You are on page 1of 36

Pendahuluan

Angka kejadian alergi terhadap makanan tampaknya semakin meningkat.


Alergi makanan dapat mengakibatkan terganggunya kualitas hidup dari penderita
maupun keluarganya. Alergi makanan juga sering menyebabkan dokter anak kesulitan
dalam menentukan diagnosis dan memberi penanganan.[1]
Insidensi reaksi merugikan terhadap makanan belum diketahui dan tidak dapat
disangsikan bervariasi pada berbagai belahan dunia. Diet orang Amerika Serikat ratarata berisi banyak antigen makanan, aditif kimia makanan, antibiotika, dan bahanbahan lain; karenanya tidak heran kalau frekuensi reaksi merugikan terhadap makanan
bermakna. Reaksi makanan yang disebabkan oleh mekanisme alergi diperkirakan
terjadi pada 0,3-0,7% orang, tetapi prevalensi alergi makanan merupakan subjek yang
mengundang banyak pertentangan. Kebanyakan reaksi merugikan terhadap makanan
tidak mempunyai dasar imunologis. Pada kasus ini penggunaan metode diagnosis
imunologis (uji kulit atau uji provokatif) tidak tepat. Sama halnya pengobatan yang
didasarkan pada prinsip-prinsip imunologis tidak berdasar. [2,3]
Enam hingga delapan persen anak berusia kurang dari 3 tahun pernah
mengalami alergi makanan. Beberapa penelitian di masyarakat menunjukkan bahwa
prevalensi alergi susu sapi terjadi pada 1,9-3,9% anak kecil, alergi telur terjadi pada
2,6% hingga anak berusia 2,5 tahun., kacang-kacangan pada 0,4%-0,6% pada anak usia
kurang dari 18 tahun. [1]
1. Definisi
Alergi makanan didefinisikan sebagai suatu reaksi terhadap protein makanan
yang merugikan, yang disebabkan oleh suatu hipersensitivitas imun, yaitu suatu
interaksi antara sedikitnya satu protein makanan dengan satu atau lebih mekanisme
imun, tidak terbatas hanya pada IgE. [1]

Sebenarnya reaksi merugikan terhadap makanan merupakan suatu istilah umum


yang dipakai untuk menggambarkan suatu respons klinis abnormal sesudah makan
makanan atau bahan-bahan tambahannya. Dengan demikian reaksi merugikan terhadap
makanan dapat ditimbulkan dari suatu alergi atau idiosinkrasi atau suatu respons
metabolik, farmakologis atau toksik terhadap protein makanan, bahan tambahannya
atau kontaminasi makanan. [1]
2. Etiologi
Mekanisme reaksi merugikan terhadap makanan mungkin tidak hanya
mencakup alergi tetapi juga defisiensi enzim dan reaksi imunologis terhadap tiramin,
nitrit, dan monosodium glutamate. Ada sedikit keraguan bahwa molekul makro yang
utuh dapat lewat melalui epitel saluran gastrointestinal dan memperoleh jalan masuk
ke sirkulasi sistemik, terutama selama usia beberapa bulan pertama. Imunoglobulin (Ig)
A sekretorik membatasi penyerapan makromolekul utuh. Anak dengan defisiensi IgA
mempunyai kadar antibodi terhadap protein susu sapi dan kompleks imun yang
mengandung antigen susu lebih tinggi daripada kontrol (anak) normal. Reaksi yang
diperantarai-IgE ditandai khas dengan mulainya yang cepat dan dapat tampak sebagai
angioedema bibir, mulut, uvula atau glottis; sebagai urtikaria menyeluruh; sebagai
asma; atau kadang-kadang sebagai syok. [2]
Individu dengan reaksi makanan diperantarai-IgE secara tetap menunjukkan uji
kulit positif pada makanan yang dicurigai. Sebenarnya uji kulit sendiri, terutama jika
dilakukan dengan teknik intrakutan, dapat mempercepat reaksi klinik pada individu
dengan alergi anafilaktik pada makanan. Makanan yang memiliki kemungkinan
tertinggi menyebabkan sensitivitas diperantarai-IgE adalah ikan, kerang, kacang tanah
(suatu tumbuhan polong), berbagai kacang-kacangan dan biji-bijian, telur, susu sapi,
kedelai, gandum, dan jagung. [2,4,5,6]
Yang lebih sukar didiagnosis adalah reaksi yang mulainya beberapa jam sampai
24 jam sesudah penelanan makanan yang mengganggu. Reaksi demikian dikaitkan
2

tanpa bukti yang sangat meyakinkan akan adanya alergi terhadap produk digestif
makanan seperti protease atau polipeptida. Peran kompleks antigen-antibodi dan
imunitas seluler (hipersensitivitas tipe lambat) dalam patogenesis reaksi yang terjadi
lambat ini belum diketahui. [2]
Sejumlah enteropati dengan berbagai kombinasi malabsorbsi, steatorea,
hipoalbuminemia dan kehilangan darah melalui tinja telah dilaporkan sebagai akibat
intoleransi susu sapi atau gandum.Walaupun ada hubungan yang erat antara gejala atau
tanda dengan pemberian makan makanan ini, mekanisme jejas imunologis yang tepat
belum diketahui. Belum diketahui apakah individu sensitive-gandum yang menderita
gejala yang merugikan dari fraksi zat perekat (gluten) gandum yang bereaksi dengan
-gliadin sebagai toksin atau sebagai antigen pada suatu jejas tipe kompleks-imun. [2]
Reaksi merugikan nonimunologik lainnya, terhadap makanan, terutama pada
orang dewasa adalah nyeri kepala sesudah penelanan anggur dan keju (tiramin), daging
yang diawetkan atau nyeri kepala hot dog (natrium nitrit), atau sindrom restoran Cina
(monosodium glutamat). Orang yang terkena tampaknya menderita reaksi idiosinkrasi,
tetapi bukan alergi, terhadap bahan kimia sederhana ini. Pada kasus lain reaksi
merugikan yang nonimunologik dapat disebabkan aditif makanan, termasuk zat
pewarna yang digunakan dalam makanan dan obat-obatan. Laporan dari National
Advisory Committee on Hiperkinesis and Food Additives menyimpulkan bahwa tidak
ada hubungan penyebab langsung antara zat pewarna dan zat aroma dengan
hiperaktivitas pada anak. [2]
3. Epidemiologi
Akhir-akhir ini survei epidemiologi menunjukkan kenyataan adanya kenaikan
fenomena alergi yang cepat. Di Negara berkembang, fenomena ini merupakan penyakit
kronis yang paling sering dijumpai dan mencapai sekitar 15% dan 30% dari seluruh
populasi. Pada bayi dan anak kecil, prevalensi alergi makanan diperkirakan terjadi
sekitar 2%-3%. Faktor-faktor yang mempengaruhi prevalensi alergi makanan pada
3

