You are on page 1of 9

ANALISIS KASUS I

Pada kasus ini, pasien ditegakkan diagnosis Transient Tachypnea of the newborn dimana
penyakit ini muncul pada kebanyakan neonates yang hamper cukup bulan dan cukup bulan.
Penegakkan diagnosis ini didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
Pada anamnesis didapatkan bahwa Pasien merupakan bayi laki-laki tunggal, lahir pada
dengan cara sectio caesaria atas indikasi partus tidak maju dan lilitan tali pusat, ketuban
jernih, APGAR score 8/9, berat badan lahir 2650 gram, panjang badan lahir 45 centimeter,
lingkar kepala 34,5 centimeter, lingkar dada 30 centimeter. Dari anamnesis bisa didapatkan
beberapa factor resiko untuk terjadinya TTN, yaitu bayi laki-laki, usia gestasi cukup bulan,
lahir secara SC dan penggunaan sedative (anastesi). Pada SC tidak terjadi mekanisme yang
terjadi pada persalinan normal, yaitu pelepasan Epinefrin selama persalinan yang berefek
pada penekanan pompa klorida yang mensekresi cairan paru dan saluran natrium yang
mengabsorbsi cairan terstimulasi, sehingga cairan bergerak dari paru menuju interstisial.
Adanya cairan didalam alveoli inilah yang nantinya akan mengganggu pertukaran gas di paru
sehingga akan ada usaha tubuh untuk bernapas lebih cepat agar memperoleh oksigen yang
cukup untuk tubuh. Selain itu, pada saat dibawa ke perinatologi, pasien dalam keadaan bibir
tampak kebiruan dan merintih ini menandakan adanya penurunan kadar oksigen dalam darah,
sehingga kadar hemoglobin tereduksi meningkat sehingga member warna biru pada bibir.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bayi tampak dispnea dan sianosis pada bibirnya yang
menandakan sianosisnya tipe sentral. Dengan laju nafas 82 x/menit yang merupakan suatu
takipnea (normal 40 60x/menit), adanya napas cuping hidung yang merupakan suatu usaha
untuk meluaskan saluran napas, dan terdapat retraksi intercostae yang menandakan
digunakannya otot pernapasan tambahan. Pada evaluasi dengan downe score didapatkan nilai
6 yang menandakan gawat napas.
Dari pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan kelainan berupa peningkatan CRP yang
mungkin menunjukkan adanya tanda infeksi. Selanjutnya, dilakukan rencana pemeriksaan

untuk memperkuat diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding, yaitu pemeriksaan AGD,
elektrolit, dan foto thoraks. Pemeriksaan AGD dimaksudkan untuk menilai keasaman darah
(pH) dan kadar oksigen dan karbon dioksida pada darah. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
menilai apakah sudah terjadi asidosis metabolic akibat takpinea yang terjadi agar dapat segera
dikoreksi. Sedangkan pemeriksaan elektrolit untuk melihat kadar bikarbonat yang mungkin
mengkompensasi asidosis metabolic. Pemeriksaan foto thoraks untuk melihat penyebab
kelainan pernapasan. Gambaran yang diharapkan adalah memperlihatkan tanda vascular paru
yang menonjol, cairan pada fisura intralobus, overaerasi, diafragma datar.
Pada kasus ini juga ditegakkan beberapa diagnosis banding, yaitu:
Meconium Aspiration Syndrome (MAS) yang terjadi pada neonates pula dengan gejala yang
hamper mirip. Hanya saja ada beberapa hal yang dapat menyingkirkan diagnosis ini, yaitu
adanya mekonium yang tampak pada cairan ketuban. Pada gambaran foto thoraks nantinya
akan didapatkan gambaran bercak infiltrate pada kedua lapang paru, peningkatan diameter
anteroposterior, dan pendataran diagram.
Hyaline Membrane Disease (HMD) juga merupakan salah satu sindrom gawat napas yang
terjadi pada neonates dengan gejala yang sama, tetapi dapat disingkirkan karena pada HMD
biasanya terjadi pada bayi yang belum cukup bulan dikarenakan surfaktan yang belum
terbentuk sehingga paru-paru belum mengembang. Pada pemeriksaan radiologi dapat
ditemukan gambaran ekspansi paru yang buruk, air bronvhogream, dan gambaran granular
reticular yang bilateral dan difus.
Penatalaksanaan dibagi menjadi 2, yaitu non medikamentosa dan medikamentosa.
Nonmedikamentosa kita menjaga suhu tubuh bayi agar tetap hangat, agar mengurangi
vasokonstriksi perifer yang akan memperburuk perfusi ke perifer dan mengontrol tanda vital,
untuk mengetahu perkembangan penyakitnya. Pada TTN, kondisi akan membaik dengan
sendirinya kira-kira 3 hari setelah gejala. Pada medikamentosa diberikan CPAP untuk
menunjang kebutuhan oksigennya dan penggunaan CPAP hanya seperlunya. Jika pasien
sudah tidak ada tanda gawat napas, dapat dilepas. Pemasangan OGT dan pemberian infus
untuk mengganti cairan dan pemberian makanan lewat oral dikarenakan pada kondisi distress
pernapasan, motilitas usus tidak baik dan pada keadaan takipnea rentan terjadinya aspirasi.
Pemberian antibiotik didasarkan atas dasar preventif terhadap tanda awal sepsis karena pada

