You are on page 1of 5

AML: manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, kriteria diagnosis, prognosis

A. MANIFESTASI KLINIS LEUKIMIA AKUT


1. Gejala klinik
Gejala klinik leukimia akut sangat bervariasi, namun pada umumya timbul cepat,
dalam beberapa hari sampai minggu. Gejala leukimia akut dapat digolongkan
menjadi tiga golongan besar, yakni:
a) Gejala kegagalan sumsum tulang, yang ditandai oleh
Anemia, menimbulkan gejala pucat dan lemah
Netropenia, menimbulkan infeksi yang ditandai oleh demam, infeksi
rongga mulut, tenggorok, kulit saluran napas dan sepsis hingga syok

septik
Trombositopenia, menimbulkan easy bruising, perdarahan kulit,
perdarahan mukosa seperti pada gusi, dan epistaksis

b)

Keadaan hiperkatabolik, yang ditandai oleh:


Kaheksia
Keringat malam
Hiperurikemua yang dapat menimbulkan gout dan gagal ginjal

c) Infiltrasi ke dalam organ yang menimbulkan organomegali dan gejala lain


seperti:
Nyeri tulang dan nyeri sternum
Limfadenopati superfisial
Splenomegali atau hepatomegali, biasanya ringan
Hipetrofi gusi dan infiltrasi kulit
Sindrom meningeal seperti nyeri kepala, mual muntah, mata kabur,
kaku kuduk
Gejala lain yang dapat dijumpai adalah:

Leukostasis terjadi jika leukosit melebihi 50.000/uL. Penderita dengan


leukostasis serebral ditandai dengan sakit kepala, confusion, dan
gangguan visual. Pada pulmoner ditandai dengan sesai napas, takipneu

ronkhi dan adanya infiltrat pada foto rontgen


Koagulopati dapat berupa DIC atau fibrinolisis primer. DIC lebih
sering dijumpai pada leukimia promielositik akut. DIC juga dapat
timbul pada saat pemberian kemoterapi yaitu pada fase regimen
induksi remisi

Hiperurikemia yang dapat bermanifestasi sebagai arthritis gout dan


batu ginjal
(Bakta, 2006)

Sindrom kegagalan sumsum tulang meliputi rasa lelah yang disebabkan


anemia, perdarahan karena trombositopenia dan infeksi yang disebabkan
leukimia. Perdarahan biasanya ditemukan sebagai petekie atau purpura pada
ekstremitas bawah, selain dari perdarahan gusi, epistaksis dan retina. Infeksi
sering terjadi pada tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah perirektal. Infiltrasi
sel blast ke kulit akan menimbulkan leukimia kutis berupa benjolan tidak
berpigmen tanpa rasa sakit, ke jaringan lunak akan menyebabkan nodul di
bawah kulit (kloroma), ke tulang akan menyebabkan nyeri tulang, dan ke gusi
dapat menimbulkan pembengkakan gusi ( Callistania dan Mulansari, 2014).

B. DIAGNOSIS AML
Secara klasik diagnosis AML ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, morfologi
sel dan pengecatan sitokimia. Seperti sudah disebutkan, sejak sekitar dua dekade yang
lalu berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru immunophenotyping dan analisis
sitogenetik. Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia
gabungan ahli hematologi Amerika, Perancis dan Inggris pada tahun 1976
menetapkan klasifikasi AML yang terdiri dari 8 subtipe (M0 sampai dengan M7,
Tabel 2). Klasifikasi ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French American
British). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi diagnosis dasar AML.
Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien AML adalah Sudan Black B (SBB)
dan mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan
hasil positif pada pasien AML tipe M1, M2, M3, M4 dan M6.
Pemeriksaan penentuan imunofenotip adalah suatu teknik pengecatan modern yang
dikembangkan berdasarkan reaksi antigen dan antibodi. Diketahui bahwa permukaan
membran sel-sel darah mengekspresikan antigen yang berbeda-beda tergantung dari
jenis dan tingkat diferensiasi sel-sel darah tersebut. Sebagai contoh sel limfosit
mengekspresikan antigen yang berbeda dengan sel granulosit maupun sel trombosit
dan eritrosit. Demikian pula limfosit B mempunyai ekspresi antigen yang berbeda
dengan limfosit T. Selain itu sel-sel blast mengekspresikan antigen yang berbeda

