No.19 Tahun 2005
: tentang diversifikasi kurikulum yang kontekstual (azas bhineka tunggal ika (unity in
diversity)
Jadi penyusunan kurikulum tunggal dan seragam untuk seluruh Indonesia itu
yang disosialisasikan melalui pelatihan guru yang seragam dan dikontrol oleh
para Pengawas itu, mengabaikan prinsip diversifikasi kurikulum (tidak
kontekstual dan abai pada aspek lokalitas (local wisdom) (Lihat catatan kaki No.4)
Sesuai dengan prinsip good governance, sesuatu yang sifatnya top down selalu
bermasalah (hal itulah yang hendak dicegah melalui PP No.19 Tahun 2005 pada Pasal
22

12

19 ayat 3, Pasal 20, Pasal 52 ayat 1 dan Pasal 52 ayat 2). Pasal-pasal penting dalam
PP No.19 Tahun 2005 ini justru dihapus dalam Kurikulum 2013 (tidak ada lagi dalam
PP No.32 Tahun 2013). Namun Pasal 19 ayat 3 tetap dipertahankan, artinya
pengawasan itu melekat pada tugas profesional guru, tapi anehnya : ada jabatan
Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran, padahal di daerah sudah ada LPMP
(Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan) dengan tugas dan wewenang yang persis sama
dengan Pengawas itu (lihat Pasal 1 ayat 31 PP No. 32 Tahun 2013).
Kontradiksi mulai dimunculkan lagi di Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013
Bab VI No.2 : Sistim dan Entitas Pengawasan :
i. Pengawas Sekolah melakukan supervisi manajerial
ii. Pengawas Mata Pelajaran melakukan fungsi supervisi akademik
iii. LPMP melakukan pengawasan administratif melalui EDS (Evaluasi Diri
Sekolah)
Maka Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 : Sistim dan
Entitas Pengawasan, ini bertentangan dengan dasar hukum Kurikulum 2013
yaitu isi Pasal 19 ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 (Lihat juga catatan kaki No.4)
Banyak pihak yang salah mengartikan : dikira Pengawas ini sudah ada sejak dulu karena
mengacu pada Pasal 10 UU Sisdiknas. Padahal pengawasan oleh Dinas Pendidikan di masa
lalu, sesuai dengan bunyi lengkap Pasal 10 UU Sisdiknas, bukan hanya berfungsi sebagai
capacity building (koordinator dan supervisor pengembangan kurikulum) tetapi juga
membimbing dan membantu sekolah, bukan watch dog kebijakan sekolah, yang memastikan
bahwa Standar Proses dilaksanakan di tiap sekolah (Pengembangan Silabus, Pengembangan
RPP, implementasi PAKEM, dan pelaksanaan Pendidikan yang Kontekstual), tolok ukurnya
adalah sekolah berhasil menyusun Silabus dan RPP yang makin lama makin menunjukkan
kualitas pengembangan intelektual (sampai ke tingkat HOT (Higher Order of Thinking),
sehingga memastikan bahwa sekolah siap go international menjadi SBI (bukan sekedar
RSBI) yang ditunjukkan dengan siswa yang terbiasa dengan kurikulum internasional,
termasuk soal-soalnya (GMAT, SAT, TOEFL). Bukankah hal ini yang ditekankan pada
sekolah-sekolah unggulan dulu?

Dengan demikian fungsi pengawasan oleh Dinas

Pendidikan adalah memastikan agar pertemuan rutin Majelis Guru Mata Pelajaran (MGMP)
menghasilkan pendidikan kolaboratif dan partisipatif sesuai prinsip PAKEM (bukan
supervisi manajerial atau supervisi akademik). Kalau di lapangan terbukti bahwa pertemuan
MGMP itu tidak lebih dari pertemuan arisan, maka yang perlu diperbaiki adalah pola
recruitment calon guru di PGSD/FKIP. Para calon guru SD harus lulusan SMA IPA karena
23

13

mereka akan mengampu Mata Pelajaran IPA dan Matematika sepanjang hari di kelas, terbiasa
dengan kegiatan praktikum IPA yang diperlukan dalam pembimbingan metode 5 M, dan
terpola untuk berpikir deduktif yang diperlukan dalam abstraksi tematik integratif di SD.
Dalam hal ini, kita harus belajar dari sekolah Pelita Harapan, Dian Harapan, dan Lentera
Harapan (Lippo Grup) yang kurang mempercayai kualitas calon guru di PGSD/FKIP yang
ada dan mendidik calon gurunya sendiri melalui Teacher College di Universitas Pelita
Harapan, Lippo Karawaci, Tangerang. Atau Prof. Yohanes Surya yang kecewa dengan
menurunnya kualitas guru sains hingga mendidik calon guru sains sendiri melalui STKIP
Surya Institute di Sumarecon, Tangerang Selatan. Atau Sampoerna Academy Boarding
School, yang kecewa dengan kualitas cara mengajar guru sains dan matematika hingga
menyiapkan tenaga guru sendiri berbekal STEM (Science, Technology, Engineering dan
Mathematics) melalui Mathematics Education di Sampoerna University. Namun masalah
belum selesai karena mereka menghadapi persoalan baru yaitu turunnya minat generasi muda
berkualitas untuk menjadi guru (satu-satunya profesi yang mempunyai banyak pengawas
resmi).

Lalu Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 diamputasi menjadi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 :
guru hanya menyusun RPP (hak untuk menyusun silabus, menentukan materi ajar dan
sumber belajar (buku teks pelajaran), serta pelaksanaan proses pembelajaran (buku
pegangan guru) dirampas demi proyek penyerapan anggaran. Hak untuk menyusun
RPP itu juga dikebiri melalui pelatihan guru secara seragam di tingkat nasional yang
dikontrol ketat oleh para Pengawas, mengabaikan fungsi PPPG (Pusat Pengembangan
dan Penataran Guru) atau PPPPTK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan
Pendidik dan Tenaga Kependidikan) dan LPMP, serta Kepala Seksi Kurikulum Dinas
Pendidikan di daerah, seolah-olah RPP adalah barang baru yang belum dikenal guru
Padahal Kurikulum 2006 sudah mengenal pembuatan Silabus dan RPP oleh guru
sendiri. Hal ini nampak dari Pasal 52 PP No. 19 Tahun 2005 tentang pedoman
penyusunan dan penetapan silabus, yang dihapus karena isi PP No. 32 Tahun 2013
langsung melompat dari Pasal 43 terus ke Pasal 64 (Pasal 52 dihapus). Dengan
demikian, guru bisa tidak tahu lagi cara membuat Silabus. Kalau guru tidak menguasai
pembuatan Silabus, bahayanya guru tidak lagi tahu cara membuat diktat dan modul
(sekolah tidak dapat menerapkan sistim baku SKS (bukan paket SKS). Kualitas guru
bukannya ditingkatkan untuk menghadapi era globalisasi dan liberalisasi
pendidikan saat ini, tetapi profesionalitas guru malah dipangkas dan guru
menjadi subordinasi Pengawas (supervisor akademik guru), bahkan dikesankan
24

14

menjadi subordinasi para instruktur : harus mengikuti semua omongan


instruktur : otonomi guru hilang. Nampak jelas bahwa Kemdikbud menganut
pemujaan terhadap pendangkalan (cult of philistinism), sebab profesionalitas guru
sudah dirumuskan dengan baik pada Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir
(a) UU Guru dan Dosen. (Isi pasal-pasal ini dapat dilihat di Catatan kaki No.2).
Profesionalitas guru ini diamputasi melalui ketentuan Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013
(isinya memangkas kewenangan guru sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 PP No.
19 Tahun 2005) (Isi lengkap dari pasal-pasal ini dapat dilihat Catatan kaki No.2 di
Bab Pendahuluan).

Dalam Kurikulum 2013 ini, Kemdikbud bukan saja

bertindak sebagai inisiator dan konseptor, tetapi sekaligus bertindak sebagai


implementor dan eksekutor, serta regulator, bahkan kebablasan sampai
menjadi evaluator keberhasilan pelaksanaan Kurikulum 2013 (survey kepuasan
publik atas Kurikulum 2013 juga dilakukan dan dibiayai oleh Kemdibud sendiri) :
betul-betul top down yang abai pada partisipasi publik (demokrasi dibunuh di
jantungnya sendiri : di sektor pendidikan, di sektor penyiapan generasi muda) suatu
hal yang menyalahi ketentuan Pasal 4 UU No. 25 Tahun 2009

Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas : tentang tugas profesional seorang guru


Jadi guru tidak boleh menunggu dropping silabus, buku ajar, buku pegangan
guru dan menunggu arahan bagaimana menerapkan metode pendekatan
saintifik (5 M), semuanya harus disusun sendiri, agar mampu membuat diktat,
LKS dan modul sendiri, sehingga siap maju ke SKS sebagaimana tertulis dalam
Lampiran I Permendikbud No. 81 A Tahun 2013 dan Pasal 5 Permendikbud No.
158 Tahun 2014
Setelah keberadaan RSBI dihapus oleh MK (Mahkamah Konstitusi) melalui Keputusan MK
No.5/PUU-X/2012, Kemdikbud bukannya mendorong sekolah-sekolah agar maju ke SBI,
agar supaya bisa menerapkan SKS (sehingga kurikulumnya terakreditasi secara internasional
dan manajemen sekolah tersertifikasi ISO 9001:2008), tetapi Kemdikbud seperti
kehilangan arah, malah memangkas kewenangan guru melalui penetapan Pasal 20 PP No.
32 Tahun 2013 (guru hanya tinggal menyusun RPP saja : guru menjadi sekedar tukang
mengajar dan petugas administrasi pengajaran). Kemdikbud malah terjebak dalam pemujaan
terhadap kedangkalan (cult of philistinism), luput menjadikan sekolah sebagai center of
excellence, dan lalai menjadikan pendidikan untuk memanusiakan manusia muda
Kemdikbud alpa untuk memberdayakan bonus demografi dalam penciptaan strong human
capital dan culture of excellence.
25

15

Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen : tentang kewajiban profesi guru;
Menjadi guru profesional berarti guru yang mampu merencanakan semua
kegiatan belajar-mengajar (KBM) sendiri, termasuk mampu menilai secara
benar

13

Guru profesional jangan dikerdilkan menjadi guru yang lulus Diklat

sertifikasi guru selama 3 hari itu, tapi guru yang mampu memenuhi ketentuan isi Pasal
1 ayat 2 Permendiknas No. 24 Tahun 2006 : guru yang mampu mengembangkan
kurikulum dengan standar yang lebih tinggi
Dengan diberlakukannya AFTA 2015 dan APEC 2020 maka profesionalitas guru
ditentukan dari kelulusan dalam sertifikasi internasional, kalau tidak memenuhi
ketentuan intenasional itu, kita akan terlindas dalam era globalisasi ini

Pasal 77 M PP No. 32 Tahun 2013 ayat 1 dan ayat 3 tentang otonomi guru dan otonomi
sekolah (kurikulum disusun sendiri oleh guru dan ditetapkan oleh Kepala Sekolah) sehingga
eksistensi Kurikulum 2013 dapat dipertanyakan, terutama dalam persiapan kita menyongsong
MEA 2015 dan APEC 2020, yang memerlukan kurikulum yang go international yang
diterapkan di SBI (sekolah Indonesia yang terakreditasi secara internasional)
Masalah SBI (sekolah bertaraf internasional) hendaknya tidak diartikan sebagai
sekedar memasang papan nama, tetapi sungguh-sungguh menyiapkan e-learning dan
digital library, termasuk keberadaan Bank Soal yang valid,

kesemuanya itu

memerlukan kebebasan mimbar akademik dan otonomi pendidikan (otonomi sekolah


dan otonomi guru) seperti yang sudah dikembangkan pada era sekolah RSBI dulu dan
era sebelum Kurikulum 1994, yang seharusnya diacu pada penerapan SKS (Pasal 5
Permendikbud No.158 Tahun 2014).
Rujukan dasar hukum yang secara eksplisit tidak menyebut adanya Kurikulum 2013 tercermin dalam
Lampiran I C butir 1 b dan Lampiran I C butir 2 b Permendikbud No. 81 A Tahun 2013, yang justru
menyebutkan adanya SKS, bukan adanya kurikulum baru.
Padahal Permendikbud No. 81 A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum ini ditanda tangani
oleh Mendikbud M.Nuh tanggal 27 Juni 2013, pada saat sibuk-sibuknya pelaksanaan pelatihan
Kurikulum 2013 (rupanya M. Nuh mengacu pada dasar hukum dari Kurikulum 2013, yaitu Pasal 77
M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 : kalau guru mampu menyusun kurikulumnya sendiri,
maka guru juga dapat membuat diktat, LKS dan modul, hingga mampu melakukan monitoring proses
belajar (penilaian berbasis kelas), serta ahli dalam menyusun program pengayaan sendiri, oleh
karenanya bisa melangkah maju ke SKS), yang dikuatkan dengan ketentuan Pasal 5 Permendikbud

13

Lihat Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, serta Pasal 20 PP No.19 tahun 2005

26

16

No.158 tahun 2014 yang ditanda tangani oleh Mendikbud M.Nuh tanggal 17 Oktober 2014 : sekolah
yang terkareditasi A, dapat menerapkan SKS.
28 Permendikbud tentang Kurikulum 2013 kalau diteliti dengan cermat, sama sekali tidak
memuat adanya kurikulum baru, yang ada adalah KTSP, lalu kenapa pemerintah cq Kemdikbud
sibuk dengan kurikulum baru? Bukankah KTSP itu sudah dirumuskan dengan baik dasar
hukumnya dan panduannya? (Lihat catatan kaki No.2 tentang dasar hukum Kurikulum 2006 di
Bab Pendahuluan)
Kurikulum 2013 baru disebut dengan jelas dalam Pasal 2 ayat 1 Permendikbud No. 160 Tahun
2014 (istilah Kurikulum 2013 justru muncul setelah pergantian Mendikbud dan setelah penghentian
pelaksanaan Kurikulum 2013 lewat implementasi Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160
Tahun 2014 tertanggal 11 Desember 2014 itu), sebelumnya Kurikulum 2013 ini dikenal sebagai
KTSP 2013 (sebagaimana sudah diuraikan di atas, secara harafiah KTSP itu adalah kurikulum
sekolah, bukan kurikulum tunggal di level nasional. KTSP itu sifatnya lokal dan kontekstual. Jadi
istilah KTSP 2013 itu rancu, karena pengertian KTSP yang benar adalah KTSP awal (Kurikulum
2006) (Lihat dasar hukum Kurikulum 2006 pada catatan kaki No.2 di Bab Pendahuluan) (Lihat 28
permendikbud terkait Kurikulum 2013 yang semuanya menyebut KTSP)(Lihat Catatan kaki No.5).
Akibat pemberlakuan kurikulum ganda yang saling bertolak belakang ini, muncullah :
- (Kurikulum 2006 (KTSP awal) dan sistim baku SKS (bukan paket SKS) yang mengusung
otonomi pendidikan, serta
- KTSP Bimtek (2008) dan Kurikulum 2013 yang mengusung hegemoni pemerintah,
maka kerancuan dan kekeliruan terus membayangi dunia pendidikan dan pengajaran kita, lupa pada
Perpres No. 77 Tahun 2007 yang ditanda tangani oleh Presiden SBY tanggal 3 Juli 2007, yang
menyatakan bahwa pendidikan terbuka bagi PMA (Penanaman Modal Asing) dan abai pada
pemberlakuan pasar bebas ASEAN (AFTA : ASEAN Free Trade Agreement) dimana sektor jasa
pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi arus modal asing dan lalu lintas SDM (sumber daya
manusia) dari negara lain. Apalagi menghadapi APEC 2020, dianggap masih jauh dan tak terbayang.
Pembatasan akses modal asing dalam sektor pendidikan dilakukan melalui Permendikbud No.31
Tahun 2014

14

yang justru bisa memancing reaksi negatif dari WTO dan menegasikan mekanisme

Badan Sektoral Khusus Buruh Migran (ACMW : ASEAN Committee on Migrant Workers) : hak
guru untuk bermigrasi ke negara lain adalah hak azasi manusia yang harus dilindungi. Pembatasan
melalui Permendikbud No.31 Tahun 2013 itu justru menunjukkan ketidak mampuan kita dalam
menyiapkan strong human capital dan culture of excellence dalam menghadapi era globalisasi ini.

14

Permendikbud No.31 Tahun 2014 tentang Kerja sama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan oleh Lembaga
Pendidikan Asing

27

17

Jadi kita harus siap menerima para guru asing yang terlatih dalam pembuatan silabus,
penyusunan diktat (materi ajar/sumber belajar) dan modul, e-learning, dll, sementara guru kita
justru :
-

makin konsumtif (akibat penghamburan dana sertifikasi untuk kegiatan non pendidikan),
karena program sertifikasi guru tidak terkait dengan uji kompetensi guru dan kinerja guru

tidak lagi menguasai teknik pembuatan silabus, buta cara menyusun diktat, dan modul

kurang memanfaatkan digital library (dikira digital library itu sama dengan e-book), serta

kurang menguasai program penilaian menggunakan excell

Memang pemerintah pernah melaksanakan UKG (Uji Kompetensi Guru) beberapa tahun yang lalu
dan akan melaksanakan lagi di bulan November 2015, namun mengingat profesionalitas guru sudah
dipangkas melalui Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013, maka hasilnya bisa ditebak, semua guru akan
dibuat lulus UKG (seperti semua siswa akan dibuat lulus UN).

Sebab hasil UKG itu bisa

mendelegitimasi program sertifikasi guru (atas dasar apa tunjangan sertifikasi selama ini dikucurkan)
Sinyalemen yang penulis tuturkan pada peluncuran Cetakan 1 di bulan September 2015 ini sekarang
terbukti. Direktur Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
IPA, Kemdikbud, Sudiono, meminta guru tak mengkhawatirkan perolehan nilai. Hasil UKG tidak
akan mempengaruhi apa pun kecuali menjadi dasar pemberian program pengembangan
kompetensi. Ini hanya akan menjadi dasar pemberian materi atau modul dan bentuk diklat untuk
masing-masing guru,, katanya. Jadi program tebar uang melalui sertifikasi guru yang tak terkait
dengan kompetensi atau kinerja guru memang terbukti.

Bahkan melalui sertifikasi guru bisa

dirancang proyek baru yang berkelanjutan : diklat baru (jangan tanya diklat yang dulu itu untuk apa)
Pemerintah mencoba menyiasati MEA 2015 ini melalui pemberlakuan sertifikasi tenaga ahli
yang boleh bekerja di Indonesia, lupa pada ketentuan azas resiprokal dalam WTO. Kalau program
sertifikasi ini diterapkan oleh negara lain bagi TKI/TKW kita yang bekerja di luar negeri, akan
menjadi senjata makan tuan dan berakibat fatal bagi diri kita sendiri. Jutaan TKI/TKW kita akan
dipulangkan karena termasuk dalam uncertified workers, padahal lapangan kerja yang tersedia di
tanah air sudah semakin sempit. Dampak sosialnya akan sangat besar bagi negara kita.
Kerancuan berpikir ini hanya menunjukkan bahwa Kemdikbud selalu sibuk dengan misinya
sendiri, yaitu penyerapan anggaran sebesar-besarnya melalui 3 program besar : (1) program tebar
uang lewat sertifikasi guru yang tak terkait dengan kompetensi dan kinerja guru, (2) pemberlakuan
UN manual, meskipun sudah digagas pemberlakuan UN Online yang logikanya bertolak belakang
dengan penghapusan Mata Pelajaran TIK di sekolah, dan (3) pemaksaan keberlanjutan Kurikulum
2013, abai pada Nawa Cita (Nawa Cita No.1, No.5 dan No.8), serta abai pada Nawa Kerja.
28

18

Pemberlakuan kurikulum ganda yang saling bertolak belakang ini akhirnya :

Membiaskan tujuan pendidikan nasional, dari mencerdaskan kehidupan bangsa15 menjadi


meningkatkan kompetensi konseptual orang per orang16, yang nampak dari rumusan kerangka
dasar kurikulum (Kurikulum 2013), yaitu Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD),
yang tidak koheren dan ambigu17 Rumusan KI dan KD dalam Kurikulum 2013 yang sudah
disosialisasikan (dengan menambahkan kata SPIRITUAL pada KI dan KD) ternyata
dikembalikan lagi menjadi rumusan SK dan KD pada Kurikulum 2006 melalui Lampiran
Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab III A No. 1 c : Kompetensi Inti merupakan gambaran
secara kategorial mengenai kompetensi dalam aspek sikap, pengetahuan dan ketrampilan
yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas atau mata pelajaran.
(Kata spiritual yang tercantum eksplisit dalam Pasal 77 C PP No. 32 Tahun 2013, dihapus
(sikap sosial dan spiritual disatukan), dan Bab III A No. 1 d : Kompetensi Dasar merupakan
kemampuan spesifik yang mencakup sikap, pengetahuan dan ketrampilan yang terkait
dengan muatan atau mata pelajaran. (Kata spiritual yang tercantum eksplisit dalam
Pasal 77 D PP No. 32 Tahun 2013, dihapus (sikap sosial dan spiritual disatukan)
Puskurbuk Kemdikbud berdalih : sikap adalah penyatuan sikap spiritual dan sikap sosial. Jadi
bukan sikap yang dipahami sebagai afektif dalam KTSP awal (Kurikulum 2006) dan KTSP
Bimtek (2008)
Pendekatan ini menimbulkan masalah baru :
Sikap sebagai penyatuan sikap spiritual dan sikap sosial, mengandung arti pendidikan
nilai, pengukuran sikap spiritual seharusnya menggunakan Spiritual Quotient (SQ),
sedangkan pengukuran sikap sosial seharusnya menggunakan Civic Quotient (CQ).
Sedangkan sikap, pengetahuan dan ketrampilan dalam KTSP itu yang dimaksud adalah nama
lain dari afektif, kognitif dan psikomotor, mengandung arti pendidikan holistik. Sikap
(afektif) sendiri adalah pengembangan daya cipta, pengukurannya menakar afeksi yang

Tujuan pendidikan nasional sudah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 : mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang dijabarkan dalam Pasal 3 UU Sisdiknas
16
Lihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis : Kurikulum 2013 dikembangkan
atas teori KBK (competency-based curriculum) yang juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun
2014 Bagian II D Landasan Teoritis (lihat juga pada Catatan * tentang Permendikbud ini di Kata Pengantar)
17
Rumusan Kompetensi Inti mirip dengan rumusan Standar Kompetensi (Kurikulum 2006), hanya ditambah kata :
SIKAP SPIRITUAL (Pasal 77 C PP No.32 Tahun 2013), sedangkan rumusan KD Kurikulum 2013 mirip dengan
rumusan KD Kurikulum 2006, hanya ditambah kata : SIKAP SPIRITUAL (Pasal 77 D PP No.32 Tahun 2013, sehingga
pengukurannya seharusnya menggunakan pengukuran Kecerdasan Spiritual (SQ) dalam Multiple Intelligence.
15

Namun rumusan ini diubah lagi melalui Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab III A No 1 c (untuk KI) dan Bab
III A No. 1 d (untuk KD) : sikap spiritual dan sikap sosial disatukan sehingga rumusan KI dimirip-miripkan dengan SK,
dan rumusan KD pada Kurikulum 2013 dimirip-miripkan dengan KD pada Kurikulum 2006

29

19

tercermin pada pemilihan Kata Kerja Operasional dengan skor pada Analisis Esensi Materi.
Dua pengertian yang berbeda jauh, yang membawa konsekuensi pada perbedaan pengukuran
keberhasilannya.

Rumusan KI dan KD yang baru ini membawa Kurikulum 2013 di simpang jalan : sebenarnya
Kurikulum 2013 itu ada atau tidak? Kalau KI pada Kurikulum 2013 dimirip-miripkan
dengan SK pada Kurikulum 2006, dan KD pada Kurikulum 2013 dimirip-miripkan dengan
KD pada Kurikulum 2006, maka nampaknya Kemdikbud berhasrat atau ingin
mengimplementasikan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 itu, tapi mata
anggaran di dalam APBN untuk pelatihan guru, pembuatan silabus, penyusunan buku ajar
dan buku pegangan guru nampaknya sudah terlanjur cair, the show must go on (at all cost).

Akibat sikap ambigu itu adalah kacaunya pedoman penilaian (beberapa kali harus diubah
tanpa penjelasan yang memadai dan tanpa memperhatikan bahwa rapor terdahulu sudah
terlanjur dibagikan ke orang tua) sehingga menyulitkan penulisan rapor siswa (rapor masih
manual dengan tingkat subyektivitas tinggi (tidak computerized), hingga rapor bukan lagi
penilaian otentik, karena narasi tidak berkorelasi secara langsung dengan capaian nilai
(dalam Rapor Lembar I : Evaluasi Hasil Belajar), dan narasi juga tidak berkaitan langsung
dengan hasil pengamatan (observasi) guru (dalam Rapor Lembar II : Monitoring Proses
Belajar), hingga mengacaukan arti KKM (Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal) sebagai batas
bawah kompetensi siswa18 dan KKI (Kriteria Ketuntasan Belajar Ideal) sebagai batas atas
kompetensi siswa. Dalam beberapa kali perubahan penilaian (Permendikbud No.66 Tahun
2013, Lampiran IV Permendikbud No.81 A Tahun 2013, dan Peraturan Bersama Dirjen
Dikdas dan Dirjen Dikmen No.5496/C/KR/2014 dan No.7915/D/KP/2014) terlihat bahwa
KKM tidak lagi digunakan pada program penilaian Kurikulum 2013 (KKM : 75 C, dan
KKM : 75 IP : 2). Kemdikbud membuat acuan baru, yaitu batas lolos adalah B ~ 2,67 atau
2,67~75%, yang justru membuat penilaian makin rancu, lihat Bab V Kompetensi vs Penilaian
Itulah sebabnya Kemdikbud sampai hari ini tidak berani mencetak buku rapor (Laporan Hasil
Belajar) Lembar I (evaluasi hasil belajar) dan Lembar II (monitoring proses belajar).
Kalau melihat pergantian istilah Tugas Terstruktur menjadi Proyek dan mengkaji
implementasi metode saintifik (metode 5 M), maka sebenarnya Kurikulum 2013 ini mengacu
pada PBL (project-based learning) sehingga penilaiannya seharusnya mengacu pada

18

Beberapa kali Pedoman Penilaian ini diubah (Permendikbud No.66 Tahun 2013, tapi masih salah, lalu diubah lagi
dengan Lampiran IV Permendikbud No. 81 A Tahun 2013 : kesalahannya dapat dilihat di Bab V, sehingga diubah lagi
lewat Lampiran II Peraturan Bersama Dirjen Dikdas Hamid Muhammad dan Dirjen Dikmen Achmad Jazidie No.
5496/C/KR/2014 dan No. 7915/D/KP/2014 yang juga salah secara matematis, oleh karenanya program penilaian tidak
bisa dilakukan secara computerized (interval nilai, konversi nilai dan predikat, serta KKM tidak terumuskan secara
benar), padahal kita sudah memasuki era digital

30

20

Penilaian Rubrik, dimana kinerja siswa dihargai sebagai capaian paedagogisnya padahal
Kurikulum 2013 masih menggunakan soal-soal Pilihan Ganda yang tidak cocok sama sekali
untuk penilaian rubrik yang sebenarnya mengukur tahap-tahap perkembangan kinerja siswa.

Portofolio (yang merujuk pada grafik kemajuan belajar siswa), dan monitoring proses belajar
siswa (yang menunjukkan daya serap siswa) tidak terukur, sehingga pendidikan holistik tetap
hanya menjadi slogan (rumusan kata-kata sikap, pengetahuan dan ketrampilan pada KI
dan KD itu tidak dapat serta merta ditafsirkan sebagai afektif, kognitif dan
psikomotor)19 Narasi pada rapor menjadi subyektif dan kualitatif, bahkan masih banyak
yang ditulis secara manual (bukan authentic assessment lagi).

Akibatnya, SPM, MBS dan manajemen kelas berdasarkan pemetaan potensi siswa (multiple
intelligence) menjadi terabaikan. Apa saja yang mesti dikuasai oleh anak kelas 6 SD ? Apa
saja yang mesti dikuasai oleh anak kelas 9 SMP sebagai bekal untuk penentuan jurusannya di
kelas 10 SMA? Apa saja yang mesti dikuasai anak kelas 12 SMA sebagai bekal untuk masuk
ke perguruan tinggi ?

20

Kalau SPM tidak kunjung ditetapkan, jangan heran kalau Bimbel (bimbingan belajar) dan les
privat menjamur dimana-mana. Orang tidak percaya lagi pada kualitas sekolah kita. Dengan
kata lain, mengirim anak ke sekolah hanya dipahami agar anak tidak menganggur di rumah,
sedangkan perkara intelektualitasnya diurus diluar jam sekolah melalui Bimbel/les privat. Hal
ini nampak jelas pada anak-anak yang akan melanjutkan studi ke luar negeri, mereka harus
menempuh kelas persiapan khusus (foundation) di berbagai lembaga pre-universities yang
makin menjamur, baru kemudian anak itu bisa menempuh test GMAT, SAT, TOEFL, dll
Padahal sampai satu dasa warsa yang lalu, ijazah kita masih diakui di luar negeri karena bobot
kurikulum kita yang sangat tinggi.
Puskurbuk berkilah bahwa SPM itu sudah ditetapkan dalam Permendikbud No.23 Tahun
2013, padahal kalau kita kaji, isinya adalah standar sarana dan prasarana yang minimal harus
ada di suatu sekolah, bukan SPM akademik yang dapat menjawab kenyataan : kenapa
banyak materi uji dalam TIMSS dan PISA yang tidak terdapat dalam kurikulum kita? 21

Rumusan kognitif, psikomotor, dan afektif pada KTSP selalu dikaitkan dengan pemilihan ranah Kata Kerja
Operasional, bukan dipatok sejak awal melalui rumusan KI dan KD dimana sikap adalah gabungan dari sikap spiritual
dan sikap sosial yang sukar terukur (sikap spiritual harus diukur melalui SQ dan sikap sosial melalui CQ)
20
Bandingkan dengan kurikulum internasional yang secara jelas mencantumkan SPM, seperti IB (International
Baccalaureate), CIE (Cambridge International Examination), ACT (Australian Capital Territory Certification), SAT
(Scholastic Aptitude Test atau Scholastic Assessment Test dari USA)
21
Lihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian IA No 2 b Tantangan Eksternal, yang di copy paste dalam
Lampiran Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian I A No.2 b Tantangan Eksternal (lihat Catatan * pada Kata
Pengantar)
19

31

21

(Uraian lebih rinci tentang SPM Akademik dapat dibaca pada Bab I Filosofi Pendidikan dan
Bab II Pendidikan vs Persekolahan pada bagian MBS dan SPM)

PTK dan PTS menjadi kegiatan yang berdiri sendiri, lepas dari konteksnya dalam strategi
pemecahan masalah pada pencapaian target kurikulum dan model belajar (siswa mau
diarahkan ke kognitivisme, behaviorisme, atau ke konstruktivisme, atau tidak kemana-mana)

Akibat dari pemberlakuan kurikulum tunggal dan seragam secara nasional pada KTSP
Bimtek dan Kurikulum 2013 ini, ciri khas sekolah menjadi hilang, semua menjadi serba sama,
(Silabus sama, buku ajar sama, buku pegangan guru sama, bahkan metode pembelajarannya
(Metode 5 M) sama. Dengan demikian Visi dan Misi sekolah kehilangan konteksnya dalam
pembelajaran di kelas. Masing-masing guru mengajar tanpa menghiraukan Visi dan Misi
sekolah yang telah menjadi hiasan dinding itu. Beberapa sekolah mencoba merumuskan
ciri khas dan keunggulan komparatifnya melalui pendidikan humaniora dan
religiositas, namun terkendala cara pengukuran keberhasilannya dan bagaimana
mengintegrasikannya dalam rapor yang mengukur kompetensi siswa.

Melihat problematika SPM dan MBS yang tak kunjung diselesaikan ini, (SPM Akademik
belum terumuskan dan para Pengawas tidak mendorong agar sekolah dapat memperoleh
sertifikasi manajemen ISO 9001:2008), ditambah dengan rancunya menakar urgensi otonomi
pendidikan dan kebebasan mimbar akademik di sekolah, maka beberapa lembaga kemudian
berinisiatif mendidik tenaga gurunya sendiri. (Teacher College Universitas Pelita Harapan
untuk melayani kebutuhan guru sekolah-sekolah Lippo Grup (Sekolah Pelita Harapan, Dian
Harapan dan Lentera Harapan di berbagai kota), STKIP Surya Institute untuk melayani
kebutuhan guru sains dan matematika yang mampu membimbing siswa dalam Olimpiade
Sains dan Matematika, Mathematics Education Sampoerna University untuk melayani guru
yang memenuhi kualifikasi STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) bagi
Sampoerna Academy Boarding School.

Masalahnya, generasi muda yang berkualitas

terlanjur tidak tertarik untuk menjadi guru, sehingga harus dipancing dengan beasiswa.
(Uraian lebih rinci tentang SPM dan MBS dapat dilihat di Bab II Pendidikan vs Persekolahan
pada bagian MBS dan SPM)
Mengapa peluncuran Kurikulum 2013 ini memunculkan resistensi tinggi hingga perlu
pemaksaan dari Dinas Pendidikan setempat ? Karena rumusan KI (KI 1 KI 4) sangat berbeda
dengan rumusan KI universal (KI 1 KI 6) (lihat penjelasan tentang KI yang harus dikuasai siswa
pada Bab IV : Kurikulum vs Kompetensi), akibatnya KI dan KD tidak koheren, serta pijakan
hukumnya rancu :
32

22

PP No. 32 Tahun 2013 : Pasal 77 M ayat 1 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan


merupakan Kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing
satuan pendidikan) dan ayat 3 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ditetapkan oleh
kepala satuan pendidikan) tidak pernah disosialisasikan.

Kemdikbud tetap

melaksanakan pelatihan guru secara seragam dengan pengawasan ketat dari para Pengawas
(Pengawas menjadi eksekutor, regulator dan evaluator kurikulum), melupakan sejarah
pendidikan dimana kualitas pendidikan kita pernah diakui di luar negeri dan para guru kita
pernah diminta mengajar di luar negeri.

Pengambil-alihan wewenang sekolah dalam

menyusun kurikulumnya sendiri di sekolahnya sendiri memancing reaksi : apakah para guru
inti (instruktur) itu mempunyai kompetensi (apakah mereka spesialis disain kurikulum) dan
apakah rekam jejaknya (track record) memadai untuk menjalankan fungsi implementor dan
eksekutor proyek, karena yang dipertaruhkan adalah masa depan generasi muda kita.
Istilah instruktur juga memunculkan konotasi subordinasi (para instruktur merasa
mempunyai wewenang untuk mengharuskan macam-macam hal kepada para guru, padahal
banyak guru S-2 mempunyai jam terbang yang cukup tinggi dalam mengajar di sekolah
unggulan atau mantan RSBI atau kelas akselerasi, tapi sekarang mereka yang mumpuni ini
menjadi subordinasi instruktur yang hanya mendapat pelatihan beberapa hari itu), Apakah
para instruktur itu peduli dengan kemerosotan score para siswa kita dalam TIMSS (Trends in
International Mathematics and Science Study), PIRL (Progress in International Reading
Literacy) dan PISA (Programme in International Students Assessments)? (Banyak materi
yang diujikan dalam TIMSS dan PISA tidak ada dalam kurikulum kita (Lihat Bagian I A No.
2b Tantangan Eksternal pada Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013, yang di copy
paste dalam Lampiran Permendikbud No. 57 Tahun 2014 (Lihat Catatan * di Kata Pengantar).
Dengan kata lain, Kurikulum 2013 yang ditatar lewat para instruktur itu makin miskin
materi. Apakah mereka peduli dengan makin menurunnya jumlah siswa yang mendapat
beasiswa dalam sains dan iptek ke luar negeri yang mencerminkan kualitas luaran kurikulum
kita yang tidak mampu bersaing di era global? Mengapa pertanyaan ini diajukan? Karena
para instruktur itu selalu menjalankan lurus-lurus apa yang didapat hanya dalam beberapa
hari pelatihan di tingkat nasional tanpa peduli bahwa dikemudian hari, permendikbud-nya
bisa berubah lagi. Karena permendikbud yang baru harus mengacu pada tata perundangan
yang lebih tinggi, yaitu PP No. 32 Tahun 2013, terutama harus mengacu pada Pasal 77 M
ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 serta Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir
(a) UU Guru dan Dosen yang sudah mengatur profesionalitas guru. Harap diingat bahwa
permendikbud yang baru juga harus mengacu pada Nawa Cita No. 8 : Akan menata kembali
33

23

kurikulum

pendidikan

nasional

dengan

mengedepankan

aspek

pendidikan

kewarganegaraan dan Presiden Jokowi sudah menyatakan : Tidak ada lagi visi dan misi
kementerian, yang ada adalah visi dan misi Presiden (Pidato Presiden Jokowi pada
pelantikan para menteri Kabinet Kerja tanggal 27 Oktober 2014). Ada upaya Kemdikbud
untuk melupakan dan mengabaikan Nawa Cita No. 8 dan Pidato Presiden Jokowi
pada pelantikan menteri ini, lalu sibuk dengan misi Kemdikbud sendiri (meskipun
rezim sudah berganti), yaitu menggolkan Kurikulum 2013 bikinan rezim lama at all
cost.

Pasal 77 F PP No. 32 Tahun 2013 tidak sinkron dengan Pasal 38 UU Sisdiknas


Didalam Pasal 77 F PP No. 32 Tahun 2013 ayat 1 : Silabus merupakan rencana
pembelajaran pada mata pelajaran atau tema tertentu dalam pelaksanaan kurikulum, dalam
ayat 3 : Silabus sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikembangkan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah dan satuan pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Sedangkan kewenangan pemerintah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : Kerangka dasar dan
struktur kurikulum ditetapkan oleh pemerintah. (tidak merambah sampai ke silabus, buku
ajar, buku pegangan guru, dll)
Kewenangan Pemerintah Daerah sebagai koordinator dan supervisor pengembangan
kurikulum, juga sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : Kurikulum pendidikan dasar dan menengah
dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan
dan komite sekolah/madrasah dibawah koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan atau
kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk
pendidikan menengah.
Jadi dropping Silabus tunggal dan seragam melalui pelatihan guru yang seragam secara
nasional itu melanggar kewenangan satuan pendidikan (sekolah) serta hak koordinasi dan
supervisi dari Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten atau Dinas Pendidikan Propinsi, untuk
mengembangkan kurikulum yang relevan bagi daerahnya (azas diversifikasi kurikulum
seharusnya dipertahankan). Kenapa potensi daerah tidak tergarap? Karena wewenang Kepala
Seksi Kurikulum di Dinas Pendidikan tumpang tindih dengan tugas para Pengawas, dan tugas
LPMP telah diambil oleh Pengawas, sehingga penjaminan mutu pendidikan tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Sebagaimana sudah diuraikan di atas, penjaminan mutu hanya bisa
berjalan bila guru mampu mengembangkan Silabus dan RPP sendiri sesuai Standar Proses.
Di lain pihak tugas pemberdayaan guru yang diemban oleh PPPG/PPPPTK sudah diambil
34

24

alih para instruktur nasional, para guru diharuskan menerapkan lurus-lurus instruksi para
instruktur. Tugas dan wewenang Kepala Sekolah yang sudah dibina melalui LPPKS
dimentahkan oleh keberadaan Pengawas Sekolah (Lihat Lampiran Permendikbud No.65
Tahun 2013 Bab VI No.2 : Sistim dan entitas pengawasan). Aplikasi Kurikulum 2013 tidak
boleh melenceng sedikitpun dari bahan tatar. (Lihat Catatan kaki No. 4 dan Catatan kaki
No.5). Inilah saatnya, Kemdikbud melakukan reformasi birokrasi, bila Kemdikbud mau
melaksanakan Nawa Cita No.5 dan Nawa Cita No.8
Akhirnya, isi Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014 dilupakan, Kemdikbud tidak
mempersiapkan sekolah menuju ke SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) dan para Pengawas
tidak mempersiapkan sekolah meraih sertifikasi manajemen ISO 9001:2008, padahal era
globalisasi dan liberalisasi pendidikan sudah diberlakukan di tahun 2015 ini (strong human
capital dan culture of excellence tidak tersentuh dalam Kurikulum 2013).

Kenapa silabus tidak boleh diurus oleh pemerintah?


Alur filosofinya jelas, yaitu silabus yang berlaku sejak KBK (2004), KTSP Bimtek (2008) dan kini
pada silabus kurikulum 2013 adalah Silabus campuran (mixed syllabus), yaitu perpaduan antara:
Silabus Pemelajaran (Learner-generated syllabus), Silabus yang berorientasi pada tugas (taks-based
syllabus), Silabus yang berorientasi pada ketrampilan (skill-based syllabus) dan Silabus kontekstual
(situational syllabus). Jadi Silabus tidak dapat copy paste dari buku atau dari penataran Kemdikbud
yang seragam itu karena mengingkari hakekat Silabus kontekstual (situational syllabus). Kalau
silabus dirumuskan oleh pemerintah, maka kelompok penyusun silabus bentukan pemerintah ini,
yang terdiri dari orang-orang dengan bermacam-macam latar belakang, yang tidak mendalami sejarah
pendidikan Indonesia, akan cenderung kompromistis untuk mengejar tenggat waktu, sehingga
banyak bahan ajar/materi yang hilang dari silabus (Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun
2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal, yang di copy paste di Lampiran Permendikbud
No.57 Tahun 2014 Bagian I A No. 2 b) (lihat Catatan * di Kata Pengantar)
Pasal 77 F ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 (Silabus dikembangkan oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan satuan pendidikan sesuai kewenangan masing-masing), ayat ini
tidak mengacu pada Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas yang menjunjung otonomi sekolah
(Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik).
Jadi jelaslah, bahwa Pasal 77 F ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 ini sejak semula digunakan untuk
melegitimasi pembuatan silabus oleh pemerintah (memangkas otonomi sekolah) sehingga
35

25

pemerintah merasa punya hak untuk membuat juga buku ajar dan buku pegangan guru (mengebiri
Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005), namun maksud hegemoni pemerintah ini justru melanggar UU di
atasnya. Kalau guru tidak lagi bisa membuat Silabus, maka guru tidak mungkin bisa membuat diktat
dan modul, penerapan SKS menjadi angan-angan saja (Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014
itu menjadi utopia). Yang ada adalah penerapan paket SKS yang sudah lama dilakukan pada sekolahsekolah RSBI dulu dan kelas akselerasi, yang tidak mungkin diakreditasi secara internasional.
Pasal 77 F ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 ini secara jelas menunjukkan bahwa
Kemdikbud sebagai inisiator Kurikulum 2013 juga bertindak sebagai implementor dan
regulator, serta evaluator pendidikan. Suatu rangkap jabatan yang sangat ditentang dalam
era reformasi karena menyalahi sepuluh prinsip good governance, yang tertuang dalam Pasal
4 UU No.25 Tahun 2009.
Kenapa kekeliruan ini bisa terjadi?
Karena sejak awal rupanya Kemdikbud bermaksud meniadakan otonomi pendidikan (otonomi
sekolah, otonomi guru dan kebebasan mimbar akademik) demi proyek penyerapan anggaran 20%
dari APBN untuk sektor pendidikan Kalau besaran APBN kita lebih dari Rp.2.000 trilyun, maka
anggaran untuk sektor pendidikan kurang lebih adalah Rp.400 trilyun. Untuk pendidikan dasar dan
menengah di lingkup Kemdikbud saja Rp. 45 trilyun. Bingung, kan bagaimana penyerapan dana
sebesar itu? Kenapa tidak dirupakan kelengkapan sarana dan prasarana sekolah? Karena spec
alatnya mudah dimonitor sehingga tidak mungkin di mark up. Disamping itu, pembelian peralatan
hanya sesaat (tidak berkelanjutan), sekolah yang sudah mempunyai peralatan CCTV tidak mungkin
membeli CCTV yang baru. Maka digagaslah program berkesinambungan yaitu program tebar uang
melalui sertifikasi guru yang tidak terkait uji kompetensi guru dan kinerja guru, sistim evaluasi
tunggal (UN) dan peluncuran kurikulum baru, dengan mengubah peraturan (Lihat Catatan kaki No.25
: mengubah peraturan sebagai modus pencairan dana)
Lihatlah rumusan Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 : Perencanaan pembelajaran merupakan
penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran untuk setiap muatan pembelajaran.
Bandingkan dengan rumusan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 yang menjadi dasar hukum
Kurikulum 2006 : Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus, rencana
pelaksanaan pembelajaran, yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi
ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.

36

26

Jadi jelas bahwa Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 ini menghapus kewenangan guru dalam membuat
silabus, menentukan materi ajar dan sumber belajar. Dengan kata lain, kewenangan untuk membuat
silabus sendiri, memilih sendiri buku ajar dan buku pegangan guru dirampas.
Guru dikerdilkan hanya menjadi penyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), itupun RPP
yang seragam lewat pelatihan guru yang seragam dan sama secara nasional, terjadi pendangkalan
makna profesi guru dan wewenang keguruan (cult of philistinism)
Jadi pendidikan selama 4 tahun di FKIP itu dikerdilkan hanya menjadi kemampuan menyusun
RPP, dan juga banyak guru dari mantan sekolah RSBI itu berpendidikan S-2, wajarkah bila
mereka juga harus mengikuti pelatihan penyusunan RPP dalam Kurikulum 2013?
Jelas sekali bahwa proyek pelatihan guru ini adalah proyek penghamburan uang rakyat (porsi
terbesar postur APBN kita diperoleh dari pajak yang dibayar oleh rakyat)
Harap diingat, sebenarnya PP No. 19 tahun 2005 ini masih berlaku dengan diberlakukannya
Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 yang ditanda tangani oleh
Mendikbud Anies Baswedan tanggal 11 Desember 2014, namun proyek besar penyerapan
anggaran melalui Kurikulum 2013 ini tetap meneruskan dan melestarikan hegemoni pemerintah
melalui pelatihan guru secara seragam dan sama secara nasional, yang dilengkapi dengan keberadaan
Pengawas, yang menghapus kebebasan mimbar akademik para guru
Isi ketentuan Pasal 39 ayat 3 UU No.14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen), yang dijabarkan
dalam Pasal 7 butir (h) dan Pasal 14 butir (c ) UU Guru dan Dosen : guru berhak mendapat
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan sehingga bebas dari
ancaman, intimidasi dan perlakuan tidak adil dari birokrasi (hanya karena guru tersebut mau
melaksanakan Kurikulum 2006 sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3
Permendikbud No.160 Tahun 2014). Ternyata kebebasan mimbar akademik ini digerus
dengan dikeluarkannya peraturan yang lebih rendah, yaitu Lampiran Permendikbud No.65
Tahun 2013 Bab VI No.2 : Sistim dan entitas pengawasan, yang memberi wewenang penuh
kepada :
- Pengawas Sekolah untuk mengontrol manajemen sekolah (mengabaikan MBS yang sudah
diatur dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas)
- Pengawas Mata Pelajaran untuk mengontrol guru mata pelajaran (mengabaikan
profesionalitas guru yang sudah diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20
butir (a) UU Guru dan Dosen

37

27

Fungsi kepengawasan ini dengan sengaja dirancang untuk penyeragaman kurikulum dan
pemberlakuan kurikulum tunggal (Kurikulum 2013) dengan pendekatan kekuasaan, yang menabrak
azas diversifikasi kurikulum, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas, dengan
pasal turunannya yaitu Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005.
Secara sadar dan terencana, Kemdikbud telah menurunkan harkat dan martabat guru sebagai
pendidik, menjadi sekedar tukang mengajar dan petugas administrative, demi mengejar
misinya sendiri (abai terhadap Nawa Cita No.8).

Kemdikbud lupa akan proyek yang lebih

besar yaitu menyiapkan sekolah dan para guru dalam menyongsong era globalisasi dan liberalisasi
pendidikan yang sudah dimulai tahun 2015 ini agar memenuhi aspirasi yang diusung oleh Nawa Cita
No.5 (Kemdikbud harus menyiapkan strong human capital dan menciptakan culture of excellence).

Pengucuran anggaran yang begitu besar untuk sosialisasi Kurikulum 2013 dan
pencetakan buku ajar, serta buku pegangan guru telah membuat sarana dan prasarana
pendidikan kita terbengkalai.

Masih banyak bangunan sekolah yang rusak, sarana

laboratorium yang kurang memadai untuk kegiatan intra kurikuler : praktikum IPA dan
praktikum akuntansi, laboratorium Bahasa yang menjadi barang langka di banyak sekolah,
peralatan olah raga dan musik terbengkalai, dll

Bagaimana mungkin dengan kondisi

persekolahan yang kurang memadai ini, sekolah dapat diharapkan menerapkan moving class
dan micro teaching agar mampu melaksanakan

pembelajaran mandiri dalam SKS

sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014 ?


Sejak disosialisasikannya KTSP Bimtek (2008) yang berbeda dengan Kurikulum 2006 (KTSP awal),
dan kemudian dilanjutkan dalam Kurikulum 2013, di lapangan muncul adanya Pengawas Sekolah
dan Pengawas Mata Pelajaran sebagai cerminan hegemoni pemerintah dalam pengajaran dan
pembelajaran di kelas (bukan sekedar hegemoni pendidikan), padahal jabatan pengawas itu tidak
dikenal dalam UU Guru dan Dosen (guru dan dosen tidak perlu diawasi)22 tapi muncul dalam
peraturan yang lebih rendah yaitu Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No 2 : Sistim dan Entitas
Pengawasan (Permendikbud tentang Pengawas ini menyalahi tata urutan perundangan yang
ada, kalau Permendikbud menyalahi aturan yang lebih tinggi, harusnya gugur demi hukum)
(Lihat catatan kaki No.4)
Dalam Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 malah disebut fungsi pengawasan internal itu
melekat pada setiap satuan pendidikan (sekolah) dan tidak diubah dalam Pasal 19 ayat 3 PP No.

22

Isi Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 itu sama dengan isi Pasal 19 ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 : pengawasan itu
inheren dalam tugas professional guru (lihat juga Catatan kaki No. 4)

38

28

32 Tahun 2013 : Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran,


pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses
pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
Sudah layak kita mengikuti analogi pergantian jabatan rektor perguruan tinggi, setelah seseorang
tidak lagi menjabat rektor, maka dia kembali mengajar sebagai dosen biasa. Bahkan mantan
Mendikbud Prof Dr. Fuad Hasan telah memberi contoh, setelah tidak lagi menjabat menteri, beliau
kembali mengabdi sebagai dosen UI. Kenapa untuk mantan Kepala Sekolah harus disediakan jabatan
khusus : Pengawas Sekolah ? Lebih aneh lagi adalah Pengawas Mata Pelajaran : apakah mereka itu
para doktor yang lulus cum laude sehingga merasa berhak mengawasi pelaksanaan mata pelajaran di
kelas dan mengatur guru S-1 atau S-2 mata pelajaran yang sudah dididik di PGSD/FKIP serta sudah
disertifikasi ?
Sebab kalau kita rujuk pada Pasal 23 PP No. 19 Tahun 2005 (yang tidak diubah dalam PP No. 32
Tahun 2013) dinyatakan bahwa supervisi juga dilakukan oleh sekolah (bukan oleh pengawas) :
Pengawasan proses pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 3 meliputi
pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan dan pengambilan langkah tindak lanjut yang
diperlukan.
Hal ini sudah lama dipraktekkan, supervisi guru dilakukan oleh Kepala Sekolah masing-masing, tapi
tiba-tiba muncul Pengawas Mata Pelajaran, sehingga guru mempunyai dua atasan, yaitu Kepala
Sekolahnya dan Pengawas Mata Pelajaran. Dualisme ini harus segera diakhiri kalau kita ingin
menegakkan otonomi guru dan kebebasan mimbar akademik, yang pada masa lalu telah memantik
kreativitas guru dan menjadikan pendidikan di negara kita sebagai rujukan bagi negara lain.
Demikian juga halnya dengan keberadaan Pengawas Sekolah, padahal kriteria untuk menjadi
Kepala Sekolah sudah dirumuskan dengan jelas dalam Pasal 38 PP No. 19 Tahun 2005 (yang tidak
diubah dalam PP No. 32 tahun 2013) dan peraturan turunannya yaitu Permendiknas No.28 Tahun
2010, lalu kenapa ada Pengawas Sekolah ? Bukankah hal ini melanggar azas otonomi sekolah (Pasal
77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013)? (lihat juga Catatan kaki No.4)
Kemdikbud berkilah bahwa keberadaan Pengawas ini sejalan dengan ketentuan Pasal 10 UU
Sisdiknas, padahal bunyi lengkap pasal ini adalah Pemerintah dan Pemerintah daerah berhak
mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan, padahal arti
sebenarnya adalah :
1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi
penyelenggaraan pendidikan, yang artinya mengarahkan, membimbing, membantu dan
39

29

mengawasi standarisasi proses pendidikan, bukan mengarahkan, membimbing, membantu


dan mengawasi penyelenggara pendidikan atau mengawasi sekolah.
Artinya, sesuai dengan UU, Pengawas seharusnya tidak mempunyai fungsi komando ke
sekolah
Jadi keberadaan Pengawas seharusnya terkait dengan Standar Proses (Pengembangan RPP,
Pengembangan Silabus, Penerapan PAKEM/PAIKEM/PAIKEM GEMBROT, serta aplikasi
pembelajaran kontekstual (contextual teaching learning)
2. Pengawas bukan saja menjalankan fungsi pengawasan an sich, tetapi juga mengarahkan,
membimbing dan membantu tercapainya Standar Nasional Pendidikan (SNP) secara lebih
cepat.
Kehadiran para Pengawas ini juga mengacaukan arti SKM (Sekolah Kategori Mandiri) :
mandiri dalam hal apa? Kenyataannya, sekolah secara finansial masih didukung oleh dana BOS dan
macam-macam dana pemerintah yang lain; secara paedagogik : kurikulumnya ditentukan oleh
Kemdikbud; secara didaktik : metode dan sistim konversi nilai juga sudah digariskan oleh
Kemdikbud. Jadi SKM ini tidak lebih dari slogan kosong, sama kosongnya seperti rumusan Visi dan
Misi sekolah, karena semua sekolah sudah dibuat seragam, seragam bajunya dan seragam
kurikulumnya, apapun Visi dan Misi sekolahnya.
Munculnya Pengawas ini dulu seiring dengan dikucurkannya dana BOS mengabaikan fungsi
pengawasan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang mempunyai aparat
sampai ke daerah dan Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) atau Inspektorat Wilayah Propinsi
(Itwilprop) dan Inspektorat Wilayah Kabupaten (Itwilkab)
Mungkin ada pejabat yang menyalah-artikan kata penilik sekolah dan menyamakan dengan
pengawas, padahal dalam Pasal 40 ayat 1 PP No. 19 tahun 2005 (dan tidak diubah dalam PP No. 32
Tahun 2013) : penilik sekolah itu adalah pengawas pendidikan non formal, bukan pendidikan formal
Pengawasan pada pendidikan non formal dilakukan oleh penilik satuan pendidikan.
Mungkin pula ada pejabat yang menyatakan : bukankah pengawas itu sudah ada sejak dulu?
Tidak benar, yang ada adalah Dinas Pendidikan menjalankan fungsi supervisi pengembangan
kurikulum sebagai amanat dari Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas, dengan mandat Pasal 1 ayat 2
Permendiknas No. 24 Tahun 2006 : Satuan pendidikan dapat mengembangkan kurikulum dengan
standar yang lebih tinggi (bukan kurikulum seragam, apapun visi dan misi sekolahnya) (Dinas
Pendidikan mensupervisi apakah Isi Standar Proses Kurikulum 2006 : Pengembangan Silabus,
Pengembangan RPP, PAKEM dan Pendidikan yang konstektual, sudah dijalankan atau belum), maka
kurikulum sekolah Taman Siswa bisa berbeda dengan kurikulum sekolah Muhammadiyah, bahkan
kurikulum antar sekolah negeripun bisa berbeda, sehingga orang tua mempunyai pilihan terbuka.
40

30

Sama halnya kalau orang tua memilih menyekolahkan anaknya ke ITS atau ke ITB, pilihan terbuka
karena kurikulumnya berbeda, meskipun kedua perguruan tinggi itu sama-sama menawarkan studi
sains dan iptek.
Jadi fungsi supervisi Dinas Pendidikan di masa lalu justru memacu tumbuhnya keunggulan
lokal dari setiap sekolah, bukan menyeragamkan kurikulum seperti yang dilakukan para Pengawas
sekarang. (lihat Catatan kaki No.4)
Ketua Umum Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia, Cucu Saputra, mengatakan bahwa peran
pengawas selama ini, di sekolah lebih banyak berorientasi pada hal-hal yang berkaitan dengan
administrasi guru, tidak pada substansi pengembangan dan inovasi pembelajaran.

Bahkan,

cenderung menjadi perpanjangan tangan kebijakan nasional di bidang kurikulum yang ujungnya
bersifat administratif.

Menurut Cucu, pengawas seharusnya membimbing sekolah guna

mempercepat pencapaian standar nasional pendidikan. Pengawas juga perlu mendorong sekolah
mengedepankan manajemen sekolah yang transparan dan akuntabel. (KOMPAS, Selasa 11 Agustus
2015 halaman 11 : "Beban Pengawas Berat Orientasi Masih Administrasi")
Keberadaan Pengawas yang justru memasung kebebasan mimbar akademik itu juga
melanggar ketentuan Pasal 7 butir (h) UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru
dan Dosen) karena mengingkari prinsip prosefionalitas guru : Pendidik memiliki jaminan
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan jadi guru tidak boleh diancam
akan dicabut tunjangan sertifikasinya hanya karena guru tersebut tidak mau melaksanakan
Kurikulum 2013 dan lebih memilih menerapkan Kurikulum 2006 yang dasar hukumnya secara jelas
sudah terumuskan dalam Catatan kaki No.2
Guru yang kreatif (yang mampu berpikir out of the box dalam era digital ini), guru yang bisa
melihat alternatif lain dari arus pemikiran mainstream (arus maninstream nekad melaksanakan
Kurikulum 2013 tanpa perbaikan), atau guru yang mampu melihat alternatif lain dari SAS dan SIP
di Prov DKI Jakarta) atau guru yang mampu melihat kemungkinan peluang lain ini seharusnya
dianggap sebagai aset bangsa, karena memberi nuansa baru dalam era liberalisasi dan globalisasi
pendidikan dewasa ini : Lihat Pasal 14 ayat 1 butir (c) UU Guru dan Dosen : Pendidik memperoleh
perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual

Mereka ini adalah

perintis jalan untuk digitalisasi kurikulum dan e-learning, dari tangan merekalah terlahir kurikulum
berbasis kearifan lokal. Mereka seharusnya didukung, bukan malah diancam akan dikeluarkan dari
sistim, hanya karena sikap kritis mereka terhadap Kurikulum 2013 atau Ujian Nasional (Kurikulum
2013 atau SAS dan SIP. Kurikulum 2013 beserta semua perangkatnya bukan kitab suci yang wajib
diikuti dan ditaati dan instruksi Pengawas bukan kebenaran yang harus dilaksanakan, dunia
pendidikan sejak lama dikerdilkan dengan tafsir tunggal dan sistematik.
41

31

Para guru yang menjunjung semangat elaborasi substansi pendidikan ini seharusnya dilindungi,
sesuai ketentuan Pasal 14 ayat 1 butir (g) UU Guru dan Dosen : Pendidik memperoleh rasa aman
dan jaminan keselamatan dalam menjalankan tugas - mereka seharusnya bebas dari intimidasi para
Pengawas dan Dinas Pendidikan, sesuai ketentuan Pasal 39 ayat 3 UU Guru dan Dosen :
Perlindungan hukum mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman,
perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak birokrasi Namun melalui
legitimasi peraturan yang lebih rendah (Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No. 2
b) semua pasal UU ini menjadi tidak berarti karena kedudukan guru justru dikukuhkan sebagai
subordinasi Pengawas (Kemdikbud secara sengaja telah mendefungsionalkan jabatan guru hanya
demi penerapan Kurikulum 2013) dengan sanksi pencabutan tunjangan sertifikasi atau mengelirukan
data pendidik dalam Dapodik sehingga pendidik sulit mengurus hak-haknya. Pengawas dan Dapodik
menjadi penguasa baru dalam mengontrol sekolah dan para guru.
Apa bahayanya bila jabatan Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata pelajaran ini dilestarikan?
Anggaran Kemdikbud akan habis hanya untuk memberi tunjangan dan fasilitas bagi PNS non guru,
birokrat non struktural, serta belanja pegawai, sehingga infrastruktur pendidikan terbengkalai (tidak
cukup anggaran untuk up dating dan upgrade laboratorium IPA, laboratorium bahasa, laboratorium
komputasi, laboratorium akuntansi, sarana prasarana olah raga dan musik, serta logistik kepramukaan
dan kelengkapan UKS/UKGS). Akibatnya pendidikan holistik hanya menjadi slogan. Praktikum di
laboratorium yang sebenarnya ditujukan untuk melatih psikomotorik siswa diturunkan menjadi
kegiatan visual melalui demonstrasi di depan kelas, karena keterbatasan waktu dan keterbatasan
peralatan lab. Laboratorium komputasi yang sebenarnya ditujukan untuk melatih siswa menjadi
programmer telah dihapus dan diturunkan derajatnya : siswa hanya menjadi sekedar user. Prestasi
olah raga kita makin memburuk dan siswa kita cenderung makin gemuk karena kurang gerak, akibat
minimnya fasilitas olah raga di sekolah, sedangkan di rumah mereka hanya sibuk dengan gawai
(gadget), atau menonton sinetron di TV, dll Dengan kata lain, kurikulum adalah pertaruhan masa
depan generasi muda kita, bukan proyek yang abai terhadap arus globalisasi dan liberalisasi
pendidikan (yang dicoba ditahan dengan Permendikbud No.31 Tahun 2014 tanpa merujuk pada
ketentuan WTO dan mekanisme ACMW)
Seandainya para penyusun Kurikulum 2013 itu berorientasi pada Finlandia, dan bukan
kepada negara-negara OECD, maka mereka pasti menyadari pentingnya tut wuri handayani dan tidak
mengubahnya menjadi tut wuri hanggondeli

23

23

melalui keberadaan pengawas, dan tidak akan

Tut wuri handayani : memberi support dari belakang. Tut wuri hanggondeli : menelikung dari belakang.

42

32

mengubah Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 201324

Ketidak

acuhan jajaran Kemdikbud terhadap kunjungan Presiden Finlandia awal November 2015 ini ke
Indonesia, jelas menunjukkan bahwa Kemdikbud hanya sibuk dengan visi dan misinya sendiri,
melupakan visi dan misi Presiden RI yang tertuang dalam Nawa Cita No.1, No.5 dan No.8.
Pengubahan isi ketentuan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 ini jelas-jelas untuk memuluskan rencana
pemerintah dalam proyek penyerapan anggaran melalui penyusunan silabus, pembuatan buku ajar
(materi ajar/sumber belajar), buku pegangan guru (buku panduan pelaksanaan proses pembelajaran
di kelas) dan pencetakan format rapor yang baru.

Kita memasuki era pendangkalan (cult of

philistinism).
Pengubahan peraturan setingkat PP ini di kementerian lain bisa memancing persoalan hukum yang
serius 25 dan masuk dalam ranah penyelidikan KPK, karena pengubahan peraturan itu sudah menjadi
modus yang dikenal luas untuk pengucuran dana. (Inisiator tidak boleh sekaligus menjadi
implementor atau eksekutor dan regulator, apalagi menjadi evaluator keberhasilan proyek. Hal ini
jelas-jelas melanggar sepuluh prinsip good governance (tata kelola yang baik) sebagaimana sudah
diatur dalam Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009 dan tuntutan Nawa Cita No.1.
Oleh sebab itu, secara cerdik, Presiden SBY menyisipkan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32
Tahun 201326 untuk memotong hegemoni pemerintah ini, sekaligus mempertahankan isi Pasal 20 PP
No. 19 Tahun 2005 ini. Sebenarnya Presiden SBY ingin mempertahankan fungsi guru sebagai
pendidik (bukan sekedar tukang mengajar, atau petugas administratif RPP, yang hanya tahu arahan
pembuatan RPP dengan metode tunggal (5 M), tetapi guru sebagai konseptor, inisiator, disainer
kurikulum dan planner kegiatan pembelajaran, sayang sekali proyek besar telah membuat
orang gelap mata.
Mengapa disebut gelap mata ? Karena meskipun sudah ada ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3
Permendikbud No. 160 Tahun 2014, dan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013, orang
tetap melanjutkan pelaksanaan Kurikulum 2013 yang bertolak belakang dengan Kurikulum
2006 (lihat dasar hukum Kurikulum 2006 di catatan kaki No. 2 pada Bab Pendahuluan), semata-mata

Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 : Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus, rencana pelaksanaan
pembelajaran, yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber
belajar, dan penilaian hasil belajar.
Bandingkan dengan Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 : Perencanaan pembelajaran merupakan penyusunan rencana
pelaksanaan pembelajaran untuk setiap muatan pembelajaran.
25
Ingat kasus Bank Century, yang diawali dengan pengubahan PBI (Peraturan Bank Indonesia) untuk memuluskan bail
out (dana talangan) Bank Century
26
Pasal 77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013 : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan kurikulum operasional
yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.
Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ditetapkan oleh kepala satuan
Pendidikan.
24

43

33

demi kelangsungan dan keberlanjutan proyek besar, lalu melupakan ketentuan Pasal 5
Permendikbud No.158 Tahun 2014, karena Kurikulum 2013 tidak compatible dengan sistim baku
SKS yang memerlukan prasyarat khusus, mulai dari moving class sampai pembuatan diktat, LKS,
dan modul. Kurikulum 2013 ini hanya cocok untuk paket SKS, yang tidak lain adalah baju baru dari
kelas akselerasi di sekolah unggulan atau mantan sekolah RSBI dulu.
Kalau guru tidak bisa membuat silabus, tidak bisa lagi menyusun diktat (karena buku
ajar/materi/sumber belajar sudah ditentukan oleh pemerintah) dan bingung dengan proses penilaian,
bagaimana mungkin para guru bisa membuat LKS, dan modul serta mampu melaksanakan
monitoring proses belajar dan evaluasi hasil belajar sebagaimana dituntut dalam sistim baku SKS ?
Kebingungan akibat ketidak jelasan pijakan dasar hukum, tercermin pula pada Mendikbud Anies
Baswedan :

Pasal 6 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 : Ketentuan lebih lanjut mengenai Kurikulum
2006 akan diatur dalam peraturan menteri tersendiri.
Bagaimana mungkin Kurikulum yang diluncurkan tahun 2006, aturannya baru akan
disusun tahun 2015 ? Kalau Mendikbud Anies Baswedan merujuk pada tata perundangan,
maka seharusnya tidak boleh ada Pasal 6 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 ini karena sudah
ada peraturan yang satu tingkat lebih tinggi, yaitu PP No. 32 Tahun 2013. Dalam Pasal 77 M
ayat 1 dinyatakan bahwa kurikulum itu adalah wewenang guru.
Kurikulum disusun oleh guru sendiri dan dilaksanakan di sekolahnya sendiri. Bukan disusun
oleh pemerintah dan dilaksanakan di semua sekolah. Ketentuan ini selaras dengan isi
Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 yang menjadi dasar hukum Kurikulum 2006. Pasal 6
Permendikbud No. 160 Tahun 2014 ini seharusnya juga tidak boleh ada bila Mendikbud
Anies Baswedan mengacu pada Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 : Kurikulum itu
ditetapkan oleh kepala sekolah, bukan ditetapkan oleh pemerintah atau Puskurbuk.
Kalau jajaran Kemdikbud ngotot ingin mengatur Kurikulum 2006, bukankah peraturan
menteri terkait Kurikulum 2006 itu sudah sangat lengkap (lihat Catatan kaki No. 2
tentang dasar hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan). Kenapa mesti membuat
peraturan baru yang memaksakan pemberlakuan Kurikulum 2013 dan abai pada
Nawa Cita No.8 ?

