You are on page 1of 7

HUBUNGAN HOSPES DAN MANFAAT PATOGEN

Kelompok 5:
Alvian Pratiwi
Luluk Husniyah
Niken Eka Agustina
Rizal K Sakti
PENDAHULUAN
Peranan patogen dalam pengendalian yang alamiah maupun buatan terhadap serangga dan tengu
sudah diketahui sejak permulaan sejarah entomologi untuk bidang pertanian, kehutanan, dan kedokteran.
Banyak pengamatan lapangan terhadap usaha pengendalian hama yang muncul dari wabah penyakit.
Meskipun demikian hany sedikit data mengenai terbentuknya patogen dalam populasi normal dan meliputi
contoh penyakit yang tidak selalu mematikan hospes. Semakin banyak aplikasi patogen tentang
pengendalian hama. Ada suatu perbedaan antara patogen alamiah dan preparat biologis. Misalnya yaitu
Bacillus thuringiensis Berliner merupakan satu diantara patogen paling efektif yang dikenal manusia,
keberadaannya di alam jarang terjadi dan jamur enthomopthorous mengakibatkan terjadinya epizootics yang
meluas di alam. Kegunaan praktis pada tanaman yang dibudayakan tidak menimbulkan penyakit. Pada
beberapa kasus seperti virus lalat yang diakibatkan oleh inokulasi patogen dalam jumlah kecil ke dalam
populasi yang utuh menyebarluaskan epizootics yang diakibatkan oleh pengintroduksian materi mikrobial.
Hal ini menunjukkan bahwa banyak patogen yang ada di alam yang digunakan untuk membantu manusia
apabila ditangani sebagaimana mestinya.
INFEKSI VIRUS
Virus serangga dikenal bersifat host specific dan sebagian besar diantara mereka hanya menyerang
satu spesies hospes atau satu kelompok serangga. Mereka dipandang sebagai factor yang bersifat
menurunkan density dependent (tergantung pada tingkat kepadatan) meskipun sifat tanggapannya terhadap
tingkat kepadatan hospes bisa juga tergantung pada adanya jumlah kondisi lingkungan lain maupun kondisi
hospes lain. Mereka terdapat pada kebanyakan lingkungan termasuk habitat diatas tanah maupun dibawah
tanah. Virus melakukan kontak dengan dengan hospes mereka didalam air atau pada daun yang tercemar,
akan tetapi mereka juga dapat dialihkan pada ovipositor parasit atau melalui telur telur betina yang terkena
infeksi. Kebanyakan virus mampu menghasilkan infeksi laten, kemudian akan terjadi sedikit stress dan
menyebabkan epizootics (adanya penyakit secara merata dan pada saat yang sama). Sejumlah besar partikel
virus dihasilkan dari di dalam tubuh serangga yang terkena infeksi (tingkat reproduksi mencapai 105). Virus
polyhedral terlindung sebagai himpunan partikel yang dikelilingi oleh kantung protein biasa. Penyebaran
virus seperti polyhedral ditunjang karena adanya proteksi yang diberikan kepada partikel virus oleh kantung
protein. Setelah itu terdapat responsi dari hospes yang terserang kemudian memproduksi kotoran berair yang
mengandung gumpalan polyhedral dan bergerak menuju puncak tanaman. Selanjutnya tubuh mereka pecah
dan memungkinkan hemolymph mengandung polyhendra pada daun yang berada di bawahnya.
Virus mungkin tidak menghancurkan seluruh populasi sesuatu hospes karena terdapat hospes atau
subpopulasi mempunyai daya bunuh yang berbeda. Virus yang paling mematikan akan hilang setelah
membunuh semua hospes mereka. Misalnya terjadi pada suatu wabah polyhedroes dari ngengat gypsy.
Dimana virus bersembunyi dan tidak terlihat pada pada populasi hospes. Pada virus yang lain (virus
nyamuk, virus yang berbentuk gelendong), penyakit tersebut umumnya akan muncul pada tingkat infeksi
yang rendah dalam kondisi yang normal.
Kekhususan hospes bervariasi antara kelompok virus yang satu dengan kelompok virus yang lain.
