You are on page 1of 10

WEDNESDAY, SEPTEMBER 15, 2004

Terlambat Bicara atau Autisme ?

TERLAMBAT BICARA ATAU


AUTISME ?
Pertanyaan ini aku lihat paling banyak ditanyakan oleh para Ibu yang
mempunyai anak usia 1,5 tahun, 2 tahun, 2,5 tahun yang belum juga
bicara. Kadang ada yang cerita belum banyak bicaranya, tetapi sudah
mengerti jika diajak ngbrol. Ketakutan akan bergangguan autisme
memang beralasan, karena publikasinya memang begitu mengatakan
bahwa: hati-hati jika anak terlambat bicara, kemungkinan autisme.
Berapa banyak autisme? Banyak, begitu menurut publikasi. Berapa
jelasnya? Engga tahu, karena angkanya samaunya. Ada yang bilang 1
: 500, ada yang 2: 250, eh ada juga yang bilang 1 : 150. Bayangkan
dong kalau 1: 150, apa nanti gak bakal muncul partai kelompok
autisme? Kok tinggi banget sih? Kalau tinggi begitu kenapa kok
WHO engga membuat seruan serbu autisme, dan semua Negara
membuat program pemberantasan ataupun pencegahan autisme. Ya
engga, karena menurut banyak orang yang ngubek autisme, konon
karena pertama yang salah:
1) tatalaksana sistem diagnosa autisme kurang ketat, seharusnya
dilakukan secara multidisiplin, jangka waktu lama, berbulanan,
hingga setahun, baru ditegakkan diagnosanya, tapi banyak hanya
dengan satu kali kunjungan, tanpa konsultasi kiri kanan, bahkan ada
yang cuma liwat mailing list segala, saat seorang Ibu bertanya
mengapa anaknya belum bicara, langsung dapat diagnosa.
2) DSM IV atau ICD 10 yang menjadi dasar penegakan diagnosa jadi
biang kerok.
Salah satu artikel yang secara terus terang mengkritik kriteria itu

ditulis oleh Tine van Schijndel-Jehoel seorang orthopedagog


peserta program doktor neuropsikologi klinik dari Universitas
Tilburg Belanda. Artikel itu adalah bagian dari pendidikan
doktornya, yang ditampilkan di sebuah majalah autisme ilmiah
Wetenschapplijk Tijdschrift Autisme, edisi Agustus 2005, dengan
judul artikel: Brein bedriegt: als een autisme spectrum stoornis geen
autisme is (Otak yang menipu: jika autisme spectrum disorder
ternyata bukan autisme). Ia menjelaskan bahwa:
1) DSM IV adalah kelanjutan dari DSM III, dan ICD 10 adalah
kelanjutan dari ICD 9;
2) dalam kriteria itu baik DSM IV maupun ICD 10, yang diambil
dari DSM III & ICD 9, adalah prototip sistem klasifikasi bahwa:
seorang anak dapat didiagnosa berdasarkan kumpulan gejala tertentu,
tanpa harus memenuhi seluruh kriteria yang ada;
3) kumpulan gejala itu tak ada penjelasan latar belakang penyebab
dan mengapa gejala itu bisa terjadi;
4) kriteria itu tidak pernah melalui upaya-upaya berbagai penelitian
guna mendukung akurasi kriteria;
5) ketiga faktor yang menjadi dasar diagnosa (gangguan interaksi
sosial, gangguan komunikasi, dan perilaku repetitif dan stereotipik)
tidak diberi definisi secara jelas.

Akibat dari kriteria yang digunakan itulah yang pada akhirnya


menjadi penyebab banyaknya anak-anak dengan bermacam-macam
pola gejala mendapatkan diagnosa yang sama, yaitu autisme, yang
dengan catatan sebetulnya sangat beragam (heterogen). Dengan
alasan heterogenitas dan kesulitan menentukan letak setiap anak
yang menerima diagnosa itu dalam sebuah spektrum yang panjang,
akhirnya digunakanlah istilah Autism Spectrum Disorder (ASD).
Menurut Shijndel-Jehoel lagi bahwa para ilmuwan saat melakukan
penelitian seringkali juga menjadikan Autism Spectrum Disorder
(ASD) sebagai satu objek grup penelitian yang dianggap homogen.