Pasal 4 Permendikbud No.160 Tahun 2014 : Sekolah dapat melaksanakan Kurikulum 2006
paling lama sampai dengan tahun pelajaran 2019/2020.
Banyak yang mengartikan bahwa di tahun ajaran 2019/2020 itu kita harus melaksanakan
Kurikulum 2013, tanpa melihat bahwa tahun itu adalah tahun pemberlakuan APEC 2020.
Menghadapi AFTA 2015 saja kita tidak siap : tidak melihat bahwa migrasi guru adalah hak
44

34

azasi yang harus dilindungi sesuai dengan mekanisme ACMW, bagaimana kita akan bersaing
dengan sekolah asing dan guru asing yang akan membanjiri Indonesia, bila kita berkukuh
pada Kurikulum 2013 yang banyak mengandung kesalahan ini, dan tidak menyiapkan guruguru kita dalam penyusunan modul untuk menyongsong pemberlakuan sistim baku SKS
(bukan paket SKS) menuju ke SBI, yang dilengkapi dengan sertifikasi manajemen ISO
9001:2008? Bukankah pemberlakuan KTSP Bimtek (2008) dan Kurikulum 2013 telah
membuat pendidikan kita terpuruk? (lihat survey di bagian akhir dari Bab Pendahuluan ini)

Melanjutkan kembali Kurikulum 2013 pada saat ini atau nanti pada tahun pelajaran
2019/2020 jelas-jelas mengabaikan amanat Nawa Cita No.8 : Akan menata kembali
kurikulum

pendidikan

nasional

dengan

mengedepankan

aspek

pendidikan

kewarganegaraan dan melupakan pidato Presiden Jokowi saat pelantikan Menteri Kabinet
Kerja tanggal 27 Oktober 2014 : Presiden mengingatkan para menteri bahwa visi dan misi
Presiden adalah yang utama dan tak ada lagi visi kementerian
Maka lupakan Kurikulum 2013 yang mau dilestarikan lewat Permendikbud No. 31 Tahun 2013, yang
hendak membatasi masuknya modal asing dan lalu lintas SDM asing, yang bisa memancing reaksi
negatif WTO dan ACMW. Yang bisa kita lakukan adalah meningkatkan kualitas pendidikan kita
melalui e-learning berbasis kurikulum digital sehingga kita sungguh-sungguh menyiapkan generasi
muda kita dalam menghadapi MEA 2015.
Simpulan, kalau kita kaji lagi secara mendalam :

28 peraturan menteri terkait Kurikulum 2013 yang dibuat oleh Mendikbud M.Nuh selama
kurun waktu 2013-2014, terlihat bahwa yang selalu disebut berulang-ulang adalah KTSP.
Oleh sebab itu kita perlu mengenali arti harafiah KTSP (kurikulum tingkat sekolah) dan arti
filosofisnya yaitu dijunjungnya azas otonomi pendidikan dan desentralisasi pendidikan.

Dasar hukum dari Kurikulum 2013 yaitu PP No. 32 Tahun 2013 : Pasal 77 M ayat 1 (otonomi
guru), dan ayat 3 (otonomi sekolah) mendukung premis di atas.

Wewenang guru dalam Pasal 20 PP No. 19 tahun 2005 yang dipangkas menjadi kerdil dalam
Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 : guru diturunkan harkatnya menjadi sekedar penyusun RPP,
padahal dalam Standar Proses Kurikulum 2006 : sudah termaktub kewajiban untuk
mengembangkan Silabus dan RPP. Jadi dalam Kurikulum 2013, RPP-nya bukan makin
dikembangkan, malah dimulai lagi dari nol, seolah-olah semuanya baru diketahui hingga para
guru perlu dilatih/ditatar lagi.

Dualisme kepemimpinan sekolah dengan munculnya Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun


2013 Bab VI No. 2 B : supervisi manajerial oleh Pengawas Sekolah dan supervisi akademik
45

35

oleh Pengawas Mata Pelajaran, mengabaikan pengawasan yang melekat pada tugas
profesional guru sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 19 ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013
Kalau mau menerapkan KTSP 2013 : Prasyarat menjadi Kepala Sekolah dalam kaitan dengan
KTSP sudah dirumuskan dengan baik dalam Permendiknas No.28 Tahun 2010 dan
pemberdayaan serta pengembangan potensi Kepala Sekolah adalah tupoksi dari LPPKS
(Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah) yang didirikan atas dasar
Permendiknas No.6 Tahun 2009 (Lihat Catatan kaki No.4). Kenapa ada lagi Pengawas
eksternal (Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran)? Lalu apa arti SKM (sekolah
kategori mandiri) dan kapan pemerintah mempersiapkan dunia pendidikan menghadapi era
globalisasi dan liberalisasi pendidikan (kapan pemerintah memfasilitasi pembentukan SBI
yang terakreditasi internasional dan penerapan sertifikasi manajemen ISO 9001:2008)

Guru yang otonom, yang menjunjung azas kebebasan mimbar akademik adalah keniscayaan,
sesuai dengan amanat Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan
Dosen. Jadi kemampuan guru dalam menyusun silabus dan RPP serta diktat sendiri itu, yang
menunjukkan profesionalitas seorang guru itu, diakui sebagai hak kekayaan intelektual yang
dilindungi hukum (Pasal 7 butir (h) UU Guru dan Dosen), bukan malah dicabut dengan
ketentuan Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013.

Pemberlakuan Kurikulum 2013 telah

memberangus kreativitas guru.

Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal :


banyaknya

materi uji yang ditanyakan dalam TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam

kurikulum kita, sehingga siswa sukar mengerjakan soal-soal TIMSS dan PISA. Banyaknya
materi yang hilang dari kurikulum kita ini tidak kunjung dicari solusinya karena abai pada
sejarah pendidikan kita. Alih-alih mencari solusi, Kemdikbud bahkan menganulir
Permendikbud No. 67 Tahun 2013 ini dengan menerbitkan Permendikbud No. 57 Tahun 2014
yang justru merupakan copy paste lampiran permendikbud terdahulu, hanya menyisipkan
semangat pembuatan silabus dan penyusunan buku siswa dan buku pegangan guru oleh
Kemdikbud, hingga mengaburkan inti permasalahan yang ada pada Kurikulum 2013.

Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis : Kurikulum 2013
dikembangkan atas teori KBK padahal KBK (2004) itu sudah lama dikubur seiring
pemberlakuan Kurikulum 2006 dan KTSP Bimtek (2008), yang diulang dalam Lampiran
Permendikbud No.57 Bagian II D Landasan Teoritis (Lihat Catatan * di Kata Pengantar).
Kenapa KBK dulu ditinggalkan? Karena bermasalah pada cara pengukuran kompetensi
(kemampuan) siswa. Namun orang sudah lupa, sehingga KBK dimunculkan lagi dalam baju
baru, yaitu Kurikulum 2013. Oleh sebab itu, masalah klasiknya muncul lagi, yaitu masalah
46

36

pengukuran/penilaian. Penilaian yang tercantum dalam Permendikbud No. 66 Tahun 2013,


kemudian diubah menjadi Lampiran IV Permendibud No. 81 A Tahun 2013, dan diubah lagi
menjadi

Lampiran

II

Peraturan

Bersama

Dirjen

Dikdas

dan

Dirjen

Dikmen

No.5496/C/KR/2014 dan No.7915/KP/2014 yang ternyata masih salah secara matematis.


Apakah Kemdikbud tidak melihat konsekuensi standar penilaian yang berbeda dan bentuk
rapor yang berlainan rumus itu bagi masa depan para siswa? Perubahan-perubahan yang terus
terjadi ini (tanpa melibatkan Puspendik : Pusat Penilaian Pendidikan) jelas menurunkan
wibawa akademik Kemdikbud dalam sosialisasi Kurikulum 2013. Pemerintah berdalih
bahwa Permendikbud No. 67 Tahun 2013 ini telah diganti dengan Permendikbud No. 57
Tahun 2014, namun kalau kita buka permendikbud itu, isinya persis sama, hanya menyisipkan
masalah hegemoni pemerintah melalui pembuatan silabus , pembuatan buku siswa dan buku
pegangan guru, sehingga penentuan tingkat kompetensi dan pembakuan rumus evaluasi hasil
belajar, tetap tak terpecahkan. Hal ini nampak pada ketidak beranian pemerintah mencetak
buku rapor (Laporan Hasil Belajar) yang berujung pada keterlambatan pencetakan ijazah,
sesuatu yang belum pernah terjadi selama 70 tahun Indonesia merdeka.
Maka masihkah kita memerlukan pemaksaaan pemberlakuan Kurikulum 2013? (Padahal 28
permendikbud yang melandasinya hanya menyebut KTSP (bukan kurikulum baru). Bukankah
alasan-alasan diatas mendukung premis telah terjadinya euphoria pendangkalan (cult of philistinism)
Kenapa tidak merujuk saja pada Permendikbud No. 160 Tahun 2014 Pasal 1 dan pasal 2 ayat 3 yang
memberlakukan kembali Kurikulum 2006 (yang sudah lengkap pedoman dan dasar hukumnya (lihat
Catatan kaki No. 2) sehingga kita bisa maju ke SKS (bukan paket SKS)?
Kalau kita tetap berkukuh ingin mengikuti terus Kurikulum 2013, harap diingat bahwa
permendikbud-nya akan berubah terus (masih banyak bolong-bolong pada Kurikulum 2013 (Lihat
Catatan kaki No.5) sehingga ada kemungkinan kita harus mengkaji ulang semuanya lagi seturut
Nawa Cita No.8, padahal pembelajaran di kelas terus berlangsung tanpa bisa ditunda atau dikoreksi
lagi. Ada jurang yang dalam antara Kurikulum 2013 dan penerapan sistim baku SKS (bukan paket
SKS) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014. Kalau hal ini tidak
diperhatikan, maka lupakan saja SBI (sekolah bertaraf internasional) dan sertifikasi manajemen ISO
9001:2008
Lupakan pula Nawa Cita No.5, yang penting proyek penyerapan anggaran jalan terus. Pertaruhan
yang sangat besar bagi masa depan putera-puteri kita yang sedang menyongsong era liberalisasi dan
globalisasi pendidikan, tanpa persiapan yang memadai, bahkan tanpa kesadaran bahwa kualitas
pendidikan kita makin merosot.
47

37

Kemdikbud berkilah bahwa semuanya sudah diantisipasi dan upaya peningkatan kualitas pendidikan
telah digariskan dalam RPJM, namun marilah kita simak kenyataan yang ada :
Survei yang dilakukan oleh PERC (Political and Economic Risk Consultant) menyimpulkan,
pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara Asia. Studi yang dilakukan
ASPBAE dan Global Campaign for Education pada tahun 2005 (saat diberlakukannya KBK) di 14
negara menunjukkan, Indonesia mendapat nilai 42 dari nilai 100 dengan nilai rata-rata E. Dalam
aspek penyediaan pendidikan dasar lengkap, Indonesia memperoleh nilai rata-rata C dan menduduki
peringkat ke-7. Dalam aspek aksi negara, Indonesia memperoleh nilai F dan menduduki peringkat
ke-11.

Untuk aspek kualitas pengajar, Indonesia mendapat nilai F dan menduduki peringkat

terbawah.
Laporan pemantauan global tentang kualitas pendidikan dasar yang dikeluarkan UNESCO
pada tahun 2005 menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-10 dari 14 negara
berkembang di kawasan Asia Pasifik. Survei yang dilakukan firma pendidikan Pearson di 40 negara
menunjukkan hasil serupa. Pada tahun 2013, sistim pendidikan di Indonesia terendah di dunia
bersama Brasil dan Meksiko. Pada tahun 2014, kualitas pendidikan Indonesia merosot dan Indonesia
berada di urutan ke-40 dari 40 negara. (Kompas, Selasa 18 Agustus 2015, halaman 6 : Pungguk
Merindukan Bulan).
Jadi perubahan ke Kurikulum 2013 justru membuat pendidikan di Indonesia makin terpuruk
karena kita memuja pendangkalan (cult of philistinism) dan abai pada penyiapan sekolah yang
terakreditasi secara internasional (SBI) yang menerapkan sistim manajemen ISO 9001:2008
Dengan kata lain, penerapan Kurikulum 2013 ini, menunjukkan bahwa Kemdikbud sibuk
dengan misinya sendiri, mengabaikan visi dan misi Presiden yang sudah dijabarkan dalam Nawa Cita
No.8, dan melalaikan tugas Kemdikbud untuk menjadikan pendidikan di Indonesia sebagai center of
excellence seturut Nawa Cita No.5

48

38

BAB I
FILOSOFI PENDIDIKAN
Pendidikan yang abai terhadap filosofi pendidikan seperti tercermin dari dihapuskannya mata
kuliah Filsafat Pendidikan pada LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan yaitu
PGSD/FKIP) telah menyebabkan pendidikan kehilangan rohnya yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa (bukan meningkatkan kompetensi orang per orang 27), yang berarti pendidikan seharusnya
bertujuan menyempurnakan akal budi
emosional yang terpadu).

28

(akal budi ini menunjukkan daya-daya intelektual dan

Akibat kehilangan roh pendidikan ini, maka kita terjebak dalam

kekeliruan utama yaitu menganggap semua masalah yang terkait pendidikan dapat dipecahkan
melalui pendidikan, misalnya : Income gap hendak dipecahkan melalui link and match pendidikan
dan dunia kerja, lupa pada penanaman sikap inovatif, kreatif dan entrepreneurship; Rendahnya score
siswa dalam TIMSS, PISA dan PIRL hendak dipecahkan melalui peningkatan kompetensi siswa
(kemudian hendak ditunjukkan capaiannya melalui Olimpiade Sains), lupa bahwa banyak materi uji
pada TIMSS, PISA, dan PIRL itu yang tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia

29

dan belum

pernah dipikirkan solusinya; Masalah iman dan taqwa hendak dipecahkan melalui pendidikan
karakter, lupa pada fungsi ulama, peran suri teladan dari para tokoh masyarakat dan pendidikan budi
pekerti yang harus dimulai dari rumah. Akibat cara pandang bahwa semua masalah yang terkait
dengan pendidikan dapat dipecahkan melalui pendidikan ini, pernah muncul ide pembentukan
Direktorat Keayah-Bundaan, yang kemudian diwujudkan menjadi Direktorat Pembinaan Pendidikan
Keluarga, nampaknya Kemdikbud ingin merambah sampai ke ruang privat, lupa pada tugas
pokoknya yang sudah dirumuskan di Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas 30

Kemdikbud sering berkilah

bahwa SPM sudah dirumuskan dalam Permendikbud No. 23 Tahun 2013, tapi kalau kita kaji isinya,
SPM itu adalah prasyarat minimal kelengkapan sarana dan prasarana suatu sekolah, bukan SPM
akademik. Bentuk SPM akademik itu misalnya apa yang harus dikuasai oleh anak kelas V SD, apa
yang harus dikuasai oleh anak kelas IX SMP sebagai bekal penentuan jurusan di kelas X SMA, apa
yang harus dikuasai oleh siswa kelas XII SMA agar siap memasuki lingkungan akademik di
perguruan tinggi? Kemdikbud berdalih bahwa apa yang harus dikuasai siswa pada jenjang
tertentu sudah terumuskan dalam SOLO Taxonomy melalui penentuan Tingkat Kompetensi 0 6

Lihat Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis : Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori
KBK (competency-based curriculum) (Lihat Catatan * untuk permendikbud ini di Kata Pengantar), yang juga tersurat
(di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014
28
Kamus Besar Bahasa Indonesia Vol IV : mencerdaskan = menyempurnakan akal budi
29
Lihat Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal (Lihat Catatan * untuk
permendikbud ini di Kata Pengantar) yang juga termaktub dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014
30
Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas : Pengelolaan satuan pendidikan berdasarkan SPM berbasis MBS
27

49

39

(Lampiran Permendikbud No.64 Tahun 2013 Bab II). Padahal Tingkat Kompetensi itu sejak awal
sudah bermasalah, yaitu pada rumusan :

Perbedaan kualifikasi antar tingkat, karena tingkat kompetensi itu merujuk pada dua jenjang
pendidikan, misalnya Tingkat Kompetensi 1 meliputi Kelas 1 dan Kelas 2 SD (Lalu apa beda
kelas 1 dan kelas 2 SD? Dengan kata lain, masih perlukan kriteria kenaikan kelas dari kelas
1 ke kelas 2 SD itu kalau tingkat kemampuannya disama-ratakan ?

Kompetensinya : Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar yang di setiap Tingkat Kompetensi
itu tidak koheren serta pengukurannya harus menggunakan penilaian rubrik, yang justru tidak
dipraktekkan dalam Kurikulum 2013

Kerancuan antara pengertian tingkat kompetensi dan kompetensi, serta kompetensi generik
dengan KI dan kompetensi spesifik dengan KD

Sedangkan banyaknya materi uji penalaran kritis dalam matematika dan sains pada TIMSS,
penalaran halus (fine tuning) pada PISA dan kemampuan membaca yang tersirat pada PIRL yang
tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia, tidak terdeteksi, hanya akan berujung pada complaint ke
penyelenggara test (banyaknya bahan uji yang tidak terdapat

dalam kurikulum : Lampiran

Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bab I A No. 2 c, yang diulang pada Permendikbud No.68, No.69,
dan No.70, tergantung unit sekolahnya, yang juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud
No.57 Tahun 2014, yang diulang pada Permendikbud No.58, No.59, dan No.60, tergantung unit
sekolahnya), hingga tak ada waktu untuk memikirkan perumusan SPM akademik ini. Untuk
perumusan SPM akademik ini, mau tidak mau kita harus mengkaji sejarah pendidikan kita, dimana
kurikulum kita pernah mempunyai kualitas yang lebih tinggi dari prasyarat yang dituntut dalam
GMAT, SAT dan TOEFL, sehingga siswa mudah menyelesaikan soal-soal TIMSS, PISA dan PIRL.
Para guru kita diakui kemampuannya (kompetensinya) sehingga banyak yang diminta mengajar di
luar negeri. Sekolah Indonesia di luar negeri diminati juga oleh warga asing. Tidak seperti sekarang,
para diplomat Indonesia dan TKI-pun tidak mau menyekolahkan anaknya di sekolah Indonesia
karena kualitasnya terus merosot. Tapi semua prestasi pendidikan kita di masa lalu tersaput oleh
awan proyek pemanfaatan anggaran 20% dari APBN.
Puskurbuk berkilah, SPM itu sudah ditentukan lewat Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun
2013 Bab II Tingkat Kompetensi. Namun kalau kita kaji isinya, ternyata hanya menyangkut hirarki
penentuan KD yang semestinya cukup mudah dilakukan melalui Analisia Vertikal pada Analisis
Kurikulum. Inilah isi selengkapnya Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013 Bab II :
Tingkat Kompetensi disusun berdasarkan taksonomi struktur capaian belajar terobservasi
(Structure of The Observed Learning Outcomes (SOLO) Taxonomy). Berdasarkan taksonomi ini,

50

40

capaian belajar dikelompokan dalam 5 kategori yakni: Pre-Structural (0), Uni-Structural (1), MultiStructural (2), Relational (3), dan Extended-Abstract (4 dan 5). (Collis and Biggs: 1976)
Di atas kategori Extended-Abstract secara teoritis ada tiga tingkat yang lebih kompleks yakni
Psychodelia, Illumination, dan Creativity (Gowan and Erikson: 1981) yang kesemua itu merupakan
capaian belajar yang lebih abstrak.
Berdasarkan hal tersebut, dikembangkan secara adaptif Tingkat Kompetensi menjadi 0, 1, 2,
3, 4, 5, dan 6. Masing-masing Tingkat Kompetensi mencakup 2 (dua) tingkat kelas, kecuali
Tingkat Kompetensi 4A dan 6 hanya mencakup 1 (satu) tingkat kelas. Tingkat Kompetensi
4A merupakan kemampuan peralihan jenjang pendidikan dasar ke pendidikan menengah
dan Tingkat Kompetensi 6 merupakan kemampuan peralihan pendidikan menengah ke
jenjang pendidikan tinggi. Berdasarkan Tingkat Kompetensi ditetapkan Kompetensi yang
bersifat generik yang selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam mengembangkan
Kompetensi yang bersifat spesifik dan ruang lingkup materi untuk setiap muatan kurikulum.
Secara hirarkis, kompetensi lulusan digunakan sebagai acuan untuk menetapkan
Kompetensi yang bersifat generik pada tiap Tingkat Kompetensi. Kompetensi yang bersifat
generik ini kemudian digunakan untuk menentukan kompetensi yang bersifat spesifik untuk
tiap muatan kurikulum.
Selanjutnya, Kompetensi dan ruang lingkup materi digunakan untuk menentukan Kompetensi
Dasar pada pengembangan kurikulum satuan dan jenjang pendidikan
Kalau melihat rumusan tingkat kompetensi diatas, nampak jelas bahwa tingkat kompetensi ini
menyangkut klasifikasi jenjang kognisi : batas penguasaan bahan/materi yang harus dikuasai siswa
secara individual (siswa hendak difasilitasi sampai ke taraf tertentu), sedangkan SPM (standar
pelayanan pendidikan minimal) menyangkut target kurikulum yang harus diraih semua siswa, yaitu
pemenuhan Indikator keberhasilan.
Sedangkan kompetensi (kemampuan) itu menyangkut tujuan pembelajaran : untuk apa seorang guru
berdiri di depan kelas, maka kompetensi selalu harus dirumuskan ulang tergantung pada rumusan
KD-nya, sedangkan tingkat kompetensi itu sifatnya tetap karena menyangkut batas peralihan jenjang
pendidikan.
Untuk lebih jelasnya dapat dikaji contoh berikut :

Kompetensi (kemampuan) Tingkat 1 atau kompetensi (kemampuan) siswa kelas 1 SD adalah


: Siswa mengenal konsep bilangan bulat (bilangan genap, bilangan ganjil dan bilangan prima)
Ini yang disebut kompetensi yang bersifat generik. Lalu kompetensi yang bersifat spesifiknya
adalah : Siswa mampu menghitung sampai bilangan 100. Capaian pengukurannya adalah
siswa secara individual mampu menguasai 75 % materi itu (karena ukuran keberhasilan sudah
51

41

dipatok sejak lama melalui KKM = 75). Meskipun siswa hanya mampu menghitung sampai
bilangan 75, siswa itu tetap dinyatakan sudah memenuhi kompetensi spesifiknya. Seorang
siswa yang hanya mampu menghitung sampai bilangan 50, harus diremedial. Seorang siswa
yang tidak mampu mencapai target perhitungan sampai bilangan 75, dicap kurang
menguasai materi, dan harus menempuh remedial berulang sampai target spesifiknya
terpenuhi, yaitu mampu menghitung sampai bilangan 75. Jadi kompetensi spesifiknya : Siswa
mampu menghitung sampai bilangan 100, menjadi batas atas (kompetensi maksimal) yang
harus dikuasai siswa, batas bawah (kompetensi minimalnya) adalah setara KKM : siswa
cukup menguasai perhitungan sampai bilangan 75. Dengan demikian, kompetensi berjenjang
di atas (kompetensi 0-6) menargetkan agar setiap siswa kompeten dalam bidang yang
dipelajarinya (competency-based curriculum)31

dengan tujuan : pengembangan kognisi

siswa32
Sedangkan SPM (standar pelayanan minimal) adalah batas minimal yang harus dikuasai oleh
semua siswa (batas bawah yang harus dikuasai oleh semua siswa adalah penguasaan 100%
bahan/materi) : semua siswa harus mampu menghitung sampai 100. Meskipun siswa sudah
menguasai perhitungan sampai 75, dia harus tetap diremedial (lihat penjelasan rinci di bawah)
Dengan demikian, KD (Kompetensi Dasar) harus disusun berjenjang (makin ke atas,
makin sulit, tidak boleh ada KD yang berulang). Masalahnya : ada begitu banyak KD yang
berulang, misalnya Matematika, di jenjang kompetensi 1 (SD kelas 1 dan kelas 2) sudah diajar
tentang bilangan bulat, hal sama diulang lagi di SMP : jenjang kompetensi 4 (tapi deret
harmonis malah dihilangkan dari kurikulum matematika), lalu di SMA : jenjang kompetensi
5 : diulang lagi tentang bilangan bulat (tapi hiperbola, parabola dan elips malah dihilangkan
dari kurikulum matematika SMA, sehingga Mata Pelajaran Ilmu Bumi Falak (Astronomi)
terpaksa dihapus dari kurikulum SMA).
Contoh lain : Jenjang kompetensi 5 Kelas X SMA Kimia : diajar tentang Susunan Berkala
(Sistim Periodik), masalah ini diulang lagi di Kelas XI, dan diulang lagi di jenjang kompetensi
6 Kelas XII SMA, sehingga pemahaman tentang Susunan Berkala (sistim Periodik) di Kelas
X SMA menjadi tidak utuh, akibatnya siswa sukar memahami Materi Ikatan Kimia, sehingga
Materi Penggaraman dan Kimia Analitik terpaksa dihapus dari Kimia SMA.

Lihat Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II B Lndasan Teoritis : Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK
(competency-based curriculum) (Lihat Catatan * untuk permendikbud ini di Kata Pengantar), yang juga tersurat (di
copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014
32
Lihat Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II A Landasan Filosofis : Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan
kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui pendekatan disiplin ilmu (Lihat Catatan * untuk
permendikbud ini di Kata Pengantar), yang diulang (di copy paste) pada Permendikbud No.57 Tahun 2014
31

52

42

Kompetensi bertingkat (Kompetensi 0-6) di atas memerlukan kelengkapan sarana dan


prasarana agar siswa mampu memenuhi kompetensi spesifiknya. Untuk itulah dikucurkan
dana BOS (bantuan operasional sekolah) untuk mencukupi kebutuhan sarana dan prasarana
pembelajaran di kelas. Bila dana BOS dipakai untuk hal-hal diluar penunjang kegiatan
pembelajaran di kelas, maka sukar diharapkan kompetensi spesifik itu akan tercapai (Siswa
di remedial berulang, hasilnya bukan makin membaik, justru makin buruk). Misalnya,
kebanyakan sekolah membelanjakan dana BOS untuk pembelian CCTV, bukannya
melengkapi peralatan laboratorium IPA (Lab Fisika, Kimia dan Biologi) atau melengkapi
laboratorium Bahasa dan laboratorium akuntansi. Sehingga program KBM di kelas tidak
ditunjang dengan kegiatan intra kurikuler yang memadai. Alhasil, kualitas pendidikan kita
tidak kunjung membaik. Akibat lanjutannya adalah monev (monitoring dan evaluasi)
pendidikan terlepas dari konteksnya. Evaluasi pada Tingkat Kompetensi ini seharusnya
menggunakan penilaian rubrik yaitu penilaian berbasis kinerja dilengkapi dengan kriteria
terukur tentang cara penilaiannya. Hal ini justru tidak dilakukan dalam Kurikulum 2013

Sedangkan SPM akademik menyangkut rumusan kompetensi spesifik sebagai batas bawah
(batas minimal), jadi Indikator Keberhasilannya adalah : Siswa kelas 1 SD harus menguasai
100% perhitungan sampai bilangan 100. Kalau siswa hanya mampu menghitung sampai
bilangan 75, maka SPM dari kelas 1 itu tidak terpenuhi. Siswa harus tetap diremedial,
meskipun sudah mencapai batas KKM-nya, bukan dengan mengikuti program remedial
berulang, tapi guru harus mengganti strateginya, karena mungkin saja bakat siswa itu bukan
di bidang matematika, tetapi di bidang musik. Jadi siswa dapat tetap mengembangkan bakat
musikalnya, tetapi harus menguasai prasyarat dasar pengetahuan Matematika di kelas 1.
Dengan demikian, SPM memerlukan pemetaan potensi siswa melalui Multiple Intelligence,
siswa yang tidak bisa matematika, barangkali bakatnya di bidang Bahasa. Pengukuran
kognisi siswa bukan satu-satunya ukuran keberhasilan belajar, SPM lebih menekankan pada
pendidikan holistik melalui pengukuran daya serap di PBK (penilaian berbasis kelas)
SPM juga menyangkut kreativitas guru dalam memenuhi standar sarana dan prasarana,
misalnya siswa dalam pelajaran Kimia hendak mengukur kadar vitamin C dalam jeruk
(kompetensi spesifiknya sebagai batas bawah), maka apapun situasi dan kondisinya, siswa
harus mampu menghitung kadar vitamin C dalam jeruk. Kalau tidak ada buret untuk titrasi,
siswa dapat menggunakan botol susu berskala yang biasa digunakan bayi, kalau botol susu
ini dibalik, maka fungsinya sudah sama dengan buret. Kalau tidak ada botol susu bayi, siswa
dapat menggunakan pipet tetes sebagai pengganti buret (1 ml = 20 tetes).
53

43

Kalau tidak ada jeruk, siswa dapat mencari buah dari pohon asam. Kalau tidak ada buah dari
pohon asam, siswa dapat menggunakan buah jambu monyet, dll
Kalau melihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 (lihat Catatan * tentang permendikbud
ini pada Kata Pengantar), yang juga termaktub dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014, maka
penulis kawatir bahwa yang dimaksud dengan kompetensi generik itu adalah Kompetensi Inti (KI),
dan yang dimaksud dengan kompetensi spesifik itu adalah Kompetensi Dasar (KD), yang makin jauh
melenceng dari makna SOLO Taxonomy. Padahal yang dimaksud adalah bahan ajar/materi yang
dipersyaratkan harus dikuasai oleh siswa di jenjang kompetensi tertentu (KD lebih luas dari bahan
ajar/materi, satu KD bisa terdiri dari beberapa bahan ajar/materi). Bahan ajar berjenjang yang
mensyaratkan siswa harus menguasai sepenuhnya suatu materi sebelum berpindah tingkat
kompetensinya adalah bahan ajar/materi pada Kurikulum 1975, dimana batas ketuntasannya adalah
100% (Kurikulum 1975 menerapkan Analisa Horizontal dan Analisa Vertikal secara ketat : KKM =
KKI = 100). Maka sebenarnya SOLO Taxonomy kurang sesuai untuk diterapkan pada Kurikulum
2013 karena tidak bisa membedakan pengertian KI dan KD (KI untuk semua jenjang hampir sama
rumusannya, akibatnya KI dan KD tidak koheren)
Penjelasan lebih rinci dapat dilihat di Bab II Pendidikan vs Persekolahan pada bagian MBS dan SPM
Disinilah peran filosofi pendidikan yang dipilih yang dapat sangat mempengaruhi penentuan
arah dan tujuan pendidikan kita. Bekerja dengan batas atas (batas kemampuan maksimal), filosofi
yang digunakan adalah filsafat esentialisme33 , atau bekerja dengan batas bawah (batas kemampuan
minimal), filosofi yang digunakan adalah filsafat perenialisme34. Bila bekerja dengan batas atas
(batas kemampuan maksimal) ada bahaya bahwa batas atas ini akan diturunkan dengan asumsi
supaya tidak terlalu memberatkan siswa, sehingga bahan ajar/materi/sumber belajar makin lama
makin berkurang (banyak materi uji dalam TIMSS dan PISA yang tidak terdapat dalam kurikulum
Indonesia) (Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No 2 b, yang juga tersurat
(di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014).
Bila pemerintah memilih Filsafat Perenialisme35, maka sebagai batas bawah, bahan
ajar/materi tidak boleh diganggu (tidak boleh dikurangi, bahkan seharusnya bahan ajar/materi itu
dikembangkan terus menerus sesuai dengan tuntutan jaman).

Kewajiban pemerintah hanya

merumuskan kerangka dasar dan struktur kurikulum, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 38 ayat
1 UU Sisdiknas. Namun pemerintah cq Kemdikbud lebih memilih Filsafat Eklektisme, yang
kemudian diubah menjadi Filsafat Esentialisme, sehingga terpaksa menurunkan batas kemampuan
Lihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II A No. 3 (Lihat Catatan * untuk permendikbud ini di Kata
Pengantar), yang juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014
34
Lihat catatan kaki No.40 tentang Filsafat Perenialisme
35
Lihat catatan kaki No. 40 tentang Filsafat Perenialisme
33

54

44

maksimal (dengan alasan agar tidak terlalu membebani siswa) dengan konsekuensi : banyak materi
yang hilang dari kurikulum (kurikulum makin miskin), oleh sebab itu, tidak ada sesuatu yang baru
yang ditambahkan pada Kurikulum 2013 (pada jaman teknologi komputasi awan dan android ini,
justru TIK dihilangkan; pada jaman bioteknologi dan rekayasa genetik ini, justru IPA dihapus dari
masa peka perkembangan intelegensi anak (kelas 1 kelas 3 SD). Terjadi legalisasi pendangkalan
(cult of philistinism). Karena tidak ada sesuatu yang baru, maka 28 permendikbud terkait Kurikulum
2013 juga tidak menyebutkan adanya kurikulum baru, hanya menyebut berulang kali KTSP, lupa
akan makna harafiah dan makna filosofis KTSP.
Kekeliruan kedua adalah menganggap apapun kurikulumnya, manajemen kelasnya sama,
yaitu menumbuhkan cara belajar siswa aktif, padahal dasar filosofisnya berbeda. Kurikulum 2006
(KTSP awal) dan SKS bertumpu pada filsafat perenialisme dengan model belajar konstruktivisme 36
berbasis multiple intelligence, sedangkan KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 berdasar pada filsafat
eklektik37 (kemudian diubah menjadi filsafat esensialisme) berbasis otoritarian.38 Kurikulum 2006
(KTSP awal) dan SKS memang didisain untuk mengembangkan potensi siswa seoptimal mungkin,
melalui pendekatan pendidikan berbasis keunggulan lokal yang mengutamakan fleksibilitas
penggunaan metode, model dan strategi pembelajaran untuk mencapai taraf manusia pembelajar
(anak yang berkembang kemampuannya dalam learning to learn, learning to live together, dan
learning to be).39 Bahan ajar yang sesuai dengan prinsip ini adalah bahan ajar berjenjang sesuai
dengan perbedaan tingkat kompetensinya yaitu bahan ajar pada Kurikulum 197540 dimana sains dan
matematika dipahami sebagai art, bukan sekedar pengetahuan. Dimana siswa dilatih menemukan
metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi dalam
administrasi politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk-pikuk
kehidupan sehari-hari.

J.Piaget : Pengetahuan didapat dari pengalaman, dan perkembangan mental siswa tergantung pada keaktifannya
berinter-aksi dengan alam
37
Cicero dan Philo : Menggabungkan ide-ide yang ada, tapi kurang memperhatikan konteks dan kesahihan ide itu
38
Karena banyaknya kritik terhadap Filsafat eklektik yang dipilih ini, filosofinya kemudian diubah menjadi Filsafat
esentialisme (Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II A No. 3 : Landasan Filosofis) : diulang secara eksplisit pada
Permendikbud No.57 Tahun 2014
39
UNESCO : Education for All (EFA), 1968
36

Kurikulum 1975 menganut Filsafat pendidikan perenialisme atau tradisionalisme : intinya ingin mengatakan bahwa
prinsip-prinsip pendidikan yang fundamental, yang ada sekarang ini, sesungguhnya telah ada dari dulu. Prinsip ini
berlaku sepanjang masadi mana pun dan kapan punsebab telah teruji keampuhannya bagi peradaban umat
manusia. Maka, tugas pendidikan mewariskan prinsip-prinsip dasar pendidikan dan nilai-nilai kebajikan yang berlaku
universal kepada generasi kini dan yang akan datang agar mereka dapat hidup secara bermartabat. Fakta-fakta akan
berubah, tetapi prinsip pendidikan tetap. Inilah yang harus diajarkan di sekolah.
40

55

45

Maka dalam Kurikulum 1975 masih diajarkan pendekatan deduktif melalui matematika geometrik
(Ilmu Ukur Analitika, Stereometri dan Ilmu Ukur Melukis (BM). Aljabar diperdalam sampai
Kalkulus II, dll. Sehingga siswa mudah menyelesaikan soal-soal GMAT. Masih diajarkan juga
Astronomi (Ilmu Bumi Falak) sebagai makro kosmos dan Fisika Teoritis serta Kimia Teoritis (bukan
sekedar Fisika dan Kimia empiris) sebagai mikro kosmos, lalu menggambar ornamen, prespektif dan
proyeksi, sebagai jembatan pemahaman aspek geometri dari matematika. Masih diajar pula
mendongeng dan mencongak di SD untuk melatih daya abstraksi siswa, permainan tradisional yang
sarat filosofi pedagogik (bukan hanya ditujukan untuk melatih psikomotorik siswa, tetapi juga untuk
menanamkan nilai-nilai universal: kerja sama, fairness, fun (pembelajaran yang menyenangkan) :
misalnya aritmatika dapat disimulasi melalui permainan dakon (congklak), entik, engklek, ular
tangga dll. Pelajaran seni suara dan musik masih berbasis not balok. Praktikum masih inheren dalam
mata pelajaran dan pengajaran bahasa asing masih bertumpu pada acuan standar internasional (masih
diajar 16 tenses dalam Bahasa Inggris secara intens dan menyenangkan menggunakan Living English
Structure) sehingga siswa SMA mudah mencapai score 550 dalam TOEFL paper based. Masih
disediakan jam khusus untuk belajar logika melalui Persamaan Tersamar sehingga siswa mudah
mengerjakan soal-soal Verbal Test GMAT. Kimia masih diajar penggaraman dan Kimia Analitik,
sehingga Kimia baru diajarkan di SMA (bukan di SMP), karena memerlukan prerequisite
matematika dan fisika yang cukup mendalam. Siswa juga masih dikenalkan dengan Sejarah Dunia
sehingga pengetahuan umumnya mencukupi untuk dapat meraih score yang tinggi dalam PISA
Bahan-bahan di atas tidak lagi diajarkan pada KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 (batas
kemampuan maksimal diturunkan) sehingga siswa kesulitan dalam mengerjakan soal-soal TIMSS
dan PISA (Lihat Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal), yang
juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014, akibatnya score siswa kita
dalam TIMSS, PISA dan PIRL dari tahun ke tahun terus merosot. Pokok permasalahannya karena
bahan testnya (materi uji) sudah tidak ada di kurikulum kita, bagaimana mereka bisa memecahkan
soalnya (memahami bahannya) bila mengenalinya saja tidak bisa ?
Kurikulum 1975 tidak hanya kaya akan bahan elementer, tetapi juga sangat memperhatikan :
* Analisa vertikal : Bahan berjenjang, makin tinggi kelasnya, bahannya makin sulit. Tidak seperti
KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 : bahan KWn (PKn), Sejarah, Bahasa, aritmatika berulang
terus dari SD, SMP dan SMA. Atau bahan Biologi terus yang berulang di SD, SMP dan SMA :
tumbuhan, hewan, manusia sehingga menyulitkan siswa dalam pemahaman kultur jaringan (tissue
culture), yang berakibat siswa sukar mengerjakan proses pemuliaan tumbuhan atau breeding
hewan. Padahal materi kultur jaringan itu diajarkan dalam Kurikulum 2013.
56

46

Analisa vertikal bukan hanya menyangkut derajat kesulitan materi, tetapi juga meliputi jenjang
kesulitan soal. Soal-soal yang jatuh di nomer-nomer kecil selalu lebih mudah diselesaikan,
sedangkan soal-soal yang jatuh di nomer-nomer besar, memang hanya diperuntukkan bagi siswa
yang pandai, sehingga setiap siswa dapat mengukur sendiri kapasitasnya. Variasi soal dapat dilihat
di Catatan kaki No.48. Siswa tidak akan menyontek, baik dalam mengerjakan ulangan maupun
dalam mengerjakan PR. Pendidikan karakter inheren dalam analisa vertikal. Soal tidak
campur aduk seperti sekarang dan pendidikan karakter tidak dipaksakan masuk ke pelajaran,
seperti pemaksaan penerapan KI 1 dan KI 2 saat ini, atau diformalkan melalui Permendikbud
No.23 Tahun 2015 tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang hanya memancing kontroversi
(Kompas, Kamis 23 Juli 2015 halaman 12 : Budi Pekerti, NILAI DITEMPELKAN TANPA
RASIONALITAS).
* Analisa horizontal : bahan ajar/materi saling berkait, prerequisite suatu bahan dirumuskan
dengan terukur, misalnya guru Kimia yang akan mengajarkan derajat keasaman (pH) harus
memastikan bahwa siswa sudah mendapat pelajaran logaritma dalam matematika (sekarang
penggunaan buku logaritma malahan dihapus dari kurikulum, sehingga siswa selalu kesulitan
mengerti tentang Kesetimbangan Kimia dan pengukuran derajat keasaman (pH). Guru SD yang
akan mengajar notasi musik dengan not balok, harus memastikan bahwa siswa sudah belajar
tentang bilangan pecahan dan deret harmonis dalam Matematika sebelumnya.
Kalau analisa horizontal diabaikan seperti sekarang, maka pengetahuan tidak lagi dipahami sebagai
art, tetapi sebagai konsep yang membebani siswa (siswa tidak belajar untuk hidup dan kehidupan,
tetapi belajar untuk kompetensi, belajar untuk lulus Ujian Nasional).
Sedangkan Kurikulum 2013 menganut filsafat eklektik 41 : cenderung meramu semua hal
baik dari pendidikan holistik, pendidikan karakter dan pendidikan kontekstual melalui pendekatan
saintifik (5 M) untuk mencapai taraf behaviorisme (perubahan perilaku siswa). Ketercapaiannya
membutuhkan ketrampilan para guru, bukan hanya dalam pembimbingan siswa, tetapi juga dalam
pendampingan siswa (Bahasa Jawa : mbombong).

Untuk itu diperlukan pendidikan yang

membebaskan. Sebab pendidikan hanya akan berhasil kalau ada suasana kebebasan, terutama
dibukanya ruang bagi tumbuhnya kebebasan mimbar akademik. Oleh karenanya, kurikulum 2013
harus membuka kesempatan bagi guru dan murid untuk mengaktualisasikan kebebasannya dan
kreativitasnya.

41

42

Tanpa ruang kebebasan akademik itu, maka filsafat eklektik

42

akan cenderung

Kamus Filsafat, Lorens Bagus, Gramedia Pustaka Utama, 2000, halaman 181-182
Eclecticism is a conceptual approach that does not hold rigidly to a single paradigm or set of assumptions, but
instead draws upon multiple theories, styles, or ideas to gain complementary insights into a subject, or applies
different theories in particular cases. It can sometimes seem inelegant or lacking in simplicity, and eclectics are
sometimes criticized for lack of consistency in their thinking (Wikipedia)

57

47

menggabungkan hal-hal yang berbeda, yang sebenarnya tidak cocok satu sama lain, menjadi satu
mosaik tersendiri.
Pendekatannya tidak melihat bahwa hal-hal yang dipilih itu secara natural, fundamental, cocok dan
dapat diintegrasikan, tetapi sekadar menggabung-gabungkan apa yang baik menjadi satu kesatuan.
Karena itu, pendekatan eklektik

43

sering kali dianggap sebagai pendekatan yang tidak elegan,

gabungan kompleks yang tidak jelas, jauh dari kesederhanaan berpikir secara nalar, serta sering kali
dianggap tidak memiliki konsistensi dalam pemikiran. Apalagi sifat eklektik ini dikacaukan dengan
menguatnya semangat monolitik otoritarian melalui penyusunan silabus, pembuatan buku ajar dan
buku pegangan guru yang kejar tayang sehingga merusak system of knowledge dari matematika dan
sains & iptek. Ada begitu banyak kesalahan konsep dan gagasan pada buku ajar (sumber belajar)
dan buku pegangan guru itu. Suara kontra dari pakar pendidikan terhadap pelaksanaan Kurikulum
2013 bertitik tolak dari sini.
Oleh sebab itu, tidak heran ketika bunyi salah satu butir KD dalam matematika adalah seperti ini:
Menunjukkan perilaku patuh, tertib, dan mengikuti aturan dalam melakukan penjumlahan dan
pengurangan sesuai secara efektif dengan memerhatikan nilai tempat ratusan, puluhan, dan satuan.
Bukankah aritmatika mempunyai kaidah tersendiri untuk menentukan hasilnya benar atau salah, yang
tidak ada kaitannya dengan kepatuhan atau ketertiban? Siswa yang bandel dan nakal tetap dapat
menjawab benar dalam aritmatika. Dengan kata lain, siswa yang pandai dalam matematika tidak
berarti siswa tersebut secara otomatis berperi laku luhur. Lalu bagaimana mengukur keberhasilan
pendidikan karakternya tanpa menggunakan SQ (Spiritual Quotient)?

Bukankah keberhasilan

pemahaman aritmatika tergantung pada pengertian bahan ajar (materi) Basis Bilangan dan Sifat
Bilangan? (bukan pada kepatuhan dan ketertiban mengikuti azas atau aksioma yang bisa kehilangan
konteksnya? Bisa jadi siswa yang taat azas atau hafal aksioma sebenarnya hanya menghafal rumus,
belum tentu bisa menyelesaikan soal-soal matematika yang mensyaratkan analisis dan logika)
Misalnya : Bilangan 11 itu berarti sebelas kalau basis bilangannya 10, tetapi 11 dapat berarti setara
enam (dalam basis bilangan 10) bila basis bilangannya 5. Belum lagi kesalahan konsep, seperti 2 x
2 = 4 itu adalah fakta, tidak ada kaitannya dengan kejujuran. Hasil perhitungan 6 x 4 atau 4 x 6 akan
sama saja, tidak ada kaitannya dengan proses menghitung : 6 x 4 itu berarti 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 atau
4 x 6 itu adalah 6 + 6 + 6 + 6, sama saja karena matematika bicara tentang fakta.

43

Eclecticism, (from Greek eklektikos, selective), in philosophy and theology, the practice of selecting doctrines
from different systems of thought without adopting the whole parent system for each doctrine. It is distinct from
syncretismthe attempt to reconcile or combine systemsinasmuch as it leaves the contradictions between them
unresolved (Encyclopedia Britanica)

58

48

Jadi menghitung luas : mulai dari panjang dikalikan lebar, akan sama saja dengan lebar dikalikan
panjang (tidak ada hubungannya dengan kedisiplinan atau proses menghitungnya)
Pilihan filsafat eklektik tak lain adalah wujud kemalasan berpikir, simplifikasi persoalan, dan
pilihan jalan pintas paling gampang. Filsafat eklektik dapat jadi jalan pintas rasionalisasi dan
menghindar dari tanggung jawab ketika terjadi berbagai macam persoalan; mulai dari pilihan materi
pengajaran, metode, sistem evaluasi, bahkan gagal dalam eksekusinya. Sebab, semua hal bisa
dijustifikasi dan dirasionalisasi melalui pendekatan eklektik !44
Laman Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kemdikbud di Facebook hanya menunjukkan
justifikasi dan rasionalisasi Kurikulum 2013 meskipun ada berbagai argumen yang menyanggahnya.
Penanggung jawab Kurikulum 2013 ngotot melanjutkan penerapan Kurikulum 2013, lupa pada isi
Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 yang memberlakukan kembali
Kurikulum 2006, dan lupa pada isi Pasal 77 M PP No. 32 Tahun 2013 yang menjunjung azas otonomi
guru (ayat 1) dan otonomi sekolah (ayat 3) dan secara sistematis melupakan Nawa Cita No.8 : akan
menata kembali kurikulum pendidikan nasional, dan menganggap visi dan misi Presiden sebagai
yang utama, terutama isi Nawa Cita No.5 : meningkatkan kualitas pendidikan (bukan malah membuat
pendidikan di Indonesia terpuruk, seperti yang telah diulas di bagian akhir dari Bab Pendahuluan)
Karena banyaknya kritik terhadap penerapan Filsafat ekliktik ini, maka dalam Lampiran
Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bab II A. Landasan Filosofis No. 3 (yang diulang dalam
Permendikbud No.68 dan No.69, serta No. 70 Tahun 2013, yang secara eksplisit juga disebut dalam
Permendikbud No.57 Tahun 2014, yang diulang pada Permendikbud No.58, No.59 dan No.60 Tahun
2014), dinyatakan adanya perubahan filosofi dari eklektisme, menjadi esentialisme :
Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik
melalui pendidikan disiplin ilmu. Filosofi ini menentukan bahwa isi kurikulum adalah disiplin ilmu
dan pembelajaran adalah pembelajaran disiplin ilmu (essentialism). Filosofi ini mewajibkan
kurikulum memiliki nama mata pelajaran yang sama dengan nama disiplin ilmu, selalu bertujuan
untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan kecemerlangan akademik.
Namun perubahan filosofis ini tidak diikuti perubahan mind set dan kerangka dasar
kurikulum (KI dan KD), penyesuaian silabus, penggantian buku ajar dan buku pegangan guru
serta pergantian metode saintifik (5 M).
Tidak adanya perubahan mind set tercermin dari :

masih diberlakukannya tematik dan tematik integratif di SD, serta IPA Terpadu atau IPS
Terpadu di SMP, padahal filsafat esentialisme mensyaratkan nama mata pelajaran yang sama
dengan disiplin ilmunya.

44

KOMPAS, 5 April 2013 halaman 7 : Eklektisme Kurikulum 2013 : Doni Kusuma

59

49

dikeluarkannya Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti yang
hanya sekedar tempelan pada kurikulum (Budi Pekerti Nilai Ditempelkan Tanpa
Rasionalitas, Kompas, Kamis 23 Juli 2015 halaman 12) sehingga Kurikulum 2013
sebenarnya tetap menganut filsafat eklektik.

Tidak adanya perubahan kerangka dasar kurikulum (KI dan KD), tidak adanya penyesuaian silabus
dan tidak adanya penggantian buku ajar dan buku pegangan guru serta tetap digunakannya metode
saintifik (5M) menunjukkan bahwa tujuan Kurikulum 2013 ini : mengembangkan kemampuan
intelektual dan kecemerlangan akademik tersebut tidak mempunyai arti apa-apa (ilusif). Hal ini
nampak pada lanjutan isi Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 (yang diulang dalam
Permendikbud No. 68 dan No. 69, serta No. 70 Tahun 2013), yaitu Bab II B Landasan Teoritis :
Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi (competencybased curriculum) (yang juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014,
yang diulang pada Permendikbud No.58, No.59 dan No.60 Tahun 2014)
Bukankah KBK (2004) ini sudah diganti menjadi Kurikulum 2006 karena bermasalah dalam
pengukuran capaian kompetensinya? Kalau Kurikulum 2013 ini dikembangkan dari KBK, maka
tidak heran kalau masalah pengukuran/penilaian ini berulang kembali saat ini. Berkali-kali program
penilaian ini diubah (Permendikbud No.66 Tahun 2013, lalu diubah dalam Lampiran IV
Permendikbud No. 81 A, terus diubah lagi melalui Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen
Dikmen No. 5496/C/KR/2014 dan No.7915/D/KP/2014), tanpa penjelasan matematis yang memadai,
kenapa program penilaian itu diubah.
Jadi Kurikulum 2013 tidak bisa dikatakan sebagai kurikulum yang berlandaskan pada filsafat
esentialisme karena syarat perlu dan syarat cukupnya tidak terpenuhi45
Sedangkan Kurikulum 2006 ini juga sudah diberlakukan kembali melalui Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3
Permendikbud No. 160 Tahun 2014 dan kurikulum 2006 ini tidak menggunakan filsafat esentialisme,
tetapi filsafat perenialisme, sehingga kita mengalami penerapan dua kurikulum dengan dua
logika pemikiran yang berbeda.
Tingkat kompetensi dalam Kurikulum 2013 mengacu pada SOLO Taxonomy (Structure of
the Observed Learning Outcomes) Taxonomy (lihat Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013
Bab II) yang bermasalah pada pengukuran keberhasilannya (penilaian/evaluasi yang harus
dilaporkan kepada orang tua murid), serta bermasalah pada penetapan Tingkat Kompetensi 0 sampai
Tingkat Kompetensi 6.

45

Syarat perlunya adalah validitas penentuan kompetensi (kompetensi 0-6) (lihat di bagian SOLO Taxonomy di atas)
dan syarat cukupnya adalah pengukuran capaian kompetensi (penilaian) itu yang terus bermasalah sampai kini

60

50

Tingkat kompetensi itu memerlukan perumusan SPM (Standar Pelayanan Minimal) sebagai batas
bawah capaian kognisi siswa46, yang sebenarnya termaktub dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas,
namun sampai sekarang belum terealisasi. Anak kelas 9 SMP itu harus menguasai apa saja sebagai
bekal pemilihan jurusan di kelas X SMA ? Bahasa Indonesia sampai tingkat mana yang harus
dikuasai oleh siswa kelas 6 SD? Anak kelas XII itu harus menguasai apa saja sebagai bekal
melanjutkan ke universitas? Kimia sampai tingkat apa yang perlu dipahami agar siswa dapat lolos
tes masuk Fakultas Kedokteran? (Yang ada adalah SPM untuk prasyarat minimal sarana dan
prasarana pada Permendikbud No. 23 Tahun 2013, bukan SPM akademik)
Dengan kata lain, penentuan Tingkat Kompetensi 0 sampai Tingkat Kompetensi 6 itu akhirnya
dijadikan batas atas kemampuan yang harus dikuasai siswa. Karena tidak semua siswa sanggup
menguasai 100% suatu bahan/materi, maka batas atas ini sering diturunkan, sehingga pergantian
kurikulum itu sejatinya makin memiskinkan isi kurikulum. Dengan demikian, kompetensi tidak
koheren dengan Kerangka Dasar Kurikulum (KI dan KD), isi Silabus, isi buku ajar dan isi buku
pegangan guru. Mau bukti? Dengan dihapuskannya TIK dan Logika pada Matematika, siswa sudah
diarahkan untuk menjadi user, bukan programmer. Meskipun siswa sudah duduk di kelas XII IPA
SMA, siswa tidak mengerti beda analog dan digital, apa yang dimaksud dengan komputasi awan dan
yang membuat teknologi android makin lama makin murah. Dengan diajarkannya Kimia di SMP,
maka dipandang Kimia tidak lagi memerlukan prerequisite Matematika dan Fisika, sehingga
praktikum-praktikum kimia dasar harus dihapus, seperti Menghitung bilangan Avogadro dengan
menggunakan lingkaran benang, menyepuh, mengisi aki, dll. Mata Pelajaran Kimia yang sifatnya
empirik telah diturunkan menjadi Kimia sastra. Dengan kata lain, Silabus dan buku ajar itu tidak
menjawab kemerosotan score anak-anak kita dalam TIMSS, PISA dan PIRL. Masih banyak bagian
kurikulum yang hilang seperti matematika geometrik (stereometri, Ilmu Ukur Analitika, Ilmu Ukur
Melukis (BM), penggaraman dan Kimia Analitik, dll yang terangkum dalam Kurikulum 197547,
dimana STEM (Science, Technology, Engineering dan Mathematics) dipahami secara 3 F (fun,
fearless dan fantastic). Fun karena pelajaran saling terintegrasi, misalnya dalam pelajaran Prakarya,
siswa diajak membuat alat peraga dan penerapan praktikum lab (misalnya untuk memahami segi 36,
siswa diajak membuat lampion; untuk memahami tentang kalor dan Hukum Hess, siswa diajak
membuat es krim). Fearless karena yang diajarkan adalah logika (matematika tanpa rumus dan fisika
tanpa rumus). Bahan-bahan ini dicoba dihidupkan kembali oleh Prof Yohanes Surya melalui Fisika
Gasing (Fisika gampang, asyik dan menyenangkan). Fantastic karena siswa mulai dibimbing untuk
46

47

Lihat tulisan selengkapnya tentang SPM, yang ditunjukkan pada Catatan kaki No. 31 dan No.32
dimana siswa dilatih menemukan metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi
dalam administrasi politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk pikuk sehari-hari

61

51

melakukan penelitian dan membuat karya tulis di akhir kelas XII sebagai prasyarat kelulusannya.
Hasilnya adalah eksplorasi ilmu yang tiada habisnya (yang muncul sebagai karya inovatif dalam
Lomba Penelitian Ilmiah Remaja Kemdikbud atau Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI-TVRI), yang
kelak mereka perdalam di perguruan tinggi dan menjadikan mereka sebagai sarjana diaspora yang
mumpuni di manca negara. Misalnya : Kenapa undur-undur (Myrmeleon formicarius) berjalan
mundur? Kenapa laor (Lysidice oele) hanya muncul pada bulan Maret-April di perairan Maluku
Tengah? dll. karya ilmiah siswa yang mencerahkan. Maka dapat dimengerti bahwa dengan silabus
dan buku ajar seperti KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 itu, siswa kelas XII SMA tetap akan
kesulitan mengerjakan soal-soal Verbal GMAT, TOEFL, dan SAT yang diperlukan untuk
menunjukkan bahwa siswa kita mampu bersaing di era global (Lihat Permendikbud No. 67 Tahun
2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal : banyaknya materi uji yang ditanyakan dalam TIMSS
dan PISA yang tidak ada dalam kurikulum Indonesia (tidak ada di KTSP Bimtek dan Kurikulum
2013, adanya di Kurikulum 1975). Permendikbud ini di copy paste pada Permendikbud No.57 Tahun
2014 (lihat Catatan * di Kata Pengantar). Perbedaan SPM menurut ketentuan Pasal 51 ayat 1 UU
Sisdiknas dengan SPM menurut Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013 Bab II (Kompetensi 0
-6) juga sudah diuraikan di atas. Dari uraian di atas nampak bahwa SPM merupakan syarat perlu
untuk menuju ke SKS. Siswa harus menguasai 100% suatu bahan ajar/materi yang dipersyaratkan
untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya (bukan hanya menguasai 75%). Dengan demikian, SPM
adalah jembatan untuk menuju ke pendidikan yang transformatif.
dari karut marut ini?

Pelajaran apa yang bisa ditarik

Memperbaiki pola rekrutmen para calon guru.

Selama di SD masih

diberlakukan konsep tematik dan tematik integratif, maka para calon guru SD yang akan diterima di
PGSD seharusnya adalah para lulusan SMA IPA, karena mereka kelak akan mengampu IPA dan
matematika sepanjang hari di kelas (basic science dan matematikanya harus kuat).

Lalu

pembelajaran Filsafat Pendidikan, Cara Mendisain Kurikulum, dan Praktek Mengajar harus
dihidupkan lagi di PGSD/FKIP, dengan demikian para guru akan terbiasa berpikir kritis menurut azas
5 W + 1 H dan berpikir analitis melalui pendekatan deduktif serta berorientasi pada proses belajarmengajar PAIKEM GEMBROT (Pendidikan Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan,
Gembira serta Berbobot) melalui model pembelajaran konstruktivisme.

Orientasi pendidikan

seharusnya mengacu pada Finlandia sebagai negara dengan sistim pendidikan terbaik di dunia.
Karena negara itu mempercayai kualitas penyiapan para calon guru di PGSD/FKIP mereka dan
program sertifikasi guru mereka selalu terkait dengan kinerja guru. Kalau mengacu pada kearifan
lokal, model pemetaan siswa seturut multiple intelligence itu sudah diterapkan pada Kurikulum

62

52

197548, yang mengusung prinsip edukasi : tidak ada murid yang bodoh, yang ada adalah guru yang
kurang baik sehingga kita unggul di masa lalu, dimana sains dan matematika dipahami sebagai
art, bukan sekedar pengetahuan. Dimana kurikulumnya masih mengembangkan 6 wilayah makna
yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika dan sinoptis. Acuannya adalah sekolah
sebagai center of excellence. Guru adalah suri teladan (di gugu dan di tiru).
Lewat penerapan Kurikulum 1975 saat itu, para guru mengasah inisiasi kurikulumnya dengan tolok
ukur keberhasilan siswanya dalam mengikuti tes beasiswa kuliah di luar negeri (karena saat itu hanya
diberlakukan Ujian Sekolah, tidak ada Ujian Nasional sehingga masing-masing sekolah berupaya
menciptakan brand image-nya sendiri). Guru menghayati betul panggilannya sebagai guru yaitu
menghidupi profesinya (profesi = janji publik, profesi guru adalah membuat anak yang tidak bisa
menjadi bisa). Maka saat itu tidak ada Bimbel, meskipun GMAT , SAT dan TOEFL menjadi acuan
para guru dalam proses pembelajaran di kelas. Hal ini hanya mungkin kalau pemerintah setia pada
tugasnya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga tugas pemerintah di dalam penyusunan
kurikulum hanya sebatas menentukan kerangka dasar dan struktur kurikulum. Oleh sebab itu
membuat kurikulum menjadi kontekstual dan membumi. Untuk itu diperlukan birokrasi yang fokus
pada tupoksinya, tidak tumpang tindih seperti sekarang (BNSP dan Dewan Pendidikan, Puskurbuk
dan Puspendik, Pengawas dengan LPMP, Instruktur Nasional dengan PPPG/PPPPTK dan Kepala
Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan setempat). Anggaran bisa dihemat dan disalurkan untuk menatar
bahan-bahan yang tidak ada dalam kurikulum nasional tapi justru menjadi materi uji di TIMSS, PISA,
GMAT, termasuk melengkapi sarana-prasarana untuk memperdalam materi tersebut.
Dengan demikian siswa dapat berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya dalam jurusan
Ilmu Pasti (Jurusan PAS), IPA (Jurusan PAL), Ilmu-ilmu Sosial (Jurusan SOS) dan jurusan Budaya
(Jurusan BUD, bukan sekedar Jurusan Bahasa). Rangkuman dari kesemuanya ini sebenarnya sudah
disosialisasikan enam tahun yang lalu lewat Disain Kurikulum Digital, dimana guru bukan saja
berlatih menyusun kurikulumnya sendiri yang kontekstual, tetapi juga mengacu peningkatan taraf

Kurikulum 1975 juga unggul dalam pengukuran holistik. Soal-soal kognitif berupa Pilihan Ganda biasa; soal
psikomotor adalah soal-soal yang berupa : Pilihlah A, bila jawab No. 1, 2 , 3 benar; Pilihlah B, bila jawab No. 1 dan 3
benar; Pilihlah C, bila jawab No. 2 dan 4 benar; Pilihlah D bila hanya jawab No. 4 saja yang benar; Pilihlah E, bila semua
jawaban benar. Lalu soal-soal afektif, yaitu soal-soal yang berupa : Pilihlah A, bila sebab benar, alasan benar, ada
hubungan sebab-akibat; Pilihlah B, bila sebab benar, alasan benar, tidak ada hubungan sebab-akibat; Pilihlah C, bila
sebab benar, alasan salah; Pilihlah D bila sebab salah, alasan benar; dan pilihlah E, bila sebab salah dan alasan salah.

48

Bandingkan dengan Kurikulum 1994, KBK, KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 yang hanya mengenal soal-soal kognitif
dalam Pilihan Ganda dan soal-soal kognitif dalam esai (uraian), tidak ada soal-soal Pilihan Ganda psikomotor dan Pilihan
Ganda afektif seperti pada Kurikulum 1975. Soal-soal afektif dalam esai di Kurikulum 1975 memerlukan penilaian
rubrik.

63

53

berpikir kritis sampai ke tingkat HOT (Higher Order of Thinking), sebab hanya dengan pendidikan
kritislah, pendidikan dapat berubah menjadi pendidikan transformatif

49

dimana potensi siswa

dikembangkan seoptimal mungkin untuk mencapai taraf manusia pembelajar.

Transformasi

pendidikan ini juga disebut sekilas dalam Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b 50
(hanya mengembangkan kognisi siswa, tidak menyentuh masalah etika dan multikulturalisme
(keberagaman budaya dan pandangan hidup), yang diulang pada Permendikbud No. 57 Tahun 2014
Ada 9 ciri pendidikan kritis yang transformatif :
1. Pendidikan harus diformulasikan kembali
Pendidikan tidak hanya bersangkut paut dengan disiplin ilmu, tetapi dengan pembentukan
identitas, dan dengan tanggung jawab sebagai warga Negara (yang dijabarkan Presiden
Jokowi dalam Nawa Cita No.8)
Maka dari itu, penggabungan religiositas dengan disiplin ilmu tidak bisa dilakukan
melalui pendekatan filsafat eklektik, tetapi dengan askese pengetahuan (mesu budi)
2. Etika harus menjadi kepedulian dalam pendidikan kritis
Etika dimengerti sebagai tugas dan tanggung jawab terhadap liyan (yang menolak bahwa
kesengsaraan dan eksploitasi harus diterima). Etika melawan ketidak samaan (inequality)
: diskursus untuk memperluas HAM, bukan malah mempersempitnya
Maka pengejawantahannya melalui pendidikan budi pekerti tidak bisa disatukan dengan
mata pelajaran Pendidikan Agama karena bisa terjebak dalam kesalehan penampilan
(bukan Civics atau pembentukan keadaban publik). Hak dan wewenang guru (HAM
guru) tidak boleh dipersempit melalui keharusan mengikuti Pasal 20 PP No.32 Tahun
2013 atau meninggalkan Kurikulum 2006.
3. Pendidikan kritis perlu membahas masalah keberagaman
Pendidikan multikultural tidak bisa dilaksanakan hanya dengan membuat daftar
keberagaman, tetapi bagaimana keberagaman itu ditegaskan dan ditransformasikan dalam
demokrasi, kewarganegaraan dan ruang public. Intimidasi kepada para guru hanya karena
perbedaan penafsiran kurikulum adalah bibit dari anti pati pada keberagaman
Analisa konteks yang meliputi analisa sosial dan kekayaan daerah yang sudah mulai
diterapkan dalam Kurikulum 2006, hendaknya terus dikembangkan, bukan malah
dihapus. Analisa konteks ini membuat keberagaman menjadi kontekstual, bukan sekedar
diketahui atau dipahami saja.
Pendidikan Transformatif, Makalah Prof.Dr. M Sastrapratedja SJ dalam Seminar Lingkar Muda Indonesia, tanggal 28
Mei 2015 di Ruby Room, Gedung Kompas Gramedia Jakarta
50
Tidak untuk membentuk manusia pembelajar, tetapi hanya mengembangkan kognisi siswa : mengembangkan
kecerdasan intelektual dan kecermelangan akademik melalui pendekatan disiplin ilmu
49

64

54

4. Pendidikan kritis tidak membekukan pengetahuan


Pendidikan tidak menjadi dogmatis. Pendidikan tidak membuat pengetahuan, kurikulum,
ajaran, narasi menjadi beku, tetapi terbuka untuk diintrepretasikan kembali. Kurikulum
bukan teks sakral, tetapi sarana mencapai tujuan 51
Keberadaan Pengawas Mata Pelajaran telah mengacaukan makna literer kurikulum
(menurut KBBI Vol.IV dan kamus Webster, yang diuraikan pada awal Bab IV).
5. Pendidikan kritis membuka penciptaan pengetahuan baru
Batas-batas disiplin ilmu perlu dibuka (bukan malah ditutup dan dipersempit, seperti
diintegrasikannya TIK di semua jenjang pendidikan dan IPA (di kelas 1-3 SD) dalam
tematik integratif di Kurikulum 2013), sehingga memungkinkan terciptanya ruang baru
untuk pengetahuan baru, yang dapat menyumbang terbentuknya budaya kritis.
Pendidikan kritis memberi tempat untuk ingatan kolektif terhadap mereka yang
dilupakan, melepaskan mereka dari diskursus yang monolitik dan mentotalkan.
Seolah-olah Kurikulum 2013 adalah pilihan terbaik bagi siswa saat ini, dengan
melecehkan sejarah panjang pendidikan kita (menganggap kurikulum lama sudah kuno
dan irrelevan), lupa pada hakekat filsafat perenialisme (Lihat Catatan kaki No.40).
Padahal nuansa monolitik dan totaliter ini sangat nampak antara lain dari perubahan istilah
penatar dari guru inti (tutor sebaya) menjadi instruktur (orang yang memberi
instruksi) : relasi subordinasi dalam Kurikulum 2013.