Polyhedroses inti dari perut lalat sawfly, granuloses pada Lepidoptera serta densonuoleosis pada ngengat
lilin diketahui memiliki sifat host specific. Keadaan tidak begitu jelas pada Lepidoptera yang gemuk, ketika
virus mencari makan secara langsung tidak menyebabkan infeksi dan terdapat kekurangan reaksi juga pada
infeksi silang. Pada kelompok virus yang lain memiliki kekhususan dimana polyhedral pada tubuh
Lepidoptera dipindahkan pada tubuhn serangga lain yang memiliki hubungan yang dekat. Contoh yang
terjadi adalah virus Tupula yang diinduksi CPV dari Vanessa cardui yang berganti warna mengakibatkan
infeksi pada 20 spesies hospes diantaranya, yaitu Diptera, Lepidoptera, dan Coleoptera.
Pada pemberian dosis yang memadai, kebanyakan virus menampakkan gejala dalam waktu 8 10
hari. Apabila tidak terjadi infeksi primer, tidak akan terjadi infeksi dan tergantung pada kondisi lingkungan
tertentu.

Peralihan peralihan yang frekuensi lebih tinggi, virulensi virus untuk suatu hospes tertentu
mengalami perubahan pada tingkat tertentu. Populasi Pieris brassicae L. Yang ada di lapangan yang berbeda
bervariasi dalam hal tingkat kemungkinann diserang oleh virus granulosis. Hal ini terjadi pada Neodiprion
swainei Middl yang memiliki mortalitas polyhedra pada perutnya dari 39,% sampai 88% dengan dosis yang
sama. Pengalihan (transfer) pertama sangat diperlukan untuk penyesuaian diri terhadap suatu hospes.
Penekatan lebih lanjut pada infeksi oleh virus bisa diakibatkan oleh faktor penyebab stress. Pada
kasus tertentu, protein polyhedral dari hospes lain mampu menimbulkan infeksi akut oleh suatu virus laten
yang berada dalam hospes yang bersangkutan. Suatu faktor penyebab stress yang sangat efisien terhadap
virus laten adalah lamanya periode telur yang mengalami diapause. Pada infeksi ganda microporidia, virus
muncul pertama kali dan mengakibatkan tingkat mortalitas yang tinggi dalam waktu yang lebih singkat
daripada infeksi tunggal. Semakin rendah dosis, semakin tinggi resiko infeksi yang diakibatkan.
Beberapa virus telah digunakan dalam uji coba lapangan dan kebanyakan memberi hasil yang baik.
Inokulum untuk aplikasi semacam ini dihasilkan dari larva insekterium atau materi yang dihimpun di
lapangan. Metode yang digunakan kultur jaringan untuk memproduksi polyhedral. Inokulum virus bersifat
resistan apabila disimpan di dalam lemari pendingin dalam bentuk bangkai mentah atau bubuk polyhedra
kering yang telah dibersihkan. Preparat polyhedral dapat bertahan selama 4 sampai 5 tahun, granulosis
selama 2 sampai 3 tahun, dan polyhedroses cytoplasmic bertahan selama 1 tahun. Untuk aplikasi, Inukulum
dicampur dengan air dan pemulas serta perekat industrial. Suspensi polyhedral di dalam minyak digunakan
sebagai acrosol dan suspensi yang mengandung air di dalam bahan semprotan paling efisien apabila
digunakan untuk melawan instar pertama dari hospes yang mudah terkena serangan. Perlakuan dapat
diterapkan pada areal tanah yang luas atau wilayah yang terbatas, tempat berkembangnya pusat infeksi
sekunder. Usaha mengintroduksikan virus dengan cara melepas binatang dan entomophagus, seperti
Neodiprion sertifer Geof dan Gilpinia heycynia Hartig di Kanada. Sinar Matahri langsung dan pytotoksin
dari tanaman dapat membunuh virus.
INFEKSI OLEH BAKTERI
Bakteri dapat menyebabkan infeksi sementara yang tidak mematikan, akan tetapi infeksi ini pada umumnya
terjadi tanpa dapat dikenali/ diketahui dan hanya beberapa kasus kematian saja yang mungkin diketahui.
Bakteri patogen mengakibatkan penyakit-penyakit pada serangga yang sehat. Bakteri pada umumnya tidak
mampu menembus eksoskeleton yang utuh pada hospes serangga yang mudah terkena serangan. Bakteri
memasuki tubuh serangga melalui makanannya, dan tetap bersembunyi di dalam membrane peritropic
perutnya. Apabila bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka-luka maka akan menimbulkan suatu
septicemia umum yang tidak memusat di dalam jaringan apapun.