pemeriksaan lab didapatkan CRP 28 mg/dL. Pada TTN didapatkannya cairan pada paru yang
tidak sempurna diserap yang memungkinkan terjadinya tempat pertumbuhan kuman.

ANALISA KASUS II

Pada kasus kedua, ditegakkan diagnosis Meconium Aspiration Syndrome berdasarkan dari
hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dianjurkan. Pada
anamnesis didapatkan keadaan bibir pasien tampak kebiruan saat dibawa ke ruang
perinatologi setelah dilahirkan, terlihat sesak, tidak menangis, kaki dan tangan teraba dingin,
dan merintih. Pasien dilahirkan secara sectio caesaria atas indikasi ketuban pecah dini 13 jam
sebelum ke rumah sakit, ketuban hijau lumpur, sedikit, berbau, APGAR score 6/7, tidak
menangis saat dilahirkan, berat badan lahir 3300 gram, panjang badan lahir 50 centimeter,
lingkar kepala 32 centimeter, lingkar dada 32 centimeter.
Pada pemeriksaan fisik juga didapatkan keadaan pasien dispnoe dan sianosis pada daerah
sekitar mulut (sianosis sentral), laju pernapasan 89 x/menit (takhipnea), napas cuping hidung,
dan terdapat retraksi intercostae, terdengar ronki basah halus pada kedua lapang paru, akral
teraba dingin. Adanya tanda-tanda seperti diatas dapat mengindikasikan gangguan oksigenasi
karena paru terisi mekonium sehingga kesulitan untuk menghirup oksigen. Pada scoring
Downe didapatkan nilai 8 yang berarti adanya sesak napas berat atau ancaman gagal napas.
Pada pemeriksaan penunjang, hanya didapatkan peningkatan RDW, yaitu 18.2 %.
Pemeriksaan tambahan yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis MAS adalah foto
thoraks yang diharapkan terdapat gambaran bercak infiltrate, goresan kasar pada kedua
lapang paru, peningkatan diameter anteroposterior, dan pendataran diagram. Kultur darah
diperlukan karena mekonium dapat menjadi media tumbuh bakteri. Pemeriksaan AGD untuk
menilai kadar oksigen dan karbondioksida sehingga dapat menilai terjadinya asidosis
metabolic. Pemeriksaan elektrolit juga dikerjakan mengingat pada keadaan distress
pernapasan sangat mudah terjadi gangguan elektrolit.
Pada penatalaksanaan secara nonmedikamentosa dilakukan edukasi pada ibu pasien agar
tetap memeras ASI, walaupun pasien belum boleh diberi minum secara enteral namun ASI
dengan penyimpanan yang baik dapat bertahan sampai beberapa bulan dan dapat diberikan

pada pasien jika kondisinya membaik. Dilakukan pemasangan OGT dan pemantauan tanda
vital.