Artinya semua ini menurutnya bahwa perkembangan kognitif


neuropsikologi anak didiagnosa melalui kumpulan gejala tanpa
memperhatikan lagi perbedaan etiologi (penyebab) dari setiap
kelompok dalam spektrum tersebut. Dalam menangkap tanda-tanda
gangguan autisme ini, gejala perilakulah yang menjadi sasaran, maka
berbagai gejala perilaku akan terjebak masuk ke dalam term perilaku
menyimpang, tanpa memperhatikan lagi apakah seorang anak
mempunyai performa atau kinerja yang baik, mempunyai potensi,
mempunyai prinsip yang kuat, dan dapat menunjukkan perilaku
sosial yang adaptif, yang ke semuanya itu bisa saja nampak dalam
situasi di rumah.
Ada satu tulisan dari seorang psikiater yang juga neurolog anak yang
aktif dalam masalah gangguan perkembangan bahasa dan bicara di
Belanda, ia selain bekerja di rumah sakit Vrij Universiteit
Amsterdam, juga di institusi anak-anak yang mengalami gangguan
bahasa dan bicara terutama yang mengalami dysphasia, ia adalah Dr.
Charles Njiokiktjien. Dalam sebuah artikelnya di majalah ilmiah
autisme Belanda, Wetenschapplijk Tijdschrift Autisme, no 2, edisi
Agustus 2005, berjudul De relatie tussen taalontwikkelingsstoornissen en autisme (Hubungan antara gangguan perkembangan
bahasa dan autisme), menjelaskan bahwa masalah perilaku autisme
yang disertai gangguan berbahasa, seharusnyalah dibedakan dengan
masalah perilaku anak yang disertai gangguan berbahasa tetapi
bukan autisme. Maksudnya harus pula ditegakkan adanya differential
diagnosis ( diagnosa pembanding) antara gangguan perkembangan
autisme, dengan anak tanpa autisme yang sama-sama mengalami
gangguan perkembangan bahasa dan bicara. Namun untuk
membedakan ini, kesulitannya adalah dalam berbagai literatur
autisme, perbedaan gangguan perkembangan berbahasa itu tidak
dibahas terutama yang menyangkut definisi dan bagaimana
perbedaannya, dengan cara menggunakan patokan berdasarkan
gejala-gejala yang ada.

Dalam artikel itu Njiokiktjien menjelaskan tentang bagaimana


perbedaan gangguan perkembangan bicara anak autisme dan non
autisme, berdasarkan gejala-gejala berbahasa dan bicara yang
ditampilkannya. Ia menjelaskan tentang dua kelompok anak yang
mengalami gangguan perkembangan bahasa dan bicara. Salah satu
kelompok disebut sebagai anak yang mengalami dysphasia. Pada
anak-anak dysphasia ini terjadi gangguan adanya perbedaan
kemampuan dalam bentuk kemampuan reseptif (penerimaan)
dan ekspresif (penyampaian) bicara, dimana pada dysphasia
kemampuan reseptif lebih baik daripada kemampuan
ekspresifnya. Dan dari tes IQ terdapat perbedaan atau deskrepansi
antara IQ verbal dan IQ performal dimana IQ performal lebih tinggi
daripada IQ verbal. Anak-anak dysphasia ini dikelompokkan sebagai
anak yang mengalami gangguan perkembangan bahasa dan bicara
(developmental language disorder). Anak-anak ini juga mengalami
gangguan kelancaran bicara karena mengalami gangguan pada
pemanggilan kembali kata-kata dari daftar memorinya (words recall),
gangguan penggunaan gramatika (syntax), dan gangguan ekspresi
terhadap komando atau perintah (misalnya menjawab pertanyaan
terbuka, atau menerima perintah), serta gangguan bicara spontan.
Artikulasinya juga jelek. Sekalipun anak-anak ini bukan anak
autisme, namun ia juga mengalami gangguan sosial, dan menarik diri
(introvert). Anak-anak inilah yang kelak akan berkembang baik
(mempunyai prognosis baik) dan kelak pada akhirnya ia akan tidak
mempunyai gejala dysphasia lagi saat kemampuan ekspresifnya
sudah membaik. Menurut Njiokiktjien lagi, bahwa keadaan yang
seperti ini kelaknya tidak pernah diikuti dengan gangguan
perkembangan autisme.
Sedang kelompok lain, adalah kelompok anak-anak yang mempunyai
gangguan dimana dalam tes kemampuan berbahasa, ia tidak
mempunyai deskrepansi atau perbedaan skor antara