Perubahan istilah ini erat

kaitannya dengan diubahnya ketentuan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi Pasal 20
PP No.32 Tahun 2013 (wewenang guru dipangkas menjadi hanya sekedar penyusun
RPP). Perubahan ini makin dieskalasi dengan munculnya Pengawas sebagai watch dog
6. Pendidikan kritis meninjau kembali pengertian rasionalitas
Pengertian rasio yang berasal dari masa pencerahan, yang menganggap rasio dapat
menemukan kebenaran (rasionalitas instrumental), menyangkal sifat historis dan
ideologis dari kebenaran. Semua pengetahuan secara historis dan sosial dikonstruksikan
secara rasional dengan memperhitungkan efek bola saljunya (snow balls effects) (ingat
putusan Hakim Sarpin Rizaldi dan hakim Harwandi yang mengkonstruksikan kembali
pengertian ilmu hukum tanpa meninjau rasionalitas terbukanya kotak Pandora status
tersangka pada kasus pra-peradilan BG (Budi Gunawan) dan HP (Hadi Purnomo).
Batas-batas rasionalitas harus diperlihatkan, untuk itu diperlukan selalu dialog
pengetahuan dalam Kurikulum 2013 (bukan monolog yang ditentukan oleh Pusat, melalui

51

Tujuan pendidikan nasional sudah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 : Mencerdaskan kehidupan bangsa

65

55

pelatihan yang searah dan dropping buku ajar dan buku pegangan guru, cerminan azas
top down) dengan guru sebagai pelaksana instruksi dari para instruktur nasional.
7. Pendidikan kritis mementingkan kritik sekaligus kemungkinan baru
Pendidikan kritis tidak hanya melontarkan kritik, tetapi harus memunculkan harapan,
horizon kebeluman (criticism and contributing)
Misalnya bagaimana menerapkan e-learning dalam era globalisasi dan liberalisasi
pendidikan dewasa ini, sejalan dengan Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 201452
Bagaimana siswa di pelosok nun jauh di sana, dimana gurunya tidak ada atau jarang hadir
di kelas, siswa tersebut tetap dapat belajar secara teratur seperti rekan-rekannya di kotakota besar horizon kebeluman ini harus selalu diperjuangkan menjadi asa.
8. Dalam pendidikan kritis, guru adalah intelektual transformatif 53
Dalam pendidikan kritis, peran guru hendaknya tidak dilihat dengan bahasa sempit
profesional
Guru dapat memproduksi ideologi, mengkaitkan teori dengan praksis, sehingga
memungkinkan transformasi sosial54 dan sebagai intelektual publik yang mampu
melontarkan kritik sosial dengan keberanian moral.
Guru bukan robot-robot yang setia menunggu instruksi Dinas/Pengawas/instruktur
dengan ganjaran tunjangan sertifikasi (tunjangan ini sebenarnya merupakan hak guru,
bukan sebagai bentuk kewajiban untuk melaksanakan instruksi Pengawas/Dinas). Guru
bukan sekedar nomor dalam Dapodik/Padamu Negeri, tetapi guru adalah konseptor dan
inisiator pendidikan (dulu sering disebut bahwa guru adalah soko guru masyarakat)
9. Pendidikan kritis mengembangkan kemampuan bersuara
Praktek pendidikan kritis mendorong siswa menemukan identitas dirinya dan tempat dia
dalam masyarakat, nasional dan global.
Pendidikan kritis menumbuhkan idealisme untuk membangun masyarakatnya menjadi
adil, sejahtera, manusiawi dengan bahasa transformatif dan penuh harapan. Bukan
sekedar generasi visual, tetapi generasi yang mampu berpikir out of the box.
Bukan generasi yang hanya menjadi user dari gawai (gadget) tanpa tahu teknologinya,
tetapi gen flux, generasi pendobrak kebuntuan dan kebekuan sistim.

Sekolah yang terakreditasi A, menerapkan SKS (Sistim Kredit Semester), bukan paket SKS
Pendidikan transformatif bertolak dari amanat Pembukaan UUD 1945 yang menempatkan pendidikan yang
mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan nasional
54
Pendidikan transformatif menjadikan Pancasila orientasi bagi pendidikan sehingga menjadi humanistik, dialogik,
reflektif menuju tercapainya masyarakat adil, berkepribadian dan bermartabat
52
53

66

56

Jalan Keluar
Bila Dinas Pendidikan setempat melalui para Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran
berkukuh ingin menerapkan proyek besar Kurikulum 2013 (mengabaikan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat
3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 serta Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013),
maka langkah win win solution yang tidak mengorbankan tujuan pendidikan nasional dan tidak
menjadikan siswa sebagai sekedar peserta didik (namun sebagai subyek didik) adalah melalui
jalan sinkretisme, yaitu suatu proses perpaduan dari berbagai paham-paham untuk mencari
keserasian dan keseimbangan, dengan demikian menegaskan suatu kesatuan pendekatan yang
memungkinkan untuk berlaku inklusif. Sinkretisme antara apa yang sudah diyakini baik adanya
(sudah teruji), dengan apa yang diharapkan akan menjadi baik di kemudian hari (belum teruji)
A. Contoh : Kompetensi Inti 1 (KI 1) : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang
dianutnya
KI 1 ini terdapat di semua Mata pelajaran di setiap jenjang pendidikan, sehingga ada kemungkinan
tidak nyambung (tidak koheren) dengan Kompetensi Dasar 1 (KD 1) atau KD manapun di jenjang
tertentu, maka langkah pertama adalah mencari kata kunci dari KI itu : Menghayati dan
mengamalkan ajaran agama yang dianutnya itu kata kuncinya apa? Kata kunci yang disodorkan
oleh Kemdikbud adalah sikap spiritual. Namun kalau kita dalami, maka kita akan sampai pada
kata kunci yang lebih mendasar : mengapa kita beragama, karena ada kebenaran di situ, hingga
kata yang lebih dalam dari sikap spiritual adalah kebenaran, maka kata kebenaran ini dapat
digabung dengan SK (Standar Kompetensi) dari Kurikulum 2006, misalnya SK 1 : Memecahkan
masalah yang berkaitan dengan bentuk pangkat, akar, dan logaritma.
Kenapa perlu digabung dengan SK 1 dari Kurikulum 2006 ? Untuk mencari bahan ajar yang
hilang (yang tidak tercantum lagi dalam Silabus baru, padahal bahan ajar itu penting), maka hasil
penggabungan itu akan menjadi : MEMECAHKAN MASALAH YANG BERKAITAN DENGAN
BENTUK PANGKAT, AKAR DAN LOGARITMA SECARA BENAR
Akibat penambahan satu kata SECARA BENAR itu, maka para guru akan terpaksa mencari mata
rantai yang hilang dari bentuk akar, pangkat dan logaritma itu. Ternyata sejak SD tidak diajarkan :
1. Konsep Basis Bilangan, siswa langsung diperkenalkan dengan basis sepuluh, padahal banyak
operasi hitung tidak menggunakan basis 10, seperti algoritma computer programming
menggunakan basis bilangan 1 (hanya mengenal 0, dan 1), kartu domino : basis bilangannya
6 (ada kartu 0,0 dan 6,6); kartu remi : basis bilangannya 13 (ada kartu 2 sampai 10, ditambah
dengan kartu As, King, Queen dan Jack); dadu basis bilangannya 6; jarimatika basis
67

57

bilangannya 10; dakon (congklak) basis bilangannya 10. Permainan kubus rubrik
menggunakan basis bilangan 6.
2. Sifat bilangan, bahwa perkalian itu sebenarnya adalah penjumlahan biasa, misalnya 1 + 3
terdiri dari dua bilangan, maka hasilnya adalah 2 x 2, jadi 1 + 3 + 5 + 7 + 9 + 11 + 13 + 15 +
17 + 19 + 21 + 23 + 25 itu terdiri dari 13 bilangan, maka hasilnya adalah 13 x 13, akibatnya
6 x 4 bisa dibaca sebagai 4 enam kali (4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4) atau 6 empat kali (6 + 6 + 6 + 6)
Luas bisa dihitung dari panjang x lebar atau lebar x panjang
Dengan memasukkan konsep bilangan dan sifat bilangan, siswa dapat dilatih berpikir abstrak
melalui mencongak, sesuatu yang hilang dari kurikulum kita sehingga anak-anak sekarang
dibentuk menjadi anak visual (dulu tergantung pada kalkulator, sekarang tergantung pada gawai
(gadget), daya abstraksinya tidak berkembang. Mau bukti? Ajaklah mereka berdebat. Debat dengan
mudah bisa berubah jadi debat kusir yang menganggap orang yang berbeda pendapat sebagai lawan
Maka, dengan menggabungkan KI dan SK, bagian kurikulum yang hilang dari khasanah kurikulum
kita akan dapat digali lagi, misalnya dalam matematika akan didapat lagi Ilmu Ukur Ruang
(Stereometri) yang juga menjadi jembatan pemahaman garis bujur dan garis lintang pada bola dunia
dalam Geografi atau letak dan jarak bintang dalam Astronomi. Dengan demikian siswa secara
bertahap akan diajar untuk berpikir satu dimensi melalui garis lurus, dua dimensi melalui lingkaran
dan tiga dimensi melalui bola. Siswa tidak bingung dengan dimensi dua dari segitiga, karena segitiga
apapun juga pasti mempunyai titik pusat dan jari-jari lingkarannya. Siswa juga tidak akan bingung
dengan bentuk kerucut, prisma dll, karena benda itu pasti mempunyai titik pusat dan jari-jari bolanya.
Dengan demikian, kita bisa mengajarkan kembali menggambar perspektif dan proyeksi pada siswa
SMA atau menggambar ornament pada siswa SD atau origami advance pada siswa SMP, sehingga
daya abstraksi siswa makin lama makin berkembang. Jadi, dimensi matematika yang begitu besar
dapat dipelajari dalam (1) Ilmu Ukur Analitika (lingkaran dan lingkaran tak hingga (hiperbola), elips
dan elips tak hingga (parabola) : siswa tidak langsung belajar statistika tanpa tahu parabola secara
mendalam) (2) Ilmu Ukur Ruang (stereometri) : tiga dimensi dan (3) Ilmu Ukur Melukis : empat
dimensi, serta (4) Trigonometri, yang juga sangat diperlukan dalam Ilmu Pesawat (gerak peluru,
gerak lenting pegas, gerak timba (kerekan) : sekarang adalah gerak angkat dari forklift ) dan (5)
Aritmatika (Ilmu Hitung), sehingga orang tidak bingung lagi hitung cepat (quick count) setelah
Pemilu/Pilkada karena cara menghitungnya sama dengan menghitung buah mangga dalam keranjang
tanpa mengeluarkan mangga itu dari keranjang dan menghitungnya satu per satu). Mata Pelajaran
Matematika akan menjadi art karena melatih imajinasi siswa sehingga pelajaran menggambar
ornament, perspektif dan proyeksi akan merupakan pelengkap dari kemampuan prediksi dan analisis
siswa. Peningkatan kemampuan berpikir kritis dan analitis menjadi tujuan utama dari pembelajaran
68

58

Matematika. Dengan asumsi itu, Pramuka yang telah diwajibkan dalam ekstra kurikuler55 sekolah
mempunyai pijakannya yang kuat dalam mencari tanda jejak dan jurit malam melalui membaca
arah seturut kemunculan rasi bintang biduk/beruang besar sebagai penunjuk arah utara. Garis-garis
imajiner yang membentuk citra beruang besar itu hanya bisa dimengerti kalau siswa belajar tentang
rasi bintang, dan bisa membedakannya dengan rasi bintang lain (sayang sekali, pelajaran Ilmu Bumi
Falak (Astronomi) yang ada di Kurikulum 1975 ini dihapus dari kurikulum kita

Oleh sebab itu, siswa dapat mengenali rasi bintang pemburu/orion/ waluku sebagai penunjuk arah
Barat, sehingga mereka tidak akan tersesat dalam jurit malam dan mereka akan tahu, dimana
matahari akan terbit (kemana harus menyongsong fajar).

Semua garis-garis imajiner itu hanya bisa dipelajari melalui mata pelajaran astronomi (dalam
Kurikulum 1975, dikenal sebagai Ilmu Bumi Falak, yang justru sudah dihapus seiring dengan
55

UU No. 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka (UU Kepramukaan) Pasal 38 butir (a) : Setiap peserta didik
berhak mengikuti pendidikan kepramukaan, tetapi harus diingat pula bahwa hak itu bisa tidak digunakan oleh
peserta didik, mengingat sifat sukarela dari gerakan kepanduan sedunia, yang tercermin dalam Pasal 20 ayat 1 UU
No. 12 Tahun 2010 : Gerakan pramuka bersifat mandiri, suka rela dan non politis. Analog dengan hal ini adalah hak
memilih dan hak dipilih dalam Pemilu. Warga bisa tidak menggunakan hak pilihnya dan tidak boleh dipaksa memilih

69

59

dihapusnya Stereometri (Ilmu Ukur Ruang) dari kurikulum kita sejak 1994, sehingga para siswa kita
akan kesulitan dalam mengikuti Olimpiade Astronomi, atau memahami penentuan hilal dan rukyat
sebagai tanda dimulainya awal puasa ( 1 Ramadhan) atau saat penentuan akhir puasa yang kita kenal
sebagai Hari Raya Idul Fitri (1 Syawal).
Tanpa pemahaman akan adanya garis-garis imajiner di langit selatan (karena sebagian besar dari kita
berada di bawah garis katulistiwa), maka semua bintang akan terlihat sama saja

Maka tanpa pemahaman astronomi, kegiatan mencari tanda jejak dan jurit malam di Pramuka
hanya menjadi kegiatan hura-hura saja. Kegiatan Pramuka bahkan bisa berlangsung tanpa SKK
(syarat kecakapan khusus). Tanpa mempunyai SKK, siswa sudah bisa menggunakan seragam dan
atribut Pramuka, yang sebenarnya menyalahi UU No.12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka, Pasal
7 ayat 5 dan Pasal 7 ayat 6 tentang SKK (Syarat Kecakapan Khusus) dan SKU (Syarat Kecakapan
Umum) serta tanda/sertifikat SKK/SKU
Hal ini juga berlaku untuk Mata Pelajaran lain, dengan menambahkan satu kata kunci :
SECARA BENAR, maka di dalam Mata Pelajaran Agama yang dogmatis itu dapat ditambahkan
Etika dan Etiquette (Etiket) : bagian penting dari Budi Pekerti.
Dalam Biologi, saat pembahasan mengenai Tumbuhan atau Konservasi, dapat ditambahkan tentang
pembuatan Apotek Hidup, Dapur Hidup dan Arboretum (Kebun Raya Mini) atau dalam skala mikro,
siswa dapat diajar membuat terrarium. Dalam Ilmu Kimia, dapat ditambahkan dua bagian penting
dari Kimia yang hilang dari kurikulum kita, yaitu penggaraman dan Kimia Analitik (penggaraman
adalah jembatan untuk memahami asidi-alkali metri dan sifat amfoter suatu zat)
Contoh lain adalah mencari kata kunci dari KI 2, KI 3 dan KI 4. Pemerintah sudah
membuatkan kata kunci untuk KI 2 yaitu SIKAP SOSIAL, kata kunci untuk KI 3 yaitu
PENGETAHUAN dan kata kunci untuk KI 4 yaitu KETRAMPILAN
56

56.

Maka tugas guru adalah

Lihat Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013 tentang Standar Isi

70

60

mendalami kata kunci itu sehingga dapat KI tersebut dapat digabung dengan SK dari Kurikulum
2006, sekali lagi, tujuannya adalah mencari bahan ajar/materi ajar yang hilang dari kurikulum. Oleh
karenanya, kata kunci dari KI 2 akan menjadi AFEKTIF, kata kunci dari KI 3 akan menjadi
KOGNITIF dan kata kunci dari KI 4 adalah PSIKOMOTOR
Penggabungan KI dan SK ini bukan saja memunculkan lagi bagian kurikulum yang hilang, tetapi
juga menghasilkan soal-soal pilihan ganda kognitif, soal-soal pilihan ganda psikomotor dan soal-soal
pilihan ganda afektif (lihat catatan kaki no. 48 tentang keunggulan pengukuran holistik Kurikulum
1975) Kalau ada masalah dalam penyusunan soal-soal pilihan ganda ini, maka yang perlu dibenahi
adalah peningkatan kompetensi guru dalam penyusunan soal-soal spesifik itu, bukan malah
menghapusnya, karena tujuan pembuatan soal-soal pilihan ganda holistik itu adalah melatih
penalaran halus (fine tuning) siswa dan melatih guru dalam Penilaian rubrik untuk soal-soal esai.
Peningkatan kompetensi guru ini adalah tupoksi dari LPMP dan PPPG/PPPPTK di daerah
(pemerintah pusat tidak perlu ikut sibuk mencampuri evaluasi hasil belajar siswa ini, agar pemerintah
fokus pada pelaksanaan Pasal 3, dan Pasal 11, serta Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas)
B. Contoh : Kompetensi Inti 2 (KI 2) Bahasa Indonesia Kelas X SMA : Menghayati dan
mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran,
damai), santun, responsif dan proaktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas
berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta
dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
Kata kuncinya adalah AFEKTIF
Sedangkan SK 1 Bahasa Indonesia Kelas X SMA : Memahami siaran atau cerita yang disampaikan
secara langsung /tidak langsung
Maka gabungan dari KI 2 dan SK 1 ini adalah : MEMAHAMI YANG TERSIRAT DARI SIARAN
ATAU CERITA YANG DISAMPAIKAN SECARA LANGSUNG/TIDAK LANGSUNG
Dengan memasukkan kata afektsi (memahami yang tersirat, bukan yang tersurat) maka akan muncul
tiga bahan yang hilang dari kurikulum Bahasa Indonesia untuk memahami siaran atau cerita yaitu :
(1) penyusunan kronik, hingga dapat : (2) merangkai kronologi kejadian yang melatar-belakangi
munculnya siaran atau cerita itu sehingga siswa bisa : (3) menyusun kaleidoskop untuk memahami
trend apa yang menarik perhatian masyarakat atau menjadi sorotan publik. Dengan demikian, siswa
bisa memisahkan antara isu dan siaran atau cerita yang terverifikasi (menghindari gossip atau
subyektivitas) Oleh sebab itu, siswa belajar untuk tidak terlalu cepat menarik kesimpulan, yang bisa
saja terjebak dalam kesalahan penafsiran.
71

61

C. Contoh Kompetensi Inti 3 (KI 3) IPS Terpadu kelas VII SMP : Memahami pengetahuan (faktual,
konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi,
seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata
Cukup banyak yang keliru mencari kata kunci KI 3 ini, mengira kata kuncinya adalah ketrampilan,
karena terpengaruh kata terkait fenomena dan kejadian tampak mata yang hakekatnya adalah
pengamatan atau observasi, tetapi yang dimaksud di sini adalah observasi sebagai langkah
pengumpulan fakta untuk memahami alur pikir sains, sehingga kata kunci yang betul adalah
kognitif
Sedangkan SK 3 IPS Kelas VII SMP : Memahami usaha manusia memenuhi kebutuhan
Maka gabungan dari KI 3 dan SK 3 ni adalah : MEMAHAMI USAHA DAN KINERJA MANUSIA
DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN
Dengan memasukkan kata kognitif, maka usaha bukan dipahami sebagai sekedar berusaha,
tapi harus dilihat juga tingkat keberhasilan usahanya (kinerjanya). Dengan demikian, akan diperoleh
dua bahan yang hilang dari kurikulum, yaitu manusia bukan saja sebagai mahluk sosial dan mahluk
ekonomi, tetapi juga mahluk budaya dan mahluk politik
Maka dari itu, bahan IPS Terpadu akan diperkaya dengan mahluk budaya yang mengupas masalah
sistim/tata nilai, sikap mental, pola tingkah laku dan dehumanisasi yang akan memperkaya dimensi
sejarah dalam IPS. Kinerja mahluk berbudaya adalah ketertiban dan kebersamaan (public order dan
esprit de corps). Sebagai mahluk politik, IPS akan diperkaya dengan strategi untuk penentuan atas
pilihan-pilihan dalam menjalani hidupnya hingga bisa merencanakan tindakan-tindakan politis, yang
akan memperkaya dimensi ekonomi (political economy) dalam IPS. Kinerja mahluk politik adalah
terwujudnya kesejahteraan umum (public welfare).
Bahan-bahan IPS Terpadu di SMP akan diperkaya, bukan saja dengan menerjemahkan kebutuhan
ekonomi manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial, tetapi juga menjadikan siswa tidak
buta politik dan menjadi manusia muda yang beradab (tidak terlibat gang motor, tawuran, atau
menganggap liyan yang berbeda pendapat sebagai musuh)
D. Kompetensi Inti 4 (KI 4) IPA kelas V SD : Menyajikan pengetahuan faktual dan konseptual
dalam bahasa yang jelas dan logis dan sistematis, dalam karya yang estetis dalam gerakan yang
mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan
berakhlak mulia
Cukup banyak kata yang merujuk pada aktivitas, yaitu kata-kata menyajikan ., dalam karya
.., dalam gerakan .., dan dalam tindakan ..

Sehingga cukup mudah untuk

mengasumsikan bahwa kata kuncinya adalah action (ketrampilan), maka simpulan harus selalu
melihat kalimat lengkapnya yaitu menyajikan pengetahuan faktual dan konseptual dalam Bahasa
72

62

yang jelas dan logis dan sistematis yang arti harafiahnya adalah bekerja berdasarkan pengetahuan
yang dikuasai sehingga kata kunci yang benar adalah psikomotor
Standar Kompetensi 1(SK 1) IPA kelas V SD : Mengidentifikasi organ tubuh manusia dan hewan
Maka gabungan antara KI 4 dan SK 1 IPA kelas V SD adalah : MENGIDENTIFIKASI PREPARAT
ORGAN TUBUH MANUSIA DAN HEWAN
Dengan menambahkan kata kunci preparat , maka para guru akan tertolong untuk memperkaya
ketrampilan psikomotorik siswa melalui tindakan bedah pada hewan yang memerlukan contoh
(teladan) ketrampilan bedah guru.

Bila guru kurang trampil dalam bedah, para guru bisa

menggunakan YouTube untuk melihat film kinerja preparat suatu organ terutama preparat manusia.
Melalui penambahan kata preparat, bahan IPA SD akan diperkaya dengan kaburnya/memudarnya
pembagian antara hewan dan tumbuhan dengan diketemukannya mahluk bersilia (tergolong hewan),
tetapi juga bersimbiosis dengan alga (tergolong tumbuhan) yaitu Mesodimium chamaeleon, atau
Elysia chlorotica, sebangsa siput yang mempunyai chlorofil seperti tumbuhan, tapi juga bisa bergerak
seperti hewan

Siswa SD sejak dini sudah diajak mengeksplorasi alam semesta yang masih banyak belum terungkap
sehingga daya abstraksi dan imajinasinya akan terus berkembang. Fungsi IPA sebagai jembatan
untuk memahami keteraturan dalam alam semesta akan tercapai (bukan sekedar memahami rantai
73

63

makanan/rantai energi melalui biologi molekuler, atau kompleksitas hereditas melalui Teori
evolusi Darwin/Teori Mendel)
Bahan IPA SD akan diperkaya dengan kinerja sel-sel organ (hewan atau manusia) yang
bekerja berdasarkan prinsip fisika (kapilaritas (tegangan permukaan), difusi dan osmose (larutan
isotonis dan hipotonis), dan energi atau prinsip kimia (kerja enzim, perubahan kimiawi dalam
mitochondria, dll) sehingga sejak dini, siswa SD sudah dipersiapkan untuk mempelajari IPA Terpadu
Apakah tidak terlalu sulit untuk anak SD ? Tidak, karena saat mempelajari tumbuhan (botani), siswa
sudah mengenal cara tumbuhan menyerap unsur hara dari dalam tanah melalui prinsip pipa kapiler
(tegangan

permukaan),

mengukur

pertumbuhan

kecambah

kacang

hijau

menggunakan

auksanometer, dll
Dengan menambahkan kata kunci kebenaran, afektif, kognitif dan psikomotor pada
SK dari Kurikulum 2006, maka materi uji TIMSS dan PISA yang tidak ada di kurikulum
Indonesia, akan dapat digali lagi (Lihat Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No.2 b :
Tantangan Eksternal) (lihat Catatan * tentang permendikbud ini di Kata Pengantar), yang juga
tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian I A No. 2 b
Apa perlunya mempelajari Filsafat Pendidikan ?
Pertama, Agar dapat melakukan refleksi secara benar. Sebab tanpa bekal pemahaman
Filsafat Pendidikan, refleksi dengan mudah akan terjerumus ke dalam pencarian umpan balik (feed
back), yaitu melakukan refleksi seperti saat hening doa malam : menggali kembali apa yang sudah
kita alami sepanjang hari tadi57 Bukan itu yang dimaksud, sebab umpan balik memerlukan tindak
lanjut (follow up), sedangkan refleksi pedagogis memerlukan strategi baru agar proses pembelajaran
lebih membumi.
Contoh : bila guru mengarahkan refleksi itu sebagai mengingat kembali apa yang sudah dialami
atau dipelajari murid sepanjang hari tadi, maka yang muncul adalah complaint murid terhadap sikap
guru dan cara guru mengajar atau complaint murid terhadap kelengkapan sarana dan prasarana
sekolah : kalau hal ini tidak ditindak-lanjuti, maka refleksi paradigma pendidikan reflektif (PPR) itu
bisa bubar di tengah jalan.
Sebaliknya, bila refleksi dipahami sebagai upaya mencari strategi baru, maka yang pertama dan
utama harus melakukan refleksi adalah gurunya, bukan muridnya

Umpan balik (feed back) ini muncul dalam Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab II A No. 3 c (seharusnya bukan
umpan balik, tetapi refleksi, sehingga terukur)
57

74

64

Refleksi guru itu harus dilakukan bila :

Rerata daya serap siswa < KKM, maka rumusan Indikator Keberhasilan di Silabus harus
diubah

Jumlah siswa yang tuntas < 50 %, maka ranah Kata Kerja Operasional (KKO) harus
diperbaiki

Jumlah siswa yang tidak tuntas > 50 %, maka jumlah soal yang diterima dalam Analisis
Soal harus diperbanyak (Soal yang harus direvisi dansoal yang ditolak dikeluarkan dari
Bank Soal).

Untuk Analisis Soal ini, para guru dapat menggunakan ANATest (ITB)

(berbayar), atau SPS Sutrisno Hadi (UGM) (berbayar) atau Analisis Soal yang disediakan
dalam Disain Kurikulum Digital (gratis)
Kemudian, guru baru melanjutkan ke refleksi siswa, misalnya : Apakah saya bisa bekerja sama
dengan teman? Kalau murid menjawab : ya, maka seharusnya prestasi murid itu membaik karena
murid yang bersangkutan dapat mengambil banyak manfaat dari belajar berkelompok (tutor sebaya).
Bila murid menjawab ya tapi prestasinya justru memburuk, maka ada inkonsistensi dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan pedagogis itu, Guru Mata Pelajaran dapat menggali faktor-faktor
lain penghambat belajar murid itu. Salah satu penyebab memburuknya prestasi itu kemungkinan
besar disebabkan oleh ketidak-cocokan siswa dalam belajar berkelompok (tutor sebaya), maka guru
dapat mencari strategi lain (tidak lagi menggunakan strategi UILG (Using Interdependent Learning
Group) atau tutor sebaya itu lagi, tapi guru dapat memilih strategi pembelajaran individual, seperti
SSRL (Supported Self-Regulated Learning) sehingga guru cukup hanya menyediakan dukungan
yang perlu agar siswa bergerak dari pembelajar yang dependen menjadi pembelajar yang independen,
misalnya begitu mendengar kata : Puting beliung, siswa tanpa disuruh mencari sendiri makna
kata puting beliung itu dari ensiklopedia, surfing internet (googling) atau mencari di kamus,
wikipedia dll Memang untuk masuk dalam PPR (Paradigma Pendidikan Reflektif), guru harus
menguasai bahan yang diajarkannya, sekaligus menguasai metode didaktik pedagogik (guru-guru
lulusan Program Akta IV akan mudah menerapkan PPR bila dilatih), oleh sebab itu, kita dapat
memahami upaya pemerintah untuk mengubah pola pemberian sertifikasi guru yang baru, yaitu
melalui pendalaman materi dengan pembelajaran selama 2 semester (bukan lagi lewat pelatihan 1
minggu), karena para guru lulusan PGSD/FKIP akan kesulitan dalam penerapan PPR ini.
Masalah berikutnya adalah di SD, para calon guru yang belajar di PGSD atau FKIP harus
berlatar SMA IPA, karena mereka akan mengampu Mata Pelajaran IPA dan Matematika sepanjang
hari di kelas dalam Tematik Integratif di SD. Tanpa pengalaman praktikum yang memadai, para
guru SD itu akan kesulitan membimbing pendekatan saintifik (5 M) . Oleh sebab itu, tidak lagi boleh
ditolerir, adanya Pengawas yang mengijinkan pendekatan 5 M itu dipotong saja menjadi 3 M. Hal
75

65

ini bukan saja menyalahi arti pendekatan saintifik, tapi juga merusak system of knowledge dari ilmu
pengetahuan itu sendiri. Ilmu Pengetahuan tidak lagi merupakan art, tapi menjadi sekumpulan
hafalan dan rumus-rumus/aksioma58 yang mendorong sikap tidak kreatif dan tidak imajinatif.
Masalah serius terjadi di SMP, dengan program sertifikasi, maka guru pengampu IPA
Terpadu harus berijazah S-1 IPA Terpadu (bukan berijazah S-1 Biologi, atau S-1 Fisika, atau S-1
Kimia), padahal FKIP yang mempunyai jurusan IPA Terpadu hanya ada di UNY di Yogya.
Problemnya adalah calon guru yang akan mengikuti perkuliahan IPA Terpadu harus sungguhsungguh pandai karena harus sanggup mempelajari sains lintas disiplin tanpa kehilangan hakekat
Biologi, Fisika dan Kimia an sich. Disinilah problem utamanya, orang yang sungguh-sungguh
pandai itu akan memilih masuk ke Fakultas Kedokteran atau Fakultas Teknik. FKIP/PGSD bukan
ideal mereka. Dengan demikian, peraturan linieritas dalam program sertifikasi itu bisa menghasilkan
calon guru IPA Terpadu yang kualitasnya kurang memadai. Alhasil, kualitas pendidikan kita bisa
makin merosot.
Kedua, Agar para guru mudah merumuskan Tujuan Pembelajaran sehingga dapat fokus
dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas (tidak tersesat dengan mengajarkan materi lembar demi
lembar dari buku ajar/sumber belajar, lalu kehilangan intinya/target kurikulumnya). Tujuan
pembelajaran ini sering dikacaukan dengan Indikator Pembelajaran, hanya karena kedua tema ini
menggunakan kata awal : siswa dapat
Misalnya : KD (Kompetensi Dasar) 2.1 Matematika Kelas X SMA : Melatih diri memiliki pola hidup
yang disiplin, konsisten dan jujur sebagai dampak mempelajari konsep dan aturan eksponen dan
logaritma serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
Maka Tujuan pembelajarannya adalah Siswa dapat membedakan konsep algoritma, logaritma (log)
dan log naturalis (ln), yang akan sangat berbeda dengan rumusan Indikator pembelajaran yang rinci,
mulai dari : Siswa dapat mengkonversi akar menjadi pangkat, sampai siswa dapat menyelesaikan
masalah mempergunakan ln (ada 6 Indikator dalam KD 2.1 ini dengan alat bantu Buku Logaritma,
tidak bisa menggunakan kalkulator). Contoh perhitungan yang tidak bisa menggunakan kalkulator
adalah 2015 pangkat -2015. Penyelesaian secara cepat hanya bisa kalau menggunakan buku
logaritma. Namun ada juga pejabat Kemdikbud yang menyatakan, anak tidak perlu menghitung
58

Pidato Kebudayaan Dr. Karlina Supeli : Kebudayaan dan Kegagapan Kita (Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki,
Jakarta, tanggal 11 November 2013) : Model pendidikan yang dipandu oleh logika utilitarianism in extremis, yang sibuk
mengejar ranking nilai atau KKM, tentu tidak mampu mengungkap kekayaan dimensi kognitif kebudayaan yang antara
lain mengemuka melalui ilmu pengetahuan. Sulit membayangkan bagaimana pemahaman instrumental tentang ilmu
sanggup menghasilkan pengalaman eksistensial yang dapat menjadi kekuatan transformatif untuk mengubah cara
pandang kita terhadap realitas

76

66

angka-angka besar itu, mereka lupa bahwa dalam Ilmu Kimia akan banyak menggunakan
perhitungan dengan angka-angka besar itu (Bilangan Avogadro untuk menghitung jumlah atom atau
molekul dalam suatu zat, perhitungan dengan mengunakan konstanta asam atau konstansta basa
dalam kesetimbangan kimia, perhitungan derajat keasaman, dll). Juga perhitungan energi dalam
Fisika (Joule, erg, KwH, HP (PK). Angka-angka besar itu juga sangat diperlukan dalam perhitungan
jarak bintang pada Astronomi (tahun cahaya), perhitungan dalam komputasi (Mb, Gb, Tb, dll).
Contoh lain : Kompetensi Dasar (KD) 1.1 IPS kelas VII SMP : Menghargai karunia Tuhan YME
yang telah menciptakan waktu dengan segala perubahannya
Maka Tujuan Pembelajarannya adalah Siswa dapat membedakan waktu berdasarkan koordinat suatu
tempat, dengan 5 Indikator yaitu dimulai dari : Siswa dapat membedakan gerak rotasi dan gerak
revolusi bumi, sampai pada : Siswa dapat menentukan waktu berdasarkan garis bujur suatu tempat
di bumi
Contoh lain : Kompetensi Dasar (KD) 3.2 IPA kelas V SD : Mengenal organ tubuh manusia dan
hewan serta mendeskripsikan fungsinya
Maka tujuan pembelajarannya adalah : Siswa dapat membedakan organ hewan berdarah panas
dengan organ hewan berdarah dingin, (Siswa akan sampai pada kesimpulan : organ manusia dengan
simpanse itu sama, hanya beda ukuran otaknya). KD ini bisa dilengkapi dengan 6 Indikator, mulai
dari : Siswa dapat mengenal ciri-ciri organ hewan, lalu : Siswa dapat melihat cara kerja suatu organ
manusia dalam film animasi di YouTube, sampai ke : Siswa dapat mencari di internet mahluk yang
dapat digolongkan kedalam hewan maupun tumbuhan
Mudah-mudahan dengan contoh-contoh di atas, dapat dilihat dengan jelas perbedaan antara Tujuan
Pembelajaran dan Indikator
Tujuan Pembelajaran berkaitan dengan kompetensi (kemampuan)59 siswa yang ingin
dikembangkan, sedangkan Indikator berkaitan dengan target kurikulum 60 yang ingin dicapai
Dengan demikian kita tidak akan terpengaruh perubahan yang terjadi (Jawa Pos 27 Juni 2015 hal 12.
Dikatakan oleh Ramon Mohandas Kepala Puskurbuk bahwa Revisi Utama Kurikulum 2013 adalah
KD untuk KI 1 dan KD untuk KI 2). Harapan kita, KD yang akan direvisi harus dapat menambahkan
lagi bagian kurikulum yang hilang. Namun kalau penggabungan kata kunci seperti yang dicontohkan
di atas tidak dilakukan, maka harapan itu hanya akan tinggal menjadi harapan. Yang ada adalah
perbaikan tambal sulam Kurikulum 2013, yang mengabaikan isi Nawa Cita No.8

59
60

Kemampuan yang ingin dikembangkan itu mengarah ke kognitivisme, behaviorisme atau ke konstruktivisme
Target kurikulum : konseptual, faktual, procedural, atau meta kognitif

77

67

tanpa mengkaji kenapa 28 permendikbud yang melandasi Kurikulum 2013 itu selalu
menyebut berulang kali kata KTSP,

kenapa Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 yang menjadi dasar hukum dari
Kurikulum 2013 itu tidak kunjung diimplementasikan?

Kenapa hanya muncul excuse tanpa solusi, seperti nampak pada Lampiran Permendikbud No.
67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b Tantangan Ekstrnal : banyaknya materi uji TIMSS dan
PISA yang tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia, yang juga tersurat (di copy paste)
dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian I A No.2 b

Dengan contoh di atas, apa urgensinya belajar memperdalam lagi Filsafat Pendidikan?
Dimensi filsafat dalam pendidikan mempersoalkan pernyataan dasar mengenai apakah
pendidikan itu? Dengan demikian, dimensi filsafat mencoba menjawab persoalan pendidikan pada
dirinya sendiri atau pendidikan qua pendidikan. Dewasa ini persoalan mendasar tentang pendidikan
qua pendidikan tampaknya kurang diminati, karena dianggap tidak menyumbangkan pemikiran yang
bisa dipakai untuk pemecahan langsung terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat
menyangkut praktik pendidikan.
Atau, barangkali masyarakat sudah sedemikian terobsesi oleh begitu banyaknya persoalan pragmatis
dan terjerat dalam labirin persoalan praktis, sehingga tidak mampu lagi keluar untuk mencari ujung
benang kusut dari seluruh persoalan pendidikan.
Kalau demikian, dimensi filsafat sebetulnya justru memperlihatkan urgensinya yang nyata saat ini.
Tentu saja pembicaraan tentang pendidikan pada tataran filsafat tidak berorientasi pada
manfaat, hasil atau kegunaan, melainkan pada visi yang memberi wawasan. Karena itu pembicaraan
ini mempunyai scope yang berbeda dari pembicaraan pragmatis. Namun, paham filsafat pendidikan
sangat penting untuk memberi dasar yang benar bagi penyelesaian-penyelesaian persoalan praktis.
Memang, filsafat pendidikan tidak serta merta bisa diterapkan untuk memecahkan persoalanpersoalan dalam pendidikan yang begitu luas, karena seperti sudah disinggung di atas, filsafat tidak
menjawab persoalan secara pragmatis melainkan menjawab persoalan secara visioner dan memberi
wawasan.61

Langkah visioner sebenarnya sudah ditunjukkan oleh Mendikbud Anies Baswedan

melalui Permendikbud No. 160 Tahun 2014 : tidak ada kurikulum 2013 itu (lihat Pasal 1 dan Pasal 2
ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014)62, namun di tengah perjalanan, ada pihak-pihak yang
selalu memaksakan proyek penyerapan anggaran untuk tetap menerapkan Pasal 2 ayat 1 dan juga

61
62

A. Sudiarja, Pendidikan dalam Tantangan Jaman, Yogya, Kanisius, 2014


Pasal 1 : Sekolah yang baru melaksanakan Kurikulum 2013 dapat kembali menerapkan Kurikulum 2006
Pasal 2 ayat 3 : Sekolah yang sudah melaksanakan Kurikulum 2013 sejak awal, dapat berganti menerapkan
Kurikulum 2006, cukup dengan melapor pada Dinas Pendidikan setempat

78

68

Pasal 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 itu63 , melupakan isi Pasal 5 Permendikbud No. 158
Tahun 201464
Kebingungan akibat ketidak jelasan pijakan filosofi, tercermin pula pada Mendikbud Anies
Baswedan dan jajaran birokrat Kemdikbud :

Pasal 6 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 : Ketentuan lebih lanjut mengenai Kurikulum
2006 akan diatur dalam peraturan menteri tersendiri
Kalau jajaran Kemdikbud ngotot ingin mengatur Kurikulum 2006, bukankah peraturan
menteri terkait Kurikulum 2006 itu sudah sangat lengkap (lihat catatan kaki No. 2 dasar
hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan)

Pasal 4 Permendikbud No.160 Tahun 2014 : Sekolah dapat melaksanakan Kurikulum 2006
paling lama sampai dengan tahun pelajaran 2019/2020
Banyak yang mengartikan bahwa di tahun ajaran 2019/2020 itu kita harus melaksanakan
Kurikulum 2013, tanpa melihat bahwa tahun itu adalah tahun pemberlakuan APEC 2020.
Bagaimana kita akan bersaing dengan sekolah asing dan guru asing yang akan membanjiri
Indonesia, bila kita berkukuh pada Kurikulum 2013 yang banyak mengandung kesalahan ini,
dan tidak menyiapkan guru-guru kita dalam penyusunan modul untuk menyongsong
pemberlakuan sistim baku SKS (bukan paket SKS), yaitu melangkah ke SBI (sekolah bertaraf
internasional) yang dilengkapi dengan sertifikasi manajemen ISO 9001:2008?
Pemaksaan pemberlakuan Kurikulum 2013 di tahun pelajaran 2019/2020 itu juga mendistorsi
isi Nawa Cita No.8 tentang perlunya penataan kembali kurikulum pendidikan nasional

Maka lupakan Kurikulum 2013 yang mau dilestarikan lewat Permendikbud No. 31 Tahun 2013, yang
mau membatasi modal asing dan lalu lintas SDM asing, yang bisa memancing reaksi negatif WTO
dan ACMW. Sebelum kita kena sanksi WTO dan ACMW, apa yang harus kita lakukan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia sesuai amanat Pasal 3 UU Sisdiknas 65 dan Pasal 5
ayat 1 UU Sisdiknas 66? Kembali menggali filosofi yang tepat dan sesuai dengan tujuan pendidikan

Pasal 2 ayat 1 : Sekolah yang sudah melaksanakan Kurikulum 2013 sejak awal, tetap melaksanakan Kurikulum 2013
(boleh berganti ke Kurikulum 2005 atau tidak? )
Pasal 3 : Sekolah yang belum menerapkan Kurikulum 2013 akan mendapat pelatihan dan pendampingan untuk
pelaksanaan Kurikulum 2013 (apakah artinya tidak boleh menerapkan Kurikulum 2006 dan tidak boleh ke SKS?
64
Sekolah yang terakreditasi A, menerapkan SKS (Sistim Kredit Semester), tapi jembatan untuk pindah dari Kurikulum
2013 ke SKS tidak disediakan (guru tidak dilatih cara menyusun diktat, LKS dan modul) serta manajemen moving
class dan micro teaching). Jembatan ini justru ada di Kurikulum 2006, kalau guru mampu menyusun kurikulumnya
sendiri (sesuai Pasal 77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013), maka guru pasti mampu menyusun modul sendiri
65
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
66
Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
63

79

69

nasional kita yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa (bukan meningkatkan kompetensi orang per
orang, seperti yang dirujuk oleh KBK). Filsafat pendidikan yang tepat dengan strategi pelestarian
budaya adiluhung kita, sekaligus dapat mengakomodasi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa
melalui penggalian local wisdom kita (tut wuri handayani)67 adalah filsafat perenialisme68 Tanpa
pemahaman ini, kita akan dengan terjebak dalam anomali pola pikir, mengira bahwa pembelajaran
kognitif (calistung) itu lebih sulit dari pembelajaran afektif (pendidikan karakter), lalu menunda
pendidikan kognitif pada usia emas anak untuk belajar dan menggantinya dengan pendidikan karakter
: Anak hingga usia 7- 8 tahun atau kelas I dan II SD belum bisa langsung diisi dengan berbagai
pelajaran, seperti berhitung dan baca tulis, yang diajarkan serius ..Usia 7 8 tahun juga masih
usia bermain bagi anak-anak, kata Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo (Langkan, Pelajaran Baca
Tulis Diganti Pendidikan Karakter, Kompas, Selasa 11 Agustus 2015 halaman 11) Maka langkah
pragmatis untuk memenuhi azas tut wuri handayani yang diperkuat dengan filosofi perenialisme dan
sekaligus memenuhi tuntutan Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014 adalah menerapkan elearning melalui Disain Kurikulum Digital. Dalam kaitan dengan Disain Kurikulum Digital, praksis
yang penting adalah terbangunnya kesadaran akan wawasan hakiki dalam mengimplementasikan
refleksi dan merumuskan tujuan pembelajaran demi kualitas pendidikan yang lebih baik. Kenapa
bisa dipastikan bahwa kualitas pendidikan kita akan membaik ? Karena melalui Disain Kurikulum
Digital ini, bagian kurikulum yang hilang akan dapat tergali lagi. Kurikulum kita akan makin kaya.
Salah satu keunggulan dari Disain Kurikulum Digital adalah digunakannya Taksonomi
Bloom, dimana guru harus memberi Teladan, jadi guru yang mengampu Biologi, harus mahir dalam
bedah (sectio) sehingga siswa dapat melakukan bedah hewan secara baik, guru yang mengampu Seni
suara/Musik paling tidak harus mampu memainkan satu alat musik sehingga dapat memberi
pemahaman tentang not secara tepat. Bayangkan kalau guru Bahasa Indonesia mengajar tentang
cerpen, tapi sang guru sendiri belum pernah menulis cerpen yang diterbitkan di media lokal, pelajaran
akan menjadi sangat teoritis dan menjemukan bagi siswa. Dengan kewajiban untuk selalu memberi
teladan, maka mau tidak mau, guru akan terus terasah belajar sepanjang hayat (harus membuat
persiapan mengajar secara benar), tidak bisa lagi guru masuk kelas hanya berbekal buku ajar/sumber
belajar (Teladan/contohnya nanti bagaimana?) atau menuntut siswa melakukan presentasi, tanpa
teladan/contoh dari guru tentang presentasi yang persuasif. Kualitas pendidikan akan membaik
karena guru telah menjadi manusia pembelajar (profesionalitas guru bukan ditentukan dari kelulusan
mengikuti diklat selama 3 hari). Dengan teladan/contoh dari guru, budaya organisasi yaitu budaya

Tut wuri handayani : memberi dorongan/dukungan dari belakang (memberdayakan guru) : jelas menolak
hegemoni pemerintah dalam dunia pendidikan dan persekolahan
68
Lihat catatan kaki no. 40 tentang filsafat perenialisme
67

80

70

ilmiah atau budaya pembelajar akan terpola dengan baik. Sekolah dapat beriktiar menjadi center of
excellence
Keunggulan lain dari Disain Kurikulum Digital dapat disimak pada bab-bab berikutnya, sementara
kita bicara tentang prakarsa dan inisiatif dalam Disain Kurikulum Digital, sistim pendidikan nasional
yang berlangsung selama ini justru menciptakan jiwa tunduk pada kuasa. Meski pendidikan
Indonesia bermutu rendah, pemerintah tetap tutup mata dan mempertahankan orientasi proyek dalam
pengelolaan pendidikan. Berbagai hasil survei terkait kualitas pendidikan, guru dan siswa tidak
mendapat perhatian. Padahal hasil survei yang kaya informasi itu sebenarnya bisa dimanfaatkan
sebagai basis evaluasi kebijakan. Kita dipaksa menerima kenyataan bahwa sistim pendidikan
nasional tak ditujukan untuk melahirkan jiwa-jiwa merdeka. Mendamba lahirnya jiwa merdeka
dari praktik pendidikan yang dikelola dalam kerangka proyek ibarat pungguk merindukan bulan.
(Pungguk Merindukan Bulan, Kompas, Selasa 18 Agustus 2015 halaman 6).

81

71

BAB II
Pendidikan vs Persekolahan (Kebijakan vs Teknis Implementasi)
Kekeliruan pemaknaan fungsi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang
mengabaikan Nawa Cita No.5 dan Nawa Cita No.8, bisa mengubah hakekat Kementerian Pendidikan
menjadi Kementerian Persekolahan dan Dinas Pendidikan menjadi Dinas Persekolahan.
Sebenarnya pemerintah cq Kemdikbud berfungsi merumuskan :
-

arah dan tujuan pendidikan nasional ( Pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistim
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab).
Hal ini paralel dengan Nawa Cita No.5 yaitu menciptakan strong human capital dan
menjadikan pendidikan di Indonesia sebagai center of excellence.

dan kebijakan pengelolaan pendidikan (Pasal 51 ayat 1 UU No.20 Tahun 2003 tentang
Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : Pengelolaan satuan pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar
pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah).

Hal ini sejalan dengan isi alinea keempat Pembukaan UUD 1945 : pembentukan pemerintahan itu
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan meningkatkan kompetensi orang per orang (bukan
sekedar hanya mengembangkan kognisi siswa atau mengembangkan kemampuan intelektual dan
kecemerlangan akademik, sebagaimana tertera dalam Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013
Bab II B Landasan Teoritis, yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bab II A
No. 2 dan No.3), karena pengembangan kemampuan intelektual dan kecermerlangan akademik itu
akan meninggalkan yang bodoh dan yang tidak trampil sehingga menyalahi prinsip penciptaan
strong social capital yang dirujuk pada Nawa Cita No.5. Dari kekeliruan pemaknaan arah dan tujuan
pendidikan nasional ini, dapat dimengerti kalau rumusan kerangka dasar kurikulum dan struktur
kurikulumnya menjadi tidak kontekstual dan situasional. Oleh sebab itu, potensi peserta didik
(potensi siswa) tidak terpetakan melalui Multiple Intelligence. Kalau potensi (bakat dan minat) siswa
tidak kita ketahui secara pasti karena sifat pembelajaran yang klasikal, bagaimana mungkin kita bisa
mengembangkan potensi peserta didik seturut amanat Pasal 3 UU Sisdiknas di atas?

82

72

Akan menjadi lebih rancu lagi kalau Kemdikbud tidak merumuskan policy pengelolaan
pendidikan nasional sesuai amanat Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas sehingga seharusnya pemerintah cq
Kemdikbud wajib merumuskan SPM (Standar Pelayanan Minimal) dan MBS (Manajemen Berbasis
Sekolah), bukan SPM sarana prasarana sekolah berbasis manajemen ala Dinas Pendidikan, jadi :
-

bukan SPM berdasar Permendikbud No.23 Tahun 2013 yang kemudian diperbarui melalui
Lampiran Permendikbud No.64 Tahun 2013 Bab II, tetapi SPM Akademik yang mengasah
penalaran halus (fine tuning) siswa

bukan MBS seperti manajemen yang diatur oleh Dinas Pendidikan atau Pengawas Sekolah,
tetapi manajemen yang disertifikasi ISO 9001:2008.

Perumusan SPM dan MBS ini seharusnya bertujuan mengembangkan potensi siswa sehingga sekolah
seharusnya menerapkan pengembangan minat dan bakat siswa selaras dengan 9 kecerdasan (multiple
intelligence) sejak dini. Sebab tidak ada anak yang bodoh atau pintar, yang ada adalah anak
yang menonjol dalam salah satu atau beberapa jenis kecerdasan. Kita semua berbeda karena
kita semua memiliki kombinasi kepandaian yang berbeda. Bila kita mampu mengenalinya, saya kira
kita akan mempunyai setidaknya sebuah kesempatan yang bagus untuk mengatasi berbagai masalah
yang kita hadapi di dunia. - Howard Gardner
Kebijakan Kemdikbud untuk mendorong semua siswa SD agar terus naik kelas itu sudah
benar dan sejalan dengan prinsip multiple intelligence.
Melalui pengenalan akan Multiple Intelligences, kita dapat mempelajari kekuatan atau kelemahan
siswa dan memberikan mereka peluang untuk belajar melalui kelebihan-kelebihannya.
Tujuan pemetaan siswa dalam multiple intelligence : siswa memiliki kesempatan untuk
mengeksplorasi dunia, bekerja dengan ketrampilan sendiri dan mengembangkan kemampuannya
sendiri.

Oleh sebab itu, kurikulumnya harus sesuai dengan azas multiple intelligence, yaitu

kurikulum kontekstual dan mengakomodasi perbedaan minat dan bakat siswa (sesuai Pasal 36 ayat
2 UU Sisdiknas) yang terakomodasi dalam Kurikulum 2006
Dalam KTSP Bimtek (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan Bimbingan Teknis
(2008) dan Kurikulum 2013, Kemdikbud jelas-jelas melanggar MBS dan tak hirau dengan penerapan
multiple intelligence. Apa buktinya? Siswa yang tidak bisa Matematika atau IPA langsung dicap
bodoh (tidak tuntas), padahal mungkin saja bakat dan minat siswa itu di bidang musik. Karena nilai
kognitif matematika dan IPA jelek (nilainya di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal),
siswa itu dipaksa mengikuti remedial (perbaikan nilai kognitif) Matematika dan IPA, yang berakibat
tidak tersedianya waktu yang cukup untuk mengembangkan bakat dan minat siswa itu sendiri (bakat
dan minatnya dimatikan demi mengejar ketuntasan nilai kognitif Matematika dan IPA).
Matematika dan IPA tetap tidak dikuasai, sedangkan bakat dan minatnya terlanjur mati.
83

73

Kita sadar bahwa banyak anak dan orang dewasa tidak bisa menyanyi dan betapapun mereka di
remedial ratusan kali, mereka tidak akan pernah bisa menjadi artis. Banyak orang tidak bisa
menggambar, meskipun sudah diremedial ribuan kali, tetap saja tidak bisa menjadi pelukis. Anehnya
hal ini kita terapkan dalam Matematika dan IPA, kita remedial anak-anak sampai berkali-kali, dengan
harapan mereka akan bisa menguasai Matematika dan IPA.
Hal ini nampak jelas pada penulisan rapor dan perumusan kriteria kenaikan kelas yang sudah
digariskan oleh Dinas Pendidikan. Penilaian hanya bertumpu pada ketuntasan belajar (pencapaian
KKM (Kirteria Ketuntasan Belajar Minimal), sedangkan penilaian aspek psikomotor dan afektif
tidak tergali dalam PBK (Penilaian Berbasis Kelas). Yang lebih fatal adalah terpisahnya monitoring
proses belajar dan evaluasi keberhasilan belajar dari MBS. MBS menjadi tidak terukur. Proses
pembelajaran di kelas bisa tidak berkait dengan capaian visi dan misi sekolah, para guru jalan sendirisendiri menurut tafsirnya sendiri tentang pendidikan, sehingga berpotensi melanggar ketentuan Pasal
51 ayat 1 UU Sisdiknas. Pendidikan holistik hanya sebatas slogan saja.
Hal ini diperparah dengan kebijakan pemberlakuan satu model pendekatan tunggal dan
seragam di Kurikulum 2013 yaitu model pendekatan saintifik (metode 5 M) yang diimplementasikan
untuk semua mata pelajaran, yang jelas-jelas melanggar azas desentralisasi manajemen kelas, seolaholah metode 5 M ini dapat memecahkan semua masalah yang terjadi di kelas.
Lalu bagaimana bila muncul problem di kelas ?
Yang pertama-tama harus dilakukan adalah memetakan problem apa saja yang mungkin timbul dan
bagaimana cara mengatasinya.
1. Problem rendahnya prestasi belajar siswa, seyogyanya diatasi dengan mengganti metode
pembelajaran, sehingga nilai siswa bisa membaik.

Dalam hal penerapan metode ini,

Kurikulum 2013 sudah benar. Dengan menetapkan metode saintifik (5 M), maka kemampuan
intelektual dan kecemerlangan akademik siswa dapat dikembangkan (tapi para penyusun
Kurikulum 2013 lupa bahwa masih ada strategi dan model pembelajaran (metode bukan satusatunya penyelesai masalah di kelas dan tidak semua guru berlatar belakang IPA yang
memang sejak awal terbiasa dengan metode saintifik). Untuk bisa mengampu Tematik
Integratif di SD, maka para calon guru SD di PGSD harus berlatar belakang SMA Jurusan
IPA, sebab para lulusan PGSD itu akan mengampu Mata Pelajaran IPA dan Matematika
sepanjang hari di sepanjang minggu selama satu tahun penuh. Artinya, guru SD itu harus
mumpuni : menguasai 4 keahlian sekaligus : Matematika, Fisika, Biologi dan Kimia. Sebab
pemelajaran di SD itu merupakan dasar/fondasi untuk jenjang selanjutnya. Bila ada kesalahan
di SD, akan sulit diperbaiki di tingkat selanjutnya. Pada masa Mendikbud Prof Dr Fuad
Hasan, hal ini sudah dicoba diatasi melalui crash program pengadaan guru MIPA melalui
84

74

program D-3 FMIPA, dan program D-IV (sarjana dari berbagai disiplin ilmu akan menempuh
satu tahun pendidikan didaktis dan metodik sebelum ditempatkan sebagai guru), sayang
sekali program ini tidak diteruskan. Alasan utama yang sering dikemukakan adalah : guru
tidak harus ahli dalam bidang yang diampunya, tetapi guru wajib memberi teladan (digugu
dan ditiru), namun Taksonomi Bloom yang mengharuskan guru memberi teladan, juga sudah
dihapus, diganti dengan SOLO taxonomy. Akibatnya kualitas pendidikan kita makin merosot
(lihat hasil survey berbagai lembaga internasional tentang kualitas pendidikan kita di bagian
akhir dari Bab Pendahuluan).
Data prestasi belajar itu termasuk dalam evaluasi hasil belajar yang didokumentasikan di
CK (Catatan Kompetensi).
2. Problem kemalasan belajar, seyogyanya diatasi dengan mengganti strategi pembelajaran,
sehingga motivasi belajar siswa bisa terpacu. Siswa yang termotivasi akan rajin bertanya
pada guru atau mampu menjawab dengan antusias pertanyaan yang diajukan oleh guru. Data
frekuensi Tanya Jawab ini termasuk dalam monitoring proses belajar yang
didokumentasikan di PBK (Penilaian Berbasis Kelas). Sampai sekarang, masih banyak guru
yang lebih senang kelasnya diam atau pasif, seolah-olah siswa memperhatikan pengajaran
guru, padahal sebenarnya kelas yang pasif itu menunjukkan bahwa siswa tidak belajar.
3. Problem kenakalan siswa, karena siswa bosan atau jenuh belajar, seyogyanya diatasi dengan
mengganti model pembelajaran, sehingga siswa tertantang untuk maju. Siswa yang bosan di
kelas akan cenderung melakukan aktivitas negatif (membolos, bolak-balik ijin ke toilet,
mengganggu teman atau mengantuk di kelas, mencoret-coret meja atau dinding WC, dll).
Data tentang frekuensi aktivitas negatif ini termasuk dalam monitoring proses belajar yang
didokumentasikan di PBK
4. Problem tidak mengerjakan sendiri tugas praktek atau Tugas Tidak Terstruktur, seyogyanya
diatasi dengan mengganti tugasnya, disesuaikan dengan minat dan bakatnya. Misalnya siswa
yang tidak bisa membuat puisi, tidak diminta berulang-ulang menulis puisi, karena memang
siswa itu tidak mungkin menjadi penyair, tapi siswa diminta untuk mengamati suatu puisi :
masalah apa yang ingin diungkap oleh sang penyair dan apa latar belakang penyair itu
menorehkan puisinya ? (Menangkap yang tersirat). Dengan pola lama (remedial berulang)
pada tugas praktek itu, besar kemungkinan, siswa tidak membuat tugasnya sendiri, tetapi
siswa menyuruh orang lain membuatkan tugas praktek atau Tugas Tidak Terstruktur, oleh
sebab itu tugasnya perlu diganti dengan tugas yang meningkatkan partisipasi siswa melalui
tugas yang dapat mengembangkan daya abstraksinya.

85

75

Frekuensi penyerahan tugas yang dilakukan sendiri oleh siswa ini termasuk dalam
monitoring proses belajar, yang didokumentasikan di di PBK
5. Problem tidak menyerahkan tugas proyek atau Tugas Terstruktur, seyogyanya diatasi dengan
mengganti tugasnya disesuaikan dengan kemampuan (kompetensi dari siswanya). Misalnya
siswa yang tidak bisa membuat bola sebagai alat peraga matematika, maka tugasnya diganti
dengan tugas yang dapat mengasah penalaran halus (fine tuning) siswa, misalnya melalui
soal-soal yang berbentuk cerita (persamaan tersamar) atau mencari gambar pintar yang dapat
mengasah daya imajinasi kreatif siswa.

Frekuensi penyerahan tugas yang dapat

meningkatkan daya analisis siswa ini termasuk dalam evaluasi hasil belajar yang
didokumentasikan di CK.
Contoh gambar pintar : ada berapa orang dalam gambar ini?

Harap diingat bahwa generasi muda sekarang cenderung hanya berkembang dalam ranah visual
karena dulu mereka terbiasa menonton TV dan sekarang mereka tergila-gila dengan gawai (gadget)
sehingga daya abstraksinya kurang berkembang karena bukan termasuk dalam generasi yang gemar
membaca. Itulah alasan utama dari Kemdikbud untuk menghapus mata pelajaran berbasis tiga
dimensi : Ilmu Ukur Ruang (Stereometri), Menggambar Perspektif dan Proyeksi, Ilmu Ukur Melukis
(BM), Ilmu Ukur Analitika, Ilmu Bumi Falak (Astronomi), dll. Lihatlah kicauan dangkal para siswa
pada era ini di Twitter atau posting remeh temeh mereka di Facebook atau foto-foto selfie mereka
yang tidak bermakna apa-apa bagi orang lain di Instagram, yang banyak dikeluhkan sebagai sampah
elektronik. Terjadi pemujaan terhadap pendangkalan (cult of philistinism), menyia-nyiakan masa
emas untuk pertumbuhan daya nalar dan pembelajaran kritis.
86

76

Maka pemetaan bakat dan minat melalui Multiple Intelligence dan manajemen berbasis kelas
mutlak diperlukan untuk menghindari generasi muda yang hanya fasih menjadi user atau konsumen
saja, bukan gen flux yang mampu membuka alternatif baru dan mencerahkan dunia.
Setelah pemetaan kelas dan menentukan langkah intervensinya, maka mencari solusi terbaik dapat
dilakukan lewat PTK (Penelitian Tindakan Kelas) sehingga langkah solusinya terukur.
1. Guru yang ingin mengatasi masalah rendahnya prestasi belajar siswa akan menjadikan CK
sebagai Sumber Data Primer dan PBK sebagai Sumber Data Sekunder, dengan intervensi
pada penggantian metode pembelajaran
2. Guru yang ingin mengatasi problem kelas yang pasif (karena siswanya tidak belajar atau
malas belajar, sehingga tidak tahu apa yang mesti dilakukan di kelas), maka guru akan
menjadikan PBK sebagai Sumber Data Primer dan CK sebagai Sumber Data Sekunder,
dengan intervensi pada penggantian strategi pembelajaran
3. Guru yang ingin mengatasi kebosanan atau kejenuhan belajar siswa (yang tercermin dari
gangguan belajar atau aktivitas negatif yang ditimbulkannya), maka guru yang bersangkutan
akan menjadikan PBK sebagai Sumber Data Primer dan CK sebagai Sumber Data Sekunder,
dengan intervensi pada penggantian model pembelajaran.
4. Guru yang ingin agar setiap siswa membuat Tugas Tidak Terstrukturnya sendiri, maka guru
tersebut harus menggunakan PBK sebagai Sumber Data Primer dan CK sebagai Sumber Data
Sekunder, dengan intervensi pada penggantian tugas yang disesuaikan dengan bakat dan
minat siswa yang sudah terpetakan dalam multiple intelligence.
5. Guru yang ingin agar setiap siswa mampu mengerjakan Tugas Terstruktur secara benar, maka
guru itu harus menggunakan CK sebagai Sumber Data Primer dan PBK sebagai Sumber Data
Sekunder, dengan intervensi pada penggantian tugas yang disesuaikan dengan kemampuan
(kompetensi) siswa
Melalui penelitian yang terukur, maka masalah siswa dapat dipecahkan sebelum siswa menerima
rapor semester (tidak ditunggu sampai berlarut-larut sehingga siswa mengalami masalah pada
kenaikan kelas atau kelulusan)
Jadi monitorimg dan evaluasi keberhasilan belajar berkait langsung dengan MBS dan pendekatan
holistik mempunyai dasar pijakan implementasi yang terukur
Solusi yang ditawarkan dalam PTK itu akan menjadi bahan refleksi guru dalam penyusunan
ulang indikator keberhasilan di Silabus dan bobot soal di RPP (lihat bagian Refleksi pada Bab I
Filosofi Pendidikan)
Dengan demikian, tidak mungkin ada penyeragaman Silabus atau RPP karena sifat dan kondisi
kelas selalu dinamis (MBS itu sifatnya situasional)
87

77

Jadi kalau Dinas Pendidikan di Provinsi DKI Jakarta memberlakukan SAS (Sistim
Administrasi Sekolah) atau SIP (Sistim Informasi Pendidikan), maka sesungguhnya Dinas
Pendidikan telah menyeragamkan perumusan KD (Kompetensi Dasar), Bahan Ajar (Materi
Pelajaran), penentuan Indikator, dan Alokasi Waktu, bahkan sampai batas bawah KKM, yang
mengakibatkan Silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) semua sekolah menjadi
seragam, maka hal itu telah mengubah MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) menjadi MBAD
(Manajemen Berbasis Arahan Dinas Pendidikan). MBAD ini belum tentu cocok dan selaras untuk
diterapkan di suatu sekolah yang kondisinya sangat heterogen. Hasilnya, proses pembelajaran tidak
membantu mencerahkan siswa atau mengasah penalaran halus (fine tuning) siswa dan sama sekali
tidak membantu sekolah mensinkronkan MBS dengan sertifikasi manajemen ISO 9001:2008.
Akibatnya, demi mengejar pemberkasan rapor yang seragam agar compatible dengan SAS atau SIP,
maka Dinas Pendidikan lupa pada kewajiban penjaminan mutu sekolah, yang sudah digariskan dalam
isi Pasal 59 ayat 1 butir (d) dan Pasal 60 ayat (k) PP No. 19 Tahun 2005 juncto Pasal 5 ayat 1 butir
(b) PP No. 32 Tahun 2013 : perumusan kualifikasi Kompetensi Indonesia
Prinsip MBS juga dilanggar melalui penerapan EEK (Eksplorasi, Elaborasi dan Konfirmasi)
dalam KTSP Bimtek dan penerapan pendekatan saintifik (metode 5 M) dalam Kurikulum 2013
karena penerapan kedua hal tersebut sesungguhnya memerlukan pendalaman dalam Analisis Esensi
Materi (AEM), tidak bisa sembarang diterapkan untuk semua KD (Kompetensi Dasar). Penerapan
EEK itu meninggalkan dua aspek penting lain dari rangkaian satu siklus Paradigma Pendidikan
Reflektif (PPR) yaitu Refleksi dan Aksi, sedangkan penerapan pendekatan saintifik (metode 5 M)
untuk topik atau tema yang abstrak, bisa mengganggu system of knowledge dan daya serap dari mata
pelajaran itu. Misalnya guru PKn akan menerangkan tentang Proklamasi Kemerdekaan RI. Melalui
langkah 1 dari pendekatan saintifik yaitu MENGAMATI, akan timbul kendala : siswa tidak
mengalamai secara langsung detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI, sehingga guru harus
membimbing siswa agar siswa dapat mengembangkan daya abstraksinya (Mengapa proklamasi
dilakukan jam 10 pagi, bukan jam 8 pagi? Kenapa proklamasi dilakukan di halaman rumah Bung
Karno, tidak di lapangan Ikada, yang letaknya tidak jauh dari rumah Bung Karno? Kenapa para
pemuda menculik Bung Karno dan membawanya ke Rengasdengklok, tidak ke rumah Raden Saleh
yang lebih dekat dan lebih secure di Cikini? dll). Bila guru tidak mampu membimbing siswa untuk
menemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas, maka penggunaan metode 5 M (yang dimulai
dengan MENGAMATI) bisa merusak system of knowledge dari ilmu ketatanegaraan seputar masalah
proklamasi kemerdekaan negara kita.
Dari contoh di atas, nampak jelas bahwa dengan pelanggaran azas desentralisasi manajemen
kelas yang berwujud dalam campur tangan pemerintah sampai ke dapur sekolah melalui penetapan
88

78

metode tunggal itu, Kementerian Pendidikan sejatinya telah bermetamorfosa menjadi Kementerian
Persekolahan dan Dinas Pendidikan telah berganti peran menjadi Dinas Persekolahan (pemerintah
memasuki masalah-masalah teknis operasional sehari-hari di kelas, lupa pada kewajiban untuk
merumuskan SPM dan MBS dalam dunia pendidikan).69
Kenapa SPM dan MBS ini penting?
Proses pembelajaran formal membiasakan siswa mencari bimbingan teoritis dalam usaha
memecahkan masalah. Namun ada sesuatu yang essentially antagonistic antara kebiasaan pikiran
mencari bimbingan teoritis dan kebiasaan atau kebutuhan pikiran menemukan the successful conduct
of doing something atau solving real problems. Dalam kenyataan sehari-hari, bimbingan teoritis
untuk pemecahan masalah itu adalah soal pendidikan dan pemaparan (deliberation) dan sama sekali
bukan soal pelaksanaan atau eksekusi pemecahan masalah, apalagi hal itu bukanlah soal eksekusi
kurikulum baru
Misalnya : dalam soal-soal Matematika, masalahnya bukan pada penerapan rumus-rumus matematis
(bukan menggali eksekusi pemecahan masalah), tetapi masalahnya ada pada aplikasi logika (mencari
bimbingan teoritis untuk memecahkan masalah itu) dan logika itu membebaskan (deliberation)
matematika dari seperangkat rumus-rumus. Maka pendidikan matematika adalah pemaparan yang
mengasah logika (penalaran). Matematika menjadi seni untuk berpikir logis. Tanpa pemahaman
tentang hal ini, siswa akan sukar mengerjakan soal-soal verbal dalam GMAT.
Contoh lain, dalam Biologi, masalahnya bukan pada menghafal (eksekusi pemecahan masalahnya
bukan dengan menghafal), misalnya bukan menghafal apa beda hewan berdarah panas dan hewan
berdarah dingin, tetapi dengan mencari bimbingan teoritisnya : ada satu zat yang sangat menentukan
perbedaan itu : ada zat yang sangat sensitif pada suhu yaitu enzim.