ANALISA KASUS IV

Kasus keempat dengan diagnosis bronkopneumonia berdasarkan anamnesis pasien datang


dengan keluhan sesak napas dan tampak kebiruan, pasien juga mengalami pilek dan demam
sebelumnya, pasien juga batuk yang awalnya kering lalu berdahak, warna kehijauan.
Lingkungan rumah padat, ventilasi baik, anak sering terpapar asap rokok. Dari anamnesis ini
dapat ditarik kesimpulan adanya tanda infeksi saluran pernapasan bawah yang dalam hal ini
dicurigai bronkopnemonia yang penyebabnya mungkin karena bakteri.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan pasien tampak dispnoe dan sianosis sekitar
mulut, frekuensi napas 60 x/menit dan napas cuping hidung, dan suhu 37,5 C (suhu saat di
IGD 39.4C), nadi 160 x/menit. Pada pemeriksaan thoraks, tampak retraksi epigastrium dan
pada auskultasi didapatkan suara ronki basah kasar pada kedua lapang paru. Dari hasil
pemeriksaan didapatkan adanya tanda distress pernapasan seperti takipnea, retraksi yang
menunjukan adanya penggunaan otot bantu napas dan demam tinggi yang menunjukkan
adanya tanda infeksi. Suara ronki basah kasar yang terdengar mengindikasikan adanya cairan
(eksudat) pada alveoli. Normalnya tidak ada cairan pada alveoli, tetapi jika ada proses infeksi
maka akan terbentuk eksudat dimana itu merupakan sel-sel leukosit mati yang melawan
bakteri.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis dan dari foto thoraks didapatkan
gambaran bercak-bercak kesuraman pada kedua lapang paru. Gambaran leukositosis
mengarahkan kecurigaan pada infeksi bakteri dan pada foto thoraks mengesankan adanya
bronkopneumonia. Pemeriksaan penunjang lain yang dibutuhkan seperti AGD untuk menilai
adanya asidosis metabolic dan darah lengkap untuk menentukan penyebab penyakit. Tes
mantoux disarankan untuk memastikan kemungkinan diagnosis bandingnya.
Ada beberapa diagnosis banding seperti bronkiolitis dan TB paru. Pada bronkiolitis gejala
yang ditimbulkan hamper sama dengan bronkopnemonia, tetapi ada beberapa hal yang dapat
menyingkirkan diagnosis banding ini, seperti penyebab lebih banyak virus, pada pemeriksaan
fisik thoraks didapatkan suara wheezing, tidak ada peningkatan leukosit dan pada gambaran

foto thoraks didapatkan gambaran hiperinflasi. TB paru dipikirkan dari lingkungan rumahnya
yang padat, yang dapat menyingkarkannya adalah tidak ada kontak TB, tidak ada penurunan
berat badan yang signifikan dan KGB tidak teraba besar.
Tatalaksana yang diberikan berupa: nonmedikamentosa berupa edukasi ibu pasien untuk
memberikan minum atau makanan dengan posisi anak sambil di pangku atau dalam posisi
duduk, menghimbau agar orang tua dan anggota keluarga yang lain agar berhenti merokok,
menghimbau agar anak diimunisasi lengkap, memberikan ASI kepada anak dan memberikan
nutrisi yang cukup sesuai usia. Sedangkan medikamentosa diberikan O 2 1L/menit dengan
nasal kanul, IVFD Kaen 1B 3cc/kgBB/jam, Paracetamol 4 x 60 mg po, Ampisilin 4 x 150 mg
iv merupakan antibiotik gram positif selain itu diberikan kloramfenikol 3 x 300 mg juga
antibiotik gram negative kloramfenikol.