kemampuan reseptif dan ekspresif, bahkan bisa terjadi


kemampuan reseptifnya berada di bawah kemampuan rata-rata anak
seusianya. Anak-anak ini juga mempunyai kesulitan dalam
berbahasa non-verbal (bahasa simbolik dan bahasa mimik).
Keadaan seperti inilah yang selalu menyertai anak-anak
autisme, atau anak-anak yang mengalami keterbelakangan
mental. Anak-anak ini secara primer mengalami gangguan
pengertian bahasa yang akhirnya juga akan mengalami gangguan
penggunaan bahasa, karena itu dinamakan juga sematic-fragmatic
language syndrome. Sedang pada anak-anak mental retarded atau
keterbelakangan mental, sekalipun mengalami gangguan reseptif dan
ekspresif, ia masih mempunyai emosi yang baik. Berbeda dengan
anak autisme yang mengalami gangguan perkembangan emosi.
Emosi disini maksudnya bukan dalam bentuk emosional tidak
terkendali seperti mengamuk, tetapi ia tidak mampu membangun
hubungan kehangatan emosi timbal balik.
Di bawah ini kucuplik pembagian gangguan berbicara dan bahasa
pada anak-anak yang kuambil dari artikel yang ditulis oleh
Njiokiktjien. Sebetulnya Njiokiktjien sendiri mengambil pembagian
itu dari pembagian yang dibuat oleh Rapin (1988) yang terkenal
membicarakan masalah komunikasi pada penyandang autisme.

Klasifikasi communication and language disorder pada anak


A. Developmental language disorders (ganguan perkembangan
berbahasa)
1. Hanya mengalami gangguan ekspresif dengan pemahaman normal
dengan sedikit atau tanpa komorbiditas - gangguan lain yang
menyertainya (pure dysphasia development atau expressive language
disorder menurut DSM IV)
Gangguan campuran antara perkembangan bahasa ekspresif dan

reseptif (mixed receptive-expressive language disorder DSM IV).


Seringkali terjadi adanya deskrepansi (perbedaan) yang bermakna
antara skor tes verbal IQ dengan performal (non-verbal) IQ, dimana
skor verbal IQ mencapai skor yang sangat rendah. Atau non-verbal
IQ mencapai skor lebih tinggi daripada tes pemahaman bahasa.
Pemahaman bahasa lebih rendah daripada rata-rata anak seusianya,
artinya ada gangguan perkembangan bahasa reseptif (receptive
dysphasia).
1 dan 2 di atas dapat terjadi pada anak yang mengalami gangguan
perkembangan bahasa dan bicara.
B. Gangguan bahasa reseptif: diluar definisi dysphasia development,
karena pemahaman bahasa lebih jelek daripada bahasa ekspresif.
1. Kemampuan reseptif dan ekspresif sangat rendah (delay atau
tertinggal); seringkali diikuti dengan gangguan nonverbal
(mengalami juga keterbelakangan mental). Dalam bentuk yang parah
didapatkan asymbolic mental retardation atau mute autistic.
Pemahaman bahasa dan bicara sama sekali tak nampak.
2. Verbal-auditory agnosia atau congenital word deafness (bentuk
ringan dari phonologic perception problem)
3. Cortical deafness, total auditory agnosia (congenital auditory
imperception).
4. Gangguan sensorik pendengaran yang parah.
C. Gangguan semantik-pragmatik
Gangguan bahasa Semantik (pengertian) pragmatik (penggunaan)
sering dimulai dengan bahasa dengan echolalia yang banyak.
D. Gangguan kelancaran bicara, atau gagap.
E. Mutisme selektif (tidak mau bicara dalam situasi atau tempat
tertentu)
F. Miskin bahasa karena kurang stimulasi
G. Gangguan artikulasi dan gangguan perkembangan bahasa dan

