Professional Documents
Culture Documents
septik
Trombositopenia, menimbulkan easy bruising, perdarahan kulit,
perdarahan mukosa seperti pada gusi, dan epistaksis
b)
B. DIAGNOSIS AML
Secara klasik diagnosis AML ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, morfologi
sel dan pengecatan sitokimia. Seperti sudah disebutkan, sejak sekitar dua dekade yang
lalu berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru immunophenotyping dan analisis
sitogenetik. Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia
gabungan ahli hematologi Amerika, Perancis dan Inggris pada tahun 1976
menetapkan klasifikasi AML yang terdiri dari 8 subtipe (M0 sampai dengan M7,
Tabel 2). Klasifikasi ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French American
British). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi diagnosis dasar AML.
Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien AML adalah Sudan Black B (SBB)
dan mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan
hasil positif pada pasien AML tipe M1, M2, M3, M4 dan M6.
Pemeriksaan penentuan imunofenotip adalah suatu teknik pengecatan modern yang
dikembangkan berdasarkan reaksi antigen dan antibodi. Diketahui bahwa permukaan
membran sel-sel darah mengekspresikan antigen yang berbeda-beda tergantung dari
jenis dan tingkat diferensiasi sel-sel darah tersebut. Sebagai contoh sel limfosit
mengekspresikan antigen yang berbeda dengan sel granulosit maupun sel trombosit
dan eritrosit. Demikian pula limfosit B mempunyai ekspresi antigen yang berbeda
dengan limfosit T. Selain itu sel-sel blast mengekspresikan antigen yang berbeda
dengan sel-sel leukosit yang lebih matur seperti promielosit dan mielosit. Bila antigen
yang terdapat di permukaan membran sel tersebut dapat diidentifikasi dengan antibodi
yang spesifik, maka akan dapat dilakukan identifikasi jenis sel dan tingkat
maturitasnya yang lebih akurat. Identifikasi sel dengan teknik immunophenotyping
biasanya diberi label CD (cluster of differentiation). Saat ini terdapat lebih dari 200
CD yang menjadi penanda berbagai jenis dan tingkat maturitas sel-sel darah. Selain
berftrngsi sebagai alat diagnosis, teknik immunophenotyping juga mempunyai nilai
prognostik dan terapi. Sebagai contoh, pasien AML yang mengekspresikan CD7
mempunyai prognosis yang jelek sedang pasien AML yang mengekspresikan CD2
mempunyai prognosis yang lebih baik. Saat ini juga sedang dikembangkan terapi
antibodiyang secara spesifik mempunyai target terapi CD33, gemtuzumab
osagamicin, yang diindikasikan bagi pasien AML usia lanjut yang mengekspresikan
CD33.
Analisis sitogenetik pada keganasan hematologi telah dimulai sejak awal 1960 dan
berkembang lebih pesat sejak awal 1980an. Terdapat 2 kelainan dasar sitogenetik
pada AML: kelainan yang menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom
dan kelainan menyebabkan perubahan yang seimbang tanpa menyebabkan hilang atau
bertambahnya materi kromosom. Kelainan pertama dapat berupa kehilangan sebagian
dari materi kromosom (delesi/ del) atau hilangnya satu materi kromosom secara utuh
(monosomi). Penambahan materi kromosom juga dapat bersifat sebagian (duplikasi/d)
atau bertambahnya satu atau lebih materi kromosom secara utuh (trisomi, tetrasomi).
Kelainan kedua berupa perubahan kromosom seimbang dalam bentuk perubahan
resiprokal antara dua atau lebih kromosom (translokasi/t) atau perubahan pada
berbagai bagian dalam satu kromosom (inversi/ inv). Kelainan sitogenetik t(8,21),
t(15,17), inv (16)/t dan translokasi 11q23 merupakan kelainan sitogenetik yang
dijumpai pada 21%-28% pasien AML dewasa. Kelainan sitogenetik lain yang
dijumpai dalam jumlah cukup signifikan pada pasien AML adalah trisomi, delesi dan
kelainan karyotype yang kompleks (mempunyai kelainan sitogenetik 3 atau lebih).
Kelainan sitogenetik pada pasien AML mempunyai nilai prognostik. Pasien dengan
kelainan sitogenetik: t (15;17), inv (16), t (16;16) atau del (16q) dan t(8;21) yang tidak
disertai del(9q) atau kelainan karyotype yang kompleks mempunyai prognosis yang
baik (favourable); pasien dengan kelainan sitogenetik +8, -Y, +6, del (12p) atau
karyotype yang normal mempunyai prognosis yang sedang (intermediate), sedangkan
pasien dengan kelainan sitogenetik-5 atau del (5q),-7 atau del (7q), inv (3q), del (9q),
tidak a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
(beberapa
merupakan
Translokasi
Subtipe
Nama Umum (%
FAB
kasus)
dan
penyusunan
Gen yang
kembali (%
terlibat
kasus)
C. PROGNOSIS
Dengan kemoterapi standar, 30-35% pasien berusia <60 tahun dapat bertahan hidup
hingga 5 tahun. Angka ini sangat berbeda dengan pasien >60 tahun yakni hanya
<10%. Selain usia lanjut, terdapatnya kelainan hematologi sebelumnya (paling sering
mielodisplastic syndrome) dan leukopenia daat diagnosis ditegakkan juga merupakan
faktor prognosis yang buruk. Hasil sitogenik sumsum tulang belakang juga
menentukan prognosis. Dengan
prognosis yang paling baik (angka kesintasan jangka panjang sekitar 65%) vs 25%
pada pasien dengan sitogenik normal vs <10% pada pasien dengan -7/-5 (delesi),
t(6,9) ( Callistania dan Mulansari, 2014).
Bakta IM. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC
Callistania C dan Mulansari NA. 2014. Leukimia Mielositik Akut, dalam Kapita Selekta
Kedokteran. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA ed. Edisi IV, Jilid 2. Jakarta:
Penerbit Media Aesculapius, pp 664-665