ANALISA KASUS V

Pada kasus ini, pasien didiagnosa dengan hipoglikemia neonatorum karena berdasarkan
anamnesis dan pemerik saan fisik didapatkan bayi laki-laki tunggal, dilahirkan dengan Sectio
Caesaria atas indikasi ketuban pecah dini 4 jam dan oligohidramnion, usia kehamilan kirakira 38 minggu, APGAR skor 9/10, ketuban jernih, berat badan lahir 2330 gram, panjang
badan 44 cm, dan lingkar kepala 32 cm. Dari data diatas didapatkan bahwa pasien memiliki
berat badan lahir rendah yang merupakan salah satu factor resiko terjadinya hipoglikemi.
Pemeriksaan fisik didapatkan sianosis pada ujung-ujung jari. Pemeriksaan GDS didapatkan
hasil 14mg/dL. Hasil pemeriksaan GDS ini menunjukkan adanya keadaan hipoglikemi pada
anak.
Diagnosis banding adalah hipotermia karena menunjukkan gejala yang sama. Hal yang dapat
menyingkirkannya adalah suhu bayi yang rendah (< 36C), bayi tidak mau minum atau
menetek, mengantuk saja sampai hilang kesadaran, pupil mata melebar (dilatasi) dan tidak
bereaksi.
Tatalaksana yang dilakukan adalah edukasi ibu pasien untuk memberikan ASI kepada pasien,
hangatkan bayi dengan menggunakan incubator untuk tetap menjaga suhu bayi karena
hipotermi akan memperburuk distress pernapasan, monitoring tanda vital dan cek GDS setiap
3 jam selanjutnya setiap 6 jam. Diberikan juga infus IVFD D10% 0,18 NS 60 mL/kgBB/hari.

ANALISA KOMPERHENSIF

Dari rentang waktu antara Juni 2014 sampai dengan pertengahan Juli 2014 telah
didapatkan setidaknya 13 kasus dengan gambaran klinis sianosis di RSUD Budhi Asih
dengan berbagai diagnosis kerja. Kasus terbanyak terjadi pada golongan neonatus dengan
diagnosis asfiksia berat dan sindrom gangguan napas. Angka kematian tertinggi juga
diakibatkan karena asfiksia berat dengan angka kejadian 4 pasien selama bulan Juni 2014.
Kasus-kasus yang telah dipaparkan diatas merupakan sebagian kecil dari kasus dengan gejala
sianosis yang didapatkan di RSUD Budhi Asih selama periode Juni sampai Juli 2014.
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa keluhan sianosis yang dikeluhkan atau yang
tampak tidak bisa dianggap remeh karena butuh penegakan diagnosis yang tepat dan
penanganan yang adekuat sehingga dapat menekan angka kesakitan dan kematian. Pasien
yang datang dengan keluhan sianosis harus dipikirkan apakah sianosis sentral atau perifer.
Pada sianosis sentral terjadi akibat insufisiensi oksigenasi Hb dalam paru, dan paling mudah
diketahui pada wajah, bibir, cuping telinga serta bagian bawah lidah, dan terdapat pada
penyakit paru, jantung, dan darah, sedangkan pada sianosis perifer terjadi akibat bila aliran
darah banyak berkurang sehingga sangat menurunkan saturasi darah vena, dan akan
menyebabkan suatu daerah menjadi biru, contohnya terdapat pada penyakit insufisiensi
jantung, sumbatan pada aliran darah, atau vasokonstriksi pembuluh darah akibat udara dingin
Pada sianosis sentral tidak selamanya menyebabkan sianosis perifer. Penegakan diagnosis
suatu penyakit harus berdasarkan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Dengan penegakan diagnosis dengan tepat diharpkan agar kasus
dengan sianosis dapat ditangani dengan baik dan jika bisa, dicegah dengan pemberian
edukasi pada keluarga dan pasien.

You might also like