You are on page 1of 46

BAB I

PENDAHULUAN
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue
tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam
kategori A dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO)
2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian
akibat DBD, khususnya pada anak. 1

Data Departemen Kesehatan RI

menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan


jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan
case fatality rate sebesar 1,01% (2007).2,3 Provinsi Jawa Timur ditetapkan status
Kejadian Luar Biasa (KLB) Demam Berdarah Dengue (DBD) sejak tanggal 1
Januari 2015. Terjadi peningkatan jumlah kasus DBD selama bulan Januari 2015
di Provinsi Jawa Timur KLB DBD terjadi di 37 Kabupaten/Kota, dengan total
jumlah kasus sebanyak 3.136 kasus DBD dan angka kematian sebanyak 52 kasus. 3
Kabupaten/Kota yang mengalami KLB DBD di Provinsi Jawa Timur antara lain
Kab. Bangkalan 160 kasus, Kab. Banyuwangi 154 kasus, Kota Batu 10 kasus,
Kab. Blitar 53 kasus, Kota Blitar 12 kasus, Kab. Bojonegoro 30 kasus, Kab.
Bondowoso 180kasus, Kab. Gresik 33 kasus, Kab. Jember 270 kasus, Kab.
Jombang 136 kasus, Kab. Kediri 131 kasus, Kota Kediri 42 kasus, Kab.
Lamongan 81 kasus, Kab. Lumajang 8 kasus, Kab. Madiun 58 kasus, Kota
Madiun 36 kasus, Kab. Magetan 38 kasus, Kab. Malang 95 kasus, Kota Malang
11 kasus, Kab. Mojokerto 76 kasus, Kab. Nganjuk 90 kasus, Kab. Ngawi 91
kasus, Kab. Pacitan 198 kasus, Kab. Pamekasan 45 kasus, Kab. Pasuruan 34
kasus, Kota Pasuruan 12 kasus, Kab. Ponorogo 74 kasus, Kab. Probolinggo 136
kasus, Kota Probolinggo 15 kasus, Kab. Sampang 74 kasus, Kab. Sidoarjo 21
kasus, Kab. Situbondo 24 kasus, Kab. Sumenep 380 kasus, Kota Surabaya 59
kasus, Kab. Trenggalek 111 kasus, Kab. Tuban 24 kasus, dan Kab. Tulungagung
134 kasus.4

Dilihat dari banyaknya kasus yang terjadi di Indoesia, khususnya Jawa


Timur, termasuk di Probolinggo, membuat infeksi virus Dengue merupakan topik
bahasan yang menarik dan wajib diketahui oleh semua praktisi kesehatan. Infeksi
virus dengue memiliki spektrum klinik yang luas, mulai dari tanpa gejala, demam
tidak khas, demam dengue (DD) hingga demam berdarah dengue yang
mengancam jiwa. Gejala klinik dapat dibagi tiga fase yaitu fase demam (hari 1-3),
fase kritis/demam turun (hari 3-6), dan fase penyembuhan (hari 6-10). Demam
dengue mempunyai gejala demam, nyeri kepala dan nyeri otot/sendi, yang dapat
disertai trombositopenia dan perdarahan. Sedangkan DBD ditandai dengan
demam, perdarahan, pembesaran hati, trombositopenia, dan kebocoran plasma
(dapat berwujud hemokonsentrasi, efusi pleura, asites, dan hipoalbumin) yang jika
berat dapat menimbulkan syok.
Demam berdarah dengue hampir selalu terjadi pada dua kelompok umur
yaitu pasien dewasa dan anak dengan infeksi dengue sekunder yang heterolog,
sedangkan bayi dengan infeksi primer yang lahir dari ibu yang imun terhadap
Infeksi Virus Dengue (IVD). Mekanisme yang paling bertanggung jawab diyakini
adalah ADE (antibody dependent enhancement).5 Bayi yang menderita IVD
menjadi subjek yang menarik karena beberapa alasan. Pertama, angka kematian
bayi relatif lebih tinggi, sekalipun data berbagai penelitian sangat bervariasi.5
Kedua, bayi dengan IVD primer mempunyai karakteristik unik dan lebih
berpotensi menuju DBD/SSD dan membahayakan jiwa dibandingkan kelompok
usia yang lebih tua.5 Pada tulisan ini akan dibicarakan manifestasi dan perjalanan
klinis Demam Berdarah Dengue pada pasien anak yang dirawat di RSUD dr. Moh.
Saleh Probolinggo.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Definisi Demam berdarah dengue (DBD) adalah salah satu manifestasi
simptomatik dari infeksi oleh virus dengue berupa demam akut yang memenuhi
kriteria WHO untuk DBD.6

Gambar 1. Spektrum klinis infeksi virus Dengue6

Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut (gambar 1):
1. Demam tidak terdiferensiasi
2. Demam Dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7
hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri
retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie
atau uji bendung positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue
positif atau ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam
dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang sama.
3. Demam Berdarah Dengue (dengan atau tanpa renjatan) dengan gejala
klinis sama dengan Demam Dengue tetapi ditambah adanya bukti plasma

leakage (dapat dilihat dari Hemokonsentrasi dan perpindahan cairan ke


ruang ketiga).
4. Expanded Dengue Syndrome adalah manifestasi yang tidak biasa pada
pasien dengan keterlibatan organ yang parah seperti hati, ginjal, otak atau
jantung yang berhubungan dengan infeksi dengue telah semakin
dilaporkan pada DBD dan juga pada pasien demam berdarah yang tidak
memiliki bukti kebocoran plasma. Manifestasi yang tidak biasa mungkin
terkait

dengan

koinfeksi,

komorbiditas

atau

komplikasi

syok

berkepanjangan. Investigasi lengkap harus dilakukan dalam kasus ini.


Kebanyakan pasien DBD yang memiliki manifestasi yang tidak biasa
adalah hasil dari syok berkepanjangan dengan kegagalan organ atau pasien
dengan komorbiditas atau koinfeksi.
2.2 Epidemiologi
Demam berdarah dengue (DBD) lebih sering terjadi pada anak-anak
kurang dari 15 tahun di daerah hiperendemis, berkaitan dengan infeksi virus
dengue berulang. Kejadian DBD pada orang dewasa lebih banyak. DBD ditandai
dengan onset akut dari demam tinggi dan berhubungan dengan tanda-tanda dan
gejala yang mirip dengan DF pada fase demam awal. Adanya diatesis hemoragik
umum seperti tes positif tourniquet (TT), petechiae, mudah memar dan / atau
perdarahan GI pada kasus yang berat. Pada akhir fase demam, ada kecenderungan
untuk terjadi syok hipovolemik (dengue shock syndrome) akibat kebocoran
plasma.6
Adanya tanda-tanda peringatan seperti muntah terus-menerus, sakit perut,
lesu atau gelisah dan oliguria penting mendapat intervensi untuk mencegah shock.
Abnormal hemostasis dan kebocoran plasma adalah patofisiologi utama DBD.
Trombositopenia dan peningkatan hematokrit / hemokonsentrasi adalah temuan
konstan sebelum penurunan demam / onset syok. DBD terjadi paling sering pada
anak-anak dengan infeksi dengue sekunder. DBD juga didapatkan pada infeksi
primer dengan-DENV 1 dan DENV-3 serta pada bayi.6
2.3 Etiologi

Infeksi Dengue disebabkan oleh virus Dengue yang termasuk group B


arthropod borne virus (arbovirus) atau yang sekarang lebih dikenal sebagai genus
flavivirus. Berdasarkan etiologinya, flavivirus disebut dengan arbovirus karena
menunjukkan banyak diantara golongan virus tersebut yang ditransmiskan di
antara host vertebrata melalui nyamuk dan kutu (ticks). Aedes aegypti dan Aedes
abopictus merupakan vektor virus dengue yang paling banyak di Indonesia. Pada
daerah urban, 95% vektor pembawanya adalah Ae.aeygypti.7 Virus dengue
memiliki 4 jenis serotipe yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3 dan DENV-4.
Keempat jenis serotipe tersebut dapat ditemukan di Indonesia. Infeksi pada salah
satu dari serotipe tersebut dapat menyebabkan antibodi seumur hidup pada
serotipe yang bersangkutan namun hanya memberikan perlindungan jangka
pendek terhadap serotipe lain.8
Perbedaan serotipe virus dengue ini dapat menyebabkan perbedaan
manifestasi klinik pada demam DD, DBD dan SSD. Infeksi dengue primer dengan
serotipe DENV-2 dan 4 dianggap sebagian besar tanpa gejala, tanpa memandang
usia. Sedangkan infeksi primer dengan jenis dengue 1 dan 3

lebih

jelas

gejalanya.9 Survai virologis memperlihatkan DENV-2 dan 3 merupakan serotipe


virus yang paling dominan di Indonesia. Jenis serotipe DENV-3 merupakan
serotipe yang banyak berhubungan dengan kasus DBD berat.
2.4 Patogenesis
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi
dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection
theory) dan hipotesis konsep ADE (antibody dependent enhancement). 10