berbagai populasi memberikan perhatian mengenai dasar genetik dan lingkungan dari
kenaikan penyakit atopik pada anak. Di Asia Tenggara terdapat variasi yang sangat
tinggi mengenai budaya, ras, dan makanan yang mungkin dapat berpengaruh terhadap
prevalensi alergi makanan. Di Australia, telur (3,2%), susu sapi (2%) dan kacang tanah
(1,9%) merupakan alergen makanan yang paling sering dijumpai pada anak hingga
berusia 2 tahun. Di Asia, prevalensi alergi makanan tidak banyak diketahui. Terdapat
pandangan umum bahwa alergi nasi tidak umum dijumpai, sebaliknya alergi terhadap
kerang-kerangan lebih sering dijumpai di Filipina dan Singapura yang merupakan
bagian dari makanan sejak bayi usia dini. Berbeda dengan insidensi hipersensitivitas
terhadap kacang tanah di Malaysia, Jepang dan Filipina yang rendah, di Indonesia dan
Australia insidensi alergi terhadap bahan makanan tersebut relatif tinggi. Di Amerika
Serikat, hingga sepertiga rumah tangga menyatakan bahwa salah satu keluarganya
pernah mengalami reaksi makanan yang merugikan, tetapi prevalensinya pada anakanak hanya 6%-8%. [1,4,7]
Berdasarkan jenis kelamin, pada anak-anak, laki-laki lebih banyak terkena;
pada orang dewasa, perempuan lebih sering terkena. Prevalensi alergi makanan telah
diperkirakan hingga 8% pada bayi dan anak-anak dan 3,7% pada orang dewasa. [3]
Studi di Amerika Serikat dan Inggris menunjukkan kenaikan alergi kacang pada
anak muda dalam dekade terakhir. Satu studi menunjukkan peningkatan alergi kacang
pada anak-anak dari 0,4% pada tahun 1997 menjadi 0,8% pada tahun 2002. Studi dari
Kanada dan Inggris menunjukkan tingkat alergi terhadap kacang lebih dari 1% pada
anak-anak. [3]
Sebuah laporan dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
menunjukkan bahwa di antara anak-anak berusia 0-17 tahun, prevalensi alergi makanan
meningkat dari 3,4% pada 1997-1999 menjadi 5,1% pada 2009-2011, kenaikan 50%.
Berdasarkan studi yang tersedia, estimasi tingkat alergi makanan pada anak-anak telah

diringkas sebagai berikut untuk alergen makanan umum [36]: Sapi susu - 2,5%,telur 1,3%, kacang - 0,8%, gandum - 0,4%, kedelai - 0,4%. [3]
Sejumlah gangguan hipersensitivitas pada anak telah dikemukakan, termasuk
sindrom alergi oral, anafilaksis gastrointestinal (dengan perantara IgE), enterokolitis
karena protein makanan, sindroma malabsorpsi (termasuk penyakit celiac, enteropati
sensitive terhadap protein susu sapi), gastro-enteropati eosinofilik alergik, kolik,
refluks gastroesofageal. Di Skandinavia dengan kriteria ketat didapatkan prevalensi
alergi susu sapi sebesar 1,9%, sedangkan Hill (1999) melaporkan adanya insidens
alergi susu sapi sebesar 2-7,5% pada kurun usia bayi sampai 1 tahun. Di Surabaya
kejadian enteropati sensitif protein susu sapi (cows milk protein sensitive
enteropathy=CMPSE) pada penderita yang menunjukkan diare kronik dilaporkan
sebesar 72,9%. Diagnosa CMPSE di Surabaya dilakukan dengan tantangan susu (milk
challenge) dan ditegakkan dengan biopsi usus. [1]
Perjalanan Alami
Perjalanan alami dari alergi makanan pada anak kecil baik yang diperantarai
IgE maupun yang tanpa diperantarai IgE menunjukkan adanya toleransi yang timbul
sejalan dengan perjalanan waktu. [1]
Kebanyakan anak akan terbebas dari alergi terhadap susu, telur, terigu dan
kedelai dan hal ini biasanya berhubungan dengan resolusi atau kemajuan dari
penyakitnya. Sekitar 1-3 tahun dengan diet eliminasi yang ketat diperkirakan dapat
memperpendek waktu kesembuhan. Namun, pasien-pasien yang alergi terhadap
kacang tanah, kacang pohon, ikan dan kerang memiliki kemungkinan yang lebih
banyak untuk tidak dapat terbebas dari reaktivitas klinis dan sensitivitas hingga usia
dewasa. Peningkatan kadar IgE spesifik makanan dapat merupakan suatu indikasi
berkurangnya kemungkinan terjadi toleransi dalam tahun-tahun berikutnya dari usia
anak. [1]

4. Klinis
Pada bayi-bayi muda, kulit dan saluran gastrointestinal merupakan organ target
yang paling umum terkena, sedangkan gejala-gejala respiratorik sangat jarang tampak.
Spektrum hipersensitivitas makanan:
1. Gejala-gejala kulit meliputi: [1,5,6]
- Pruritus
- Urtikaria
-Eksema
2. Gejala-gejala gastrointestinal meliputi: [1,5,6]
- Sindrom alergi oral
- Anafilaksis gastrointestinal (dengan perantara IgE)
- Enterokolitis karena protein makanan
- Kolitis karena makanan
- Sindrom malabsorpsi (termasuk penyakit celiac, enteropati sensitif protein
susu sapi)
- Gastroenteropati eosinofilik alergik
- Kolik pada bayi
- Refluks gastroesofageal
3. Gejala-gejala respiratorik [2,5,6]
4. Asma

5. Rhinitis alergika
Sicherer (1999) membagi penyakit alergi makanan dalam gangguan yang
diperantarai IgE dan yang tidak diperantarai IgE sebagai berikut: [1]
Tabel 1. Alergi makanan: Organ target dan gangguannya[1]
Organ Target

Dengan perantara IgE

Tanpa perantara IgE

Kulit

Urtikaria dan angioedema

Dermatitis atopik

Dermatitis atopik

Dermatitis herpetiformis

Sindrom alergi oral

Proktokolitis

Anafilaksis

Enterokolitis

Gastrointestinal

gastrointestinal

Gastroenteritis eosinofilik

Gastroenteritis eosinofilik
alergik

alergik
Sindrom enteropatia
Penyakit celiac

Respiratorik

Asma

Sindrom Heiner

Rinitis alergik
Multisistem

Anafilaksis

yang

dipicu

makanan
Anafilaksis

yang

berhubungan

dengan

makanan, anafilaksis yang


dipicu exercise

Pembagian sindrom utama alergi susu sapi menurut Hill (1996) antara lain: [1]
1. Penderita-penderita dengan kemungkinan besar menderita alergi susu sapi (cows
milk allergy : CMA).
a. Reaksi tipe anafilaktik
b. Reaksi tipe gastrointestinal akut
2. Penderita-penderita dengan kemungkinan sedang (moderat) menderita CMA:
a. Ekzema kronik pada bayi
b. Kolik infantile
c. Diare kronik (Enteropati sensitif terhadap protein susu sapi = cows milk
protein sensitive enteropathy: CMPSE)
d. Sembab (gastroenteropati eosinofilik)
e. Diare berdarah (kolitis karena makanan = food induced colitis)
3. Penderita-penderita dengan kemungkinan kecil menderita CMA
a. Rinitis kronik
b. Otitis media berulang
c. Batuk berulang termasuk asma
Kompleksnya sistem imun gastrointestinal dan adanya fakta bahwa saluran
gastrointestinal merupakan tempat pertama yang menghadapi sejumlah besar alergen
makanan, sehingga tidaklah mengherankan apabila berbagai ragam gangguan
hipersensitivitas gastrointestinal dapat timbul. [1]

Atas dasar ini Workshop on the Classification of Gastrointestinal Disease of


Infants and Children Nopember 1988 membagi hipersensitivitas gastrointestinal
menjadi: [1]
a. Eksklusif dengan perantara IgE
b. Sebagian dengan perantara IgE
c. Eksklusif dengan perantara sel
Tanpa memandang mekanisme imunologis yang terkait, gejala hipersensitivitas
GI biasanya mirip sifatnya satu dengan yang lainnya, akan tetapi berbeda dalam waktu
awal penyakit, berat serta persistensinya.
Tabel 2. Gangguan hipersensitivitas GI[1]
IgE

