You are on page 1of 30
Sekolah: | STR TET NET Mendidik? IAA RUAI PRL IN Gerh? SEKOLAH: MENGAJAR ATAU MENDIDIK? 027802 © Kanisius 1998 PENERBIT KANISIUS (Anggota IKAPI) Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281 Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011 Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349 Website : www.kanisiusmedia.com E-mail : office@kanisiusmedia.com Cetakankee 7 6 5 4 Tahun 08 07 06 Tim Editor: Dr. PJ. Suwarno, SH. Dr. Paul Suparno, S.J. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. Drs. F. Kartika Budi, M.Pd. Drs. T. Sarkim, M.Ed. ISBN 979-672-116-3 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit. Dicetak oleh Percetakan Kanisius Yogyakarta Peran Orang Tua dalam Membimbing Anak Menghadapi Dunia Pengajaran.. Orang Tua sebagai Pendidik Tbu Membantu Anaknya?.. Anak Malas Belajar .. Sayang kepada Anak. Maafkan Tia, Papa! BAGIAN KETIGA: MATEMATIKA, SAINS, DAN HUMANIORA ..... Eksak itu Sebetulnya Apa? Matematika di Sekolah Menengah .. Sains? .... Sains sebagai Mata Ajaran Humaniora Siswa SMA Bisa Raih Kematangan Lewat Kurikulum 1984 Kurikulum 1994... Kurikulum yang Relevan SLTP Keterampilan... Apakah Kurikulum 1994 SMU Terlaksana BAGIAN KELIMA: SEKOLAH UMUM DAN SEKOLAH KEJURUAN 137 wens 139 Pengintegrasian Pendidikan .c-1cccn-e-ee-uenenneene SMA Tanpa Jurusan Masalah IPA dan IPS Beberapa Catatan pada Ikhtiar Meningkatkan Mutu Pengajaran..... Ujian Masuk Perintis Il Menelusuri Bakat. Beberapa Gagasan Mengenai Ujian Nasional, Tolok Ukur Pendidikan SMA ........... “Quo Vadis” SPG? Jangan Lupa Daratan 178 BAGIAN KEENAM: IKIP ATAU UNIVERSITAS: IKIP atau Universitas Universitas Pusat Belajar Bernalar Kebebasan Akad erik enema nnnamntnnn 200 Tepatkah Pola Pengajaran Tinggi Kita? .. Taut dan Padan.... snes BAGIAN KETUJUH: VARIASI... Seragam Sekolah ee Konsumen Buku-Buku i ssnsininnnnnininninnininninininiinnsnnnin 218 Sekolah dan Bisnis .. Pemuda Kelas Menengah Tantangan bagi Persekolahan Katolik Kaum Muda dan Modemisasi ...... Persiapian Generasi Muda Menghadapi Teknologi Masa Mendatang 1. Sekolah Lima Hari Seminggu “Ongoing Formation” bagi Guru Seragam a Sekolah Unggul? Kepribadian... Potret Siswa Sekolah Dasar Kita Kepemimpinan.... xiii PENDAHULUAN tidak ada taman kanak-kanak. Kemudian pendidikan sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah umum dijalani di Belanda. Sekolah dasar ditempuh dari tahun 1931-1937 dan sekolah menengah umum ditempuh dari tahun 1937- 1942, Ketika J.G.M. Drost menyelesaikan HBS, Perang Dunia II sedang ber- kecamuk. Jerman menduduki negeri Belanda. Pada waktu itu Drost memasuki Universiteit Nan Amsterdam. Namun, baru kuliah selama satu tahun, univer- sitas itu ditutup oleh pemerintah Jerman dan ia pun dibawa ke Jerman. Di Jerman dia bekerja di pabrik besi. Setelah bekerja di negeri orang selama satu tahun, rupanya mahasiswa Drost tidak betah lagi. Maka dia berusaha melarikan diri dan usaha itu berhasil. Dia berada kembali di negeri Belanda. Dia bersembunyi di sebuah desa dan menyamar sebagai buruh tani selama satu tahun. Selesai Perang Dunia II pemuda Drost masuk Serikat Yesus, yang memang, sudah menjadi rencananya sebelum dibawa ke Jerman. Pada tanggal 1 Fe- bruari 1946 ia masuk novisiat di Mariéndaal. Selesai novisiat ia pulang ke Indonesia pada tanggal 8 Oktober 1948, lalu masuk Girisonta melanjutkan yuniorat sampai bulan Agustus 1949. Setelah itu dia belajar filsafat dan lulus sarjana pada tahun 1952 dengan tesis De Realiteitswaarde van de Wereld bij Sankara (Realitas Kebenaran Dunia pada Sankara). Kemudian dia ditugaskan untuk studi lanjut. Ketika ditanya apa bidang studi yang disukainya, dia menjawab ilmu sejarah, tetapi ijazah yang dimiliki HBS B. Maka dia diminta masuk Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam, yang pada waktu itu hanya terdapat di Bandung. Pada tahun 1952 Frater Drost meninggalkan Yogyakarta dan studi lanjut di Bandung. Gelar sarjana fisika diperolehnya pada akhir tahun 1957, Selama di Bandung ia banyak bergaul dengan kawan-kawan mahasiswa ITB, Frater Drost ikut men- dirikan Himpunan Fisikawan Indonesia. Itu sebabnya dia mempunyai banyak kenalan, yang tersebar baik di kampus-kampus maupun di pemerintahan. Setelah menyelesaikan studinya di Bandung, Frater Drost kembali ke Yogyakarta, tetapi tidak terus bekerja mengamalkan ilmunya, melainkan sekali lagi menempuh studi lanjut. Dalam kesempatan ini bidang ilmu yang ditekuni teologi. Studi ini berakhir tahun 1961 dengan tesis Ilmu Pengetahuan Alam sebagai Jalan Menuju Agama. Namun, kejadian penting yang dialami oleh Frater Drost berlangsung pada tanggal 22 Agustus 1960, waktu dia ditahbiskan men- jadi imam di Yogyakarta. Dengan demikian kini Frater J..G.M. Drost, SJ. menjadi Pater J.I.G.M. Drost, S.J. Dia mendapatkan tahbisan imamatnya dari Mgr. A. Soegijopranoto, SJ., uskup pertama Indonesia. Setelah menyelesaikan 4 studi teologi, Pater Drost menjalani tersiat di St. Andra di Austria dari Sep- tember 1961 hingga Juli 1962. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masa pendidikan Pater Drost ditempuhnya lewat sekolah dasar di negeri Belanda, sekolah menengah di Belanda dan perguruan tinggi setahun di Amsterdam kemudian dilanjutkan di Yogyakarta, Bandung, dan diakhirinya di Yogyakarta, sehingga Pater Drost siap mengabdikan diri untuk berkarya di tengah-tengah kaum muda Indone- sia. Masa Berkarya Sejak masih menjadi mahasiswa di ITB pada tahun 1954, beliau sudah berkecimpung di dalam dunia pengajaran dan pendidikan dengan menjadi asisten di ITB dan PTPG Bandung dari tahun 1955 hingga1957. Setelah menyelesaikan studi teologi dan telah ditahbiskan menjadi imam, ditempatkan di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Sanata Dharma. Sejak bulan September 1962 beliau diangkat menjadi Pembantu Dekan II. Pada tahun 1964 Pater Drost diangkat menjadi Pembantu Dekan I. Karena bentuknya FKIP, maka pejabat tertingginya dekan yang dijabat oleh Pater N. Driyarkara, SJ. Namun, karena Pater N. Driyarkara sebagai guru besar terbang jarang tinggal di Sanata Dharma, maka de facto pimpinan Sanata Dharma adalah Pater Drost. Sementara itu beliau menjadi Minister Domus Kolese Bellarminus. Pada tanggal 11 Februari 1967 Pater Prof. Dr. N. Driyarkara, S.J. wafat, maka terjadi kekosongan rektor, meskipun secara de facto tidak terjadi per- ubahan yang mencolok sebab pimpinan IKIP Sanata Dharma sehari-hari sudah dijalankan oleh Pater Drost sejak sebelum Pater Driyarkara wafat. Namun untuk mengisi kekosongan itu yayasan membentuk presidium, yang menja- lankan tugas rektor sehari-hari dan Pater Drost diangkat menjadi ketua pre- sidium. Setelah menjabat ketua presidium selama satu tahun, beliau diangkat menjadi rektor definitif IKIP Sanata Dharma pada tanggal 1 Januari 1968. Segera beliau mengadakan pembenahan organisasi akademis, adminis- trasi, rumah