Gambar 2. Hipotesis infeksi sekunder10

Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977


(gambar 2), sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda,
respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan
transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Karena
bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka
replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virusantibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan
C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar
hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa. 10
Hipotesis konsep ADE (antibody dependent enhancement) menyatakan secara
tidak langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi
herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk
kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran
leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi
sekresi

mediator

vasoaktif

yang

kemudian

menyebabkan

peningkatan

permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan


syok.10

2.5 Gejala Klinis


DBD ditandai 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi terus menerus
selama 2-7 hari pada sebagian kasus; diatesis hemoragik paling sering ditampilkan
sebagai petechia, uji torniquet positif, memar, epistaksis, perdarahan gastro
intestinal; hepatomegali dan kegagalan sirkulasi. Pada pemeriksaan laboratorium
terjadi trombositopenia (100.000/l) dan hemokosentrasi yang dapat dilihat dari
peningkatan hematokrit 20% dibandingkan dengan nilai hematrokit sebelum
sakit.5 Setelah periode inkubasi 5-8 hari (rentang 3-14 hari), penyakit ini biasanya
mulai dengan tiba-tiba dan diikuti 3 fase: demam akut, kritis dan konvalesens
(pemulihan).6
2.5.1 Fase Demam Akut
Biasanya pasien mengalami kenaikan temperatur secara tiba-tiba diikuti
dengan wajah memerah, erytema pada kulit, pusing dan nyeri otot . Temperatur
tubuh dapat meningkat hingga 40-41 C dan demam konvulsi dapat terjadi
terutama pada bayi. Gambaran klinik DBD pada bayi dan anak dapat ditandai oleh
suatu demam 1-5 hari, inflamasi pharyngeal, rhinitis dan batuk ringan. Anoreksia,
muntah dan nyeri abdomen sering ditemukan.6
Pada fase ini, demam biasanya berlangsung 2-7 hari. Gejala klinik DBD
menyerupai gambaran klinik DD dalam berbagai aspek, namun ruam
makulopapular dan myalgia/ artralgia lebih jarang terjadi pada kasus DBD. 6 Tes
torniquet positif pada fase ini meningkatkan kemungkinan terjadinya dengue.
Namun, gambaran klinik ini tidak bisa membedakan antara kasus dengue berat
dan dengue ringan. Oleh karena itu memonitor tanda peringatan dan parameter
klinis merupakan hal yang krusial untuk mengenali progres ke fase kritis.
Perdarahan ringan seperti petechiae dan pendarahan membaran mukosa dapat
terlihat. Hepar seringkali membesar dan teraba beberapa hari sejak dimulainya
demam.1
2.5.2 Fase Kritis
Fase kritis merupakan periode transisi 24-48 jam sekitar penurunan suhu,
ketika temperatur turun 37.5-38C, biasanya terjadi pada hari ke 3-7 sakit.
Kenaikan permeabilitas kapiler bersamaan dengan kenaikan hematrokit dapat
7

terjadi.1 Leukopenia progresif diikuti dengan penurunan cepat jumlah trombosit


biasanya mendahului kebocoran plasma. Pada saat ini pasien yang tidak
mengalami peningkatan permeabilitas kapiler akan membaik, sedangkan yang
yang mengalami kenaikan permeabilitas plasma akan memburuk sebagai akibat
dari kehilangan volume plasma.1
Pada kasus DBD berat, penyakit ini akan meningkat secara cepat ke dalam
stadium syok. Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda kegagalan peredaran
darah, kulit dingin dan lembab sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan
lembut. Pasien tampak lesu, gelisah, seringkali mengeluh nyeri abdomen sebelum
syok. Syok yang berkepanjangan seringkali berkomplikasi memicu terjadinya
Koagulasi Intravaskular Diseminata ke arah perdarahan gastrointestinal berat,
yang biasanya muncul sebagai hematemesis dan melena. Kadang perdarahan
dapat tersembunyi, namun menyebabkan komplikasi yang serius jika tidak
ditangani. Komplikasi jarang yang paling umum ditemukan tetapi paling
mempunyai manifestasi perdarahan yang paling fatal adalah perdarahan
intrakranial. Konvulsi dan koma banyak ditemukan pada pasien-pasien di wilayah
Indonesia dan Malaysia.6
Tatalaksana syok yang tidak adekuat dapat menimbulkan komplikasi
hipoksia, asidosis metabolik, perdarahan gastrointestinal hebat dengan prognosis
buruk. Sebaliknya dengan pengobatan yang tepat pasien segera mengalami
penyembuhan yang cepat.5
2.5.3 Fase Pemulihan
Jika pasien telah melewati pada 24-48 jam fase kritis, penyerapan bertahap
dari kompartemen cairan ekstravaskuler berlangsung pada 48-72 jam berikutnya.
Keadaan umum membaik, nafsu makan kembali, nyeri gastrointestinal mereda,
status haemodinamik stabil dan terjadi diuresis.1 Sebagian pasien mengalami ruam
pethecial yang konfluen dengan karakterisik tersebar, sekitar daerah kulit yang
pucat (tanpa petechiae) pada ekstremitas, lebih sering pada ekstremitas bawah,
kadang disertai rasa gatal. Bradikardi umum ditemukan selama fase ini.6

Gambar 3: Spektrum
Manifestasi dan Gejala
Klinis DHF6

2.6 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,
jumlah

trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis

relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia
umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi
dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam. 5 Pada DBD yang disertai
manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat
dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP).
Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/
kreatinin.
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara
tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi
virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu
yang lama (lebih dari 12 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena
keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler
dengan

deteksi

materi

transcriptionpolymerase

genetik

chain

virus

reaction

melalui

pemeriksaan

reverse

(RT-PCR).

Pemeriksaan

RT-PCR

memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan
isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami
kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu.

Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi,


yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM
terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang
setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14,
sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.5 Salah satu
metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan
antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1).
Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih
terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1
dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode
ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama
sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada
infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga
dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%).
Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan
deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.12
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan)
dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada
hemitoraks kanan

dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat

ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi
dengan USG.12
2.7 Diagnosis
Diagnosis Berdasarkan kriteria WHO 2011, diagnosis DF dan DHF
ditegakkan bila kriteria ini terpenuhi:6
Diagnosa Probable:
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari. Disertai minimal 2 atau
lebih gejala:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

sakit kepala
nyeri retro orbital
nyeri otot
nyeri tulang/ sendi
ruam
manifestasi perdarahan
10

g. leukopenia 5000/mm3
h. trombositopenia <150 000/mm3
i. peningkatan hematokrit (5 10%)
dan minimal adanya salah satu dari:
-

Pemeriksaan serologis pada serum: titer 1280 dengan tes hemagulinasi


inhibisi, pembandingan titer IgG dengan pemeriksaan ELISA (enzyme-

linked immunosorbent assay) atau tes antibodi IgM positif


Terjadi pada lokasi dan waktu yang sama dengan kasus yang telah
terkonfirmasi sebagai DF

Diagnosa Confirmed
Kasus Probable dengan minimal satu kriteria dibawah ini:
1. Isolasi virus dengue dari serum, CSS atau sampel otopsi.
2. Peningkatan 4 kali lipat atau lebih IgG serum (dengan tes inhibisi
haemaglutinasi) atau peningkatan IgM
3. Antibodi spesifik terhadap virus dengue. Deteksi virus atau antigen
Dengue pada organ, serum atau cairan serebrospinal dengan cara
imunohistokimiawi
4. Imunofluoresen atau enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
5. Deteksi genomik sequens virus dengue dengan reaksi reverse
transcription-polymerase.
Diagosa DHF bila:
Semua kriteria dibawah ini terpenuhi:
1. Demam akut dengan onset durasi 2-7 hari.
2. Manifestasi perdarahan, yang ditunjukkan dengan salah satu diantaranya:
tes tourniquet positif, petekie, ekimosis atau purpura, perdarahan dari
mukosa, traktus gastrointestinal, lokasi injeksi, atau lokasi lain.
3. Hitung trombosit 100 000 sel/mm3
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb: Peningkatan hematokrit
>20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin. Penurunan
hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi
pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia.

11

Derajat keparahan DHF diklasifikasikan dalam 4 kategori.6 Adanya


hemokonsentrasi bersamaan dengan keadaan trombositiopenia membedakan
DHF grade I dan II dengan DF. Penilaian derajat keparahan DHF ini secara
klinis dan epidemiologi berguna pada kejadian epidemi DHF di Asia tenggara,
Pasifik dan Amerika.

Derajat Keparahan DHF6

2.8 Diagnosis Banding6


Pada fase demam awal, diagnosis banding DF sangat luas, meliputi infeksi
virus, bakterial, dan protozoa yang dapat memberikan gejala mirip dengan DF.
Manifestasi perdarahan, misalnya tes tourniquet positif dan leukopenia (5000
sel/mm3)

mengindikasikan

adanya

infeksi

virus

dengue.

Adanya

trombositopenia bersamaan dengan adanya hemokonsentrasi mendiferesiasi


DHF/DSS dari penyakit lainnya. Pada pasien tanpa peningkatan nilai
hematokrit yang signifikan dapat disebabkan oleh perdarahan yang masif,
dengan atau tanpa terapi cairan intravena awal, adanya efusi pleura atau asites
mengidikasikan adanya kebocoran plasma. Hipoproteinemia/albuminemia
mendukung adanya kebocoran plasma. Nilai laju endap darah (LED) yang
normal membantu mendiferensiasi infeksi Dengue dari infeksi bakterial dan
syok septik. Pada periode syok, nilai LED <10 mm/jam.6
12

2.9 Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.
Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah
pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan
terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak
demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan
cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada
kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai
apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap
kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun
asites yang masif perlu selalu diwaspadai. Terapi nonfarmakologis yang diberikan
meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan
dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu
yang mengiritasi saluran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan
antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan
dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya
dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas
(lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama
penatalaksanaan DHF mengikuti protokol yang mengacu pada protokol WHO.
Protokol ini terbagi dalam beberapa kategori, sebagai berikut:

13

Gambar 4 : Tata Laksana Kasus Tersangka DBD / Infesi Virus Dengue13

14

Gambar 5: Tata Laksana Tersangka DBD (Rawat Inap) / Demam Dengue13

15

Gambar 6: Tata Laksana DBD derajat I dan II13

16

Gambar 7: Tata Laksana DBD derajat I dan II13

2.10

Prognosis

Prognosis pasien demam berdarah dengue derajat adalah dubia ad bonam


apabila terapi cairan dilakukan dengan tepat dan benar. Monitoring tanda-tanda
vital dan hematokrit serta hitung trombosit secara simultan dengan terapi yang
diberikan untuk mengetahui apakah ada perbaikan serta komplikasi.