Non-IgE

Hipersensitivitas GI Esofagitis eosinofilik


Seketika

Gastritis eosinofilik alergik

Sindrom alergi oral

Gastroenteritis

eosinofilik

alergik

Enterokolitis

protein

makanan alergik
Proktitis protein makanan
Enteropati protein makanan

1. Dengan perantara IgE


Reaksi tipe anafilaktik
Anafilaksis merujuk pada reaksi multi organ yang dramatik yang berhubungan
dengan hipersensitivitas yang diperantarai IgE. Makanan yang utama penyebab
anafilaksis adalah kacang tanah, kacang pohon (mente) dan kerang-kerangan. [1]

Anafilakasis akibat makanan yang dipicu latihan (exercise) timbul dalam dua
bentuk: (1) anafilaksis timbul bila latihan dilakukan menyusul pemberian makanan
tertentu yang sensitivitasnya diketahui diperantarai IgE atau (2) yang lebih jarang
adalah yang terjadi sesudah makan sembarang makanan. Makanan-makanan yang
terlibat bersama dengan latihan atau latihan tanpa makanan-makanan tidak
menimbulkan gejala. [1]
Reaksi timbul cepat dalam hitungan menit namun dapat juga terjadi hingga 1
jam setelah meminum susu. Gejala syok anafilaktik dapat timbul apabila jumlah susu
yang diminum besar, sedangkan susu dalam jumlah kecil memberikan gejala urtikaria
perioral, urtikaria umum, angioedema, eksem berulang, rinore, nafas bunyi, stridor,
batuk dan muntah. Kebanyakan penderita menunjukkan hasil tes tusuk kulit (skinprick
test) yang positif kuat terhadap ekstrak susu sapi. [1]
Sindrom alergi oral (oral allergy syndrome : OAS)
Dalam dekade terakhir prevalensi dari OAS makin meningkat, hal ini mungkin
disebabkan karena bertambahnya kewaspadaan akan adanya penyakit ini. OAS
merupakan bentuk alergi kontak, alergi yang terbatas pada orofarings dan jarang
mengenai organ target lainnya. Aktivasi dari sel mast yang diperantarai IgE lokal
memicu permulaan yang cepat dari pruritus, rasa pedih dan angioedema dari bibir, lidah
dan tenggorok, terkadang muncul rasa gatal di telinga, tenggorok sehingga seakan
tercekik atau keduanya. Gejala tersebut biasanya bersifat sementara dan pada
umumnya berhubungan dengan memakan berbagai buah segar dan sayur-sayuran.
Pasien alergi terhadap Ragweed (sejenis buah) dapat mengalami OAS sesudah
kontak dengan berbagai jenis semangka segar dan pisang. [1]
2. Dengan perantara campuran IgE dan non IgE
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
- Esofagitis eosinofilik
10

- Gastritis eosinofilik
- Gastroenteritis eosinofilik
Gambaran hipersensitivitas ini ditandai dengan infiltrasi eosinofilik dari
dinding esophagus, lambung, usus dengan eosinofil, hyperplasia zona basal,
perpanjangan papiler, tidak adanya vaskulitis dan eosinofilia perifer pada 50% dari
pasien. [1]
Infiltrasi eosinofil dapat mengenai lapisan mukosa, otot dan serosa dari
lambung dan usus kecil. Gejala klinis berkorelasi dengan luasnya infiltrasi dinding
usus. Infiltrasi eosinofilik dari lapisan otot dapat menyebabkan penebalan dan
kekakuan dinding usus yang memicu gejala obstruksi, sedangkan infiltrasi daerah
serosa menyebabkan asites yang mengandung eosinofil. Walaupun demikian
imunopatogenesis yang mendasari penyakit ini tetap tidak diketahui dengan jelas. [1]
Esofagitis eosinofilik alergik
Esofagitis eosinofilik alergi didapatkan paling sering selama masa bayi hingga
masa remaja dalam bentuk refluks kronik (refluks gastroesofageal), emesis intermiten,
penolakan makanan, nyeri abdomen, disfagia, iritabilitas, gangguan tidur dan tidak
responsif terhadap pengobatan refluks konvensional. Formula susu terutama soya dan
juga susu sapi dikatakan banyak terlibat dalam kejadian refluks gastrointestinal. [1,3]
Refluks gastroesofageal (gastro esophageal reflux: GER) menggambarkan
keluarnya secara involunter isi gaster diatas sfingter esophagus bawah. Refluks
gastroesofageal merupakan keadaan yang biasa pada usia bayi dan dikatakan patologis
apabila hal tersebut menyebabkan esofigitis, gagal tumbuh atau gejala respiratori
(GERD: gastroesophageal reflux disease). Kebanyakan gejala akan menghilang pada
saat usia bayi 12-18 bulan. Tangisan yang tidak henti-hentinya pada bayi sering terjadi
dan karena banyaknya prevalensi regurgitasi pada bayi-bayi muda, sering dihubungkan
dengan GER dan esofagitis. Namun hal ini kemudian ternyata lebih merupakan asosiasi
11

dari pada hubungan kausal antara tangisan persisten (distress yang persisten) dan GER.
GER secara tradisional dipandang sebagai gangguan motilitas primer. Namun, akhirakhir ini, suatu bentuk sekuder karena intoleransi terhadap protein makanan telah pula
dikemukakan kedua bentuk ini seringkali sulit dibedakan pada anak kecil karena
tumpang tindih secara klinis. [1,3,7]
Esofagitis secara histologi ditandai oleh hyperplasia basal, perpanjangan dari
papilla dan terdapatnya suatu campuran infiltrat keradangan dari neutrofil dan
eosinofil. Umumnya diperkirakan bahwa esofagitis merupakan efek langsung dari jejas
peptik karena paparan asam yang berkepanjangan pada esophagus distal. Eosinofil
esophageal telah digunakan sebagai tanda spesifik dari esofagitis refluks. [1,3]
Kolik infantil terdiri dari paroksisma tangisan atau ketewelan tanpa sebab yang
jelas yang terjadi pada 15-40% bayi berusia 4 bulan pertama.
Kolik yang berhubungan dengan muntah dikatakan mempunyai kaitan dengan
refluks gastroesofageal (GER). Hal ini diperkirakan primer penyebabnya karena suatu
gangguan motilitas, namun akhir-akhir ini dikemukakan suatu bentuk sekunder yang
disebabkan karena intoleransi protein makanan. Periode dari intoleransi protein
makanan merupakan suatu bagian dari perkembangan normal sistem imun karena pada
periode ini bayi dan anak kecil banyak menghadapi protein makanan yang umum
dikonsumsi bayi dan anak kecil. [1]
Terdapat pendapat bahwa kolik infantile berhubungan baik dengan interaksi
(perilaku) orang tua-anak yang terganggu maupun dengan reaksi hipersensitivitas
protein makanan (alergi) dengan kemungkinan salah satu atau keduanya dapat menifes
pada seseorang anak yang mempunyai predisposisi gangguan motilitas usus.
Dikemukakan hipotesa bahwa pada bayi dengan kolik terdapat intoleransi terhadap
protein makanan yang transien yang mempunyai asosiasi dengan gangguan motilitas
usus primer pada minggu-minggu pertama usia bayi dan hal ini dapat menimbulkan

12

distress yang kemudian menetap, suatu hasil dari pola perilaku dan gangguan sekunder
dalam interaksi orangtua-bayi. [1]