dengan sel-sel leukosit yang lebih matur seperti promielosit dan mielosit. Bila antigen
yang terdapat di permukaan membran sel tersebut dapat diidentifikasi dengan antibodi
yang spesifik, maka akan dapat dilakukan identifikasi jenis sel dan tingkat
maturitasnya yang lebih akurat. Identifikasi sel dengan teknik immunophenotyping
biasanya diberi label CD (cluster of differentiation). Saat ini terdapat lebih dari 200
CD yang menjadi penanda berbagai jenis dan tingkat maturitas sel-sel darah. Selain
berftrngsi sebagai alat diagnosis, teknik immunophenotyping juga mempunyai nilai
prognostik dan terapi. Sebagai contoh, pasien AML yang mengekspresikan CD7
mempunyai prognosis yang jelek sedang pasien AML yang mengekspresikan CD2
mempunyai prognosis yang lebih baik. Saat ini juga sedang dikembangkan terapi
antibodiyang secara spesifik mempunyai target terapi CD33, gemtuzumab
osagamicin, yang diindikasikan bagi pasien AML usia lanjut yang mengekspresikan
CD33.
Analisis sitogenetik pada keganasan hematologi telah dimulai sejak awal 1960 dan
berkembang lebih pesat sejak awal 1980an. Terdapat 2 kelainan dasar sitogenetik
pada AML: kelainan yang menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom
dan kelainan menyebabkan perubahan yang seimbang tanpa menyebabkan hilang atau
bertambahnya materi kromosom. Kelainan pertama dapat berupa kehilangan sebagian
dari materi kromosom (delesi/ del) atau hilangnya satu materi kromosom secara utuh
(monosomi). Penambahan materi kromosom juga dapat bersifat sebagian (duplikasi/d)
atau bertambahnya satu atau lebih materi kromosom secara utuh (trisomi, tetrasomi).
Kelainan kedua berupa perubahan kromosom seimbang dalam bentuk perubahan
resiprokal antara dua atau lebih kromosom (translokasi/t) atau perubahan pada
berbagai bagian dalam satu kromosom (inversi/ inv). Kelainan sitogenetik t(8,21),
t(15,17), inv (16)/t dan translokasi 11q23 merupakan kelainan sitogenetik yang
dijumpai pada 21%-28% pasien AML dewasa. Kelainan sitogenetik lain yang
dijumpai dalam jumlah cukup signifikan pada pasien AML adalah trisomi, delesi dan
kelainan karyotype yang kompleks (mempunyai kelainan sitogenetik 3 atau lebih).
Kelainan sitogenetik pada pasien AML mempunyai nilai prognostik. Pasien dengan
kelainan sitogenetik: t (15;17), inv (16), t (16;16) atau del (16q) dan t(8;21) yang tidak
disertai del(9q) atau kelainan karyotype yang kompleks mempunyai prognosis yang
baik (favourable); pasien dengan kelainan sitogenetik +8, -Y, +6, del (12p) atau
karyotype yang normal mempunyai prognosis yang sedang (intermediate), sedangkan
pasien dengan kelainan sitogenetik-5 atau del (5q),-7 atau del (7q), inv (3q), del (9q),

t(9;22) dan karyotype yang kompleks mempunyai prognosis yang buruk


(unfavourable). Profil kelainan sitogenetik pada pasien AML juga mempunyai
implikasi terhadap terapi sebab dewasa ini, meskipun masih kontroversial, telah
dikembangkan strategiterapi pada pasien AML berdasarkan profil sitogenetik pasien
(lihat terapi).
Berdasarkan profil kelainan sitogetik pasien, WHO mengajukan usulan perubahan
klasifikasi AML, yang telah diadopsi di banyak negara (tabel 1).
Klasifikasi WHO untuk AML
Klasifikasi
Penjelasan
1. AML dengan translokasi a. AML dengan t(8;21)(q22;q22), AML1 (CBFa)/ ETO
b. APL dengan 15;17)(q22;q11 -12) dan varian-variannya.
sitogenetik rekuren
PMLRAR AML dengan eosinofil sumsum tulang
abnormal dengan inv (16)(p13q22)atau t(16;16)
(p13;q1), CBF/MHY11
c. AML dengan abnormalitas 11q23 (MLL)
2. AML dengan multilineage a. Dengan sindrom myelodisplasia
b. Tanpa sindrom myelodisplasia
dysplasia
3. AML
dan
sindroma a. akibat obat alkilasi
myelodisplastik
yang b. akibat epipodofilotoksin
kelainan limfoid)
berkaitan dengan terapi
c. tipe lain
4. AML
yang
terspesifikasi

tidak a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

(beberapa

merupakan

AML diferensiasi minimal


AML tanpa maturasi
AML dengan maturasi
AML dengan diferensiasi monositik
Leukemia monositik akut
Leukemia eritroid akut
Leukemia megakariositik akut
Leukemia basofilik akut
Panmielosis akut dengan mielofibrosis

Pada tabel 2 dapat


dilihat kesepadanan diagnosis AML berdasarkan klasifikasi FAB dan analisis
sitogenetik.

Translokasi
Subtipe

Nama Umum (%

FAB

kasus)

dan
penyusunan

Gen yang

kembali (%

terlibat

kasus)

C. PROGNOSIS
Dengan kemoterapi standar, 30-35% pasien berusia <60 tahun dapat bertahan hidup
hingga 5 tahun. Angka ini sangat berbeda dengan pasien >60 tahun yakni hanya
<10%. Selain usia lanjut, terdapatnya kelainan hematologi sebelumnya (paling sering
mielodisplastic syndrome) dan leukopenia daat diagnosis ditegakkan juga merupakan
faktor prognosis yang buruk. Hasil sitogenik sumsum tulang belakang juga
menentukan prognosis. Dengan

translokasi t(821) t(15,17), inversi 16 memiliki

prognosis yang paling baik (angka kesintasan jangka panjang sekitar 65%) vs 25%
pada pasien dengan sitogenik normal vs <10% pada pasien dengan -7/-5 (delesi),
t(6,9) ( Callistania dan Mulansari, 2014).

Bakta IM. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC
Callistania C dan Mulansari NA. 2014. Leukimia Mielositik Akut, dalam Kapita Selekta
Kedokteran. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA ed. Edisi IV, Jilid 2. Jakarta:
Penerbit Media Aesculapius, pp 664-665

You might also like