Kalau siswa sampai pada

kesimpulan enzim pada pembeda hewan berdarah panas dan hewan berdarah dingin, maka
pendidikan biologi mendapatkan jalan terangnya yaitu mendapatkan benang merah keteraturan
alam. Tanpa pemahaman ini, garis Wallacea yang membujur di Selat Makasar menjadi tidak punya
arti apa-apa bagi siswa, atau heboh tentang penemuan manusia kerdil dari Liang Bua (homo
floresiensis) hanya dianggap sebagai salah satu cerita fiksi saja.
Pendidikan yang membebaskan (deliberation) dari segala bunga rampai fakta yang tidak
perlu ini sejalan dengan pemikiran Prof Dr Driyarkara SJ, pendidikan itu bertujuan memanusiakan
manusia muda. Sehingga masalah pembangunan nasional adalah pembangunan manusia,
pembangunan daya analisis manusia. Sedangkan apa-apa yang human adalah sekaligus psikis,
sosiologis, ekonomis, historis, demografis. Maka penting sekali bahwa aspek-aspek tersebut tidak

69

Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas : Pengelolaan satuan pendidikan berdasarkan SPM berbasis MBS

89

79

terpisah tetapi saling menunjang ke arah visi poliokuler. Hidup manusia bukan biologis tetapi
biografis. Untuk ini para guru terpanggil, lebih menjadi pendidik ketimbang pengajar, menemukan
metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi dalam administrasi
politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari.
Agar bisa ikut mengalir tetapi tidak hanyut (ngeli mung ora keli) dalam arus internasionalisasi dan
globalisasi, kita perlu mengembangkan a vision of survival yang seyogyanya dirumuskan dalam
MBS dan SPM
A. Lalu bagaimana bentuk konkrit dari MBS ?
Karena MBS itu adalah :
(1) pengelolaan unit kerja satuan pendidikan secara profesional, dan
(2) untuk melaksanakan demokratisasi pendidikan.
Maka konsep dasarnya adalah desentralisasi dan otonomi daerah, yang berarti kewenangan dan
kemandirian untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, menurut prakarsa sendiri, yang sebenarnya
sudah dirintis oleh pemerintah dengan pendirian Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan di daerah.
Hanya Kemdikbud selalu ragu dalam hal ini, di satu sisi, Kemdikbud mendorong sekolah agar
mandiri (melalui KTM : sekolah kategori mandiri), tetapi di lain pihak, Kemdikbud menghapus
Direktorat Sekolah Swasta, padahal sejak dulu, sekolah swasta ini mandiri (swadana dan swakelola),
akibatnya : sekolah swasta sekarang cenderung menjadi beban negara (pemerintah harus ikut
mengucurkan dana BOS untuk sekolah swasta dan memenuhi tunjangan sertifikasi guru-guru
swasta). Sarana dan prasarana sekolah-sekolah negeri menjadi kurang terurus lagi. Keberadaan para
Pengawas (Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran) ikut merunyamkan ketersendatan
kemandirian suatu sekolah, campur tangan mereka terlalu dalam. Memang harus diakui bahwa tiap
pemerintahan memerlukan birokrasi. Namun birokrasi sering menimbulkan efek negatif, lamban,
berbelit-belit karena harus mengikuti aturan yang banyak lika-likunya. Lalu muncul keluhan
jangan terlalu birokratis. Untuk itulah diperlukan reformasi birokrasi, bahkan ada Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yang khusus mengurus penataan ulang
birokrat agar sesuai dengan Nawa Cita sehingga dapat mendukung ketercapaian Trisakti :
-

Berdaulat di bidang politik

Berdikari dalam bidang ekonomi

Berkepribadian dalam kebudayaan

Apa kaitannya dengan kurikulum?


Kita sudah tidak berdaulat di bidang politik akibat keterjajahan kita dalam bidang teknologi.
Ketergantungan kita pada teknologi asing sangat besar, terutama dalam bidang teknologi komunikasi
Kita bukannya mengejar ketertinggalan teknologi ini, malahan menghapus Mata Pelajaran TIK dari
90

80

kurikulum.

Mata pelajaran TIK yang sangat sulit dan cakupannya sangat luas ini hendak

diintegrasikan ke mata pelajaran lain. Mana mungkin? Jadilah bangsa ini sejak dini sudah diprogram
untuk hanya menjadi sekedar user yang konsumtif.
Akibat lanjutannya, bangsa ini sudah diprogram hanya menjadi sekedar konsumen, bukan produsen,
sehingga kita juga terjajah secara ekonomi.
Sebagai bangsa yang konsumtif, kita juga mudah terpengaruh oleh kebudayaan asing, gejala kebaratbaratan, kearab-araban, dan ke korea-koreaan telah menjadikan kita tidak lagi berkepribadian dalam
bidang kebudayaan.
Untuk itulah diperlukan MBS (manajemen berbasis sekolah) agar pendidikan dikembalikan ke roh
asalinya, yaitu pendidikan kontekstual berbasis kearifan lokal (bukan penyeragaman kurikulum
secara nasional yang dikawal oleh para Pengawas, yang justru menggerus kearifan lokal dan
keunggulan lokal). Untuk mengatasi manajemen ala birokrat ini diperlukan reformasi birokrasi.
Untuk memahami pola baru reformasi birokrasi itu, dibuatlah dikotomi berikut :
POLA LAMA

POLA BARU

Subordinasi

Otonomi

Pengambilan keputusan terpusat

Pengambilan keputusan partisipatif

Ruang gerak kaku

Ruang gerak luwes

Pendekatan birokratis

Pendekatan profesional

Sentralistik

Desentralistik

Serba diatur

Motivasi diri

Regulasi berlebihan

Deregulasi

Mengontrol

Mempengaruhi

Mengarahkan

Memfasilitasi

Menghindari resiko

Mengelola resiko

Gunakan semua dana

Efisiensi pemakaian dana

Individu-individu

Tim

Informasi terpusat

Informasi terbagi

Pendelegasian

Pemberdayaan

Organisasi berjenjang

Organisasi mendatar

Otonomi pendidikan ini sebenarnya sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas,
Pasal 20 PP No.19 tahun 2005 dan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 tahun 2013

91

81

Tanpa otonomi, tidak ada MBS70 yang ada adalah manajemen ala Kemdikbud atau Pengawas.
Kemdikbud sibuk dengan urusan persekolahan, sehingga Kemdikbud lupa pada dilema terbesar
bangsa ini, yaitu tingginya angka drop out dan besarnya pekerja anak
(Jumlah SD : 148.361, jumlah SMP : 36.425, jumlah SMA : 10.765, jumlah SMK : 7.592 Terlihat
bahwa jumlah anak yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi masih sangat besar,
meskipun sudah diluncurkan program sekolah gratis dan telah dikucurkan macam-macam program
bea siswa) Pasti ada sesuatu yang salah hingga angka drop out ini masih sangat tinggi. Inilah tugas
pokok dari pemerintah sehingga Kemdikbud bisa memenuhi tuntutan Pasal 3 UU Sisdiknas
(pemerataan pendidikan tanpa diskriminasi), bukan malah sibuk dengan program tebar uang melalui
sertifikasi guru yang tak terkait dengan kinerja guru dan kompetensi guru, pemberlakuan UN dan
kurikulum baru yang menghabiskan anggaran besar, padahal di berbagai ketentuan dalam
permendikbud masih digunakan kata KTSP (berarti masih berputar-putar di pemaknaan kata
KTSP atau Kurikulum keluaran tahun berapa ?) Kalau melihat arti harafiah dari KTSP :
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, maka sebenarnya pemerintah tidak perlu meluncurkan
Kurikulum 2013 (lihat Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 pada PP No. 32 Tahun 2013). Pemerintah
cukup menambahkan bahan-bahan/materi yang hilang dari kurikulum, hingga para siswa dapat
mengerjakan soal-soal TIMSS dan PISA dengan baik71

Untuk itu diperlukan kajian sejarah

pendidikan Indonesia, pernahkah kurikulum kita menjadi rujukan negara tetangga?

Kapan

kurikulum kita sangat lengkap dalam menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan?
Dari kajian sejarah pendidikan Indonesia ini akan terlihat jelas, bahwa setiap kali ada
pergantian kurikulum, bahan ajar/materi justru makin berkurang, karena pemerintah berkukuh
berupaya meningkatkan kemampuan (kompetensi) generasi muda Indonesia sehingga dapat
menjawab kebutuhan tenaga kerja usia produktif. Kompetensi selalu terkait dengan batas atas (batas
maksimal) materi/bahan ajar yang harus dikuasai siswa secara individual. Supaya tidak terlalu
membebani siswa, maka batas atas ini selalu diturunkan, materi makin berkurang agar tidak
memberatkan siswa. Mula-mula di tahun 1984, pemerintah menghapus benang merah
aktualisasi penajaman fungsi otak kiri, yaitu menghapus Ilmu Bumi Falak (astronomi),
Matematika tiga dimensi (Stereometri, Analit dan Kalkulus I + Kalkulus II), serta Menggambar
Teknik (ornament, perspektif dan proyeksi) dan menghapus benang merah penajaman fungsi
otak kanan : Pengetahuan Umum dengan menghapus Peta Buta dan Sejarah Dunia, Kreativitas

70
71

Implementasi MBS diukur melalui ISO 9001:2008


Banyaknya materi uji yang ditanyakan dalam TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam Kurikulum Indonesia disebut
dalam Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal, yang diulang pada
Permendikbud No.68, No.69 dan No.70 Tahun 2013 tergantung unit sekolahnya)

92

82

dengan menghapus Prakarya, kepekaan indrawi dengan menghapus not balok dalam musik diganti
dengan menyanyi (seni suara) menggunakan not angka.

Lalu di tahun 1994 merembet ke

pengurangan bahan ajar/materi di dalam Mata Pelajaran, dengan dihapuskannya Logika (Persamaan
Tersamar) dari Matematika, Pemberdayaan Masyarakat Madani (Civics) dari PKn, Enam Belas
Tenses dari Bahasa Inggris, Penggaraman dan Kimia Analitik dari Kimia, Mendongeng dan Membuat
Karya Tulis Ilmiah dari Bahasa Indonesia, dll Nampak bahwa bahan ajar/materi itu makin lama
makin miskin. Hakekat pendidikan di sekolah, yaitu membentuk manusia pembelajar dan
menjadikan sekolah sebagai rumah kedua makin jauh dari angan-angan, karena benang
merah lintas ilmu terputus (ada begitu banyak bahan ajar/materi yang hilang) sehingga siswa
bukan lagi belajar untuk kehidupan tetapi belajar untuk lulus Ujian Nasional. Budaya
organisasi menjadi samar, misalnya budaya ilmiah dan budaya pembelajar tergantikan budaya visual
(dulu dengan seringnya menonton TV, sekarang dengan main gawai (gadget), yang ditopang dengan
budaya instant : mau cepat memperoleh hasil, tanpa perlu kerja keras.
Apa yang salah dari Kurikulum 2013 terkait dengan kajian sejarah pendidikan Indonesia ini ? Dari
paparan penanggung jawab Kurikulum 2013, yang dirujuk oleh para guru inti dan sekarang dijadikan
pedoman oleh para instruktur nasional, nampak bahwa perubahan kurikulum dimaknai sebagai
kaleidoskop tahun pergantian kurikulum (Kaleidoskop itupun dimulai dari tahun 1984, tidak
merujuk sampai ke tahun 1968 dan tahun 1975 : saat kurikulum kita masih sangat lengkap dalam
menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri). Akibatnya kajian tentang apa sebabnya kurikulum itu
diganti dan apa dampaknya bagi dunia pendidikan Indonesia terlewatkan, menjadi hanya sekedar
urutan peristiwa (kaleidoskop), Sebagai sekedar urutan peristiwa (kaleidoskop), maka manajemen
kelasnya tidak ikut terteropong, dikira hanya terdiri dari kelas pasif (metode ceramah) dan kelas aktif
(metode cara belajar siswa aktif), padahal hakekat menajemen kelas yang sesungguhnya adalah
upaya penyeimbangan otak kiri dan otak kanan (menumbuhkan budaya kritis dalam bingkai
keadaban publik). Hakekat MBS yang sesungguhnya bertumpu pada hal ini.
Road map penyusunan MBS yang menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan sebenarnya sudah
dirumuskan dalam Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian I A No.2 c :
No. 7 Pola pembelajaran berbasis massal menjadi kebutuhan pelanggan (users) dengan
memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik
Ketentuan ini mengharuskan guru untuk membuat pemetaan kelas berdasar minat dan bakat siswa
dengan menggunakan multiple intelligence. Siswa yang kurang menguasai Matematika, barangkali
bakatnya di bidang musik, sehingga strategi pembelajaran matematika harus diubah agar siswa yang
berbakat di bidang musik, tetap dapat memperoleh pengetahuan matematika minimal yang
93

83

dipersyarakatkan untuk dapat naik kelas (pindah jenjang kompetensi), bukan dengan menyuruhnya
mengikuti remedial berulang, yang hasilnya bisa kontraproduktif
No. 8 Pola

pembelajaran

ilmu

pengetahuan

tunggal

(monodiscipline)

menjadi

pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidisciplines);


Ketentuan ini mengharuskan guru menyusun Analisa Horizontal secara benar. Misalnya guru Bahasa
Inggris yang mengajar tentang greetings harus yakin bahwa etiket sudah diajarkan di Pelajaran
Agama dan Budi Pekerti, serta guru Bahasa Indonesia sudah mengajar kalimat (Kalimat Tanya,
Kalimat Intransitif, Kalimat Seruan, dll) sehingga sinambung dengan greetings; Guru seni suara yang
mengajar lagu-lagu kebangsaan harus yakin bahwa guru sejarah sudah mengupas tentang sejarah
Sumpah Pemuda sampai Sejarah Kemerdekaan Indonesia. Dengan Analisa Horizontal yang benar,
maka siswa akan terbiasa belajar lintas ilmu, suatu modal penting untuk belajar multi disiplin, seperti
tematik integratif atau IPA Terpadu/IPS Terpadu.
No. 1 Pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada
peserta didik. Peserta didik harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang
dipelajari untuk memiliki kompetensi yang sama;
Ketentuan ini mengharuskan guru melakukan Analisa Vertikal.

Bahan ajar/materi disusun

berjenjang, mulai dari yang paling mudah sampai yang paling sukar. Siswa dapat memilih bahan
ajar/materi dari bawah ke atas secara langsung (dari mudah ke sukar), atau zigzag (mengambil semua
yang mudah dulu, baru kemudian mengambil semua yang agak sukar, lalu terakhir : mengambil
semua bahan/materi yang sukar) sesuai dengan kebutuhannya. Pola ini adalah pola pemberlakuan
SKS (bukan paket SKS). Guru perlu menyiapkan modul yang berkelanjutan, program pengayaan
yang mencerahkan, dan monitoring proses belajar yang tepat sehingga setiap siswa dapat belajar
menurut irama dan kecepatannya sendiri.
Dengan demikian, MBS yang diacu oleh Kurikulum 2013 seharusnya sejak awal bertumpu
pada multiple intelligence. Hanya saja, selalu ada gap antara gagasan dan implementasi, gagasangagasan bagus itu hanya ditempelkan pada Kurikulum 2013, sehingga Kurikulum 2013 disebut
menganut filsafat eklektisme, bukan esentialisme.
Pemerintah sebagai pendidik masyarakat ?
Kementerian Pendidikan telah bertransformasi menjadi Kementerian Persekolahan dan Dinas
Pendidikan telah memformulasikan dirinya menjadi Dinas Persekolahan. Apakah pemerintah mau
mengambil alih peran sekolah dan pemerintah hendak terjun langsung sebagai pendidik masyarakat?
Kenapa pertanyaan ini penting diajukan? Karena sekolah sudah dibebani dengan berbagai
macam isian dan tabel dalam Dapodik, Padamu Negeri, dll formula pengisian segala macam laporan,
evaluasi diri, portofolio, semuanya dengan lampiran, selalu tentang hal yang sama, tetapi dengan
94

84

kode, urutan, dan logika yang berbeda. Sering terjadi, Kemdikbud mengubah sistim, dan sekolah
harus mengirim data sekali lagi, lagi, dan lagi. Sebetulnya keluhan semacam ini bukan sesuatu yang
baru, karena dalam pengelolaan pendidikan kita, sudah lama ada kesan bahwa pemerintah
cenderung bersikap birokratis dari pada visioner dan inovatif, cenderung melakukan instruksi
dan pengontrolan rutin dengan penggandaan formulir-formulir resmi untuk diisi dari pada
menawarkan visi pendidikan yang baru dalam tataran akademis, sehingga tugas pokok
pemerintah cq Kemdikbud seperti yang dirumuskan dalam Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas menjadi
terbengkalai.
Contoh : Kemdikbud yang lalai pada Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas dan sibuk berkemas memasuki
ruang privat yang sebenarnya mengingkari motto Kemdikbud sendiri (tut wuri handayani) dan
mengubahnya menjadi tut wuri hanggondeli : Direktur Pembinaan PAUD Ella Yuleawati
menambahkan, sekolah yang terpilih sebagai penyelenggara program pendidikan keluarga akan
mendapat pelatihan tentang pendidikan keluarga, misalnya cara mendidik anak. Pelatihan untuk
para pendidik dan tenaga kependidikan serta kepada para orang tua dan wali murid di sekolah,
ujarnya. (Pendidikan Keluarga Sasar 5000 lembaga, Kompas, Kamis 13 Agustus 2015 halaman 11)
Jikalau pendidikan dibawahkan pada kepentingan pemerintah, pendidikan akan cenderung
menjadi ideologi dan tidak mengacu pada kepentingan kemanusiaan yang menjadi tolok ukur
pendidikan par excellence. Hal ini bukannya menafikan peran negara modern untuk mengatur
pendidikan, melainkan menegaskan bahwa perannya seharusnya hanya sebatas memfasilitasi saja
penyelenggaraan pendidikan oleh dan untuk masyarakat. (lihat Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas)
Memang negara yang taraf demokrasinya masih rendah biasanya cenderung mengkooptasi
semua kegiatan masyarakat di bawah sayapnya. 72 Kecenderungan seperti itu tampak sekali dalam
awal-awal munculnya negara-bangsa (nation-state) di Eropa yang secara alami bersifat absolut dan
rupanya masih mengena pada negara-negara yang masih muda dewasa ini.

Negara lalu bersifat

totaliter karena mau mengatur segala sesuatu, baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun
sosial, termasuk orientasi pendidikan tentu saja,73 dengan pengandaian bahwa rakyat atau masyarakat
belum mampu berpikir sendiri atau belum dewasa untuk mengatur hidup bersama74
Prinsip itulah yang selalu dikemukakan oleh para pejabat Kemdikbud. Para guru selalu disalahkan
sebagai pihak yang tidak becus membuat kurikulum, padahal selama ini para guru selalu patuh pada
Lihat perubahan dramatis isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013
Pemerintah tidak lagi fokus pada arah dan tujuan pendidikan nasional (Pasal 3 UU Sisdiknas) dan kebijakan
pengelolaan pendidikan nasional dan layanan pendidikan yang bermutu (Pasal 11 UU Sisdiknas) serta perumusan
SPM dan MBS (Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas)
74
Ingat wacana pembentukan Direktorat Keayah-bundaan, yang dikukuhkan menjadi Direktorat Pembinaan
Pendidikan Keluarga
72
73

95

85

arahan Dinas Pendidikan setempat dan selalu melaksanakan semua instruksi dari Dinas Pendidikan
dan para Pengawas (Kompas, 29 November 2012, Ini Alasan Dirombaknya Kurikulum). Kalau
kita tengok ke belakang, sampai dengan tahun awal 1984, kurikulum dan persekolahan kita selalu
menjadi rujukan dari negara tetangga. Para guru kita banyak yang diminta untuk mengajar di
Malaysia dan Sekolah Indonesia di berbagai kota di luar negeri diminati juga oleh warga asing.
Semuanya berubah merosot drastis sejak pemerintah berupaya mengkooptasi semua kegiatan
dibawah ketiak sayapnya, didukung oleh membanjirnya dana (20% dari APBN itu harus mampu
diserap oleh Kemdikbud). Kemdikbud lalu tergoda untuk membuat program bagi-bagi duit melalui
sertifikasi guru yang tak terkait kinerja guru, penyelenggaraan UN dan kurikulum tunggal serta
seragam secara nasional, lupa pada Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas, lalu ikut menyusun buku ajar dan
buku pegangan guru serta ikut merumuskan sistim penilaian, lupa pada isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun
2005.75 Pemerintah lupa pada adagium universal : segala sesuatu yang sifatnya top down dan
massal, pasti kualitasnya sulit terkontrol.

Itulah sebabnya muncul cabang baru dalam ilmu

manajemen yaitu TQM (Total Quality Management). Sayangnya, Kemdikbud abai menerapkan
TQM di unit-unit kerjanya. Lihat saja kasus keterlambatan pembagian ijazah saat ini, yang hanya
dianggap sebagai urusan administrasi saja, bukan perkara hak azasi lulusan untuk memperoleh ijazah
asli seperti yang dituntut berbagai lembaga untuk studi lanjut atau untuk bekerja.
Kemdikbud memang merencanakan untuk mengubah tunjangan sertifikasi guru menjadi
tunjangan kinerja guru, namun masalahnya sudah terlanjur rumit dengan adanya :
-

Perubahan dari Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013, yang
memangkas wewenang dan hak guru : guru hanya dijadikan tukang mengajar dan petugas
administrasi pengajaran saja.

Munculnya Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b tentang Pengawas
Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran, yang menjadikan Kemdikbud sebagai konseptor,
inisiator, implementor, dan eksekutor serta evaluator keseluruhan proyek Kurikulum 2013,
sesuatu yang menyalahi sepuluh prinsip good governance dan debirokratisasi dan deregulasi
yang sudah lama digaungkan oleh pemerintah sendiri. Sekolah sungguh-sungguh terkooptasi
dibawah ketiak Kemdikbud dan Dinas Pendidikan.

Kreativitas guru menjadi beku.

Kehadiran para Pengawas ini sejatinya melanggar ketentuan Pasal 10 UU Sisdiknas :


Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu dan
mengawasi penyelenggaraan pendidikan, bukan mengawasi penyelenggara pendidikan
(sekolah), tetapi hanya mengawasi penyelenggaraan pendidikan (proses pendidikan)
75

Bandingkan isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 dengan isi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013

96

86

Dengan sikap kooptasi ini, banyak orang kemudian mengritik persekolahan kita, yang satu
menganggap kurikulumnya kurang relevan, yang lain merasa sekolah mengasingkan anak didik dari
kenyataan, yang lain lagi mengatakan bahwa sekolah mengajarkan hal-hal yang ketinggalan jaman,
kurang memperkembangkan intelegensi, terlalu didasarkan rasa takut melanggar arahan Pengawas,
menghambat kreativitas anak, dan sebagainya. Akan tetapi dalam segalanya itu, persoalannya
sebetulnya sederhana saja. Sekolah menjadi seperti itu karena kita menghendakinya demikian.
Jikalau hal itu tidak berjalan dengan baik, tak ada jalan lain kecuali mengubahnya. Sekolah harus
diubah. Beranikah kita mengubahnya?
Sekolah harus kembali pada Visi dan Misi sekolah masing-masing, tidak bisa seperti
sekarang, apapun Visi dan Misi sekolahnya, kurikulumnya sama. Ingat, kita pernah mengalami
kejayaan pendidikan pada saat pemerintah menjamin kebebasan mimbar akademik sejak pendidikan
dini. Kebebasan mimbar akademik ini pula yang memacu perguruan tinggi untuk terus berinovasi
dan meningkatkan rankingnya dalam Webometrics Ranking of World Universities namun
semuanya sirna di level pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Untuk itulah, di PGSD/FKIP perlu diajarkan Sejarah Pendidikan dimana kita dapat merunut
kenapa pendidikan kita makin lama makin merosot, materi ajar makin miskin dan bentuk soal makin
konseptual (bukan metakognitif). Padahal kurikulum kita pernah menjadi rujukan negara tetangga
dan Sekolah Indonesia di luar negeri pernah sangat diminati warga asing (sekarang, diplomat
Indonesiapun tidak sudi menyekolahkan anaknya di Sekolah Indonesia karena kualitasnya merosot)
Apa perlunya kebebasan mimbar akademik itu tetap dilestarikan di pendidikan dasar dan
menengah ?
Kebebasan akademik merupakan asas yang mendorong berlangsungnya proses-proses penelitian
tindakan kelas (PTK) dan penelitian tindakan sekolah (PTS), debat, pembelajaran dan publikasi
ilmiah melalui blog atau laman yang diakui secara luas (seperti guraru dan quipper school)76 yang
tak terbelenggu di sekolah. Dengan demikian, guru terasah untuk belajar seumur hidup (long life
education)
Oleh sebab itu, bila kebebasan mimbar akademik ini dikembangkan, maka akan tumbuh kesadaran
para guru untuk mengembangkan profesionalitasnya sendiri, seperti yang sudah terjadi pada
kurikulum-kurikulum sebelumnya.

Dengan kata lain, kebebasan mimbar akademik sudah

ditunjukkan pada Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 : kebebasan mimbar akademik dieksplisitkan
dalam kebebasan dalam pembuatan silabus, penentuan materi ajar dan sumber belajar, serta
76

Guraru (Guru era baru) : www.guraru.org dan Quipper school : www.quipperschool.com

97

87

penentuan buku pegangan guru sehingga guru dapat melaksanakan penilaian secara benar. Dalam
proses penyusunan secara mandiri itu, guru harus memperhatikan kondisi sekolah, potensi siswa dan
daya dukung lingkungannya. Kebebasan mimbar akademik ini dirampas melalui Pasal 20 PP No. 32
Tahun 2013. Kemdikbud tidak boleh bertransformasi menjadi Kementerian Persekolahan supaya
fokus pada Visi dan Misi Kemdikbud, yang tersurat dan tersirat dalam pelaksanaan Pasal 3 UU
Sisdiknas77 , dan Pasal 11 UU Sisdiknas78, serta Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas79. Dalam kaitan inilah,
keberadaan para Pengawas menjadi tidak relevan (fungsi pengawasan adalah bagian inheren dari
profesionalitas guru), sedangkan keberadaan Pengawas adalah simbol hegemoni pemerintah yang
selalu mengontrol, cermin dari sentralisasi pendidikan (Lihat Catatan kaki No.4). Padahal Presiden
Gus Dur sudah memulai desentralisasi pendidikan (pendidikan yang kontekstual dan kondisional,
sesuai dengan Visi dan Misi sekolah masing-masing)
Dari sebab itu, untuk mengeliminir peran Pengawas, tanggung jawab untuk sertifikasi guru
merupakan tanggung jawab pribadi, bukan lagi urusan negara, sehingga anggaran besar untuk
penyelenggaraan program Diklat sertifikasi itu dapat dialihkan untuk pengembangan sarana dan
prasarana pendidikan di tanah air.
Maka langkah Kemdikbud untuk menjadikan program pelatihan sertifikasi guru menjadi satu tahun
(bukan Diklat 3 hari) dan menjadikannya tanggung jawab pembiayaan pribadi guru patut diapresiasi.
Bukankah profesi yang lain melakukan hal yang sama?

Misalnya ujian advokat adalah urusan

pribadi masing-masing lulusan Fakultas Hukum, bukan diurus dan dibiayai oleh negara. Pendidikan
profesi dokter spesialis adalah urusan pribadi para dokter umum, bukan diurus dan dibiayai oleh
negara . Kalau guru mau disebut sebagai profesi, maka peningkatan profesionalisme seorang guru
adalah urusan pribadi, bukan urusan negara.
Dengan demikian, anggaran program sertifikasi guru yang begitu besar, dapat dialihkan untuk
pembinaan dan supervisi Manajemen Berbasis Sekolah dan Manajemen Berbasis Kelas, sehingga
sekolah kategori mandiri itu bukan hanya slogan atau spanduk kosong, tapi betul-betul menciptakan
kemandirian sekolah dalam artian swadana dan swakelola. Bukankah sekolah-sekolah ternama di
Pasal 3 UU Sisdiknas : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
78
Pasal 11 ayat 1 UU Sisdiknas : Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
79
Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas : Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal (SPM) dengan prinsip manajemen berbasis
sekolah/madrasah (MBS).
77

98

88

luar negeri selalu memegang teguh tradisi swadana dan swakelola ini? Misalnya Sekolah De La Salle
Manila, Bangkok, HongKong semuanya tidak membebani pemerintah (swadana dan swakelola).
Independen dan menghindar dikooptasi. Hanya dengan modal itu, kebebasan manajemen berbasis
sekolah bisa ditegakkan di sekolah, menuju pada sertifikasi manajemen ISO 9001:2008 Tugas
pemerintah adalah memenuhi terlaksananya Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas, yaitu terumuskannya SPM
berbasis MBS.
B. Apa tolok ukur keberhasilan perumusan SPM itu ?
-

Para guru tahu target kurikulumnya. Apa yang mesti diupayakan agar standar pelayanan
minimal itu tercapai, syukur kalau bisa terlampaui

Para guru merujuk lagi ke bahan-bahan dari Kurikulum 1975 dimana penyeimbangan otak
kiri dan otak kanan dijaga secara tangible (tidak ada lagi bahan yang tidak ada dalam
kurikulum kita sebagaimana disinyalir dalam Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A
No. 2 b : Tantangan Eksternal, yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014
Bagian I A No.2 b), maka para siswa kita mampu bersaing di era global, yang ditunjukkan
dengan kemampuan mengerjakan soal-soal TIMSS dan PISA secara benar, sebab tolok ukur
kualitas pendidikan itu sampai sekarang masih menggunakan score capaian test pada TIMSS,
PISA dan PIRL

Para guru dapat menyusun Analisa Konteks sehingga pendidikan menjadi kontekstual dan
situasional.

Guru kembali kepada harkatnya yaitu menjadi pendidik dan pendamping

generasi muda, bukan melayani penguasa (Pengawas dan Kemdikbud/Dinas Pendidikan)


-

Melalui implementasi MBS, manajemen sekolah dapat terstandarisasi hingga memperoleh


sertifikat ISO 9001:2008

Dengan terjaganya kebebasan mimbar akademik, SPM dapat diolah oleh masing-masing sekolah
(bottom up) secara spesifik sesuai Analisa Konteksnya, seperti misalnya apa prasyarat yang harus
dipenuhi agar seorang anak dapat naik ke kelas 5 SD? Apa prasyarat yang harus dipenuhi agar
seorang anak dapat lulus SMP sehingga cukup bekalnya dalam penentuan jurusan di SMA? Dengan
kata lain, SPM yang dimaksud adalah SPM yang melalui Analisis vertikal pada Analisis Kurikulum.
Bahan apa yang diperlukan di jenjang bawah untuk melancarkan program pembelajaran di kelas di
atasnya. Misalnya untuk dapat bermain ular tangga di kelas 5 SD, maka dikelas 4 SD, anak sudah
diajar Basis Bilangan, dan sudah paham bahwa basis bilangan dadu itu adalah 6, sehingga anak sudah
belajar teori peluang (probabilitas) di kelas 4 SD. Kalau ada 6 bilangan (1, 2, 3, 4, 5, 6) maka peluang
(probabilitas) untuk mendapat angka 1 adalah 1/6 (satu dari enam kemungkinan yang ada). Begitu
juga peluang untuk mendapat angka yang lain. Lalu dibuktikan dengan melempar dadu di kelas.
99

89

Di Kelas 5 SD, anak belajar permutasi dan kombinasi, sehingga permainan ular tangga mempunyai
dasar pencerahan bagi anak, bukan sekedar main-main.
Kalau SPM disusun secara top down 80, maka ada bahaya bahwa yang dipersyaratkan adalah
sarana dan prasarana minimal yang harus ada di sekolah, yang justru menafikan pepatah tak ada
rotan, akarpun jadi (tanpa tersedianya kelengkapan minimal itu, seharusnya proses pembelajaran
tetap bisa berjalan dengan baik).

Kreativitas guru dalam menyiasati keterbatasan sarana dan

prasarana tidak terasah. Misalnya kalau tidak ada dadu, apakah pelajaran teori peluang (probabilitas)
akan terhenti ? Tentu saja tidak, para guru dapat mencari kartu domino, basis bilangannya juga 6.
Kalau tidak ada kartu domino, bagaimana? Para guru bisa menggunakan permainan bola bekel, basis
bilangannya juga 6. Kalau tidak ada bola bekel, bagaimana? Para guru dapat menyuruh muridnya
menebak, ada berapa isi biji di dalam buah manggis, tanpa membuka buahnya (basis bilangannya
juga 6). Dengan menggunakan SPM yang bottom up (disusun sendiri) oleh sekolah, maka semua
permainan tradisional yang mencerahkan akan tergali lagi (tidak tergantung pada sarana dan
prasarana modern). Analisa konteks membuat pelajaran membumi. Dana BOS tidak terhambur
untuk membeli berbagai peralatan canggih, yang tidak kita ketahui teknologinya, sehingga kalau
rusak, tidak bisa kita diperbaiki.
SPM (standar pelayanan pendidikan minimal) merupakan batas bawah (batas minimal) bahan
ajar/materi yang harus dikuasai siswa. Misalnya : Bahasa Indonesia : Indikator : Siswa dapat
membuat puisi. Indikator keberhasilannya : Siswa dapat membuat kalimat yang mempunyai rima
dan irama. SPM : Siswa dapat menyusun kalimat dengan ragam bunyi euphony. Artinya : semua
siswa tanpa kecuali harus mampu menyusun puisi yang menggambarkan perasaan cinta, riang dan
semangat. Ketuntasannya harus 100%, baru bisa pindah ke materi lain, yaitu membuat pantun.
Mengapa? Karena membuat puisi lebih mudah dari membuat pantun. Kalau siswa tidak sungguhsungguh menguasai pembuatan kalimat yang mempunyai rima dan irama, akan sukar baginya untuk
membuat sampiran dan isi yang homofon, yang dituntut dalam pantun
Contoh lain : Kimia : Indikator : Siswa dapat mempraktekkan reaksi penggaraman. Indikator
keberhasilannya : Siswa dapat menyusun tata nama garam kompleks. SPM : Siswa dapat menyusun
tata nama garam basa sekunder dan garam asam sekunder. Artinya : semua siswa tanpa kecuali harus
mampu mereaksikan asam monovalen + basa polivalen atau basa monovalen + asam polivalen.
Ketuntasannya harus 100%, baru bisa pindah ke topik lain, misalnya asidi alkalimetri. Kalau KKMnya : 75, maka tuntutan ketuntasan pada SPM tetap 100%, artinya siswa yang hanya mampu mengerti
75% bahan ajar/materi itu tetap tidak tuntas. Mengapa?

80

SPM yang top down : Permendikbud No. 23 Tahun 2013 untuk SD dan SMP

100

90

Karena bahan ajar itu merupakan prerequisite untuk bahan ajar/materi berikutnya. Kalau siswa tidak
sungguh-sungguh mengerti bahan ajar.materi ini, akan sukar bagi siswa untuk memahami materi
berikutnya.

Rantai pemahamannya putus.

Kalau siswa tidak menguasai keseluruhan konsep

bahan/materi itu (tidak menguasai 100% bahan/materi itu), maka siswa harus mengikuti program
peningkatan pemahaman melalui penerapan strategi baru.
Dari contoh di atas, nampak bahwa SPM itu berbeda dengan tingkat kompetensi. SPM
merupakan batas bawah (batas minimal) yang harus dikuasai semua siswa : siswa harus tuntas 100%
(harus sungguh-sungguh mengerti) sebelum pindah ke topik lain. SPM adalah pintu masuk ke sistim
baku SKS (bukan paket SKS). Sedangkan tingkat kompetensi adalah batas atas (batas maksimal)
yang bisa dicapai oleh siswa secara individual. Kalau KKM-nya : 75. Siswa yang pandai bisa tuntas
100%, siswa yang lain, sekurang-kurangnya harus menguasai 75% bahan/materi. Kalau siswa baru
menguasai 50% bahan/materi, siswa tersebut harus mengikuti mengulang lagi (remedial) sampai dia
mengerti 75% dari bahan itu (tidak perlu menguasai sampai 100% dari bahan itu).

Tingkat

Kompetensi digunakan dalam paket SKS (bukan sistim baku SKS). Paket SKS sudah jamak
dilakukan pada sekolah-sekolah unggulan atau sekolah-sekolah mantan RSBI dulu atau pada
sekolah-sekolah yang mempunyai kelas akselerasi.
Masalah serius timbul di TK. Karena (1) TK disamakan dengan play group dan disebut
PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). (2) Karena penyamaan itu, Dinas Pendidikan dan Pengawas,
melarang keras pengajaran calistung di PAUD, padahal di kelas 1 SD, siswa langsung dihadapkan
dengan KI 1 dan KD 1.1. Tanpa kemampuan membaca, menulis dan berhitung di kelas 1 SD, usia
emas pembelajaran anak (balita) akan terlewati dengan sia-sia.
Tanpa perumusan SPM akademik, para siswa tidak tahu lagi apa tujuan dan target dia belajar,
sehingga belajar menjadi nir makna. Waktu luangnya bukan dipakai untuk menambah wawasannya,
tapi dipakai untuk sosial media yang uncontrolled sehingga segala paham bisa masuk tanpa filter.
Simpulan :

Selama arah dan tujuan pendidikan nasional tidak dijabarkan secara operasional

dalam rumusan SPM dan MBS yang kontekstual dan situasional, maka yang terjadi bukan penajaman
fungsi otak kanan dan otak kiri, tapi justru pengabaian prinsip transparansi dan akuntabilitas publik
dalam perumusan kebijakan pendidikan81, sehingga kebijakan pengelolaan pendidikan menjadi
uncontrolled (pemerintah mengharap peningkatan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan

81

Eksistensi Pengawas muncul di Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b, mengabaikan ketentuan
Pasal 66 ayat 2 UU Sisdiknas : Pengawasan dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik
(bukan pengawasan menurut selera dan kriteria Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran) (Lihat Catatan
kaki No. 4)

101

91

akademik82 , yang terjadi justru pengetahuan tidak lagi dipandang sebagai art, akibatnya
pembelajaran di luar kelas marak melalui bimbel dan sosial media , segala paham dan ide bisa masuk
tanpa filter. Misalnya paham bahwa Biologi adalah hafalan (padahal Biologi termasuk dalam sains
yang memerlukan logika), Fisika adalah kumpulan rumus-rumus sehingga perlu dicontek atau ditulis
di meja siswa (padahal dengan menggunakan SPM, dapat diajarkan Fisika tanpa rumus). Pelajaran
Agama dihayati sebagai pembeda terhadap liyan, dll
Produk pendidikan yang kurang memperhatikan segi mutu ilmiah intelektual83 akan
membahayakan konstelasi sosial yang ada, sebab masyarakat menjadi semu dengan orang-orang
yang berijazah, tetapi tidak berilmu (Kompas, Senin 14 Juli 2008 halaman 7 : Kaum Cerdik Pandai,
Antara Ilmu dan Ngelmu)
Kemdikbud sungguh-sungguh abai pada Nawa Cita No.5 : menciptakan strong human capital dan
menjadikan pendidikan sebagai center of excellence.

Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II A No. 3 yang di copy paste dalam Permendikbud No.57
Tahun 2014 (lihat Catatan * di Kata Pengantar)
83
Penajaman fungsi otak kanan dan otak kiri, melalui pencarian materi yang hilang dari kurikulum kita
82

102

92

BAB III
DUALISME PRANATA
A. Desentralisasi vs Sentralisasi Pendidikan
Kekeliruan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan
langsung berimbas pada layanan pendidikan ke siswa. Kekeliruan yang tidak diperbaiki ini bisa
dirunut dari pemaknaan tugas Tim Transisi dimana Dr.Anies Baswedan juga duduk didalamnya.
Seharusnya sejak awal Tim Transisi mendalami sampai seberapa jauh kewenangan pemerintah pusat
cq Kemdikbud dalam membina dan mengembangkan pendidikan di Indonesia dalam era otonomi
daerah ini dengan mengkaji ketentuan pasal 50 ayat 5 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar
dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Melalui pasal
ini sebenarnya keberadaan UN itu dipertanyakan. Dengan UN, keunggulan lokal menjadi tidak
bermakna apa-apa.

Pasal ini masih mempunyai gigi karena adanya kata mengelola.

Katamengelola dalam pasal ini diberi kekuatan hukum yang bersifat memaksa yaitu ketentuan
Pasal 62 ayat 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) :
Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberi atau mencabut ijin pendirian satuan pendidikan.
Dengan kewenangan Pemda untuk memberi atau mencabut ijin pendirian sekolah ini, maka azas
desentralisasi pendidikan mempunyai pijakan yang kuat. Oleh sebab itu, semua program terpusat
seperti diklat/pelatihan guru yang seragam (yang mengabaikan situasi dan kondisi daerah yang
beragam), serta program penyusunan kurikulum secara tunggal dan seragam di tingkat nasional
seperti yang sudah dilakukan dalam Kurikulum 2013 (dan KTSP Bimtek) itu, jelas menabrak azas
desentralisasi ini.
Padahal kewenangan pemerintah dalam penyusunan kurikulum hanya sebatas penetapan
kerangka dasar dan struktur kurikulum (Pasal 38 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) sebagaimana sudah ditunjukkan dalam Kurikulum 1968,
Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 dan dicoba diusung kembali pada Kurikulum
2006 (KTSP awal)
Sedangkan kewenangan Pemerintah Daerah dalam kurikulum adalah sebatas koordinator dan
supervisor pengembangan kurikulum oleh sekolah (bukan ikut sibuk menyusun kurikulum sendiri
atau sibuk memaksa sekolah-sekolah untuk mengikuti Kurikulum 2013, tapi kewajiban Pemda
adalah mengembangkan apa yang sudah ada di sekolah : Lihat Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas :
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap
kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi
103

93

dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan
Propinsi untuk pendidikan menengah.
Koordinator dan supervisor untuk hal apa?
Koordinator dan supervisor untuk pengembangan kurikulum seturut rumusan Standar Proses pada
Kurikulum 2006 (KTSP awal) (Pengembangan Silabus, Pengembangan RPP, pelaksanaan
PAKEM/PAIKEM/PAIKEM GEMBROT84 , dan Penerapan Pembelajaran Kontekstual) karena
pemerintah pusat (Kemdikbud) hanya menyusun Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum saja,
sesuai ketentuan Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas.
Maka dari itu, Tim Transisi seharusnya sejak awal membatalkan pemberlakuan Kurikulum
2013 karena kurikulum ini menisbikan hakekat desentralisasi pendidikan sebagaimana ditunjukkan
dalam Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013, yang menabrak Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun
2013 (ayat 1 : otonomi guru, dan ayat 3 : otonomi sekolah), sehingga 28 Permendikbud yang
dikeluarkan oleh Mendikbud M.Nuh dalam rangka mendukung pelaksanaan Kurikulum 2013 harus
batal demi hukum karena melanggar peraturan tata perundangan di atasnya yang menjadi dasar
hukumnya (PP No.32 Tahun 2013) 85. Maka penting sekali untuk mengingat lagi Pidato Presiden
saat pelantikan para menteri Kabinet Kerja tanggal 27 Oktober 2014 : Tidak ada lagi visi
kementerian, yang ada adalah visi dan misi Presiden. Jadi :
-

Kemdikbud seyogyanya tidak melanjutkan penerapan Kurikulum 2013 yang dirancang oleh
rezim lalu dan mengandung begitu banyak kesalahan, yang telah menyebabkan kualitas
pendidikan kita makin terpuruk (lihat hasil survey berbagai lembaga internasional tentang
kualitas pendidikan kita di bagian akhir dari Bab Pendahuluan)

Kemdibud fokus pada Nawa Cita No. 8 : akan menata kembali kurikulum pendidikan nasional

Oleh sebab itu dapat dimengerti bila Mendikbud Anies Baswedan kemudian mengeluarkan
penghentian pelaksanaan Kurikulum 2013 melalui ketentuan Pasal 1 Permendikbud No. 160 Tahun
2014 : Satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang melaksanakan Kurikulum 2013
sejak semester pertama tahun pelajaran 2014/2015 kembali melaksanakan Kurikulum Tahun 2006

PAKEM : Pendidikan Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan : Fleksibilitas penggunaan Model Pembelajaran
PAIKEM : Pendidikan Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan : Fleksibiltas penggunaan Teknologi dan
Model Pembelajaran
PAIKEM GEMBROT : Pendidikan Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan, serta Gembira dan Berbobot :
Fleksibilitas penggunaan Teknologi, Model Pembelajaran, Strategi Pembelajaran dan Metode Pembelajaran
85
PP No. 32 Tahun 2013 ditanda tangani oleh Presiden SBY tanggal 7 Mei 2013, saat gencar-gencarnya
penyelenggaraan pelatihan guru dalam Kurikulum2013; 28 permendikbud yang ditanda tangani oleh Mendikbud
M.Nuh hanya melegitimasi penyusunan kurikulum tunggal dan seragam secara nasional, abai pada Pasal 77 M ayat
1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013, padahal menteri itu adalah pembantu presiden (tidak boleh menyimpang dari
kebijakan presiden)
84

104

94

mulai semester kedua tahun pelajaran 2014/2015 sampai ada ketetapan dari Kementerian untuk
melaksanakan Kurikulum 2013.
Pasal 1 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 secara hukum mengandung dua pengertian pokok yaitu
-

Pemerintah membatalkan pelaksanaan Kurikulum 2013 bagi sekolah yang baru menerapkan
Kurikulum 2013

Pemerintah akan mengkaji ulang Kurikulum 2013 sesuai amanat Nawa Cita No.8 (bukan
melakukan perbaikan tambal sulam pada Kurikulum 2013, misalnya tidak boleh
menggunakan istilah KTSP 2013 lagi dan perbaikan program penilaian)

Hal ini dipertegas dengan ketentuan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 yang
menyatakan bahwa Satuan pendidikan rintisan (sekolah yang ditunjuk oleh pemerintah untuk
melaksanakan Kurikulum 2013 hingga sudah melaksanakan Kurikulum 2013 selama tiga semester)
dapat berganti melaksanakan Kurikulum Tahun 2006 dengan melapor kepada dinas pendidikan
provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
Dengan demikian, pelaksanaan Kurikulum 2006 (kurikulum yang disusun sendiri oleh
para guru : KTSP awal) mempunyai legalitas dan pijakan formal yang jelas, bila dikaitkan
dengan azas desentralisasi (simak kata cukup melapor pada Dinas Pendidikan setempat). Namun
semua ketentuan ini menjadi masuk angin ketika Dinas Pendidikan memaksa semua sekolah
kembali melaksanakan Kurikulum 2013, seolah-olah tidak tahu dan tidak mau tahu akan Nawa Cita
No.8 : akan menata kembali kurikulum pendidikan nasional
Masalah timbul pada sekolah-sekolah yang sudah melaksanakan Kurikulum 2013 sejak awal
yaitu sekolah rintisan dan sekolah-sekolah yang dengan inisiatif sendiri sudah melaksanakan
Kurikulum 2013 sejak awal :
-

Sekolah tetap melanjutkan penerapan Kurikulum 2013 yang kontroversial ini

Atau menunggu hasil kajian ulang Kurikulum 2013 yang sampai saat ini belum juga ada

Akibat ketidak-tegasan pemerintah ini, maka muncul ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan 2 Permendikbud
No. 160 Tahun 2014 yang tetap memberlakukan Kurikulum 2013 bagi sekolah-sekolah yang sudah
ditunjuk sejak awal (yang menunjukkan bahwa Kemdikbud masih mengusung visi dan misinya
sendiri (abai pada visi dan misi Presiden baru, meskipun rezim sudah berganti) dan masih kukuhnya
semangat sentralisasi pendidikan melalui bentuk tunggal kurikulum di tingkat nasional, yang abai
pada Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 di PP No.32 Tahun 2013).

Implikasinya, satuan pendidikan

(sekolah) akan menghadapi adanya dualisme sistim pendidikan di Indonesia (bukan sekedar
dualisme kurikulum). Sesuatu hal yang belum pernah terjadi dimanapun 86.

86

Dualisme sistim pendidikan ini makin nyata kalau melihat isi Pasal 4 dan Pasal 6 Permendikbud No. 160 Tahun 2014
(lihat uraiannya di Bab I : Filosofi Pendidikan)

105

95

Kurikulum 2006 (KTSP awal) mengusung semangat otonomi pendidikan (didukung oleh
azas desentralisasi pendidikan) sehingga keberadaan Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata
Pelajaran menjadi tidak relevan lagi 87, sedangkan Kurikulum 2013 (dan KTSP Bimtek) adalah upaya
untuk memberlakukan kurikulum tunggal dan seragam di seluruh Indonesia (sentralisasi pendidikan)
melalui pemberlakuan Silabus yang tunggal dan buku-buku ajar yang seragam untuk semua sekolah,
serta penerapan metode tunggal (metode saintifik (5 M), abai pada ketentuan Pasal 77 M ayat 1 dan
ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013, yang sebenarnya merupakan dasar hukum dari Kurikulum 2013 itu
sendiri. Dengan mengabaikan ketentuan Pasal 77 M PP No. 32 Tahun 2013 ini, sebenarnya
pemerintah menerapkan hegemoni pemerintah dalam dunia pengajaran dan proses pembelajaran
di kelas (didukung oleh azas sentralisasi pendidikan melalui penetapan kurikulum oleh pemerintah
pusat, penetapan kurikulum bukan oleh kepala sekolah). Jelaslah bahwa keberadaan Pengawas
Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran itu yang ditunjukkan dalam Lampiran Permendikbud No.65
Tahun 2013 Bab VI No.2, merupakan perpanjangan tangan dari sentralisasi dan hegemoni
pemerintah.
Solusi Kemdikbud agar tidak ada dualisme sistim pendidikan di Indonesia adalah
memaksa semua sekolah yang melaksanakan Kurikulum 2006 itu untuk kembali menerapkan
Kurikulum 2013, pintu masuknya adalah Pasal 3 Permendikbud No.160 Tahun 2014 : Satuan
pendidikan yang belum melaksanakan Kurikulum 2013 akan mendapat pelatihan dan pendampingan
untuk meningkatkan kompetensi dan penyiapan pelaksanaan Kurikulum 2013.
Jadi sekolah-sekolah yang belum melaksanakan Kurikulum 2013 itu, tidak harus kembali
melaksanakan Kurikulum 2006 atau menunggu pelatihan dan pendampingan dalam Kurikulum 2013
sehingga dana pelatihan guru dapat kembali dikucurkan?
Ketentuan Pasal 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 di atas menjadi rancu dan bertolak belakang
dengan ketentuan Pasal 1 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 : sekolah-sekolah yang belum
melaksanakan Kurikulum 2013 itu kembali menerapkan Kurikulum 2006 atau menunggu
pelatihan dan pendampingan untuk melaksanakan Kurikulum 2013 ? Sementara menunggu
pelatihan dan pendampingan itu, apa yang mesti dilakukan oleh pihak sekolah ?
-

Kembali melaksanakan Kurikulum 2006 (KTSP awal), seperti ketentuan Pasal 1


Permendikbud No. 160 Tahun 2014 itu

87

Di Perguruan Tinggi, mereka yang habis masa tugasnya sebagai Rektor, biasa kembali menjadi dosen. Kenapa hal
yang sama tidak berlaku bagi para Kepala Sekolah? Setelah selesai masa tugasnya sebagai Kepsek, sebaiknya jadi
guru biasa, bukan dibentuk jabatan yang mengada-ada seperti pengawas itu, yang akhirnya mengacaukan
hakekat otonomi pendidikan yang diusung Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 (yang tidak diubah dalam Pasal 19
ayat 3 PP No.32 Tahun 2013), yang diperkuat dengan Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005 dan Pasal 77 M ayat 3 PP No.
32 Tahun 2013 (Lihat juga Catatan kaki No. 4)

106

96

Atau ikut menerapkan Kurikulum 2013 yang sekarang berlaku, tanpa menunggu adanya
pelatihan dan pendampingan yang akan diselenggarakan, padahal sekolah menghadapi awal
masa studi baru, karena sampai menjelang tahun ajaran baru 2015/2016 ini belum juga ada
pengumuman resmi apa yang mesti dilakukan dengan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3
Permendikbud No. 160 Tahun 2004 itu. Malah yang muncul adalah adanya pelatihan
Kurikulum 2013 melalui instruktur nasional (baju baru dari guru inti) : pemerintah
melanjutkan penerapan Kurikulum 2013 dan memperluas cakupannya dengan menunjuk
sekolah-sekolah yang tadinya melaksanakan Kurikulum 2006, menjadi sekolah-sekolah
piloting Kurikulum 2013

Babak baru pelatihan Kurikulum 2013 makin jelas menunjukkan hegemoni pemerintah dan
sentralisasi pendidikan yang abai pada Nawa Cita No.8, karena istilah instruktur (nasional)88
menunjukkan subordinasi guru dibawah ketiak instruktur dan pengawas.
Profesionalitas guru sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a)
UU Guru dan Dosen, sirna dengan adanya pelatihan guru yang sama dan seragam secara nasional
ini.

Apalagi dasar hukum dari amputasi profesionalitas guru ini adalah perubahan signifikan

ketentuan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, yang mengerdilkan isi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 201389
(Profesionalitas guru dalam Kurikulum 2013 bukannya dikembangkan, malah dikerdilkan
menjadi hanya penyusun RPP, itupun RPP yang ditatar secara sama dan seragam di tingkat
nasional)
Silabus, Buku ajar/materi/sumber belajar, dan Buku pegangan guru, serta Metode pembelajaran (5
M), sudah diatur oleh Pusat (Puskurbuk) secara sentralistis. Pemerintah secara sadar telah
menurunkan harkat dan martabat guru : dari pendidik menjadi sekedar tukang mengajar,
yang diawasi secara ketat oleh Pengawas Mata Pelajaran yang bertindak sebagai supervisor
akademik (Lihat Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No 2 b) Kemdikbud nampak
sangat memuja pendangkalan (cult of philistinism)
Nampaknya masalah dualisme sistim pendidikan ini tidak dipandang sebagai pelanggaran UU
secara serius, tetapi hanya dipandang sebagai proyek yang tertunda (menunggu pencairan APBN-P)
lalu Kemdikbud saat ini telah membuatnya menjadi sistim pendidikan monolitik kembali melalui
pemaksaan penerapan Kurikulum 2013 (penerapan Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan
kekuasaan rezim lama, alpa pada Nawa Cita No.8), mengabaikan sisi positif dari Kurikulum 2006 :

KBBI Vol IV : instruktur : orang yang memberi instruksi, relasi penerima instruksi (guru) adalah subordinasi dari si
pemberi instruksi (instruktur)
89
Rincian aneka pasal ini dapat dilihat di Catatan kaki no. 2 : dasar hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan
88

107

97

1. Karena Kurikulum 2006 (KTSP awal) ini dibuat oleh para guru sendiri, maka
Kurikulum 2006 ini berkesesuaian dengan ketentuan baru pemerintah yang menyatakan
bahwa kelulusan itu ditentukan oleh pihak sekolah. Ujian Nasional (UN) bukan lagi
penentu kelulusan siswa. Hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : tentang kewajiban guru
sebagai pendidik profesional untuk menilai sendiri hasil pembelajaran, yang diperkuat
dengan ketentuan Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen).
Ketentuan yang menyatakan bahwa penilaian adalah hak guru, sebenarnya mencerminkan
penghormatan pada azas desentralisasi pendidikan.
2. Hal ini sekali lagi menegasikan adanya Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran.
Para Pengawas ini selalu menjalankan lurus-lurus instruksi dari Pusat, lupa bahwa
permendikbud itu bisa diubah lagi sewaktu-waktu untuk disesuaikan dengan Nawa Cita
No.5 dan Nawa Cita No.8
Karena itu para guru dianjurkan untuk tidak menelan bulat-bulat arahan dari Pusat
(termasuk pelatihan guru yang seragam dan sama, tidak peduli kondisi daerahnya
berbeda), tetapi sekolah harus mengembangkannya sendiri dibawah koordinasi dan
supervisi dari Pemda/Dinas Pendidikan (Lihat Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas) agar tidak
keluar dari Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum (Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas).
Pengembangan kurikulum ini merujuk pada Standar Proses (Pengembangan Silabus,
Pengembangan RPP, PAKEM, dan Pendidikan kontekstual).
menyusun

dan

mengembangkan

kurikulumnya

sendiri,

Dengan kemampuan
guru

akan

mampu

mengaplikasikan kebebasan mimbar akademik yang menopang kinerja dan otoritas guru.
3. Otonomi guru ini juga diamanatkan dalam Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) : yang menujukkan bahwa kewajiban guru
itu melekat pada seluruh proses pendidikan, termasuk dalam masalah monitoring proses
belajar dan evaluasi hasil belajar.
Maka yang perlu ditekankan adalah implementasi azas desentralisasi pendidikan
itu memerlukan penguatan otonomi guru. Untuk mencapai tahapan otonomi guru
yang ideal, kualitas LPTK (PGSD dan FKIP) harus diperbaiki, bukan dengan
menelurkan kurikulum baru.
4. Maka ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 yang
memberlakukan kembali Kurikulum 2006 (KTSP awal) menunjukkan bahwa Pemerintah
Jokowi-JK sebenarnya ingin menerapkan Nawa Cita No.8 dan mengembalikan roh
pendidikan, yaitu menerapkan otonomi guru dan otonomi sekolah dalam pendidikan
108

98

(mengusung otonomi pendidikan, kebebasan mimbar akademik, dan desentralisasi


pendidikan).

Oleh sebab itu, mengartikan kembalinya Kurikulum 2006 sebagai

pemberlakuan kembali KTSP Bimtek (2008) sungguh menyesatkan karena seperti telah
disinggung di atas, KTSP Bimtek (2008) itu mengusung semangat sentralistik dan
hegemoni pemerintah dalam dunia pendidikan dan persekolahan.
KTSP Bimtek (2008) ini muncul seiring dengan kewajiban para guru peserta program
sertifikasi guru untuk mengikuti Diklat, dimana para guru dilatih menyusun kurikulum
tunggal dan seragam secara nasional, lupa pada dasar hukum Kurikulum 2006 (KTSP
awal) seperti tertera di Catatan kaki No 2 pada Bab Pendahuluan
5. Kurikulum 2006 (KTSP awal) juga didukung oleh Pasal 17 ayat 1 PP No. 19 Tahun 2005
:

Kurikulum

tingkat

satuan

pendidikan

SD/MI/SDLB,

SMP/MTs/SMPLB,

SMA/MA/SMALB, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai


dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya
masyarakat setempat, dan peserta didik.
Jadi Kurikulum 2006 itu sangat spesifik, harus disesuaikan dengan keadaan sekolah,
karakteristik daerah dan situasi kondisi masyarakat dan siswanya (bukan sentralistik
berupa penyeragaman kurikulum secara nasional seperti KTSP Bimtek (2008) dan
Kurikulum 2013 itu)
6. Kurikulum 2006 juga dilengkapi dengan Pasal 1 ayat 1 Permendiknas No. 22 Tahun 2006
: Standar Isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang selanjutnya disebut
Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk
mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Nampak bahwa kata minimal ini diulang tiga kali, yang menunjukkan bahwa
sekolah harus mengembangkannya sendiri sampai ke tingkat maksimal (HOT :
Higher Order of Thinking). Pemerintah hanya menetapkan prasyarat paling mendasar
saja yang dikenal sebagai SPM (Standar Pelayanan Pendidikan Minimal) yang dulu
mencakup 7 prinsip pengembangan kurikulum dan 7 prinsip pelaksanaan kurikulum.
Sayang sekali, Standar Isi pada Kurikulum 2006 ini dihapus pada Kurikulum 2013,
tanpa penganti yang jelas.
Namun, dalam perjalanan waktu : standar minimal ini diartikan sebagai penyeragaman dan
diubah menjadi standar maksimal, sekolah tidak boleh keluar dari ketentuan yang sudah
digariskan oleh para penatar KTSP Bimtek, Dinas Pendidikan dan Pengawas. Alhasil, orang
lupa pada prinsip diversifikasi kurikulum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 36 ayat 2 UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
109

99

Perubahan dari standar minimal menjadi standar maksimal ini memunculkan masalah baru,
yaitu standar maksimal ini dianggap memberatkan siswa, sehingga standar maksimal ini
diturunkan. Dengan kata lain, materi/bahan ajarnya dikurangi. Akibatnya, materi/bahan ajar
pada Kurikulum 2013 lebih miskin dari materi/bahan ajar pada Kurikulum 2006.
Pendangkalan (cult of philistinism) bukan lagi menjadi isu, tetapi sudah menjadi road map
Kekeliruan ini berlanjut pada pembentukan kembali Ditjen Pendidik dan Tenaga Kependidikan,
melupakan penghapusan Ditjen ini lima belas tahun yang lalu seiring dengan penerapan otonomi
daerah, dimana pendidik (guru) dan tenaga kependidikan termasuk tenaga yang di desentralisasi.
Sosialisasi pembentukan kembali Ditjen ini tanpa merevisi UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah), menunjukkan bahwa Kemdikbud hanya sibuk dengan
visi dan misinya sendiri, lalai pada visi dan misi Presiden (Nawa Cita), dan dapat memantik konflik
terbuka dengan para Bupati dan Walikota yang mendapat amanah untuk menjalankan ketentuan Pasal
50 ayat 5 UU Sisdiknas : Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan
menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

Sebagai pengelola

pendidikan, Pemkab dan Pemkot berhak mengurus dan membina SDM pendidikan dasar dan
menengah (mengurus dan membina guru). Maka berlandaskan ketentuan Pasal 50 ayat 5 UU
Sisdiknas ini, tenaga pendidik (guru) sudah lama di desentralisasikan. Upaya Kemdikbud untuk
menyentralisasi tenaga pendidik (guru) ini akan menyebabkan porsi anggaran terbesar terserap ke
sektor rutin (biaya operasional dan gaji pegawai). Akibatnya sektor sarana dan prasarana pendidikan
menjadi termarginalkan. Kemdikbud tidak bisa berkilah : mata pelajaran TIK sudah dihapus,
sehingga Kemdikbud merasa tidak perlu lagi menyediakan Lab komputasi; atau mata pelajaran
Fisika, Kimia dan Biologi telah diintegrasikan dalam suatu tema tertentu (tematik integratif) sehingga
Kemdikbud merasa tidak perlu menyediakan peralatan Lab IPA hanya karena Kemdikbud secara
sengaja telah mengubah kegiatan praktikum yang sifatnya intra kurikuler menjadi kegiatan
kokurikuler : kegiatan praktikum IPA tidak lagi dipandang sebagai kegiatan psikomotor, tetapi hanya
dianggap sebagai kegiatan penunjang pemahaman kognitif. Hal serupa juga terjadi SMP dengan
diterapkannya IPA Terpadu dan IPS Terpadu, yang tidak diampu oleh linieritas ijazah para guru,
sehingga menyulitkan penyusunan kegiatan praktikum lintas ilmunya (bukan berarti Kemdikbud lalu
merasa tidak perlu lagi menyediakan peralatan Lab IPA Terpadu). Dengan demikian, hanya daya
kognisi rendah saja yang berkembang, kegiatan motorik halus siswa tidak berkembang (banyak
siswa mengetik di laptop dengan satu jari, atau siswa salah dalam memperlakukan thermometer
badan (thermometer di ketrek-ketrek sebelum digunakan padahal tahu bahwa suhu 0 C hanya akan
tercapai kalau thermometer dimasukkan dalam es yang sedang mencair). Tanpa alat peraga yang
memadai dan praktikum yang intens, suatu tema/topik yang abstrak akan tetap sulit dimengerti oleh
110

100

siswa yang terpola secara visual (dulu mereka keseringan menonton TV, sekarang mereka tergilagila dengan gawai (gadget) yang makin menjadikan mereka sebagai generasi visual, bukan generasi
literer (bukan generasi yang gemar membaca) : Kemdikbud perlu melihat Harian Media
Indonesia, setiap hari Rabu : Fokus Nusantara dengan hastag Fokus Nusantara (#Fokus
Nusantara) : Matinya Tradisi Literasi di Kota Pelajar ( lihat rendahnya score anak-anak kita dalam
kemampuan membaca yang tersirat pada tes PIRL (Progress in International Reading Literature).
B. Tingkat Kompetensi vs SPM
Perubahan serius terjadi pada Kurikulum 2013, SPM akademik di Kurikulum 2006 ini (7 prinsip
pengembangan kurikulum dan 7 prinsip pelaksanaan kurikulum) diubah di Kurikulum 2013 menjadi
SPM sarana dan prasarana sekolah lewat Permendikbud No. 23 Tahun 2013, bukan lagi SPM
akademik (Tolok ukur keberhasilan penerapan SPM akademik ini sudah diuraikan di Bab II :
Pendidikan vs Persekolahan ( Kebijakan vs Teknik Implementasi). Isi Permendikbud No.23 Tahun
2013 ini kemudian diubah menjadi Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013 Bab II Tingkat
Kompetensi.
Dari uraiannya, tingkat kompetensi dibedakan atas :
-

Kompetensi yang bersifat generik (kompetensi inti (KI), lengkap dengan penjabarannya yang
isinya hampir sama untuk semua jenjang pendidikan (meliputi sikap spiritual, sosial,
pengetahuan dan ketrampilan). Kompetensi generik ini menjadi rancu ketika sikap spiritual
dan sikap sosial ini disatukan sesuai ketentuan Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013
Bab III A No. 1 c dan d : padahal sikap spiritual memerlukan pengukuran berdasar SQ
(Spiritual Quotient) dan sikap sosial membutuhkan pengukuran berdasar CQ (Civic Quotient)

Kompetensi yang bersifat spesifik (kompetensi dasar (KD), yang masih memunculkan
masalah yang sama (dari sejak awal peluncuran Kurikulum 2013), yaitu KD tidak koheren
dengan KI sehingga menyulitkan pengukuran capaian kompetensinya.

Tingkat kompetensi ini kemudian dirinci menjadi Tingkat Kompetensi 0 sampai Tingkat
Kompetensi 6, namun tingkat kompetensi ini tidak mencerminkan tingkat capaian siswa agar
dapat berpindah dari satu jenjang ke jenjang pendidikan berikutnya.

Masalah kemudian muncul di sini :


-

kalau dimaknai bahwa kompetensi yang bersifat generik itu sebagai KI, maka kompetensi
generik itu diartikan tidak lagi terkait dengan core skills, sebab core skills itu ada enam
kemampuan, sedangkan KI hanya ada empat kemampuan (lihat di Bab IV : Kurikulum vs
Kompetensi)

111

101

dan kompetensi yang bersifat spesifik itu dimaknai sebagai KD, maka kompetensi spesifik
itu diartikan tidak lagi terkait dengan bahan ajar yang harus dikuasai siswa secara individual,
karena KD lebih luas dari bahan ajar (satu KD bisa terdiri dari beberapa bahan ajar)

kalau dimaknai bahwa Tingkat Kompetensi 1 itu adalah kemampuan apa yang harus dikuasai
oleh siswa kelas 1 dan kelas 2 SD, dan Tingkat Kompetensi 6 itu adalah kemampuan apa
yang mesti dikuasai oleh siswa kelas 12 SMA, maka pemaknaan ini harus didistingsi dari
makna SPM, sebab Kompetensi (kemampuan) terkait dengan Tujuan Pembelajaran,
sedangkan SPM terkait dengan Target Kurikulum : lihat uraian di Bab II

Tingkat Kompetensi dalam Kurikulum 2013 adalah batas atas (batas maksimal) dari kemampuan
yang harus dikuasai oleh siswa secara individual : siswa tetap bisa lolos meskipun tidak mencapai
batas atas (cukup menguasai sampai batas KKM).
Sedangkan SPM (standar pelayanan minimal) adalah batas bawah (batas minimal) dari kemampuan
total (keseluruhan) yang harus dikuasai oleh semua siswa.

Siswa hanya bisa lolos kalau sudah

menguasai keseluruhan bahan. Meskipun nilainya sudah memenuhi standar KKM, siswa tetap harus
mengikuti remedial sampai keseluruhan (100%) bahan dikuasai, bukan sekedar menguasai 75%
bahan.
Grafik di bawah ini adalah kurva normal yang menunjukkan bahwa siswa yang amat pandai itu
ada di daerah kanan (jumlahnya 5% : nilai antara 95 - 100) dan siswa yang amat bodoh itu ada
di sebelah kiri (jumlahnya 5% : nilai antara 0 5), siswa yang mempunyai kepandaian rata-rata
ada di daerah tengah kurva, SD antara -1 sampai +1, jumlahnya 60%.