tangga, dan kemahasiswaan. Dia mulai dengan merevisi statuta, yang pada waktu itu disebut Aturan-Aturan Sanata Dharma. Hal ini dapat dipahami sebab statuta merupakan dasar konstitusional dari semua peraturan yang menentukan hal-hal yang akan dibenahi tersebut. Pada tanggal 1 Januari 1968 itu Rektor Drost meninjau kembali Aturan-Aturan Sanata Dharma yang dirumuskan pada tanggal 7 Desember 1962, waktu Sanata Dharma masih berbentuk FKIP. Dengan demikian, diharapkan statuta dapat mendasari per- kembangan Sanata Dharma sebagai IKIP, Jadi, dapat dikatakan bahwa Rektor 5 Drost-lah yang secara konstitusional mengubah FKIP Sanata Dharma menjadi IKIP Sanata Dharma. Ketika masih berstatus FKIP, pejabat tertinggi dekan dianggap sebagai rektor. Maka pejabat bawahannya para ketua jurusan mempunyai otonomi sangat luas. Mereka masing-masing memimpin jurusannya terlepas dari jurus- an lain, bahkan dalam mencari dosen baru peranan ketua jurusan sangat besar. Dia dibantu oleh sekretariat jurusan yang dipimpin oleh dosen sekretaris jurusan. Jadi, pusat kegiatan akademis serta administrasinya terletak pada setiap jurusan. Hal ini tidak akan berhenti dengan segera meskipun Aturan- Aturan Sanata Dharma sudah diubah. Perubahan statuta yang berlangsung pada masa pimpinan Pater Drost itu dapat digambarkan sebagai berikut. Dalam Aturan-Aturan (Statuta) 1968 itu ditetapkan bahwa pengurus yayasan mengangkat anggota Dewan Pe- nyantun. Dewan Penyantun merupakan badan penasihat pada bidang aka- demis untuk yayasan. Kendati yayasan dan Dewan Penyantun selalu berapat bersama (sebuah kebiasaan yang salah), kedua-duanya harus dibedakan. Yayasan yang mengangkat rektor IKIP Sanata Dharma. Kepengurusan yayasan sebagai berikut: Ketua Yayasan Pater T. Wignyasoepadmo, SJ., Lic. Th., Sekretaris Yayasan R.L. Wahyudi, Wakil Ketua Pater F. Hama, SJ., Lic. Phil; dan anggota-anggotanya terdiri atas Pater L. Moerabi, S.J., Prof. Dr. PJ. Zoetmulder, SJ., dan Dr. R. Hardawirjana, SJ. Ketika Pater Drost menjabat rektor IKIP Sanata Dharma, para pembantu rektor terdiri atas Drs. A. Tutoyo, M.Sc. sebagai Pembantu Rektor I yang memimpin bidang akademis, R.L. Wahyudi sebagai Pembantu Rektor II yang membidangi administrasi, dan Pater Drs. Th. Koendjono, S.J. membidangi kemahasiswaan. Bersamaan dengan perubahan Statuta Sanata Dharma 1968 itu secara resmi ditegaskan bahwa IKIP Sanata Dharma memiliki lima fakultas yang membawahkan tujuh jurusan, yaitu (1) Fakultas Imu Pendidikan membawah- kan Jurusan Pendidikan Umum; (2) Fakultas Keguruan Sastra Seni mem- bawahkan Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris serta Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia; (3) Fakultas Keguruan IImu Sosial membawahkan Jurusan Ilmu Ekonomi dan Jurusan Sejarah Budaya; (4) Fakultas Keguruan Ilmu Eksakta membawahkan Jurusan Ilmu Pasti dan Alam; dan (5) Fakultas Keguruan mu Filsafat/Teologi membawahkan Jurusan Filsafat Teologi. Meskipun secara yuridis formal organisasi IKIP sudah diubah dengan titik berat kegiatan administrasi akademis pada fakultas, dalam prakteknya jurusan masih tetap menjadi pusat kegiatan administrasi akademis. Namun 6 perhatiannya pada pengajaran dan pendidikan cukup tinggi, sesuai dengan minat Pater Drost. Menurut hasil penelitian Lembaga Penyelidikan Pendidikan dan Kuri- kulum (LP3K), lulusan SLTA sangat sulit mengikuti kuliah di perguruan tinggi. Meskipun mereka berbakat, hasilnya tidak memuaskan. Fenomena ini dise- babkan SLTA tidak membekali siswa-siswanya persiapan yang cukup untuk mengikuti kuliah di perguruan tinggi. Kalau keadaan demikian dibiarkan, maka bukan saja mengurangi perkembangan kemampuan mahasiswa yang, bersangkutan, tetapi juga akan menuju ke perkembangan yang salah. Berdasarkan hasil penelitian tersebut Pater Drost mengambil keputusan untuk mengadakan Remedial Program yang dirancang oleh LP3K. Remedial Program itu berupa materi perkuliahan yang diberikan kepada mahasiswa semester satu berupa (1) Bahasa Indonesia, (2) Bahasa Inggris, (3) Introduksi Cara Belajar serta Keterampilan Belajar, dan (4) Logika serta Problem Solving. Setelah itu Remedial Program tersebut ditindaklanjuti secara sungguh-sungguh dalam semester selanjutnya. Kecuali mencurahkan perhatian pada kegiatan belajar mahasiswa baru, Pater Drost sebagai rektor IKIP mempunyai perhatian besar pada pendidikan anak-anak di sekolah menengah. Maka pada tanggal 1 Februari 1967 sebelum menjadi rektor definitif, dia membuka SMP Percobaan IKIP Sanata Dharma yang diasuh oleh alumni dan mahasiswa IKIP Sanata Dharma. SMP Percobaan ini semula dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan para mahasiswa dalam bidang administrasi pendidikan dan merumuskan metode belajar- mengajar yang tepat untuk sekolah menengah yang kelak akan menjadi la- pangan kerja para alumni IKIP Sanata Dharma. Kecuali itu sebenarnya ada tujuan lain yang lebih penting, yaitu untuk membalas budi warga kampung di sekitar kampus IKIP Sanata Dharma dengan memberi kesempatan kepada putra-putrinya yang tidak diterima di SMP negeri dan kurang mampu membiayai sekolah di SMP swasta yang sudah terkenal. Pater Drost_ mem- punyai perhatian besar terhadap SMP Sanata Dharma tersebut sehingga sering mendapat sindiran sebagai “Rektor SMP”. Dalam waktu singkat SMP Sanata Dharma berkembang pesat. Oleh karena itu, banyak anak-anak yang berasal dari luar kampung sekitar kampus Sanata Dharma yang mendaftarkan diri. Mungkin dapat disebut sebagai langkah yang berani dan tepat dari Rektor IKIP Sanata Dharma, yaitu pembukaan Extention Course Jurusan Sastra dan Bahasa Inggris pada tahun 1973. Langkah ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat dan mempunyai prospek yang cerah dalam negara Indonesia yang menjadikan pembangunan sebagai ideologi baru. Setahun kemudian juga 7 bergaul dengan siswa-siswi SMA. Di seminari ini Pater Drost diangkat menjadi rektor. Jabatan rektor itu dipegang dari 15 Juni 1987 hingga 1 Juli 1993. Sementara itu pada tanggal 1 Desember 1988 Pater Drost diangkat menjadi Superior Komunitas di Seminari Wacana Bhakti. Setelah selesai masa jabatan- nya sebagai rektor di seminari, Pater Drost diperbantukan pada Yayasan Prayoga di Padang dari tanggal 1 Juli 1993 hingga 1 April 1994. Kemudian dia ditarik ke pastoran Katedral Jakarta dan diangkat sebagai Pembantu Vikep Kategorial pada bulan Mei 1994. Akhirnya Pater Drost pin- dah ke Wisma Samadi di Klender, Jakarta Timur sampai tulisan ini dibuat. Meskipun usianya sudah sembilan windu (72 tahun), pemikirannya ten- tang pengajaran dan pendidikan remaja di sekolah menengah masih jernih dan penuh semangat. Hal ini tampak dari tulisan-tulisannya yang masih sering muncul di surat kabar dan lewat gagasan-gagasannya yang dikomunikasikan lewat siaran televisi. Penutup Dari pelacakan terhadap pendidikan dan karya Pater J.LG.M. Drost, SJ. tersebut orang