17

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS
Nama
Umur
Jenis kelamin
Agama
Ayah
Ibu
Alamat
Tanggal masuk
Ruangan

: An. Diko
: 10 Bulan 17 hari
: Laki-laki
: Islam
: Tn. Andri Hermawan, 27 tahun, Eratex
: Ny. Risti Purnawati, 22 tahun, IRT
: Jalan Lumajang no 5, Sumber Taman
: 2 Juni 2015 (21.10 WIB)
: Mawar Kelas II

3.2 SUBJEKTIF
Keluhan utama: Panas
Riwayat penyakit sekarang (RPS):
- Panas sejak minggu pagi (3 hari lalu), naik turun, turun dengan konsumsi
-

obat penurun panas


Disertai batuk dan pilek, batuk grok-grok jarang-jarang, hidung

mengeluarkan lendir berwarna bening.


Panas terlebih dahulu baru muncul batuk dan pilek.
Muntah saat sebelum dibawa ke IGD 2x, isi susu dan air, tidak ada lendir,

tidak ada darah.


Minum semakin banyak, anak terlihat haus terus. Nafsu makan menurun.
BAB saat sebelum dibawa ke IGD 2x, cair dan ampas, tidak ada lendir

dan darah.
Kencing seperti biasa, tidak berkurang, jernih, tidak merah.

Riwayat penyakit dahulu:


- Tidak ada riwayat MRS sebelumnya
- Tidak ada riwayat sesak napas
- Tidak ada riwayat alergi
- Tidak ada riwayat kejang.
Riwayat penyakit keluarga:
- Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini, tetangga ada yang dirawat
-

dirumah sakit kaena demam berdarah


Tidak riwayat sesak napas

18

Tidak ada riwayat alergi


Tidak ada riwayat kejang.

Riwayat imunisasi: Imunisasi BCG, Hepatitis B, Polio, DPT sudah


Campak belum
Riwayat diet:
Bayi

: ASI usia 0-3 bulan


Susu formula usia 3 bulan hingga sekarang
Makanan tambahan (bubur susu, buah) mulai umur 7 bulan

Kesan makanan dan minuman : anak tidak suka minum susu lebih suka
minum air, nafsu makan kurang.
Riwayat kehamilan ibu: Selama hamil ibu tidak pernah menderita penyakit
berat dan kontrol secara teratur ke bidan. Usia kehamilan 9 bulan.
Riwayat kelahiran: Anak lahir normal di bidan. Tidak ada riwayat KPD,
menangis setelah dilakukan hisapan lendir, BBL 2,5 kg.
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan:
Anak laki-laki 10 bulan, berat badan 7 kg, panjang badan 69 cm.
Perkembangan: senyum 2 bulan, mengangkat kepala 4 bulan, duduk 6 bulan,
merangkak 8 bulan, berjalan dituntun 9 bulan.
Kesan: pertumbuhan dan perkembangan sesuai umur.
3.3 OBJEKTIF
Keadaan umum
: Cukup
Kesadaran
: Compos Mentis
Nadi
: 120 x/menit
RR
: 35 x/menit
Suhu
: 39,7 oC
Berat badan
: 7 kg
Panjang badan
: 69 cm
Status gizi
BB/PB = 87,5 %
Interpretasi : Kurang
Kepala

: a/i/c/d: -/-/-/Mata cowong +


Telinga tidak ada kelainan
Hidung tidak ada kelainan (PCH -)

19

Leher
Dada
Jantung
Paru-paru
Abdomen
Genetalia
Ekstremitas

:Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening


Tidak ada tortikolis
:Simetris kanan kiri
Tidak ada retraksi
:S1 S2 tunggal
Murmur Gallop :Vesikuler kanan kiri
Wheezing -, rhonki :Soefl, meteorismus +, bising usus +, asites Hepar dan lien tidak teraba
Turgor baik
:Laki-laki, tidak ditemukan kelainan, belum sunat
:akral hangat, oedema pada kedua tangan dan kaki, CRT <

2 detik, Rash (-), Ptekie (-)


Status neurologis :GCS 456, kaku kuduk PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 02 Juni 2015
N

Jenis

o
I.
1
2
3
4
5
1
1

Pemeriksaan
Darah Lengkap

Hasil

Hemoglobin
10,9
PCV
32
Trombosit
50.000
Leukosit
4.360
Diff.Count
-/1/33/62/4
II.
Glukosa Darah
Gula Darah Acak
116
III.
Imunoserologi
CRP
Positif titer 6

Nilai Normal

7 bulan-2 tahun: 10,5-13 g/dl


7 bulan-2 tahun: 33-38%
150.000-600.000/cmm
6000-17000/cmm
0-6/0-3/25-60/16-46/4-11%
<= 200 mg/dl
Negatif

3.4 ASSESSMENT
Diagnosis: Rhinitis
Vomiting
Dehidrasi sedang
Mild Malnutrition
Dengue Fever dd Dengue Hemorrhagic Fever
3.5 PLANNING
Terapi:
Rehidrasi : IVFD RL 490 cc dalam 3 jam maintenance Assering
700cc/24 jam
Sanmol injeksi 3 x 70 mg

20

Ambroxol syr 3 x cth 1/2


Curvit syrup 1 dd cth
Makan dan minum ditingkatkan, bila memungkinkan diberi nutrisi
lebih banyak
Rawat inap di Mawar
Diagnosa:
DL ulang
Monitoring:

Tanda tanda vital (Suhu, akral)


Frekuensi BAB
Frekuensi muntah
Hematokrit
Tanda kebocoran plasma

21

FOLLOW UP
3 Juni 2015
Sakit hari ke: 4

4 Juni 2015
Sakit hari ke: 5

Subjektif
Keluarga mengatakan BAB cair 6x
dalam semalam Lendir (-) Darah (-).
Panas (+) Batuk grok-grok (+) Pilek
(-) Muntah 1x tadi malam Sesak (-)
BAK + , jernih
Makan/minum -/ + banyak

Subjektif
Keluarga mengatakan BAB cair 3x
sehari cair + ampas warna kuning
Lendir (-) Darah (-). Panas (+) Batuk
grok-grok (+) Pilek (-) Muntah 1x
Sesak (-) Anak rewel, menangis terus.
BAK + , jernih
Makan/minum -/+

Objektif
KU: lemah
Kesadaran: CM
Suhu: 40oC
RR: 29 x/menit
HR: 109 x/menit

Objektif
KU: lemah
Kesadaran: CM
Suhu: 37oC
RR: 27 x/menit
HR: 106 x/menit

K/L: a/i/c/d: -/-/-/Pembesaran KGB PCH Dada: simetris, retraksi Pulmo: vesikuler, wh -, rh Jantung: S1 S2 tunggal, murmur Abdomen: ascites -, met -, bising usus
+, hepar dan lien tidak teraba, turgor
baik
Genitalia: DBN
Ektremitas: akral hangat, oedema -,
CRT < 2 detik. Ptekie Cruris D & S
Status neurologis: GCS 456, kaku
kudukPemeriksaan Lab
-

K/L: a/i/c/d: -/-/-/Palpebra oedema +


Pembesaran KGB - PCH Dada: simetris, retraksi Pulmo: vesikuler, wh -, rh Jantung: S1 S2 tunggal, murmur Abdomen: ascites -, met -, bising usus
+, hepar dan lien tidak teraba, turgor
baik
Genitalia: DBN
Ektremitas: akral hangat, oedema -,
CRT < 2 detik. Ptekie Cruris D & S.
Rash wajah & dada.
Status neurologis: GCS 456
Pemeriksan Lab LFT
Hb : 12,5 g/dl
Bil. Total 0,36 g/dl
Hct : 36%
Bil. Direk 0,10 g/dl
Leukosit:
ALP: 162 U/L
7600/mm3
AST: 226 U/L
Trombosit:
ALT: 70 U/L
27.000/mm3
SE : DBN
Assessment
Rhinitis
Dengue Fever dd DHF
Diare Akut
Mild Malnutrition
Planning
Terapi:
Bed rest
Assering 700cc/24 jam
Sanmol injeksi 4 x 70 mg (bila
Suhu 38C)
Ambroxol syr 3 dd cth
Zinc tablet 1 dd tab I
Curvit syrup 1 dd cth
Oralit sacc dalam 100cc air tiap
kali BAB
Makan dan minum ditingkatkan
Diagnosa: DL ulang, Ig G & Ig M anti
dengue
Monitoring:
Tanda tanda vital (Suhu, akral)

Assessment
Rhinitis
Dengue Fever dd DHF
Diare Cair Akut
Mild Malnutrition
Planning
Terapi:
Bed rest
Assering 700cc/24 jam
Sanmol injeksi 4 x 70 mg
Ambroxol syr 3 dd cth
Zinc tablet 1 dd tab I
Curvit syrup 1 dd cth
Oralit sacc dalam 100cc air
tiap kali BAB
Makan dan minum ditingkatkan
Diagnosa: DL ulang, LFT, SE
Monitoring:
Tanda tanda vital (Suhu, akral)
Frekuensi BAB
Hematokrit