Maka kalau kita menggunakan kriteria SPM, semua siswa harus sunguh-sungguh memahami suatu
topik, baru bisa melanjutkan ke topik berikutnya. Kalau siswa belum berhasil 100% memahami suatu
topik, maka dia harus mengulang topik itu (topik itu merupakan syarat perlu untuk dapat melanjutkan
ke topik berikutnya)
Grafiknya akan terlihat condong ke kanan : semua siswa (termasuk siswa yang bodoh) harus
melewati titik 0 : semua siswa harus menguasai 100% bahan/materi.
112

102

Semua siswa harus mencapai KKI, bukan sekedar bisa mencapai KKM

SPM menggunakan KKI (Kriteria Ketuntasan Ideal) : siswa harus menguasai 100% suatu bahan,
sebagai prerequisite untuk dapat melanjutkan ke bahan berikutnya. Untuk mengatasi siswa yang
kurang pandai (tidak menguasai 100% bahan yang dipersyaratkan), maka guru harus merumuskan
strategi pembelajaran yang baru (bukan meremedial siswa tersebut).
Sedangkan Tingkat Kompetensi adalah batas maksimal yang harus diketahui siswa (batas maksimal
itu hanya untuk siswa pandai), siswa yang mempunyai kecerdasan rata-rata (kurang dari capaian
maksimal itu : letaknya di titik KKM = 75), masih bisa melanjutkan ke topik berikutnya, tapi siswa
yang kurang pandai harus mengulang (mengikuti program remedial : letaknya antara 0 - KKM),
grafik di bawah ini akan terlihat condong ke kiri (ada sebagian siswa tidak dapat melewati titik KKM)
(titik KKM itu sama dengan KKM-nya (75) : siswa cukup menguasai 75% bahan/materi) Meskipun
hanya sedikit siswa yang mampu menguasai 100% bahan/materi, siswa-siswa itu tetap dapat
melanjutkan ke topik berikutnya. Titik 0 adalah batas antara siswa yang amat bodoh dan siswa
yang kurang pandai (kepandaiannya dibawah rata-rata, tapi masih di atas siswa yang amat bodoh
Titik KKM : 75 merupakan syarat cukup untuk dapat melanjutkan ke bahan/materi berikutnya.

KKM :75

Contoh : bahan ajar (materi) yang harus dikuasai siswa Kelas 11 SMA dalam Biologi adalah
Perbiakan Vegetatif, maka SPM-nya siswa harus menguasai 100% apa yang dimaksud dengan
Perbiakan vegetatif pada hewan, Perbiakan vegetatif pada tumbuhan dan Perbiakan vegetatif buatan.

113

103

Kalau siswa kurang memahami apa yang dimaksud dengan Perbiakan vegetatif buatan (hanya
menguasai 75% bahan/materi) maka siswa tidak berhak melanjutkan ke topik berikutnya yaitu
Perbiakan generatif. Siswa harus mengulang Perbiakan vegetatif buatan dengan strategi baru
(barangkali minat dan bakatnya bukan di Biologi, tapi di bidang Bahasa), maka bahan/materi
Perbiakan vegetatif buatan disajikan dalam bentuk film cerita (YouTube), sehingga siswa dapat
belajar mandiri secara aktif.
Sedangkan Kompetensi generiknya adalah siswa dapat membedakan antara perbiakan generatif dan
perbiakan vegetatif, agar siswa memperoleh gambaran umum apa yang dimaksud dengan reproduksi.
Kompetensi spesifiknya adalah siswa dapat membedakan antara perbiakan vegetatif pada hewan dan
perbiakan vegetatif pada tumbuhan, karena umumnya perbiakan vegetatif buatan itu dilakukan pada
tumbuhan.

Kalau siswa tidak memahami apa yang dimaksud dengan parthenogenesis dan

fragmentasi (siswa hanya menguasai 75% bahan/materi) siswa tetap dinyatakan berhasil. Siswa yang
tidak memahami parthenogenesis, fragmentasi dan okulasi (hanya menguasai 60% bahan) harus
mengulang (harus mengikuti program remedial) sampai mencapai taraf penguasaan 75% materi.
Dari contoh ini, nampak jelas bahwa SPM adalah batas minimal dari materi yang harus dikuasai
semua siswa sebelum diperbolehkan melanjutkan ke topik berikutnya, sedangkan Tingkat
Kompetensi adalah batas maksimal dari materi yang harus dikuasai siswa secara individual. Karena
Tingkat Kompetensi itu adalah batas maksimal dari materi, maka Kemdikbud cenderung
menurunkan batas maksimal itu, dengan alasan supaya tidak terlalu memberatkan siswa, akibatnya
materi/bahan ajar makin lama makin berkurang. Dapat dimengerti kalau ada banyak materi dalam
kurikulum 2013 tidak tercantum sebagai materi uji dalam TIMSS, PISA dan PIRL. Siswa tidak akan
siap menyonsong era globalisasi pendidikan karena siswa akan tetap kesulitan mengerjakan soal-soal
GMAT, SAT dan TOEFL.
Dari uraian diatas, karena tingkat kompetensi yang bersifat spesifik itu terkait dengan KD,
maka kompetensi terkait dengan Tujuan Pembelajaran (tujuan pembelajaran tercapai kalau sebagian
besar siswa sudah menguasai bahan ajar/materi : tidak perlu semua siswa tuntas), sedangkan SPM
terkait dengan Indikator, sehingga SPM itu terkait dengan target kurikulum (target kurikulum harus
dapat dicapai oleh semua siswa).
Dengan kata lain, Kompetensi itu diukur melalui tingkat ketuntasan siswa (penilaian hasil belajarnya
ada di CK: Catatan Kompetensi), sedangkan SPM itu diukur melalui daya serap (monitoring proses
belajarnya ada di PBK : Penilaian Berbasis Kelas)
7. Kurikulum 2006 juga dilengkapi dengan Permendiknas No. 24 Tahun 2006 : Satuan
pendidikan dasar dan menengah dapat mengembangkan kurikulum dengan standar
yang lebih tinggi dari Standar Isi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
114

104

Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah dan Standar Kompentesi Lulusan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Jelaslah bahwa sekolah harus mengembangkan kurikulum sampai ke tingkat HOT
(Higher Oder of Thinking), bukan menelan mentah-mentah instruksi Dinas
Pendidikan, dan para Pengawas yang berupaya menyeragamkan kurikulum
Timbulnya dualisme pengelolaan pendidikan (sentralisasi atau desentralisasi, dan tujuan
pembelajaran atau target kurikulum), yang mengakibatkan munculnya dualisme kurikulum
(Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013), telah menyebabkan sifat transformatif dari pendidikan
tidak terwujudkan. Karena itu salah satu fungsi pendidikan transformatif yang membahas
keberagaman (multikulturalisme) tidak terealisasikan :

Bagaimana keberagaman itu

ditegaskan dan ditransformasikan dalam demokrasi, kewarganegaraan dan ruang publik, tidak
terlihat secara nyata gaungnya. Apalagi pada Kurikulum 2013, Analisa Konteks malah dihapus
karena Silabus sudah dibuatkan oleh pemerintah.
Akibat pengabaian Analisa Konteks pada kurikulum ini, berimbas pada lunturnya keragaman
di sekolah-sekolah90

Sekolah-sekolah mengarah pada penyeragaman, terutama penyeragaman

kebijakan pengasuhan dan pendampingan siswa. Sekolah yang seharusnya berfungsi menyemai
keragaman dan menguatkan nilai-nilai kebangsaan, ternyata lambat laun mulai menjauh dari fungsi
tersebut. Dampaknya secara bertahap paham radikal mulai masuk ke sekolah dan diterima dan diikuti
oleh sebagian guru dan siswa (tawuran pelajar, gang motor dan perundungan (bullying) makin marak.
Dalam LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) pada tahun 2012 juga
menemukan fakta sebagai berikut :
-

Pemahaman radikal dan anti toleransi sudah masuk ke ruang pendidikan formal melalui
kegiatan ROHIS/ROKRIS

Dari 100 SMP serta SMA umum di Jakarta dan sekitarnya (993 siswa) atau sekitar 48,9 %
setuju terhadap aksi kekerasan atas nama agama dan moral.

Dari 590 guru agama, 28,2 % menyatakan setuju aksi kekerasan agama

Dari kegiatan Pelatihan guru dan kepala sekolah yang diselenggarakan BNPT (Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme) ada hal-hal yang perlu dicermati : Apakah mulai muncul istilah-istilah
kafir, thogut dan penolakan menghormati yang lain selain Allah dalam percakapan para siswa?

Makalah Retno Listyarti, Sekjen FSGI, dalam Diskusi Lingkar Muda Indonesia, tanggal 28 Mei 2015 di Ruby
Room, Gedung Kompas Gramedia Jakarta
90

115

105

Apakah kegiatan Rohis/Rokris di sekolah mulai eksklusif (bagi pergaulan, nara sumber, maupun
pembiayaan)? Apakah beberapa siswa mulai tidak mau hormat ketika upacara bendera berlangsung?
Menurut Saud Usman Nasution, Kepala BNPT (Badan Nasional Penganggulangan
Terorisme), pencegahan penyebaran terorisme atau radikalisme ini harus terus intens dilakukan
sebagai cara pencegahan terorisme, karena paham radikalisme melahirkan tindakan terorisme.
Termasuk penyebaran paham melalui media sosial yang dianggapnya mempunyai potensi bahaya
bagi penyebaran paham terorisme.
Penyebaran paham itu banyak melalui sosial media. Banyak anak anak kita, putra putri kita pelajar
SMA/SMK yang pemahaman agamanya masih dangkal ini mencari jati diri, belajar mencari agama
dari sosial media, dari tempat tidur dia bisa baca sosial media, bagaimana cara membuat bom. Adik
adik inilah yang berpotensi terpengaruh ajaran paham yang sesat. Karena dari kelompok
radikalisme ini memberikan pemahaman-pemahaman tentang jihadis ini dikembangkan melalui
media. Ini yang harus kita cegah, terang Saud pada acara peluncuran buku yang berjudul Revision
of the Jihandists dan Islamic Movements in Egypt di Hotel Century Park, Jakarta , tanggal 8 Juli
2015
Dengan kata lain, kalau pemerintah abai menata desentralisasi dan sentralisasi pendidikan
atau abai mengkritisi perbedaan antara tujuan pembelajaran dan target kurikulum, lalu hanya
berkonsentrasi menata kurikulum baru, maka unintended intensions 91 akan mulai memasuki dunia
pendidikan kita.
Daerah-daerah yang menerapkan Perda khusus dengan mudah akan terperosok menyalah-gunakan
Pasal 50 ayat 5 : Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan
menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, dan Pasal 62 ayat 3 UU No.
20 tahun 2013 (UU Sisdiknas)92 : Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberi atau mencabut
izin pendirian satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal-hal baik yang justru memunculkan sesuatu yang kurang baik, misalnya kegiatan keagamaan yang
diharapkan menjadi pendorong sikap saleh dan kesalehan justru memunculkan sikap eksklusif dan intoleran,
bahkan kepada sesama penganut agama yang berbeda pandangan dan berlainan paham
91

Pidato Kebudayaan Dr. Karlina Supeli : Kebudayaan dan Kegagapan Kita (Teater Jakarta, Taman ismail
Marzuki Jakarta, 11 November 2013) Pelajar atau konsumen tidak dididik untuk mampu mengembangkan
daya-daya abstrak-imajinatif-kreatif serta berpikir kritis dan rasional (hanya sampai tataran konseptual : lihat
hasil TIMMS, PISA dan PIRL dari para siswa kita yang makin merosot). Ada baiknya kita menyimak informasi
mengenai kegemaran dan kepercayaan diri masyarakat Indonesia untuk berbelanja

92

Pelajar atau konsumen dididik hasrat (naluri, emosi) dan kebiasaan-kebiasaan kulturalnya agar menghendaki
segala hal gemerlap yang ditawarkan pasar. Sebuah bangsa yang warganya telah kehilangan daya berpikir
abstrak-imajinatif dan kreatif tidak mungkin memiliki imajinasi kolektif tentang negara-bangsa.
116

106

Kalau hal ini tidak disikapi secara benar, maka kita bisa hidup dalam nir budaya. Sebab hidup
dalam kebudayaan tentulah berarti bahwa kita berlaku dan bertindak menurut bingkai pengetahuan
dan perangkat nilai dalam kebudayaan itu. Namun, kecenderungan yang cukup luas untuk menaruh
perhatian terlalu berat kepada kebudayaan sebagai sistem nilai membuat kita cenderung tergesa-gesa
mengambil sikap normatif. Bahaya dari pendekatan ini adalah kita mendepolitisasikan masalahmasalah sosial-ekonomi dan politik dengan mengajukan solusi moral. Seolah-olah kemiskinan,
kebodohan dan keterbelakangan peradaban dapat selesai apabila kita melekatkan aneka kecakapan
yang sedang kita pelajari ke kesalehan. Seolah-olah kekerasan remaja hanya perkara moral yang
lemah. Korupsi yang ganas di negeri ini adalah salah satu bukti nyata bahwa tidak selalu ada kaitan
langsung antara moralitas dan kesalehan. Lagak moralis dan saleh tidak akan menjadikan kita
bangsa bermoral.
Dengan ngeri kita menyaksikan bagaimana orang menyerang, menindas dan membunuh atas nama
kesalehan yang terkunci dalam bingkai penafsiran sempit. Mereka yang berbeda pendapat langsung
dianggap musuh . Pendidikan itu sejatinya harus menyadarkan manusia agar menghormati
kehidupan. Setiap manusia akan menuju kematian. Karena itu, pendidikan harus didorong agar
setiap warga menyadari bahwa kehidupan adalah anugerah. Berlomba dalam kebajikan dalam hidup
merupakan tugas mulia yang harus dilakukan setiap manusia.

Di sini pendidikan harus

menegaskan bahwa tugas manusia adalah mengisi kehidupan dengan kebajikan, bukan justru
menebar kejahatan.
Maka pemerintah wajib mengembangkan pemahaman multikultural di dalam pendidikan
untuk memperluas pemahaman siswa atau warga dalam tata dunia baru yang terus berubah sekarang
ini. Sebab Indonesia, bukan sebuah negeri antah-berantah, pasif, tak berjiwa. Negeri ini adalah
suatu negara-bangsa, yang terdiri atas sekelompok manusia yang berkumpul tidak secara
sembarangan. Pengelompokan ini berupa suatu asosiasi sejumlah besar manusia berdasar
suatu kesepakatan mengenai keadilan dan kemitraan guna kebaikan dan kebahagiaan
bersama. Sebab pertama dan utama dari asosiasi seperti ini bukanlah kelemahan individual tetapi
suatu spirit sosial tertentu yang ditanamkan alam dalam diri manusia, diri kita, spirit multikultural,
spirit penghargaan atas liyan. Sebuah bangsa yang warganya telah kehilangan daya berpikir
abstrak-imajinatif dan kreatif tidak mungkin memiliki imajinasi kolektif tentang negarabangsa.
Oleh sebab itu, proses belajar-mengajar harus bermutu 93 yang memenuhi syarat :

93

Pasal 5 UU Sisdiknas : Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu

117

107

Berlangsung secara manusiawi (tidak ada kekerasan (bullying), sindiran, penghinaan, dll),
tidak ada diskriminasi atas nama mayoritas, tidak ada subordinasi oleh kelompok elite

Guru dan siswa dalam posisi yang sejajar dalam melakukan transaksi pedagogis (yang
membedakan adalah fungsi masing-masing : guru mengajar dan siswa belajar 94

Guru lebih bertindak sebagai seniman (yang kreatif) dan intelektual (yang profesional)

95,

sebagai seorang dirigen dalam pentas simfoni pembelajaran dimana semua siswa aktif-kreatif
memainkan peran masing-masing, ketimbang sebagai penceramah, pengkhotbah, dan
pemberi perintah96
-

Guru adalah transformer keberagaman (multikulturalisme) melalui kelas partisipatif dengan


kurikulum yang kontekstual (menggunakan perangkat Analisa Konteks) sehingga siswa dapat
dengan mudah menghubungkan pengetahuan yang diperoleh dengan historisiositas
budayanya. Pendidikan menjadi berpusat pada siswa (siswa bukan sekedar peserta didik,
tapi subyek didik).

Dalam hal ini, sekolah harus mampu melakukan pengkoordinasian, penyerasian dan pemaduan
secara harmonis terhadap semua unsur yang ada di sekolah. Sesudah 70 tahun merdeka, negara
Indonesia seharusnya sudah tumbuh ke arah demokrasi dengan memberi peluang kepada masyarakat
untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. Sejauh mana negara memberi peluang kepada
masyarakat untuk semakin mandiri dan berpartisipasi dalam pembangunan manusia
Indonesia melalui pendidikan dapat diukur dari produk-produk hukum dan perundangundangan, serta kurikulum yang ditawarkannya.

Untuk pengembangan demokrasi dan

partisipasi masyarakat, serta memperkuat terbentuknya masyarakat warga (civil society) , negara
perlu mempromosikan topik-topik demokratisasi, multikulturalisme, dan dialog agama, dalam
rancangan kurikula pendidikan. Pengembangan topik-topik ini juga akan mencegah merebaknya
kekerasan karena konflik-konflik yang diakibatkan kurangnya saling pemahaman dan intoleransi
dalam perbedaan-perbedaan. Inilah legitimasi dari diversifikasi kurikulum yang kontekstual (Pasal
36 ayat 2 UU Sisdiknas) dan desentralisasi yang membuat Visi dan Misi sekolah menjadi membumi.
C. Dilema peserta didik atau subyek didik
Pemerintah tampaknya berdiri antara keinginan melaksanakan demokratisasi, juga di bidang
pendidikan disatu pihak (yang tercermin dari disisipkannya Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32
Tahun 2013), tetapi di pihak lain masih kuat pula, terutama di jajaran birokratnya untuk menentukan

Tjokorde Raka Joni : Cara Belajar Siswa Aktif, Jakarta, Ditjen Dikti, 1984
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta, Kanisius, 2003
96
Debbie de Proter, Quantum Teaching, Bandung, Kaifa, 2008
94
95

118

108

segala-galanya bagi masyarakat sipil. Indikasinya, sejauh mana misalnya, rencana undang-undang,
perjanjian dengan negara lain atau keputusan yang mengikat generasi muda, termasuk kebijakan
tentang pendidikan, disosialisasikan? Murid dan orang tua tidak punya pilihan dalam keputusan
apapun yang diambil oleh Kemdikbud. Murid hanya dianggap sebagai peserta didik, bukan
subyek didik. Bahkan sempat ada wacana pembentukan Direktorat Keayah-bundaan, yang
diwujudkan dalam pembentukan Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, yang menunjukkan
bahwa aparat Kemdikbud ingin masuk sampai ke ruang privat. Di lain pihak, kaum mudanya sering
kali diam saja ketika peluang mereka untuk menentukan hidupnya ke depan semakin ditutup,
Misalnya di era smart phone dengan teknologi android atau di era televisi digital ini, pemerintah
justru menghapus mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komputasi)
Mari kita simak bagian akhir dari novel Susanna Tamaro, Pergilah ke Mana Hati Membawamu
(Jakarta, Gramedia, 2005), penulis melalui tokoh utamanya Olga, memberi pesan kepada cucunya,
di saat begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu dan kau tak tahu jalan mana yang harus
kau ambil, janganlah memilihnya asal saja, tetapi duduklah dan tunggulah sesaat. Tariklah napas
dalam dengan penuh kepercayaan, seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini. Jangan
biarkan apapun mengalihkan perhatianmu, tunggulah dan tunggulah lebih lama lagi. Berdiam
dirilah, tetap hening, dan dengarlah hatimu. Lalu ketika hati bicara, beranjaklah dan pergilah
kemana hati membawamu . Pesan ini begitu tandas, yakni supaya cucunya mencari jalannya
sendiri, tidak perlu ikut-ikutan neneknya atau ibunya yang telah melahirkannya. Dia mempunyai
kebebasan. Dengan demikian, novel itupun menyampaikan pesan agar generasi tua di Kemdikbud,
ikhlas memberi ruang pilihan untuk generasi muda dalam menentukan masa depan mereka sendiri.
Di sisi lain, novel ini juga menggambarkan kegamangan para pelajar di kala masih sangat belia,
dalam memilih jurusan pada saat akan masuk ke kelas X SMA, tanpa bekal yang memadai. Inilah
pokok pikiran dari desentralisasi pendidikan. Memberi kebebasan pada siswa untuk menentukan
masa depannya sendiri. Meskipun sudah dikucurkan trilyunan dana untuk BOS, tapi hanya sedikit
sekolah negeri yang menjalankan program akselerasi, apalagi yang menerapkan sistim baku SKS,
belum ada satupun sekolah negeri yang mampu menyelenggarakannya (yang ada adalah sistim paket
SKS). Kenapa SKS ini penting? Karena SKS ini mengakomodasi kepentingan siswa sesuai dengan
prinsip Multiple intelligence. Cara kita memandang dan memperlakukan siswa yang hanya dilihat
sebagai peserta didik (bukan subyek didik) harus dikoreksi (Lihat Bab I Pasal 1 ayat 4 dan Bab
V Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional). Kesalahan sistemik ini
juga disorot dalam Seminar Hari Kependudukan Dunia Investing in Young People in Indonesia
yang diselenggarakan oleh Dana Kependudukan PBB (UNFPA), BKKBN, Kemenpora dan Ikatan
Praktisi dan Ahli Demografi Indonsia (IPADI) pada hari Senin 17 Juli 2014 di Jakarta.
119

109

Menurut Kepala Perwakilan UNFPA untuk Indonesia, Jose Ferraris, potensi generasi muda ini tidak
tergarap maksimal karena mereka selalu hanya menjadi obyek dan bukan pemegang peran
penting sebagai subyek pendidikan. Padahal anak muda merupakan sumber daya utama untuk
pembangunan. Mereka dapat berperan sebagai agen kunci perubahan sosial, pertumbuhan ekonomi
dan inovasi teknologi sebagaimana dicontohkan oleh para creative junkies (kelompok anak muda
yang mampu menciptakan lapangan kerja sendiri, seperti Raditya Dika (penulis best seller remaja),
Nancy Margried (penggiat batik fractal), kelompok pekerja seni muda (para musisi dan sineas muda),
para disainer muda, dll.
Pendidikan partisipatif dan kolaboratif bagi generasi muda ini masih jauh dari angan. Modelmodel metode baru seperti quantum teaching and learning, engagement learning, dll. tenggelam
dalam pemberlakuan metode pembelajaran saintifik (5M) yang di endorse dalam Kurikulum 2013.
Padahal melalui pendidikan partisipatif dan kolaboratif yang memandang siswa sebagai subyek
didik, kreativitas siswa akan meningkat dan dunia ekonomi kreatif terbuka lebar bagi kaum muda,
dan justru dalam bidang ekonomi kreatif inilah, generasi tua kurang menguasai secara intens.
Itulah pentingnya diversifikasi kurikulum (Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas) dan otonomi
sekolah (Pasal 77 M ayat 3 PP No.32 Tahun 2013), serta otonomi guru (Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas
dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, serta Pasal 77 M ayat 1 PP No.32 Tahun 2013) :
menjadikan kurikulum yang relevan dengan peserta didik dan kondisi sekolah (desentralisasi
pendidikan), cermin dari diakomodasikannya kebebasan mimbar akademik.
Namun sebuah paradoks baru muncul : ketika anak menjadi mahluk spesial, mereka juga
jadi proyek. Mereka diharapkan jadi penerus orang tua, baik dalam iman maupun harta. Mereka
tidak dibayangkan mandiri sebagai pembaharu, apalagi pembangkang. Kontrol diberlakukan, dan
kadang-kadang tak jelas, mana bimbingan, mana penganiayaan.
Semua orang dewasa dulu juga anak-anak tapi hanya sedikit yang ingat itu
(Antoine de Saint-Exupery, Pangeran Kecil)97
Mau bukti? Kasus-kasus perundungan anak di sekolah yang berakibat kematian karena
anak tersebut dikeroyok sesama siswa. Terlihat bahwa orang tua dan guru abai menangkap tandatanda kekerasan, padahal perundungan memiliki indikasi berbeda dari keisengan biasa (Erlinda
dalam Jutaan Anak Alami Kekerasan, Pola Asuh Perlu Memperhatikan Hak-hak Anak, KOMPAS,
Kamis 23 Juli 2015 halaman 12).

97

Catatan Pinggir : BOCAH, Gunawan Muhammad, Majalah Tempo, 15-21 Juni 2015

120

110

Jajaran Kemdikbud yang terus berupaya melanjutkan proyek penerapan Kurikulum 2013
sehingga abai akan pembagian ijazah tepat waktu telah menempatkan hak-hak siswa sebagai sekedar
urusan administrasi saja, tak hirau akan tuntutan berbagai lembaga studi lanjut dan lembaga penyelia
tenaga kerja agar siswa dapat menunjukkan ijazah aslinya. Siswa telah benar-benar dikorbankan
untuk proyek : kurikulum 2013 yang kontroversial karena tidak sinkronnya 28 permendikbud yang
melandasinya dengan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013, pelaksanaan UN yang
amburadul tahun 2013, dan pembagian ijazah yang sangat terlambat yang abai pada hak azasi siswa.
Atau, mari kita simak Draft Permendikbud No.21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti
yang dikeluarkan tanggal 10 Juli 2015, yang kemudian dibakukan menjadi Permendikbud No.23
Tahun 2015
-

Bagian Penanaman Nilai Kebangsaan dan Kebhinekaan


Sesudah berdoa setiap memulai hari pembelajaran, guru dan peserta didik menyanyikan lagu
kebangsaan Indonesia Raya.

Sebelum berdoa saat mengakhiri hari pembelajaran, guru dan peserta didik menyanyikan
lagu daerah, lagu wajib nasional maupun lagu terkini yang bernuansa patriotik atau cinta
tanah air.
Bagian Penumbuhan Potensi Unik dan Utuh Setiap Anak
Menggunakan 15 menit sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku selain buku mata
pelajaran
Dalam prakteknya, sekolah akan mengambil kemudahan pelaksanaan menyanyikan lagu
nasional, yaitu melalui apel pagi untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan melalui apel
siang untuk menyanyikan lagu wajib. Supaya tidak mengurangi jam belajar sesuai ketentuan
di atas, maka siswa akan masuk lebih pagi untuk mengikuti apel pagi + kewajiban membaca
buku, dan akan pulang lebih siang untuk mengikuti apel siang. Kalau siswa datang terlambat,
akan kena sanksi, namun bagaimana dengan guru-guru yang akhir-akhir ini makin sering
datang terlambat? Para guru bukan hanya sering terlambat tiba di sekolah tetapi juga sering
terlambat masuk kelas karena terlalu lama mengobrol di ruang guru
Pada pagi hari, saat guru dan siswa masih segar, bukan langsung memulai pelajaran, tetapi
harus berpanas-panas dulu mengikuti apel pagi, lalu dilanjutkan dengan waktu membaca
buku 15 menit yang sebenarnya hanya membuang waktu, tidak mungkin siswa membaca
yang tersirat dalam buku/koran hanya dalam 15 menit.

Kemdikbud perlu melihat Harian Media Indonesia, setiap hari Rabu : Fokus Nusantara
dengan hastag Fokus Nusantara (#Fokus Nusantara) : Matinya Tradisi Literasi di Kota Pelajar
121

111

Maka benar apa yang dikatakan Gunawan Muhammad di atas : kadang-kadang tak jelas,
mana bimbingan, mana penganiayaan
-

Bagian Interaksi Positif dengan Guru dan Orang tua :


Sekolah mengadakan pertemuan dengan orangtua siswa pada setiap tahun ajaran baru untuk
mensosialisasikan: a) visi; b) aturan; (c) materi; dan (d) rencana capaian belajar siswa agar
orangtua turut mendukung keempat poin tersebut
Bukankah melalui ketentuan Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013, Silabus, buku
ajar/materi/sumber belajar, sistim penilaian dan metode sudah ditentukan oleh pemerintah
dan sudah disosialisasikan melalui pelatihan guru yang seragam secara nasional, apapun visi
dan misi sekolahnya (mengabaikan azas diversifikasi kurikulum sebagaimana diamanatkan
oleh Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas). Jadi apakah masih ada gunanya Visi dan Misi sekolah?
Bukankah selama ini para guru mengajar menurut arahan Dinas Pendidikan dan Pengawas
yang abai pada Visi dan Misi suatu sekolah?

Pemeliharaan Lingkungan Sekolah


Melaksanakan kegiatan bank sampah bekerja sama dengan dinas kebersihan setempat.
Ide ini bagus, kalau siswa dan guru secara ketat memisahkan sampah organik dan sampah
anorganik, yang dilengkapi dengan pembuatan kompos. Sampah anorganik ini juga harus
didaur ulang. Kalau mengandalkan Dinas Kebersihan, maka sampah yang telah terpilah itu
akan dicampur lagi. Hal ini tidak bagus bagi internalisasi lingkungan sehat untuk siswa.

Permendikbud ini langsung memancing kontroversi karena nilai-nilai baik itu ditempelkan tanpa
rasionalitas (KOMPAS, Kamis 23 Juli 2015 halaman 12 : Budi Pekerti Nilai Ditempelkan Tanpa
Rasionalitas : Guru Besar Antropologi UGM, Heddy Ahimsa Putra, Kegagalan internalisasi nilainilai Pancasila, kebangsaan dan kebhinekaan terjadi karena pengajarannya cenderung abstrak dan
kurang dielaborasi menjadi nilai-nilai yang lebih konkrit). Permendikbud ini makin meyakinkan
orang bahwa Kurikulum 2013 itu sebenarnya menganut filsafat eklektisme, bukan esentialisme,
semuanya hanya tempelan.
Sebenarnya Mendikbud Anies Baswedan dan jajarannya cukup melihat 18 nilai dalam
Pendidikan Karakter yang sudah diterapkan dalam Kurikulum 2006 karena proses monitoring sudah
cukup terukur di dalam PBK (Penilaian Berbasis Kelas) dan tidak perlu mengeluarkan Sambutan
Mendikbud pada hari pertama sekolah No.59388/A/KR/2015 dan Surat Edaran tentang MOS (Masa
Orientasi Sekolah) No.59389/MPK/PD/2015 yang diabaikan oleh banyak sekolah. Jadi malah
menunjukkan kegagalan proses internalisasi pendidikan karakter dan nilai-nilai agama pada siswa
dan pada para Pembina OSIS, sehingga MOS selalu saja diartikan sebagai perpeloncoan (pembakuan

122

112

mental budak dan pembodohan dalam pendidikan nasional). Hal ini melestarikan azas senioritas
dalam pendidikan, bukan azas meritokrasi.

Dari contoh-contoh di atas, nampak bahwa pengakuan atas perbedaan invidual dan latar
belakang budaya siswa 98 tidak tercermin dalam KI dan KD pada Kurikulum 2013, juga tidak muncul
dalam penentuan buku ajar (materi/sumber belajar) dan buku pegangan guru, serta penentuan metode
saintifik (5M) semuanya sifatnya massal, menafikan adanya perbedaan individual dan budaya
siswa.
Berdasar berbagai penjelasan tentang otonomi pendidikan dan desentralisasi di atas, dimana
otonomi dinyatakan sebagai sejauh mana negara memberi peluang kemandirian masyarakat, maka
sebenarnya istilah peserta didik sudah harus diganti dengan subyek didik, dan istilah Opsdik
(Organisasi Peserta Didik) harus dikembalikan lagi menjadi OSIS. Istilah MOPD (Masa Orientasi
Peserta Didik Baru) harus dikembalikan menjadi MOS (Istilah MOPD muncul dalam Permendikbud
NO. 55 Tahun 2014 yang berisi larangan melaksanakan masa orientasi peserta didik yang
mengarah kepada tindakan kekerasan, pelecehan dan/atau tindakan destruktif lainnya yang
merugikan peserta didik baru baik secara fisik maupun psikologis baik di dalam maupun di luar
sekolah. Namun pembodohan siswa dengan mengenakan atribut yang melecehkan nalar tetap saja
berlangsung. Sidak yang dilakukan Mendikbud Anies Baswedan pada hari pertama sekolah, Senin
27 Juli 2015 menunjukkan bahwa jajaran birokrat selama ini membiarkan perpeloncoan terus terjadi
dalam kegiatan MOS di lapangan. Hal ini merupakan contoh kasat mata bahwa jajaran Kemdikbud
sebenarnya hanya sibuk dengan visi dan misinya sendiri, tidak memikirkan masa depan anak didik
(karena perpeloncoan ini sudah merupakan gejala sistemik yang sengaja dibiarkan terjadi oleh Dinas
Pendidikan dan Pengawas, meskipun mereka sudah mengetahui penyimpangan ini selama bertahuntahun, tapi karena tidak menyangkut kepentingan mereka, praktek perpeloncoan ini dibiarkan
terjadi.

Bahkan setelah adanya Surat Edaran Mendikbud tentang MOS, yaitu Surat Edaran

No.59389/MPK/PD/2015, praktek perpeloncoan tetap saja terjadi).

98

Lihat lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab I No. 14

123

113

Lihat hasil liputan media massa pasca keluarnya Surat Edaran Mendikbud itu

Pergantian istilah OPSDIK dan MOPD ini bukan sekedar mengganti kata per kata atau mengubah
definisi, tapi mempunyai rujukan yang panjang seperti yang sudah diuraikan di Bab III ini.
Prinsip desentralisasi ini sebenarnya sudah diakomodasi dalam Permendikbud No.67 Tahun 2013
Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum, Bab I A. 2. Penyempurnaan pola pikir, yang
diulang pada Permendikbud No.68 Tahun 2013, Permendikbud No.69 Tahun 2013 dan
Permendikbud No.70 Tahun 2013 , yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 (lihat
Catatan * di Kata Pengantar)
Point 1. Pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada peserta
didik. Peserta didik harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang dipelajari
untuk memiliki kompetensi yang sama
Point 7. Pola pembelajaran berbasis massal menjadi kebutuhan pelanggan (users) dengan
memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik
Bukankah hal ini yang menjadi impian dari Olga dalam novel Susanna Tamaro di atas? Pembelajaran
menggunakan Multiple Intelligence. Masalahnya hal ini tidak bisa dicapai melalui pelatihan guru
secara massal dan seragam di tingkat nasional, dengan silabus, buku ajar dan buku pegangan guru
serta metode pembelajaran yang seragam. Pemetaan kelas melalui pengenalan akan bakat dan minat
siswa yang berbeda dengan Multiple Intelligence, hanya dapat dicapai dalam kurikulum yang
kontekstual dan situasional yang melayani keberagaman.
124

114

Dalam kurikulum yang seragam secara nasional, nuansa desentralisasi dan kebebasan mimbar
akademik tidak muncul, yang muncul justru adalah hegemoni pemerintah sampai ke ruang kelas,
yang dilengkapi dengan kendali para Pengawas di daerah.
Kenapa sampai muncul dua kurikulum (Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013) yang
menyebabkan tarik ulur fungsi pemerintah daerah dalam mengontrol pendidikan melalui
pembelajaran di kelas lewat Pengawas Mata Pelajaran sehingga pengembangan potensi siswa sebagai
subyek didik terabaikan?
Ternyata Kurikulum 2013 itu dikembangkan atas teori KBK (kurikulum berbasis kompetensi
: competency-based curriculum) yang sebenarnya sudah tidak diberlakukan lagi dengan berbagai
alasan, seiring pemberlakuan Kurikulum 2006 (Lihat Permendikbud No. 67 Tahun 2013 II B
Landasan Teoritis, yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 II D Landasan
Teoritis (lihat Catatan * di Kata Pengantar) : maka kita harus merujuk kembali kenapa KBK itu
dahulu dihentikan. Masalahnya ada pada kesulitan pengukuran kompetensi yang dicapai siswa
secara kuantitatif.
Maka untuk menyiasati seandainya Dinas Pendidikan di daerah berkukuh melanjutkan
penerapan Kurikulum 2013, adalah meniti buih :
-

Tanpa meninggalkan aspek student centered learning sebagaimana diamanatkan dalam


Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab I No. 14 : Pengakuan atas perbedaan
invidual dan latar belakang budaya siswa,

Tanpa meninggalkan prinsip desentralisasi yang sebenarnya sudah diakomodasi dalam


Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum, Bab I
A. 2. Penyempurnaan pola pikir (yang diulang pada Permendikbud No. 68 Tahun 2013,
Permendikbud No. 69 Tahun 2013 dan Permendikbud No. 70 Tahun 2013) Poin 1 dan Poin
7 di atas,

yang perlu dilakukan adalah menerapkan Analisis horizontal pada Analisis Kurikulum untuk
melihat keterkaitan antar berbagai mata pelajaran pada jenjang kelas yang sama sehingga siswa dapat
belajar integrasi lintas ilmu untuk mengerti konsep multi disiplin (yang sebenarnya sudah dimulai
dengan diberlakukannya Tematik Integratif di SD dan Mata Pelajaran IPA Terpadu dan IPS Terpadu
di SMP).
Misalnya : seorang guru Biologi di SMA hendak mengajarkan Teori Mendel, maka guru tersebut
harus yakin bahwa Teori Peluang (Probabilitas) yang mencakup Permutasi dan Kombinasi sudah
diajarkan sebelumnya di Matematika. Seorang guru kelas 6 SD yang akan mengajar materi Fisika
Optik dalam IPA-Fisika pada minggu kedua Agustus, harus yakin bahwa pada minggu pertama

125

115

Agustus, guru Matematika kelas 6 SD sudah mengajarkan materi perhitungan luas lingkaran dan
volume bola.
Dengan demikian, sains dan iptek akan dipahami sebagai art, bukan sekumpulan dalil, rumus
atau aksioma yang harus dihafal. Pembelajaran menjadi menyenangkan karena siswa dapat merunut
ketersinambungan antar topik atau tema. Proses pembelajaran menjadi pembuka wawasan dan
horizon cakrawala pengetahuan siswa yang tidak bisa didapat dalam bimbel atau les privat.
Rapat kerja para guru pada awal tahun ajaran baru harus memastikan bahwa langkah
sinkronisasi antar mata pelajaran melalui Analisis horizontal ini dijalankan dengan efektif,
tanpa itu, belajar hanya akan menjadi beban bagi siswa sehingga pengembangan potensi siswa
itu masih tetap jauh panggang dari api. Analisa horizontal ini juga perlu dilengkapi dengan Analisa
Konteks, yang juga sudah diberlakukan dalam Kurikulum 2006 dan KTSP Bimtek (2008).
Rincian dari Analisa Konteks ini selalu dituntut bukti fisiknya dalam akreditasi sekolah, yaitu
akreditasi penyelenggara dan penyelenggaraan pendidikan.
Disinilah peran vital Pengawas (sesuai Pasal 10 UU Sisdiknas) : pengawas membantu dan
membimbing pihak penyelenggara pendidikan (sekolah) agar mampu memenuhi 8 standar nasional
pendidikan (8 standar SNP), bukan malah sibuk memaksa sekolah untuk menerapkan Kurikulum
2013 (demi proyek), lupa pada isi Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 di PP No.32 Tahun 2013
Misalnya guru Biologi yang akan mengajar Teori Mendel, dapat melakukan Analisa konteks sebagai
berikut :
KONDISI ALAM

SOSIAL BUDAYA

KEKAYAAN DAERAH

Lihat berapa % kemungkinan Lihat keberadaan manusia

Lihat persilangan tanaman

munculnya itik albino

albino, kenapa langka, tetapi

yang khas daerah itu, misalnya

pasti ada

singkong Mukibat

Dari contoh di atas, nampak jelas bahwa :


-

Bila Analisa konteks dilakukan secara benar, maka guru tersebut telah menerapkan CTL
(contextual teaching learning)

Bila Analisa konteks dilakukan secara benar, maka azas multikulturalisme dalam
pembelajaran, juga akan terpenuhi

126

116

Atau Guru Fisika yang akan mengajar Fisika Optik, dapat melakukan Analisa Konteks sebagai
berikut :
KONDISI ALAM

SOSIAL BUDAYA

KEKAYAAN DAERAH

Daerah-daerah berkapur,

Karena myopik, mereka tidak

Pengukuran jarak pandang

umumnya orang kekurangan

terbiasa menggunakan lampu

dihitung dari kemampuan

vitamin A, karena sukar

senter, tetapi menggunakan

lensa mata myopik, yaitu :

mendapat sayur mayur, seperti

penerang jarak dekat (obor,

sudah dekat atau tidak

wortel, seledri, dll, hingga

lampu petromaks, dll)

jauh, padahal jaraknya masih

umumnya mereka menderita

Masyarakat daerah kapur

jauh, karena ukurannya adalah

rabun jauh (myopi). Maka

bukan masyarakat visual,

sudut elevasi jarak pandang.

titik berat guru Fisika ini

tetapi masyarakat audio,

Masyarakat daerah kapur

adalah pada materi lensa

mereka peka pada bunyi/suara. (masyarakat audio)

(supaya paralel dengan kaca

Radio cukup akrab dengan

mengembangkan melodi yang

mata) dan teropong (supaya

mereka, dan kesenian diatonis

bertumpu pada nada

paralel dengan rabun jauh),

menjadi pembeda dengan

suara/bunyi (seruling,

dengan program pengayaan :

masyarakat agraris yang

terompet , dll)

teropong bidik malam

pentatonis.

Melalui Analisa Konteks, keberagaman (multikulturalisme) dapat diakomodir. Maka


kerancuan kurikulum dapat dihindari : mau menerapkan Kurikulum 2006 (KTSP awal) atau mau
merevitalisasi kembali Kurikulum 1975, hasilnya akan sama yaitu pengembangan bakat dan minat
siswa. Itulah inti dari desentralisasi dan SPM : pendidikan yang berpusat pada siswa (student
centered learning) (siswa bukan sekedar peserta didik, tapi subyek didik), yang mengakomodasi
keberagaman (multikulturalisme).
Itulah pentingnya menata ulang kurikulum pendidikan nasional kita sebagaimana
diamanatkan dalam Nawa Cita No.8

127

117

BAB IV
Kurikulum vs Kompetensi
Kekeliruan pertama dalam kaitan dengan kompetensi adalah pada masalah
pengukurannya. Kurikulum 2013 yang dikembangkan dari KBK (2004)99 menyisakan masalah
pengukuran kompetensi yang ingin dicapai. Perumusan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) di
tahun 2004 ternyata tidak disertai pengukuran kompetensi sehingga setiap penatar menafsirkan
sendiri kompetensi yang hendak dicapai, terpisah dari rumusan :
-

Pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 : Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya


potensi peserta didik, dan

Pasal 51 UU No. 20 Tahun 2003 : Pengelolaan satuan pendidikan dilaksanakan


berdasarkan SPM dengan prinsip MBS.

Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang

menyangkut kompetensi minimal yang harus dikuasai siswa (pengukurannya menggunakan


KKI), dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang antara lain berisi pengukuran
kompetensi dan kinerja guru ini, sekarang tidak lagi dipraktekkan akibat dikeluarkannya
Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No.2 : Sistim dan entitas pengawasan.
Seandainya kompetensi dalam KBK itu dikaitkan dengan kemampuan/kompetensi minimal
calistung (baca-tulis-hitung), yaitu kemampuan berpikir kritis dalam Matematika dan Sains pada
TIMMS (Trends in International Mathematics and Science Study), kemampuan membaca yang
tersirat pada PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study), dan kemampuan bernalar
dalam PISA (Progamme in International Students Assessment), maka KBK tidak perlu diganti pada
tahun 2006. Akibat tidak terukurnya kompetensi secara valid ini menyebabkan timbulnya kesalahan
pemaknaan kurikulum dan kesalahan pedoman penilaian pada Kurikulum 2013 (kesalahan pedoman
penilaian diuraikan secara khusus dalam Bab V)
Kekeliruan kedua dimulai dari kesalahan pemaknaannya.

Menurut KBBI Vol IV,

kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan tertentu.
Karena artinya hanya sekedar perangkat pembelajaran maka sifatnya sangat teknis dan spesifik
untuk diterapkan di kelas, seperti pembuatan silabi dan persiapan mengajar, penyediaan alat peraga
dan pengukuran hasil belajar, sehingga kurikulum itu lekat dengan lokalitas dan situasional pada
lembaga penidikan tertentu. Dengan kata lain, kurikulum di setiap sekolah itu seharusnya berbeda
dan kontekstual.

99

Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis : Kurikulum 2013 dikembangkan atas
teori KBK (competency-based curriculum), yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian II D
(lihat Catatan * di Kata Pengantar)

128

118

Menurut kamus Webster : kurikulum itu adalah the courses offered by an educational institution,
atau a set of courses constituting an area of specialization. Dengan kata lain, kurikulum menurut
kamus Webster adalah the courses that are taught by a school, college, etc.
Karena perangkat pembelajaran ini harus dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi satuan
pendidikan (sekolah) masing-masing, maka sifatnya khas dan situasional.

Oleh karenanya,

seharusnya tidak ada uniformitas kurikulum di tingkat nasional, yang diproses melalui pelatihan guru
dengan bahan yang sama di semua daerah. Sekali lagi, tugas pemerintah sebenarnya sudah diatur
dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas yaitu hanya sebatas menetapkan kerangka dasar dan struktur
kurikulum. Dalam Kurikulum 2013, pemerintah bahkan sampai kebablasan menyusun kurikulum
dari hulu sampai ke hilir, mulai dari penentuan materi /bahan ajar (silabus, buku siswa, lalu
menghapus mata pelajaran TIK di semua jenjang pendidikan dan IPA di kelas 1, 2, 3 SD) sampai
menetapkan pola penyampaian materi/bahan ajar itu di kelas (metode pengajaran (metode saintifik
(5 M), dan membuat buku pegangan guru), dilengkapi dengan pedoman pengukuran hasil belajar
(menyusun pedoman konversi nilai (yang ternyata secara matematis salah), yang anehnya tidak
dilengkapi dengan pedoman monitoring proses belajar. Dengan kata lain, Kurikulum 2013 ini
mengusung semangat pembakuan tunggal dan hegemoni sehingga menabrak azas diversifikasi
kurikulum sebagaimana termaktub dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas.
Kalau mengacu pada ketentuan Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas ini, seharusnya kurikulum yang berlaku
di Papua akan berbeda dengan kurikulum yang berlaku di Jawa, karena harus disesuaikan dengan
kondisi sarana prasarana sekolah, potensi lokal dan keadaan siswanya.
Semuanya menjadi rancu hanya karena pemerintah mengejar penyerapan anggaran 20% dari
APBN.

Yang disalahkan selalu gurunya (defungsionalisasi guru), bukan LPMP atau

PPPG/PPPPTK, padahal para guru hanya menjalankan instruksi Pengawas dan arahan dari Dinas
Pendidikan setempat
(http://edukasi.kompas.com/read/2012/11/29/11113348/Ini.Alasan.Dirombaknya.Kurikulum).
Di DKI Jakarta, upaya uniformitas (penyeragaman) yang mengabaikan azas diversifikasi ini muncul
dalam Sistim Administrasi Sekolah (SAS) dan Sistim Informasi Pendidikan (SIP). Di daerah lain,
upaya penyeragaman ini dieksekusi dengan kehadiran para Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata
Pelajaran yang nilai uji kompetensinya justru dibawah nilai uji kompetensi para guru (Tentang
Pengawas ini, lihat Catatan kaki No.4). Hal ini semakin menegaskan bahwa proyek sertifikasi guru
itu adalah proyek tebar uang yang tak ada hubungannya dengan kompetensi dan kinerja guru, sematamata demi memenuhi penyerapan anggaran. Hal ni sudah nampak beberapa tahun yang lalu, saat
diterapkannya UKG (uji kompetensi guru) yang tidak jelas tujuannya itu dan akan diulang pada bulan
November 2015 ini : UKG yang tidak jelas untuk apa dilaksanakan dan bagaimana Kemdikbud akan
129

119

menyikapi hasilnya nanti : membentuk lembaga pelatihan guru yang baru atau membuat program
pelatihan guru terpusat lagi.

Kalau guru yang tidak lolos UKG itu kemudian dicabut tunjangan

sertifikasinya, bagaimana argumen Kemdikbud menghadapi gugatan para guru itu kelak di PTUN :
bukankah selama ini mereka selalu mengikuti arahan Dinas Pendidikan dan Pengawas dan telah
dinyatakan lulus diklat sertifikasi guru, dan apakah tes sesaat bisa mengukur seluruh kompetensi
guru?
Ternyata terbukti kemudian bahwa UKG itu memang tidak terkait dengan kata uji dan uji
kompetensi tetapi hanya merupakan proyek baru untuk mengadakan diklat baru bagi para guru,
seolah-olah para guru belum pernah menempuh pendidikan didaktik metodik dan pedagogik di
PGSD/FKIP.
Seandainya Mendikbud M. Nuh mengacu pada Finlandia (sebagai kiblat pendidikan dunia)
dan bukan pada negara-negara OECD, maka Kurikulum 2013 tidak akan pernah ada.
Kalau menaati UU dan pemaknaan harafiahnya, maka kurikulum harus dikembangkan sesuai
dengan situasi dan kondisi satuan pendidikan (sekolah), sehingga kurikulum ini dikenal sebagai
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), artinya kurikulum yang disusun sendiri oleh para
guru dan disahkan oleh kepala sekolah (Pasal 77 ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013). Dengan
kata lain, otonomi guru dan otonomi sekolah dalam penyusunan kurikulum, memonitor proses
belajar, serta mengevaluasi hasil belajar ini mempunyai payung hukum yang kuat yang
tereksplisitkan dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas, dan Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun 2005
(UU Guru dan Dosen) seperti yang sudah diuraikan dalam Bab Pendahuluan. Dengan demikian,
menyama-ratakan kurikulum dan memberlakukan kurikulum nasional secara tunggal jelas keliru,
karena melanggar pemaknaan (arti) kata kurikulum dan menabrak UU (lihat penjelasan lebih
rinci dalam Bab Pendahuluan)
Dengan kata lain, Kurikulum 2013 yang membakukan pembuatan silabus tunggal, pembuatan buku
siswa dan buku pegangan guru yang seragam serta keluarnya Pedoman penilaian Permendikbud No.
66 Tahun 2013, lalu diubah dalam Lampiran IV Permendikbud No. 81 A Tahun 2013, yang
diperbarui dalam Peraturan Bersama Dirjen Dikdas No. 5496/C/KR/2014 dan Dirjen Dikmen No.
7915/D/KP/2014 tentang penilaian (penilaian pada Kurikulum 2013 seharusnya menggunakan
penilaian rubrik agar sesuai dengan SOLO Taxonomy), semuanya itu justru mengaburkan
terbentuknya budaya organisasi di lingkungan sekolah. Sebab pedoman penilaian dari Kemdikbud
yang berubah-ubah ini justru menabrak azas otonomi pendidikan yang diusung oleh Pasal 39 ayat 2
UU Sisdiknas dan Pasal 20 (a) UU Guru dan Dosen dan mengabaikan arti kata kurikulum secara
harafiah (letterlijk). Untuk internalisasi arti kata kompetensi dan makna kurikulum, para guru
harus menyadari arti panggilan hidupnya. Bukan menjadi guru untuk kurikulum, bukan menjadi
130

120

guru untuk Dinas Pendidikan, bukan menjadi guru untuk aturan-aturan, tetapi menjadi guru
untuk muridnya. Tanpa murid, guru hanyalah seorang pengangguran. Karena ketidak pedulian
akan murid ini dan hanya terpaku pada proyek penyerapan anggaran (sertifikasi guru, UN dan
peluncuran kurikulum baru), maka keterlambatan pembagian ijazah hanya dianggap sebagai proyek
administrasi yang tertunda, bukan pada pelanggaran atas hak-hak anak.

Dengan kata lain,

Kemdikbud abai pada kebutuhan murid. Kebutuhan murid ditengah jaman yang lari tunggang
langgang ini adalah mengerti dan dimengerti oleh dunianya, tidak teralineasi ditengah dunia yang
tergopoh-gopoh ini. Murid dapat mengerti apa itu komputasi awan (cloud computing), rekayasa
genetik (genetic engineering), perubahan dari 3 G ke 4 G, atau perubahan dari analog ke digital, dll.
Untuk itu, Kemdikbud jangan terjebak dalam kontradiksi mengerti banyak hal tetapi tidak
mendalam (generalis) atau mengerti sedikit hal tetapi mendalam (spesialis), tetapi menyajikan
dasar-dasar pengetahuan (basic knowledge) secara menyenangkan, hingga siswa dapat membangun
sendiri system of knowledge-nya untuk memperkuat pilihan hidupnya. Bukankah hal ini merupakan
dasar dari SKS yang tertuang dalam Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014? Bukan dengan
menghapus bagian integral penting dari suatu mata pelajaran, misalnya menghapus Kalkulus I dan II
dari bahasan Matematika, atau menghapus Kimia Analitik dari kajian Kimia, atau mengintegrasikan
mata pelajaran IPA di kelas 1, 2, dan 3 SD itu ke mata pelajaran lain. Semuanya itu hanya akan
mengacaukan system of knowledge dari sains itu sendiri. Siswa tidak akan mampu lagi menjawab
pertanyaan mendasar seperti kenapa begini?, kenapa begitu?, meskipun guru menggunakan
metode saintifik (5 M). Misalnya : Kenapa undur-undur (Myrmeleon formicarius) berjalan mundur?
Sebab dengan berjalan mundur, larva undur-undur itu sedang membuat sarang berbentuk kerucut
terbalik. Bentuk kerucut terbalik dari sarang larva undur-undur itu sebenarnya untuk memudahkan
mangsanya tergelincir masuk kesarang dan sukar untuk keluar atau melarikan diri lagi. Bukankah
undur-undur ini sudah menggabungkan prinsip Matematika dari kerucut dengan prinsip gaya dalam
Fisika.

Kenapa ular berdarah dingin, sedangkan berang-berang (Lutra sumatrana) yang juga

membuat sarang di dalam tanah, justru berdarah panas? Kenapa langit berwarna biru?, dll
Kekeliruan pemahaman tentang makna kurikulum ini harus cepat dikoreksi oleh Mendikbud Anies
Baswedan, misalnya penerapan tematik integratif di SD dilakukan dengan mengintegrasikan IPA
pada mata pelajaran lain itu adalah keliru. Disamping menyulitkan siswa membangun system of
knowledge-nya sendiri (seperti sudah diuraikan di atas), pengintegrasian ini juga menyebabkan
terpelesetnya penerapan pendekatan saintifik (5 M) ini menjadi pendekatan logika. Misalnya siswa
yang bertanya kenapa bentuk atap rumah selalu miring? Akan dijawab gurunya dengan logika (bukan
dengan metode 5 M). Jawab yang umum muncul adalah supaya atap dapat mengalirkan air hujan
dengan cepat ke tanah. Salah besar. Padahal kalau guru mengamati kemiringan atap rumah dan
131

121

menganalisa warna genting yang coklat itu, guru akan mengerti fungsi genting itu, yaitu menyerap
panas, sehingga jawab yang benar, kenapa atap rumah selalu miring adalah agar rumah tidak lembab,
oleh sebab itu kasur, pakaian, dan kamar mandi tidak berjamur.
Kesalahan pemaknaan arti kata kurikulum dan kompentensi bila tidak cepat dikoreksi,
dapat menjerumuskan Kemdikbud pada pencampur-adukan paedagogis dan didaktis, dan oleh
karenanya Kemdikbud bisa terjerumus mengamputasi undang-undang otonomi pendidikan
(meniadakan otonomi sekolah dan otonomi guru, seperti yang tertera dalam Pasal 77 M ayat 1 dan
ayat 3 PP No.32 Tahun 2013) (Kemdikbud bisa menghapus semua ketentuan di Catatan kaki No.2)
Tanpa koreksi dari Mendikbud, pengelolaan sekolah menjadi tidak mudah karena
banyak tuntutan dan campur tangan negara. Dengan adanya campur tangan itu, otonomi
sekolah dan otonomi guru dalam mengembangkan visi dan misi sekolah cukup terganggu.
Wajah dunia persekolahan di seluruh Indonesia menjadi sama dan seragam apapun visi dan
misinya.
Apa yang mesti dikoreksi ?
1. Mendudukkan arti kata kurikulum yang sebenarnya, yaitu seperangkat pembelajaran yang
dipilih untuk diterapkan di suatu sekolah tertentu (sangat memperhatikan aspek lokalitas dan
kondisional suatu sekolah), karena ada upaya keras untuk menyamarkan arti kata
kurikulum menjadi sistim pembelajaran yang dibuat oleh Kemdikbud dan wajib
dilaksanakan oleh semua sekolah.
2. Merestrukturisasi system of knowledge dari berbagai mata pelajaran itu, karena pembaruan
kurikulum selama ini selalu diartikan sebagai imbuhan langkah inovatif dalam pembelajaran,
seperti penggunaan multi media dalam proses pembelajaran di kelas, sehingga pembaruan
kurikulum selalu dikaitkan dengan ketersediaan LCD, TV dan komputer di kelas, dimana
guru tetap berceramah, paling-paling dilengkapi dengan metode diskusi atau presentasi siswa.
3. Merumuskan ulang perbedaan kompetensi dan tingkat kompetensi, perbedaan antara
kompetensi generik dengan KI dan perbedaan antara kompetensi spesifik dengan KD
sehingga pola penilaian atau evaluasi hasil belajar menjadi jelas, tidak berkali-kali diubah
(Lihat Permendikbud No.66 Tahun 2013, Lampiran IV Permendikbud No.81 A tahun 2013,
Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No.5496/C/KR/2014 dan
No.7915/D/KP/2014)
Bagaimana mengukur apakah system of knowledge itu terwadahi atau tidak, dalam perancangan
kurikulum baru ? Cukup melihat apakah masih ada materi/bahan ajar yang tidak ada di kurikulum
kita, padahal materi/bahan ajar itu merupakan mata uji di TIMSS, PISA dan PIRL. Dengan kata lain,
pembaruan kurikulum tidak boleh membuat kurikulum itu makin miskin.

Pengetahuan
132

122

mengenai sejarah pendidikan di negara kita merupakan prasyarat penting dalam penyusunan
kurikulum baru. Pemerintah perlu disadarkan bahwa apa yang sudah bagus di masa lalu, jangan
dihapus, karena penggantinya belum pasti lebih bagus dan belum teruji.
Bahan ajar/materi tidak boleh dikurangi, justru harus selalu ditambah, sesuai dengan tuntutan
jaman, sehingga mutu makin meningkat.
Kemdikbud rupanya terjebak dalam dikotomi ini : menguasai banyak hal, tetapi tidak mendalam,
atau : menguasai sedikit, tetapi mendalam. Masalahnya bukan di situ, tetapi : menguasai hal yang
mendasar secara mendalam, misalnya teknologi informasi memang berkembang dengan sangat
cepat, dari sistim analog ke digital, namun ada teknologi mendasar yang harus dikuasai yaitu
tegangan ke frekuensi dan tegangan ke lebar pulsa sebagai system of knowledge yang tetap dan paten.
Ilmu Kimia berkembang sangat pesat, tetapi Kimia Dasar itu sifatnya tetap dan paten. Bahasa
Indonesia itu selalu berkembang, tetapi hukum k, p, t, s akan luluh bila mendapat imbuhan itu
sifatnya tetap. (Sisir kalau mendapat awalan me-, akan berubah menjadi menyisir (s luluh). Tari
kalau mendapat awalan me-, akan berubah menjadi menari (t luluh). Namun karena materi/bahan ajar
dalam Kurikulum 2013 makin miskin, maka hukum ini bisa tidak digubris lagi. Lihatlah : perkosa
kalau mendapat awalan me-, akan berubah menjadi memperkosa (p tidak luluh), padahal seharusnya
adalah memerkosa (p luluh). Secara panjang lebar, hal ini sudah diuraikan dalam filsafat
perenialisme (lihat catatan kaki no. 40) di Bab I : Filosofi Pendidikan.
System of knowledge merupakan kegiatan pembelajaran holistik yang memerlukan perangkat
pendukung mengingat keterbatasan waktu penyampaian materi pokok yang sifatnya abstrak di kelas
Perangkat pendukung yang pertama adalah kegiatan yang membuat materi yang abstrak
di kelas itu menjadi riil (membumi), yang dikenal sebagai kegiatan ko-kurikuler. Misalnya guru
Fisika yang mengajar tentang listrik statis dan listrik dinamis, bisa langsung membuat demo tentang
listrik statis (adanya muatan listrik di setiap benda) dan menjelaskan listrik dinamis melalui gambaran
fungsi bendungan dalam PLTA (makin tinggi dinding bendungannya, makin besar energi potensial
air (Energi potensial = mgh), maka kalau pintu bendungan dibuka, air akan terjun mengalir deras
menggerakkan turbin yang ada di bagian bawah dan putaran turbin yang cepat itu akan menghasilkan
listrik (Energi kinetik = mv ). Namun kegiatan ko-kurikuler ini dalam KTSP Bimtek dan
Kurikulum 2013 dilakukan di rumah sehingga tidak bisa dikontrol siapa pembuatnya. Oleh sebab
itu, perubahan dalam shifting dari pemahaman konseptual ke pemahaman faktual kurang terasa
efektivitasnya (pemahaman siswa hanya sebatas konsep saja, semua rumus dihafal oleh siswa).
Perangkat pendukung yang kedua adalah kegiatan yang membuat materi yang abstrak di
kelas itu menjadi mudah diasosiasikan dalam hidup sehari-hari, yang dikenal sebagai kegiatan intra
kurikuler. Misalnya guru Biologi yang mengajar tentang sistim peredaran darah akan membimbing
133

123

praktikum bedah hewan berdarah panas dan hewan berdarah dingin sehingga siswa dapat melihat
langsung beda sistim peredaran darahnya. Guru Bahasa Indonesia yang akan memperkenalkan
musikalisasi puisi sebaiknya membimbing siswa untuk mencari lagu-lagu Franky and Jane di
YouTube (semua lagunya adalah puisi yang dinyanyikan (tembang puitik), seperti Musim Bunga,
Kepada Angin dan Burung-burung, dll), setelah siswa menemukan pesan dari tembang puitik ini,
baru kemudian mencari musikalisasi puisi yang lebih berat seperti musikalisasi puisi Aku
(Chairil Anwar) di YouTube. Tetapi sayangnya, kegiatan intra kurikuler ini dalam KTSP Bimtek dan
Kurikulum 2013 diubah menjadi kegiatan ko-kurikuler, sehingga efeknya dalam mengasah cara
berpikir induktif dan deduktif kurang terasa manfaatnya karena kekurangan waktu (shifting dari
pemahaman konseptual ke pemahaman prosedural kurang terlihat efektivitasnya) Siswa sukar
menarik kesimpulan dari analisis hubungan antar berbagai fakta yang ada.
Perangkat pendukung yang ketiga adalah kegiatan yang membuat materi yang abstrak di
kelas itu menjadi mudah diaplikasikan dalam hidup sehari-hari, yang dikenal sebagai kegiatan ekstra
kurikuler mata pelajaran/ekskursi (pengamatan di luar kelas).

Misalnya guru Ekonomi yang

mengajar tentang beda antara monopoli dan oligopoli, tidak bisa dengan berceramah di kelas, mau
tidak mau, siswa harus ke pasar tradisional dan ke super market. Di pasar tradisional, siswa
mengamati siapa sebenarnya pemasok utama barang-barang yang dijual di sana, dan di super market,
siswa mengamati produk merk apa saja yang dipajang di rak. Tidak sembarang merk bisa masuk ke
super market. Tetapi kegiatan ekskursi ini dalam KTSP Bimtek dihapus dan dalam Kurikulum 2013
diubah menjadi kegiatan ko-kurikuler melalui metode 5 M, sehingga efeknya dalam shifting dari
pemahaman konseptual ke pemahaman meta-kognitif kurang terasa manfaatnya.

Siswa sukar

menerapkan pengetahuan yang diperoleh di kelas dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, siswa
belajar tentang konservasi alam dalam Biologi tetapi lingkungan hidup tetap rusak, alam terus
menerus terdegradasi. Atau siswa membuat lubang biopori di daerah yang tidak ada air, lalu yang
mau diresapkan ke dalam tanah itu apa?

Oh, nanti menunggu hujan.

Kalau begitu jangan

menggunakan biopori, tapi back to nature, alam menyediakan hewan dan tanaman yang bukan sja
membantu peresapan air, bahkan mampu mengikat air, seperti cacing tanah (Ascaris lumbricoides),
jangkrik (Gryllus assimilis), capung (Neurothemis sp.), pohon kelor (Moringa oliefera), pohon
belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L), lamtoro gung/petai cina (Leucaena leucocephala), pinus
(Pinus merkusii), bambu (Bambusa arundinacea) tetapi tidak boleh menanam bunga bougenville
(Bauhinia purpurea L), kelapa sawit (Elaeis gunineensis), cemara (Casuarina equisetifolia) :
tanaman-tanaman yang banyak menghabiskan air tanah dan membuat lingkungan menjadi panas.
Perangkat pendukung yang keempat adalah kegiatan yang membuat materi yang abstrak
di kelas menjadi terinternalisasi dalam diri siswa, yang dikenal sebagai kegiatan anjangsana (kegiatan
134

124

luar sekolah yang memerlukan waktu cukup lama untuk penyelesaiannya). Misalnya guru Agama
mengajar tentang agama sebagai pembawa rahmat kehidupan (rahmatan lil alamin), maka guru itu
tidak bisa berceramah, dia harus meminta muridnya mengamati tetangganya yang petani : panen 30
kuintal beras (3 ton beras), kalau harga gabah itu Rp.6.000 per kg, maka petani itu akan mendapat
Rp 18 juta per panen atau Rp 18 juta per 4 bulan. Berarti pendapatannya sebulan hanya Rp. 4,5 juta,
kalau dikurangi ongkos produksi (beli benih, beli pupuk, beli insektisida, dll), barangkali
pendapatannya hanya sekitar Rp. 1,5 juta per bulan atau Rp 50.000 per hari. Kalau petani itu
mempunyai dua anak yang masih sekolah, bagaimana mencukupkan uang itu untuk uang transport
dua anaknya ke sekolah, uang belanja bagi istrinya dan uang untuk kebutuhan pribadi sang petani
sendiri (beli solar untuk mesin bajaknya dll), lalu siswa diajak merenung : kalau begitu, siapa yang
masih mau jadi petani? Untuk memahami kenapa terjadi urbanisasi, tidak bisa dengan sekali atau
dua kali pengamatan, tapi perlu waktu yang cukup lama : sementara sang suami mengadu nasib ke
kota, bagaimana si istri bisa bertahan hidup ?. Maka kesadaran siswa untuk selalu bersandar pada
kerahiman Ilahi, tidak bisa hanya diperoleh melalui kegiatan kognitif pembelajaran Agama di kelas.
(bukan dengan memaksakan masuknya KI 1 dan KI 2 di semua mata pelajaran). Justru
kegiatan anjangsana yang penting untuk mengasah aspek afektif dan aspek kecakapan hidup siswa
ini yang malahan dihapus dalam KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013, sehingga kepekaan sosial siswa
tidak berkembang. Sudah jamak kita lihat, semua anggota keluarga duduk di ruang TV, tapi masingmasing sibuk dengan gawainya (gadget-nya), tidak mengobrol dan tidak juga menonton TV, padahal
mereka duduk bersama. Bagaimana kepekaan sosial mau dikembangkan bila kemampuan untuk
berkomunikasi menurun drastis.

Disinilah terlihat pentingnya kurikulum yang kontekstual

sebagaimana dituntut dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 14 PP No. 19 Tahun 2005.
Penghapusan mata pelajaran IPA di jenjang awal dan TIK pada semua jenjang di Kurikulum 2013
menunjukkan bahwa pemerintah tidak peka pada perkembangan sains dan iptek yang begitu pesat,
yang bisa menyebabkan negeri ini terjajah secara ekonomi dan tergantung secara teknologi dari
negara lain.
Maka dari itu, kompetensi etis menjadi jauh lebih penting dari kompetensi inti 1 (KI-1)100.