Gastritis eosinofilik alergik


Gastritis eosinofilik alergik terdapat juga lebih banyak sepanjang masa bayi
sampai remaja. Biasanya menunjukkan gejala-gejala muntah sesudah makan, nyeri
abdomen, anoreksia, perut rasa penuh, hematemesis, gagal tumbuh dan obstruksi jalan
keluar lambung (jarang stenosis pilorik). [1]
Gastroenteritis eosinofilik alergik
Gastroenteritis eosinofilik alergik dapat terjadi pada setiap usia dan muncul
dengan gejala sama seperti esophagitis, gastritis atau keduanya. Gejala yang paling
mencolok adalah berkurangnya berat badan dan gagal tumbuh. Hingga 50% dari pasien
adalah atopic dan pada sebagian kecil pasien diperkirakan karena reaksi yang
diperantarai IgE yang dipicu makanan. Yang mencolok pada penyakit ini adalah gejala
enteropati dengan kehilangan protein (protein losing enteropathy) terlihat dengan
adanya sembab perifer, asites, malabsorpsi dan anemia kekurangan besi karena
kehilangan darah melalui usus dan terkadang hanya disertai gejala gastrointestinal yang
minimal (muntah, diare). Timbulnya penyakit ini biasanya lambat, biasanya terdapat
riwayat atopi dalam keluarga dan tidak responsif (multiple allergens) termasuk
inhalans berperan dalam gangguan ini. [1,3]
3. Gangguan hipersensitivitas dengan perantara non-IgE
Enterokolitis protein makanan

13

Merupakan gangguan hipersensitivitas yang paling sering terjadi pada bayi usia
beberapa bulan dengan gejala yang berupa iritabilitas, muntah yang masif serta diare
yang tak jarang menyebabkan dehidrasi. Muntah biasanya terjadi 1-3 jam sesudah
makan. Pada paparan yang terus menerus dapat menyebabkan diare berdarah, anemia,
distensi abdomen dan gagal tumbuh.[1,3]
Rektosigmoidoskopi pada kolitis menunjukkan eritema dan aftae pada mukosa
sedang secara histologis tampak adanya infiltrasi eosinofilik dan ulserasi fokal.
Kebanyakan dari gangguan ini disebabkan karena susu sapi (milk induced colitis),
sebagian kecil mungkin oleh antigen yang terkandung ASI (breast milk induced benign
proctitis) ataupun oleh protein soya. Tinja sering mengandung darah yang samar,
neutrofil polimorfonuklear dan eosinofil serta Kristal charcot-Leyden. Uji tusuk kulit
(skin prick test) biasanya negatif. Spesimen biopsy jejunum menunjukkan vili yang
datar, sembab dan peningkatan limfosit, eosinofil dan sel mast. Sel-sel mast yang
mengandung IgM dan IgA didapatkan dalam jumlah yang meningkat. Walaupun
mekanisme imunopatogenik masih perlu diteliti, studi terbaru menunjukkan adanya
sekresi dari TNF- dan sel-sel mononuklear lokal yang berperan dalam diare sekretori
dan hipotensi. [1]
Proktitis protein makanan
Gangguan ini khas terlihat pada beberapa bulan setelah kelahiran berupa tinja
dengan bercak darah pada bayi-bayi yang tampak sehat. Sekitar 60% dari kasus adalah
bayi yang mendapatkan ASI, sedangkan selebihnya adalah bayi yang mendapatkan
susu sapi atau formula soya. Kehilangan darah bersifat sedang akan tetapi kadang dapat
menimbulkan anemi. Hipoalbuminemia dan eosinofilia perifer jarang terjadi. [1]
Enteropati protein makanan
Gangguan ini sering terlihat pada bayi usia beberapa bulan setelah lahir dengan
gejala diare (tidak jarang steatorea), kenaikan berat badan yang kurang memuaskan,

14

distensi abdomen dan malabsorpsi, terkadang juga ditemukan anemia, sembab dan
hipoproteinemia. Enteropati sensitive protein susu sapi merupakan penyebab utama
sindroma ini, walaupun terdapat pula asosiasi dengan soya, telor, gandum, nasi, ayam
dan ikan pada anak yang lebih besar. Pada biopsi usus tampak atrofi vilus yang tidak
merata disertai infiltrat seluler yang khas untuk gangguan ini. Pada enteropati susu sapi,
didapatkan IgA dan IgG serum yang meningkat. [1]
Prototipe dari intoleransi makanan yang bersifat sementara adalah enteropati
sensitif terhadap protein susu sapi (cows milk sensitive enteropathy =CMPSE, cows
milk induced enteropathy) yang biasanya menghilang sesudah anak berusia 2-3 tahun.
Reaksi ini biasanya tidak bersifat seketika. Terdapat pula kasus-kasus alergi susu sapi
dengan disertai malabsorpsi tetapi tanpa adanya enteropati. Hal ini menyebabkan
bahwa diagnosa dengan cara biopsy saja tidaklah cukup. Didapatkannya enteropati
yang tidak merata pada biopsi usus belumlah merupakan tanda patognomonik untuk
menjelaskan etiologinya. Peran gastroenteritis akut sebagai predisposisi terjadinya
alergi susu sapi belum jelas. Defisiensi disakaridase sekunder pada alergi susu sapi
dapat disebabkan karena kerusakan vilimikro pada permukaan enterosit. Enteropati
yang terjadi pada alergi susu sapi bersifat transien dan reversible sesudah eliminasi
susu sapi. [1]
Tabel 3. CMPSE di Surabaya[1]
Usia (bulan)

0-6

7-12

13

Jumlah

CMPSE (-)

10

CMPSE (+)

13

13

27
(72,9%)

Penyakit celiac

15

Merupakan enteropati protein makanan dengan cirri khas lebih luasnya


kerusakan vili absorptive dan hiperplasia kripta yang menimbulkan malabsorpsi, diare
kronik, steatore, distensi abdomen, flatulens dan penurunan berat badan atau kegagalan
tumbuh. Tidak jarang dapat juga diketemukan ulserasi oral dan gejala ekstrapiramidal
lain sekunder karena malabsorpsi. Pasien dengan penyakit celiac sensitif terhadap
gliadin, suatu bagian yang larut alcohol dari gluten yang didapatkan a.l pada gandum.
oat, rye dan barley. Penyakit celiac berhubungan dengan HLA-DQ2 (dan DQ8)
haplotype dan sekitar 90% dari pasien yang mengingesti gliadin mempunyai antibodi
IgA anti gliadin dan antiendomisium. Pada biopsi terlihat adanya atrofi vilus total dan
infiltrat seluler yang ekstensif. Prevalensi dan penyakit celiac diperkirakan antara
1:3700 dan 1:300. Di Indonesia kejadian penyakit celiac belum pernah dilaporkan. [1,3]
Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa penyakit celiac dapat beragam mulai dari
sindrom malabsorpsi yang berat sampai yang tidak tampak (subklinis). Ingesti bijibijian yang mengandung gluten secara terus menerus mempunyai hubungan dengan
peningkatan risiko terjadinya keganasan, terutama limfoma sel T. Studi histopatologi
menunjukkan

bahwa

limfosit-limfosit,

sebagian

besar

CD8+

fenotipe

sitotoksik/supresor banyak berada dalam ruang intra epithelial, dan sel-sel T/


meningkat dalam mukosa jejunum

dan darah perifer. Penemuan terakhir lain

mengemukakan bahwa penyakit celiac berhubungan dengan kenaikan aktivitas


mucosal dari transglutaminase jaringan (tTGase) terhadap protein spesifik yang terikat
glutamine. [1,3]
Konstipasi kronis
Konstipasi kronis terdapat pada 68% dari penderita anak yang mengalami
hipersensitivitas terhadap susu sapi. Konstipasi kronik merupakan suatu gejala yang
diberi batasan dari segi kesulitan selama defekasi, interval-interval yang panjang antar
buang air besar (BAB), penampang dan kekerasan tinja. Gejala ditandai dengan