Pertahanan utama pada serangga terhadap infesi adalah:
1. Untuk mencegah terjadinya perembesan ke dalam hemocoel dengan sarana penutup atau lapisan kitin
yang kuat.
2. Untuk melenyapkan dengan segera bakteri dalam jumlah kecil yang mungkin akan merusak
pelindung tersebut.
3. Untuk menciptakan kondisi-kondisi di dalam darah yang tidak menguntungkan bagi terjadinya
pelipatgandaan jumlah bakteri.
Patogen Wajib
Patogen wajib mempunyai hospes yang tidak banyak jenisnya, sulit diolah in vitro, dan mempunyai
kemampuan untuk menyerbu jaringan hospes yang peka serangan tanpa bantuan factor-faktor luar seperti
luka atau kerusakan fisis atau kimiawi. Bacillus popilliae Dutky serta bentuk-bentuk yang serupa
menyebabkan penyakit seperti susu (milky disease) pada larva scarabidae dimana mereka mengadakan
pelipatgandaan jumlah yang bersporulasi di dalam darah. Spora-sporanya dicerna oleh larva tersebut di
dalam tanah, akan tetapi belum diketahui dengan jelas bagaimana bakteri tersebut melewati dinding
perutnya.
Patogen wajib mempunyai ceruk-ceruk (tempat tinggal) ekologis yang terbatas yang erat kaitannya dengan
hospes-hospes mereka. Mereka mempunyai tahap resistan (spora dan tahap-tahap vegetative di dalam S.
pluton) untuk membantu mereka bertahan pada saat tidak terdapat hospes. Perut serangga bersifat anaerobic
dan seringkali mengandung alkali. Patogen wajib merupakan anaerob yang kuat (Clostridium) atau toleran
terhadap kondisi yang bersifat anaerob dan pH tinggi. Patogen wajib tidak sepenuhnya menghancurkan
populasi hospes apabila tidak diberikan dalam dosis yang besar karena mereka biasanya hanya terbentuk
pada satu periode saja dalam kehidupan sesuatu hospes, dan beberapa hospes biasanya juga bersifat resistan.

Patogen yang Potensial


Patogen yang potensial tidak menimbulkan kondisi atau hospes khusus agar terjadi infeksi dan selalu
terdapat pada tanah, air, makanan, dan perut-perut serangga. Mereka tidak banyak berlipat ganda di dalam
perut serangga yang sehat dan dengan demikiantidak menghasilkan enzim atau toksin yang cukup memadai
untuk merusak dinding perut dan merusak dinding penghalang. Mereka melintasi dinding apabila serangga
yang bersangkutan mengalami stress misalnya karena asphyxia temporer, berhentinya peristaltis, infoksikasi,
atau kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas patogen lain. Sekali patogen potensial memasuki hemocoel,
jumlah mereka berlipat ganda dan memproduksi suatu septicemia. Kematian bias terjadi akibat infeksi
eksperimental sebanyak 10 hingga 20 sel bakteri saja, dan kurang dari 1000 sel biasanya sudah cukup untuk
mengakibatkan kematian. Pintu masuk yang paling umum adalah luka yang diakibatkan oleh gigitan
predator, karena gigitan spesies sejenis atau karena sebab lainnya.
Patogen yang potensial secara taksonomis bermacam-macam dan meliputi Pseudomonas aeruginosa
(Schroeter), Enterobacter aerogenes (Kruse), Serrata marcescens Bizio, Proteus morganii (Winslow et al.)
Rauss atau Bacillus cereus Frankland dan Frankland. Patogen yang potensial menghasilkan enzim-enzim
proteolitik yang menyebabkan terjadinya perusakan jaringan. Protease tertentu yang mengandung racun
telah dipisahkan dari Pseudomonas aeruginosa yang menyebabkan perusakan enzimatik pada sel dan
jaringan sehingga mengakibatkan serangga mati.
Patogen potensial merupakan bakteri yang bersifat aerobic, lebih toleran terhadap pH yang asam, dan kurang
toleran terhadap pH alkalin. Beberapa patogen potensial misalnya: Serratia marcescens Bizio, Streptococcus
faecalis Andrews, dan Horder atau Cloaca, spp., mampu menimbulkan infeksi pada tubuh serangga dalam
kondisi tertentu dimana terdapat asosiasi yang konstan.