22

5 Juni 2015
Sakit hari ke: 6
Subjektif
Keluarga mengatakan Panas (-) Batuk(-)
Pilek (-) Muntah (-) Sesak (-)
BAK +, jernih. BAB (-) Anak rewel,
menangis terus dari kemarin.
Makan/minum -/ + air putih,susu tidak
mau. Muncul ruam di tangan dan kaki
sejak kemarin malam. Kaki terlihat
bengkak.
Objektif
KU: cukup
Kesadaran: CM
Suhu: 36,4oC
RR: 35 x/menit
HR: 120 x/menit
K/L: a/i/c/d: -/-/-/Palpebra oedema +
Pembesaran KGB - PCH Dada: simetris, retraksi Pulmo: vesikuler, wh -, rh Jantung: S1 S2 tunggal, murmur Abdomen: ascites -, met -, bising usus
+, hepar dan lien tidak teraba, turgor
baik
Genitalia: DBN
Ektremitas: akral hangat, oedema -,
CRT < 2 detik. Ptekial Rash cruris D &
S, antebrachii D & S
Status neurologis: GCS 456
Pemeriksaan Lab
Hb : 11,1 g/dl
Hct : 33%
Leukosit 8530/mm3
Trombosit : 28.000/mm3
Ig G Anti Dengue : Negatif
Ig M Anti Dengue : Positif
Assessment
Dengue Fever dd DHF
Mild Malnutrition
Planning
Terapi:
Bed rest
Assering 700cc/24 jam
Sanmol injeksi 4 x 70 mg (bila
Suhu 38C)
Zinc tablet 1 dd tab I
Curvit syrup 1 dd cth
Trolit 2 x 1 sacc
Makan dan minum ditingkatkan
Diagnosa: DL ulang
Monitoring:
Tanda tanda vital (Suhu, akral)
Hematokrit
Tanda kebocoran plasma

Tanda kebocoran plasma

Frekuensi BAB
Hematokrit
Tanda kebocoran plasma

6 Juni 2015
Sakit hari ke: 7

7 Juni 2015
Sakit hari ke: 8

Subjektif
Keluarga mengatakan Panas (-) Batuk
(-) Pilek (-) Muntah (-) Sesak (-)
BAK +, jernih. BAB +, lembek warna
kuning. Makan/minum +/+ Ruam di
tangan dan kaki berkurang. Bengkak
berkurang
Objektif
KU: cukup
Kesadaran: CM
Suhu: 37,7oC
RR: 35 x/menit
HR: 110 x/menit

Subjektif
Keluarga mengatakan Panas (-) Batuk
(-) Pilek (-) Muntah (-) Sesak (-)
BAK +, jernih. BAB +.
Makan/minum +/+ Ruam di tangan
dan kaki semakin berkurang. Bengkak
berkurang
Objektif
KU: lemah
Kesadaran: CM
Suhu: 37oC
RR: 27 x/menit
HR: 106 x/menit

K/L: a/i/c/d: -/-/-/Pembesaran KGB


Palpebra oedema +
PCH Dada: simetris, retraksi Pulmo: vesikuler, wh -, rh Jantung: S1 S2 tunggal, murmur Abdomen: ascites -, met -, bising usus
+, hepar dan lien tidak teraba, turgor
baik
Genitalia: DBN
Ektremitas: akral hangat, oedema-,
CRT < 2 detik. Ptekial Rash
antebrachii D & S, cruris D & S
Status neurologis: GCS 456, kaku
kudukPemeriksaan Lab
DL
Hb : 10,0 g/dl
Hct : 29%
Leukosit:9260/mm3
Trombosit: 47.000/mm3
Eritrosit : 4,2 juta/L

K/L: a/i/c/d: -/-/-/Pembesaran KGB


Palpebra oedema PCH Dada: simetris, retraksi Pulmo: vesikuler, wh -, rh Jantung: S1 S2 tunggal, murmur Abdomen: ascites -, met -, bising usus
+, hepar dan lien tidak teraba, turgor
baik
Genitalia: DBN
Ektremitas: akral hangat, oedema -,
CRT < 2 detik Ptekie Cruris D & S
Status neurologis: GCS 456, kaku
kuduk -

Assessment
DHF Grade II
Mild Malnutrition
Planning
Terapi:
Bed rest
Aff infus
Sanmol injeksi 4 x 70 mg (bila
Suhu 38C)
Zinc tablet 1 dd tab I
Curvit syrup 1 dd cth
Trolit 2 x 1 sacc
Makan dan minum ditingkatkan
Diagnosa: DL ulang
Monitoring:
Tanda tanda vital (Suhu, akral)
Hematokrit
Tanda kebocoran plasma

Assessment
DHF Grade II
Mild Malnutrition
Planning
Terapi:
Zinc tablet 1 dd tab I
Curvit syrup 1 dd cth
Trolit 2 x 1 sacc
Makan dan minum seperti biasa
Diagnosa: Monitoring: DL ulang

Pemeriksaan Lab
DL
Hb : 9,4 g/dl
Hct : 27%
Leukosit: 11990/mm3
Trombosit: 47.000/mm3
Eritrosit : 4,0 juta/L

23

Tanggal 7 Juni 2015: anak dibawa keluar rumah sakit dengan pulang paksa

Gambar 8: Ptekie spontan cruris


dextra pada hari panas ke-4

Gambar 9: Ptekie spontan cruris


sinistra pada hari panas ke-4

Gambar 10:Odema palpebra diamati


pada hari ke-5 sakit

24

Gambar 11: Ptekial rash (ruam konvalesen) pada cruris dextra dan sinistra
pada hari panas ke-6

Gambar 12: Ptekial rash (ruam konvalesen) pada


cruris dextra dan sinistra pada hari panas ke-6

Gambar 13: Ptekial rash (ruam konvalesen) pada


antebrachii dextra dan sinistra pada hari panas
ke-6

25

Gambar 14: Ruam konvalesen mulai menghilang pada,


diamati pada hari panas ke-8

Gambar 15: Ruam

konvalesen mulai menghilang, diamati pada hari

panas ke-8

26

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. RESUME
Bayi laki-laki, 10 bulan 17 hari, diibawa ke IGD RSUD Dr. Moh.
Saleh dengan keluhan panas sejak 3 hari lalu, disertai batuk grok-grok dan
pilek dengan sekret warna bening. Panas naik turun, dengan penggunaan obat
penurun panas, namun kecenderungan panas tinggi. Panas muncul terlebih
dulu sebelum batuk dan pilek. Tidak ada sesak nafas dan sianosis. Muntah 2
kali saat akan dibawa ke IGD, isi muntahan air dan susu, tidak ada lendir
maupun darah. Nafsu makan menurun dan minum makin banyak, anak
terlihat haus terus menerus. BAK seperti biasa, warna kuning jernih, tidak
berbuih, tidak merah. Didapatkan mata cowong. BAB cair 2x sebelum
dibawa ke IGD cairan dan ampas, tidak ada lendir maupun darah. Riwayat
MRS sebelumnya tidak ada. Riwayat asma, sesak napas, alergi dan kejang
tidak didapatkan. Keluarga pasien tidak ada yang menderita sakit seperti ini,
tidak ada yang memiliki riwayat alergi, sesak napas, atau kejang. Namun,
tetangga pasien ada yang baru-baru ini dirawat di rumah sakit karena
menderita demam berdarah. Pasien sudah mendapat imunisasi dasar, hanya
imunisasi campak saja yang belum.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien cukup,
kesadaran compos mentis, nadi 120x/menit, RR 35x/menit, T ax 39.7oC. BB
7 kg dan PB 69 cm, dengan status gizi malnutrisi ringan (87,5%). Dari status
general terdapat kelainan pada mata yaitu mata cowong, didapatkan sekret
pada kedua hidung. Pembesaran KGB tidak didapatkan, faring tidak
hiperemi, jantung dan paru dalam batas normal, turgor baik, akral hangat dan
CRT < 2 detik.
Dari pemeriksaan penunjang yang menunjukkan kelainan adalah: Dari
hasil lab darah lengkap (2/6/2015) didapatkan penurunan leukosit yaitu
4360/mm3 (leukopenia) dan penurunan trombosit yaitu 50.000/mm3
(trombositopenia). Dengan Hb 10,9 g/dl dan Hematokrit 32%.

27

Dari follow up hari panas ke 4 (3/6/2015) didapatkan anak masih


demam tinggi serta adanya peningkatan frekuensi BAB cair hingga 6x dalam
24 jam sehingga memenuhi kriteria diare akut dan diagnosa ditambahkan.
Selain frekuensi BAB yang meningkat didapatkan adanya manifestasi
perdarahan spontan berupa ptekie pada cruris dextra dan sinistra.
Pada follow up hari panas ke 5 (4/6/2015) masih didapatkan ptekie
pada cruris dextra dan sinistra, didapatkan odema palpebra serta ruam pada
wajah dan dada pasien. Dengan hasil DL ulang didapatkan penurunan
trombosit 27.000/mm3, peningkatan hematokrit menjadi 36%, dengan
peningkatan enzim hati Alkali Phospatase 162 U/L, SGOT 226 U/L, SGPT
70 U/L.
Pada follow up hari panas ke 6 (5/6/2015) didapatkan ptekial rash
pada cruris dextra dan sinistra dan antebrachii dextra dan sinistra, masih
didapatkan odema palpebra. Hasil DL ulang didapatkan peningkatan
trombosit

28.000/mm3,

penurunan

hematokrit

menjadi

33%,

hasil

pemeriksaan serologis Ig G Anti Dengue negatif danIg M Anti Dengue


positif, dengan kesimpulan infeksi primer virus dengue.
Pada follow up hari panas ke 7 (6/6/2015) masih didapatkan ptekial
rash pada cruris dextra dan sinistra dan antebrachii dextra dan sinistra mulai
menghilang, odema palpebra sudah berkurang. Hasil DL ulang didapatkan
peningkatan trombosit 47.000/mm3, penurunan hematokrit menjadi 29%, dari
nilai hematokrit didapatkan konfirmasi adanya hemokonsentrasi sebesar 25%
sehingga diagnosa Dengue Fever disingkirkan dan pasien didiagnosa Dengue
Hemorrhagic Fever grade II.
Pada follow up hari panas ke 8 (7/6/2015) ptekial rash pada cruris
dextra dan sinistra dan antebrachii dextra dan sinistra makin menghilang,
tidak didapatkan odem palpebra. Hasil DL ulang didapatkan nilai trombosit
tetap 47.000/mm3, penurunan hematokrit menjadi 27%. Pada hari ke 8 sakit
ini keluarga membawa pasien pulang paksa. Pasien dirawat di RSUD Moh.
Saleh sejak 2 Juni 2015 sampai 7 Juni 2015.