mengetahui bahwa perjuangan hidup itu sudah dimulai olehnya waktu masih sekolah menengah di negeri Belanda. Puncak perjuangan itu dialami setelah dia menamatkan sekolah menengah dan mulai menjejakkan kakinya di perguruan tinggi, tetapi tiba-tiba perguruan tingginya ditutup dan dia diangkut tentara Jerman ke negerinya untuk dipekerjakan di pabrik besi. Mungkin pengalaman menjalani pendidikan sekolah menengah di tengah- tengah berkobarnya Perang Dunia II di Eropa itu telah mempengaruhi jiwanya secara mendalam sehingga perhatiannya pada anak-anak yang sedang men- jalani pendidikan sekolah menengah sangat besar. Keprihatinan yang besar terhadap anak-anak sekolah menengah ini men- dapat lahan subur dalam lapangan kerja yang dimasuki oleh Pater Drost yaitu IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, SMA Kanisius Jakarta, dan Seminari Wacana Bhakti Jakarta dan SMA Gonzaga. IKIP sendiri mendidik pemuda-pemudi yang bertekad menjadi guru anak-anak SMP dan SMA. Setelah mempersiap- kan guru-gurunya dengan memimpin IKIP Sanata Dharma selama dua masa jabatan rektor, Pater Drost terjun langsung menangani siswa-siswa SMA. Dengan demikian, pengetahuannya mengenai pendidikan remaja Indonesia menjadi meyakinkan. Maka apa yang ditulis atau dikatakannya mengenai pengajaran dan pendidikan anak-anak remaja perlu mendapat perhatian 10 penuh para pakar dan praktisi pendidikan sekolah menengah, lebih-lebih perumus kebijaksanaan pendidikan. Riwayat singkat ini disusun atas dasar sumber-sumber berikut. 1. Wawaneara tertulis dengan Pater J.I.G.M. Drost, S.J. yang berdomisili di Wisma Samadi, JIn. Dermaga 6, Klender, Jakarta Timur, antara bulan Mei dan Juli 1997, 2. Daftar Riwayat Hidup Dosen/Pengajar No. Pokok D115, Drs. J..G.M. Drost, $J. dari Bagian Kepegawaian IKIP Sanata Dharma, 1972. 3. Riwayat Hidup Pater J. Drost, S.J. yang dibuat Provinsialat SJ Semarang, pada tanggal 24 Juni 1997. 4. Suwarno, P.J., 1995, Sanata Dharma Menemukan Jalannya, Penerbitan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. 11 Bagian Pertama SEKOLAH : MENGAJAR ATAU MENDIDIK? BEBERAPA CATATAN PADA POKOK-POKOK PEMBARUAN PENDIDIKAN NASIONAL Penulis diminta memberikan sedikit pertimbangan pada apa yang dika- takan tentang pendidikan umum menengah dalam Pokok-Pokok Pembaruan Pendidikan Nasional, maka kiranya paling tepat menyajikan sekadar komentar pasal-pasal dan bab-bab yang menyangkut SLTP dan SLTA. Jenis dan Jenjang Pendidikan Nasional Kalau pada bab Pendidikan Umum dikatakan bahwa “Sekolah Menengah Pertama pada hakikatnya adalah suatu tahap peralihan yang di satu pihak merupakan kelanjutan pendidikan dasar, dan di pihak lain merupakan per- siapan untuk memasuki tahap pendidikan yang lebih tinggi”, maka kiranya tidak ada yang berkeberatan terhadap perumusan sifat yang mendua dari SMP itu. Hanya sayang bahwa tidak dikemukakan pandangan-pandangan bagaimana yang oleh panitia disebut fungsi ganda, namun menurut saya lebih tepat bersifat mendua, dapat diatasi. Hemat saya, hal ini mungkin seandainya SLTP dan SLTA lebih disatukan menjadi satu sistem pendidikan menengah umum. Baik untuk SMP maupun untuk SMA ada sejumlah usul mengenai lamanya studi pada sekolah-sekolah tersebut. Namun, kemungkinan penyatuan sama sekali tidak dikemukakan, sekurang-kurangnya sebagai alternatif pun tidak. Keuntungan-keuntungan seperti lebih terarahnya pengajaran di kelas-kelas rendah (dahulu SMP) dan kemungkinan mendidik dan membentuk anak-anak selama enam tahun oleh pengasuh-pengasuh yang sama tidak disebut. Kemudian dikatakan bahwa “pada tingkat ini akan terjadi apa yang di- namakan penelusuran bakat ...." Apa yang dimaksud dengan bakat? Bakat seni? Kiranya bukan. Tetapi menurut pendapat saya bakat bahasa, matematika, fisika, kimia, biologi, dan sebagainya. Ini lebih merupakan minat daripada bakat. Memang minat penting demi berhasilnya pelajaran, namun minat dapat 15 dibentuk dan dipupuk oleh keluarga dan lingkungan, padahal bakat pada pokoknya pembawaan. Orang pintar dapat berhasil baik pada bidang bahasa, pada bidang ilmu-ilmu sosial, maupun pada bidang ilmu-ilmu eksakta, asal ada minat. Orang yang kurang pintar akan mengalami kesukaran lebih-lebih pada bidang, eksakta oleh karena pada tingkat pelajaran menengah bidang ilmu eksakta menuntut inteligensi yang tinggi. Jadi, hemat saya, di SMP tidak ada penelusuran bakat melainkan taraf inteligensi: apakah inteligensi anak yang bersangkutan cukup untuk menyelesaikan SMA atau tidak. Yang mungkin dapat diselidiki, apakah anak mempunyai keterampilan melanjutkan ke sekolah kejuruan. Namun, ini pun sukar karena mustahil memberikan cukup keterampilan tangan tanpa merugikan keterarahan kepada SMA. Tetapi, kiranya tidak perlu juga karena yang diperlukan di STM bukan keterampilan yang diperoleh di SMP melainkan dasar teoretis yang cukup kuat, karena keterampilan akan diperoleh di STM. Hal ini mirip dengan kenyataan bahwa akademi-akademi teknik lebih senang menerima lulusan SMA daripada julusan STM oleh karena dasar teoretis matematika, ilmu eksakta, dan bahasa Inggris pada lulusan STM kurang baik. Apa yang dikatakan mengenai wajib belajar adalah tepat dan realistis. Yang menggembirakan ialah kesadaran bahwa angkatan kerja lulusan sekolah kejuruan baru trainable, dapat dilatih dan dibentuk lebih lanjut, belum trained sudah terlatih dan terbentuk seperti cita-cita sekolah pembangunan dulu. Yang dapat dicapai secara realistis hanya yang trainable, yang lewat praktek dan pengalaman kerja dapat meraih keahlian. Penjenjangan dan Alternatif Penjenjangan Yang dikemukakan dalam bab ini sebetulnya hanya pembagian tugas antara SLTP dan SLTA tanpa cukup mendalami sifat-sifat khas kedua sekolah itu seperti diuraikan pada bab-bab lain. Kekurangan ini mengakibatkan bahwa pembagian nanti lebih perkara selera daripada sesuatu yang dituntut oleh sifat pengajaran menengah sendiri. Tambah lagi kesukaran bahwa dengan didirikannya di mana-mana SMP-SMP tiga tahun lepas dan jauh dari SMA- SMA, mustahil memilih penjenjangan lain daripada 3 tahun-3 tahun. Fasilitas- fasilitas baik lama maupun yang sekarang didirikan memaksa kita tetap pada yang sudah-sudah. Yang dapat disayangkan bahwa sama sekali tidak dikemukakan pemikir- an tentang SMP terminal (3 atau 4 tahun). Baik data-data penyelidikan yang memperlihatkan bahwa hanya lebih kurang 30% dari anak umur sekolah mam- 16 pu menyelesaikan SMA, maupun kenyataan bahwa jumlah SMA amat lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah SMP, menghadapkan kita pada ke- nyataan bahwa banyak lulusan SMP berhenti belajar. Oleh karena SMP seka- rang ini bukan SMP terminal maka hasil guna sangat kurang. Lulusan SMP ini dapat disebut drop out. Jadi, kiranya perlu memikirkan bentuk pengajaran SLTP terminal, lebih-lebih kalau di kemudian hari wajib sekolah akan berlaku sampai umur 15 tahun. Apa yang diuraikan mengenai