100

Kecenderungan yang cukup luas untuk menaruh perhatian terlalu berat kepada kebudayaan sebagai sistem nilai
membuat kita cenderung tergesa-gesa mengambil sikap normatif. Bahaya dari pendekatan ini adalah kita
mendepolitisasikan masalah-masalah sosial-ekonomi dan politik dengan mengajukan solusi moral. Seolah-olah
kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan peradaban dapat selesai apabila kita melekatkan aneka kecakapan yang
sedang kita pelajari ke kesalehan. Seolah-olah kekerasan remaja hanya perkara moral yang lemah. Korupsi yang ganas
di negeri ini adalah salah satu bukti nyata bahwa tidak selalu ada kaitan langsung antara moralitas dan kesalehan. Lagak
moralis dan saleh tidak akan menjadikan kita bangsa bermoral. Dengan ngeri kita menyaksikan bagaimana orang
menyerang, menindas dan membunuh atas nama kesalehan yang terkunci dalam bingkai penafsiran sempit. (Pidato

Kebudayaan Dr Karlina Supeli : Kebudayaan dan Kegagapan Kita, TIM, 11 November 2013)

135

125

Kompetensi etis itu mencakup :


-

Compassion (kemampuan berbela rasa) Berempati dan membela mereka yang


termarginalkan, tersingkir dan tertindas. Bila kemampuan bela rasa ini dikembangkan, tidak
akan ada lagi perundungan (bullying) atau memusuhi mereka yang berbeda pendapat

Kemampuan bekerja sama : masalah dalam dunia modern ini sangat kompleks dan tidak
mungkin dapat dipecahkan sendiri. Jika tidak cekatan, kesempatan akan hilang di tengah
dunia yang lari tunggang langgang. 101

Dalam

konteks

inilah,

pendidikan

dapat

berfungsi

membebaskan,

mencerahkan

dan

menginternalisasikan nilai-nilai. Pengukuran kompetensi etis ini dalam PBK (penilaian berbasis
kelas) juga jauh lebih mudah dari KI-1 karena kompetensi etis ini sudah dirumuskan pada 18 Nilai
dalam Pendidikan Karakter
Jadi tugas pokok pendidikan dalam kaitan dengan kompetensi adalah menciptakan
siswa yang mampu berpikir kritis. Untuk itu, sekolah membentuk dalam diri siswa disiplin
dan keteraturan pikiran. Dengan demikian, kurikulum adalah sarana untuk memperkembangkan
dan memperdalam ilmu-ilmu sehingga dunia siswa menjadi semakin diperluas. Dalam arti ini, pada
tempatnya kalau kurikulum sekolah bicara tentang pentingnya studium generale, yaitu pengajaran
ilmu-ilmu dasar. Tanpa pemahaman ini, ada bahaya bahwa siswa yang menguasai bidangnya dan
mampu mengerti bidangnya (seturut nomenklatur kecerdasan dalam multiple intelligence), tetapi
tidak tahu menempatkan dirinya dalam konstelasi dunia yang utuh. Misalnya, Mayjen (Purn)
Bardosono, selaku Ketua PSSI di era Ore Baru, pernah mewacanakan adanya sepak bola Pancasila.
Atau mantan Mendikbud, Prof. Dr.Yahya Muhaimin, dengan disertasi yang berjudul Bisnis dan
Politik di Indonesia yang dipertahankan di MIT, ternyata ketahuan menyontek disertasi Dr Richard
Robinson : Capitalism and Bureaucratic State in Indonesia, kasus plagiarism ini sudah
dipublikasikan dalam buku Plagiat-plagiat di MIT, Tragedi Akademis di Indonesia, yang ditulis
oleh Dr. Ismet Fanany, diterbitkan oleh CV Haji Mas Agung, Jakarta, 1992, dengan ISBN : 979412-205-X. Di bagian inilah, kompetensi etis mempunyai peran vitalnya.
Produk pendidikan yang kurang memperhatikan segi mutu ilmiah intelektual akan membahayakan
konstelasi sosial yang ada, sebab masyarakat menjadi semu dengan orang-orang yang berijazah,
tetapi tidak berilmu. Sebuah bangsa yang warganya telah kehilangan daya berpikir abstrakimajinatif dan kreatif tidak mungkin memiliki imajinasi kolektif tentang negara-bangsa.

101

Kaum Cerdik Pandai, Antara Ilmu dan Ngelmu, Kompas, Senin 14 Juli 2008 halaman 1
136

126

Jadi kurikulum seyogyanya mengembangkan analisis esensi materi, yaitu bagian tentang
bagaimana kemampuan akademik itu diperoleh, apa syarat-syarat dan bukti-bukti kelulusannya,
sehingga penerapan ilmu itu dapat dibenarkan dan dipertanggung jawabkan. Maka Kemdikbud tidak
bisa menghapus Ilmu Ukur Ruang (Stereometri) dari Matematika, karena konsekuensi lanjutannya
adalah menghapus Ilmu Bumi Falak (astronomi). Ilmu Bumi Falak (astronomi) tidak bisa dipelajari
tanpa mengerti dimensi ruang suatu benda. Begitu juga dengan penghapusan Kimia Analitik, yang
menyebabkan fungsi kimia dalam menganalisa komposisi suatu benda/zat menjadi hilang, akibatnya
kemasan makanan/obat yang mencantumkan komponen kimiawinya menjadi sekedar pemanis etiket
atau brosur. Dihilangkannya Ilmu Pesawat dari Fisika, yang menyebabkan siswa sukar mengerti apa
beda gaya dan daya, apa kaitan gerak balistik dan gerak rotasi bumi, dll. Fisika menjadi
sekumpulan rumus-rumus yang perlu dihafal sampai muncul buku Kumpulan Rumus-rumus
Fisika. Adanya lompatan logika dalam Biologi pada Kurikulum 2013, yang menyebabkan rantai
makanan sukar dipahami keterkaitannya dengan perubahan iklim (climate change) dll. yang hanya
menjadikan sains nir makna. Misalnya, penghapusan Kimia Analitik dari silabus Kimia akan
menjadikan Kimia eksperimental itu menjadi Kimia sastra, karena siswa tidak lagi bisa menentukan
kadar suatu zat (kadar perak dalam cincin emas yang dikenal sebagai karat akan dihafal). Tanpa
belajar Ilmu Pesawat, siswa akan bingung kenapa kalau dia berdiri di rel kereta, suara kereta yang
akan lewat tidak terdengar, sehingga dia bisa tertabrak kereta, Fisika hanya menjadi kumpulan dalil
dan aksioma.
Dalam kaitan dengan kompetensi ini, Indonesia mempunyai sejarah gemilang pada aplikasi
Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, dan Kurikulum 1984, serta awal Kurikulum 1994, ketika
kurikulum kita menjadi rujukan bagi negara lain karena menjunjung tinggi kebebasan mimbar
akademik (seperti yang sekarang berlaku bagi dunia perguruan tinggi), dan ijazah kita diakui di luar
negeri karena kompetensi para guru kita juga memenuhi kualifikasi akademik yang mumpuni
sehingga diminta melalui perjanjian G to G untuk mengajar di negara lain.
Semuanya merosot sejak pemerintah mengupayakan :
-

Penyederhaan waktu tempuh studi di FKIP/IKIP, dari 5 tahun menjadi 4 tahun, yang
kemudian dilanjutkan dengan pembubaran IKIP di seluruh Indonesia
Beberapa mata kuliah penting ikut dihapus : Filsafat Pendidikan, Manajemen Berbasis Kelas,
Praktek Mengajar dan penyederhaan praktikum (dari praktikum perorangan menjadi
praktikum beregu, dari praktikum seminggu sekali menjadi praktikum dua minggu sekali)
Sementara profesi lain menambah rentang studinya, calon guru justru studinya
diperpendek. S.Ked (Sarjana Kedokteran) tidak bisa serta merta menangani pasien, dia
137

127

harus menempuh pendidikan lagi untuk dapat dilantik sebagai dokter. SH (sarjana hukum)
tidak bisa langsung berdiri membela terdakwa di pengadilan, dia harus menempuh pendidikan
lanjutan untuk dapat menjadi advokat (pengacara). Tapi anehnya pendidikan untuk calon
guru yang akan mempengaruhi masa depan bangsa justru diperpendek dan IKIP justru
dibubarkan.

Para instruktur yang hanya mendengar pelatihan selama 2 atau 3 hari,

sekonyong-konyong merasa mampu untuk mencampuri tupoksi dari LPMP dan mengubah
kebebasan prinsip otonomi pendidikan menjadi hegemonik.
Terjadi pendangkalan (cult of philistinism) dalam bidang didaktik dan pedagogik.
-

Perubahan dari SMP menjadi SLTP, dan SMA menjadi SMU yang membawa konsekuensi
ciri khas sekolah menjadi hilang, karena sifatnya yang umum, semuanya serba sama, baik
dalam seragam sekolah maupun dalam proses pembelajaran di kelas

Pemberlakuan kurikulum tunggal dan seragam di tingkat nasional mengabaikan tumbuhnya


kebebasan mimbar akademik 102 Bukan hanya implementasi kurikulumnya sama (Silabusnya
seragam, dan juga buku ajar/materi/sumber belajar, serta proses pembelajaran dibuat uniform
(buku pegangan guru, bahkan sampai ke metode pengajaran semuanya sama), lengkap dengan
pengawasan tahapan implementasi itu oleh Pengawas (lihat Catatan kaki No.4)

Penghapusan Direktorat Pendidikan Swasta sehingga anggaran pemerintah membengkak


(mengurus guru PNS yang diperbantukan ke sekolah swasta, dan dana BOS untuk sekolah
swasta, padahal sebelumnya sekolah swasta itu swadana dan swakelola, tidak membebani
pemerintah, bahkan menjadi pembayar pajak yang kontinu). Akibatnya pemerintah terbebani
pula dengan urusan administratif karena jumlah guru di sekolah swasta itu jauh lebih besar
dari guru PNS. Oleh karenanya pemerintah sibuk dengan urusan administratif (Dapodik,
Padamu Negeri) sehingga tidak sempat memikirkan dan menyusun SPM dan MBS
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas (SPM yang sudah disusun
hanya menyangkut persyaratan minimal kelengkapan sarana dan prasarana sekolah)103
Apalagi mengembangkan kurikulum, kurikulum kita justru makin miskin, baik dari segi
materi pelajaran, maupun dari didaktik-metodik (banyak guru tidak lagi tahu beda antara
metode, strategi dan model pembelajaran dan kapan masing-masing hal itu boleh diterapkan)
Hal ini makin dipersempit melalui penerapan metode tunggal : metode pendekatan saintifik
(5 M) pada Kurikulum 2013, padahal masih ada begitu banyak metode, strategi dan model
pembelajaran dengan kegunaan yang bervariasi.

Kewajiban pemerintah sudah digariskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas : hanya sebatas menentukan Kerangka
Dasar dan Struktur Kurikulum, seperti pada kurikulum-kurikulum sebelumnya
103
SPM yang top down hanya berisi persyaratan minimal kelengkapan proses belajar-mengajar : Permendikbud No.
23 Tahun 2013
102

138

128

KTSP Bimtek (2008) dan Kurikulum 2013 terlalu bertumpu pada pengembangan otak
kiri. KTSP Bimtek (2008) bertumpu pada ketuntasan kognisi yang diukur dari ketercapaian
KKM, sedangkan Kurikulum 2013 bertolak dari pengembangan kecerdasan intelektual dan
kecemerlangan akademik (Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II A
No. 3). Padahal Kurikulum 1975 sudah memasukkan penyeimbangan otak kanan dan otak
kiri (lihat kajian sejarah pendidikan Indonesia di Bab II Pendidikan vs Persekolahan).
Akibatnya pemahaman guru dan siswa dalam estetika menjadi minim. Susunan dan suasana
kelas nyaris sama di seluruh Indonesia, dinding kosong dan lingkungan yang kering.

Dari diagram di atas, nampak jelas bahwa Kemdikbud terlalu fokus berpijak pada otak kanan
(penyatuan kurikulum, intuisi untuk bersandar pada KBK dan bukan inspirasi yang mengacu
pada Nawa Cita No.5, imajinasi untuk peningkatan kompetensi siswa dan bukan pada analisa
hasil UKG dan analisa hasil uji kompetensi Pengawas, dll), padahal Kurikulum 2013 berpijak
pada otak kiri (Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II A No.3 : pendidikan
ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik)
Hasilnya adalah kebingungan :
* Membedakan makna harafiah kurikulum dengan makna didaktis pedagogis kurikulum
*Rumusan kompetensi dan tingkat kompetensi, kompetensi generik dengan KI dan
kompetensi spesifik dengan KD itu rancu
*SOLO Taxonomy tidak disertai dengan penilaian rubrik, tetapi tetap memakai Soal Pilihan
Ganda
*Sistim evaluasi berkali-kali diubah, tanpa menyertakan monitoring proses belajar
-

Desentralisasi pendidikan yang menyebabkan pemerintah pusat cq Kemdikbud tidak punya


tangan lagi ke Dinas Pendidikan Propinsi (yang merupakan aparat Gubernur) dan Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota yang merupakan aparat Bupati/Walikota). Akibat kebijakan
yang berbeda-beda yang diambil masing-masing daerah, pendidikan menjadi subordinasi
139

129

kepentingan politik penguasa di daerah, yang perlu dimobilisir saat Pilkada, maka
kemerosotan pendidikan makin menurun tajam (lihat hasil survey berbagai lembaga
internasional tentang kualitas pendidikan kita pada bagian akhir dari Bab Pendahuluan)
Nampaknya pemerintah ingin menyentralisasi kembali dunia pendidikan ini melalui :
o pemberlakuan kurikulum tunggal dan seragam di tingkat nasional, mengabaikan azas
diversifikasi kurikulum
o pembentukan Ditjen Pendidik dan Tenaga Kependidikan, tanpa merevisi UU otonomi
Daerah, padahal para guru ada dibawah kendali BKD (Badan Kepegawaian Daerah)
cq Bupati/Walikota
Maka untuk meningkatkan kompetensi pengawas, guru dan siswa, yang pertama-tama harus
dilakukan adalah mengkaji ulang sejarah pendidikan kita. Dengan demikian, kita bukan saja akan
mendapat gambaran degradasi kurikulum kita dari waktu ke waktu, namun juga akan melihat tidak
adanya road map apa yang hendak kita kejar dengan anggaran 20% dari APBN itu, dan efek jangka
panjang dari suatu keputusan sesaat (pembubaran IKIP dan penghapusan program Akta IV (diganti
dengan Diklat sertifikasi (3 hari) yang hanya menyuburkan semangat konsumerisme dan konsumtif
para guru). Kemdikbud yang digembar-gemborkan telah membuat road map pendidikan Indonesia
untuk mengantisipasi bonus demografi melalui RPJM, ternyata tidak menjawab tantangan yang
paling mendasar yaitu banyaknya materi uji yang ditanyakan dalam TIMSS dan PISA yang tidak
terdapat dalam kurikulum Indonesia 104 (lihat hasil survey berbagai lembaga internasional tentang
makin merosotnya kualitas pendidikan kita sampai ke titik nadir, di bagian akhir Bab Pendahuluan)
Kita semua sadar bahwa pendidikan adalah kunci penting untuk peningkatan harkat dan
martabat bangsa, namun mengapa kita terus terpuruk, juga dalam masalah moral dan etika. Kuncinya
adalah : kita tidak membangun masyarakat pembelajar.
Ketika Peter Senge (1990) mengeluarkan bukunya Fifth Dicipline banyak orang terhenyak dan
menyadari betapa mereka hanya berkonsentrasi pada upaya mengajar tetapi tidak berfokus pada
pembelajaran. Kitapun terhenyak bila melihat bahwa pembelajaran yang kita hasilkan sesudah
merdeka ini kalah oleh negara tetangga yang pernah mengimpor guru dan dosen dari Indonesia. Kita
sangat menyadari bahwa sebenarnya pembelajaran, yang tidak selamanya merupakan hasil dari
sekolah dan universitas, banyak gagal ketika kita tahu bahwa mayoritas penduduk masih mau
menelan nilai-nilai yang tidak produktif dan positif, serta awareness yang kurang terhadap
kemanusiaan, lingkungan, moral dan etika yang pada akhirnya membawa perlambatan

Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal, yang diulang pada
Lampiran Permendikbud No. 68 Tahun 2013 dan Lampiran Permendikbud No. 69 Tahun 2013

104

140

130

pembelajaran, kalau tidak sampai pada pembodohan . Misalnya semua orang sibuk berbelanja
gadget (gawai) meskipun tidak menguasai teknologinya. Bagaimana ekonomi Indonesia akan
membaik kalau penduduk suka berbelanja (kurang menabung) sehingga korupsi meraja lela karena
orang sibuk menutupi besar pasak dari tiang. Bagaimana moral dan etika dapat dibangun bila para
anggota keluarga sibuk bermain gadget meskipun duduk bersama (tidak ada komunikasi meskipun
duduk berhadapan)? Pembaruan harus dimulai dari jenjang pendidikan dasar, celakanya justru di
pendidikan dasar, pemerintah merusak system of knowledge dari IPA dan Komputasi (TIK).
Menurut Francis Fukuyama, kalau mau bersaing secara global, sekolah harus mempunyai
keunikan tersendiri (harus bisa menunjukkan keunggulannya dibandingkan dengan sekolahsekolah internasional yang makin menjamur) Banyak sekolah yang berkilah bahwa keunggulannya
adalah dalam terapan aspek humaniora (disiplin, kejujuran, empati pada kelompok yang kurang
beruntung, dll) namun masalahnya semua hal itu tidak terukur sehingga hanya berhenti sebagai
slogan. Misalnya suatu sekolah menunjung tinggi nilai kejujuran tapi nyatanya kantinnya tetap dijaga
(tidak ada kantin kejujuran) atau ulangan tetap dijaga. Dengan kata lain, pendidikan karakter di
sekolah-sekolah tidak terintegrasi dalam program penilaian hasil belajar sehingga tidak sejalan
dengan ketentuan dalam Lampiran 1 (untuk SD), Lampiran 2 (untuk SMP) dan Lampiran 3 (untuk
SMA/SMK) dari Permendiknas No.23 Tahun 2006, serta Pasal 3 ayat 2 Permendiknas No. 39
Tahun 2008 yang meminta sekolah memformulasikan pendidikan karakter itu secara
kuantitatif (terukur).

Yang muncul kemudian adalah tempelan Pendidikan karakter dalam

kurikulum melalui Permendikbud No. 23 Tahun 2015 (Kompas, Kamis 23 Juli 2013 halaman 12 :
Budi Pekerti Nilai Ditempelkan Tanpa Rasionalitas).

Akibat permendikbud ini yang

mewajibkan para orang tua untuk mengantar anaknya sampai ke ruang kelas, maka pada hari pertama
masuk sekolah tanggal 27 Juli 2015 yang lalu, di sejumlah tempat, orang tua berebutan bangku untuk
anak-anaknya. Mereka menduduki bangku di kelas terlebih dahulu, seperti para calo di gerbong
kereta jaman dulu. Itulah pelajaran budi pekerti pertama untuk anak-anak : saling serobot (Kompas,
Minggu 2 Agustus 2015 halaman 13 : Udar Rasa Akal Sehat)
Pendidikan karakter ini bukan penilaian sesaat sehingga tidak tergolong dalam evaluasi hasil
belajar. Tapi pendidikan karakter ini harus selalu dimonitor terus menerus sehingga termasuk dalam
proses monitoring proses belajar yang berwujud pada PBK (Penilaian Berbasis Kelas). Karena
pendidikan karakter itu tergolong dalam penilaian proses, maka penilaiannya tidak bisa diterabas,
penilaian itu bukan ilusi (bahwa anak yang pandai itu sekaligus diharapkan akan menjadi anak yang
saleh.

Belum tentu. Ada proses yang harus dilalui).

Dunia entertainment memberi andil,

bagaimana ilusi menjadi imajinasi. Di televisi, orang tua mendorong anak-anaknya untuk jadi
penyanyi, penari, pelawak, dan lain-lain pelaku dunia hiburan. Realitas gadungan dunia
141

131

entertainment telah membuat ilusi melampaui kenyataan sehari-hari, melampaui kesadaran bahwa
sejatinya ada yang tak bisa ditinggalkan dalam penjadian seseorang, yakni proses. (Kompas,
Minggu 2 Agustus 2015 halaman 13 : Udar Rasa Akal Sehat).
Masalahnya banyak guru tidak familiar dengan PBK (rapor lembar kedua pada rapor
Kurikulum 2013) sehingga penilaian pendidikan karakter ini dilakukan secara manual dan subyektif
(tidak computerized), oleh karenanya kompetensi siswa hanya diukur melalui capaian pemahaman
kognitif melalui nilai ulangan (UH, UTS dan UAS), serta capaian nilai ketrampilan/psikomotor (nilai
tugas : nilai proyek dan nilai praktek) saja, nilai afektif (pendidikan karakter) itu dikarang.
Pendidikan holistik dan penilaian pendidikan holistik masih belum terumuskan dengan baik dan
terukur. Kenapa ? Karena Indikator Keberhasilan belum terumuskan dengan baik. Indikator
Keberhasilan itu seharusnya ada di Silabus, sedangkan Silabus dalam Kurikulum 2013 sudah dibuat
oleh pemerintah cq Kemdikbud. Celakanya dalam Silabus yang dibuat oleh pemerintah itu tidak
mencantumkan adanya Indikator Keberhasilan sehingga Silabusnya tidak berbeda dengan Silabus
KBK (2004). Lalu selama bertahun-tahun setelah KBK (2004), dalam Kurikulum 2006 dan KTSP
Bimtek(2008), para guru diwajibkan untuk mengembangkan Silabus sesuai tuntutan Standar Proses
dalam Kurikulum 2006, dan KTSP Bimtek (2008). Semuanya hilang dalam Kurikulum 2013, seolaholah sesuatu yang baru. Apa akibatnya? Karena Indikator keberhasilan terkait dengan perumusan
materi uji (soal test), maka soal test dalam Kurikulum 2013 menjadi tak terkait dengan target
kurikulum, sehingga program penilaiannya membingungkan (Program penilaian dalam Kurikulum
2013 ini berkali-kali diubah : lihat Permendikbud No.66 Tahun 2013, lalu Lampiran IV
Permendikbud No.81 A Tahun 2013, dan terakhir Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen
Dikmen No.5496/C/KR/2014 dan No.7915/D/KP/2014 yang secara matematis kesemuanya salah)
Dengan kata lain, Kurikulum 2013 mencampur adukkan proses belajar dan evaluasi hasil belajar.
Misalnya : Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas X SMA
SK 1 : Memahami yang tersirat dari siaran/cerita yg disampaikan langsung/tidak langsung 105
KD 1.1 : Siswa dapat menyusun kronik 106
Indikator 1.1.1.: Siswa dapat menyusun buku harian (diary) secara runtut
Indikator Keberhasilan 1.1.1. : Siswa dapat membuat jadwal kegiatan yang rinci sepanjang
hari selama 1 minggu dan menceritakan secara ringkas apa yang sudah dilakukan
Tugas praktek : Membuat resume (misalnya membuat ringkasan setelah membaca buku
harian Raditya Dika : Kambing Jantan, yang sudah diterbitkan Gramedia dan sudah

Perumusan SK mengacu pada Kurikulum 2006 dan bagaimana merumuskan SK yang terdiri atas penggabungan
kata kunci KI pada Kurikulum 2013 dan SK pada Kurikulum 2006, dapat dilihat di Bab I : Filosofi Pendidikan
106
KD yang hilang dari kurikulum (lihat caranya mencari KD yang hilang tersebut dalam Bab I : Filosofi Pendidikan)
105

142

132

dibuat filmnya)
Tugas Proyek : Membaca buku harian yang paling terkenal di dunia : The Diary of Young
Girl oleh Anne Frank, yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan
judul Buku Harian Anne Frank, filmnya juga bisa dilihat di YouTube, lalu
menceritakannya kembali secara singkat sehingga teman-temannya yang belum sempat
membacanya mendapat gambaran bahwa disamping menyimpan heroisme, perang juga
selalu menyisakan kepedihan.
Dengan demikian, setelah 1 minggu, siswa dapat membedakan apa itu kronik (chronicle), kronologi
dan grafis informasi (infografis) siswa dapat melanjutkan ke KD berikutnya karena telah menguasai
KD 1.1. : siswa telah kompeten (kompetensi siswa terukur) karena telah melewati proses untuk
memahami apa yang tersirat (bukan hanya yang tersurat).
Kompetensi siswa dapat diukur kalau silabus dikembalikan ke wewenang guru sebagaimana
disebut dalam Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005. Selama silabus dibuat oleh pemerintah seperti pada
Kurikulum 2013, selama itu pula pengukuran kompetensi siswa akan selalu kacau, karena rangkaian
logikanya terputus, bahkan besar kemungkinan, para guru tidak bisa membedakan makna harafiah
kurikulum dengan makna didaktis-paedagogis kurikulum, serta tidak bisa lagi membedakan
kompetensi dan tingkat kompetensi, yang sudah diuraikan secara panjang lebar di Bab I Filosofi
Pendidikan.
Jadi kompetensi (kemampuan) inti yang harus dikuasai siswa :
-

bukan berupa KI 1 (sikap spiritual), KI 2 (sikap sosial), KI 3 (pengetahuan) dan KI 4


(ketrampilan) yang tidak koheren dengan rumusan KD-nya

tetapi berupa 6 kompetensi) inti yaitu : berpikir kritis dan solutif


kolaborasi dan komunikasi
kreatif dan imajinatif
menjadi warga negara yang baik
literasi digital
kemampuan memimpin

namun keenam kompetensi (kemampuan) ini kerap luput dalam pembahasan Kurikulum 2013
Ada kecemasan, bila guru kreatif mengembangkan metode pembelajaran, akan dinilai tidak sesuai
standar oleh pihak yang lebih tinggi (Pengawas dan Dinas Pendidikan). Dampaknya, murid tidak
mampu berinovasi. (Gumawang Jati, ITB, dalam lokakarya Core Skill yang diselenggarakan oleh
GESS Indonesia (Global Education Service and Solution ) pada hari Jumat 2 Oktober 2015 yang lalu.
Bahaya serius yang lain adalah sikap menutup diri dari sekolah swasta yang berciri khas
keagamaan, setelah kompetensi siswanya menurun. Mereka berkilah, perguruan swasta yang berciri
143

133

khas keagamaan itu lebih menitik beratkan pada pendidikan humaniora. Lagak sok moralis ini hanya
menunjukkan kegagapan sekolah swasta dalam menghadapi perubahan (Catatan kaki No.92+ No.100
Hal ini mengingkari :
1. Hakekat sekolah swasta yang berciri khas keagamaan, yang berazaskan pendidikan berbasis
masyarakat, dengan dasar hukum Pasal 1 ayat 16 UU No.20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) :
Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan
kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan
pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat,

dan Pasal 55 ayat 1 UU Sisdiknas :

Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan


formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk
kepentingan masyarakat.
2. Dari rincian dasar hukum di atas, nampak jelas bahwa eksistensi sekolah swasta berciri khas
keagamaan itu adalah untuk masyarakat , bukan untuk kelangsungan eksistensi dirinya
sendiri. Lalu apa kepentingan masyarakat? Memperoleh pendidikan yang bermutu, yang
kualitasnya dijamin oleh negara, sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 11 : Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi
3. Dengan demikian, bila sekolah swasta yang berciri khas keagamaan mengingkari tanggung
jawabnya untuk memberikan layanan pendidikan yang bermutu, dan kemudian lebih
menekankan pada pendidikan humaniora, maka sekolah swasta yang berciri khas keagamaan
itu sebenarnya sudah bergeser jati dirinya dari lembaga pendidikan berbasis masyarakat
menjadi lembaga pendidikan keagamaan sesuai dengan ketentuan Pasal 30 ayat 2 UU
Sisdiknas : Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya. Sebagai
konsekuensi dari perubahan orientasi pendidikan ini, dari sekolah swasta yang bermutu
menjadi sekolah swasta berbasis humaniora (nilai-nilai luhur agama dan kemanusiaan),
maka sekolah swasta yang berciri khas keagamaan itu bisa ditinggalkan oleh konsumennya,
yang menuntut pendidikan yang bermutu sesuai dengan sejumlah uang yang dibayarkannya.
Sekolah swasta tidak boleh bermain-main dengan visi dan misinya (untuk turut serta
mencerdaskan kehidupan bangsa), sehingga dapat mempertanggung jawabkan dana BOS dan
tunjangan sertifikasi guru yang telah diterimanya, yang nota bene merupakan uang rakyat.
Pengembangan inovasi adalah salah satu prasyarat untuk dapat memanfaatkan bonus demografi yang
akan terjadi antara tahun 2010 dan 2030, ketika penduduk usia produktif merupakan proporsi

144

134

terbanyak dari populasi Indonesia. Prasyarat lainnya adalah memperbaiki kualitas pendidikan
melalui peningkatan kompetensi generasi muda sesuai dengan Nawa Cita No.5
Untuk memperbaiki fondasi ekonomi, Jokowi mencanangkan 16 komitmen ekonomi dalam
Nawacita.

Salah satunya adalah peningkatan kualitas SDM dengan pendidikan 12 tahun.

Pertanyaannya, apakah kita mampu menjalankan 15 komitmen ekonomi dengan pendidikan hanya
12 tahun? Bagaimana mungkin kita menargetkan pendidikan hanya sampai 12 tahun, sementara
fakta menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara penduduk yang pendidikannya kurang maju
dengan kemampuan berinovasi.

Tak mungkin kita bisa meraih bonus demografi dengan hanya

mengandalkan pendidikan 12 tahun. Perlu ada program ekstra mengingat kondisi faktual SDM kita.
Sampai Sensus tahun 2010, hampir 70 persen penduduk berpendidikan SMP kebawah, yang
berpendidikan SLTA tidak sampai 30 persen.

Selain kualitas SDM yang rendah, komitmen

pemerintah dalam mendorong kemampuan penduduk untuk berinovasi juga rendah. Terlihat dari
nilai investasi Indonesia di bidang penelitian yang hanya 0,08 persen dari PDB, sementara Korea
Selatan, investasinya hampir 4 persen.
Pada akhirnya, yang bisa dilakukan Indonesia dalam kondisi sekarang adalah memperkuat
kelemahan modal manusia dengan bertumpu pada peningkatan ketrampilan dan kompetensi
penduduk pada umumnya. Salah satu upayanya adalah memperluas pendidikan yang menghasilkan
tenaga kerja trampil melalui program diploma (D-3) dan S-1, serta secara selektif mengembangkan
pendidikan tinggi. Ada banyak potensi dan nilai strategis Indonesia, ia tidak menjadi apa-apa
bila tidak dikelola oleh mereka yang kompeten. (Kompas, Selasa 6 Oktober 2015, halaman 7 :
Menimbang Masa Depan).
Justru dalam rumusan kompetensi inilah titik lemah dari Kurikulum 2013.

Rumusan

Kompetensi Inti tidak memenuhi kriteria pengembangan daya saing siswa sebagaimana sudah
dirumuskan guru besar Harvard, Tony Wagner : From The Global Achievement Gap: Why Even Our
Best Schools Dont Teach The New Survival Skills Our Children NeedAnd What We Can Do About
It (Basic Books, 2008) dan tidak memenuhi kriteria GESS (Global Education Service and Solution)
sebagaimana sudah diuraikan di atas.
Dengan kata lain, pemaksaan penerapan Kurikulum 2013 saat ini sungguh-sungguh tidak sejalan
dengan Nawa Cita No.8 : akan menata kembali kurikulum pendidikan nasional dengan
mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan Ada bahaya, kegagalan revolusi mental
bisa ditimpakan ke jajaran Kemdikbud, karena Kemdikbud hanya sibuk dengan visi dan misinya
sendiri (terus memaksakan penerapan barang basi (Kurikulum 2013 yang sebenarnya berbasis KBK)
bikinan rezim yang lama, dan abai pada visi Presiden (Nawa Cita), lupa pada Pidato Presiden saat
pelantikan para menteri Kabinet Kerja tanggal 27 Oktober 2014 : Para menteri mesti mengutamakan
145

135

visi dan misi Presiden, bukan menjalankan visi dan misi kementeriannya sendiri Jadi, penataan
kembali kurikulum pendidikan nasional mutlak harus dilakukan (lihat Nawa Cita No.8)
Kenapa kompetensi dan tingkat kompetensi ini kurang diperhatikan oleh Puskurbuk
Kemdikbud?

Karena suburnya kelompok pseudo nalar (iklim akademik semu yang memuja

formalisme gelar) dalam jajaran Kemdikbud yang pelan-pelan mengubah lembaga pendidikan
(sekolah) menjadi tempat pemujaan gelar akademik. Semua guru memang sudah bergelar sarjana,
tapi dibina untuk menjadi sekedar robot (guru hanya tinggal menyusun RPP saja, lupa pada Pasal 77
M PP No.32 Tahun 2013) Sekolah hanya disibukkan dengan pengisian Dapodik dan mengejar
tunjangan sertifikasi yang tak terkait dengan kompetensi atau kinerja guru, tapi sangat terkait dengan
ijazah atau gelar akademik yang didapat. Guru yang berpengalaman menyusun kurikulum dan
mengajar selama puluhan tahun dikalahkan oleh sekelompok orang muda yang merasa berkompeten
menjadi instruktur, meskipun mereka tidak pernah berinter aksi di ruang-ruang kelas pendidikan
dasar dan menengah (hanya sekedar mengajar di perguruan tinggi dan tidak menulis di jurnal-jurnal
ilmiah internasional). Para empu kesenian dan sosiologi yang tak bergelar dianggap tidak layak
berbagi ilmu (mengajar). Dilain pihak, para ahli di jajaran birokrasi Kemdikbud, bukannya sibuk
dengan riset dan terbuka pada pengetahuan baru, pada ciptaan akal budi yang mencerahkan agar
generasi muda kita dapat menghadapi MEA 2015 dan APEC 2020, tapi malah sibuk dengan masalah
administrasi dengan pendekatan kekuasaan. Lihatlah narasi Direktur Pusat Pengembangan dan
Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan IPA, Kemdikbud, Sudiono, yang meminta guru
tak mengkhawatirkan perolehan nilai dalam Uji Kompetensi Guru.

Hasil UKG tidak akan

mempengaruhi apapun kecuali menjadi dasar pemberian program pengembangan kompetensi


(Kompas, Rabu 11 November 2015 halaman 11)
-

Terminologi uji dan uji kompetensi sudah kehilangan maknanya. Terjadi pemujaan pada
pendangkalan (cult of philistinism) secara masif dan terstruktur

Hasil UKG hanya akan menelurkan proyek baru yaitu diklat baru, lalu diklat yang sudah
diselenggarakan saat sertifikasi guru dulu itu untuk apa?

Kita hanya menghargai gelar, bukan isi kepala. Memang semua guru sudah bergelar S-1 tapi
tidak ada tuntutan apapun dari Kemdikbud agar para guru itu lolos UKG

Kita menutup mata pada hasil implementasi Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013 (guru hanya tinggal
menyusun RPP) yang tercermin pada hasil UKG 2015 yang kesulitan dijawab guru. Kalau gurunya
tidak kompeten, bagaimana dengan murid-muridnya yang harus menghadapi MEA 2015 dan APEC
2020?

Produk pendidikan yang kurang memperhatikan segi mutu ilmiah intelektual akan

membahayakan konstelasi sosial yang ada, sebab masyarakat menjadi semu dengan orang-orang
yang berijazah, tetapi tidak berilmu
146

136

BAB V
Kompetensi vs Penilaian
Banyak yang terkaget-kaget dengan perubahan baru dalam dunia pendidikan kita :
(1) Setiap anak SD harus naik kelas, bukan saja akibat penerapan Wajib Belajar, tapi yang lebih
penting adalah penerapan Multiple Intelligence sejak dini (Tidak ada anak yang bodoh atau
pintar, yang ada adalah anak yang menonjol dalam salah satu atau beberapa jenis kecerdasan).
Jadi anak hanya perlu mengulang (remedial) untuk mata pelajaran yang belum dikuasainya.
Bila ditambah dengan perubahan konversi nilai rapor menjadi IP, bukankah hal ini merupakan
cikal bakal dari penerapan SKS di SD ? (EDUCARE No.6/IV/2007 halaman 36-38 :
SEHABIS KTSP LALU APA? SKS!).
(2) Perubahan rumus KKM dengan dihapuskannya tes masuk ke SMP dan dibukanya penjurusan
sejak awal di SMA (Intake sekarang diambil dari rerata nilai ulangan pertama di kelas VII di
SMP atau kelas X di SMA). Lalu untuk mudahnya KKM ditetapkan melalui kesepakatan
Dewan Guru (tidak lagi dihitung berdasar ranah Indikator) sehingga KKM kehilangan
konteksnya dengan esensi materi.
Oleh sebab itu, sungguh menarik untuk membaca berita : Wapres, Perbaiki Kurikulum 2013
Kemdikbud dinilai Lamban Melatih Guru (Kompas, 24 Januari 2014 hal.12), dimana Wapres
mengakui, masih ada sejumlah persoalan dan kekurangan dalam Kurikulum 2013 ini, terutama terkait
penilaian guru terhadap peserta didik. Mencermati berita ini, nampak bahwa permasalahan
kurikulum dipersempit menjadi kekurang pahaman pada prosedur penilaian (evaluasi hasil belajar).
Kalau masalahnya hanya dilihat pada penguasaan metode evaluasi hasil belajar, maka ada tiga
kemungkinan yang terjadi : pedoman penilaian yang digariskan Kemdikbud itu salah secara
substansi, para penatar tidak tahu apa yang harus dinilai, atau para guru menerapkan paradigma
model penilaian lama dalam KTSP Bimtek (2008) untuk diterapkan pada sesuatu yang baru pada
Kurikulum 2013.
A. Pedoman Penilaian Salah Secara Substansi
Kalau kita menyimak halaman 38 Buku Pedoman Penilaian yang digariskan Balitbang
Kemdikbud atau Pedoman Penilaian yang dikeluarkan MKKS , atau rumus dari Puskurbuk
Balitbang Kemdikbud, ada 4 kesalahan mendasar :
1. Kesalahan pertama adalah pada konversi nilai : Konversi nilai dari 0-100 menjadi IP : 0-4
memunculkan masalah rumus konversi.
147

137

Pada Buku Pedoman Penilaian Balitbang Kemdikbud tertulis : Rumus konversi = Nilai/100
x 4 atau Nilai/25, dengan contoh Nilai : 80, IP-nya = 80/100 x 4 = 3,20 atau 80/25 = 3,20
dengan predikat B
Sedangkan dalam pedoman MKKS tertulis : Nilai 80, IP-nya = 3, tanpa menyertakan rumus konversi
(dengan asumsi IP : 2,66 setara capaian daya serap 71% atau KKM : 71 itu setara predikat C. Maka
asumsi kalau IP : 2,66 setara dengan daya serap 75% atau KKM-nya tetap 75 itu salah, karena berarti
nilai 80 IP : 3). Ada pula rumus yang diajukan oleh Puskurbuk Balitbang Kemdikbud yang
menyatakan bahwa guru tidak usah mengkonversi nilai, cukup membuat soal dengan jumlah
kelipatan 4, jadi kalau soal = 40, maka kalau siswa salah menjawab di 10 soal, nilainya: 3. Hal terbaru
adalah rumus yang diajukan oleh Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen melalui Peraturan Bersama
Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No. 5496/C/KR/2014 dan No.7915/D/KP/2014 dengan rumus : N
= n/4 x 10 (untuk angka satuan) dan N = n/4 x 100 (untuk angka puluhan)
Sudah tentu keempat pedoman di atas salah karena :
(a) kalau mengikuti rumus Balitbang Kemdikbud (hal.38 Buku Pedoman Penilaian) : bila Nilai
= 50, maka konversinya adalah 50/100 x 4 = 2 atau 50/25 = 2 dengan predikat C, artinya
siswa bisa langsung lolos tanpa perlu ikut program perbaikan (remedial), meskipun nilai 50
itu, jauh dibawah KKM (KKM menurut Kemdikbud/Dinas Pendidikan = 75).
Bila Kemdikbud berkilah bahwa batas lolos adalah B (bukan C), maka siswa akan merugi,
karena untuk lolos, siswa harus meraih IP : 2,67 (padahal secara internasional dan juga lazim
dipakai di perguruan tinggi, batas lolos adalah IP : 2, yang setara dengan KKM : 75)
(b) kalau mengikuti rumus dari MKKS : bila Nilai = 60, maka konversinya adalah 2,25 dengan
predikat C , artinya siswa bisa langsung lolos tanpa perlu ikut program perbaikan (remedial),
meskipun nilainya dibawah KKM (nilainya cuma 60) (KKM menurut MKKS adalah 75 atau
KKM asumsi yaitu 71). Logika yang sama dengan butir (a) di atas, MKKS berkilah bahwa
batas lolos adalah B (bukan C), maka siswa akan merugi, karena untuk lolos, siswa harus
meraih IP : 2,66 (padahal secara internasional dan juga dipakai di perguruan tinggi, batas
lolos adalah IP : 2, yang setara dengan KKM : 75)
Mari kita kaji lebih rinci : 2,66 atau lazimnya ditulis 2,67 ~ 75 %
3,00 ~ 80 %
3,33 ~ 85 %
3,67 ~ 90 %
4,00 ~ 95 %
?? ~ 100 %
148

138

(c) Sedangkan kalau mengikuti rumus Puskurbuk Balitbang Kemdikbud, maka siswa yang
menjawab salah di 20 nomer dari 40 nomer soal akan mendapat nilai 2 (lolos tanpa perlu
remedial). Padahal dimana-mana, kalau siswa salah 50% (nilainya hanya 50, adalah siswa
yang tidak mengerti, seharusnya tidak lolos (Nilai 50 : dibawah KKM yang digariskan sendiri
oleh Puskurbuk Balitbang Kemdikbud, yaitu : 75) Untuk lolos, sebenarnya kriterianya sudah
diturunkan, siswa hanya perlu menguasai 75% dari materi ajar. Dalam kurikulum lama
(Kurikulum 1968 dan Kurikulum 1975) dan juga dalam SKS, siswa seharusnya menguasai
100% bahan ajar/materi, baru bisa melanjutkan ke topik atau KD berikutnya. Jadi penguasaan
75% dari materi/bahan ajar itu sudah diturunkan dari standar Kurikulum 1968, Kurikulum
1975 dan SKS yang mensyaratkan penguasaan materi/bahan ajar 100% sebelum bisa
melanjutkan ke topik berikutnya.
(d) Kesalahan dari Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No. 5496/C/KR/2014
dan No.7915/D/KP/2014 dengan rumus : N = n/4 x 10 (untuk angka satuan) dan N = n/4 x
100 (untuk angka puluhan)
N = n/4 x 10

N x 4 = n x 10

N/10 x 4 = n ,rumus ini sama dengan IP = N/10 x 4

N = n/4 x 100

N x 4 = n x 100

N/100 x 4 = n,rumus ini sama dengan IP = N/100 x 4

Kesalahannya persis sama dengan butir (a) di atas


Kesalahan lebih mendasar terletak pada interpretasi tabel (siswa merugi)
Tabel 1 (untuk SD) : C : 51 64 dengan IP : 2,18 2,50
Interval C : 51 64 itu masih dibawah KKM : 75
Kalau digunakan KKM : 75 (interval nilai 65 86), maka IP : 2,85 3,17 (B)
Tabel 2 (untuk SMP) : C : 4,63 5,44 dengan IP : 1,85 2,17
Interval C : 4,63 5,44 itu masih dibawah KKM : 7,50
Kalau digunakan KKM : 7,50 (interval nilai 7,13 7,94), maka IP : 2,85 3,17 (B)
Tabel 3 (untuk SMA/SMK) : C : 47 55 dengan IP : 1,85 2,17
Interval C : 47 55 itu masih dibawah KKM : 75
Kalau digunakan KKM : 75 (interval nilai 70 77), maka IP : 2,85 3,17 (B)
Siswa merugi, untuk lolos, sesuai batas KKM, siswa harus mencapai IP yang tinggi (IP > 2)
padahal secara internasional dan juga lazim dipakai di perguruan tinggi, batas lolos adalah IP
= 2 dengan KKM =75 atau C (bukan IP = 2,85 atau B). Kalau tidak digunakan batas KKM,
interval nilai C-nya tidak memenuhi kaedah didaktik (nilainya < 60)
149

139

2. Kesalahan kedua adalah pada Tabel Konversi Nilai : setiap jenjang perubahan nilai berskala
5, maka KKM menjadi : 5 (KKM : 71-75), sehingga Nilai : 80 itu ~ B (2,66), bukan 3,20
(seperti kesalahan perhitungan Balitbang Kemdikbud) atau 3 (seperti kesalahan perhitungan
MKKS) atau 3,2 (menurut kesalahan perhitungan Puskurbuk Balitbang Kemdikbud).
Dengan demikian, kalau menggunakan rumus Disain Kurikulum Digital, semua siswa yang
mendapat nilai > KKM (nilai > 75), otomatis akan mendapat B (masuk di rentang nilai 76 80 dengan IP : 2,34 2,66). Maka IP : 2,67 ~ nilai : 81 (B) Bandingkan dengan rumus
MKKS di atas : 2,66 ~ 75% (siswa rugi, karena dalam rumus Disain Kurikulum Digital : 2,66
~ 80%)
3. Kesalahan ketiga adalah pada bobot nilai Proyek yang disamakan dengan bobot nilai
Praktek,

padahal guru tidak pernah tahu (uncontrolled) : siapa yang sebenarnya membuat

tugas praktek itu, bisa saja siswa menyalin dari temannya atau tugas praktek itu dibuatkan
orang lain sebagai konsekuensi dari tugas praktek yang dibawa pulang (dikerjakan di rumah).
Oleh sebab itu, bobot nilai Proyek harus berbeda dengan bobot nilai Praktek. Biasanya bobot
Tugas Tidak Terstruktur itu maksimal 15% dari bobot Tugas Terstruktur, sesuai dengan
pedoman yang digariskan dalam Diklat Sertifikasi guru.
Penyebutan kata proyek menandakan bahwa Kurikulum 2013 itu kurikulum yang berbasis
proyek (project-based learning) sehingga seharusnya penilaiannya menggunakan penilaian
rubrik (penilaian kinerja siswa), dan tidak bisa menggunakan soal Pilihan Ganda lagi.
Dalam revisi terbaru, Nilai Ketrampilan diganti menjadi Nilai Praktek, karena rupanya
Puskurbuk rancu dengan penilaian pada SMK (Nilai Pengetahuan dianggap sama dengan
Nilai Teori dan Nilai ketrampilan dianggap sama dengan Nilai Praktek).
Padahal ada istilah khusus pada sekolah umum : Nilai Tugas Terstruktur (KTSP Bimtek
(2008) diganti menjadi Nilai Proyek (Kurikulum 2013) dan Nilai Tugas Tidak Terstruktur
(KTSP Bimtek (2008) diganti menjadi Nilai Praktek (Kurikulum 2013)
Guru-guru dari sekolah umum (SD, SMP dan SMA) pasti bingung dengan kerancuan istilah
ini (Nilai Ketrampilan disamakan dengan Nilai Praktek dalam revisi terbaru)
4. Kesalahan keempat adalah dikaitkannya Sikap Sosial dan Spiritual dengan Nilai, sehingga
siswa dengan nilai Matematika tinggi : bisa dianggap saleh, atau siswa dengan nilai IPA
rendah : bisa dianggap kurang beriman. Padahal di halaman 40 Buku Pedoman Penilaian
Kemdikbud secara tegas dinyatakan bahwa penilaian sikap diperoleh dari hasil observasi guru
(Penilaian Berbasis Kelas yang datanya diambil secara langsung oleh guru sendiri), penilaian
siswa sendiri (portofolio siswa), penilaian teman (Tutor sebaya menggunakan Penilaian
Berbasis Kelas) dan penilaian rekan sejawat (yang datanya diperoleh dari Penilaian Berbasis
150

140

Kelas yang diambil oleh guru lain pada kelas yang terkait), serta jurnal guru. Penilaian sikap
spiritual seharusnya menggunakan SQ (spiritual quotient) dan penilaian sikap sosial
semestinya memakai kecerdasan kewargaan : CQ (civic quotient) yaitu pengembangan rasa
empati dan bela rasa yang dimonitor dalam live in.
Dengan demikian, penilaian Sikap tidak boleh dikaitkan dengan nilai (evaluasi hasil belajar), tapi
diperoleh dari monitoring proses belajar pada PBK (Penilaian Berbasis Kelas).
Lalu bagaimana benarnya? Sesuai dengan namanya : evaluasi hasil belajar terfokus pada capaian
kompetensi hingga harus mengacu pada Catatan Kompetensi (konversinya menggunakan CK Nilai
Rapor, CK Pengetahuan dan CK Ketrampilan) dan monitoring proses belajar harus mengacu pada
Penilaian Berbasis Kelas (PBK) berbasis SKL dan Pendidikan Karakter. Semuanya harus
menggunakan program excell sehingga narasinya terprogram (computerized), narasi tidak boleh
dikarang-karang, karena akan menjadi sangat subyektif, bukan penilaian otentik lagi.
B. Para penatar tidak tahu apa yang harus dinilai
Perubahan paradigma dari penilaian per KD pada KTSP menjadi penilaian berbasis KI pada
Kurikulum 2013 menyebabkan para penatar gamang akan apa yang menjadi basis datanya, yang
tercermin dari kesalah-pahaman tentang makna penilaian portofolio.
Kalau para penatar tidak tahu apa yang harus dinilai dalam penilaian guru, penilaian siswa
dan penilaian rekan sejawat, serta penilaian portofolio : apakah penilaian itu menggunakan penilaian
kompetensi (mengingat kurikulum mencantumkan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar
(KD) (harus menggunakan statistik nonparametrik dan program excell dengan konversi pada
nilai rapor, nilai pengetahuan dan nilai ketrampilan (nilai praktek), atau penilaian kinerja
(mengingat kurikulum mencantumkan penilaian potensi siswa)(harus menggunakan penilaian
rubrik), atau penilaian performance siswa (mengingat kurikulum mencantumkan penilaian aspek
sikap sosial dan spiritual)(harus menggunakan excell untuk monitoring proses belajar), maka
akar masalahnya harus ditelusur pada perumusan Indikator Keberhasilan di dalam Silabus. Jika
Kegiatan Pembelajaran di Silabus Kurikulum 2013 tidak diiringi dengan rumusan Indikator
Keberhasilan, maka bagaimana mungkin guru dapat menyusun soal-soal (evaluasi hasil belajar) yang
memenuhi skala dalam program ITEMAN (program untuk menganalisis butir soal)? Bisa-bisa
proporsi jawaban pada setiap option dan tingkat kesukaran butir soal tidak jauh berbeda (soal-soal
UH, UTS atau UAS tidak bisa membedakan siswa yang kemampuannya dibawah rata-rata, siswa
yang mempunyai kemampuan rata-rata, dan siswa yang kemampuannya diatas rata-rata). Akan ada
banyak soal yang harus direvisi atau ditolak oleh komputer melalui program ITEMAN (ANATES
151

141

dari ITB, SPS Sutrisno Hadi dari UGM atau Analisa Soal dari Disain Kurikulum Digital). Kerumitan
ini akan berlanjut bila guru tidak mampu membedakan antara Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal
(KKM) dan Kriteria Ketuntasan Belajar Ideal (KKI) sehingga siswa siswi dari kelompok sedang
disatukan dalam program remedi bersama siswa siswi dari kelompok kurang, dan siswa yang sejak
awal sudah mencapai KMM, atau lebih dari KKM, ternyata tidak mendapat program pengayaan.
Padahal kebanyakan masalah pembelajaran timbul karena tidak adanya tindakan yang
diambil untuk mengatasi kelemahan atau kelebihan siswa sejak awal. Oleh karena itu,
pembelajaran yang dirancang oleh guru sebaiknya mempunyai mekanisme untuk membetulkan
kelemahan dan memacu kelebihan yang ada, sehingga siswa dapat menguasai pembelajaran dengan
baik. Pemetaan kelas dengan menggunakan Multiple Intelligence mutlak harus dilakukan. Pola
manajemen kelas inilah yang hilang dalam pelatihan penerapan Kurikulum 2013 sehingga guru tidak
tahu apa yang harus dinilai. Penilaian aspek kognitif disamakan dengan penilaian pengetahuan
(knowledge), penilaian aspek psikomotor disamakan dengan penilaian ketrampilan (skill) dan
penilaian aspek afektif disamakan dengan penilaian sikap (attitude). Anak yang tidak menguasai
Matematika dianggap bodoh, padahal mungkin bakatnya di bidang musik. Kerancuan lain muncul
pada penilaian Kompetensi Inti 1 (KI 1) yang berbunyi : Menghargai dan mengamalkan ajaran
agama yang dianutnya. Tafsir yang berkembang bisa menjadi modus baru penggabungan aspek
kognitif dan akhlak mulia, sehingga anak yang mendapat nilai matematika bagus bisa dianggap
sebagai anak yang saleh atau anak yang sangat jujur.

Belum tentu kenyataan di lapangan

menunjukkan hal itu! Bisa saja siswa yang mendapat nilai tinggi dalam matematika itu karena
menyontek perkerjaan temannya, atau soalnya kebetulan mudah, bukan karena siswa itu mendapat
ridho Allah.
Hal ini diperparah dengan konversi nilai rapor dari dua digit menjadi satu digit (dari skala
nilai : 0-100 menjadi skala IP (Indeks Prestasi) : 1-4) (lihat di atas)

Oleh sebab itu, penguasaan

statistik nonparametrik dan program excell mutlak diperlukan agar para guru dapat menampilkan
kurva normal dari data nilai per kelas sehingga penilaian portofolio dapat dikaji dan ditegakkan.
Itulah sebabnya dalam perkembangan terbaru, jabatan guru inti (yang merupakan penatar
Kurikulum 2013) itu dihapuskan, tetapi dimunculkan kembali dengan istilah instruktur107, yang
justru MENUNJUKKAN ADANYA SUBORDINASI, yang mengacaukan arti Pasal 39 ayat 2 UU
Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen.

107
Instruktur = orang yang memberi instruksi (KBBI Vol IV) jabatan instruktur dan pengawas itu sebenarnya tidak
ada dalam UU Sisdiknas dan UU Guru dan Dosen (mengacaukan hakekat otonomi guru dan otonomi sekolah
(otonomi pendidikan)

152

142

Maka soalnya bukan pada masalah kurangnya pemahaman pada proses penilaian yang baru,
tapi pada pemahaman akan arti profesi guru, yaitu janji publik para guru untuk membuat siswa yang
tidak bisa menjadi bisa.

Jadi guru bukan sekedar tukang mengajar yang mentransfer

pengetahuan dengan Silabus, RPP dan buku yang didrop dari pemerintah, atau pendidik yang
mentransfer nilai-nilai akhlak mulia, tetapi guru adalah pemegang janji publik : memanusiakan
manusia muda. Hal inilah yang tidak termaknai dalam Kurikulum 2013.
C. Paradigma lama
Hal berikutnya yang luput dari perhatian pemerintah adalah masih diterapkannya paradigma
model penilaian lama dalam KTSP Bimtek (2008) untuk diterapkan pada sesuatu yang baru pada
Kurikulum 2013, yaitu ketuntasan dalam tes kognitif dianggap sebagai indikator penguasaan
materi/bahan ajar.

Padahal pendidikan holistik yang tercermin dalam KI 1 sampai KI 4

membutuhkan tes psikomotor, tes afektif dan tes kecakapan hidup sebagai penyeimbang
pengembangan otak kiri dan otak kanan, yang memerlukan penilaian rubrik (penilaian kinerja siswa).
Dengan demikian, guru tidak bisa lagi menggunakan soalsoal berbentuk pilihan ganda elementer
(lihat Catatan kaki No. 48 tentang soal-soal Pilihan Ganda holistik).
Belum lagi kerancuan penerapan tugas terstruktur yang mestinya bersifat intra kurikuler (penunjang
pemahaman yang dilaksanakan diluar jam tatap muka), telah diubah menjadi kegiatan kokurikuler di
pagi hari sehingga kurang efektif karena kekurangan waktu, akibatnya fungsinya sebagai sarana
pelatihan penalaran halus (fine tuning) hilang; sedangkan tugas tidak terstruktur yang seharusnya
bersifat kokurikuler (melekat pada pelaksanaan tatap muka) telah diubah menjadi kegiatan ekstra
kurikuler yang dibawa pulang sehingga tidak terkontrol lagi siapa pembuatnya (proses belajar
menjadi tidak termonitor). Maka kriteria naratif : SB (Sangat Baik), B (Baik), C (Cukup) dan K
(Kurang) seyogyanya tidak diturunkan dari rerata nilai kognitif, tapi dihasilkan dari penilaian
proses (monitoring) belajar yang dipantau melalui Penilaian Berbasis Kelas, dimana semua aspek
kegiatan harian siswa dimonitor, mulai dari aktivitas umum, kegiatan kognitif, kegiatan psikomotor,
sampai kegiatan afektif sebagai perwujudan pendidikan karakter yang terukur. Dilema muncul ketika
para guru tidak terbiasa mengkonversi daya serap (yang sebenarnya merupakan hasil monitoring)
menjadi penilaian hasil uji kompetensi KI dan KD (yang hakekatnya adalah evaluasi hasil belajar)
sehingga penilaian proses belajar tidak termaktub dalam rapor. Dengan demikian, pendidikan
holistik yang dirumuskan dalam KI 1 sampai KI 4 tidak lagi mempunyai pijakan sebagai pentransmisi
budaya cerdas. Dampaknya, luaran penerapan kurikulum yang diharapkan, seperti meningkatnya
kemampuan olah pikir dan membaiknya kemampuan mengekspresikan diri : tidak beranjak
(stagnan), sehingga PTK (Penelitian Tindakan Kelas) sebagai upaya awal untuk perbaikan
153

143

kehilangan narasi substantif (Lihat ranking TIMMS (Trends in International Mathematics and
Science Study) dan PISA (Program of International Student Assessment), serta PIRL (Progress in
International Reading Literacy) dari para siswa kita yang tidak kunjung membaik dan tidak kunjung
diantisipasi cara perbaikannya).
Masalah KI dan KD yang tidak koheren, disamping menyulitkan analisis vertikal dan analisis
horizontal dari materi/bahan ajar, juga menyulitkan perumusan kaitan tataran konseptual dan
metakognitif karena model pemetaan taksonomi Bloom tidak dilakukan.
menyandarkan pada SOLO taxonomy, yang bertumpu pada capaian kognitif

Kemdikbud justru
108,

(tanpa keharusan

guru memberikan Teladan, Pemberian Tugas terkait dan Penilaian performance siswa), akibatnya,
abai pada pemetaan Multiple Intelligence. Hal ini menyebabkan penilaian portofolio dan penilaian
sejawat kemudian diabaikan. Padahal KI 1 sampai KI 4 membutuhkan penelusuran tingkat kemajuan
belajar siswa. Tanpa grafik portofolio ini, KI 1 sampai KI 4 akan dibaca sebagai Standar Kompetensi
(SK) dengan baju baru.
Maka magnitude soalnya bukan pada penjabaran penilaian capaian kompetensi siswa tapi lebih
kepada pemahaman pendidikan holistik yang sampai saat ini tetap diartikan sebagai penilaian
ketuntasan belajar. Oleh sebab itu, agar para guru tidak kembali ke pola lama, para guru perlu melihat
kembali Peraturan Mendiknas (Permendiknas) No. 19 tahun 2007 bulan Mei 2007 tentang MBS
(manajemen berbasis sekolah) yang terdiri dari 3 (tiga) dokumen yaitu :
-

Dokumen I tentang 5 bidang yang harus dibenahi dalam upaya meningkatkan mutu
manajemen persekolahan yang dilengkapi dengan rincian tugas yang harus diemban oleh guru
penanggung jawab tiap bidang.

Dokumen II tentang penilaian proses dan evaluasi capaian tugas yang diemban sehingga
kinerja sekolah dapat dirumuskan dengan baik.

Dokumen III tentang audit kinerja sekolah dan audit kinerja tenaga kependidikan

Pemerintah perlu menegaskan bahwa penerapan kurikulum baru tidak serta merta membuang semua
hal baik yang sudah ada sebelumnya.
Pelajaran apa yang bisa ditarik dari perubahan pedoman penilaian yang dilakukan berulang
kali itu?
Kemdikbud perlu disadarkan bahwa penilaian itu bukan hanya penilaian (evaluasi) untuk siswa,
tetapi juga penilaian (evaluasi) untuk guru, sehingga guru dapat terbantu dalam merefleksikan proses
pembelajaran (KBM) (lihat Bab I Filosofi Pendidikan bagian Refleksi)

Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian IIA No. 3 : Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan
kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui pendekatan disiplin ilmu
108

154

144

Evaluasi untuk guru sebenarnya sudah jamak dilakukan sejak Kurikulum 1975 melalui ITEMAN
yaitu ANATes (ITB) (program berbayar), SPS Sutrisno Hadi (UGM)(program berbayar) atau Analisa
Soal pada Disain Kurikulum Digital (gratis). Dengan menggunakan perangkat di atas, soal-soal dapat
diuji validitasnya. Soal-soal yang valid akan diterima oleh uji komputasi itu (soal yang valid adalah
soal yang bisa memisahkan anak yang tidak mengerti dengan anak yang pandai), sedang soalsoal yang kurang valid, harus direvisi (soal-soal yang kurang valid adalah soal-soal yang tidak
bisa memisahkan anak yang tidak mengerti dengan anak yang sedang-sedang saja), dan soalsoal yang tidak valid akanditolak oleh uji komputasi itu (soal-soal yang tidak valid adalah soalsoal yang tidak bisa memisahkan anak yang sedang-sedang saja dengan anak pandai).
Bila kebanyakan soal harus direvisi atau ditolak, maka soal ulangan harian (UH) atau soal mid
semester (UTS) atau soal ulangan umum (UAS) harus dibatalkan. Dengan demikian, guru akan
terbiasa untuk belajar seumur hidup (long life education). Bukan hanya belajar perkembangan
terbaru tentang materi yang diampunya dan belajar menerapkan metode, strategi atau model
pembelajaran yang cocok bagi pengajaran materi tersebut, tetapi belajar juga tentang cara
mengevaluasi hasil belajar secara benar, belajar memverifikasi soal yang akan diujikan.
Melalui Analisa Soal ini, para guru dipaksa untuk cermat dalam pembuatan soal, tidak bisa copy
paste dari buku cetak (buku Erlangga, buku Yudhistira, dll yang mempunyai banyak kumpulan soal
di dalamnya), karena soal-soal itu belum tentu valid karena belum teruji di kelas lewat ITEMAN.
Semua soal yang diterima dikumpulkan menjadi satu, itulah yang disebut Bank Soal (kumpulan
soal-soal yang valid)
Guru akan dipaksa membuat soal yang kontekstual dan teruji validitasnya, sehingga
profesionalitasnya terasah (sesuai dengan amanat Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005). Sebenarnya
pemerintah cq Kemdikbud tidak perlu sibuk dengan Diklat sertifikasi guru yang
menghabiskan anggaran besar itu, bila sejak awal pemerintah cq Kemdikbud mewajibkan
setiap guru mempunyai Bank Soal
Dilain pihak, pemerintah cq Kemdikbud tidak perlu sibuk membuat pedoman penilaian, yang diubah
berkali-kali itu

109,

sebab konversi nilai secara benar itu sudah ada dalam Catatan Kompetensi,

sehingga kewibawaan pemerintah cq Kemdikbud terjaga, karena hanya fokus pada perumusan
kebijakan pendidikan nasional (Pasal 38 ayat 1 dan Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas).

109

Pedoman penilaian ada di Permendikbud No.66 Tahun 2013, lalu diubah dalam Lampiran IV Permendikbud No.81
A Tahun 2013, dan diubah lagi dalam Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No.5496/C/KR/2014
dan No.7915/D/KP/2014

155

145

Puskurbuk (Pusat Kurikulum dan Perbukuan) tidak boleh mengambil alih wewenang
Puspendik (Pusat Penilaian Pendidikan) sehingga mengacaukan apa yang disebut evaluasi
(penilaian) hasil belajar (nilai/IP) dan apa yang dimaksud dengan monitoring proses belajar
(daya serap) 110
Sebenarnya kalau mengkaji pada tingkat kompetensi yang mengacu pada SOLO Taxonomy111
di Kurikulum 2013, maka penilaian yang cocok untuk tingkat kompetensi ini bukan authentic
assessment, tetapi seharusnya penilaian rubrik. Penilaian rubrik adalah deskripsi terperinci tentang
tipe kinerja tertentu dan kriteria yang akan digunakan untuk menilainya. Hanya saja untuk penilaian
rubrik ini, guru harus menguasai pemahaman materi sedalam-dalamnya, karena rubrik perlu memuat
daftar karakteristik yang diinginkan yang perlu ditunjukkan pada siswa disertai panduan untuk
mengevaluasi masing-masing karakteristik tersebut.

Jadi kedua pihak (guru dan siswa) akan

mempunyai pedoman bersama yang jelas tentang tuntutan kinerja yang diharapkan.
Misalnya guru Biologi memberi tugas siswa untuk membuat poster tentang kepedulian akan
degradasi lingkungan, maka guru tersebut harus sungguh-sungguh tahu bahwa :
(1) pembuatan poster itu memerlukan 10 langkah yang bisa langsung di observasi sehingga
penentuan nilainya menjadi terpola dengan jelas.
(2) guru juga harus paham betul tentang degradasi lingkungan sehingga tahu pesan apa yang
harus disampaikan ke masyarakat untuk mengatasi degradasi lingkungan.
Sepuluh langkah pembuatan poster itu adalah :
1. Pemilihan kertas (ukuran, type kertas). 2. Alat-alat gambar. 3. Sketsa. 4. Pilihan kata.
5. Harmonisasi kata dan gambar. 6. Waktu pembuatan poster. 7 Hasil (eye catching, pesan).
8. Penempatan (pameran). 9. Umpan balik. 10. Perbaikan
Kriteria penilaiannya adalah : 1. Belum disiapkan. 2. Sudah disiapkan tetapi tidak sesuai dengan
ketentuan. 3. Sudah disiapkan sesuai ketentuan tetapi belum lengkap. 4. Sudah disiapkan dengan
baik. 5. Draft tidak disiapkan. 6. Draft disiapkan tetapi tidak sesuai ketentuan. 7. Draft disiapkan
dngan baik. 8. Hasil : Gambar bermakna, tetapi kata tidak menunjukkan pesan yang jelas. 9. Hasil
: Kata mengandung pesan, tetapi gambar latar belakang tidak mendukung. 10. Hasil : kata dan
gambar harmonis

Lihat formula konversi nilai dari Puskurbuk : Jumlah soal harus kelipatan 4, misalnya jumlah soalnya 40, kalau
siswa salah 10, maka nilainya 3. Rumus yang salah secara matematis dan secara paedagogis (lihat uraian di atas)
111
Lihat Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013 Bab II : Tingkat Kompetensi
110

156

146

Maka nilai dari Andy tinggal melihat pada tabel berikut :


1

Kertas

Alat-alat

Sketsa

10

Pilihan Kata

Harmonisasi
Lama waktu buat

x
x

Hasil

Pameran

Umpan balik

Perbaikan

Sehingga Nilai Andy adalah rerata nilai di atas : 78/10 = 7,8. Melalui penilaian rubrik ini, terlihat
dengan jelas, bahwa siswa akan sungguh-sungguh menguasai teknik pembuatan poster (bukan
pelajaran seni rupa karena ada pesan lingkungan dan harmonisasi pesan dengan gambar : tugas
pembuatan poster ini akan membuat pelajaran Biologi membumi).