Bacillus turingiensis menghasilkan racun Kristal yang merupakan prototoksin yang diaktifkan apabila
dicerna oleh cairan-cairan yang ada di dalam perut Lepidoptera. Kristalparasporal yang dicerna hanya
meracuni larva Lepidoptera karena pH ususnya tinggi. Apabila biakan Bacillus thuringiensis yang telah
mengalami sporulasi diberikan kepada serangga, satu diantara tiga akibat utamanya akan terjadi, tergantung
pada sulit tidaknya serangga tersebut diserang dan tergantung juga pada besarnya dosis tersebut:
1. Serangga yang diracuni oleh Kristal beracun, dengan segera menjadi lumpuh, menunjukkan adanya
perubahan patologis dalam jaringannya, dan kemungkinan akan mati sebelum pertumbuhan yang
sesungguhnya atau infeksi oleh Bacillus thuringiensis.
2. Serangga menunjukkan tanda keracunan (misalnya berhenti makan) dan rusaknya epitelium midgut
(perut bagian tengah) yang memungkinkan masuknya bakteri ke dalam darah dan berakibat suatu
septicemia yang mematikan dengan atau tanpa terjadinya pertumbuhan bakteri sebelumnya di dalam
perut.
3. Serangga relative tidak rusak oleh kristal karena Bacillus thuringiensis bertindak sebagai suatu
patogen fakultatifatau patogen potensial yang mampu menghasilkan septicemia yang mematikan
apabila hemocoelnya terlibat.
Terjadinya dan Peranannya di Alam
Semua bakteri yang secara langsung dinyatakan sebagai patogen serangga telah didiagnosa di dalam tubuh
serangga. Meskipun demikian epizootic bacterial yang ada di alam dilaporkan ada dalam kondisi yang
serupa (produk yang disimpan, serangga yang ada di dalam koloni, populasi yang tinggal di air segar yang
berada di bawah pengaruh fisik atau kimiawi tertentu). Hanya sedikit yang diketahui peranan patogen
bacterial dalam pengendalian hama serangga di alam yang tidak terdapat pengaruh manusia. Terkadang sulit
memperoleh bukti terjadinya infeksi oleh bakteri karena serangga yang mati akibat penyakit yang
disebabkan oleh bakteri cepat membusuk tanpa meninggalkan bukti pada relung hospesnya.
Pemanfaatan Komersialnya
Terdapat dua bakteri yang diproduksi dan terdaftar secara komersial untuk digunakan dalam usaha
pengendalian serangga di bidang pertanian, yaitu Bacillus popilliae dan Bacillus thuringiensis.
1. Bacillus popilliae secara artifisial disebarkan di wilayah yang didiami oleh kumbang jepang. Spora
dalam dosis besar ditambahkan dalam areal tanah yang diatur menurut suatu pola kisi (grid pattern).
Penyakitnya menyebar dengan perlahan di bawah kondisi alamiah penyebaran buatan manusia.
Bacterium ini tidak mudah bersporulasi di dalam media buatan manusia, dan hanya dapat dihasilkan
di dalam larva hidup yang mengakibatkan tingginya biaya produksi dan sangat membatasi kegunaan
pada kolonisasi di daerah serbuan baru atau pada upaya penanganan di wilayah yang sangat tinggi
nilainya.

2. Bacillus thuringiensis yang bertindak sebagai racun serangga yang spesifik dan keberadaannya di
alam tidak mapan, sebagai suatu sarana penekan populasi yang konstan. Fungsi B. thuringiensis
adalah memproduksi Kristal beracun. Keturunan yang berlainan menghasilkan racunyangkurang
lebih spesifik bagi beberapa serangga tertentu. Racun Kristal tidak berbahaya pada tanaman dan
hewan bertulang belakang, sehingga racun ini lebih aman dan lebih sedikit menimbulkan gangguan
pencernaan daripada bahan insektisida kimiawi dan akan lebih banyak digunakan di masa
mendatang.