16

gerakan BAB yang nyeri atau mengejan saat BAB, tinja yang keras, frekuensi BAB
kurang dari 3x/minggu selama paling kurang 30 hari, dengan atau tanpa soiling. [1]
Konstipasi adalah salah satu gejala dari intoleransi susu sapi. Uji-uji
imunologik menunjukkan bahwa konstipasi merupakan manifestasi dari alergi susu
sapi yang sering terjadi dengan perantara IgE. Selain itu karena tingginya frekuensi
fisura berat pada anak yang timbul kembali setelah pemberian susu sapi dan sebelum
permulaan konstipasi, maka hipotesisnya adalah bahwa nyeri selama BAB dapat
menyebabkan retensi tinja di dalam rektum sehingga memperberat konstipasi. [1]
Penyakit usus beradang (Inflammatory bowel disease=IBD)
Peran hipersensitivitas terhadap makanan dalam IBD (penyakit Crohn dan
colitis ulserosa) tetap spekulatif, walaupun diet elemental menunjukkan kemajuan
dalam resolusi dari gejala yang ada. [1]
Reaksi tipe gastrointestinal akut
Gejala-gejala meliputi pucat, kolik, nyeri abdomen dan muntah disusul dengan
diare serta terkadang kolaps yang terjadi beberapa jam sesudah minum susu sapi dalam
jumlah yang cukup besar (30-240 ml). Gejala muntah didahului oleh tingkah anak yang
rewel dan mudah terangsang. Gejala timbul dengan lambat, diare berlangsung beberapa
jam tanpa muntah. Pada bayi-bayi muda, muntah tidak selalu terjadi segera, dan pada
beberapa bayi diantaranya, muntah pada awalnya berupa muntah yang intermiten serta
disertai gejala kegagalan pertumbuhan. Pada anak-anak dengan dermatitis atopic dan
alergi makanan, ingesti alergen makanan memicu desensitisasi parsial dari sel-sel mast,
menimbulkan reaksi subklinis. Pada umumnya anak-anak ini pertama kali terlihat
mempunyai keluhan anoreksi. Kenaikan berat badan yang kurang ideal dan nyeri
abdomen yang berulang, namun integritas dinding usus menunjukkan adanya
malabsorpsi. Kebanyakan penderita menunjukkan uji kulit negatif terhadap ekstrak
susu dan secara serologis tidak menunjukkan hipersensitivitas IgE terhadap susu sapi.

17

Penderita-penderita dengan gejala yang timbul lambat biasanya pada pemberian susu
yang berulang-ulang akan menimbulkan episode-episode gastroenteritis atau
intoleransi laktosa yang berulang. [1]

5. Diagnosis
Diagnosis alergi makanan berdasarkan: [1]
- Riwayat medis
- Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan laboratorium
- Eliminasi diet
- Tantangan makanan oral
- Uji diagnostik lain
Evaluasi awal dimulai dengan anamnesis riwayat medis dan pemeriksaan fisis
yang mendalam, pertimbangan diagnosis banding, termasuk gangguan metabolik,
abnormalitas anatomik, keganasan, insufisiensi pankreatik, reaksi merugikan terhadap
makanan yang non-imunologik dan gangguan-gangguan lainnya yang dapat
memberikan gejala yang serupa. Reaksi alergik terhadap bahan-bahan selain makanan
(missal bulu bintang, jamur, debu) harus pula dipertimbangkan. [1]
1. Riwayat medis
Riwayat medis dari alergi makanan kebanyakan adalah bertumpu pada daya
ingat pasien mengenai peristiwa-peristiwa disekitar timbulnya gejala dan pada

18

umumnya sangat subyektif. Hanya sekitar 40% dari riwayat medis yang didapatkan
dari pasien /orangtua pasien dapat diklarifikasi. Konsekuensinya adalah bahwa dokter
harus membedakan antara gangguan yang disebabkan hipersensitivitas makanan
dengan etiologi lain seperti tertera pada table. [1]
Tabel 4. Bahan-bahan/keadaan yang dapat memberikan gejala mirip gangguan
hipersensitivitas makanan [1]
1. Gastrointestinal : muntah dan atau diare
- Abnormalitas struktural (misal: Hernia heatal, stenosis pilorik)
- Defisiensi enzim: primer vs sekunder (misal lactase, galaktosemia)
- Keganasan
- Lain-lain (misal fibrosis kistik, tukak peptic)
2. Kontaminasi dan bahan tambahan
- Bahan penyedap dan pengawet
- Bahan warna
- Toksin
- Bahan yang berhubungan dengan ikan laut
- Organisme infeksi
- Antigen jamur
- Kontaminan asidental (logam berat, pestisida, antibiotik)
3. Bahan-bahan farmakologik
- Kafein (kopi, soft drink)

19

- Theobromin (coklat, teh)


- Histamin (ikan)
- Triptamina (format)
- Serotonin (tomat, banana)
- Tiramin (keju)
- Alkaloid glikosidal (kentang)
- Alkohol
4. Reaksi psikologik

Dapat dikatakan bahwa setiap protein makanan mampu menyebabkan suatu


reaksi; namun, hanya sejumlah kecil dari makanan terkait dengan 90% lebih reaksi
makanan yang merugikan, serta sebagian besar pasien sensitif terhadap kurang dari 3
makanan. Pada anak-anak, makanan yang paling banyak menyebabkan reaksi adalah
telor, susu, kacang tanah, soya, terigu , kacang-kacangan pohon, ikan dan kerang. [1]
Tanda dan gejala dari reaksi alergik makanan yang berhubungan dengan
berbagai organ target dapat dilihat dalam Tabel 5. [1]

Tabel 5. Tanda & gejala reaksi alergik makanan dalam berbagai organ target [1,3]
Kulit
- Urtikaria/angioedema
- Kemerahan

20

- Bercak pruritus eritematus


- Dermatitis atopi
Gastrointestinal
- Pruritus dengan/atau pembengakakan bibir, lidah atau mukosa oral
- Mual
- Nyeri abdomen atau kolik
- Muntah atau refluks
- Diare
Respiratorik
- Hidung tersumbat
- Rinore
- Bersin
- Sembab larings, disfonia
- Nafas bunyi/batuk beruntun
Kardiovaskuler
- Hipotensi/renjatan
- Pusing
Lain-lain :
- Nyeri punggung

21

Hal yang perlu diperhatikan adalah: [1]

Saat terjadi reaksi

Makanan yang dicurigai sebagai penyebab reaksi


- Jenis makanan
- Kurun waktu antara makan makanan yang dicurigai dan timbulnya gejala
- Apakah makan makanan yang dicurigai memberikan gejala yang sama pada
waktu lain.
- Apakah faktor-faktor lain (latihan, alkohol) diperlukan dalam mencetuskan
gejala
- Lama waktu sejak terjadinya reaksi terakhir terhadap makanan
Pada gangguan yang kronik yang dipicu alergi makanan, riwayat medis

mempunyai ketepatan prediksi yang lemah, berbeda dengan gangguan yang bersifat
akut.
2. Pemeriksaan Fisik
Selama pemeriksaan fisik perhatian diarahkan ke sistem kulit, gastrointestinal
dan respiratorik dan ke arah deteksi adanya gambaran atopi yang umum didapatkan
pada pasien yang mengalami reaksi-reaksi yang diperantarai IgE. Status gizi umum
dari pasien dan setiap tanda fisik dari gangguan non alergik yang mendasarinya perlu
dicatat. [1]
3. Pemeriksaan Laboratorium
Selama riwayat medis dan pemeriksaan fisik, perlu ditentukan apakah temuantemuan pada pasien merupakan implikasi alergi makanan. Apakah mekanisme yang
diperantarai IgE ataukah yang tidak diperantarai IgE yang paling mungkin terlibat.
Sejumlah penelitian laboratorium mungkin berguna dalam menentukan makanan