Penilaian rubrik ini juga

digunakan dalam penilaian ulangan esai (UH, UTS dan UAS) dengan pola seperti diatas, mulai dari
(1) siswa menulis nama, nomor dan kelas pada lebar jawaban, (2) siswa menulis apa yang diketahui
dari soal itu pada lembar jawaban, (3) siswa menulis apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan
dari soal itu dalam lembar jawaban, sampai (10) siswa menjawab dengan lengkap dan betul. Tapi
penilaian rubrik tidak bisa diterapkan untuk soal-soal Pilihan Ganda biasa, seperti yang biasa
dipraktekkan dalam KTSP Bimtek (2008) dan Kurikulum 2013. Penilaian rubrik masih mungkin
diterapkan pada soal-soal Pilihan Ganda holistik, seperti yang sudah dipaparkan dalam Catatan kaki
No.48
Oleh sebab itu, penilaian rubrik yang seharusnya digunakan dalam Kurikulum 2013 ini bukan
saja merupakan evaluasi hasil belajar tetapi juga pendampingan proses belajar dan sangat sesuai
dengan pendekatan saintifik (metode 5 M)

Pembelajaran berbasis proyek (PBL : project-based

learning). Jadi penilaiannya tidak bisa mengikuti Permendikbud No.66 Tahun 2013 karena pasti
salah, sehingga perlu diubah lagi melalui rumus Lampiran IV Permendikbud No. 81 A Tahun 2013,
yang juga masih salah secara matematis, sehingga diubah lagi melalui Peraturan Bersama Dirjen
Dikdas dan Dirjen Dikmen No.5496/C/KR/2014 dan No. 7915/D/KP/2014 yang masih salah juga
secara paedagogis. Dari berbagai perubahan penilaian ini, nampak bahwa KKM tidak lagi dipakai,
28 permendikbud tentang Kurikulum 2013 selalu menyebut KTSP, tapi KTSP tanpa KKM, ada apa?
157

147

Yang lebih urgen diperhatikan adalah perubahan berulang kali tentang rumus penilaian ini
tanpa penjelasan yang memadai kenapa rumus mesti diubah (lagi), akan menurunkan wibawa
akademik Kemdikbud.
Maka kalau pemerintah berkukuh tetap melaksanakan Kurikulum 2013, yang perlu menjadi
bahan tatar bukan pembuatan RPP (untuk memenuhi amanat Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013, karena
guru sudah terbiasa membuat RPP dan sudah disertifikasi), tetapi yang harus disosialisasikan adalah
penilaian rubrik ini (untuk memenuhi Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II B :
Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK (competency-based curriculum) yang di copy paste
dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian II D (Lihat Catatan * di Kata Pengantar), yaitu
kembali menerapkan Pilihan Ganda holistik seperti ada di Catatan kaki no. 48 dan memberlakukan
kembali soal-soal esai seperti telah diaplikasikan sejak lama dalam EBTANAS. Untuk ini Puspendik
perlu dilibatkan (tidak cukup mengandalkan Puskurbuk) supaya penilaian rubrik ini bisa
computerized (tidak dilakukan manual oleh guru, sehingga tidak merupakan penilaian subyektif)
hingga penilaian otentik itu mempunyai pijakan eksakta secara jelas.
Mengingat rumitnya proses penilaian rubrik ini (apalagi soal-soal Pilihan Ganda holistik dan
esai sudah dihapus dari UN) (lihat Catatan kaki No.48), maka sebaiknya pemerintah kembali
menerapkan pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 tahun 2014 (kembali ke Kurikulum
2006) Hanya yang perlu diperhatikan adalah penilaian kognitif dan psikomotor harus dilakukan
melalui Catatan Kompetensi, hasilnya adalah nilai/IP yang muncul dalam Rapor Lembar I, sedangkan
penilaian sikap dilakukan melalui Penilaian Berbasis Kelas, hasilnya adalah daya serap yang muncul
dalam Rapor Lembar II.

Sebab siswa yang memperoleh nilai tinggi, belum tentu karena dia

mengerti/memahami materi/bahan ajar, tetapi mungkin saja karena siswa itu nyontek dan tidak
ketahuan guru, atau siswa itu belajar dari soal yang keluar tahun sebelumnya, yang biasanya
dikeluarkan lagi pada tahun-tahun berikutnya dengan sedikit perubahan di sana sini atau siswa
beruntung karena soal-soal yang disajikan tergolong mudah..
Hal berikutnya yang perlu diingat adalah : evaluasi bukan saja ditujukan untuk siswa, tapi juga untuk
gurunya melalui ITEMAN/Analisa Soal (ANATest dari ITB, SPS Sutrisno Hadi dari UGM, atau
Analisa Soal dari Disain Kurikulum Digital), seperti yang sudah diuraikan di atas. Ujungnya adalah
: sekolah mempunyai Bank Soal yang valid (soal-soal yang dapat memisahkan siswa yang kurang
pandai, siswa yang sedang-sedang saja, dan siswa yang pintar, yang hasil analisa datanya
membentuk kurva normal) (Lihat bagian Refleksi pada Bab I Filosofi Pendidikan, di bagian : Apa
Perlunya Mempelajari Filsafat Pendidikan)
Dalam konteks Penilaian inilah nampak jelas terjadinya pendangkalan (cult of philistinism), bukan
saja pada pendangkalan soal-soal Pilihan Ganda (lihat Catatan kaki No.48), tetapi juga pada soal esai
158

148

BAB VI
Kurikulum vs Pengajaran
Kekeliruan berikutnya adalah membiarkan munculnya 6 varian kurikulum yang diterapkan
saat ini sehingga mengacaukan hakekat kebebasan mimbar akademik dan capaian Nawa Cita No.3
Keenam varian itu adalah :
(1) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan sistim paket, yang diluncurkan tahun 2006
(Kurikulum 2006 atau KTSP Awal)
(2) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan sistim paket melalui Bimbingan Teknis dari
Kemdikbud (KTSP Bimtek (2008)
(3) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan sistim paket, yang diluncurkan pada akhir
November 2012 (Kurikulum 2013) : Kurikulum yang dikembangkan dari KBK112 yang
mengulang permasalahan pengukuran kompetensi (kemampuan) siswa pada KBK 2004
(4) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pasca keluarnya Permendikbud No. 160 Tahun 2014
(Kurikulum 2013 dengan perbaikan tambal sulam, yang tidak sesuai dengan Nawa Cita No.8
(5) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan paket SKS (Sistim Kredit Semester) yang
tidak lain merupakan baju baru dari kelas akselerasi yang sudah lama dipraktekkan di sekolah
unggulan atau sekolah mantan RSBI dulu.
(6) Kurikulum dengan sistim baku SKS dengan kurikulum internasional yang diakreditasi secara
internasional dengan manajemen berbasis sekolah (MBS) yang bersertifikat ISO 9001:2008
(sesuai dengan Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014)
Karena pembiaran ini, maka kekeliruan berlanjut pada anggapan bahwa semua kurikulum itu sama,
padahal ideologi yang diusung berbeda. Sebagaimana telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya,
Kurikulum 2006 (KTSP Awal) menjunjung otonomi pendidikan, melalui penerapan otonomi guru
dan otonomi sekolah (penyusunan kurikulum, pelaksanaannya (termasuk monitoringnya) dan
evaluasinya dilakukan sendiri oleh para guru, serta disahkan oleh kepala sekolah), sesuai dengan
bunyi ketentuan Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005 sehingga kurikulum tiap sekolah akan berbeda,
tergantung kondisi sekolah, potensi daerah dan keadaan siswa.113 Bukan hanya sekedar berbeda, tapi
guru harus mengembangkan standar isi yang lebih tinggi (mengembangkan kurikulum sampai ke

Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2007 Bagian II B : Landasan Teoritis : Kurkulum 2013 dikembangkan
atas teori Kurikulum Berbasis Kompetensi (competency-based curriculum)
113
Sebenarnya ketentuan guru harus menyusun kurikulumnya sendiri di sekolah masing-masing juga termaktub
dalam PP No. 32 Tahun 2013 Pasal 77 M ayat 1, dan ketentuan bahwa kurikulum itu adalah urusan sekolah karena
ditetapkan oleh kepala sekolah (bukan oleh pemerintah) tertuang dalam Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013,
yang juga menjadi dasar hukum dari Kurikulum 2013 (lihat juga catatan kaki No.5)
112

159

149

tingkat Higher Order of Thinking

114

. Oleh sebab itu, varian ke-5 dan ke-6 yaitu SKS adalah

konsekuensi logis dari kemampuan guru menyusun kurikulumnya sendiri sehingga guru juga mampu
menyusun diktat, LKS dan modul pembelajaran sendiri. Oleh karenanya, Kurikulum 2006 (KTSP
awal) dan SKS menjamin terlaksananya penerapan azas kebebasan mimbar akademik

115

sedangkan KTSP Bimtek (2008) dan dua varian Kurikulum 2013 itu mengusung hegemoni
pemerintah terhadap dunia persekolahan melalui pemberlakuan kurikulum tunggal dan seragam
untuk seluruh Indonesia dengan menggunakan tangan Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata
Pelajaran (karena Silabus, buku ajar/materi/sumber belajar, dan buku pegangan guru, serta metode
pembelajarannya sama, meskipun kondisi siswa dan potensi daerahnya berbeda)

116.

Akibatnya

KTSP Bimtek (2008) dan dua varian Kurikulum 2013 (KTSP 2013) itu berpotensi membungkam
kreativitas guru dalam menerapkan PAIKEM GEMBROT (Pendidikan Aktif, Inovatif, Kreatif,
Efektif dan Menyenangkan, Gembira serta Berbobot). Bagaimana para guru dapat berinovasi kalau
semuanya sudah digariskan oleh Puskurbuk dan dikawal secara ketat oleh para Pengawas?
Kehadiran para Pengawas ini menghilangkan juga makna dari Visi dan Misi sekolah. Apapun visi
dan misi sekolahnya, kurikulumnya tetap sama, sehingga ciri khas sekolah menjadi hilang :
pakaian seragam antar sekolah itu sama, dan isi kepalanyapun sama.
Alur filosofi Silabus yang selama ini dibuat itu sangat jelas, yaitu silabus yang berlaku sejak
KBK/KTSP dan kini pada silabus kurikulum 2013 adalah Silabus campuran (mixed syllabus), yaitu
perpaduan antara: Silabus Pembelajaran (Learner-generated syllabus), Silabus yang berorientasi
pada tugas (taks-based syllabus), Silabus yang berorientasi pada ketrampilan (skill-based syllabus)
dan Silabus kontekstual (situational syllabus). Jadi Silabus tidak dapat copy paste dari buku atau
dari penataran Kemdikbud/Dinas Pendidikan yang seragam itu karena mengingkari hakekat
Silabus kontekstual (situational syllabus). Apalagi silabus yang kontekstual ini seharusnya juga
dilengkapi dengan Analisa Konteks sehingga sifat lokalitas dan situasionalnya nampak dengan jelas.
Alasan yang lebih teknis mengapa silabus harus kontekstual (tidak seragam) adalah:
1. Perbedaan ranah (domain) pada Indikator akan menghasilkan Silabus yang berbeda, karena
tingkat kesulitan setiap ranah (domain) berbeda sehingga kegiatan pembelajaran dan evaluasinya
akan berbeda
2. Perbedaan pada penafsiran Substansi Masalah dan Masalah Paedagogis di Analisis Esensi Materi,
akan menghasilkan Silabus yang berbeda.

Lihat Pasal 1 ayat 2 Permendiknas No. 24 Tahun 2006


Lihat Pasal 36 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan Pasal 20 butir a
UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) (Lihat juga Catatan kaki No. 5)
116
Lihat rumusan Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 yang mengamputasi isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 (rincian isi
pasalnya dapat dilihat di Catatan Kaki No.2 di Bab Pendahuluan) (Lihat juga catatan kaki No. 4)
114
115

160

150

3. Silabus selalu disertai dengan Analisa Konteks, dan konteks tiap daerah akan berbeda, sehingga
Silabusnya tidak mungkin sama.
4. Pembuatan Silabus oleh guru sendiri adalah amanat dari UU Sisdiknas (UU No. 20 Tahun 2003)
Pasal 39 ayat 1 dan ayat 2; serta UU Guru dan Dosen (UU No. 14 Tahun 2005) Pasal 14 ayat 1
butir e, f, i juncto Pasal 14 ayat 1 butir c; serta PP No. 32 Tahun 2013 Pasal 77 M ayat 1
Penjelasannya :
1. Perbedaan ranah (domain) pada Indikator akan menghasilkan Silabus yang berbeda,
karena tingkat kesulitan setiap ranah (domain) berbeda sehingga kegiatan pembelajaran
dan evaluasinya akan berbeda
Misalnya : Indikator : Siswa dapat menjelaskan tentang puisi Sitor Situmorang : Malam Lebaran
Kalau guru menetapkan bahwa kata menjelaskan itu ada dalam ranah C2 (pemahaman)
maka guru cukup memfasilitasi siswa bahwa puisi ini unik (hanya terdiri dari satu baris) : Bulan
di atas kuburan dan puisi ini ditulis oleh Sitor Situmorang untuk sahabatnya : Pramudya Ananta
Tur, yang baru dibebaskan dari Pulau Buru. Puisi ini mempunyai makna yang dalam sehingga
mendapat penghargaan SEA Literature Award
Kalau guru menetapkan bahwa kata menjelaskan itu ada dalam ranah C5 (sintesis) maka
guru mendorong siswa mencari tahu siapa itu Pramudya Ananta Tur (sehingga Sitor sampai secara
spesial mengarang puisi untuk dia), kenapa dia ditahan di Pulau Buru dan apa peran keduanya
dalam dunia sastra Indonesia, sehingga siswa mulai mendapat benang merah persahabatan mereka
(Sitor menulis puisi ini bukan tanpa resiko pada jaman Orde Baru) Persahabatan yang tulus (yang
mengabaikan semua resiko) selalu menggetarkan, oleh karena itu, puisi ini mendapat penghargaan
internasional.
Kalau guru menetapkan bahwa kata menjelaskan itu ada dalam ranah P1 (persepsi), maka
guru mulai memfasilitasi siswa cara menafsir pesan puitik : dari judulnya atau dari isinya (dari
baris-baris puisinya)? Mengapa tidak boleh menafsir makna puitik dari judulnya? Kalau menafsir
dari baris puisinya : Bulan di atas kuburan, lalu menafsirkannya dari keseluruhan kalimat, dari
depan kalimat, atau dari belakang kalimat? Kalau siswa sudah dapat menangkap makna yang
tersirat itu dari bagian belakang kalimat yaitu kuburan, maka siswa dibimbing sampai mendapat
makna terdalam dari kuburan yaitu kematian. Lalu apa hubungannya dengan bulan ? Bulan
mati (malam yang gelap gulita) itu terjadi pada tanggal tua atau tanggal muda ? Dengan demikian,
siswa diajak mengamati siklus bulan, kapan bulan mati (malam gelap gulita), kapan bulan sabit
muncul, kapan bulan purnama terjadi, kemudian akan muncul bulan sabit lagi, hanya arah sabitnya
berlawanan dengan arah sabit pada awal bulan, lalu bulan mati lagi menjelang akhir bulan. Jadi
161

151

melalui kata menjelaskan dalam ranah P1 (persepsi) : siswa diajak sampai pada simpulan bahwa
bulan di atas kuburan itu adalah bulan mati, artinya tanggal tua (menjelang akhir bulan).
Apa yang terjadi pada tanggal tua? Orang hanya punya sedikit uang (tongpes : kantong
kempes). Jadi makna puisi ini mulai bisa dirangkai : Malam Lebaran : orang tidak punya
uang. Pada saat orang berpesta di malam takbir, ada orang yang tidak punya uang, karena baru
dibebaskan dari Pulau Buru. Sekarang terlihat benang merah antara Pramudya Ananta Tur dan isi
puisi ini. Pada malam takbir, dimana semua orang bersuka ria, ada makanan lezat berlimpah,
ada baju baru, ada suasana rumah yang baru, ada juga Pramudya Ananta Tur yang tidak punya
uang, tapi orang tidak peduli, (orang tidak peduli bahwa Pramudya adalah sastrawan besar, yang
tetraloginya : Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, tersebar
secara luas dan diam-diam di foto copy dalam era Orde Baru), sama tidak pedulinya orang-orang
itu pada siklus bulan, mau bulan purnama kek, mau bulan mati kek, emangnya gua pikirin ?
Kalau guru menetapkan bahwa kata menjelaskan itu ada dalam ranah P2 (kesiapan), maka
siswa didorong untuk merenung, apa bentuk kepedulian kita pada orang miskin? Apakah dengan
memberi sedekah, misalnya Rp. 5.000,- yang tidak cukup untuk sekedar membeli makan dan
minum? Ataukah para siswa diajak memiliki semangat berbagi, apa yang dipunyai siswa (baju,
makanan, uang saku, dll) dibagi kepada mereka yang miskin, sehingga orang miskin bisa ikut
menikmati kerahiman Allah? Kalau cuma sedekah, tidak cukup untuk membeli apapun, apalagi
kalau sedekahnya berbentuk uang receh : Rp. 500, - atau Rp. 1000,- Bisa untuk apa? Siswa diajak
untuk tidak serta merta berkilah : Kan yang memberi sedekah banyak, sedikit-sedikit lama-lama
jadi bukit. Tapi siswa diajak mulai memikirkan tanggung jawab pribadinya di dunia ini (bukan
merujuk pada orang lain), apa yang sudah saya lakukan secara pribadi? Cukup bermanfaat atau
tidak bagi kehidupan ini?
Kalau guru menetapkan kata menjelaskan itu ada dalam ranah A3 (penilaian), maka guru
mendorong siswa untuk mencari arti terdalam : pada Malam Lebaran, saat semua orang berpesta,
apakah kita masih memikirkan bahwa ada orang miskin di sekitar kita, dan kita sama sekali tidak
ambil pusing karena kita sibuk dengan diri kita sendiri? Jadi renungan yang terdalam adalah
apakah kita sebagai orang yang beragama, tidak bersikap munafik? Saat kita berdoa memohon
ampunan Allah, kita bersikap bengis pada orang yang menyakiti hati kita (kita tidak memberi
ampunan pada orang yang bersalah kepada kita). Saat kita berdoa memohon penyelesaian suatu
soal kepada Allah, apakah kita tidak meletakkan persoalan pada bahu orang lain?
JADI, DARI CONTOH-CONTOH DI ATAS, NAMPAK JELAS BAHWA : BILA RANAH
(DOMAIN) BERBEDA, MAKA BAHAN AJAR/MATERI AKAN BERBEDA, KEGIATAN
PEMBELAJARANNYA

AKAN

BERBEDA

DAN

BENTUK

EVALUASI

HASIL
162

152

BELAJARNYA JUGA AKAN BERBEDA, dengan kata lain, silabusnya akan berbeda,
bagaimana mungkin silabus bisa diseragamkan secara nasional ?
Dari contoh-contoh diatas, terlihat bahwa pendidikan karakter dapat dimasukkan dalam
pelajaran secara natural, (harap diingat bahwa 18 nilai dalam pendidikan karakter itu sudah lazim
dipraktekkan dalam Kurikulum 2006 (KTSP Awal), jadi tidak usah dipaksa-paksakan masuk ke
kurikulum lewat KI 1 : menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Lagak saleh dan sok moralis
justru mejauhkan dari hakekat sains, akan terlihat jelas bahwa KI 1 itu akan menjadi sekedar
tempelan yang nir makna. Misalnya : Malam Lebaran, Bulan di atas kuburan itu ditafsirkan
sebagai : hendaknya selalu mengingat akherat pada malam takbir, atau 4 x 4 = 16 itu dikaitkan
dengan kejujuran. Mengatasinya : lihat di langkah win win solution di Bab I Filosofi Pendidikan.
Tujuannya : mencari materi/bahan ajar yang hilang dari kurikulum kita (banyaknya materi uji
yang tidak terdapat dalam kurikulum nasional kita : Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian I A
No. 2 b : Tantangan Eksternal), yang diulang pada PermendikbudNo.68, No.69 dan No.70
tergantung unit sekolahnya dan di copy paste pada Permendikbud No. 57 Tahun 2014 Bagian I A
No.2 b : Tantangan Eksternal, yang diulang pada Permendikbud No.58, No.59 dan No.60
tergantung unit sekolahnya (Lihat Catatan * di Kata Pengantar)
2. Perbedaan pada penafsiran Substansi Masalah dan Masalah Paedagogis di Analisis
Esensi Materi, akan menghasilkan Silabus yang berbeda.
Misalnya : Indikator : Siswa dapat menjelaskan tentang pemanfaatan Teori Probabilitas dalam
pengambilan keputusan
Substansi Masalah : Teori Probabilitas bagi siswa kelihatan sukar karena disajikan dalam bentuk
rumus-rumus himpunan, tanpa memasuki konsep basis bilangan
Masalah Paedagogis : Siswa sulit mengaitkan Matematika (Teori Probabilitas) yang abstrak
dengan kehidupan sehari-hari (pengambilan keputusan)
Penyelesaian (harus bisa mengatasi kedua masalah itu sekaligus (substansi masalah dan masalah
paedagogis) : Siswa memanfaatkan Teori Probabilitas (Teori Peluang), Permutasi dan Kombinasi
dalam permainan dadu (ular tangga, bola bekel) : dalam permainan dadu : basis bilangannya : 6,
jadi dalam satu kali lempar dadu, peluang untuk mendapat angka 2 adalah 1/6 (peluang untuk
mendapat angka 2 adalah 1 kemungkinan dari 6 kemungkinan yang ada); Permainan kartu (remi,
empat satu, truf, bridge) : dalam permainan kartu : basis bilangannya 13, jadi dalam satu kali
kocok kartu, peluang untuk mendapat kartu As adalah 1/13 (peluang untuk mendapat kartu As
adalah 1 berbanding 13); Permainan strategi (halma, karambol dan bilyar, catur) : halma
sesungguhnya menunjukkan dasar pengertian segitiga Pascal, karambol dan bilyar menunjukkan
163

153

penerapan segitiga Pascal dalam teori peluang, kombinasi dan permutasi, sedangkan catur
menunjukkan penerapan basis bilangan 8 dengan teori peluang. Misalnya, bisakah dalam 10
langkah, kita memakan satu kuda lawan?
Langkah penyelesaian ini akan muncul sebagai bentuk Kegiatan Pembelajaran di Silabus.
Dengan demikian, kalau perumusan Substansi Masalah dan Masalah Paedagogisnya berbeda,
maka rumusan Penyelesaiannya akan berbeda. Akibatnya Kegiatan Pembelajaran di Silabus juga
akan berbeda. Jadi Silabus tidak mungkin sama dan seragam.
Penugasan : Alat peraga : Ular Tangga : Siswa menghitung peluang untuk naik tangga bila dadu
dilempar satu kali.
Alat peraga : Bola bekel : Siswa menghitung berapa kombinasi angka yang terlihat bila 3 dadu
berhasil dibalik saat melempar bola.
Alat peraga : Catur : Siswa menghitung langkah kombinasi yang mungkin diambil untuk
mematikan lawan (skak mat) dalam 5 langkah.
Penugasan ini akan menjadi Sumber Belajar yang baru (diluar penggunaan buku teks) yang dapat
memperkaya wawasan siswa di Silabus. Penugasan ini merangsang kreativitas guru untuk
memanfaatkan apa yang ada di lingkungannya, sehingga dana BOS tidak dihabiskan untuk
membeli peralatan yang mahal, yang tidak kita ketahui teknologinya (kalau rusak, tidak tahu
cara membetulkannya)
Misalnya : Penggunaan Ular Tangga, Bola Bekel atau Catur untuk belajar teori peluang,
permutasi dan kombinasi, guru tidak usah menggunakan LCD untuk menerangkan teori
himpunan yang penuh rumus itu dalam menjelaskan teori probabilitas.
RUMUSAN PENUGASAN BISA BERBEDA, ALAT PERAGA YANG DIPILIH BISA
BERLAINAN, MAKA RUMUSAN PENUGASAN TIDAK BISA SAMA, AKIBATNYA
RUMUSAN SUMBER BELAJAR DI SILABUS BISA BERBEDA.

Bagaimana mungkin

Silabus bisa sama dan seragam atau bagaimana mungkin Silabus ditentukan oleh Pusat
(Puskurbuk) (sementara Pusat tidak tahu alat peraga apa yang nantinya akan dipilih oleh guru dan
bagaimana rumusan penugasannya)
3. Silabus selalu disertai dengan Analisa Konteks, dan konteks tiap daerah akan berbeda,
sehingga Silabusnya tidak mungkin sama
Analisa konteks terdiri dari KONDISI ALAM, KEKAYAAN DAERAH, SOSIAL BUDAYA
Misalnya : Kelas 1 SD : Indikator : Siswa dapat menghitung bilangan 1 sampai 100
Kondisi Alam (agraris) : Siswa menghitung menggunakan biji jagung dengan permainan dakon
(congklak) yang mempunyai 9 lobang yang saling berhadapan (alat peraga berbasis bilangan 10)
164

154

Kalau Kondisi Alamnya maritim : maka yang digunakan untuk permainan dakon (congklak)
adalah rumah keong laut yang kecil dan ukurannya hampir sama, yang banyak terdapat di pantai
Kekayaan daerah (sesuatu yang khas di daerah tertentu, tidak dijumpai di daerah lain) : Siswa di
Jawa Timur, menghitung menggunakan permainan entik (batang pendek yang dipukul, yang
terdiri dari 1 ruas batang singkong, yang dipukul oleh pemukul batang panjang, yang terdiri dari
3 ruas batang singkong)
Sosial budaya : Siswa di Kalimantan Barat menghitung menggunakan sempoa (swiepoa)
Siswa di Jawa menghitung menggunakan jari (jarimatika)
DENGAN RUMUSAN ANALISA KONTEKS YANG BERBEDA, MAKA PENGUKURAN
INDIKATOR KEBERHASILANNYA DI SILABUS AKAN BERBEDA, jadi tidak mungkin
Silabus itu diseragamkan, harus melihat situasi daerah dan kondisi sekolah di daerah yang
bersangkutan. Itulah dasar dari rumusan diversifikasi kurikulum pada Pasal 36 ayat 2 UU
Sisdiknas dan Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005, serta Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32
Tahun 2013, yang dilupakan dalam Kurikulum 2013
Dari contoh-contoh diatas, terlihat jelas bahwa pemberlakuan kurikulum tunggal telah
menurunkan derajat guru dari seorang kreator, konseptor, inisiator, dan desainer kurikulum,
menjadi sekedar petugas administrasi dan tukang mengajar, yang menjalankan Silabus dari
buku atau Silabus drop-dropan dari Kemdikbud atau guru yang hanya sibuk dengan Dapodik saja.
Tanpa kreativitas guru, sukar diharap sekolah akan bisa menjadi pelopor inovasi yang dapat
menciptakan gen flux, generasi yang berpikir out of the box dan merajut impian : apa yang bisa saya
sumbangkan untuk masyarakat. Suatu generasi yang mencoba mengaplikasikan pengetahuannya bagi
kemajuan lingkungannya, yang muncul dalam semangat volunterisme di mana-mana.

Lihat karya

gen flux dalam berbagai kreasi di sosial media yang memecah kebuntuan di masyarakat, seperti
Kawal Pemilu (www.kawalpemilu.org) atau wadah dunia untuk perubahan (www.change.org)
Dengan demikian, nampak jelas bahwa pengajaran erat hubungannya dengan kemampuan
mengaitkan teori dan praksis sehingga dapat meningkatkan daya serap siswa terhadap cara bahan
ajar/materi itu disajikan. Itulah sebabnya, siswa yang pandai sebaiknya diminta untuk mengajar
temannya yang belum mengerti (tutor sebaya). Dengan berbagi, daya ingatnya akan meningkat tajam
dan daya serapnya akan makin besar. Ilmu yang disimpan untuk dirinya sendiri juga akan lebih
mudah dilupakan. Dengan analogi itu, Bahan Ajar (Materi) dapat dianalisa berdasarkan retensinya
atau ingatan yang tersimpan di memori :

165

155

Artinya, dari hasil metode ceramah, hanya 5% yang diingat, atau bila porsi ceramah hanya 5%,
maka kreasi akan lebih optimal. Dengan kata lain, bila porsi praktek atau langsung mengerjakan itu
mencapai 75% , maka hal itu akan sangat membantu kita untuk lebih mengingat dan mengerti materi.
Bila porsi mengajar orang lain (tutor sebaya : mampu mengaitkan teori dan praksis) itu sampai
mencapai 90%, maka hal itu akan sangat membantu kita untuk mengingat materi-materi yang
penting. Dengan kata lain, pengajaran erat kaitannya dengan pembelajaran dan pemelajaran. Hanya
dengan modal pemelajaran yang ekstensif, kita dapat mengajar orang lain, dalam arti orang akan
mendapat pengalaman belajar yang baru, hanya dan hanya jika kita terus menerus mengasah diri
menjadi manusia pembelajar melalui askese pengetahuan (mesu budi) yang tertuang dalam analisis
esensi materi/bahan ajar yang sahih (valid).
Berbekal diagram diatas, kita akan lebih mudah memahami pentingnya (esensi) suatu materi,
tingkat kerumitannya (kompleksitas) dan tingkat kesulitan (kesukarannya) melalui AEM (Analisis
Esensi Materi). Misalnya, guru IPS SMP yang akan menyampaikan keragaman bentuk muka bumi,
melalui metode ceramah (yang dilengkapi dengan penerapan macam-macam gambar/foto kontur
bumi menggunakan model pembelajaran PAP (Picture And Picture), maka yang mampu diingat
siswa hanya 5% dari keseluruhan materi. Namun bila siswa dapat mengumpulkan macam-macam
contoh batuan, maka daya serapnya terhadap keragaman bentuk muka bumi akan meningkat cukup
signifikan (75%). Selanjutnya, bila siswa mampu menjelaskan kepada temannya (tutor sebaya), apa
beda topografi dan geografi serta kartografi, maka daya serap (pemahaman) tentang keragaman
bentuk-bentuk muka bumi akan meningkat sampai 90% (pemahamannya melampaui KKM (kriteria
ketuntasan minimal) : 75%) dan mendekati KKI (kriteria ketuntasan ideal) : 100%). Sayangnya,
AEM ini tidak dilakukan dalam pengkajian Kurikulum 2013.

166

156

Masalah lain yang timbul akibat pembiaran adanya 6 varian kurikulum di lapangan adalah
kerancuan baru dalam menerjemahkan Permendikbud No. 160 Tahun 2014. Ketentuan Pasal 1 dari
Permendikbud No. 160 Tahun 2014, yaitu kembali menerapkan Kurikulum 2006 diartikan sebagai

kembali menerapkan KTSP Bimtek (2008) itu.117 Lalu ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan 2 dari
Permendikbud No.160 Tahun 2014 tentang pemberlakuan Kurikulum 2013 diartikan sebagai tetap

melanjutkan penerapan Kurikulum 2013 yang sedang berjalan, tanpa menghiraukan banyaknya
kesalahan, yaitu :
(1) Pemberlakuan secara menyeluruh dan seragam itu melanggar azas diversifikasi kurikulum
(Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas, Pasal 17 PP No.19 Tahun 2005 dan Pasal 77 M ayat 1 dan
ayat 3 PP No.32 Tahun 2013).
(2) Penyeragaman melalui pelatihan singkat itu melanggar otonomi guru (Pasal 39 ayat 2 UU
Sisdiknas, Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, serta Pasal
77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013) (Lihat rincian Pasal-pasal ini di Catatan kaki No.2)
(3) Kompetensi Inti (KI) harus dirumuskan ulang, mengingat KI untuk semua jenjang
pendidikan itu sama (berarti menyamakan kompetensi anak SD setaraf dengan kompetensi
anak SMA, sesuatu yang sangat absurd) . Menurut Wagner, ada enam kompetensi
(kemampuan) inti yang harus dikuasai siswa (bukan empat dan rumusannya sangat berbeda
itu) (lihat bagian tentang pembahasan Kompetensi Inti di Bab ini)
(4) KI tidak koheren dengan KD (Kompetensi Dasar), sehingga sulit menentukan Indikator
Keberhasilannya.
(5) Silabus tidak sinkron dengan buku siswa dan buku pegangan guru.
(6) program penilaian yang sudah beberapa kali diubah itu harus ditinjau ulang karena
menjadi penilaian subyektif, bukan penilaian otentik lagi.
(7) penggunaan satu-satunya model pembelajaran yaitu model saintifik (5 M) telah
mengacaukan hakekat kebebasan mimbar akademik, karena masih banyak metode, strategi
dan model pembelajaran lain yang lebih situasional dan kontekstual.
(8) penghapusan mata pelajaran TIK di semua jenjang pendidikan telah mengacaukan system
of knowledge dari iptek. Anak-anak dan guru banyak yang menggunakan gawai (gadget)
namun buta teknologinya, kalau gawai rusak, harus beli yang baru (tidak tahu cara
Padahal dalam Diklat sertifikasi guru yang hanya 3 hari itu sudah mulai diperkenalkan adanya silabus dan RPP yang
seragam yang dikemas dalam KTSP Bimtek, dengan alasan harus ada panduan penyusunan kurikulum secara nasional
117

167

157

reparasinya). Kemdikbud telah menurunkan derajat generasi muda dari programmer menjadi
user saja (menjadi konsumen dari teknologi informatika). Memang dalam penerapan terbaru
Kurikulum 2013, ada tanda-tanda bahwa mata pelajaran TIK boleh diajarkan lagi, tapi hanya
berfokus pada teknologi informasi, bukan pada teknologi komunikasi (gawai/gadget) yang
sekarang menjadi hajat hidup orang banyak., sehingga siswa tetap ketinggalan jaman.
(9) Penghapusan IPA di kelas 1, 2, 3 SD telah merusak system of knowledge dari sains,
merusak penalaran halus (fine tuning) siswa. Siswa akan mengira bahwa Biologi itu hafalan
dan Fisika itu adalah kumpulan rumus/dalil yang mesti dihafal.
(10) Pemaksaan dilanjutkannya Kurikulum 2013 pada saat ini telah mengabaikan Nawa Cita
No.3 (lihat hasil survey berbagai lembaga internasional tentang kemerosotan kualitas
pendidikan kita, di bagian akhir dari Bab Pendahuluan). Melanjutkan Kurikulum 2013 tanpa
menyimak pro kontra yang timbul, jelas-jelas mengabaikan Nawa Cita No.8 : pemerintah
akan menata ulang kurikulum pendidikan nasional.
Dengan demikian, sampai saat ini, para kepala sekolah diarahkan untuk tetap mengusung
hegemoni pemerintah atas dunia pendidikan dan pengajaran kita, melupakan ketentuan Pasal 5
Permendikbud No. 158 Tahun 2014 yang ditanda tangani oleh Mendikbud M. Nuh pada tanggal 17
Oktober 2014 : sekolah yang terakreditasi A, menerapkan sistim kredit semester (SKS)118 dan Perpres
No. 77 Tahun 2007 dimana sektor pendidikan terbuka bagi PMA (Penanaman Modal Asing)

Perpres No. 77 Tahun 2007 yang ditanda tangani oleh Presiden SBY tanggal 3 Juli 2007 itu
menyokong arus deras globalisasi dan liberalisasi pendidikan, yang nampak pada Lampiran II119 :
Arus globalisasi dan liberalisasi pendidikan itu adalah buah dari kesepakatan kita dalam WTO dan
ACMW, yang tercermin dalam pemberlakuan pasar bebas : MEA 2015 (ASEAN Economic
Community 2015) dan APEC 2020 (Asia-Pacific Economic Cooperation 2020), dimana sektor jasa
pendidikan akan terbuka bagi lalu lintas barang dan orang (SDM), tidak boleh ada restriksi lagi.
Permendikbud No. 31 tahun 2014 justru bisa menimbulkan masalah dengan WTO dan ACMW.

118

119

Dalam rumusan ini dijumpai kata dapat, sehingga secara hukum, kalimatnya harus dibaca : sekolah yang
terkareditasi A, bisa langsung menerapkan SKS (bukan menerapkan paket SKS, tapi menerapkan sistim baku SKS)
- a. Dicadangkan untuk UMKMK : No.18 Education Building (KBLI 45216 sektor Pekerjaan Umum)
- c. Kepemilikan modal :
No.66 Education building (KBLI 45216 sektor Pekerjaan Umum)
No.72 Pendidikan Dasar dan Menengah (KBLI 80121, 80122, 80123, 80221, 80222 sektor Pendidikan Nasional
No.73 Pendidikan Tinggi (KBLI 80321, 80322 sektor Pendidikan Nasional)
No.74 Pendidikan Non Formal (KBLI 80921, 80922, 80923 80929 sektor Pendidikan Nasional)

168

158

Yang sekarang terjadi adalah pergeseran makna dari kurikulum menjadi pengajaran, seperti
yang nampak dalam Surat Keputusan Dinas Pendidikan di berbagai daerah untuk menunjuk sekolahsekolah tertentu sebagai sekolah piloting Kurikulum 2013 (melupakan ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2
ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember 2014), atau melanjutkan
penerapan Kurikulum 2013 tanpa revisi dengan mengabaikan suara pro-kontra soal Kurikulum 2013.
Betapa pendeknya ingatan sejarah para birokrat kita.

120

Harapannya hanyalah semoga ada dana

yang dikucurkan untuk memulai lagi pelatihan Kurikulum 2013 sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 (mental proyek tak pernah sirna, 121 mengorbankan ketentuan
Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014 untuk melangkah ke SKS), sehingga kalau Mendikbud
tahun 2016 nanti ingin mencanangkan UN Online, situasinya tak akan jauh berbeda dengan ketidaksiapan melaksanakan UN Online sekarang ini (bukan saja karena mata pelajaran TIK baru akan
diterapkan tahun ini, karena memang baru dicantumkan lagi dalam Kurikulum 2013 baru dengan
peralatan komputer seadanya, tetapi terlebih-lebih karena masih banyak pihak yang berkepentingan
dengan UN tertulis sebagai proyek abadi Kemdikbud). Maka hasil UKG Online-pun sudah bisa
ditebak, semua guru akan lolos uji kompetensi guru (UKG) (Lihat Kompas, Rabu 11 November 2015
halaman 11 : Guru Kesulitan Jawab Soal)

Kurikulumnya belum digital, bagaimana bisa membuat UN digital (UN Online) dimana nilai
ujian dan Analisa Soal bisa diperoleh secara langsung begitu ujian terselesaikan (on the real
time)122
Bagaimana kalau ternyata banyak soal-soal UN itu setelah diuji menggunakan Analisa Soal ternyata
tidak valid ? (banyak soal harus direvisi atau ditolak) Artinya penyusunan soal tidak memperhatikan
kisi-kisi konsep SPM dan bobot soal tidak memperhatikan ketercapaian strategi pembelajaran?
Apakah hasilnya tetap akan diterima atau dianulir ? Soal-soal yang diterima oleh program Analisa
Soal ini kemudian dikumpulkan dalam Bank Soal. Jadi Bank Soal berisi soal-soal yang telah diuji
coba dan terbukti dapat memisahkan kelompok siswa yang sudah menguasai suatu topik/tema
tertentu dengan kelompok siswa yang belum menguasai topik/tema tertentu. Apakah Kemdikbud
sudah mempunyai Bank Soal sehingga tetap meneruskan penyelenggaraan Ujian Nasional meskipun
Kurikulum 2006 dan SKS memerlukan kebebasan mimbar akademik sebagaimana telah diuraikan dalam Bab I,
sedangkan KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 justru menegasikan otonomi pendidikan dan mengusung semangat
hegemoni pemerintah dalam dunia pengajaran di kelas (dua kutub yang berbeda tidak bisa berjalan bersamaan
karena dasar filosofisnya berbeda jauh)
120

Dengan Kurikulum 2013, sekolah tidak akan pernah bisa menerapkan SKS, karena guru tidak terlatih menyusun
kurikulumnya sendiri, sebagaimana terlihat pada Catatan Kaki No.2 Dasar Hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan
121

122
Buku Disain Kurikulum Digital, Wendie Razif Soetikno, Smart Writing, Yogya, 2009, Cetakan ke-7 oleh Bank Mandiri
diajukan dalam Asian CSR Award 2015 di Manila untuk kategori Education Improvemnet (Lihat juga Catatan kaki No.5)

169

159

sudah ada putusan inckracht Mahkamah Agung (MA) No. 2596 K/PDT/2008 yang meminta
pemerintah membatalkan Ujian Nasional sampai sarana dan prasarana sekolah terpenuhi dan
kompetensi guru ditingkatkan. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengeluarkan aanmaning
(teguran) kepada Mendikbud M. Nuh karena dianggap melalaikan putusan MA final (kasasi) terkait
Ujian Nasional. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memanggil Mendikbud untuk mendengarkan
aanmaning pada hari Rabu tanggal 10 April 2012, namun Mendikbud M. Nuh tetap ngotot
menyelenggarakan Ujian Nasional. Mendikbud telah mengabaikan putusan MA agar memperbaiki
sarana dan prasarana sekolah dan meningkatkan kompetensi guru, Mendikbud M.Nuh memilih tetap
melanjutkan proyek tebar uang melalui program sertifikasi guru yang tak terkait uji kompetensi guru
(UKG) dan kinerja guru, serta tetap berkukuh melaksanakaan Kurikulum 2013 dan UN, hanya demi
proyek penyerapan anggaran, bukan untuk kemashalatan bersama.
Harap diingat, bahwa banyak sekolah mempunyai Analisa Soal type ANATES (yang

dikeluarkan oleh ITB) atau SPS Sutrisno Hadi (yang dikeluarkan UGM) , atau Analisa Soal
dari Disain Kurikulum Digital, sehingga validitas soal Ujian Nasional bisa langsung di cek di
masing-masing sekolah secara real time.
Pertanyaan penting tentang validitas soal ini tak akan terjawab tahun ini karena pemerintah sibuk
dengan penerapan Kurikulum 2013 (berkukuh pada penerapan proyek sebagaimana tercermin dalam
Pasal 2 ayat 1 + Pasal 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014, dan lupa pada ketentuan Pasal 1 + Pasal
2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014), abai pada keputusan penting dalam menghadapi
globalisasi dan liberalisasi pendidikan yang tercermin pada Pasal 5 Permendikbud No. 158 tahun
2014 123 dan Perpres No. 77 Tahun 2007 yang membuka akses pendidikan bagi modal asing (PMA)

Kurikulum adalah perangkat demokratisasi


Esensi pembangunan dalam term ruang sosial adalah Pancasila in action, bukan ucapan
atau hafalan. Tanpa menyebut sila demi sila, pembangunan khas ini mewujudkan kemanusiaan yang
adil dan beradab dengan jalan meminta setiap warga dewasa ikut aktif membahas kehadiran setiap
proyek yang akan dibangun di komunitasnya (termasuk pemberlakuan kurikulum baru, seperti
Kurikulum 2013). Dengan kata lain, dia diwongke, diakui martabatnya selaku manusia, bukan
sekedar warga yang ber-kartu-penduduk, bukan sekedar guru yang tercantum dalam Dapodik atau
Padamu Negeri.
Berdasarkan pendidikan dan pengalaman, mungkin efektivitas dan intensitas partsipasi warga bisa
berbeda. Bila pemerintah, pusat atau daerah, menganggap ada warga yang belum cukup enlightened
123

Pasal 5 Permendikbud No. 158 tahun 2014 tertanggal 17 Oktober 2014 : Sekolah yang terakreditasi A, menerapkan
SKS

170

160

atau matang secara intelektual, obatnya bukan merenggut keotonomian individual dari orang yang
bersangkutan (atau merenggut otonomi guru dan otonomi sekolah), tetapi menginformasikan
kekurangannya melalui bimbingan dan penyuluhan (tutorship). Inilah fungsi yang diemban oleh
LPMP dahulu. Dalam konsep pembangunan ini otonomi individu bukan hanya berupa aims tetapi
lebih-lebih the principal means untuk mewujudkan keadilan dan kemitraan guna kebaikan dan
kebahagiaan bersama.
Pembangunan dalam term ruang sosial membuat demokrasi (kerakyatan) bisa berjalan, bahkan secara
langsung bagai di zaman Yunani Purba, melalui musyawarah pembahasan proyek yang tidak
mengizinkan peserta mewakili atau diwakili. Guru tidak bisa diwakili melalui guru inti atau

instruktur. Begitu juga, para guru inti dan instruktur tidak boleh merasa mewakili para guru.
Inilah yang disebut demokrasi kontinu di mana warganegara diminta memberi pendapat atau
suaranya tidak hanya di pilpres, pilleg, pilkada. Maka keberadaan sistem demokrasi kontinu (juga di
dalam dunia pendidikan melalui demokrasi kontinu pendidikan) di mana ada demokrasi langsung di
dalam sistem demokrasi-tak-langsung dewasa ini, adalah suatu manifestasi dari demokrasi
modern.124 Oleh sebab itu hak guru untuk berserikat dijamin oleh Undang-undang125

Melalui

perserikatan itu, sebenarnya bargaining power para guru hendak ditingkatkan dalam menghadapi
para Pengawas dan birokrat Dinas Pendidikan, sehingga para guru tidak perlu takut, tunjangan
sertifikasinya akan dicabut bila dia mempertanyakan kebijakan publik, seperti pelaksanaan
Kurikulum 2013 yang tergesa-gesa ini dan pelaksanaan Ujian Nasional yang soalnya belum teruji
(Lihat UU No. 14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen) Pasal 14 ayat 1 butir (c) : guru memperoleh
perlindungan dalam melaksanakan tugas, dan Pasal 14 ayat 1 butir (g) : guru memperoleh jaminan
keselamatan dalam melaksanakan tugas, serta Pasal 39 ayat 3 : Perlindungan hukum bagi para
guru mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan (termasuk kekerasan tutur),
ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak birokrasi).
Sayang sekali, semua ketentuan baku ini yang menjamin otonomi guru dan kebebasan mimbar
akademik ini tidak disosialisasikan oleh para Pengawas dan Dinas Pendidikan di daerah, sehingga
guru selalu ada di pihak yang lemah dalam mengkritisi kebijakan birokrat. Apalagi demokrasi dalam
dunai pendidikan ini telah dipasung melalui keberadaan Pengawas yang tidak mengacu pada Pasal
10 UU Sisdiknas (capacity building), tetapi mengacu pada Lampiran Permendikbud No.65 Tahun
2013 Bab VI No.2 (watch dog). Akibatnya, sifat Kurikulum 2013 yang top down yang dikawal oleh
para Pengawas ini telah menghancurkan fungsi inspiratif dari kurikulum.
Makalah Dr. Daud Yusuf dalam Seminar Pendidikan Nasional : Pembelajaran Holistik, Inklusif dan Berkelanjutan
dalam Memasuki Renaisance Baru, Kamis 4 Juni 2015, Sumba Room, Hotel Borobudur
125
Lihat Pasal 14 ayat 1 butir (h) UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen : guru bebas berserikat dalam
organisasi profesi
124

171

161

Fungsi deliberasi dari pengajaran


Selama ini kita mengenal peralatan yang disebut mikroskop dan teleskop. Mikroskop
merupakan suatu terobosan ilmiah merasuk dunia dari yang serba kecil-tak-terhingga (the world of
the infinitely small). Ia memungkinkan manusia mendalami hidup, menemukan sel-sel termasuk
DNA, mikroba dan virus, yang mendorong kemajuan biologi dan kedokteran. Teleskop merupakan
terobosan ke alam yang infinitely big. Ia membuka spirit ke kesemestaan alam, keluasan kosmos,
menjajaki rute planet dan bintang dan menyiapkan mahluk manusia menguasai ruang angkasa.
Sayangnya, pemahaman yang infinitely big melalui Ilmu Bumi Falak (astronomi) ini justru dihapus
siswa mengalami rabun jauh dalam memahami hakekat alam semesta. Matahari terbit di Timur dan
tenggelam di Barat dipahami sebagai sesuatu yang baku, padahal hal itu harus dipahami melalui
gerak rotasi dan gerak revolusi bumi. Bintang-bintang menjadi tidak punya arti dalam kehidupan
siswa modern, padahal bintang merupakan penanda arah, penanda dimensi dll.

Jadi mikroskop

adalah jalan untuk menghayati jagad cilik sedangkan teleskop adalah jembatan untuk menghayati
jagad gede. Melalui pemahaman jagad cilik dan jagad gede, siswa akan diajak memahami
bahwa dirinya adalah bagian dari alam semesta (Siswa seharusnya tidak teralienasi dari alam, saat
ini siswa tidak lagi peka membaca tanda-tanda alam). Siswa akan mengerti bahwa dirinya adalah
spesifik, bukan cloning dari satu sistim pendidikan atau kurikulum tertentu. Itulah fungsi deliberasi
pengajaran, yaitu menciptakan gen flux, generasi yang berpikir out of the box. Misalnya kelangkaan
BBM tidak diatasi dengan memproduksi bahan bakar alternatif, seperti etanol, tapi dengan
memanfaatkan energi matahari : seperti menciptakan mobil yang menggunakan panel surya.
Sayangnya, kedua alat ini tidak pernah diajukan dalam penganggaran BOS di SD, padahal di
SD-lah diterapkan pembelajaran tematik integratif, setidak-tidaknya kedua alat ini harus dianggarkan
dalam dana BOS di SMP karena di SMP-lah diajarkan IPA Terpadu, sehingga fungsi deliberasi
pengajaran tidak hilang. Sebab kalau fungsi deliberasi pengajaran itu hilang, siswa akan selalu
memecahkan suatu masalah dengan cara klasik, misalnya bila siswa hendak memecahkan soal-soal
Archimedes, maka yang dicari adalah rumus Archimedes : Fa = cair Vb g , bukan mencari dasar
logikanya : kenapa kalau benda dimasukkan ke dalam air, bisa terapung, melayang atau tenggelam;
contoh lain, bila listrik padam, maka siswa secara business as usual langsung mencari genset, bukan
mencari teropong bidik malam/periskop pelihat malam, yang harganya setara genset, sehingga siswa
tetap dapat melihat di dalam kegelapan malam.
Maka bila fungsi deliberasi itu hilang, kata profesi guru dan profesional seorang guru
menjadi nir makna. Kata profesi (professio dari Bahasa Latin) artinya adalah janji atau ikrar kepada
publik atau masyarakat. Janji seorang guru kepada masyarakat adalah membuat anak yang
172

162

bodoh menjadi pintar. Bukan saja pintar secara psikologis, tetapi yang lebih penting adalah
pintar dalam menghadapi kehidupan ini (gen flux)
Sebab profesi adalah kata serapan dari sebuah kata dalam bahasa Inggris "Profess", yang dalam
bahasa Yunani adalah "", yang bermakna: "Janji untuk memenuhi kewajiban melakukan
suatu tugas khusus secara tetap/permanen". Hidup untuk menghidupi kehidupan, hidup yang
memanusiakan manusia muda (bukan menjadikannya sekedar seorang peserta didik)
Karena fungsi pengajaran adalah memanusiakan manusia muda, maka mengajar bukanlah
memberi pengetahuan, karena yang diberi, yakni subyek didik, belum tentu menganggapnya berguna.
Bukan mengalihkan pengetahuan kepada orang lain, yakni subyek didiknya, karena subyek itu adalah
manusia yang sudah berisi, bukan botol kosong yang bisa diisi seenaknya oleh guru. Mengajar
bukan menanamkan ilmu pada diri subyek didik karena sang subyek bukan obyek mati yang mudah
ditanami. Mengajar bukan menggurui karena subyek didik bisa menjadi guru bagi dirinya sendiri
(siswa dapat menjadi tutor sebaya). Mengajar pada hakekatnya adalah menciptakan lingkungan

belajar : menyediakan kondisi untuk membelajarkan subyek didik. Bagi filsafat konstruktivisme
yang menjadi landasan Kurikulum 2006, mengajar adalah kegiatan yang memungkinkan siswa

membangun sendiri pengetahuannya.

Mengajar berarti berpartisipasi dengan siswa dalam

membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, dan menuntun bersikap kritis.
Mengajar adalah membantu siswa berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri. Di
titik inilah Kurikulum 2013 memancing kontroversi, karena Kurikulum 2013 masih menggunakan
istilah peserta didik, bukan subyek didik dan buku ajar/materi/sumber belajar yang ditetapkan
oleh Kemdikbud, telah jauh membatasi wawasan siswa.
Jadi yang dipertanyakan oleh guru bukanlah Bagaimana saya mengajarkan bahan ajar ini?
atau Bagaimana saya mengajar murid saya?, melainkan Bagaimana agar murid saya bisa belajar
dan mempelajari bahan ini?

Dengan kata lain, pengajaran berkaitan dengan strategi

pembelajaran, bukan dengan metode pembelajaran, apalagi kalau dipersempit menjadi hanya
menggunakan metode 5 M, seperti pada Kurikulum 2013, hasilnya pasti diskusi, ceramah, presentasi,
tidak lebih dari itu. Kegiatan itu bukan inquiry atau discovery, tetapi sekedar menggali dan
merekonstruksi apa yang sudah tertulis dalam buku atau apa yang sudah di upload di internet, tidak
sampai ke meta kognitif, bahkan menurut Dr Karlina Supeli hanya sampai kognitif rendah 126
Maka mengajar harus sesuai dengan road map pembuatan RPP yaitu Taksonomi. Kurikulum
2013 menggunakan SOLO Taxonomy (Structure of the Observed Learning Outcomes Taxonomy)

126

Lihat Pidato Kebudayaan Dr. Karlina Supeli pada catatan kaki No. 58, No. 92 dan No. 100

173

163

dengan target mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui


pendekatan disiplin ilmu 127 yang diukur melalui penilaian rubrik (Lihat Bab I Filosofi Pendidikan).
Sedangkan Kurikulum 2006 menggunakan Taksonomi Bloom dengan target mengembangkan model
belajar konstruktivisme yang diukur melalui penilaian holistik (Lihat Catatan kaki No.5)
Dua pendekatan yang berbeda : Kurikulum 2013 secara gamblang menyebut capaian kognitif sebagai
acuannya (yang menjadikan KI 1 dan KI 2 nir makna), sedangkan Kurikulum 2006 mengacu pada
pendidikan holistik sehingga dilengkapi dengan penerapan 18 nilai dalam pendidikan karakter yang
dimonitor dalam Penilaian Berbasis Kelas (PBK)
Banyak yang mengkritik Taksonomi Bloom sudah terlalu kuno. Kenapa masih digunakan?
Karena masih relevan dalam meningkatkan kemampuan (kompetensi) guru dan siswa. Taksonomi
Bloom mengharuskan para guru memberi TELADAN, lalu langsung memberi TUGAS pada siswa,
dan hasil tugasnya (penampilan kinerja siswa/PERFORMANCE ) harus langsung dinilai. Misalnya,
guru Pendidikan Jasmani dan Kesehatan sedang masuk dalam topik LOMPAT JAUH, maka
gurunya yang pertama-tama harus memberi teladan : bagaimana mengambil ancang-ancang, lari dan
melompat dengan posisi jatuh yang benar, agar siswa tidak cedera saat melompat nanti. Setelah para
siswa paham bahwa lompat jauh memerlukan sprint sebelum melompat, lalu memerlukan pelipatan
kaki untuk mengatur jauhnya lompatan dan untuk mengatur posisi jatuh, maka guru dapat memberi
tugas kepada para murid untuk melompat, penampilan anak (performance anak) langsung dinilai.
Contoh lain, guru Matematika akan memberi tugas PR pada para siswanya, maka guru tersebut yang
pertama-tama harus memberi teladan, begini cara menyelesaikan soal berdasar logika (tanpa rumus),
lalu beberapa siswa diminta maju ke papan tulis dan diberi tugas memecahkan soal di papan tulis,
sementara itu, guru berkeliling untuk melihat pekerjaan para siswa di buku masing-masing/di meja
masing-masing siswa, saat itu juga keberhasilan/kegagalan siswa dalam memecahkan soal di papan
tulis itu dinilai (performance siswa dalam menyelesaikan soal langsung dinilai). Setelah yakin bahwa
penjelasan guru dimengerti oleh siswa, maka guru dapat memberi tugas PR. Jadi fungsi PR sebagai
kegiatan kokurikuler yang memperdalam pemahaman siswa dapat terealisir. Kalau langkah ini tidak
dituruti, ada bahaya bahwa PR itu akan bergeser menjadi kegiatan ekstrakurikuler (dibawa pulang
tanpa siswa mempunyai pemahaman yang cukup) sehingga pembuatnya tidak dapat dikontrol (anak
mengumpulkan PR secara lengkap padahal yang membuat adalah orang tuanya atau menyalin dari
temannya).

127

Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 bagian II A No. 3 (yang diulang dalam Permendikbud No. 68
Tahun 2013 (untuk SMP) dan Permendikbud No. 69 Tahun 2013 (untuk SMA)

174

164

SOLO Taxonomy yang diterapkan dalam Kurikulum 2013 tidak secara eksplisit menyebutkan
perlunya TELADAN dari guru, hingga guru bisa kembali ke pola lama, yaitu mengartikan Metode 5
M itu sebagai diskusi dan presentasi, sebab SOLO taxonomy ini berkutat pada masalah
KOMPETENSI dan TINGKAT KOMPETENSI, KOMPETENSI YANG BERSIFAT GENERIK
dan KOMPETENSI YANG BERSIFAT SPESIFIK. Masalahnya adalah :
-

Ada empat rumusan KI (KI 1 KI 4), padahal kalau mengikuti rumusan kompetensi inti
universal, seharusnya ada enam KI (lihat Bab IV : Kurikulum vs Kompetensi). Kalau
Kemdikbud berkukuh pada empat rumusan KI, maka masalahnya terletak pada
pengukurannya : KI 1 (sikap spiritual) seharusnya menggunakan pengukuran SQ (spiritual
quotient), dan KI 2 (sikap sosial) seharusnya menggunakan pengukuran CQ (civic quotient)

Rumusan KI untuk semua jenjang itu sama, artinya menyamakan kompetensi (kemampuan)
inti siswa SD dengan siswa SMA itu muskil, akibatnya KI dan KD itu tidak koheren.

Pengukuran pencapaian KD itu tidak jelas, kalau menggunakan SOLO taxonomy, seharusnya
para guru tidak lagi menggunakan soal-soal Pilihan Ganda, tetapi menggunakan penilaian
rubrik (penilaian kinerja siswa).

Banyak KD memerlukan TELADAN dari guru, terutama pada KBM di SD, dan hal ini tidak
eksplisit muncul dalam SOLO taxonomy, persiapan mengajar guru akan berjalan seperti biasa
(business as usual) dengan resiko seperti yang dipaparkan di bagian Taksonomi Bloom di
bab ini.

Di dalam Taksonomi Bloom inilah diterapkan PBL (project-based learning) dalam arti
sesungguhnya. Dapat dibayangkan bagaimana situasi pembelajaran, bila guru Bahasa Indonesia
memberi tugas membuat puisi, padahal gurunya belum pernah mencoba membuat puisi sendiri, atau
175

165

guru Biologi memberi tugas pengamatan organ hewan padahal gurunya sendiri geli saat memegang
katak, bagaimana siswa dapat membedakan hewan berdarah dingin dan hewan berdarah panas ?
Atas dasar upaya terus menerus untuk peningkatan kemampuan (kompetensi) guru dan siswa itulah,
Kurikulum 2006 memilih menggunakan Taksonomi Bloom (bukan SOLO Taxonomy yang lebih
baru).

Sedangkan Kurikulum 2013 menggunakan SOLO taxonomy tetapi lupa merumuskan

kompentensi generik dan kompetensi spesifik, sehingga menimbulkan masalah pada evaluasi hasil
belajarnya (evaluasi tidak menggunakan pengukuran Indikator Keberhasilan di silabus dan penilaian
rubrik) serta tidak menggunakan SQ (spiritual quotient) untuk mengukur ketercapaian KI 1 dan CQ
(civic quotient) untuk mengukur capaian KI 2, karena menurut para penggagas Kurikulum 2013,
Kurikulum 2013 itu tidak lebih dari baju baru KBK (2004) yang dianggap sesuai dengan tujuan
pendidikan Kurikulum 2013128
Kalau guru gagal dalam memberi TELADAN, maka kesalahan akan dibawa siswa seumur
hidup.

Mau bukti?

Pergilah ke poliklinik/RS : lihatlah bagaimana perawat memperlakukan

thermometer badan. Sebelum memasang thermometer di ketiak pasien, perawat itu akan mengetrekketrek thermometer lebih dulu, baru memasangnya pada ketiak pasien. Kalau para perawat itu
ditanya, kenapa thermometer itu diketrek-ketrek, jawabnya adalah supaya thermometer kembali
menunjuk angka nol. Jelas hal ini salah. Secara kognitif, perawat itu tahu bahwa suhu nol itu hanya
akan dicapai bila thermometer itu dimasukkan dalam es yang mencair, tapi kenapa thermometer tetap
dikretek-ketrek sebelum digunakan? Karena gurunya dulu tidak pernah memberi TELADAN saat
menerangkan tentang pengukuran suhu : pada topik macam-macam thermometer (Thermometer
Celsius, Reamur, Fahrenheit, dan Kelvin). Bayangkan kalau guru juga tidak memberi TELADAN
pada permainan bola besar : sepak bola, pasti banyak siswa akan mudah cedera pada tulang kering
kakinya atau permainan sepak bola bukannya menyehatkan badan, malah membuat badan terasa sakit
semua.
Disamping dilengkapi dengan Taksonomi Bloom, Kurikulum 2006 juga dilengkapi dengan
Analisis Esensi Materi dan Strategi Penyelesaian Masalah berbasis multiple intelligence. Analisis
Esensi Materi sudah dijelaskan di bagian atas, bahwa kalau Substansi Masalah dan Masalah
Paedagogisnya berbeda, silabusnya akan berbeda pula.
Strategi Penyelesaian Masalah penting untuk memberikan rasa keadilan pada siswa pintar dan
siswa yang kurang pintar .

Kalau siswa yang kurang pintar berhak mendapat tambahan

perbaikan nilai melalui program remedial, maka siswa yang pintar juga berhak mendapat tambahan

Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II A No. 3 : Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan
kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui pendekatan disiplin ilmu, yang di copy paste dalam
Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian II A No.2 dan No.3 (Lihat Catatan * di Kata Pengantar)
128

176

166

nilai melalui program pengayaan (enrichment). Dengan kata lain, apabila siswa yang kurang pintar
itu, setelah menempuh program remedial, akhirnya memperoleh nilai setara KKM : 75 (batas bawah
ketuntasan belajar), maka siswa yang sedari awal sudah memperoleh nilai 75 ke atas, berhak untuk
mendapat tambahan nilai setelah menempuh program pengayaan. Bagaimana dengan siswa yang
sejak awal sudah mendapat nilai 100 atau A, siswa yang bersangkutan tetap harus menempuh
program pengayaan, bila berhasil, maka siswa tersebut dapat naik kelas lebih cepat (kelas akselerasi)
atau siswa tersebut dapat langsung masuk ke topik yang lebih sulit atau tema yang lebih sukar (sistim
kredit semester). Siswa yang pintar mengikuti program pengayaan melalui PENDALAMAN
MATERI, sedangkan siswa yang kurang pintar mendapat upaya peningkatan pemahamannya
melalui perubahan strategi mengajar guru (PENDALAMAN STRATEGI). Kenapa siswa yang
kurang pintar tidak boleh mengulang materi yang sama yang belum dikuasainya dengan metode
yang sama? Karena belum tentu minat dan bakatnya di bidang yang diujikan itu. Misalnya, siswa
yang bodoh dalam Matematika, barangkali bakatnya di bidang musik, biarpun disuruh remedial
Matematika berulang kali, tidak akan mampu mengerjakan soal-soal Matematika yang rumit itu,
maka strateginya yang harus diubah (bukan dengan mengikuti program remedial berulang kali).
Contoh yang sering dipakai adalah siswa yang mendapat nilai jelek dalam seni suara atau musik,
biarpun dia diremedial ratusan kali, tidak mungkin dia dapat menjadi artis. Tapi kenapa hal itu kita
terapkan pada Matematika dan Sains ? Kita minta siswa mengikuti program remedial Matematika
dan Sains dengan harapan : mereka akan memahami matematika dan Sains, apakah mungkin (karena
bakat dan minatnya ada di bidang lain)? Maka guru harus mengubah strategi pembelajaran melalui
Pendalaman Strategi. Sehingga siswa dapat memenuhi SPM dalam bidang yang sedang digelutinya,
tanpa mematikan minat dan bakatnya sendiri.
Misalnya : Indikator : Siswa dapat mempraktekkan permainan bola besar : sepak bola (bola kaki).
Maka guru harus mencari kata kunci (key word) dari sepak bola. Sepak bola, sama halnya seperti
ballet, memerlukan kelenturan pergelangan kaki, yang harus dilatih sejak kecil. Itu sebabnya, klubklub sepak bola di luar negeri selalu mempunyai sekolah sepak bola yang melatih sepak bola sejak
usia dini. Kelenturan pergelangan kaki tidak bisa dikuasai saat anak sudah remaja. Memang mereka
dapat tetap bermain bola, tapi pasti akan kalah terus dalam pertandingan.
Maka siswa yang sudah mahir dalam permainan sepak bola dapat mengikuti program
pengayaan yaitu free style street soccer (free style football), sedangkan siswa yang belum mahir
dalam sepak bola harus mengikuti strategi baru (tidak mengulang bermain sepak bola atau futsal)
tapi bisa mengikuti senam lantai dengan menggunakan bola untuk melatih kelenturan kaki dan
mendapat feeling tentang (permainan) bola besar.

177

167

INDIKATOR
Siswa dapat mempraktekkan
permainan bola besar : sepak
bola

MATERI
Permainan
bola besar :
sepak bola

STRATEGI
Inquiry
(menemukan
sendiri tehnik
menyepak,
menggocek
dan
mengoper
bola yang
sesuai
dengan
kelenturan
kakinya)

PENDALAMAN

PENDALAMAN

MATERI

STRATEGI

Free style
street soccer
(free style
football)

Using Multiple
context
(mempelajari ilmu
dalam bermacammacam konteks)
belajar kelenturan kaki dalam
mengolah bola
melalui senam
lantai menggunakan bola

Hal yang sama berlaku untuk matematika dan sains. Siswa yang tidak bisa memecahkan problem
matematika (strategi awal : Problem based) maka siswa itu tidak diminta mengikuti program
remedial berulang, tapi guru mengganti strategi Problem based dengan strategi baru yaitu :
Employing Authentic Assessment (menghubungkan dengan kehidupan nyata), guru mengganti soal
matematika dengan soal-soal cerita (persamaan tersamar), misalnya ada seorang petani hendak
membagi harta warisnya yaitu 17 ekor sapi. Anak pertama (Budi) mendapat dari hartanya itu,
anak kedua (Rudi) mendapat 1/3 dari hartanya itu, dan anak ketiga (Dudi) mendapat 1/9 dari
hartanya. Tapi petani itu berpesan, sapi itu harus dibagi sesuai jatah masing-masing, tidak boleh ada
yang dipotong, tidak boleh ada yang dijual dan tidak boleh mencari pinjaman sapi dari tetangga,
karena tetangganya belum tentu punya sapi (mungkin hanya punya kambing), bagaimana cara
membaginya ?
(Soal-soal persamaan tersamar ini ada di Kurikulum 1975 (dialokasikan jam yang dikhususkan untuk
membahas persamaan tersamar, terpisah dari jam aritmatika). Persamaan Tersamar dihapus pada
Kurikulum 1984, lalu buku Persamaan Tersamar ini ikut dibuang, padahal soal-soal persamaan
tersamar ini penting dalam mengasah logika dan selalu muncul dalam bentuk Verbal Test GMAT.
Kekeliruan mendasar yang lain adalah menganggap apapun kurikulumnya, pasti compatible
dengan SKS. Padahal untuk dapat menyusun diktat, LKS dan modul (sebagai prasyarat dasar dalam
penyusunan Analisa vertikal dan Analisa horizontal pada SKS), guru harus mampu membuat Silabus
sendiri. Bagaimana mungkin guru dapat membuat Silabus sendiri bila kewenangan guru ini dikebiri
(semua yang berkaitan dengan proses KBM di drop oleh Kemdikbud) melalui tafsir baru dari Pasal
10 UU Sisdiknas (tentang eksistensi dan kewenangan Pengawas) dan amputasi tugas profesional dan
kewenangan guru dalam Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi kerdil dalam Pasal 20 PP No. 32

178

168

Tahun 2013?

129

Guru juga tidak akan mampu menyusun Analisa vertikal dan Analisa horizontal

bila materi/bahan ajar sudah ditentukan oleh pemerintah melalui pencetakan buku siswa (sumber
belajar) secara seragam di tingkat nasional. Apakah materi/bahan ajar itu berulang di kelas berikutnya
atau antar tema tidak nyambung (analisa vertikal tidak dilakukan) atau apakah materi/bahan ajar itu
saling terkait satu sama lain atau topik terpisah satu sama lain (analisa horizontal tidak dijalankan),
guru tidak bisa melakukan apapun lagi, tinggal menerima buku siswa dan tinggal menjalankan saja
instruksi dari instruktur atau arahan dari Pengawas yang mengharuskan guru mengikuti lurus-lurus
buku siswa (sumber belajar) itu, dengan alasan buku siswa (sumber belajar) itu sudah disusun oleh
tim ahli. Dengan kata lain, Kurikulum 2013 ini menghilangkan kreativitas dan inisiatif para guru.
Untuk dapat menyusun modul, maka guru harus menguasai perumusan Keunggulan Lokal
dan Keunggulan Global serta menguasai Tujuh Prinsip Pengembangan Kurikulum yang termaktub
dalam Standar Isi pada Kurikulum 2006. Perumusan Keunggulan Lokal dan Keunggulan Global ini
dimulai dengan mencari kata kunci (key word) dari KD sehingga guru bisa fokus dalam mengajar
inti masalah dan tidak terjebak mengajarkan keseluruhan materi yang ada di buku siswa
(materi/buku sumber belajar). Target kurikulumnya jelas yaitu memisahkan bagian yang dapat
dibaca oleh siswa sendiri (di rumah) dan membuka dimensi kebeluman.
Misalnya : kata kunci dari KD 5.1 : Melaksanakan pengamatan objek secara terencana dan
sistematis untuk memperoleh informasi gejala alam biotik dan a-biotik, adalah observasi sehingga
guru fokus mengajar : bagaimana melakukan observasi yang dapat dibenarkan secara ilmiah,
bukan sekedar mengamati, tetapi mencatat fakta-fakta yang ada, lalu menganalisis benang merah
dari semua fakta yang tersaji. Dengan kata lain, observasi melatih siswa untuk shift dari berpikir
deduktif ke induktif
Hanya sayangnya, ketiga hal penting ini (perumusan Keunggulan Lokal, dan Keunggulan Global
serta penguasaan Tujuh Prinsip Pengembangan Kurikulum) justru dihapus dalam Kurikulum 2013.
Tanpa kemampuan menyusun modul, penerapan SKS sesuai ketentuan Pasal 5 Permendikbud

129

Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 : Perencanaan pembelajaran meliputi Silabus dan RPP yang sekurang-kurangnya
memuat tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar
(Lihat juga catatan kaki No.5)

Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 : Perencanaan pembelajaran merupakan penyusunan RPP untuk setiap muatan
Pembelajaran (penyusunan materi ajar/sumber belajar diambil alih pemerintah melalui penerbitan buku ajar (buku
siswa), proses belajar diatur pemerintah melalui penerbitan buku pegangan guru, dan metode ditentukan
pemerintah (harus menggunakan metode 5 M), serta penilaian dirumuskan pemerintah melalui Permendikbud No.
66 Tahun 2013, lalu diubah melalui Lampiran IV Permendikbud No. 81 A, dan diubah lagi melalui Peraturan
Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No. 5496/C/KR/2014 dan No.7915/D/KP/2014, yang masih salah secara
matematis.