SLTP dan SLTA sebetulnya hanya menge- nai lama berlangsungnya pelajaran di sekolah-sekolah tersebut, sedangkan masalah silabus tidak dibahas. Pun pula persoalan penjurusan yang akhir- akhir ini cukup diperdebatkan tidak dibentangkan. Sehubungan dengan ini perlu dicatat bahwa kurikulum dan silabus rupanya kurang diperbedakan. Komponen-Komponen Kurikulum Yang akan saya bahas hanya pendidikan bahasa, pendidikan ilmu penge- tahuan, dan pendidikan keterampilan. Pembatasan diri ini tidak berarti bahwa yang lain tidak penting, bahkan sebaliknya, karena berkat yang lain pendidikan menjadi lebih seimbang dan tidak berat sebelah. Hanya saya merasa diri kurang berwenang membicarakan komponen-komponen lain itu. Bahasa Indonesia Sebetulnya tidak perlu diberi komentar. Jelaslah bahwa komponen kuri- kulum ini amat penting karena bahasa itulah alat komunikasi yang pokok. Hemat saya, taraf kemampuan bahasa merupakan tolok ukur taraf intelektual seseorang yang berpendidikan. Pengalaman saya baik di perguruan tinggi maupun di SMA amat menyedihkan. Kemampuan menyatakan diri sangat miskin. Tambah lagi bahwa Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah bagi banyak guru bahasa Indonesia masih “barang asing”. Perlu digarisbawahi juga yang di- katakan tentang guru-guru bukan bahasa Indonesia: “Oleh karena itu, setiap guru harus memiliki penguasaan bahasa Indonesia secara baik dan benar, yang juga diperlukan untuk menyajikan mata pelajaran yang diasuhnya.” Namun, bagaimana hal ini kita tuntut dari guru-guru kita kalau cukup banyak edaran dari instansi-instansi P dan K sendiri belum tahu akan adanya pe- doman-pedoman yang saya sebut di atas? Pun pula bahasa surat-surat kabar maupun majalah-majalah belum cukup menunjang usaha mendidik orang berbahasa Indonesia dengan baik. 17 Apa yang dikemukakan mengenai bahasa daerah penting pula, Hanya ada satu alinea yang bagi saya tidak jelas maksudnya: “Di daerah-daerah yang tidak memerlukan pengajaran bahasa daerahnya jam-jam pelajaran yang dapat digunakan untuk pengajaran bahasa daerah itu dapat dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan seperti pengajaran bahasa daerah dalam tulisan Arab sesuai ...” Hemat saya, alasan “tidak memerlukan pengajaran bahasa daerahnya” hanya ada satu, yaitu populasi daerah tersebut begitu bercampur baur, misalnya Jakarta, sehingga tidak ada bahasa daerah atau tidak dapat diajarkan. Alasan lain misalnya para siswa sudah begitu mahir berbahasa daerah sehingga tidak perlu diajarkan, tidak masuk akal. Jadi, kalau satu- satunya alasan yang sah ialah tidak ada bahasa daerah, bagaimana mungkin mengadakan pengajaran bahasa daerah dalam tulisan Arab? Mengenai bahasa asing, saya tetap berkeberatan memasukkan bahasa asing selain bahasa Inggris ke dalam kurikulum SLTA. Paling lama 3 tahun, dua jam seminggu. Masakan orang sanggup belajar bahasa asing dalam waktu 3 tahun selama 2 jam seminggu, tambah lagi diselingi liburan-liburan yang, cukup panjang? Sampai membaca teks yang paling sederhana pun tidak mungkin. Memakai laboratorium bahasa pun tidak membantu mencapai hasil yang wajar. Pengalaman pahit di Eropa membuktikan bahwa laboratorium bahasa tidak berguna bagi pengajaran bahasa pada sekolah menengah. Labora- torium bahasa baik untuk crash program bagi calon wisatawan yang dengan menubruk bahasa asing dalam waktu singkat bisa melancong ke negara asing. Ini berlaku juga untuk bahasa Asia dan Asean. Semua bahasa selain bahasa Filipina tidak serampun, jadi amat sukar. Hemat saya, jauh lebih baik memper- besar jumlah jam baik untuk bahasa Inggris maupun untuk bahasa Indonesia. Timu Pengetahuan Alam ‘Apa yang ditulis tentang pendidikan ilmu pengetahuan alam baik dan tepat, hanya kurang mendalam dan menyeluruh. Misalnya masalah yang telah saya singgung di atas ini, yaitu penjurusan di SMA tidak dibahas. Seperti sudah berulang kali diutarakan oleh cukup banyak ahli kita pada bidang peng- ajaran, penjurusan ini masih dipertahankan tidak oleh karena sistem peng- ajaran menengah yang paling baik, melainkan karena warisan dari zaman sebelum perang, walaupun di Nederland sendiri penjurusan telah menjadi jauh lebih fleksibel berkat usaha mendekatkan HBS dan Gymnasium. Terdapat dua masalah: (1) apakah penjurusan pada tingkat sekolah menengah memang, perlu, atau maksud yang sama dapat diraih memakai sistem mata-mata ajaran pilihan dan (2) seandainya tetap dianggap perlu, pada tingkat mana penjurusan 18 harus diadakan. Sayang sekali bahwa hal cukup mendasar ini tidak dipaparkan cukup mendalam. Keterampilan Akhirnya mengenai pendidikan keterampilan. Hemat saya, komisi pem- baruan masih terlalu terpukau oleh “mengembangkan watak makarya sedini mungkin”. Membaca kalimat ini untuk pertama kali dirasakan memang betul, namun baik penyelidikan teoretis maupun melihat pengalaman bertahun- tahun membawa kita sampai kesimpulan: academic stream dan vocational stream adalah vocational stream. Waktu yang diberikan anak untuk belajar maupun kemampuan rata-rata anak tidak memungkinkan makan dari dua piring. Cita- cita orang banyak, akan tetapi akhirnya harus memilih. Maka bahwa pada SLTA umum ada sekadar keterampilan sesuai dengan selera anak, boleh saja, namun jangan terlalu ditekankan. SMA mendidik anak untuk PT maupun untuk white collar jobs. Oleh karena sekarang terlalu banyak anak masuk SMA, maka baik tempat di PT maupun di bidang white collar jobs sangat kurang. Namun, ini bukan alasan memaksa semua siswa SMA menempuh dua jalur sekaligus. Pengobatan harus diadakan sebelum masuk SMA dengan membuka lebih banyak sekolah kejuruan dan mempersukar syarat-syarat masuk SMA, Pendek kata, SMA merupakan peng- ajaran persiapan perguruan tinggi, yang karena mutunya juga dapat mem- persiapkan orang terjun ke dalam dunia white callar jobs atau sekolah kejuruan. Jangan memaksanya memperkembangkan sifat mendua. Kalau dalam usaha memasukkan keterampilan ke dalam kurikulum SMA praktikum kimia, fisika, dan biologi disebut keterampilan, maka jelas inilah pengakuan siluman bahwa keterampilan di SMA merupakan masalah. Ketiga kegiatan ini sama sekali bukan keterampilan yang mempunyai pasaran. Ketiga praktikum itu hanya mempunyai arti bagi siswa yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Demikianlah beberapa catatan mengenai pokok-pokok ini. Pemandangan umum akan diberikan orang lain, maka saya akhiri uraian saya ini dengan mengemukakan beberapa harapan kami: semoga laporan pertama dari Komisi Pembaruan ini menimbulkan banyak reaksi dan komentar hingga kelak semakin matang, mendalam, dan menyeluruh. (Kompas, 5 Oktober 1971) RELEVANSI SISTEM PENDIDIKAN KITA Kelemahan judul ini ialah bahwa a priori diterima pendidikan harus relevan dengan sesuatu. Namun, justru anggapan itulah perlu dipertanyakan. Siapa bilang bahwa seharusnya demikian? Apakah pendapat ini tidak justru bertentangan dengan