22

spesifik yang terkait dengan reaksi yang diperantarai IgE akan tetapi terbatas nilainya
dalam reaksi yang tidak diperantarai IgE. [1]
Uji kulit (skin test)
Apabila dicurigai adanya reaksi dengan perantara IgE, maka uji tusuk kulit
(prick/puncture skin test = PST) dan RAST merupakan metode yang berguna untuk
menetapkan apakah pasien mempunyai antibodi IgE terhadap sesuatu makanan yang
spesifik. Uji-uji ini dapat menunjukkan adanya IgE allergen-spesifik, tetapi tidak dapat
menetapkan diagnosis dari alergi makanan klinis. Skin-prick test memberikan hasil
dalam waktu sekitar 20 menit. [1,6]
Uji serologi
Karena kebanyakan mekanisme imun yang terlibat dalam patogenesis alergi,
berbagai uji imunologis yang berbeda sering digunakan dalam mengidentifikasi reaksi
alergi walaupun hanya sebagian kecil saja dari uji ini yang benar-benar dapat dipakai
dalam menunjang diagnosis alergi. [1,6]
Uji RAST
RAST dan esai in vivo yang serupa, termasuk ELISA untuk mendeteksi
antibodi IgE spesifik makanan dapat dipakai pula untuk menapis (screen) pasien-pasien
yang dicurigai menderita alergi makanan dengan perantara IgE. Uji-uji ini pada
umumnya dianggap kurang sensitif dibandingkan uji klinis, tetapi suatu studi
menunjukkan bahwa RAST mempunyai kesamaan sensitivitas dan spesivisitas dengan
uji kulit apabila mencapai skor 3 atau lebih. [1,2]
Dalam penapisan awal untuk alergi makanan yagn diperantarai IgE, sering
dilakukan penapisan (skrining) sensitivitas makanan yang dicurigai dan kemudian
diperoleh tingkat IgE spesifik makanan untuk menentukan kecenderungan reaktivitas

23

kliniknya. Tingginya antibodi IgE awal dapat dipakai sebagai angka rujukan untuk
memonitor sensitivitas spesifiknya. [1]
Korelasi antara riwayat klinis, uji tusukan kulit, dan RAST sangat baik untuk
minyak ikan, putih telur, kacang-kacangan, kacang tanah dan kacang polong. RAST
dan uji kulit positif pada biji-bijian kurang berkorelasi dengan hasil tantangan bijibijian. RAST untuk kedelai dan kacang putih tidak dapat dipercaya, tampaknya karena
pengikatan IgE nonspesifik pada lempeng RAST. [1]
RIFT (Red Cell Immunosorbent Fluorescent Technique)
Antibodi IgG serum spesifik terhadap suatu antigen makanan yang sering
ditemukan lebih merupakan indikasi dari adanya suatu paparan dibandingkan
sensitisasi. Dengan cara semikuantitatif untuk IgG susu sapi (ELISA atau RIFT dapat
dibedakan antara penderita-penderita dengan CMA dengan yang sehat). Uji ini
terutama berguna bagi reaksi alergi pertengahan (intermediate) dan lambat (late
reactors) dan tidak berguna bagi reaksi cepat (immediate reaction). Pada penderitapenderita ini terdapat kecenderungan untuk terjadinya reaksi gastrointestinal. [1]
Pemeriksaan kompleks imun dalam sirkulasi (Circulating immune
complex), pengikatan Clq (Clq binding).
Kompleks imun yang mengandung antigen makanan dan antibody yang beredar
dalam serum telah diteliti dalam penggunaannya untuk diagnosis alergi makanan.
Walaupun terdapat berbagai macam cara pemeriksaan (RIA dengan dimodifikasi, Clq
binding), namun hasil yang didapatkan cukup memberi harapan terutama dalam
mengidentifikasi mekanisme hipersensitivitas tipe III. Akan tetapi masih diperlukan
data-data dari berbagai penelitian untuk menetapkan cara pemeriksaan tersebut dalam
diagnosis alergi makanan. [1]

24

Uji histamine plasma, uji pelepasan histamine basofil


Pemeriksaan histamin plasma dan pemeriksaan histamin sesudah inkubasi
leukosit basofil dengan antigen yang merupakan mediator yang dikeluarkan pada
reaksi cepat (immediate reactors) dipakai pula dalam upaya diagnostik alergi makanan.
Teknik yang digunakan banyak menyita waktu dan biaya. Akhir-akhir ini didapatkan
cara/uji degranulasi basofil yang lebih sederhana, namun masih memerlukan
konfirmasi lebih lanjut. Uji pelepasan histamine basofil (basophil histamine
release=BHR) dan uji pelepasan histamin sel mast pada umumnya hanya dilakukan
untuk tujuan penelitian. [1]
Uji inhibisi migrasi leukosit (Leucocyte Migration Inhibition test=LIF test)
Mekanisme imun dengan perantara sel (cell mediated immune mechanism)
dengan pengeluaran limfosit yang tersensitisasi antigen makanan yang spesifik, yaitu
faktor inhibisi migrasi leukosit (leucocyte migration inhibiting factor=LIF) telah
dicoba untuk dipakai sebagai cara diagnostik alergi makanan. Disamping hasil-hasil
yang dikatakan menggembirakan, terdapat banyak pula hasil-hasil yang positif palsu
karena masalah-masalah teknis, selain itu harganyapun mahal. [1]
4. Diet eliminasi allergen diagnostik
Begitu sesuatu makanan tertentu dicurigai sebagai penyebab alergi makanan,
dimulailah suatu diet eliminasi dalam upaya mendukung diagnosis. Keberhasilan
dengan cara ini membutuhkan eksklusi dari alergen atau alergen-alergen dalam diet
eliminasi, kemampuan pasien untuk menjaga dietnya bebas dari segala bentuk alergen
yang dituju dan tidak adanya faktor-faktor yang mungkin akan memperberat gejala
selama masa penelitian. Apabila semua faktor pengganggu disingkirkan, tidak adanya
suatu penyebab dari gangguan alergi. Namun, pada beberapa alergi makanan
gastrointestinal (misal esofagitis eosinofilik alergik dan gastroenteritis) penyebab yang
dimungkinkan adalah alergi makanan multipel sehingga suatu diet elemental mungkin

25

diperlukan dalam menegakkan diagnosis. Apabila gejala penyakit menghilang dengan


diet eliminasi, dalam memastikan diagnosis perlu dilakukan, uji tantangan makanan
(food challenge). Pada alergi makanan gastrointestinal, diagnosis akan menjadi pasti
apabila endoskopi dan biopsy menunjukkan perbaikan patologis sesudah 6-8 minggu
dengan diet eliminasi. [1]
5. Uji tantangan makanan oral (food challenge)
Uji tantangan makanan oral dapat dilakukan apabila terdapat kecurigaan
terhadap sesuatu jenis makanan yang menyebabkan gejala alergi makanan. Uji
tantangan juga diperlukan dalam menilai kesembuhan alergi. Uji tantangan makanan
seyogyanya tidak dilakukan apabila terdapat riwayat reaksi alergi makanan berat yang
jelas dalam kaitannya dengan adanya antbodi terhadap makanan yang dicurigai. Uji
tantangan makanan dapat dilakukan secara terbuka (pasien dan dokter mengetahui isi
makanan yang diujikan), secara pembutaan tunggal (single blind, pasien tidak
mengetahui, tetapi dokter mengetahui isi makanan tantangan). Atau secara pembutaan
ganda dengan kontrol plasebo (double-blind and placebo controlled atau DBPCFC,
baik pasien maupun dokter tidak mengetahui isi makanan tantangan). DBPCFC
dianggap sebagai baku emas dalam diagnosis dari alergi makanan. Sicherer (1999),
melakukan dua kali tantangan setiap hari , satu kali berisikan antigen makanan yang
diuji dan yang satu lagi berisikan plasebo. Setiap tantangan dievaluasi dan diskor
dengan menggunakan lembar gejala yang baku. Tantangan yang negatif selalu perlu
dipastikan dengan pemberian secara terbuka makanan yang lebih besar porsinya.
Pasien juga diamati kemungkinan terjadinya reaksi lambat. Apabila dicurigai hanya
beberapa makanan saja, tantangan dengan pembutaan tunggal atau tantangan terbuka
dapat dilakukan untuk menapis (screen) reaktivitasnya. [1]
Uji tantangan dilakukan pada bayi dalam keadaan puasa, dimulai dengan dosis
yang sekiranya tidak memicu gejala (25-500 mg dalam makanan yang diliofili =
lyophilized food). Pada reaksi yang dicurigai dengan perantara IgE, dosis pada