28

4.2. DISKUSI
Pada pasien keluhan panas sejak 3 hari, panas naik turun, dengan
penggunaan obat penurun panas, namun kecenderungan panas tinggi. Hal ini
sesuai dengan perjalanan klinis DF maupun DHF yaitu demam mendadak
tinggi selama 2-7 hari. Demam pada penderita DF maupun DHF juga
memiliki kecenderungan terus tinggi. Menurut PPM IDAI biasanya panas
disertai lesu, tidak mau makan dan muntah, juga dapat ditemukan diare
kadang-kadang, serta ditemukan nyeri kepala, nyeri otot dan nyeri perut.13
Hal ini sesuai dengan keadaan klinis yang didapatkan pada pasien, yaitu
didapatkan muntah 2x sebelum dibawa ke IGD dan nafsu makan pasien
cenderung menurun. Pada pasien juga didapatkan diare selama 3 hari awal
pasien di RS, dengan frekuensi yang cukup sering 3-6x, yang sesuai pula
degan manifestasi klinis Demam Dengue. Selain demam, diare, mual serta
nafsu makan menurun, pada pasien didapatkan pula batuk dan pilek dengan
sekret jernih. Gejala non spesifik seperti batuk pilek dan diare berturut-turut
dapat tampak pada sekitar 39% dan 28% anak dengan IVD.9 Demam
didapatkan pada 100% bayi penderita infeksi dengue, baik, DF maupun
DHF.9 Penurunan nafsu makan juga dapat merupakan manifestasi dari DHF
pada bayi ditemukan pada 38% dari penelitian di Nicaragua9. Namun
presentase gejala klinis non spesifik ini ditemukan bervariasi pada berbagai
penelitian yang dilakukan di berbagai tempat. Pada penelitian Husada di
Surabaya didapatkan demam, diare, dan hepatomegali merupakan gejala dan
tanda klinik yang sering.5 Virus dengue yang telah masuk ketubuh penderita
akan menimbulkan viremia. Hal tersebut menyebabkan pengaktifan
complement sehingga terjadi komplek imun Antibodi virus pengaktifan
tersebut akan membetuk dan melepaskan zat (3a, C5a, bradikinin, serotinin,
trombin, Histamin), yang akan merangsang PGE2 di Hipotalamus sehingga
terjadi termo regulasi instabil yaitu hipertermia. Data tahun 2000
menyebutkan

muntah (60%), batuk (55%) dan diare (40%) sebagai gejala

klinik yang paling banyak didapatkan pada bayi dengan DBD di luar kriteria
WHO.5 Dari data ini dapat dilihat bahwa manifestasi awal DHF pada bayi

29

mungkin non spesifik dan dapat menyerupai gejala infeksi saluran nafas atas,
ataupun

gangguan

gastrointestinal

berupa

diare.

Oleh

karena

itu

kemungkinan diagnosa DF maupun DHF harus selalu dipikirkan pada setiap


bayi dengan keluhan panas, baik dengan atau tanpa gejala penyerta lain.
Demam pada penderita DHF mungkin tidak bisa dibedakan dengan berbagai
demam akibat berbagai agen infeksi lain, oleh karena itu manifestasi
perdarahan pada anak yang sedang demam perlu dicari, untuk memperkuat
diagnosa. Perlu diingat pula demam tinggi yang timbul akibat infeksi virus
Dengue, dapat menyebabkan presipitasi terjadinya kejang pada anak-anak
dengan ataupun tanpa riwayat kejang demam sebelumnya terutama pada anak
usia 6 bulan hingga 5 tahun, terutama pada anak-anak dengan ambang batas
kejang yang rendah dan kenaikan suhu tubuh yang overshoot. Pemberian
antipiretik-analgetik pada bayi dengan DHF sangat berguna untuk
menurunkan suhu tubuh, yang dapat mencegah terjadinya kejang demam,
selain itu dapat juga berfungsi sebagai analgetik terhadap nyeri kepala, nyeri
otot dan nyeri perut yang mungkin saja dialami oleh bayi tapi tidak dapat
dikeluhkan karena belum dapat berbicara dan bayi hanya menangis.
Hepatomegali merupakan tanda dari pemeriksaan klinis yang sering
ditemukan pada bayi dengan DHF, menurut penelitian pada periode 20032005 di Petchaburi Thailand menjumpai 14 bayi dengan DHF, hepatomegali
ditemukan pada keseluruhan kasus.5 Namun pada kasus pasien ini
hepatomegali tidak ditemukan dari awal hingga akhir perjalanan klinis
penyakit.
Pada pasien, diagnosa awal sebelum didukung oleh hasil pemeriksaan
laboratorium adalah diare cair akut, vomiting dan rinitis serta dehidrasi
sedang. Diare cair akut didiagnosa setelah dilakukan follow up di ruangan,
karena keadaan klinis pasien pada saat datang masih mengalami diare 2 kali
saja, hal ini belum memenuhi kriteria diare cair akut yaitu diare lebih dari 3
kali dan berlangsung kurang dari 14 hari. Diagnosa vomiting didapat dari
manifestasi klinis pasien yang mengalami muntah 2 kali sebelum dibawa ke
RS. Diagnosa rinitis ditegakkan berdasarkan data batuk grok-grok dan pilek

30

dengan

lendir

jernih

pada

pasien,

lendir

yang

jernih

cenderung

mengindikasikan infeksi virus, serta pada pemeriksaan kepala tidak


ditemukan hiperemi pada faring, sehingga menyingkirkan diagnosa faringitis.
Selain diagnosa diatas, pada pasien juga ditegakkan diagnosa dehidrasi
sedang berdasarkan tanda yang didapatkan pada pasien yaitu mata cowong
dan anak cenderung haus dan banyak minum, anak tidak rewel dan turgor
masih baik (>2 detik). Dehidrasi pada pasien dapat timbul sebagai akibat dari
adanya diare dan vomiting yang menyebabkan kehilangan cairan dan
elektrolit dari tubuh. Dehirasi sedang pada pasien kemudian segera diatasi
dengan rehidrasi, dengan cara pemberian cairan RL yang mengandung
Kalium yang cukup tinggi, mengingat ekskresi dari saluran cerna terutama
banyak mengandung kalium. Pada pasien juga diusulkan pemeriksaan Serum
Elektrolit untuk mengetahui adanya gangguan elektrolit akibat adanya
dehidrasi dan sekresi elelktrolit dari saluran cerna.
Pada pasien setelah follow up selama 1 hari post MRS baru
didapatkan manifestasi perdarahan, berupa ptekie spontan pada cruris dextra
dan sinistra. Penurunan jumlah trombosit memudahkan terjadinya perdarahan
pada pembuluh darah kecil seperti kapiler yang bermanifestasi sebagai bercak
kemerahan. Perdarahan terbanyak adalah perdarahan kulit/petekie (58%), dan
SSD dialami oleh 32% dari seluruh bayi dengan IVD.5 Hal ini sesuai dengan
kriteria diagnosa DHF yaitu didapatkan manifetasi perdarahan, minimal uji
torniquet positif. Uji torniquet dan pengukuran tekanan darah tidak dilakukan
secara rutin pada pasien bayi. Pada pasien juga tidak dilakukan tes torniquet,
dengan alasan ketidaknyamanan pada anak bayi dan adanya pemeriksaan
penunjang lain yang lebih spesifik. Pemeriksaan tes torniquet (Rumple Leed)
dapat positif dalam keadaan lain selain infeksi Dengue yaitu pada keadaan
defisiensi vitamin C, ITP, dan Henoch Scolein purpura. Tanda perdarahan
bisa didapatkan baik pada penderita DF maupun DHF, oleh karena itu dalam
menentukan diagnosa DHF selain tanda perdarahan perlu dibuktikan adanya
kebocoran plasma. Tanda kebocoran plasma antara lain adanya peningkatan
hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin,

31

penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan


dengan nilai hematokrit sebelumnya. Tanda kebocoran plasma lain seperti
efusi pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia. Pada pasien tanda
kebocoran plasma yang ditemukan yaitu adanya hemokonsentrasi sebesar
25% yang mendukung diagnosa DHF. Pada pasien tidak ditemukan asites
maupun efusi pleura.
Pemeriksaan penunjang sederhana yang dapat dilakukan untuk
menetapkan diagnosa DF maupun DHF adalah dengan melakukan
pemeriksaan

darah

lengkap

untuk

menilai

adanya

leukopenia,

trombositopenia dan kemungkinan adanya hemokonsentrasi. Leukopenia


didapatkan pada infeksi oleh agen viral, dimana keadaan trombositopenia
disertai leukopenia lebih spesifik mengarah pada infeksi virus dengue,
terutama bila disertai dengan klinis panas. Selain akibat infeksi virus,
leukopenia dapat terjadi pada sepsis, leukimia, anemia aplastik, gangguan
sistem imun (HIV/AIDS, SLE, Remathoid Artritis), limfoma Hodgkin,
defisiensi folat, zink, cuprum. Keadaan trombositopenia juga dapat
dihubungkan dengan berbagai kelainan lain seperti anemia aplastik, sepsis,
ITP (Idiopatik Trombositopenik Purpura), HUS (Hemolitik Uremik
Syndrome), penggunaan obat-obatan seperti sulfonamide, carbamazepine,
digoxin, kina, dll. Hemokonsentrasi 20% merupakan syarat diagnosa
DHF menurut WHO.6 Sama seperti keadaan trombositopenia serta
leukopenia, hemokonsentrasi dapat pula ditemukan pada keadaan selain DHF,
seperti

dehidrasi.

