Professional Documents
Culture Documents
a. Faktor Internal
Kepribadian : kepribadian yang labil, serta mudah terpengaruh oleh
orang lain, gangguan kepribadian depresif. Teori psikologis melibatkan
kehilangan diri, pengasuhan orang tua yang buruk, dan superego yang
menghukum.
Keluarga : Ketidakharmonisan hubungan keluarga (broken home) dan
matinya hubungan komunikasi antar mereka. Ketidakharmonisan yang terus
berlanjut sering berakibat perceraian. Maka seseorang yang berhadapan dengan
situasi demikian akan mudah merasa putus asa, frustasi, bingung, dan ketiadaan
pegangan dalam hidupnya. Mereka akan mencari kompensasi diluar rumah
sehingga mudah terjerumus ke dalam narkotika.
b. Faktor eksternal
Faktor tekanan kelompok teman sebaya yakni Pergaulan dengan teman
sebaya memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam masa remaja. Pada masa ini,
remaja tidak hanya mendefinisikan dirinya dengan menggunakan standar yang ada
pada dirinya, namun juga standar luar yang dibentuk oleh teman-temannya. Dunia
teman sebaya sebagai ajang pembanding dan eksplorasi untuk memperoleh
informasi pembentuk identitas mereka. Jadi positif dan negative pergaulan teman
sebaya akan sangat mempengaruhi. Tekanan negatif dari teman sebaya dapat
menjadi risiko tersendiri.
c. Delirium
Delirium dapat timbul akibat kausa yang sama dengan yang menyebabkan
demensia pada pasien terinfeksi HIV. Pasien AIDS yangndirawat inap berisiko
lebih tinggi untuk mengalami delirium dengan kejadian 30% sampai 40%.
Delirium ditandai dengan adanya gangguan pada ketajaman dan kesadaran, dan
ketidakmampuan untuk menghadapi rangsangan luar atau berkonsentrasi. Ini
bertambah besar dan melemah, tetapi semua gejala mungkin tidak berubah-ubah
secara serempak. Pasien sering kali memperlihatkan gerak-gerik psikomotor
kegiatan motor berulang tanpa arti seperti mengumpat pada seprai atau baju atau
memainkan peranan atau menanggapi gangguan persepsi. Halusinasi visual dan
paranoid, karena disorientasi dan gangguan siklus tidur-bangun.
d. Gangguan Ansietas
Pasien terinfeksi HIV mungkin mengalami gangguan ansietas jenis apapun
namun, yang paling sering adalah gangguan ansietas menyeluruh, gangguan stress
pasca trauma, dan gangguan obsesif kompulsif. Reaksi ansietas pada ODHA
sering kali mencakup rasa khawatir yang mendalam, ketakutan, dan prihatin
terhadap kesehatan, masalah somatik, kematian, dan ketidakpastian mengenai
penyakitnya. Reaksi ini kerap kali mengarah kepada sulit tidur dan berkonsentrasi
dan meningkatnya keluhan somatik. Lebih sering terjadi pada saat diagnosis dan
selama pengobatan baru atau penyakit akut. Penanganan tergantung pada luas dan
sifat penyakit tertentu dan gejala yang diperlihatkan. Psikoterapi sering kali cukup
membantu,
khususnya
dalam
keadaan
hubungan
konseling.
Intervensi
berbagai cara tampaknya sama-sama efektif asal ahli psikiatri yang menilainya
mengetahui perwujudan psikiatri dan somatik tertentu dari penyakit tersebut.