Infeksi oleh Jamur
Jamur entomogenous bersifat khusus, terdapat kelompok jamur heterogen yang beradaptasi pada
media yang lebih bersifat proteinaceous dan hanya hidup pada hospes serangga, yaitu Entomophthoraceae,
Chytrids, Blastocladiales, Legenidiales atau Xylariales, dan Cordiceps. Ada pula kelompok yang kurang
bersifat spesifik yang hanya hidup pada serangga serta pada substansi organic lainnya, yaitu Deuteromycetes
dengan genera Bauveria, Metarrhizium, Sorospella, Cephalosporium, dll. Jamur memasuki hospesnya dari
bagian luar setelah mengadakan kontak dengan kulit luar. Sporanya melekat pada hospesnya dengan adhesi
permukaan, dan gerakan menembus ke dalam akan terjadi setelah bergabungnya enzim proteinase, lipase,
dan kitinase yang dihasilkan oleh konidia jamur. Peralihan dilakukan oleh konidia, akan tetapi spora yang
sedang beristirahat (nonaktif), blastospora, dan tubuh hifal juga terlibat. Pada jamur yang tingkatnya lebih
rendah, zoospore memasuki hospesnya bersama dengan makanan atau merembes melalui kulit luar. Umur
spora jamur bervariasi mulai dari beberapa jam di dalam zoospore hingga beberapa bulan di dalam
blastospora dan tubuh hifa atau beberapa tahun di dalam spora yang sedang beristirahat. Infeksi pada
populasi serangga tergantung pada distribusi spora itu di dalam lingkungan yang bersangkutan serta kontak
jamur dengan serangga sasaran. Beberapa penyebab stress abiotic yang umum (kelembapan/uap air,
temperature, dan makanan) dapat menjadikan populasi serangga yang besar peka terhadap infeksi dan wabah
besar mungkin bisa terjadi secara mendadak.
Contoh jamur yang termasuk dalam genera Bauveria adalah B. bassiana memproduksi Beauvericin
yang mengakibatkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan inti sel serangga inang. Seperti umumnya jamur,
B. bassiana menginfeksi serangga inang melalui kontak fisik, yaitu dengan menempelkan konidia pada
integumen. Perkecambahan konidia terjadi dalam 1-2 hari kemudian dan menumbuhkan miselianya di dalam
tubuh inang. Serangga yang terinfeksi biasanya akan berhenti makan sehingga menyebabkan imunitasnya
menurun, 3- 5 hari kemudian mati dengan ditandai adanya pertumbuhan konidia pada integument (Decianto
dan Indriyani, 2009).
B. bassiana juga efektif sebagai ovisida, seperti yang diungkapkan oleh Shi dan Feng (2005) dalam
Decianto (2009) bahwa perlakuan B. bassiana strain SG8702 pada telur T. cinnabarinus mengakibatkan
sebagian besar telur tidak menetas. Kemampuan B. bassiana mengendalikan seluruh stadia perkembangan
tungau menunjukkan bahwa jamur ini mempunyai prospek cukup baik sebagai pengendali hama tungau
(Decianto dan Indriyani, 2009).
Toksin yang dihasilkan oleh B. bassiana antara lain beauverisin, beauverolit, dan isorolit. Toksin
tersebut dapat merusak enzim serta mampu menerobos masuk ke dalam organ dan merusak jaringan atau
organ hemokoel. Kerusakan yang ditimbulkan menyebabkan tidak berfungsinya organ sehingga aktivitas
fisiologi terganggu. Organ yang sering dirusak oleh toksin antara lain otot, saluran pencernaan, saraf,
jaringan lemak, dan saluran pernafasan. Akibatnya gerakan dan pertumbuhan serangga menjadi tidak
normal. Apabila inang telah mati, maka miselium akan tersebar dengan cepat memenuhi ruangan rongga
tubuh, sehingga tubuh inang akan mengeras. Pada kondisi lembab dan suhu hangat (25-300C), hifa akan
menembus keluar integument dan menghasilkan konidia (Robert, 1981 dalam Purnama, dkk, 2003).
INFEKSI PROTOZOA
Spesies-spesies protozoa yang patogenik terhadap serangga pada umumnya termasuk dalam sub
kelompok Mikrosporodia. Telah dikenal kurang lebih 250 spesies mikrospodia yang menyerang serangga.