Pada

keadaan

dehidrasi

saja

dapat

ditemukan

hemokonsentrasi, namun biasanya tidak disertai adanya trombositopenia.


Oleh karena itu interpretasi pemeriksaan penunjang tidak dapat dilakukan
secara sepihak saja, melainkan diinterpretasikan secara bersama-sama dengan
pemeriksaan penunjang lain didukung dengan data keadaan klinis pasien.
Anamnesa dan pemeriksaan fisik memegang peranan paling penting dalam
menegakkan diagnosa pada sebagian besar pasien, namun dalam keadaan
tertentu, misalnya pada DHF 2 hal ini saja tidak cukup, karena diperlukan

32

data pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis. Pada pasien


didapatkan tromositopenia dan leukopenia pada DL pertama kali, hasil ini
didukung dengan keadaan klinis pasien mendukung diagnosa DF dengan
diagnosa banding DHF, karena bukti hemokonsentrasi ataupun kebocoran
plasma belum ditemukan. Dengan penegakan diagnosa DF dapat dianalisis
bahwa manifestasi panas, diare, mual, muntah, nafsu makan menurun, batuk
dan pilek merupakan gejala dari infeksi virus Dengue pada pasien ini.
Keadaan

hemokonstentrasi

dan

dehidrasi

dapat

menunjukkan

hasil

laboratorium yang sama yaitu peningkatan hematokrit, dimana pada pasien


keadaan hemokonsentrasi terjadi bersamaan dengan dehidrasi. Tanda yang
dapat digunakan untuk membedakan kedua kondisi ini adalah melihat
parameter lain, yaitu adanya trombositopenia pada pasien. Trombositopenia
terjadi akibat pemendekan umur trombosit akibat destruksi berlebihan oleh
virus dengue dan sistem komplemen (pengikatan fragmen C3g); depresi
fungsi megakariosit, serta supresi sumsum tulang.
Menurut WHO, adanya hemokonsentrasi dan trombositopenia secara
bersamaan mengindikasikan DHF.6 Hemokonsentrasi diketahui dengan cara
membandingkan nilai hematokrit tertinggi dan terendah kemudian dihitung
presentase selisih hematokrit tersebut dimana pada DHF hemokonsentrasi
bermakna dengan nilai 20%. Nilai hematokrit tertinggi biasanya didapatkan
pada fase kritis dimana terjadi kebocoran plasma dan adanya kemungkinan
terjadi shock, dan nilai hematokrit akan berangsur-angsur menurun pada fase
konvalesen. Parameter lain yang dapat digunakan adalah terapi cairan
rehidrasi. Pada kondisi dehidrasi, bila dilakukan pemeriksaan ulang terhadap
nilai hematokrit akan terjadi penurunan yang nyata setelah kondisi pasien
terehidrasi. Keadaan ini tidak terjadi pada pasien ini, membuktikan bahwa
penurunan hematokrit yang terjadi bukan hanya merupakan manifestasi
dehidrasi saja, melainkan juga merupakan manifestasi DHF dimana terjadi
hemokonsentrasi, yang akan menurun sesuai perjalanan klinis penyakit DHF.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan membuktikan etiologi DHF, yaitu
pemeriksaan serologi dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue.

33

Pemeriksaan diagnostik dapat dilakukan dengan pemeriksaan isolasi virus,


pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi,
yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun,
metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu lama, serta
biaya yang relatif mahal. Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang
berkembang adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen
nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel
yang terinfeksi virus Dengue. Pemeriksaan Antigen NS1 direkomendasikan
WHO sebagai pemeriksaan terbaik pada pelayanan primer, namun
pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan di RSUD Moh. Saleh Probolinggo.
Pengambilan sampel dan pemeriksaan NS1 dapat dilakukan sedini mungkin,
karena telah dapat dideteksi sejak hari pertama febris hingga maksimal hari
ke 5 atau 6. NS1 (Nonstructural Protein 1) adalah produk glikoprotein yang
diproduksi oleh semua flavivirus dan esensial untuk replikasi dan viabilitas
virus. NS1 akan memberikan hasil positif sejak hari pertama febris. Pada By.
Diko sebenarnya masih dapat dilakukan pemeriksaan NS1 dan masih dapat
diharapkan hasil yang positif karena pasien datang pada hari ke 3 panas.
Pemeriksaan NS1 sebenarnya sangat bermanfaat pada By. Diko seandainya
dilakukan, sebab kecurigaan IVD pada By. Diko cukup besar karena adanya
tetangga pasien yang terdiagnosa DB pada sekitar 2 minggu sebelum pasien
sakit. Pemeriksaan NS1 bisa digunakan sebagai konfirmasi diagnosa dini
pada IVD. Hasil pemeriksaan imunoserologi pada pasien yaitu IgM positif
dan IgG negatif dimana sampel darah diambil pada hari ke-5 sakit. Waktu
pengambilan sampel penting diperhatikan karena perbedaan waktu
terdeteksinya antibodi di dalam darah. IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5,
meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada
infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi
sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.5 Dari pemeriksaan serologis
disimpulkan bahwa infeksi dengue pada By.Diko adalah infeksi dengue
primer. Manifestasi infeksi primer pada bayi, anak maupun dewasa sering
nampak sebagai demam yang tidak terdiferensiasi dari infeksi viral lain

34

dengan gejala penyerta yang sering berupa gejala sistem pernafasan dan
gastrointestinal, serta dapat timbul ruam makulopapular. Namun infeksi
primer pada bayi di daerah endemis dengue lebih sering bermanifestasi berat
sebagai DHF dan kadang-kadang DF. Penelitian di dua rumah sakit di
Vietnam menjumpai proporsi infeksi primer hampir 100% diantaranya
menjadi DHF/DSS.5 Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa DHF/SSD
pada bayi biasanya timbul pada infeksi dengue primer dengan hipotesis
bahwa beratnya penyakit berhubungan dengan antibodi yang ditransmisikan
secara vertikal dari ibunya.5 Bayi di bawah usia 1 tahun yang pada keadaan
normal memperoleh antibodi IgG anti dengue dari ibunya, keadaan ini
menyebabkan bayi rentan mengalami DHF/DSS pada infeksi primer.
Menghilangnya antibodi yang diturunkan dari ibu tersebut terbukti
berhubungan dengan usia puncak IVD pada bayi, risiko DHF bayi muncul
apabila antibodi maternal mencapai kadar subneutralizing.5 Antibodi dengue
dari ibu akan didapatkan pada saat lahir di hampir semua bayi karena
prevalensi tinggi pada populasi dewasa (Balmaseda A et all, data tidak
dipublikasikan).9 Pada saat baru dilahirkan antibodi ibu melindungi bayi dari
infeksi virus dengue, namun selanjutnya setelah IgG dikatabolisasi sehingga
kadarnya terus menerus menurun, risiko mengalami DHF/DSS meningkat.
Antibodi yang diturunkan dari ibu akan menghilang pada 3, 4, 6, dan 9 bulan
bertut-turut 3%, 19%, 72%, dan 99%. Setelah mencapai usia satu tahun,
seluruh antibodi terhadap virus dengue yang didapat dari ibunya telah
musnah.5 Antibodi itu umumnya adalah IgG subklas 1 dan mempertahankan
spesisitasnya terhadap baik protein struktural maupun non struktural. IgG
subklas 1 mungkin juga berperan besar dalam aktivasi komplemen dan
terjadinya kebocoran plasma. Proses patogenesis yang dijumpai pada bayi
dengan infeksi virus dengue tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dengan model
secondary heterologue infection. Epidemiologi IVD sesuai kelompok umur
(termasuk patogenesis DBD pada bayi) lebih dijelaskan dengan konsep ADE
(antibody dependent enhancement). Derajat penyakit dalam presentasi klinis
IVD pada bayi sangat berhubungan dengan respon imun pejamu. Aktivasi