nilai-nilai instrinsik sebuah sistem pendidikan. Seakan- akan pendidikan hanya merupakan sebuah alat guna mencapai sesuatu. Tambah lagi kerancuan yang timbul karena tidak dibedakan antara pendidikan dan pengajaran sehingga tidak jelas apa yang sebetulnya harus relevan, pendi- dikan atau pengajaran atau kedua-duanya. Supaya keluar dari kekacauan itu, saya pilih pengajaran sebagai penger- tian pokok karangan ini. Mempergunakan informasi yang saya peroleh dari buku Joseph Borucki, Gymnasium in neuer Zeit, Wuerzburg, akan saya perlihat- kan kegagalan yang dialami sistem pengajaran di beberapa negara yang tidak mengindahkan hukum-hukum intrinsik pengajaran. Pengalaman Luas Salah satu usaha menjadikan pengajaran “relevan” ialah sekolah kom- prehensif di Inggris. Setelah usaha ini berlangsung selama beberapa waktu, jelaslah bahwa mutu turun, maka pada tahun 1975 terbit yang dinamakan Black Paper. Buku hitam ini merupakan jeritan hati sejumlah ahli pengajaran dan pendidikan karena mereka melihat malapetaka yang ditimbulkan oleh sekolah komprehensif tersebut. Dikatakan, “Sekolah-sekolah untuk mengajar, tidak untuk mengadakan perekaaan sosial (social engineering). Tanpa seleksi mustahil memberikan pengajaran yang bermutu. Orang harus memilih kesamaan (equality) atau kesamaan kesempatan (equality of opportunity). Kedua-duanya sekaligus tidak. mungkin. Kesamaan akan berarti merugikan anak-anak yang pandai (mereka akan menjadi kaum berkekurangan baru).” 20 Baik juga mengutip Iris Murdoch, pengarang dan ahli filsafat. “Tidak ada satu orang pun yang mendukung sepakbola tanpa seleksi ... masa anak- anak adalah waktu belajar. Seleksi harus dan akan terjadi dalam pengajaran dan pendidikan. Mereka yang menolak cara seleksi yang masuk akal justru mendukung seleksi liar dan yang tidak masuk akal. Anak yang akan meng- hilang justru anak pandai namun miskin, yang karena berasal dari lingkungan buta huruf, tanpa seleksi yang masuk akal (karena katanya harus ada kesa- maan) tidak pernah akan memperoleh kesempatan belajar.” Berusaha mencari relevansi dengan kenyataan nyata, dengan lain per- kataan mencari penyesuaian sekolah komprehensif di Inggris, mereka men- campuradukkan “kesamaan” dan “kesamaan kemungkinan”. Yang kedua ber- arti bahwa semua anak, lepas dari latar belakang sosial, mempunyai kemung- kinan sama untuk belajar. Saya katakan lepas dari latar belakang sosial, bukan lepas dari kemampuan intelektual. Nah, justru di sini terletak kesalahan mendasar sekolah komprehensif. Sekolah ini ingin kesamaan bagi semua anak dari yang lemah sampai yang, pandai. Jadi, mutu harus diturunkan. Hasilnya, lulusan sekolah komprehensif bermutu rendah. Anak pandai tidak ditantang lagi sehingga potensi intelektual kaum muda tidak dirangsang lagi. Kreativitas dan prestasi akademis merosot. Yang paling rugi justru anak rakyat karena anak orang kaya mempunyai uang pergi ke luar negeri atau masuk sekolah swasta yang masih bermutu namun mahal. Di Amerika Serikat, dalam rangka pendidikan progresif ciptaan pragmatis ulung John Dewey, terdapat High School dengan lebih dari seratus mata ajaran pilihan dengan sedikit mata ajaran wajib atau hanya dua seperti bahasa Inggris dan ilmu politik atau bahkan sama sekali tanpa mata ajaran wajib. Dengan kebebasan memilih mata ajaran, dihasilkan setiap tahun puluhan ribu anak yang tidak dapat meneruskan ke perguruan tinggi dan juga tidak dapat bekerja karena mata-mata ajaran yang dipilih tidak membentuk orang dan tidak mempersiapkan orang menempuh suatu studi atau menunaikan suatu tugas. Di Jerman Barat sekarang diadakan percobaan dengan Reform der gym- nasialen Oberstufe. Pada tahun-tahun terakhir gymnasium terdapat mata ajar- an pilihan sedemikian rupa sehingga siswa dapat menghindari mata-mata ajaran yang sukar, akan tetapi yang mutlak perlu untuk mencapai kematangan akademik, yaitu kematangan intelektual yang merupakan syarat mutlak masuk perguruan tinggi. 21 Kematangan Akademik Apa yang dimaksud dengan kematangan akademik? Supaya pengertian ini dapat diuraikan, perlu dibahas pengertian yang lebih mendasar, yakni “kemampuan”, Ada orang memakai istilah bakat, namun pada umumnya dipersempit pada kemampuan tertentu seperti misalnya bakat seni lukis atau seni musik yang memang merupakan suatu bakat, suatu bawaan yang tidak dapat diper- oleh, melainkan hanya diperkembangkan. Penyempitan ini mengakibatkan orang berbicara mengenai bakat belajar atau lebih sempit lagi bakat matematika atau bakat fisika. Padahal, jelas ini bukan bakat karena baik pengetahuan matematika maupun fisika dapat diperoleh asal ada “bakat” atau “bawaan” dalam arti luas yaitu”kemampuan intelektual”. Ini sebabnya saya condong memakai kata “kemampuan" daripada “ba- kat”. Akhir-akhir ini pengertian kemampuan intelektual tergeser artinya. Dahulu diterima umum bahwa manusia itu berbeda bawaan dan berbeda kemampuan intelektual. Tidak diragukan bahwa yang dicapai oleh genius atau orang yang amat berbakat tidak dapat diraih orang biasa. Sekarang orang mulai menganggap bahwa semua orang memiliki bawaan- bawaan yang sama. Tinggal dirangsang, didorong oleh lingkungan, diper- kembangkan. Memang tidak dapat disangkal bahwa bawaan dapat dipenga- ruhi oleh lingkungan. Bawaan yang tidak ditunjang oleh minat, konsentrasi, dan keajegan, faktor-faktor yang bergantung pada kemauan, akan mandul. Namun demikian, tetap berlaku bahwa tanpa bawaan, tanpa potensi, tanpa kemampuan, perkembangan mustahil. Pentingnya ini semua untuk pembahasan kita yakni bahwa pengajaran yang tidak mengakui hal ini niscaya mengakibatkan pendataran yang meru- pakan kata lain untuk pemerosotan mutu. Yang dimaksud bukan bahwa anak pintar naik dan yang bodoh tidak naik. Ini berlaku untuk setiap ragam sekolah. Yang dimaksud dapat kita lihat pada sekolah komprehensif. Sekolah ini ada untuk semua anak, lepas dari kemampuan intelektual, karena semua anak harus dipersiapkan untuk hari depan lewat jalan yang sama. Asas yang mendasari pemikiran ini adalah pengertian baru tentang bakat atau kemampuan seperti diulas di depan. Sama rasa sama rata, jangan mem- beri kesempatan untuk menonjol. Namun demikian, karena hidup lebih kuat dari segala teori, sekolah komprehensif akhirnya terpaksa membuka academic stream dan vocational stream. Bahwa ini tidak terjadi dengan rela jelas dari tuntutan keterampilan yang dipaksakan kepada academic stream. 