bicara, sering disebabkan karena masalah seperti dalam pembangian


1&2
Gangguan perkembangan bicara dan bahasa karena sebab-sebab lain:
1. Child-afasia (disebabkan karena traumatic, tumor, infeksi)
2. Landau-Kleffner-syndrom (gejala mirip pada pembangian B)
3. Kemunduran perkembangan bahasa dan bicara dengan penyebab
tak diketahui dengan atau tanpa epilepsi saat tidur dan gangguan
nosologi yang tak diketahui penyebabnya, sering juga terjadi pada
Autisme Spectrum Disorder (ASD).
Sumber: C.Njiokiktjen (psikiater & neurolog anak) dalam artikel: De Relatie
tussen taalontwikkelings-stoornissen en autisme, Wettenschaplijk Tijdschrift
Autisme, nummer 2, augustus 2005.

Dalam berbagai artikel mengenai autisme, banyak dijelaskan bahwa


gangguan berbahasa dan bicara pada autisme mempunyai gradasi
dari yang terparah, tidak bisa bicara, hingga yang bisa berbicara
dengan baik. Hal ini juga tergantung dari perkembangan kognitif si
penyandang. Mulai dari yang inteligensia rendah hingga yang tinggi.
Pada autism spectrum disorder, Njiokiktjien menjelaskan bahwa
baik kelompok autisme infantil yang berinteligensia rendah
hingga yang mempunyai fungsi yang tinggi (high function autism
atau HFA), semua mengalami gangguan reseptif sekaligus juga
ekspresif. Saat mereka masih balita ditemukan kondisi yang
dysfatis (tidak bicara) dan keterlambatan bicara. Namun
kelompok lain, yaitu kelompok autisme Asperger, tidak
mengalami keterlambatan bicara, jadwal perkembangan bicara
normal. Walau begitu ia mengalami gangguan berbahasa, yaitu
gangguan semantik dan pragmatik. Karena itu kelompok asperger ini
mengalami apa yang disebut gangguan komunikasi sosial.

posted by Julia van Tiel @ 9:21 AM

0 Comments:
Post a Comment
<< Home

Si Entong
ABOUT ME

Name: Julia van Tiel


Location: Heiloo, Noord Holland, Netherlands
Een moeder van een hoogbegaafde kind die een medegevoelen heeft
met andere hoogbegaafde ouders. Melihat anak-anak teman-temanku
yang mempunyai gejala yang sama dengan anakku (gifted child).
Anak-anak cerdas yang terlambat bicara, tetapi mendapatkan
diagnosa yang keliru, aku terpanggil untuk membantunya, membagi
pengetahuan yang kuterima dalam rangka pengasuhan dan
pendampingan pendidikan anakku di negeri Belanda. Bersama temanteman lain, psikolog, pendidik, dan dokter, kami membangun rumah
kami, mailinglist anakberbakat@yahoogroups.com. Ingin bergabung
silahkan kontak anakberbakat-owner@yahoogroups.com Lihat juga
blogku yang lain: gifted-disinkroni.blogspot.com dan sientong.blogspot.com dan kelas-inklusi.blogspot.com
View my complete profile
PREVIOUS POSTS

Sepedaku (Memori fotografis)

Angsa
MEMORI FOTOGRAFIS 1
Lukisan Memori fotografis
MEMORI FOTOGRAFIS2
MEMORI FOTOGRAFIS 3

MEMORI JANIN

Udara somer pagi

Buku Baru
"Anakku Terlambat Bicara". Anak Berbakat yang mengalami disinkronitas
perkembangan. Memahami dan mengasuhnya. Membedakannya dengan
ADHD, Autisme, dan masalah gangguan belajar. Cet.I; xii, 396 hlm, 23 cm.
Penerbit Prenada Media, 2007. Jakarta

Tersedia di TB Gramedia

You might also like