35

imun selular banyak berhubungan dengan besar derajat presentasi klinis


dengue baik pada infeksi primer bayi maupun pada infeksi sekunder pada
anak yang lebih tua.9 Penemuan tersebut konsisten dengan adanya hubungan
antara besarnya inamasi sistem imun dengan kebocoran plasma.
Peningkatan bermakna kadar IFN-gamma dan IL-10 yang dijumpai pada
anak dengan infeksi dengue sekunder setara dengan bayi yang mengalami
infeksi primer.9 Peningkatan sitokin tersebut berkorelasi dengan gambaran
klinis dan laboratoris.Temuan ini konsisten dengan studi yang menunjukkan
bahwa penyakit akibat DEN2 adalah terutama terkait dengan infeksi
sekunder, sedangkan DEN1 dan DEN3 dapat menyebabkan penyakit gejala
dan DHF / DSS pada infeksi primer (Balmaseda A et all, data tidak
dipublikasikan).9 Namun pada pasien tidak dilakukan pembuktian serotipe
virus mana yang menimbulkan infeksi karena keterbatasan sarana serta biaya.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan fungsi hepar (4/6/15) dengan
hasil nilai bilirubin dalam normal, peningkatan alkali phospatase 162 U/L,
peningkatan SGOT: 226 U/L dan peningkatan SGPT: 70 U/L. Hal ini
menunjukkan adanya gangguan fungsi hatiyang dapat dijelaskan sebagai
akibat destruksi trombosit dan infeksi virus dengue. Destruksi trombosit
terjadi di hepar, lien, dan sumsum tulang. Hal ini mmenyebabkan sering
didapatkan hepatomegali pada pasien DBD terjadi akibat kerja berlebihan
hepar untuk mendestruksi trombosit dan untuk menghasilkan albumin. Selain
itu, sel-sel hepar terutama sel Kupffer mengalami banyak kerusakan akibat
infeksi virus dengue. Penelitian telah menunjukkan peningkatan kadar enzim
hati sebagai indikator awal keparahan penyakit.9 Namun pada pasien tidak
didapatkan tanda hepatomegali.
Tatalaksana pada pasien dengan DHF tergantung pada derajat
keparahan penyakitnya. Penatalaksanaan DHF terdiri dari pemberian cairan
dan perawatan suportif. Pada pasien pemberian carian harian dengan infus
Assering sejumlah 700cc/24 jam yang dihitung dengan rumus kebutuhan
cairan Holliday-Segar berdasarkan berat badan pasien. Penatalaksanaan ini
sebenarnya kurang tepat bila mengacu pada pedoman terapi cairan WHO.

36

Terapi cairan pada DHF Grade I dan II menurut WHO adalah dengan
pemberian cairan awal 7ml/kgBB/jam bila tanda vital, Hb dan Hct stabil,
maka terapi cairan diturunkan menjadi berturut-turut 5ml/kgBB/jam dan
3ml/kgBB/jam. Menurut konsenus IDAI terbaru tentang terapi cairan pada
DHF yang stabil, terapi cairan rumatan dapat diturunkan hingga sebesar
1,5ml/kgBB/jam. Pemberian cairan dilakukan hingga 2x24 jam tanda vital,
Hb dan Hct stabil, tidak ada perdarahan aktif dan diuresis cukup. Bila dengan
terapi cairan awal terdapat perburukan ataupun tidak ada perbaikan secara
klinis, anak tetap gelisah, timbul distres nafas, frekuensi nadi meningkat,
diuresis kurang dan Hb serta Hct tetap tinggi makan terapi cairan dapat
dinaikkan menjadi 10-15ml/kgBB/jam. Bila dengan terapi cairan yang
dinaikkan masih terjadi perburukan klinis maka anak dapat di berikan terapi
cairan koloid ataupun transfusi darah segar sesuai indikasi. Terapi cairan pada
pasien memang tidak sesuai dengan pedoman terapi cairan WHO, namun hal
ini cukup beralasan, karena keadaan klinis pasien stabil dan tidak
menunjukkan tanda perlunya resusitasi cairan. Cairan awal yang dipilih
adalah cairan Kristaloid, dalam kasus ini yang dipilih adalah assering.
Assering dipilih karena keunggulannya yaitu tidak mengandung laktat. Laktat
menimbulkan efek yang merugikan pada pasien infeksi Dengue, dalam kasus
ini DHF, karena metabolisme laktat yang terjadi pada hepar. Dimana pada
kasus ini telah terbukti adanya gangguan fungsi hepar dilihat dari nilai tes
fungsi hepar yang abnormal. Assering mengandung asam asetat yang
metabolismenya terjadi dalam otot sehingga tidak memberatkan fungsi hepar.
Selama terapi cairan pada DHF perlu dimonitor tanda bahaya berupa
kemungkinan terjadinya shock (akral dingin, tensi turun/tidak terukur, CRT
memanjang, pulse pressure melebar) yang memerlukan resusitasi cairan lebih
agresif. Perlu juga dimonitoring tanda-tanda overload terapi cairan yang
dapat bermanifestasi sebagai edema, atau ronki pada paru.
Pada pasien saat fase konvalesen didapatkan ruam ptekial pada tangan
serta kaki, yang lazim disebut dengan shoe and handglove like appearence.
Ruam pada pasien didapatkan mulai hari sakit ke-6 (5/6/2015) dimana ruam

37

didapatkan bersamaan dengan nilai trombosit yang mulai menunjukkan tren


meningkat. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan ruam konvalesen
muncul pada fase konvalesen. Ruam ini dapat muncul baik pada penderita
DF maupun DHF. Ruam konvalesen memiliki karakteristik berupa ptekial
konfluens yang mengelilingi area kulit normal yang berwarna pucat dan
tersebar. Ruam ini sering digambarkan sebagai white island in the sea of
red. Pasien pulang paksa pada hari ke-8 panas, dengan keadaan sudah bebas
panas 2 hari, gejala klinis telah membaik, makan dan minum baik, tidak ada
distres nafas, nilai hematokrit cenderung turun ke nilai normal, dan hitung
trombosit 47.000/mm3. Keadaan pasien pada saat pulang telah cukup baik
dan stabil, namun berdasarkan kriteria pemulangan pasien, masih ada kriteria
pasien pulang yang belum terpenuhi. Kriteria pemulangan pasien MRS
dengan infeksi virus Dengue antara lain tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik, nafsu makan membaik, secara klinis tampak perbaikan, tidak ada
distress pernafasan, tiga hari setelah syok teratasi, hematorit stabil, jumlah
trombosit > 50.000/ml. Kriteria pemulangan pasien yang belum terpenuhi
pada saat pemulangan By. Diko adalah hitung trombosit lebih dari
50.000/mm3. Pemulangan pasien sebelum nilai hitung trombosit lebih dari
50.000/mm3 memiliki resiko kemungkinan terjadinya perdarahan walaupun
perjalanan penyakit pasien telah memasuki fase konvalesen dan memiliki tren
jumah trombosit yang semakin meningkat. Prognosis pada pasien adalah
baik, karena selama perjalanan penyakit, secara klinis tidak ditemukan tanda
syok dan keadaan klinis pasien stabil.

4.3. TANYA JAWAB


1. Manifestasi klinis pada infeksi primer dan infeksi sekunder oleh virus Dengue
apakah dapat dibedakan dari gejala klinisnya? Membedakan infeksi primer dan
sekunder apakah berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang saja?
Manifestasi klinis pada infeksi Dengue primer dan sekunder dapat sama ataupun
berbeda, namun biasanya manifestasi klinis infeksi Dengue primer akan muncul
sebagai demam yang tidak spesifik maupun asimptomatis, karena belum adanya
38

antiodi spesifik yang terbentuk terhadap virus Dengue sehingga respon terhadap
infeksi belum memberikan gejala yang hebat. Infeksi sekunder oleh virus
Dengue biasanya memiliki manifestasi lebih berat daripada infeksi primer,
biasanya timbul sebagai DF ataupun DHF dan bila terdapat komorbid atau
koinfeksi dapat bermanifestasi sebagai Expanded Dengue Syndrome. Pada
laporan kasus infeksi pada By. Diko adalah infeksi primer namun memberikan
gejala klinis sebagai DHF, manifestasi infeksi primer pada bayi, anak maupun
dewasa seharusnya nampak sebagai demam yang tidak terdiferensiasi dari
infeksi viral lain. Namun bayi di daerah endemis Dengue seperti By. Diko
memiliki antibodi yang ditransmisikan secara vertikal dari ibunya. Karena
sebagian besar orang dewasa di daerah endemis memiliki antibodi terhadap virus
Dengue. Infeksi primer dan sekunder terhadap virus Dengue hanya dapat
dibedakan dengan melihat pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan serologis
dengan mengukur kadar Ig G dan Ig M anti dengue.
2. Pada kasua By. Diko, dikatakan mengalami infeksi primer yang ditandai dengan
Ig G anti dengue negatif pada pemeriksaan serologis dan Ig M positif. Pada
patogenesa dikatakan infeksi pada By.Diko sesuai konsep ADE yaitu terdapat
antibodi pada tubuh pasien dan antibodinya didapatkan dari transfer maternal,
seharusnya di dalam tubuhnya terdapat Ig G anti dengue, mengapa memberikan
hasil negatif?
Bayi di bawah usia 1 tahun yang pada keadaan normal memperoleh antibodi IgG
anti dengue dari ibunya. Pada usia dini kelahiran Ig G didalam tubuh bayi akan
melindungi dirinya dari infeksi Dengue, akan tetapi seiring bertambahnya usia
anak kadar antibodi akan semankin turun dan akhirnya menghilang pada usia
diatas 1 tahub. Antibodi yang diturunkan dari ibu tersebut terbukti berhubungan
dengan usia puncak IVD pada bayi, risiko DHF bayi muncul apabila antibodi
maternal mencapai kadar subneutralizing, artinya proteksi pada infeksi dengue
sudah tidak optimal, malah antibodi ini akan mensensitisasi tubuh untuk sintesis
faktor-faktor inflamasi yang akan memberatkan gejala infeksi Dengue. Antibodi
dengue dari ibu akan didapatkan pada saat lahir di hampir semua bayi di daerah
endemis Dengue. Antibodi yang diturunkan dari ibu akan menghilang pada 3, 4,