22 Sekolah komprehensif tidak mau mengakui bahwa terdapat perbedaan bawaan. Di Indonesia gagasan sekolah komprehensif sudah ditinggalkan, tetapi yang melatarbelakangi belum, misalnya tekanan yang terlalu besar pada keterampilan di SMP dan SMA. Pendapat bahwa semua lulusan SMTA entah IPA entah IPS, juga STM, harus mendapat hak yang sama untuk memasuki semua fakultas, bersumber pada anggapan yang sama. - Ini membuktikan bahwa pengertian bawaan dan pengertian kemampuan intelektual sudah amat berbeda dari yang lazim diterima. Jadi, dapat dikatakan bahwa keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh tidak sama dengan kemampuan sebagai bawaan. Namun demikian, tetap berlaku bahwa untuk beroleh pengetahuan dan keterampilan, kemampuan ini mutlak perlu. Kematangan Intelektual Setelah mengulas pengertian kemampuan bawaan, tiba waktu membahas pengertian kematangan memulai studi akademik. Kematangan intelektual mulai mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan. Kematangan ini mencakup penge- tahuan yang memadai mengenai sejumlah mata ajaran yang dianggap perlu diketahui seseorang yang telah menyelesaikan pelajaran menengah. Yang tidak dimaksud, bahkan justru ditentang, ialah spesialisasi pada tingkat pengajaran menengah. Pendapat bahwa lulusan SMA sudah harus terlatih sama sekali keliru. Kematangan yang merupakan spesialisasi tertentu justru bukan kema- tangan melainkan pengetahuan. Dalam rangka ini harus diakui bahwa SMA tanpa jurusan sebetulnya lebih baik. Namun demikian, tetap ada sebuah “asal”, suatu syarat. Syarat itu ialah bahwa pada SMA hanya diterima mereka yang sungguh-sungguh mampu mencapai kematangan memulai suatu studi aka- demik. Dengan lain perkataan, asal SMA sungguh-sungguh academic stream yang murni, persiapan masuk perguruan tinggi, dan bukan sekolah umum lagi. Memang sekolah semacam itu boleh dituduh menjadi sekolah elite, na- mun elite intelektual. Oleh karena zaman sekarang dengan demokratisasi, yang lebih mirip pendatarisasi dan pendangkalisasi, setiap gagasan elite tabu, maka setiap pembaruan akan terbentur pada pendapat umum tersebut. Kita tidak perlu menjiplak luar negeri, tetapi belajar dari kesalahan mereka membuktikan bahwa kita orang bijaksana. Nah, di mana-mana, di Eropa, di Amerika, orang kembali ke gymnasium, sekolah elite intelektual. Tidak karena nostalgia akan zaman baheula, melainkan karena semua sekolah modern yang 23. ingin melayani tuntutan praktis masyarakat merupakan malapetaka bagi pembentukan kader intelektual, tulang punggung pembangunan setiap negara. Jadi, jelas bahwa setiap usaha merelevansi SMA dengan sesuatu mau tak mau harus gagal. SMA bukan pabrik, melainkan lembaga pengajaran dan pendidikan yang membentuk generasi penerus. Hukum-hukum intern sebuah lembaga tidak dapat dipaksa mengikuti kemauan tertentu begitu saja. Mereng- uh dayung sekali terlampaui dua tiga pulau tidak mungkin. Dua tujuan yang walaupun tidak bertolak belakang secara mutlak, namun tetap berbeda secara mendasar, tidak mungkin dicapai dengan satu ragam pengajaran. Mereka yang ingin memasuki perguruan tinggi membutuhkan kematang- an intelektual, bukan spesialisasi sempit. Padahal, siap pakai sekolah mene- ngah membutuhkan spesialisasi dalam keterampilan secara khusus. Dua hal, maka yang meraihnya menuntut dua jalan yang berbeda secara mendasar. Bila dikatakan mungkin saja SMA dengan dua stream, academic dan voca- tional, masalah tetap tidak dilihat. SMA semacam itu tetap ada bahaya bahwa jurusan akademik dimasuki anak yang kemampuan intelektualnya tidak mencukupi, yang memerosotkan taraf yang perlu dipertahankan di jurusan akademik. Pengertian Relevan Jangan terus kalah dengan pendapat umum. Apabila sistem persekolahan kita ingin relevan, harus diselidiki dulu apa arti pengertian relevan. Arti per- tama ialah apa yang dibutuhkan masyarakat. Jawab jelas ialah kader intelek- tual, bukan lulusan perguruan tinggi. Dua pengertian ini amat berbeda. Lulus- an perguruan tinggi belum tentu kader intelektual. Mutu intelektual perguruan tinggi harus dinaikkan. Namun, usaha itu pasti gagal kalau mereka yang menuntut ilmu tidak bermutu tinggi. Usaha menaikkan mutu perguruan tinggi harus didahului dengan inisiatif mendirikan SMA yang sungguh-sungguh mematangkan siswanya siap memasuki pergu- Tuan tinggi. Bukan SMA yang mendua, melainkan dua macam sekolah yang berbeda atau lebih baik lagi banyak sekolah yang beraneka ragam. Banyak sekolah yang memenuhi tuntutan praktis dan pragmatis, namun juga SMA bagi mereka yang berkat bawaan mampu mengikuti pengajaran yang mutu intelektualnya tinggi. Jadi, yang paling pokok ialah diadakannya penyelidikan yang menyelu- ruh mengenai kebutuhan akan pendidikan menengah untuk dapat membentuk tenaga yang diperlukan dalam rangka pembangunan semesta. Seusai pene- 24 laahan semacam itu, dapat dilihat sekolah macam manakah dari yang seka- Tang ada, dapat dipergunakan dalam rangka hasil penyelidikan tadi. Sekolah yang sudah terarahkan kepada kebutuhan tertentu dibenahi sejauh perlu dan diperkembangkan sesuai dengan kodratnya. Jadi, jangan memaksa semacam sekolah mengubah kodratnya sehingga bersifat banci. Kebutuhan-kebutuhan yang, wajar harus dijawab dengan kreativitas yang menciptakan ragam sekolah baru. Yang mau merengkuh dayung satu kali terlampaui tiga pulau akhirnya akan gagal. Sekolah yang dulu menunaikan fungsinya diubah. Hasilnya gagal. Jadi, rugi dua kali. Semua percuma dan sekolah yang baik sebelum diubah sekarang berantakan. Sebagai penutup karangan ini, akan saya kutip sebagian dari syarat-syarat yang perlu dipenuhi supaya sekolah kita sungguh sekolah yang bermutu dan justru sebagai sekolah bermutu relevan. 1. Sebuah sekolah harus bersuasana manusiawi. Setiap murid harus diper- lakukan sebagai pribadi. Maka, perlu sekali jumlah siswa terbatas. 2. Sekolah tidak hanya mengajar, melainkan membentuk manusia muda dalam kontak pribadi mencapai kedewasaan. 3. Jabatan guru amat mulia, mereka yang hanya cari tugas gampang dengan banyak libur harus dikeluarkan dengan cepat. 4. Yang memilih ragam sekolah bagi anak mereka ialah orang tua. Jadi, perlu ada bermacam-macam sekolah. 5. Orang tua berhak memilih sekolah swasta yang diperlakukan sama dengan sekolah negeri. 6. Murid berhak bertanya dan menerima jawaban. 7. Sekolah umum tidak boleh membatasi kemungkinan memilih pekerjaan tertentu di kemudian hari. 8. Suasana di sekolah harus suasana percaya-mempercayai. Jadi, baik para guru maupun para murid punya hak dan punya kewajiban. . 