26

umumnya dapat digandakan setiap 15-60 menit. Namun apabila pasien menunjukkan
reaksi yang lebih lambat, diperlukan waktu interval yang lebih lama. Begitu pasien
dapat mentoleransi 10 gram lyophilized food yang dibutakan dalam kapsul atau
cairan (ekuivalen dengan putih telor satu butir telor atau satu gelas susu dari 4-oz),
maka reaktivitas klinik pada umumnya dapat disingkirkan. [1]
Pasien dengan tingkat IgE spesifik-alergen makanan dalam serum yang
melebihi 95% dari nilai prediksi dapat dianggap reaktif dan tantangan makanan oral
tidak diperlukan. Pasien dengan tingkat IgE kurang dari 95% nilai prediktif mungkin
reaktif tetapi memerlukan suatu uji tantangan makanan untuk memastikan diagnosis.
Terkait dengan hal tersebut, data-data terakhir menunjukkan bahwa pemantauan nilai
IgE spesifik alergen mungkin berguna dalam prediksi apabila tantangan-tantangan
selanjutnya (follow up) cenderung menjadi negatif (apabila pasien outgrow alergi
makanannya). Penapisan awal alergi makanan dengan perantara IgE seringkali
merupakan penapisan bagi sensitivitas makanan untuk kemudian ditentukan tingkat
IgE spesifik makanan untuk menentukan reaktivitas kliniknya. Tingkat awal antibodi
IgE dapat dipakai sebagai titik rujukan dalam memantau sensitivitas spesifik. [1]
6. Uji diagnostik lain
Pada gangguan alergi makanan tanpa perantara IgE, walaupun hasil-hasil dari
sejumlah uji laboratory non-spesifik mungkin abnormal, tidak ada uji laboratorium
yang menunjukkan yang menunjukkan identitas makanan penyebabnya. Eosinofilia
darah perifer dapat ditemukan pada 50% dari pasien dengan gastroenteritis eosinofilik
atau suatu peningkatan dari jumlah neutrofil dengan left shift sering dijumpai pada
pasien enterokolitis yang dipicu makanan yang baru mengalami reaksi alergik.
Eosinofil dapat ditemukan dalam tinja pasien dengan enterokolitis dan proktokolitis
eosinofilik yang dipicu protein makanan. Antibodi IgG spesifik-antigen makanan pada
umumnya meningkat pada pasien dengan alergi makanan yang mengenai usus, tetapi
spesifisitasnya secara khas mencerminkan jenis makanan yang dimakan tidak indikatif

27

untuk patogenesis yang spesifik dari makanan yang terkait. Untuk kebanyakan dari
alergi gastrointestinal, histology dari bahan biopsy sering memperkuat diagnosis tetapi
tidak menunjukkan makanan mana yang merupakan penyebab dari reaksi. [1]
Tabel 6. Elemen-elemen yang menunjukkan adanya alergi makanan sebagai
penyebab penyakit gastrointestinal[1]
1. Riwayat reaksi alergik atau serupa alergi terhadap makanan
2. Eksklusi dari penyebab-penyebab anatomis, metabolik atau infeksi
3. Penemuan patologik konsisten dengan penyebab alergik (biasanya eosinofilia)
4. Konfirmasi adanya hubungan ingesti dari protein makanan spesifik dan gejala
melalui tantangan-tantangan atau paparan berulang
5. Bukti adanya antibodi spesifik dalam tatanan penyakit-penyakit
6. Kegagalan dalam merespons pengobatan, metabolik atau infeksius
7. Perbaikan dalam gejala-gejala dengan eliminasi diet penyebab gangguan
(protein makanan)
8.

Respons

klinis

terhadap

pengobatan

dari

keradangan

inflamasi

(kortikosteroid)
9. Kesamaan sindrom klinis baik yang terbukti ataupun diperkirakan karena
mekanisme imunologik
10. Tidak adanya penjelasan untuk reaksi yang menyerupai alergi secara klinis

Tabel 7. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan alergi makanan sebagai


kausa penyakit gastrointestinal. [1]

Usia pasien muda (< 3 tahun)

28

Riwayat reaksi akut yang diperkirakan karena makanan tertentu

Penyakit atopik yang menyertai


- Dermatitis atopic (lezema)
- Reaksi alergi makanan akut
- Asma
- Riwayat keluarga dengan penyakit atopic

Tabel 8. Jenis diet eliminasi[1]


A.

Eliminasi dari salah satu atau beberapa makanan yang berhubungan dengan
gejala
- Berguna untuk reaksi akut, makanan positif IgE atau makanan dengan
kecurigaan tinggi

B.

Diet oligoantigenik-makanan yang terspesifikasi yang diperkenankan dalam


diet yang diseleksi bagi yang umumnya mengandung risiko rendah
- Berguna bila sejumlah besar makanan ada hubungannya dengan gejala
- Dapat menghasilkan hasil yang negatif semu apabila makanan yang
sebenarnya tidak dieliminasi

C.

Diet elemental-formula hipoalergenik (yaitu formula berdasar asam amino)


digunakan sebagai nutrisi total, dapat berisikan beberapa bahan padat yang
aman
- Berguna apabila sejumlah besar makanan dicurigai

29

- Kepatuhan yang rendah dari bayi

Tabel 9. Modalitas untuk tantangan makanan oral[1]


a.

Jenis tantangan
- Tantangan terbuka (protein makanan diberikan dalam bentuk sebenarnya)
berguna untuk skrining reaktivitas, mempunyai tingkat tertinggi dari bias
(positif semu).
- Pembutaan tunggal (bahan makanan di sembunyikan dalam kapsul atau
makanan lain) berguna untuk skrining reaktivitas, kurang biasnya, lebih
memerlukan banyak tenaga.
- Pembutaan ganda, plasebo terkontrol (DBPCFC) menghasilkan bias, paling
menyita tenaga, penting bagi penelitian.

b.

Pemberian tantangan
- Saat tantangan berdasar perorangan, tergantung dari riwayat (akut/subakut
atau kronik)
- Pembagian dosis - kuantitas secara perorangan berdasar riwayat sebelumnya.
- Pasien positif IgE : 8-10 gram secara bertahap dinaikkan dan dibagi dalam
dosis selama lebih dari 90 menit, disusul dengan porsi yang lebih besar
seperti halnya makan biasa 3 jam kemudian.

c.

Pengawasan/Pengobatan
- Memonitor gejala gastrointestinal (juga pernafasan, kulit dalam beberapa
kasus).

30

- Analisis tinja seperti yang diindikasikan.


- Biopsi pada beberapa kasus (enteropati, eosinofilia).
- Pengobatan darurat seperti yang ditentukan (epinefrin, antihistamin, cairan
intravena, kortikosteroid dsb)
- Persediaan khusus dalam hal sindrom enterokolitis.

Tabel 10. Bagaimana hidup dengan alergi makanan[1]


1.

Hindari makanan penyebab alergi

2.

Pantang/eliminasi 1-2 tahun kadang membaik

3.

Eliminasi challenge, hati-hati

4.

Beberapa alergi kacang tanah, kacang pohon (mente, koro), ikan, kerangkerangan, dapat berlangsung lama sekali

5.