Tiga jenis mikrosporodia yang telah dikenal antara lain Nosema locustae, N. Acridopagus dan N. Cuneatum
telah di jadikan sebagai agen hayati untuk mengendalikan hama belalang kususnya di Amerika. Penyebaran
mikrosporadia melalui makanan dan dipindahkan dari induk yang terinfeksi keketurunanya. Pengaruh
mikrosporodia terhadap kehidupan inang relatif lambat dan gejala luarnya sangat bervariasi. Mikrosporodia
tersebar luas secara alami dapat menjadi faktor mortalitas yang penting bagi serangga inangnya. Contoh
Protozoa yang dapat dipakai dalam pengendalian hayati adalah Cocodia mampu menginfeksi hama gudang
Tribolium confusum (Sunarno,2012).

INFEKSI NEMATODA
Salah satu komponen di dalam pegendaliaan hayati yang perlu dikembangkan adalah pemakaian
mikroorganisme patogen serangga. Pemanfaatan ini dimungkinkan karena adanya interaksi antara dua
spesies makhluk atas keuntungan yang satu karena memangsa dan yang lain dirugikan karena dimakan
(Oka, 1990). Beberapa mikroorganisme seperti jamur, bakteri, virus, nematoda, dan protozoa telah diketahui
dapat mengurangi populasi serangga hama yang merugikan.
Menurut Poinar dan Thomas (1984), lebih dari 3100 jenis nematoda yang hidup berasosiasi dengan
serangga yang mencakup 11 ordo nematoda dengan 19 ordo serangga. Beberapa nematoda patogen serangga
yang diketahui dapat mengendalikan serangga hama antara lain dari genus Steinernema dan
Heterorhabditis. Mekanisme nematoda dalam pengendalian hayati dengan cara nematoda muda
meninggalkan telur dan masuk kedalam tubuh serangga melalui kutikula dan masuk kedalam homocoel,
setelah berganti kulit beberapa kali maka nematoda dewasa keluar dari tubuh serangga, dan serangga mati
sebelum atau sesudah nematoda keluar. Keuntungan menggunakan nematoda entomopagen adalah
kemampuan mematikan inang sangat cepat, karena serangan nematoda akan mengalami kematian dalam
waktu 24-48 jam setelah aplikasi. Tubuh serangga akan lemas terjadi penurunan aktivitas dan terjadi
perubahan warna tubuh menjadi merah kecoklatan jika terserang Steinernema spp dan hitam jika terserang
Heterorhabditis spp. Nematoda akan berkembangbiak dalam tubuh serangga inang sampai menghasilkan
keturunan yang sangat banyak. Nematoda akan memasuki fase reproduktif yaitu memperbanyak keturunan
apabila populasi nematoda dalam tubuh inang rendah sedangkan bila populasi tinggi akan memasuki fase
infektif. Nematoda stadium ketiga sering disebut juvenil infektif akan keluar dari tubuh serangga dan
berusaha untuk mencari inang baru. Juvenil infektif mampu bertahan hidup lama sampai memperoleh inang
kembali dan fase ini merupakan satu-satunya fase yang bersifat infektif terhadap serangga inang. Contoh
nematoda yang sering digunakan untuk pengendalian hayati adalah : Nematoda Steinernema spp dapat
mengendalikan hama dari Ordo Lepidoptera dan Coleoptera
Nematoda patogen serangga dapat membunuh atau membuat steril salah satu atau beberapa serangga
hama, daya bunuhnya sangat cepat, kisaran inangnya luas, aktif mancari inang sehingga efektif untuk
mengendalikan serangga dalam jaringan, tidak menimbulkan resistensi dan mudah diperbanyak, sehingga
mempunyai potensi sebagai agen pengendali hayati (Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian, 2007). Menurut Chaerani (1996) juvenil infektif aktif bergerak mencari sasaran inangnya,
menginjeksikan bakteri yang disimpan dalam saluran pencernaannya ke dalam tubuh serangga, dan
mematikan serangga dalam waktu relatif singkat (24-48 jam). Beberapa penelitian mengenai nematoda
patogen serangga telah dilakukan. Hasil penelitian Ramos-Rodriguez, Campbell, et all, (2004), menunjukan
bahwa tingkat kematian larva P. interpunctella mencapai 80% setelah di aplikasi nematoda Steinernema,
dan hasil penelitian Nilsen dan Philipsen (2005) melaporkan bahwa nematoda Steinernema bicornutum tidak
efektif dalam mengendalikan larva Dasyneura brassicae (Diptera: Cecidomyidae).