9. Kematangan memasuki perguruan tinggi yang harus diraih di sekolah menengah sebagai persiapan untuk perguruan tinggi terdiri atas pem- bentukan intelektual dan moral yang memungkinkan mahasiswa berjalan terus dengan kemandirian yang tinggi, bukan pengetahuan dangkal tentang bermacam-macam mata ajaran. (Kormpas, 18 November 1982) 25 PENGOTAKAN SISTEM PERSEKOLAHAN KITA Orang mendapat kesan, makin banyak tembok pemisah didirikan, makin besar jumlah sekat yang dipasang, makin dianggap baik. Inilah sekolah-sekolah kita sekarang ini. Demikian juga nada banyak usul yang disampaikan kepada KPPN. Mungkin di sana-sini ada tembok atau sekat yang dipindahkan atau digeser, tetapi tidak pernah dirombak. Mengingat kembali zaman sebelum perang dunia kedua, maka jelaslah perbedaan sistem persekolahan bagi kaum Eropa dan bagi sejumlah kecil bangsa Indonesia dan bagi rakyat Indonesia yang biasa. Bagi golongan pertama dibuka Europese Lagere School enam atau tujuh tahun, kemudian HBS lima tahun atau Lyceum enam tahun. Jadi, hanya dua kotak. Bagi anak Indonesia sudah ditambah satu kotak lagi: HIS, MULO, dan AMS, Sementara itu bagi rakyat kecil yang berkesempatan bersekolah terdapat lima kotak: Sekolah Angka Loro, Schakelschool, HIS, MULO, dan AMS. Selesai perang, di dalam negara Indonesia yang merdeka diambil alih pengo- takan yang kedua: SR, SMP,SMA. Lama kelamaan, menjadi empat lagi dengan munculnya TK. Memang dalam P5N ada usaha mengurangi jumlah kotak, akan tetapi sebetulnya ini hanya merupakan penggeseran tembok pemisah, bukan perom- bakan. Hal ini akan dibicarakan lebih lanjut di bawah ini. Apabila kita menjenguk keluar jendela negara kita, akan jelaslah bahwa di mana-mana pengotakan sudah mulai dihapus. Misalnya dengan menya- tukan TK dengan SD bagi anak berumur 4 sampai 12 tahun. Walaupun harus diakui bahwa di Jerman dengan Mittelschule dan di Nederland dengan Midden- school gagasan SMP dihidupkan kembali. Setelah inventarisasi keadaan sana- sini, muncul pertanyaan pokok: jelekkah pengotakan itu? Dan kalau memang tidak baik, apa sebabnya? Guna menjawab dua pertanyaan ini, perlu kita me- mahami apa yang merupakan sifat pokok pengotakan ini. Sifat pokoknya ialah bahwa setiap macam sekolah, setiap kotak, terpisah dari yang lain. Jadi, anak yang menyelesaikan satu sekolah dan akan melan- jutkan terpaksa pindah, “naik” ke sekolah yang lebih tinggi. Ini berarti anak 26 Nah, pengelompokan dan pengotakan tidak dikenal di dalam keluarga. Memang betul juga bahwa sekolah bukan kopi dari keluarga. Mustahil men- dirikan satu sekolah bagi anak yang berumur empat tahun sampai delapan belas tahun. Akan tetapi, hal ini adalah sesuatu yang tidak menguntungkan dan harus disadari dengan berusaha menyusun sistem dengan jumlah kotak yang sekecil mungkin. Memang cita-citanya ialah suatu sekolah bagi semua anak kelompok umur empat sampai dua belas tahun. Sekolah ini dapat disebut sekolah dasar atau pengajaran awal. Selama di negara kita belum mungkin mewajibkan semua anak bersekolah mulai berumur empat tahun, TK-TK yang, ada masih terpisah pengelolaannya dari sekolah dasar. Mengenai gagasan KPPN SD delapan tahun dapat dikatakan bahwa hal itu memang mengurangi jumlah kotak dari empat menjadi tiga. Hanya perlu dipertanyakan apakah pengurangan harus diadakan pada peralihan dari SD ke SMP. Beberapa keberatan dapat diajukan. Pertama, kesukaran teknis. Jum- lah SD jauh lebih banyak dari jumlah SMP. Jadi, untuk menjadikan semua SD menjadi SD delapan tahun perlu menambah guru, lokal, dan fasilitas yang, amat banyak, jadi amat mahal. Menyadari hal, itu ditambah keinsyafan bahwa banyak orang tua di daerah pasti berkeberatan menyekolahkan anak mereka selama delapan tahun, maka sudah dikatakan bahwa SD delapan tahun terdiri atas dua tahap: lima tahun dan tiga tahun. Bahkan dengan kemungkinan se- sudah lima tahun berpindah ke sekolah pertukangan. Jadi, ternyata tetap empat kotak, tidak ada perbedaan dengan sekarang. Pembahasan sampai sini mendorong saya sekali lagi mengusulkan pengu- rangan kotak pada tingkat SL, lewat penggabungan SMP dengan SMA. Argumentasi saya pertama-tama didasarkan pada ulasan di depan tentang kebutuhan akan kelompok baya sebagai syarat mutlak demi _perkembangan selaras; juga berdasarkan lapangan baik di SMP Sanata Dharma sebagai sekolah laboratorium yang saya ikuti dari dekat maupun di SMP Kanisius yang boleh dikatakan merupakan sekolah peloloh (Feederschool) untuk SMA Kanisius. Walaupun hanya untuk sebagian (karena selain lebih kurang 80 siswa dari SMP Kanisius, masih diterima juga lebih kurang 80 siswa dari banyak SMP lain), jelas bahwa yang berasal dari SMP Kanisius tidak perlu lagi banyak penyesuaian. Mereka sudah kenal pada para guru, walaupun guru SMA, akan tempo mengajar, cara mengajar, akan kebiasaan-kebiasaan dan terutama akan suasana SMA yang baru dimasuki. Sedangkan yang dari SMP-SMP lain membutuhkan penyesuaian yang jauh lebih mendalam. Yang paling mencolok ialah tempo mengajar yang begitu berbeda. Karena penyesuaian yang lebih mendalam itu mereka mula-mula cukup ketinggalan dibanding dengan yang 28 berasal dari SMP sendiri. Nah, ketinggalan ini justru terjadi pada semester yang menentukan nasib siswa selanjutnya, yakni semester I. Pada akhir semes- ter pertama, semua siswa SMA kelas satu harus dijuruskan ke IPA, IPS, atau IPB. Jadi siswa, baru SMA dibebani dua hal yang cukup berat. Pertama pe- nyesuaian akan situasi dan kedua berusaha memasuki jurusan yang dikehen- dakinya. Bagi pihak staf pengajar, SM terpadu pun menguntungkan. Guru-guru merupakan satu kesatuan, mereka dapat mengajar baik di SMP maupun di SMA. Ini berarti bahwa staf pengajar yang satu ini dapat mendidik para siswa selama enam tahun. Selain ini masih ada yang menguntungkan. Guru SMP yang hanya mengajar di SMP ada bahaya tidak berkembang lagi ilmunya, sedangkan yang hanya mengajar di SMA kehilangan kontak dengan bahan SMP yang merupakan dasar bahan SMA. Melihat dari pihak siswa, SM terpadu lebih baik juga. Misalnya siswa kelas tiga, mereka bukan puber lagi, sudah mulai menjadi adolesens, pemuda. Jadi, mereka lebih dekat pada anak SMA. daripada teman se-SMP. Di SM terpadu kesukaran ini tidak ada oleh karena jangkauan dari umur 12 sampai 18 tahun sehingga peralihan lebih selaras. Hal ini berlaku terutama bagi putri. Pengalaman saya di SMP Sanata Dharma ialah bahwa putri kelas III SMP salah tempat. Mereka sudah wanita bukan anak lagi. Jadi, mereka harus diberi kesempatan bergaul dengan anak yang lebih besar. Salah kalau mereka dipaksa tetap satu sekolah dengan anak-anak kelas I dan II SMP. Kiranya cukup sekian guna menunjukkan bahwa SM ter- padu bagi siswa berumur 12 sampai 18 tahun lebih baik daripada SMP terpi- sah dari SMA. Sebagai catatan tambahan, pada P dan K hanya dikenal satu direktorat untuk SMP dan SMA, yakni PMU, sebab apa pada tingkat sekolah masih dipisah? Memang terhadap gagasan ini dapat diajukan beberapa keberatan. Pada sistem terpadu tidak mungkin lagi menerima “darah baru” dari SMP-SMP selain SMP sendiri. Apakah teori darah baru begitu meyakinkan? Kalau anak dari SMP lain mengidap penyakit anemi, kurang darah, karena mutu terlalu berbeda dari mutu SMA yang dituju, apakah SMA itu tertolong oleh darah baru itu? . Jadi, SM terpadu tertutup bagi mereka yang tidak dari permulaan ber- sekolah di situ? Sama sekali tidak. Saya ingin mempertahankan mobilitas antar kelas 3 SM terpadu dan kelas 1 SM atau sekolah kejuruan yang lain. Suatu mobilitas yang tinggi derajatnya. Sampai sekarang saya selalu menerima murid pindahan dari kelas I, kelas II, maupun kelas III SMA, lebih-lebih kalau alasan- nya perpindahan orang tua. Keutuhan keluarga lebih penting sehingga meru- 29 