39

6, dan 9 bulan bertut-turut 3%, 19%, 72%, dan 99%. Tingginya kadar antibodi
berhubungan dengan tingkat keparahan manifestasi infeksi virus Dengue,
kemungkinan bila terkena pada usia yang lebih awal dengan kadar antibodi yang
tinggi, manifestasinya pada bayi dapat lebih hebat. Salah satu cara membuktikan
transfer antibodi ini adalah mengecek kadar antibodi Ig G antidengue pada darah
ibu, hal ini dapat membuktikan bahwa kekebalan pada bayi berasal dari transfer
antibodi secara vertikal pada trimester III kehamilan.
3. Apa alasan memilih assering daripada RL sejak hari pertama pada By. Diko
padahal belum ada bukti gangguan hepar dan hasil tes fungsi hati baru ada pada
hari ke-6?
Assering dipilih sebagai cairan maintenace pada By. Diko walaupun belum ada
bukti gangguan hepar pada pasien adalah berdasarkan patogenesis dari virus
Dengue yang dapat menyerang sel-sel hepar terutama sel Kupffer yang dapat
dilihat dari hasil laboratorium sebagai peningkatan enzim hati. Assering dipilih
karena keunggulannya yaitu tidak mengandung laktat. Laktat menimbulkan efek
yang merugikan pada pasien infeksi Dengue karena metabolisme laktat yang
terjadi pada hepar. Assering mengandung asam asetat yang metabolismenya
terjadi dalam otot sehingga tidak memberatkan fungsi hepar.
4. Mengapa angka kejadian Demam Berdarah Dengue semakin tinggi sekarang
ini? Bagaimana pencegahan yang efektif?
Angka demam berdarah yang semakin tinggi dapat dikaitkan dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan semakin padatnya lingkungan perumahan.
Hal ini mendukung semakin banyaknya transmisi virus Dengue. Selain itu
kemungkinan pencegahan yang dilakukan dimasyarakat kurang maksimal akibat
pengetahuan masyarakat tentang pencegahan terhadap gigitan nyamuk Aedes
aegypti kurang memadai, walaupun 3M plus sudah banyak disosialisasikan.
Pencegahan yang efektif tidak hanya melibatkan masyarakat namun juga dinas
kesehatan, setiap kejadian Demam Berdarah seharusnya dilaporkan dan dinkes
seharusnya merespon dengan studi epidemiologis di daerah tersebut, salah
satunya dikaitkan dengan Angka Bebas Jentik (ABJ), yang seharusnya diatas

40

95%, bila ABJ dibawah 95% mengindikasikan untuk dilakukan tindakan fogging
dan abatisasi.
5. Bila seseorang mengalami SSD jumlah cairan yang diberikan kapan 10ml/kg
BB kapan 20ml/kg BB?
Sesuai dengan tatalaksana SSD menurut WHO dapat diberikan cairan kristaloid
sejumlah 20 ml/kg secepatnya (biasanya dalam 30 menit) dan keadaan klinis
pasien dipantau apakah syok sudah teratasi atau pasien mengalami overload
cairan. Bila syok teratasi pemberian cairan diturunkan perjam menjadi 10, 7, 5,
3, 1.5ml/kg BB/jam. Bila syok tidak teratasi pemberian kristaloid sebanyak
20ml/kg BB secepatnya dapat diulang kembali dan bila perlu dapat ditambahkan
koloid atau plasma 10-20ml/kg BB. Tanda-tanda syok yang membaik yaitu CRT
< 2 detik, akral hangat, kering, merah, nadi kuat angkat, tekanan darah normal
dan terukur sesuai usia, tekanan nadi lebar. Sedangkan tanda-tanda overload
cairan dapat timbul sebagai odem (palpebra, ekstremitas), asites yang semakin
parah, efusi pleura dengan sesak yang bertambah, suara nafas ronki, juga dapat
muncul pada bayi dengan hepatomegali yang muncul mendadak. Tanda overload
cairan dan syok yang teratasi harus dimonitor, dan berdasarkan tanda-tanda ini
berapa kebutuhan cairan serta kapan harus memulai dan menghentikan resusitasi
diputuskan.
6. Apabila seorang anak yang sedang dirawat akibat menderita DF ataupun DHF
kemudian di tengah perjalanan penyakitnya pasien tersebut kembali digigit
nyamuk yang mengandung virus Dengue, apa yang akan terjadi terhadap
perjalanan klinis penyakitnya?
Apabila seseorang telah terinfeksi salah satu serotipe virus Dengue, maka akan
muncul kekebalan spesifik seumur hidup terhadap virus tersebut, namun tidak
memiliki kekebalan terhadap virus serotipe lain, hanya mendapatkan kekebalan
sementara saja terhadap serrotipe virus lain. Maka pada anak yang terinfeksi
virus Dengue, kemungkinan besar anak tersebut akan imun sementara waktu
terhadap infeksi Dengue serotipe lain, sehingga kemungkinan besar virus
serotipe lain tersebut tidak menimbulkan gejala klinis baru. Perjalanan klinis

41

pasien tersebut akan mengikuti perjalanan klinis infeksi virus Dengue yang
menginfeksinya di awal saja.
7. Pemeriksaan NS1 akan mulai positif sejak kapan? Apakah ada tempat untuk
pemeriksaan NS1 pada By. Diko?
Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue.
Pengambilan sampel dan pemeriksaan NS1 dapat dilakukan sedini mungkin,
karena telah dapat dideteksi sejak hari pertama febris hingga maksimal hari ke 5
atau 6. NS1 (Nonstructural Protein 1) adalah produk glikoprotein yang
diproduksi oleh semua flavivirus dan esensial untuk replikasi dan viabilitas
virus. NS1 akan memberikan hasil positif sejak hari pertama febris. Pada By.
Diko sebenarnya masih dapat dilakukan pemeriksaan NS1 dan masih dapat
diharapkan hasil yang positif karena pasien datang pada hari ke 3 panas.
Pemeriksaan NS1 sebenarnya sangat bermanfaat pada By. Diko seandainya
dilakukan, sebab kecurigaan IVD pada By. Diko cukup besar karena adanya
tetangga pasien yang terdiagnosa DB pada sekitar 2 minggu sebelum pasien
sakit. Pemeriksaan NS1 bisa digunakan sebagai konfirmasi diagnosa dini pada
IVD.

8. Nama lain Aedes aegypti?


Stegomyia aegypti

42

43

BAB V
KESIMPULAN

1. Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah manifestasi penyakit infeksi virus


Dengue yang sering dijumpai pada bayi dengan gejala utama demam dan.
Gejala penyerta lain dapat nonspesifik berupa gejala traktus respiratori (batuk,
pilek), gejala gastrointestinal (diare, nyeri perut).
2. Kriteria diagnosis DHF :Demam akut dengan onset durasi 2-7 hari,
manifestasi perdarahan, yang ditunjukkan dengan salah satu diantaranya: tes
tourniquet positif, petekie, ekimosis atau purpura, perdarahan dari mukosa,
traktus gastrointestinal, lokasi injeksi, atau lokasi lain, hitung trombosit 100
000 sel/mm3,terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma (peningkatan
hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, efusi pleura,
asites, hipoproteinemia, hiponatremia)
3. Penatalaksanaan DHF bersifat simtomatik yaitu mengobati gejala penyerta
dan suportif yaitu mengganti cairan yang hilang.
4. Infeksi primer Dengue pada bayi sering bermanifestasi sebagai DHF pada
negara endemis infeksi Dengue, oleh karena itu pemantauan klinis dan
laboratoris yang teliti dapat memperbaiki prognosis dan mencegah komplikasi
syok.

44

DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. 2001. Prevention and control of dengue and
dengue haemorrhagic fever: comprihensive guidelines. New Delhi.
Halaman 5-17.
2. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan RI. 2007.Profil pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan. Jakarta.
3. Departemen Kesehatan RI. 2005. Pedoman tatalaksana klinis infeksi
dengue di sarana pelayanan kesehatan. Halaman19-34
4. Depkes. 2015. KLB demam berdarah dengue di Provinsi Jawa Timur dan
provinsi Sumatera Selatan. Data Bencana Dan Sumber Daya PKK diakses
dari http://www.penanggulangankrisis.depkes.go.id/ 9 Juni 2015.
5. Husada, Dominicus,dkk. 2012. Profil Klinik Infeksi Virus Dengue pada
Bayi di Surabaya. Sari Pediatri , Vol. 13, No. 6, April 2012. Halaman 437444.
6. World Health Organization. 2011. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue

and Dengue Haemorrhagic Fever,

Revised and expanded edition. India.


7. Suharti C. 2001. Dengue Hemorrhagic Fever in Indonesia : The role of
cytocines in plasma leakage, coagulation and fibrinolysis. Dinsdag :
Nijmegen University Press.
8. Wahab, Samik (Editor). 2000. Arbovirus dalam Nelson, Ilmu Kesehatan
Anak. Halaman 1132-1139. Jakarta: EGC.
9. Hamond SN, Balmaseda A, Perez L, Tellez Y, Saborio SI, Mercado JC,
Videa E, et al. 2005. Differences in Dengue Severity in Infants, Children,
and Adults in A-3 Year Hospital-Based Study in Nicaragua; 73(6):106370. diakses dari Pubmed 9 Juni 2015.
10. Hadinegoro SRH, Satari HI, editor. 1999 Perkembangan patogenesis
demam berdarah dengue. Dalam: Demam Berdarah Dengue: Naskah
Lengkap. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Halaman 32-43.

45

11. Kalayanaarooj

S,

Nimmannitya

S.

2004.Guidelines

for

Dengue

Hemorragic Fever Case Management. Bangkok : WHO Collaborating


Centre.
12. Chen, Khie , Herdiman T. Pohan, Robert Sinto. 2009. Diagnosis dan
Terapi Cairan pada Demam Berdarah Dengue dalam Medicinus Vol 22,
No.1, Edisi Maret - Mei 2009. Halaman 3-7.
13. IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Edisi I.

46

You might also like