Prospek Masa Depan
Pertumbuhan dan produktivitas suatu tanaman sangat bergantung pada ketersedian hara dan air
dalam tanah, faktor pemeliharaan, faktor lingkungan seperti cahaya, tempereatur, kemasaman areal
pertanamannya serta pemeliharaan dan pencegahan hama dan penyakit (Nurhayati, 2011). Penanggulangan
dan pencegahan hama dan penyakit pada tumbuhan yang disebabkan oleh hama seringkalai menggunakan
insektisida atau bahan kimia lain yang justru berbhaya dan menimbulkan residu kimia di tanah. Resisten
hama serangga terhadap insektisida dan upaya perlindungan lingkungan perlu meningkatkan penggunaan
patogen unutk mengendalikan hama serangga tersebut.
Penyakit yang ditimbulkan serangga relatif bersifat spesifik dan menimbulkan ancaman yang lebih
baik daripada bahan kimiawi terhadap lingkungan atau terhadap organisme non target. Pengembangan
pertanian yang memanfaatkan pengendalian hama ataupun penyakit secara hayati tidak saja akan
memberikan hasil yang efektif, tidak merusak dan mematikan organisme berguna, tidak berdampak negatid
terhdap konsumen ataupun menghasilkan ledakan hama atau penyakit sekunder akan tetapi lebih
berwawasan ramah terhadap lingkungan. Akhir-akhir ini telah banyak dikembangkan pemnfaatan agensia
dari jenis jamur dan bakteri sebagai agensia pengendali hayati mempunyai prospek yang cukup menjajikan
karena selain mudah diperoeh agensia tersbut dapat mencegah timbulnya ledakan OPT sekunder.
Ada dua cara dimana patogen dapat dimanipulasikan untuk mengendalikan serangga. Pertama
dengan metode klasik. Metode klasik ini adalah suatu ptogen diintoduksikan dan disebarkan unutk melawan
suatu hama asing di tempat tinggalnya yang baru, cara ini meliputi penggunaan patogen-petogen dari hama
yang berkaitan dan bahkan kolonisasi atau redistribusi patogen yang dijumpai terdapat pada serangga

pribumi itu sendiri atau pada serangga lain yang berkaitan. Yang kedua, dengan analogi penerapan
insektisida dan meliputi upaya penanganan tanaman dengan dosis patogen yang cukup besar untuk
memberikan perlindungan ekonomis.
Mikroba antagonis atau agens pengendali hayati (APH) penyakit tanaman adalah jasad renik yang
diperoleh dari alam, baik berupa bakteri, cendawan, actinomycetes maupun virus yang dapat menekan,
menghambat atau memusnahkan organisme pengganggu tanaman (OPT) (Hanudin dan Marwoto, 2012).
Berbagai jenis spesies mikroorganisme telah berhasil diisolasi dan dievaluasi keefektifannya sebagai APH
penyakit tanaman dan diformulasi dalam bentuk biopestisida. Kelompok bakteri yang telah digunakan
sebagai APH antara lain adalah Bacillus spp. B. cereus, B. polimyxa, dan B. subtilis. Kelompok cendawan
yang telah digunakan sebagai APH penyakit tanaman adalah Trichoderma harzianum dan Gliocladium sp.
Salah satu kelompok actinomycetes yang telah diteliti dan digunakan sebagai APH penyakit tanaman ialah
Streptomyces spp. Mikroba anatgonis ini mengandung antibiotik yang efektif mengendalikan R. solani, F.
Oxysporum pada kapas. Penggunaan virus sebagai APH penyakit telah dilakukan melalui teknik proteksi
silang, dimana virus lemah diinokulasikan ke tan,an untuk mengendalikan virus patogenik, salah satunya
adalah Carna 5 yang efektif mengendalikan penyakit Cucumber mozaic virus (CMV) pada tanaman sayuran.