179

169

No.158 Tahun 2014 hanya akan menjadi utopia, dan kita akan terjebak pada penerapan paket SKS,
seperti yang sudah lama dipraktekkan dalam kelas akselerasi dan mantan sekolah RSBI dulu.
Misalnya : Mata Pelajaran IPA Terpadu - Biologi SMP Kelas VII
Kompetensi Dasar

Kata Kunci

5.1 Melaksanakan pengamatan objek secara terencana dan sistematis untuk


memperoleh informasi gejala alam biotik dan a-biotik

Observasi

5.3 Menggunakan mikroskop dan peralatan pendukung lainnya untuk mengamati


gejala-gejala kehidupan

Preparat

5.4 Menerapkan keselamatan kerja dalam melakukan pengamatan gejala-gejala


alam

Penelitian lapang

6.1 Mengidentifikasi ciri-ciri makhluk hidup

Karakteristik

6.2 Mengklasifikasikan makhluk hidup berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki

Taksonomi

6.3 Mendeskripsikan keragaman pada sistem organisasi kehidupan mulai dari


tingkat sel sampai organisme

Diversifikasi

7.1 Menentukan ekosistem dan saling hubungan antara komponen ekosistem

Ekologi

7.2 Mengindentifikasikan pentingnya keanekaragaman makhluk hidup dalam


pelestarian ekosistem

Plasma nuftah

7.3 Memprediksi pengaruh kepadatan populasi manusia terhadap lingkungan

Densitas

7.4 Mengaplikasikan peran manusia dalam pengelolaan lingkungan untuk


mengatasi pencemaran dan kerusakan lingkungan

Konservasi

Kenapa mencari kata kunci ini penting? Supaya guru fokus pada target kurikulum dan tujuan
pembelajaran dan tidak tersesat mengajarkan semua yang ada di buku ajar/materi/sumber belajar
(halaman demi halaman). Tidak ada lagi seruan guru : Buka halaman sekian .. Dengan kata
lain, guru dapat memilah dan memilih mana yang primer dan mana yang sekunder. Tidak semua
bahan yang ada di buku siswa itu penting (ada bagian yang dapat dibaca sendiri oleh siswa di rumah),
karena itu di Silabus selalu dicantumkan materi pokok, materi yang dianggap penting dan berguna
dalam meletakkan dasar pemahaman teoritis siswa. Celakanya, Silabus sekarang ini disusun oleh
Kemdikbud, sehingga para guru kehilangan keterkaitan antara materi pokok dan materi sekunder,
serta rumusan Indikator Keberhasilannya Akibatnya, bobot soal tidak lagi memperhatikan urgensi
suatu materi/bahan ajar. Soal-soal yang diujikan bisa ditolak dalam ITEMAN (ANATES dari ITB,
SPS Sutrisno Hadi dari UGM, atau Analisa Soal dari Disain Kurikulum Digital. Bahkan kesalahan
fatal bisa terjadi, Kurikulum 2013 yang mengadopsi SOLO taxonomy ternyata tidak menggunakan
penilaian rubrik, tetapi menggunakan soal-soal Pilihan Ganda, dengan konversi yang aneh (jumlah
soal : kelipatan 40, salah 10 : IP-nya 3, salah 20 : IP-nya 2) (lihat Bab V : Kompetensi vs Penilaian).
180

170

Mari kita simak, pola pencarian kata kunci yang mengusung kemampuan berpikir kritis, kreatif
dan imajinatif
Tujuh Prinsip Pengembangan Kurikulum

Kata Kunci

1. Berpusat pada potensi,perkembangan, kebutuhan dan kepentingan siswa dan


lingkungannya

Siswa

2. Beragam dan terpadu

Terintegrasi

3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni

Responsif

4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan

Relevan

5. Menyeluruh dan berkesinambungan

Komprehensif

6. Belajar sepanjang hayat

Pembelajar

7. Seimbang antara kepentingan nasional dan daerah

Balans

Kalau kedua kata kunci itu kalau digabungkan akan menghasilkan pemetaan siswa menurut Multiple
Intelligence, apa pengetahuan dasar yang harus dikuasai siswa dan apa yang tidak perlu dipaksakan
harus dikuasai siswa mengingat bakat dan minatnya berbeda (penyusunan SPM Akademik)
KD 5.1
Observasi

KD 5.3
Preparat

Siswa

Terintegrasi
Responsif
Relevan
Komprehensif
Pembelajar
Balans

x
x

KD 5.4
Penelitian
lapang

KD 6.1
Karakteristik

KD 6.3
Diversifikasi

KD 7.1
Ekologi

x
x

KD 6.2
Taksonomi

KD 7.2
Plasma
nuftah

KD 7.3
Densitas

KD 7.4
Konservasi

x
x

Dari tabel di atas, mengapa siswa tidak perlu menguasai 4 KD : karakteristik, taksonomi,
diversifikasi, dan ekologi? Karena keempat hal itu adalah bidang biologi murni, siswa yang berbakat
di bidang Bahasa tidak perlu menguasai hal-hal sangat teknis dalam biologi.130

Bakat dan minat siswa berbeda-beda sesuai dengan pemetaan Multiple Intelligence, siswa yang kurang menguasai
Biologi bukan berarti bodoh, mungkin bakat dan minatnya di bidang bahasa

130

181

171

Dengan demikian, tabel ini sekaligus menunjukkan SPM akademik (bukan sekedar SPM sarana dan
prasarana seperti Permendikbud No. 23 Tahun 2013).
Maka untuk bahan penyusunan Diktat Bab I terdiri dari beberapa kata kunci (lihat di tabel diatas):
Siswa

Observasi

Preparat

Penelitian lapang

Plasma Nuftah

Densitas

penelitian

Konservasi

hereditas

ekosistem
Jadi gabungannya adalah : SISWA MENELITI TENTANG HEREDITAS DAN DAMPAK
POPULASI MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM
Dengan menggunakan prinsip 5 W + 1 H , guru dapat menyusun isi diktat :
1. What : Apa yang dimaksud dengan hereditas?
2. Why : Mengapa populasi manusia bisa berdampak negatif pada ekosistem?
3. Who : Siapa penyusun teori pola keteraturan hereditas mahluk hidup?
4. Whom : Kepada siapa kesalahan mengenai AMDAL dapat diadukan?
5. When : Bilamanakah kesimpulan suatu penelitian dapat dikatakan tidak sahih?
6. How : Bagaimana pola rantai makanan dalam lingkungan di sekitarmu dapat dirumuskan?
Apa yang tertulis di atas hanya contoh, pertanyaan bisa diajukan beberapa kali (untuk What bisa 5
pertanyaan, untuk Why bisa 6 pertanyaan, dst)
Dengan menjawab pertanyaan di atas secara lengkap akan didapat isi diktat, yang tidak terdapat
dalam buku ajar/buku teks, sehingga siswa mau datang ke sekolah dengan curiosity karena dia tahu,
banyak bahan yang tidak akan dia peroleh di luar kelas (kehadirannya di kelas tak tergantikan oleh
bimbel/les privat). Disinilah wibawa akademik seorang guru ditegakkan, bukan dengan marahmarah, bukan dengan menunjukkan kelulusan pada Diklat sertifikasi guru, tetapi dengan
menunjukkan keluasan wawasannya melalui diktat yang disusunnya. Kemampuan menyusun diktat
ini sudah lama sirna, sejak Kemdikbud membentuk tim penilai buku ajar/materi yang layak
digunakan dan sekolah tinggal menerima buku yang direkomendasikan Dinas Pendidikan setempat
pada awal tahun 1994 (pada awal pelaksanaan Kurikulum 1994).
Dari contoh diatas, pencarian kata kunci bisa berbeda, penggabungannya dapat berlain-lainan,
penyusunan Kalimat Tanya dalam 5 W + 1 H bisa berbeda, sehingga isi diktat bisa jauh berlainan,
tergantung keluasan wawasan guru, bagaimana mungkin materi/bahan ajar mau diseragamkan seperti
pada Kurikulum 2013 ?
182

172

Diktat + LKS = Modul, kalau guru tidak bisa menyusun silabus sendiri, lalu diktat (buku
ajar/materi/sumber belajar) dibuatkan oleh pemerintah, bagaimana guru bisa membuat modul ?
Kalau guru tidak bisa membuat modul sendiri, bagaimana sekolah bisa maju ke SKS ?

Ada yang

berkilah bahwa kurikulum SKS dapat mengandalkan franchise kurikulum IB atau Cambridge,
masalahnya adalah tanpa pembuatan modul oleh guru sendiri, keunggulan lokal tak pernah dapat
dirumuskan, sehingga beda antar sekolah menjadi tidak nampak, akibatnya sekolah bersaing dengan
berbagai cara untuk mendapatkan murid baru (menarik pendaftar)
Intinya, kurikulum harus bisa mendorong guru menjadi manusia pembelajar sehingga
tunjangan sertifikasi dapat dimanfaatkan untuk peningkatan wawasan para guru. Bila kurikulum
hanya menjadikan guru seorang manusia yang pasif (hanya menunggu arahan pengawas atau
menunggu pelatihan guru dalam penyusunan RPP) seperti yang dipolakan dalam Kurikulum 2013,
jangan heran kalau hasil uji kompetensi guru rendah : 1,3 juta guru mendapat nilai uji kompetensi
dibawah 60 dari rentang nilai 0-100 (Kompas, Kamis 9 Juli 2015 halaman 12, PENGEMBANGAN
GURU MASIH SETENGAH HATI) : "Bahkan selama bertahun-tahun saya menyaksikan pelatihan
guru yang kerap berbau proyek, asal diselenggarakan tanpa memikirkan hasilnya berkualitas atau
tidak. Saya pernah mengikuti pelatihan tahun 1999 dan 2003 yang seharusnya berlangsung lima
hari, tetapi baru dua hari peserta dibubarkan. Kami diberi transportasi tiga hari, tetapi tanda
tangannya lima hari. Menurut kawan-kawan dari berbagai daerah, hal ini juga terjadi di
wilayahnya," tutur Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia.
Dari paparan diatas nampak jelas bahwa pengajaran tidak bisa diproyekkan.
Indonesia telah diberkahi, tak hanya oleh kekayaan kemasyarakatan dan kebudayan, tetapi
juga oleh sejarah panjang perkembangan gagasan yang cemerlang, melewati titian proses pengajaran
yang mencerahkan. Sebagian tidak menyadari (bahwa pengajaran menunjukkan profesionalitas
guru), sebagian lainnya menyesali atau mengingkarinya (mengingkari sejarah panjang pendidikan
Indonesia), seperti pengebirian Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, menjadi kerdil dalam Pasal 20 PP
No. 32 Tahun 2013131 sehingga budaya ilmiah tidak pernah terbentuk di lingkungan sekolah, yang
muncul adalah pendidikan yang menghamba pada kekuasaan. Segala aktivitas guru selalu dikaitkan
dengan pencairan tunjangan sertifikasi. Sudah lama guru tidak lagi menikmati kebebasan mimbar
akademik, guru bukan lagi merupakan panggilan hidup, tetapi merupakan pencari kerja/orang upahan
yang sangat tergantung pada pengupahnya (Kemdikbud) dan Kemdikbud memanfaatkan betul
keadaan ini untuk mendefungsionalkan guru.

131

Lihat Catatan Kaki No. 129, Catatan kaki No.5 dan Catatan kaki No. 48

183

173

Pengajaran dan pengukuran capaiannya


Mengingat Silabus dibuat oleh Kemdikbud (bukan lagi menjadi tugas profesional seorang guru
seperti ketentuan Pasal 20 PP No.19 Tahun 2005), maka dampaknya adalah :
-

Guru tidak tahu lagi cara merumuskan Indikator Keberhasilan dari suatu Kegiatan
Pembelajaran
Misalnya : KD 4.1 : IPS Sejarah Kelas VII SMP :
Menyajikan hasil pengamatan tentang hasil-hasil kebudayaan dan fikiran masyarakat
Indonesia pada masa praaksara, masa hindu buddha dan masa Islam dalam aspek
geografis, ekonomi, budaya dan politik yang masih hidup dalam masyarakat sekarang

Kegiatan Pembelajaran

Indikator Keberhasilan

Kronologi masuknya pengaruh asing di Siswa dapat membuat infografis tentang


Indonesia

masuknya pengaruh asing di Indonesia

Melihat perubahan yang dibawa oleh Siswa


pengaruh asing

dapat

masyarakat

melihat

terhadap

penyesuaian

pengaruh

asing

(akulturasi)
Reaksi

masyarakat

terhadap

pengaruh asing

infiltrasi Siswa dapat melihat bagaimana masyarakat


menyerap yang baik dan membuang yang
kurang baik (inkulturasi)

Relevansi dengan masa sekarang

Siswa dapat menunjukkan kearifan lokal


dalam menghadapi perubahan

Guru tidak bisa lagi membedakan antara Indikator dan Indikator Nilai-nilai Kemanusiaan
Indikator terkait dengan target kurikulum yang hendak dicapai, pengukurannya melalui
evaluasi hasil belajar di Catatan Kompetensi (CK) atau Rapor Lembar I, sedangkan Indikator
Nilai-nilai Kemanusiaan terkait dengan fokus pendidikan karakter yang menjadi titik berat
dalam edukasi, pengukurannya melalui monitoring proses belajar di penilaian berbasis kelas
(PBK) atau Rapor Lembar II.
Masalahnya adalah PBK itu terkait langsung dengan manajemen kelas yang mensyaratkan
azas lokalitas dan kontekstual (otonomi guru), bukan manajemen ala pengawas atau
manajemen ala Dinas Pendidikan yang tidak kontekstual dan menunjukkan hegemoni
pemerintah dalam pendidikan.

184

174

Akibatnya, monitoring proses belajar (Rapor Lembar II) dianggap tidak penting, sehingga
sampai sekarang, Kemdikbud hanya sibuk merumuskan bagaimana mengkonversi nilai dalam
Rapor Lembar I
-

Guru kehilangan konteks antara EEK (eksplorasi, elaborasi dan konformasi) dengan metode
5M
Misalnya : KD 3.1 Pendidikan Kewarganegaraan Kelas X SMA
Menganalisis perkembangan kasus-kasus pelindungan dan pemajuan HAM sesuai dengan
konsep dan nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
Konteks EEK-nya adalah :

EKSPLORASI

KEGIATAN GURU
Kasus perlindungan dan pemajuan HAM
di banyak tempat masih sebatas utopia
Kedaulatan individu dan institusi (prestige)
masih diunggulkan

Menunjukkan banyaknya pejuang HAM


yang rela mati demi perjuangannya

ELABORASI

KONFIRMASI

KEGIATAN SISWA
Siswa belajar tentang semangat
altruisme dalam diri para pejuang HAM
Siswa mencari contoh altruis : Salim
Kancil (Forum Petani Anti Tambang
Desa Selok Awar-awar) ada 24
tersangka pembunuhan dan 9
tersangka penambangan illegal
Siswa mencari contoh ideal : Nelson
Mandela, Munir

Menunjukkan para pejuang kemanusiaan


seperti para pemenang Hadiah Nobel
untuk perdamaian
Menunjukkan para pembela kaum papa
dan miskin seperti Kick Andy Heroes, From
Zero to Hero, dll

Siswa mencari para pejuang kebebasan,


seperti para mahasiswa korban tragedi
Tiananmen (1989)
Siswa mencari para filantropis baru,
seperti Dato Sri Prof Dr Tahir (Bank
Mayapada)

Target Kurikulum : metakognitif : guru


membimbing siswa agar sampai pada
penerapan konsep HAM : penghargaan
atas liyan
Model pembelajaran : konstruktivisme :
guru membimbing siswa agar sampai pada
perubahan sikap : toleran pada perbedaan
pendapat, tidak menganggap mereka yang
berbeda pendapat sebagai musuh

Siswa berusaha sampai pada tahap


melaksanakan penghormatan atas
hak-hak azasi yang tidak dapat
dikurangi (non derogable rights)
Siswa mencari TELADAN atau contoh
dari para pejuang hak-hak anak, seperti
Dr Sofyan Tan (Medan) perintis sekolah
gratis bagi anak-anak tidak mampu

185

175

Sedangkan konteks metode 5 M dengan EEK adalah :


Mengamati (lihat Analisis Esensi Materi), Menanya (lihat di Strategi Penyelesaian Masalah),
Menalar (lihat di Model Pemetaan Taksonomi Bloom), Mengasosiasi (lihat di Refleksi di RPP
(diuraikan secara rinci dalam bagian Refleksi di Bab I Filosofi Pendidikan) dan Aksi (lihat di Lembar
Kerja Siswa)

KEGIATAN GURU

EKSPLORASI

ELABORASI

KONFIRMASI

Guru MENGAMATI masalah yang


timbul pada Bahan Ajar & masalah
pada Siswa serta mengamati cara
yang tepat untuk menyelesaikan
masalah itu

KEGIATAN SISWA
Siswa MENGAMATI sumber/bahan apa
saja yang dapat memperkaya
pengetahuannya

Guru MENANYA bahan apa saja


yang dapat dipergunakan dalam
PROGRAM PENGAYAAN dan
Strategi apa saja yang dapat
dipakai untuk mengganti
PROGRAM REMEDIAL

Siswa MENANYA bahan apa saja yang


dapat memperdalam pemahamannya
dan MENANYA cara apa yang bisa
dilakukan dalam mengejar
ketertinggalannya

Guru MENALAR Kata Kerja


Operasional apa yang cocok
diterapkan untuk situasi kelas dan
kondisi siswanya

Siswa MENALAR Kegiatan Pembiasaan


apa yang dapat mengejar target
kurikulum sehingga tujuan
pembelajarannya tercapai

Dengan contoh di atas, nampak jelas kaitan antara pola EEK pada KTSP Bimtek (2008) dan
keterkaitannya dengan metode 5 M dalam Kurikulum 2013, sehingga metode 5 M tidak dipandang
sebagai sesuatu yang baru dalam penyusunan RPP.
Jadi guru tidak dibingungkan dengan berbagai pelatihan baru dalam Kurikulum 2013 yang tidak jelas
konteksnya dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Ingat, bahwa 28 permendikbud terkait
Kurikulum 2013 itu, tidak satupun yang menyebut adanya kurikulum baru, kesemuanya selalu
menyebut KTSP (lihat Catatan kaki No.2 dan No.5)

Problem pengajaran, pembelajaran dan pendidikan karakter


Dalam gelap, kendala utama adalah penglihatan. Banyak orang menawarkan jalan keluar
dengan visi yang kabur. Krisis multi dimensional yang melanda bangsa dicoba dicari akarnya pada
pengajaran pendidikan karakter. Setelah ukuran kecerdasan diri berbasis IQ dianggap tak memadai
186

176

menjawab krisis kedirian, program pendidikan berpaling pada pengembangan jenis kecerdasan lain,
terutama yang berbasis SQ (spiritual quotient) seperti terlihat dalam rumusan Kompetensi Inti 1 (KI
1) di semua jenjang pendidikan dalam Kurikulum 2013. Usaha menyelesaikan persoalan pendidikan
dengan ukuran-ukuran itu memang patut diapresiasi. Persoalannya, apakah faktor IQ dan SQ itu
sudah tepat menyasar sisi terlemah dari pendidikan kita?
Untuk memberikan kerangka penilaian, kita harus ingat bahwa manusia terdiri atas dua
bagian : kedirian privat (private self) yang bersifat personal dan khas, serta kedirian publik (public
self) yang melibatkan relasi sosial. Dengan kerangka itu, kita bisa melihat bahwa problem pendidikan
di Indonesia tidaklah bersumber pada kecerdasan privat. Secara IQ, manusia Indonesia bukanlah
kelompok manusia dengan defisit kepintaran. Tandanya bisa dilihat dari prestasi para siswa kita
dalam ajang Olimpiade Sains internasional. Manusia Indonesia juga relatif memiliki kematangan
emosional, seperti kemampuan pengendalian diri untuk tidak berlebihan (tidak lebay), dan ketahanan
menghadapi kesulitan. Kecerdasan spiritual juga relatif kuat, manusia Indonesia pada umumnya
bersifat religius, lihatlah pembangunan rumah ibadah yang sangat masif di kompleks sekolah-sekolah
negeri dan aktifnya kegiatan ROHIS/ROHKRIS di sekolah-sekolah negeri.
Sisi terlemah manusia Indonesia justru mencolok pada aspek kedirian yang bersifat publik.
Hal ini mudah dilihat dari bagaimana orang berlatar pribadi baik dengan mudah hanyut dalam arus
keburukan begitu terjun ke aksi kolektif. Kita juga bisa menyaksikan bahwa hampir semua hal yang
bersifat kolektif mengalami dekadensi : partai politik sakit, birokrasi sakit, lembaga perwakilan sakit,
aparat penegak hukum sakit.
Krisis pada kedirian yang bersifat publik ini mencerminkan kelalaian dunia pendidikan dalam
mengembangkan kecerdasan kewargaan (civic quotient). Mata pelajaran Civics yang diakomodasi
dalam Kurikulum 1975 malahan dihapus. Pendidikan terlalu menekankan pada kecerdasan personal
(lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II A No.3, yang di copy paste dalam
Lampiran Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian II A No.2 dan No.3 (lihat catatan * di Kata
Pengantar). Kemdikbud abai dalam menautkan kecerdasan personal ini dengan kecerdasan kolektif
kewargaan.

Setiap individu dibiarkan menjadi deret huruf dalam NISN (nomor induk siswa

nasional) atau Dapodik/Padamu Negeri, tanpa disusun ke dalam kata dan kalimat bersama.
Padahal bangsa Indonesia sebagai masyarakat majemuk, dengan pecahan yang banyak jumlahnya,
tidak mungkin bisa dijumlahkan menjadi kebaikan bersama kalau tidak menemukan bilangan
penyebut yang sama (common denominator) sebagai ekspresi identitas dan kehendak bersama.
(Kompas, Selasa 6 Oktober 2015 halaman 15 : Kecerdasan Kewargaan). Oleh karena itu, alih-alih
menjustifikasi pendidikan karakter melalui KI 1, yang paling diperlukan saat ini adalah merevitalisasi
187

177

mata pelajaran Civics itu sehingga bersesuaian dengan Nawa Cita No.8. Namun hal ini memerlukan
teladan dari guru sehingga guru sebaiknya menerapkan Taksonomi Bloom (bukan SOLO
Taxonomy) dan peretas kegelapan itu adalah daya kreatif guru dan siswa yang hanya mungkin
terwadahi melalui otonomi pendidikan dan kebebasan mimbar akademik.
Tantangan globalisasi, pasar bebas (MEA 2015) dan liberalisasi pendidikan tidak bisa dihadapi
dengan indoktrinasi yang sifatnya pasti top down (guru harus begini, sekolah harus begitu : yang
digariskan oleh para instruktur atau Dinas Pendidikan, dan diawasi ketat oleh para Pengawas). Di era
inilah diperlukan inspirasi

Jalan pintas
Ada sementara kalangan yang berpendapat, mau menerapkan Kurikulum 2006 atau
Kurikulum 2013, yang paling penting adalah menyiapkan pembelajaran yang membuat siswa aktif.
Mereka lupa akan kegagalan CBSA dulu. Karena cara belajar siswa aktif atau penerapan metode
saintifik (5M) itu memerlukan prasyarat diberlakukannya pendidikan yang berpusat pada siswa
(student centered learning) (siswa bukan sekedar peserta didik, tapi subyek didik), yang
mengakomodasi keberagaman (multikulturalisme). Hal ini hanya dapat dicapai bila guru melakukan
Analisa Konteks (yang sebenarnya termaktub dalam Standar Isi pada Kurikulum 2006 (KTSP awal)
dan KTSP Bimtek (2008), hanya sayangnya hal ini sudah dihapus dalam Kurikulum 2013. Hal ini
sebenarnya juga diusung dalam Standar Proses yang ada di Kurikulum 2006 (KTSP awal) dan KTSP
Bimtek (2008) yang meliputi PAIKEM GEMBROT (Pendidikan Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif,
Menyenangkan, serta Gembira dan Berbobot) dan CTL (contextual teaching learning)
Jadi keaktifan siswa dalam belajar memerlukan prasyarat :
-

Diterapkannya Standar Proses dalam Kurikulum 2006 (Pengembangan RPP, Pengembangan


Silabus, PAIKEM GEMBROT dan CTL).

Hal ini tidak mungkin dicapai melalui

pemberlakuan kurikulum tunggal dan seragam ala Kurikulum 2013, karena praktis guru tidak
bisa mengembangkan Silabus (Silabus sudah di drop oleh Kemdikbud) : wawasan guru
menjadi terbatas, bagaimana bisa mendampingi siswa secara intens?

Guru juga tidak

mungkin mengembangkan RPP karena guru harus mengikuti arahan dari para instruktur dan
diawasi secara ketat oleh para Pengawas Mata Pelajaran
Dengan kata lain, pembelajaran siswa aktif memerlukan otonomi pendidikan dan kebebasan
mimbar akademik, tanpa itu, kita akan mengulangi kegagalan CBSA dulu
-

Untuk membuat siswa aktif, entah dengan metode saintifik (5 M) atau dengan CTL,
memerlukan penguasaan materi secara mendalam yang hanya bisa dicapai bila guru
melakukan Analisis Esensi Materi (AEM).
188

178

Misalnya KD 3.4 pada Mata Pelajaran Sosiologi SMA Kelas X :


Mengkaji adanya berbagai bentuk perilaku menyimpang atau sub-kebudayaan menyimpang
sebagai konsekuensi dari ketidakharmonisan hubungan sosial
Masalah
Indikator

Substansi

Penyelesaian

Pedagogis

3.4.1.Siswa

Masyarakat

dapat

produsen berubah budaya instan

Menguatnya

membedakan menjadi

Mengenal

Penugasan
Melakukan

budaya artificial analisis terhadap :


(pencitraan)

pencitraan politik

dengan tajam masyarakat

menjelang Pilkada,

macam2 atau konsumen

atau pencitraan

jenis2

prestige, atau

(hedonis)

perilaku

pencitraan darah

masyarakat

biru (snobbish)

Dari contoh di atas, terlihat bahwa fungsi PENUGASAN memang membuat siswa belajar
aktif, tanpa membuat teori yang muluk-muluk, seperti kompetensi yang bersifat spesifik atau
kompetensi yang bersifat generik;

Penyusunan Indikator Keberhasilan dan pembuatan

soalnya menjadi lebih mudah (siswa bukan saja diharapkan mencapai KKM, tetapi juga
mampu memenuhi KKI)
Siswa yang kurang berminat dalam Sosiologi tetap terbantu untuk menguasai SPM Sosiologi
tanpa mengorbankan bakat dan minatnya dalam bidang lain.
Hanya saja AEM ini sudah dihapus pada KTSP Bimtek (2008) dan Kurikulum 2013. Tanpa
panduan AEM ini, guru hanya membuat siswa makin bingung, melongo, dan menganga saja
dalam paradigm shifting dari faktual ke metakognitif
Maka pembelajaran siswa aktif yang mutlak diperlukan dalam penerapan SKS (sesuai Pasal
5 Permendikbud No.158 Tahun 2014) harus menerapkan Disain Kurikulum Digital yang
mencakup 22 langkah penyusunan kurikulum kontekstual yang bersandar pada pendidikan
holistik dan berlandaskan multiple intelligence
Potong kompas atau jalan pintas hanya akan menjebak para guru dalam kerancuan demi
kerancuan seperti yang sudah diuraikan dalam Bab I Bab VI
Oleh sebab itu, semangat otonomi pendidikan yang sudah disodorkan dalam Pasal 77 M ayat 1 dan
ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 hendaknya menjadi titik tolak menuju pemanusiaan manusia muda
sesuai amanat Pasal 3 UU Sisdiknas dan Nawa Cita No.8
189

179

PENUTUP
Kita dapat mendiskripsikan hegemoni pemerintah di dunia pendidikan dan pengajaran kita,
melalui analogi landskap Appadurai,132 sehingga kita dapat memahami mengapa Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan mentransformasikan diri menjadi Kementerian Persekolahan dan Dinas
Pendidikan memformulasikan dirinya menjadi Dinas Persekolahan.
Sementara para pendiri republik (para bapa bangsa) mati-matian menolak hegemoni
pemerintah Belanda dan Jepang dalam dunia pendidikan kita pada masa penjajahan (melalui suatu
gerakan politik, seperti Pendidikan Nasional Indonesia yang dikumandangkan oleh Mohammad
Hatta) demi memperjuangkan kesetaraan dalam akses pendidikan, sistim pendidikan kita dewasa
ini cenderung melakukan hal sebaliknya. Saat para bapa bangsa melegitimasi perspektif lokalitas
dalam pendidikan. Sistim pendidikan kita dewasa ini mendelegitimasi semua hal itu. Sementara
kearifan lokal sangat relevan diterapkan secara luas dalam sistim pendidikan kita saat itu, pada saat
ini, kearifan lokal itu diremehkan sebagai sesuatu yang picik, mengganggu, tidak relevan, tidak
ilmiah dan tidak logis. Lihatlah matinya perguruan INS Kayutanam di Sumbar, sekolah Sriwedari di
berbagai kota di Jawa, dll. tanpa disesali oleh pemerintah, atau memudarnya perguruan Taman Siswa
di tanah air kita tanpa kepedulian pemerintah, dll

Pemerintah hanya sibuk membangun sekolah-

sekolah negeri baru yang seragam dan tidak lagi mempunyai visi dan misi sekolah, yang hanya repot
dengan Dapodik atau Padamu Negeri (cerminan sentralistik pendidikan, abai pada desentralisasi
pendidikan yang diusung dalam UU Otonomi Daerah) dan abai pada banyaknya anak yang putus
sekolah yang tercermin dari bentuk piramida kuantitas sekolah kita : Jumlah SD : 148.361, jumlah
SMP : 36.425, jumlah SMA : 10.765, jumlah SMK : 7.592 Dari data ini terlihat bahwa jumlah anak
yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi masih sangat besar. Meskipun sudah
diluncurkan program pendidikan gratis dan Kartu Indonesia Pintar serta telah disosialisasikan
macam-macam dana beasiswa, namun angka DO (drop out) masih tetap tinggi.
Hal ini seharusnya dipecahkan melalui e-learning sehingga murid-murid di pelosok tetap
dapat mempunyai akses ke guru-guru yang mumpuni kapan saja (any time) melalui internet
(pengajaran berbasis laman (web), atau lewat HP-nya (pengajaran berbasis android), bukan dengan
meluncurkan kurikulum yang hegemonik, yang mencoba membendung arus globalisasi dan
liberalisasi pendidikan melalui Permendikbud No. 31 Tahun 2014, yang bisa kontra produktif dengan
Perpres No. 77 Tahun 2007 dan ratifikasi perjanjian WTO serta ACMW.

We can describe the hegemony in the field, borrowing the analogy of Appadurais scapes, as eduscapes, which
approximate to ideoscapes, that is a global flow ideas about the practices in education. This ideas include the
philosophical outlooks which serves as the basis of education system, curricula, approaches to and methods of
teaching, teaching materials, certification, and assessment systems (Arjun Appadurai : Modernity at Large, Cultural
Dimension of Globalization, Minneapolis, Univ of Minnesota Press, 1996)

132

190

180

KILAS BALIK
Negara kita mempunyai jejak sejarah pendidikan yang panjang, yang di masa lalu telah
menjadi rujukan bagi negara-negara tetangga, bahkan sekolah-sekolah Indonesia di luar negeri di
masa lalu diminati juga oleh warga asing. Dewasa ini, para diplomat kita di luar negeri dan para
terdidik diaspora, tidak lagi sudi menyekolahkan anaknya di Sekolah Indonesia di luar negeri.
Tahun 1975 adalah masa jaya dunia pendidikan kita dengan digagasnya Kurikulum 1975 :
matematika dan sains dipahami sebagai art, bukan sekedar pengetahuan, dimana siswa dilatih
menemukan metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi dalam
administrasi politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk pikuk sehari-hari.
Penafian kajian sejarah pendidikan ini telah membuat kualitas pendidikan kita makin lama
makin merosot133 dan kesinambungan orientasi untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (seperti
yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945) dan ketercapaian misi Kemdikbud (seperti yang
tercantum Pasal 5 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional

134)

serta

strategi untuk ketercapaian program pendidikan untuk semua (Education for all) melalui program
wajib belajar 12 tahun makin hari makin makin kabur.135

Tiba-tiba bisa muncul Pasal 5

Permendikbud No. 158 Tahun 2014 tertanggal 17 Oktober 2014136 padahal seluruh sumber daya
sedang dikerahkan untuk implementasi Kurikulum 2013. Kemdikbud lupa pada tugasnya dalam
kurikulum (Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas) dan pada misinya (Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas), lebihlebih lupa pada Nawa Cita No.1, dan Nawa Cita No.5

Tanpa kajian sejarah pendidikan, kita lupa dampak besar penghapusan IKIP dan program Akta IV (lupa bahwa
jumlah guru IPA kita masih sangat terbatas sehingga pemerintah pernah membuat crash program D-3 guru IPA di
berbagai perguruan tinggi non IKIP), pergantian SMP menjadi SLTP dan SMA menjadi SMU, tidak diantisipasinya
otonomi daerah (desentralisasi pendidikan) dengan akibat Kepala Dinas Pendidikan bisa dijabat orang parpol, dan
yang paling penting tidak adanya analisis kurikulum, yang menunjukkan bahwa kurikulum kita dari 1968, 1975, 1984,
1994, 2004, 2006 dan 2013 makin lama makin miskin (materi ajar makin banyak berkurang), misalnya pada Kurikulum
1994 Mata pelajaran Ilmu Bumi Falak dihapus dan sekarang pada Kurikulum 2013 Mata Pelajaran TIK dihapus
133

Pasal 5 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 : Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu
134

Jumlah sekolah yang mengerucut mencerminkan tingginya angka drop out meksipun sudah dikucurkan Bantuan
Siswa Miskin (BSM) dan Kartu Indonesia Pintar (Jumlah SD : 148.361, jumlah SMP : 36.425, jumlah SMA : 10.765,
jumlah SMK : 7.592 atau ada sekitar 5 juta pendaftar SD per tahun, yang berhasil lulus S-1 hanya 408.000 orang)

135

136
Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014 : Sekolah yang terakreditasi A, menerapkan Sistim Kredit Semester
(SKS)

191

181

(abai pada ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 tertanggal 11
Desember 2014). 137
Profesionalitas guru bukan ditingkatkan dalam era globalisasi ini, tetapi justru dipangkas 138
sehingga para guru akan sulit membuat diktat, LKS, dan modul, serta penilaian berbasis kelas (PBK)
: empat prasyarat penting bagi terlaksananya ketentuan Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014
Pemangkasan profesionalitas guru ini, disamping melanggar ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional dan Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen, juga menimbulkan hegemoni pemerintah

139

(menafikan otonomi

pendidikan)140 sehingga memunculkan banyak kerancuan di lapangan, mulai dari kerancuan negara
rujukan (bukan mengacu ke Finlandia, tapi ke negara-negara OECD), kerancuan filosofi, dan
kerancuan pengertian pengajaran (yang selalu dikaitkan dengan metode), sampai ke kerancuan
program penilaian (hanya berkutat pada evaluasi terhadap siswa, lupa pada monitoring proses belajar
(PBK) dan evaluasi profesionalitas guru yang berwujud pada terbentuknya Bank Soal). Terjadi
pemujaan pendangkalan (cult of philistinism) : guru cukup membuat RPP saja (guru hanya menjadi
tukang mengajar), program sertifikasi guru dan program penyiapan calon guru di PGSD/FKIP
menjadi nir makna.

137
Permendikbud No. 160 Tahun 2014 Pasal 1 : Satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang
melaksanakan Kurikulum 2013 sejak semester pertama tahun pelajaran 2014/2015 kembali melaksanakan
Kurikulum 2006 mulai semester pertama tahun pelajaran 2014/2015 sampai ada ketetapan dari Kementerian untuk
melaksanakan Kurikulum 2013

Permendibud No. 160 Tahun 2014 Pasal 2 ayat 3 : Satuan Pendidikan rintisan (sekolah yang ditunjuk oleh pemerintah
untuk melaksanakan Kurikulum 2013 selama tiga semester) dapat berganti melaksanakan Kurikulum 2006 dengan
melapor kepada dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya
Pemangkasan profesionalitas guru dapat dilihat dari ketentuan Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013 : Perencanaan
pembelajaran merupakan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran untuk setiap muatan pembelajaran
138

Bandingkan dengan ketentuan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 : Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus,
rencana pelaksaan pembelajaran, yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode
pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar
139
Pemerintah sibuk dengan implementasi Kurikulum 2013, lupa pada kewajibannya sebagaimana dirumuskan dalam
Pasal 51 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 dan Pasal 38 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2013 tentang Sistim Pendidikan Nasional

Otonomi pendidikan dihapus lewat penghapusan fungsi pengawasan internal sekolah melalui penghapusan Pasal
19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 : Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran,
pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan pengawasan proses pembelajaran untuk
terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.

140

Fungsi pengawasan ini kemudian diambil alih oleh Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran (dua jabatan
yang tidak disebut dalam UU Sisdiknas dan PP No. 19 Tahun 2005, bahkan dalam PP No. 32 Tahun 2013)
Penjabaran isi Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 dapat dilihat di Pasal 20 PP No. 19 tahun 2005

192

182

Kerancuan yang merusak adalah tumpang tindihnya fungsi LPMP (Pasal 1 ayat 31 PP No. 32
Tahun 2013) dan LPPKS, dengan fungsi Pengawas (Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013
Bab VI No.2 : Sistim dan Entitas Pengawasan). Fungsi Pengawas ini justru bertentangan dengan isi
Pasal 19 ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013. Melalui campur tangan yang terlalu dalam yang dilegalkan
lewat Permendikbud No.65 Tahun 2013 itu, telah terjadi penyeragaman kurikulum yang bertentangan
dengan azas diversifikasi kurikulum (lihat Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 77 M ayat 1 dan
ayat 3 PP No.32 Tahun 2013). Hal ini menyebabkan kualitas pendidikan kita makin merosot (lihat
hasil survey berbagai lembaga internasional tentang kualitas pendidikan kita di bagian akhir dari Bab
Pendahuluan). Kemdikbud bisa dihujat banyak kalangan sebagai pihak yang abai pada Nawa Cita
No.5 (peningkatan kualitas pendidikan).
Akibat ketidak-sinambungan orientasi (disorientasi) road map dunia pendidikan kita yang
hanya terpaku pada implementasi Kurikulum 2013 at all cost 141, bisa memunculkan Permendikbud
No. 31 Tahun 2014142 yang mencoba membendung globalisasi dan liberalisasi sektor pendidikan,
abai pada Perpres No. 77 Tahun 2007 143 dan MEA 2015 serta APEC 2020.
Pemerintah bukannya menggali keunggulan lokal dan kearifan lokal yang sebenarnya bisa
dilakukan lewat Kurikulum 2006, lalu maju ke penerapan SKS, tapi pemerintah justru
bertransformasi menjadi pengurus sekolah144

Dengan pemaksaan pemberlakuan Kurikulum

2013, maka kalau terjadi kegagalan dalam pengejawantahan revolusi mental, Kemdikbud
bisa menjadi tertuduh utama penyebab kegagalan karena abai pada Nawa Cita No.8 (menata
ulang kurikulum pendidikan nasional), bukan meneruskan barang basi Kurikulum 2013
bikinan rezim lama yang banyak mengandung kesalahan itu. (disebut barang basi karena
Kurikulum 2013 itu hakekatnya adalah KBK (2004) yang sudah dicabut pada tahun 2006) : lihat
Catatan kaki No.27
Banyak orang kemudian mengritik persekolahan kita, yang satu menganggap kurikulumnya
kurang relevan, yang lain merasa sekolah mengasingkan anak didik dari kenyataan, yang lain lagi
mengatakan

bahwa

sekolah

mengajarkan

hal-hal

yang

ketinggalan

jaman,

kurang

141

Kurkulum 2013 at all cost memangkas profesionalitas guru, sehingga menafikan azas diversifikasi kurikulum
sebagaimana tercantum dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas, yang diperkuat dengan Pasal 17 PP No. 19 Tahun
2005 dan melanggar dasar hukum Kurikulum 2013 sendiri yaitu Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013

142

Permendikbud No. 31 Tahun 2014 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan oleh
Lembaga Pendidikan Asing

Lampiran II Perpres No. 77 Tahun 2007 : yang terbuka bagi PMA : Education building dan Kepemilikan modal dalam
Education building, Pendidikan dasar dan menengah, Pendidikan Tinggi dan Pendidikan Non formal
144
Lihat pemangkasan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, menjadi kerdil dalam Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013
Lihat Pedoman Penilaian yang berkali-kali diubah rumusnya dan tetap salah itu. Pedoman penilaian itu juga hanya
berkutat dengan evaluasi hasil belajar siswa, abai pada terbentuknya Bank Soal dengan soal-soal yang terverifikasi
melalui Analisa Soal
143

193

183

memperkembangkan intelegensi, terlalu didasarkan rasa takut melanggar arahan Pengawas,


menghambat kreativitas anak, dan sebagainya. Akan tetapi dalam segalanya itu, persoalannya
sebetulnya sederhana saja. Sekolah menjadi seperti itu karena kita menghendakinya demikian.
Jikalau hal itu tidak berjalan dengan baik, tak ada jalan lain kecuali mengubahnya.
Kurikulum 2006 sebenarnya sudah mulai merumuskan tanggung jawab pemerintah dalam
kebijakan pengelolaan pendidikan (pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas dan Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas)
Dengan demikian diharapkan agar para guru tidak kembali ke pola lama. Para guru perlu melihat
kembali Peraturan Mendiknas (Permendiknas) No. 19 tahun 2007 bulan Mei 2007 tentang MBS
(manajemen berbasis sekolah) yang terdiri dari 3 (tiga) dokumen yaitu :
-

Dokumen I tentang 5 bidang yang harus dibenahi dalam upaya meningkatkan mutu
manajemen persekolahan yang dilengkapi dengan rincian tugas yang harus diemban oleh guru
penanggung jawab tiap bidang.

Dokumen II tentang penilaian proses dan evaluasi capaian tugas yang diemban sehingga
kinerja sekolah dapat dirumuskan dengan baik.

Dokumen III tentang audit kinerja sekolah dan audit kinerja tenaga kependidikan

Keterpenuhan dokumen-dokumen ini memungkinkan sekolah memperoleh sertifikasi sistim


manajemen internasional melalui sertifikat ISO 9001 : 2008
Pemerintah perlu menegaskan bahwa penerapan kurikulum baru tidak serta merta membuang semua
hal baik yang sudah ada sebelumnya.
Yang belum dilakukan adalah menentukan SPM (standar pelayanan minimal) akademik145 :
Di kelas berapa, kegiatan membaca selama 15 menit sebelum jam sekolah dimulai (sesuai ketentuan
Permendikbud No.23 Tahun 2015) mempunyai makna literasi ? Kapan metode demonstrasi di kelas
harus dialihkan menjadi metode eksperimen di laboratorium ? Kapan siswa sudah bisa diwajibkan
membuat resume atau ikhtisar dari materi/bahan ajar? dll. Penyusunan SPM ini mendesak dilakukan,
bukan eksekusi kurikulum baru, hanya karena kurikulum itu tercantum dalam Standar Isi, sehingga
pemerintah tidak kehilangan arah dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana dirumuskan dalam
Pasal 3 UU Sisdiknas. Apa buktinya bahwa pemerintah mulai kehilangan orientasi pendidikan ?
-

Terjadi pemaksaan penerapan Kurikulum 2013, lupa pada isi Surat Edaran Mendikbud
No.179342/MPK/KR/2014 tertanggal 5 Desember 2014, dan Pasal 1 + Pasal 2 ayat 3
Permendikbud No.160 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember 2014 yang memberlakukan

145

Yang ada adalah SPM sarana-prasarana minimal (Permendikbud No. 23 Tahun 2013)

194

184

kembali Kurikulum 2006, serta abai pada Nawa Cita No.8 : penataan kembali kurikulum

pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan


-

Pelatihan guru untuk penerapan Kurikulum 2013 saat ini, justru memunculkan relasi sub
ordinasi yang nampak dari perubahan isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi sangat
kerdil dalam Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 (paralel dengan itu adalah perubahan isitilah
dari penatar menjadi instruktur (orang yang memberi instruksi) dan sifat top down dalam
dropping silabus,buku ajar/materi/sumber belajar, dan buku pegangan guru) yang merampas
wewenang guru sebagaimana sudah diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20
butir (a) UU Guru dan Dosen serta dasar hukum Kurikulum 2013 sendiri yaitu Pasal 77 M
ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013. (Kemdikbud perlu disadarkan akan urutan tata

perundangan : permendikbud ada di bawah PP dan PP ada dibawah UU,


PERMENDIKBUD TIDAK BOLEH MELANGGAR ISI PP, apalagi menabrak isi UU)
Kemdibud juga harus mengingat pidato Presiden saat pelantikan para menteri Kabinet Kerja
tanggal 27 Oktober 2014 : Tidak ada lagi visi dan misi kementerian, yang utama adalah visi
dan misi presiden yang sudah dijabarkan dalam Nawa Cita
Dengan pengerdilan isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, maka pendidikan kita makin miskin.
Ada banyak topik/tema penting yang hilang dari kurikulum kita.146 Kalau semua orang diam, maka
kita memasuki era pemujaan pendangkalan (cult of philistinism) dan abai pada Nawa Cita No. 5 :
peningkatan kualitas pendidikan. (lihat hasil survey internasional pada bagian akhir dari Bab
Pendahuluan). Produk pendidikan yang kurang memperhatikan segi mutu ilmiah intelektual akan
membahayakan konstelasi sosial yang ada, sebab masyarakat menjadi semu dengan orang-orang
yang berijazah, tetapi tidak berilmu 147

146

147

Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Banyaknya materi uji yang ditanyakan
dalam TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia (kurikulum makin miskin), yang diulang (di
copy paste pada Permendikbud No. 57 Tahun 2014) (:ihat Catatan * di Kata Pengantar)

Kaum Cerdik Pandai, Antara Ilmu dan Ngelmu, Kompas, Senin 14 Juli 2008 halaman 7

195

185

KESIMPULAN
Kurikulum 2013 yang abai terhadap otonomi pendidikan, desentralisasi pendidikan dan
kebebasan mimbar akademik, serta Nawa Cita No.1, No.5 dan Nawa Cita No.8, telah menyebabkan
lemahnya tiga pilar penting dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 3 dan Pasal 11 UU Sisdiknas148 :
-

Kepemimpinan (leadership) Kepala Sekolah yang disubordinasi oleh Pengawas Sekolah


dengan kewenangannya melakukan supervisi manajerial (Lihat Lampiran Permendikbud
No.65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b), sehingga MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) bukannya
mengacu ke sertifikasi manajemen ISO 9001:2008, tetapi mengacu pada selera Pengawas
Sekolah. Kewenangan kepala sekolah untuk melakukan supervisi kepada para guru di
lingkungan sekolahnya juga diamputasi melalui kehadiran Pengawas Mata Pelajaran dengan
kewenangannya melakukan supervisi akademik, sehingga Kepala Sekolah sukar menjalankan
visi dan misi sekolahnya serta sukar merumuskan keunggulan sekolahnya (brand image-nya)
Kemdikbud abai menjadi sekolah sebagai center of excellence sesuai amanat nawa Cita No.5

Budaya organisasi dinisbikan melalui amputasi otonomi pendidikan, dan sentralisasi


pendidikan, akibatnya apapun visi dan misi sekolahnya, kurikulumnya pasti seragam dan
kegiatan belajar-mengajarnya akan melewati proses pembelajaran yang sama (dengan
penerapan pendekatan saintifik) : CTL (contextual teaching learning) hanya menjadi utopia.

Tanpa koreksi dari Mendikbud, pengelolaan sekolah menjadi tidak mudah karena
banyak tuntutan dan campur tangan negara. Dengan adanya campur tangan itu,
otonomi sekolah dan otonomi guru dalam mengembangkan visi dan misi sekolah cukup
terganggu. Wajah dunia persekolahan di seluruh Indonesia menjadi sama dan seragam
apapun visi dan misinya.
-

Kinerja guru dikerdilkan dari seorang kreator, konseptor, inisiator, dan desainer
kurikulum,

menjadi sekedar petugas administrasi pembuatan RPP, itupun RPP yang

seragam secara nasional, guru telah diturunkan harkatnya menjadi sekedar tukang mengajar.
Diklat program sertifikasi guru dan program pendidikan calon guru di PGSD/FKIP menjadi
148

Pasal 3 : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Pasal 11 : Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
196

186

nir makna. MBS yang juga merinci kinerja guru sebagaimana tercantum dalam Permendiknas
No. 19 Tahun 2007 dibuang. (Lihat juga isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 yang dikerdilkan
menjadi Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013)149 Kebebasan mimbar akademik menjadi sirna. Hal
ini jelas-jelas melanggar ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU
Guru dan Dosen, yang dijabarkan dalam Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013.
Terjadi pemujaan pendangkalan (cult of philistinism), abai pada perwujudan strong human
capital dan culture of excellence, sesuai amanat Nawa Cita No.5
Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK (competency-based curriculum)150 sehingga masalah
penilaian pada KBK berulang lagi pada Kurikulum 2013. Jadi penilaiannya tidak bisa mengikuti
Permendikbud No. 66 Tahun 2013 karena salah, sehingga perlu diubah lagi melalui Lampiran IV
Permendikbud No. 81 A Tahun 2013, yang juga masih salah secara matematis, sehingga diubah lagi
melalui Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No.5496/C/KR/2014 dan No.
7915/D/KP/2014 yang masih salah juga secara matematis. Yang lebih urgen diperhatikan adalah

perubahan berulang kali tentang rumus penilaian ini tanpa penjelasan yang memadai kenapa
rumus mesti diubah (lagi), akan menurunkan wibawa akademik Kemdikbud.
Kurikulum 2013 itu sebenarnya melanggar dasar hukumnya sendiri yaitu PP No. 32 Tahun
2013 (Lihat Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3)151 Pemaksaaan pelaksanaan Kurikulum 2013 bisa
menyebabkan Kemdikbud menjadi tertuduh utama kegagalan revolusi mental karena seharusnya
Kemdikbud tidak sibuk dengan visi dan misinya sendiri, tetapi mengutamakan visi dan misi Presiden
RI yang terinci dalam Nawa Cita No. 8 : akan menata ulang kurikulum pendidikan nasional. Bukan
meneruskan barang basi : Kurikulum 2013 bikinan rezim lama yang banyak mengandung kesalahan
ini. Kenapa disebut barang basi? Karena Kurikulum 2013 mengacu pada KBK (2004) yang sudah
diganti dengan Kurikulum 2006 (lihat Catatan kaki No.27).
Keduapuluh delapan Permendikbud terkait Kurikulum 2013 sebenarnya hanya menyebut
KTSP, tapi Kemdikbud lupa pada arti harafiah KTSP, apalagi arti filosofisnya. KTSP kemudian

149

Pasal 20 PP No.19 Tahun 2005 : Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana
pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar,
metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.
Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013 : Perencanaan Pembelajaran merupakan penyusunan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran untuk setiap muatan Pembelajaran.

150

Lihat Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis (Permendikbud ini diulang lagi pada
Permendikbud No.68, No.69 Tahun 2013 tergantung pada unit sekolahnya) Lihat Catatan * pada Kata Pengantar

151

Pasal 77 M ayat 1 : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan Kurikulum operasional yang disusun
oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan
Pasal 77 Mayat 3 : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan
197

187

digeser maknanya dan diartikan sebagai kurikulum yang disusun dan ditetapkan oleh
pemerintah serta wajib dilaksanakan di semua satuan pendidikan (sekolah), abai pada isi Pasal
36 ayat 2 UU Sisdiknas
Melihat karut marut dan pemutar-balikan fakta ini, maka tidak ada jalan lain, pemerintah

mesti menerapkan e-learning dengan konten Disain Kurikulum Digital (dengan merevitalisasi
kembali kurikulum terlengkap yang telah mengakomodir GMAT, dan TOEFL serta SPM + KKI,
yaitu Kurikulum 1975152) yang dilengkapi dengan TQM bersertfikasi ISO 9001:2008, sehingga
Kemdikbud bisa menjalankan amanat Nawa Cita No.5 dan Nawa Cita No.8. Dengan harapan bahwa
Kemdikbud tidak sibuk dengan visi dan misinya sendiri yaitu menggolkan proyek penyerapan
anggaran 20% dari APBN, supaya sekolah siap menyongsong era liberalisasi dan globalisasi
pendidikan sesuai dengan amanat WTO, MEA 2015 dan APEC 2020, yang sudah diakomodir melalui
Perpres No.77 Tahun 2007 dimana sektor pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi PMA
(penanaman modal asing). Counter yang dilakukan Kemdikbud melalui Permendikbud No.31 Tahun
2014153 dan pembatasan lalu lintas SDM asing melalui sertifikasi tenaga kerja, hanya akan
memancing pembalasan (aksi resiprokal) dari negara-negara anggota WTO (World Trade
Organization) dan ACMW (ASEAN Committee on Migrant Workers)154 yang akan menyebabkan
dipulangkannya jutaan TKI dan TKW kita di luar negeri yang unwell-educated dan unskilled labour
karena termasuk dalam uncertified workers. Dampak sosialnya pasti akan sangat luas mengingat
keterbatasan lapangan kerja di dalam negeri.

152

Kurikulum 1975 : Sains dan Matematika dipahami sebagai art, bukan sekedar pengetahuan. Dimana sswa dilatih
menemukan metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi dalam administrasi
politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk pikuk sehari-hari

Permendikbud No. 31 Tahun 2014 : Kerja sama Lembaga Pendidikan Asing dengan Lembaga Pendidikan
Indonesia
154
ACMW (ASEAN Committee on Migrant Workers) menyatakan bahwa migrasi tenaga kerja (termasuk
guru) adalah hak asasi yang harus dilindungi
198
153

188

DAFTAR PUSTAKA
Appadurai, Arjun, 1996
Modernity at Large, Cultural Domension of Globalization, Minnesota, University of
Minnesota Press.
Bagus, Loren, 2000
Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, halaman 181-182
De Porter, Debbie, 2008
Quantum Teaching, Bandung, Kaifa.
Kusuma, Doni, 2013
Eklektisme Kurikulum 2013, Kompas, 5 April 2013 halaman 7
Mohandas, Ramon, 2015
Revisi utama Kurikulum 2013 adalah KD untuk KI 1 dan KI 2, Jawa Pos, 27 Juni 2015
halaman 12
Muhammad, Gunawan, 2015
Bocah, Catatan Pinggir, Majalah Tempo, 15-21 Juni 2015
Raka Joni, Tjokorde, 1997
Cara Belajar Siswa Aktif, Jakarta, Ditjen Dikti
Sastrapratedja, M, 2015
Pendidikan Transformatif, Makalah dalam Seminar Lingkar Muda Indonesia, Ruby Room,
Gedung Kompas, 28 Mei 2015
Soetikno, Wendie Razif, 2007
Sehabis KTSP lalu Apa? SKS!, Majalah Educare No. 6/IV/2007 halaman 36-38
Soetikno, Wendie Razif, 2010
Disain Kurikulum Digital, Yogya, Smart Writing
Sudiarja, A, 2014
Pendidikan dalam Tantangan Jaman, Yogya, Kanisius
Sumarsono, 2004
Otonomi Pendidikan, Singaraja, IKIP Negeri
Suparno, Paul, 1997
Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogya, Kanisius
199

189

Supeli, Karlina, 2013


Kebudayaan dan Kegagapan Kita, Pidato Kebuayaan, TIM, 11 November 2013
Wagner, Tony, 2008
From The Global Achievement Gap: Why Even Our Best Schools Dont Teach The New
Survival Skills Our Children NeedAnd What We Can Do About It , Connecticut, Basic Books
Kompas, 2015
Beban Kewargaan, Kompas, Selasa, 6 Oktober 2015 halaman 15
Kompas, 2015
Beban Pengawas Berat Orientasi Masih Administrasi, Kompas, Selasa 11 Agustus 2015
halaman 11
Kompas, 2015
Udar Rasa Akal Sehat, Kompas, Minggu 2 Agustus 2015 halaman 13
Kompas, 2015
Budi Pekerti Nilai Ditempelkan Tanpa Rasionalitas, Kompas, Kamis 23 Juli 2015
halaman 12
Kompas, 2014
Wapres, Perbaiki Kurikulum 2013 Kemdikbud Dinilai Lamban Melatih Guru, Kompas,
Jumat 24 Januari 2014, halaman 12
Kompas, 2008
Kaum Cerdik Pandai, Antara Ilmu dan Ngelmu, Kompas, Senin 14 Juli 2008 halaman 7

200

190

Wendie Razif Soetikno, lahir di Surabaya, 21 Juli 1954. Menyelesaikan D-3 Kimia IKIP Malang tahun
1976 (Nrp 24416), Sarjana Sains di IPB th 1994 (Nrp G26.1748) dan Master in Development Management
di AIM, Manila atas bantuan Eugene Lopez Foundation tahun 1999 (MDM 99) Selama 17 tahun mengajar
Kimia, Praktikum Kimia dan Pembimbing KIR di suatu sekolah di Bogor,lalu melakukan hal yang sama di
Jakarta dan Bekasi
Mengikuti International Youth Day 1997 di Paris bersama Paus Yohanes Paulus II (kini Santo Yohanes
Paulus II) atas dukungan dari Bapak Jakob Oetama (CEO Kelompok Kompas Gramedia). Kegiatan ini
dipublikasikan dalam seri tulisan Tahun Pemuda Internasional di KOMPAS tanggal 14 22 Agustus 1997.
Mengikuti TOT (Training for the Trainers) tentang Project Based Learning (pembelajaran berbasis
proyek, yang kini digunakan dalam Kurikulum 2013), atas dukungan dari PT Oracle Indonesia, Februari
2008 di NUS, Singapore.
Dalam rangka haul Gus Dur, menulis puisi : Tidak Menjadi Apa-apa, Tidak Berarti Bukan Apa-apa,
yang dimuat dalam buku SEJUTA DOA BUAT GUS DUR, terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2010,
halaman 316-317. Puisi wajib yang dibacakan dalam setiap haul Gus Dur di kantor PB NU, Jl Kramat Raya,
Jakarta dan di Pondok Pesantren Tebu Ireng, di desa Cukir, Kecamamtan Diwek, Kabupaten Jombang.
Pemenang Lomba Inspirasi Majalah INTISARI - Pengumuman pemenang dimuat dalam Majalah
INTISARI, edisi September 2011 (No. 583) halaman 159. Petikan pengalaman itu antara lain: "Artikel
"Temulawak Para Pelawak" (Intisari, September 1990) mengubah hidup saya sebagai guru Kimia. Materi
yang sulit mampu disajikan majalah ini secara bersahaja, tanpa kehilangan nilai ilmiahnya. Sejak itu, seperti
Intisari, saya selalu berusaha membuat sains lebih membumi".(Wendie Razif Soetikno, pembaca Intisari) dan
Petikan artikel di atas dimuat di KOMPAS, Senin 22 Agustus 2011 halaman 32: "48th ANNIVERSARY
Intisari SMART & INSPIRING.
Setelah menulis Sehabis KTSP Lalu Apa? SKS! di Majalah Educare No 6/IV/September 2007,
kemudian diminta untuk mempersiapkan beberapa sekolah agar dapat menerapkan SKS, melalui pelatihan
mendisain kurikulum secara digital. Buku panduannya, yaitu buku DISAIN KURIKULUM DIGITAL,
(ISBN : 978-602-7858-10-7), penerbit Smart Writing, Yogya, 2009, edisi keenam Juni 2015 dicetak dengan
sponsor Bank Mandiri, dikhususkan untuk perpustakaan lembaga negara, perpustakaan perguruan tinggi dan
perpustakaan daerah.
Pengalaman melatih guru-guru di berbagai daerah dalam penyusunan kurikulum secara digital tertuang
di tulisan: Melatih Guru, Meretas Masa Depan Ribuan Anak Indonesia yang berhasil masuk nominasi
sepuluh besar Lomba Menulis Jiwa Nusantara 2012 dan telah dibukukan dengan judul: Jiwa Nusantara
dalam Tulisan halaman 198-205, terbitan Anyes Bestari Komunika (ab.komunika@gmail.com).
Pengalaman melatih guru dalam mendisain kurikulum secara digital di berbagai daerah agar siap menerapkan
e-learning diajukan dalam Asian CSR Award category Education Improvement 2015
201

191

Ikut berjuang menghapus RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) melalui tulisan yang
diterbitkan dalam buku TERSERET ARUS GLOBALISASI, Bunga Rampai Reportase Dampak
Globalisasi (Penerbit Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI Indonesia) bekerja sama dengan
Development and Peace) yang menambah amunisi untuk menghapus keberadaan RSBI melalui Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-X/2012 .
Tulisan itu muncul di halaman 114 124, dengan rincian : Berlomba Pasang Label Internasional halaman
111, Ingin Berkelas Global halaman 114, Bandung Setengah Hati halaman 117, Malang Adem Ayem
halaman 119, dan Bersaing Mengejar Atribut halaman 121.
Pengalaman membimbing pembuatan diktat dan modul telah mendapat IMA 2011 (Indonesia
Millenium Development Goals Award 2011) yang telah diabadikan dalam buku: PENCERAH
NUSANTARA, Best Practices untuk Mencapai MDGs pada halaman 73-82 (penerbit: Kantor Utusan
Khusus Presiden RI untuk Millenium Development Goals). Penyerahan hadiah dilakukan tanggal 1 Februari
2012 oleh Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs : Ibu Prof Dr Nila Djuwita F. Moeloek (sekarang Menteri
Kesehatan Kabinet Kerja) dalam seremoni yang dihadiri oleh Wapres Boediono di Balai Kartini.
Keterikatan Wendie Razif Soetikno dengan sekolah selama bertahun-tahun dipamerkan dalam
KURIKULAB, Assemblage of Democracy : Share Room : kolaborasi diskusi riset presentasi, di Galeri
Cipta II, Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada tanggal 16 30 Oktobr 2014. Dalam Focus Group Discussion
2 dibahas : Sekolah, Cara dan Tujuan, sedang dalam Focus Group Discussion 3 dibahas : Sistim dan
Kebijakan Pusat vs Inisiatif Lokal. Berbagai pembahasan, gagasan, pernyataan maupun pertanyaan
menjadi karya yang akan dipresentasikan dalam bentuk pameran seni rupa. Pameran ini menampilkan artefak
dan rekaman yang terjadi selama proses FGD berlangsung, seperti video, foto, coretan, teks dan gambar.
Pameran ini secara tidak sadar merupakan proses demokratis. Melalui kolaborasi dan partisipasi tersebut,
mengukuhkan kembali ruang kebebasan berbagi dan berpendapat yang dapat disinergikan satu sama lain.
Salah satu hal yang menarik dalam kerja kolaborasi ini, publik telah menjadi salah satu penentu artistik. Secara
tidak langsung, publik telah dapat memberikan penawaran tersendiri pada persoalan hari ini.
How can we talk about research if, in practice, we are still inscribed within a normative curriculum
Lilian LAbbate Kellan
Renungan pengalaman mengajar selama lebih dari 30 tahun tertuang dalam tulisan MENJADI
TUKANG MENGAJAR ATAU MENDIDIK (terbit dalam buku KAPUR & PAPAN, Kisah Guru-guru
Pembelajar 3, halaman 107 112), penerbit Lingkar Antar Nusa, Yogya, 2015
Tuturan tentang Manajemen Kelas tertuang dalam buku KAPUR & PAPAN, Kisah Pengelolaan Kelas
2, halaman 133 136 : MURIDKU TERTOLONG DENGAN PAIKEM GEMBROT, penerbit Lingkar Antar
Nusa, Yogya, 2015
Berdasar pengalaman panjang sebagai guru, pernah diundang sebagai nara sumber Rapat Dengar
Pendapat Umum di DPR RI :
a. Dalam surat Deputi Bidang Persidangan dan KSAP Setjen DPR RI No : LG.02/01677/DPR
RI/II/2012 tertanggal 20 Februari 2012 : Wendie Razif Soetikno diminta memberi masukan dalam
Rapat Dengar Pendapat Umum tentang RUU Sistem Peradilan Pidana Anak di depan Komisi III DPR
RI pada hari Selasa, 21 Februari 2012 pk. 10.00 12.00
b. Dalam surat Deputi Bidang Persidangan dan KSAP Setjen DPR RI No : LG.01/01960/DPR RI/II
2012 tertanggal 27 Februari 2012 : Wendie Razif Soetikno diminta memberi masukan dalam Rapat
Dengar Pendapat Umum tentang RUU Penyiaran di depan Komisi I DPR RI pada hari Rabu, 7 Maret
2012 pk. 10.00 13.00
Masuk 10 besar Lomba Penulisan Artikel Potret Indonesia 2014 Pimpinan Cabang Istimewa
Muhammadiyah (PCIM) Rusia, dengan judul tulisan Why Did Somebody Engage in High Cost/Risk
Activism? (laporan hasil penelitian tentang konflik horizontal di Poso Jilid I, Jilid II dan Jilid III) :
http://www.muhammadiyah.or.id/id/news-2705-detail-muhammadiyah-rusia-umumkan-pemenangsayembara-internasional-penulisan-.html

Penulis juga mengadvokasi petani sejak tahun 2008 melalui tulisan : ASURANSI UMUM DAN
PERTANIAN BERKELANJUTAN, UPAYA MENUJU KETAHANAN PANGAN DALAM
MENGATASI KEMISKINAN YANG BELUM DILIRIK (Harian Online KABAR INDONESIA
(HOKI) (http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=10&dn=20080719225222). Siaran METRO TV,
Rabu 13 Oktober 2010 pk. 19.00-20.30 : SUARA ANDA - 1 TAHUN KINERJA KIB II MENYOROT KINERJA MENTERI PERTANIAN : SUSWONO.
202

192

Dalam acara ini Menteri Pertanian Suswono menyatakan perlunya ASURANSI PERTANIAN agar
petani tidak terus merugi dalam ketidak-pastian musim sekarang ini, TAPI HAL INI MASIH
WACANA, sehingga ide ini masih harus terus diperjuangkan. Hal ini seolah-olah akan diwujudkan
pada tahun 2012 lalu : BUDI DAYA PADI DIASURANSIKAN (KOMPAS, Jumat 29 Juni 2012
halaman 19) . Namun sampai bencana kekeringan melanda di tahun 2015 ini, asuransi pertanian ini
BELUM JUGA TERWUJUD, dan baru mau akan diwujudkan lagi melalui paket kebijakan
ekonomi ketiga JokowiJK tertanggal 7 Oktober 2015, dimana pemerintah akan menanggung 80%
premi asuransi pertanian dan petani cukup membayar premi sebesar 20% atau setara Rp.30 ribu
dengan nilai claim sebesar Rp 6 juta bila petani gagal panen hingga kebutuhan sehari-hari tercukupi.
(http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/10/08/nvvljr382-cukup-bayar-rp-30-ribusawah-petani-sudah-dilindungi-asuransi).

203

193

194

You might also like