Penyandang harus sangat berhati-hati dalam memakan makanan yang tidak


dikenal (bahan dan bumbu-bumbunya)
Untuk yang bereaksi hebat (anaphylactic shock) perlu dibawa obat-obat untuk

6.

pertolongan keadaan yang mengancam jiwa (epinephire dan carticolesterol).


Pemakaian gelang atau kalung pemberitahuan keadaan dan pertolongan perlu
dianjurkan.
Tidak ada obat yang dapat menyembuhkan/mengobati alergi makanan

7.

31

6. Pengobatan
1. Eliminasi Protein Makanan
Begitu diagnosis dari hipersensitivitas makanan ditegakkan, terapi yang
terbukti paling baik adalah eliminasi dengan ketat dari alergen yagn dicurigai. Dalam
memberikan diet eliminasi terapeutik perlu pertimbangan-pertimbangan yang sama
seperti halnya dengan obat, keduanya dapat menyebabkan efek-efek samping. Diet
eliminasi dapat menyebabkan malnutrisi dan/atau gangguan-gangguan makan,
terutama bila menyangkut sejumlah besar makanan dan/atau digunakan untuk waktu
yang lama. [1,2]
Reaktivitas klinik terhadap alergen makanan pada umumnya adalah sangat
spesifik, dan pasien jarang bereaksi dengan lebih dari 1 family botanis atau spesies
binatang. Dengan demikian, eliminasi diet terapeutik janganlah didasarkan pada
eksklusi dari family makanan (food families) tetapi hendaknya berdasar pada makanan
individual yang terbukti menginduksi gejala alergik. Pada pasien-pasien yang
teridentifikasi alergi terhadap makanan multipel, harus mendapatkan penanganan dari
ahli diet yang mengetahui dengan benar mengenai eksklusi makanan serta harus
berpengalaman menangani pasien-pasien yang alergi terhadap makanan. [1]
Eliminasi protein makanan merupakan pekerjaan yang sulit dilaksanakan.
Pasien dan orangtua pasien harus menyadari bahwa protein makanan, berbeda dengan
gula atau lemak, merupakan bahan yang dihilangkan. Bahan protein yang tersembunyi
dapat pula menimbulkan masalah. [1]
Anak-anak kecil akan terbebas dari sensitivitasnya terhadap makanan alergenik
yang umum (telur, gandum, soya) dalam beberapa tahun, terutama dengan menghindari
makanan yang potensial memberikan reaksi alergi makanan. [1,2]
Tantangan makanan untuk diagnostik secara serial dapat membantu dalam
penanganan anak yang alergi terhadap makanan. Dilain pihak, sensitivitas terhadap
32

beberapa makanan tertentu seperti kacang tanah, kacang pohon, ikan dan kerangkerangan, jarang yang menghilang, dan sensitivitasnya dapat bertahan hingga usia
dewasa. Upaya memasukkan kembali makanan yang mengganggu secara periodic
dengan hati-hati adalah tepat. [1,2]
2. Imunoterapi
Imunoterapi telah dicoba dalam pengobatan gangguan-gangguan alergi yang
dipicu makanan. Dua pendekatan yang sedang ditelusuri yaitu pendekatan menyangkut
mutasi dari epitope yang mengikat IgE pada protein kacang dan yang melibatkan
penggunaan DNA protein kacang yang dikodekan dalam vector plasmid. Pendekatan
ini diharapkan berhasil dalam upaya desensitisasi pada pasien dengan alergi
makanan. [1]
Imunoterapi dengan pemberian ekstrak makanan yang mengganggu secara
suntikan atau sublingual ataupun oral, tidak manjur. [2]
3. Humanized anti IgE antibody therapy
Strategi yang lebih global yang mungkin berguna dalam pengobatan alergi
makanan yang diperantarai IgE adalah penggunaan terapi antibody anti IgE. Bentuk
pengobatan ini mempunyai keuntungan dalam mengobati sensitivitas terhadap protein
makanan multipel tanpa memandang spesifisitas alergennya. [1]

4. Probiotik
Pada saat ini probiotik, LGG terbukti merupakan organism yang sangat
bermanfaat untuk alergi makanan maupun pencegahannya. Bakteri probiotik tertentu
dapat menguragi produksi pro inflammatory cytokines, sehingga probiotik bermanfaat

33

tidak hanya untuk food (gut) allergy saja, namun berguna juga untuk inflammatory
bowel disease, seperti ulcerative colitis dan corhn disease. Penelitian untuk probiotik
jenis lain masih sedang dilakukan. [1]
7. Prognosis
Secara umum, sebagian besar bayi dan anak-anak menjadi tolerans secara klinis
terhadap hipersensitivitas makanan mereka. Secara khusus, yang paling banyak teratasi
adalah alergi terhadap susu, telur, kedelai dan gandum. Alergi terhadap kacang, kacang
pohon, ikan, dan kerang lebih menetap. [3,7]
Studi berbasis populasi umum menunjukkan bahwa 85% dari anak-anak hilang alergi
mereka terhadap susu atau telur pada usia 3-5 tahun. Namun, penelitian melaporkan dari
pusat rujukan menunjukkan lebih menetap alergi terhadap telur, susu, dan kedelai, dengan
hanya sekitar 50% dari pasien kehilangan alergi ini pada usia 8-12 tahun. Anak-anak terus
kehilangan alergi pada saat remaja. Sekitar 20% dari bayi dan anak kecil mengalami resolusi
alergi kacang mereka pada saat mereka mencapai usia sekolah. [3,7]
Anak-anak dengan alergi makanan non-IgE-mediated, seperti proctocolitis dan
enterocolitis, biasanya teratasi alergi makanan di tahun-tahun pertama kehidupan.
Eosinophilic esophagitis alergi tampaknya menjadi gangguan terus-menerus. [3]
Morbiditas dan mortalitas
Reaksi anafilaksis parah, termasuk kematian, dapat terjadi setelah menelan makanan.
Kematian akibat dari edema berat laring, bronkospasme ireversibel, hipotensi refrakter, atau
kombinasi keduanya. Kacang tanah, kacang pohon, ikan, dan kerang adalah makanan yang
paling sering terlibat dalam reaksi anafilaksis makanan yang parah, meskipun reaksi
anafilaksis untuk berbagai macam makanan telah dilaporkan. [3]

34

DAFTAR PUSTAKA

35

1. Juffrie M, Sri Supar YS, dkk. Alergi Makanan. Dalam: Buku Ajar
Gastroenterologi-hepatologi. Jilid 1. Jakarta; UKK-Gastroenterologihepatologi IDAI,2011;p 179-99
2. Behrman RE, Robert MK, Arvin AM. Ilmu Kesehatan Anak. Ed. 15. Vol.
1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1999. hal 808-10
3. Sicherer SH. Food allergies, Medscape: [Online]. 7 juli 2015 [cited 20
Agustus
2015].
Available
from:
URL:
http://emedicine.medscape.com/article/135959-overview
4. WebMD. Food allergies and food intolerance: [Online]. 2015 [cited 18
Agustus
2015].
Available
from:
URL:
http://www.webmd.com/allergies/guide/food-allergy-intolerances
5. Stewart SM, MPH. Food Allergies: [Online]. November 2011 [cited 18
Agustus
2015].
Available
from:
URL:
http://kidshealth.org/teen/food_fitness/nutrition/food_allergies.html
6. American college of allergy, asthma & immunology. Types of allergies,
Food allergy: [Online]. 2014 [cited 18 Agustus 2015]. Available from:
URL: http://acaai.org/allergies/types/food-allergies
7. Waserman Susan, Wade Watson. Food allergy. Allergy, asthma & clinical
immunology: [Online]. 2011 [cited 18 Agustus 2015]. Available from:
URL: http://www.aacijournal.com/content/7/S1/S7

36

You might also like