Penggunaan APH untuk mengendalikan OPT mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: 1) tidak
berdampak negative terhadap lingkungan, 2) aman bagi musuh alami OPT tertentu, 3) mencegah timbulnya
ledakan OPT sekunder, 4) menghasilkan produk yang bebas residu senyawa kimiawi sintetis, 5) aman bagi
kesehatan manusia, 6) terdapat di sekitar pertanaman sehingga mencegah ketergantungan petani pada
pestisida kimiawi sintetis, dan 7) dapat menurunkan biaya produksi karena aplikasi APH dilakukan satu atau
dua kali dalam satu musim panen. Kelemahannya ialah reaksi efikasi mikroba antagonis terhadap jasad
sasaran lebih lambat dan daya simpan produk lebih singkat dibandingkan dengan pestisida kimiawi sintetis.
Masa kedaluwarsa biopestisida berkisar antara 6-12 bulan. Namun, kelemahan ini dapat diatasi dengan
membuat formula yang efektif (Hanudin dan Marwoto, 2012). Beberapa agensia hayati yang telah diketahui
dapat digunakan dalam pengendalian penyakit secara hayati antara lain jamur dan bakteri, dimana ada
mekanisme masing-masing dalam mengendalikan hama.

Pengendalian hayati juga dapat menggunakan pestisida yang ramah lingkungan yaitu biopestisida.
Biopestisida digolongkan menjadi dua pestisida nabati yang merupakan hasil ekstrasksi bagian tertentudari
tanaman baik dari daun, buah, biji atau akar yang senyawa atau metabolit sekunder dan memiliki sifat racun
terhadap hama dan penyakit tertentu. Pestisida hayati merupakan formulasi mengandung mikroba tertentu
baik berupa jamur, bakteri maupun virus yang bersifat antagonis terhadap mikroba lainnya penyebab
penyakit tanaman atau menghasilkan senyawa tertentu yang bersifat racun baik bagi serangga hama maupun
nematoda penyebab penyakit tanaman (Djunaedy, 2009)
Daftar Rujukan
Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika Pertanian. 2007. Formulasi Insektisida Hayati
Berbahan Aktif Nematoda Pathogen Serangga. http//:www.indobiogen.or.id/produk/NSP.php.
Download 5 28 September 2015.

Campbell. 2004. Biologi Edisi Kelima Jilid III. Jakarta: Erlangga


Chaerani. 1996. Perbanyakan Heterorhabditis indicus (Rhabditida: Heterorhabditidae) pada Larva Tenebrio
molitor (Coleoptera: Tenebrionidae). Makalah disajikan dalam Kongres Nasional 11 dan Seminar
Ilmiah. Perhimpunan Nematologi Indonesia. Jember. 23-24 Juli 1996.
Djunaedy, A. 2009. Biopestisida sebagai pengendalian organisme penggangu tanaman (OPT) yang ramah
lingkungan. Embryo 6 (1) : 88-95.
Hanudin dan Marwoo, B. 2012. Prospek Pengunaan Mikroba Antagonis Sebagai Agens Pengendalian Hayati
Penyakit Utama Pada Tanman Hias Dan Sayuran. Jurnal Litbang Pertanian 31 (1) : 8-14
Huffaker , C. B. & Messenger, P.S.. 1989. Teori dan Praktik Pengendalian Biologis. Jakarta: UI Press.
Nilsen, O. and Philipsen, H. 2005. Susceptibility of Megethes spp and Dasyneure brassicae to
Entomopatogenic Nematodes During Pupation in Soil. BioControl.623-634.Sunarno. 2012.
Pengendalian Hayati (Biologi Control) Sebagai Salah Satu Komponen Pengendalian Hama Terpadu
(PHT). Journal Uniera.1(2):1-12
Nurhayati. 2011. Penggunaan Jamur Dan Bakteri Dalam Pengendalian Penyakit Tanman Secara Hayati Yang
Ramah Lingkungan. Prosiding Semirata : 316-321.
Oka, I.N. 1990. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta: UGM Press.
Poinar, G.O., Jr dan Gerard M. Thomas. 1984. Laboratory Guide to Insect Patogen dan Parasites. New York
and London: Plenum Press.
Purnama, Purin Candra, Sri Juni Nastiti, Jesmandt Situmorang. 2003. Uji Patogenitas Jamur Beauveria
bassiana (Bals.) Vuill. Isolat Magelang Terhadap Aphis Craccivora Koch.. BioSmart. 5 (2) 81-88.
S.,Deciyanto, Dan I.G.A.A. Indrayani. 2009. Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana : Potensi dan
Prospeknya dalam Pengendalian Hama Tungau. Perspektif . 8 (2) 65 73.

You might also like