Secara umum telah terbukti bahwa penyakit HIV berhubungan dengan tekanan
sosial dan kehidupan tertentu, seperti stigma (cap buruk), yang mungkin
mempengaruhi seseorang menjadi depresi. Depresi pada Odha juga dikaitkan
dengan perasaan bahwa kesehatannya buruk, rasa sakit kronis, dan kehilangan
daya ingat serta konsentrasi.
f. Mania
Perwujudan mania mencakup suasana hati yang meningkat, meluap, atau
lekas marah; grandiosity; peningkatan tenaga dan berkurangnya kebutuhan akan
tidur; kemampuan bicara tertekan; pikiran cepat; bertindak sesuai kata hati; dan
kemungkinan berkhayal, berhalusinasi, dan gejala psikosis lain yang jelas. Mania
sebagai gejala yang tampak atau sebagai akibat dari HIV tercatat mengalami
peningkatan secara bermakna pada pasien dengan AIDS.
g. Bunuh diri
Ide dan percobaan bunuh diri dapat meningkat pada pasien terinfeksi HIV
dan AIDS. Faktor resiko bunuh diri pada orang Infeksi HIV adalah memiliki
teman yang meninggal akibat AIDS, baru diberitahu HIV seropositif, relaps,
masalah sosial besar karena homoseksualitas, dukungan sosial dan finansial tidak
mencukupi.
h. Worried Well
Keadaan yang dimaksud worried well adalah mereka yang berada pada
kelompok risiko tinggi yang meski seronegatif dan bebas penyakit, cemas tertular
virus tersebut, Beberapa dapat diyakinkan dengan hasil uji serum ulang negatif,
namun yang lain tidak dapat diyakinkan. Status worried well mereka berlanjut
menjadi ansietas menyeluruh, serangan panik, gangguan obsesi kompulsif, dan
hipokondriasis.
Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi
Suatu daftar yang terus berkembang berisi agen yang bekerja dengan cara
yang berbeda dalam replikasi virus untuk pertama kalinya menumbuhkan harapan
bahwa HIV dapat disupresi secara permanen atau benar-benar dieriadikasi oleh
tubuh. Rekomendasi terkini menganjurkan bahwa pengobatan sebaiknya dimulai
dengan terapi tripel yaitu kombinasi dua penghambat transkriprase terbalik
ditambah satu penghambat protease. Terapi tripel dapat digunakan untuk orang
yang telah mengalami kontak seksual tak terduga dengan pasangan dengan
pasangan yang berpotensi terinfeksi. Terapi tripel dimulai segera setelah kejadian
dan biasanya dilanjutkan selama tiga bulan.
Agen retroviral memiliki banyak efek samping, yang paling penting bagi
psikiater adalah bahwa penghambat protease dimetabolisasi oleh sistem oksidase
sitokrom P450 hepatik dan oleh karena itu dapat meningkatkan kadar beberapa
obat psikotropik yang dimetabolisme dengan cara serupa. Obat tersebut mencakup
bupropion (wellbutrin) , meperidin (demerol), berbagai jenis benzodiazepin, dan
serotonin spesific reuptake inibitor (SSRI). Oleh karena itu harus berhati-hati
meresepkan psikotropik kepada orang yang mengonsumsi penghambat protease.
Jika terdapat kerusakan neurologis, maka diindikasikan penilaian suportif
yang biasa dilakukan untuk orang yang secara neurokognitif terganggu. Hal ini
meliputi penekanan upaya untuk mempertahankan orientasi yang baik,
penghindaran obat yang dapat membahayakan fungsi kognitif lebih jauh, terutama
golongan benzodiazepin. Bila harus digunakan maka sebaiknya obat tersebut
diberikan dalam dosis yang rendah dari biasa. Obat antidepresan dan antipsikotik
bila diindikasikan, mungkin juga harus meresepkan dalam dosis yang jauh lebih
rendah (contoh 25 persen dosis yang biasa direkomendasikan).
b. Psikoterapi
Psikoterapi ialah suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional
seorang pasien yang dilakukan oleh seorang terlatih dalam hubungan profesional
individu dari stress membantu para anggota kelompok agar dapat mengerti lebih
jelas sebab musabab kesukaran mereka; membantu terbentuknya mekanisme
pembelaan yang lebih baik, yang dapat diterima dan yang lebih memuaskan. Agar
proses kelompok berjalan lancar maka, individu harus diterima sebaik-baiknya
sebagaimana adanya dan pembatasan yang tidak perlu dihindarkan dan
diskriminasi.
Sumber
Maramis, Willy dan Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya: Airlangga University Press.
Barry Guze MD. 2005. The Handbook of Psychiatry. Jakarta EGC