pakan alasan amat kuat menerima murid baru di kelas yang setingkat yang ditinggalkannya. Saya tidak setuju menurunkan anak satu kelas hanya karena sekolah saya begitu bermutu. Selain sombong, juga tidak beralasan. Seandainya anak memang ketinggalan, maka pada akhir tahun tidak ikut naik. Tetapi jangana priori mengatakan tidak bisa. Pengalaman saya, hampir semua berhasil mengejar ketinggalannya. Juga tidak benar satu anak baru akan mengganggu suasana kelas, dua anak juga tidak, dan tiga anak baru juga tidak. Ini semua tergantung pada cara anak baru ditampung oleh kepala sekolah dan para pembimbing dan penyuluh. Akhirnya, dapat dikatakan bahwa SM terpadu dapat membantu menyele- saikan penjurusan. Sekarang anak yang baru dikenal setengah tahun, yang baru memulai menyesuaikan diri sudah dijuruskan. Hasilnya dapat diramal- kan. Pada SM terpadu masalah ini tidak ada. Anak yang sudah dikenal tiga tahun atau empat tahun dengan mudah dapat dijuruskan kalau naik ke kelas empat atau kelas lima. Timbul pertanyaan, apakah penjurusan ini masih perlu. Secara teoretis dan teknis pengajaran dan melihat sifat SMA sebagai persiapan masuk pergu- ruan tinggi, penjurusan tidak perlu. Dan memang itu cita-cita SM terpadu. Hanya soalnya, apakah ini idaman masyarakat? Justru sebaliknya, masyarakat, lebih-lebih anak-anak IPS beserta orang tua mereka, ingin menghilangkan yang mereka sebut diskriminasi. Mereka ingin satu sekolah menengah tanpa jurusan, Betul, tetapi tanpa menyadarinya mereka mengubah sifat SMA sebagai persiapan studi universiter. Seandainya di SMA tidak boleh ada lagi jurusan, tetapi tuntutan bahwa SMA tanpa jurusan itu merupakan persiapan akan masuk perguruan tinggi tetap dipegang teguh, maka SMA tanpa jurusan harus memberikan persiapan yang sama bagi semua untuk masuk semua fakultas. Ini berarti SMA macam itu akan lebih berat dan lebih sukar. Perguruan tinggi tidak mau dan tidak bisa mengurangi tuntutan masuk tanpa menjadikan universitas kita perguruan tinggi kelas rendah. Konsekuensinya ialah bahwa banyak anak yang sebetulnya tidak cukup pintar memasuki SMA sekarang ini, tetapi dapat ditampung di jurusan IPS atau bahasa, oleh SMA tanpa jurusan terpaksa ditolak. Apakah semua penulis surat pembaca cukup memikirkan konsekuensi tuntutan mereka menghilangkan jurusan-jurusan di SMA? Saya sangsikan. Tinggal satu masalah lagi. Anak desa yang tidak sempat ke SM terpadu namun mampu lebih dari SD lima atau enam tahun, bagaimana? Dalam hal ini saya sepakat dengan KPPN. Tetap diadakan SD 8 tahun, yakni 5 tahun + 3 tahun. Namun tahap kedua ini menunaikan dua fungsi: 1) sebagai sekolah 30 terminal, maka kurikulum harus disesuaikan dengan situasi setempat; 2) non terminal sebagai persiapan ke SM terpadu 6 tahun masuk kelas tiga SM ter- padu atau sebagai persiapan ke pelbagai pendidikan kejuruan. Dalam fungsi ini kurikulum harus seperti SMP sekarang ini. Jadi akhirnya kita peroleh: 1. TK, 2 tahun; 2. SD tahap I, 5 tahun; 3. SD tahap Il, 3 tahun. Setelah SD tahap I, ada tiga kemungkinan: (1) anak mulai bekerja, (2) anak melanjutkan ke SD tahap IJ, dan 3) anak masuk SM 6 tahun. Sesudah SD tahap Il, ada tiga kemungkinan juga: (1) bekerja, (2) melanjutkan ke sekolah kejuruan, dan (3) berpindah ke kelas tiga SM 6 tahun. Kiranya tidak ada perbedaan mendasar dengan pendapat KPPN. Hanya terdapat pergeseran alokasi waktu untuk beberapa jenjang, berdasarkan pan- dangan pedagogis dan psikologis maupun kemungkinan keterlaksanaan. Kira- nya kata yang terakhir ini amat penting. Apa gunanya menyusun sebuah sistem yang tidak dapat dilaksanakan? Maka saya akhiri karangan saya ini dengan sebuah pertanyaan. Apakah P5N ini cukup ditopang oleh suatu telah keter- laksanaan yang mendalam? 31 SEKOLAH: MENGAJAR ATAU MENDIDIK? Jawaban murahan atas pertanyaan ini berbunyi: kedua-duanya. Saya berani menyebutnya murahan karena jawaban tersebut bukan jawaban. Per- soalan yang mendalam dielak. Berusaha memberi jawaban yang lebih menge- nai pokok persoalan dimulai dengan menekankan bahwa pendidik pertama dan utama adalah orang tua. Merekalah yang pertama-tama mengajarkan kepada anak pengetahuan akan Allah, pengalaman tentang pergaulan manu- siawi, dan kewajiban memperkembangkan tanggung jawab terhadap diri sen- diri dan terhadap orang lain. Namun tugas orang tua untuk mendidik anak membutuhkan bantuan masyarakat karena “masyarakat perlu mengatur ke- butuhan hidup di dunia ini.” Betapa luhur panggilan para pendidik yang membantu orang tua menunaikan tugas mendidik anak, dan yang bertindak atas nama masyarakat mempersiapkan kaum muda menjadi anggota masya- rakat yang bertanggung jawab. Jadi, semua pendidik mengambil bagian dalam usaha meraih tujuan hidup sebagai makhluk berkebudayaan dan bermasya- rakat. Usaha ini dilakukan melalui perkembangan serasi kaum muda menurut segi pandangan fisis, moral, dan intelektual. Makin jelas bahwa mereka semua yang membantu orang tua mendidik anak ikut bertanggung jawab atas kesempatan yang diberikan kepada anak untuk belajar menjadi manusia bebas yang bertanggung jawab. Semua mereka itu sebagai keseluruhan merupakan pembantu bukan pemain utama. Pada saat orang tua menjadi figuran dan para pembantu menjadi pemain utama, proses pendidikan terjungkir balik dengan segala akibat negatif. Jadi, pem- bagian tugas harus dipertahankan secara mutlak. Bahkan perlu digarisbawahi bahwa baru apabila para pembantu orang tua berpegang teguh pada prinsip bahwa orang tualah pendidik utama, mereka menjadi pembantu yang berhar- ga. Pada saat mereka menggeser orang tua dari kedudukan sebagai pendidik utama, mereka tidak lagi membantu orang tua melainkan mengacaukan. Pan- dangan ini berkonsekuensi dua. Pertama, perlunya pembagian tugas dan ke- dua, penyesuaian kepada orang tua. Setiap usaha yang ditangani oleh lebih 32 ; 7 Sekolah: | Mengajar Atau Mendidik? Bila kita disodori perlanyaan."St Kolah: mengajar atau menti ‘ | jawaban apa yang mesti kit in? Mengajar saja? Mendit Alau mengajar dan men¢ lidik? Praktisi pendidikan, J.1.G.M. Drost, S.J., berpendapal bahy ekolah punya peran mengajar, | bukan mendidik. Penanggung, jawab pertama-tama dan utama pendidikan i bukanlah lembaga sekolah, melainkan orang tua dan masyarakat. -Pembedaan antara mengajar dan mendidik memang penting dan diperlukan agar pihak-pihak yang bersangkulan dengan pendidik- an dan pengajaran (orang tua, sekolah, dan masyarakal) tahu ke- -dudukan dan perannya masing-masing, Lalu, apa saja konsekuen- - sinya? Apa saja yang dipersyaratkan? Bagaimana situasi persekolah- an -... bagaimana pula kenyataannya? ~~ Semua p yaan itu dan berbagai persoalan lainnya dibahas seeara tajam dan menarik oleh Pater Drost dalam buku i - sangat layak ¢ simak oleh orang tua, dosen, guru, ule para Pamanil fjakan di bidang pengajaran dan pent Pater Drost, be itulah orang mengenal Drs. Josephus Ignatius Gerardus Maria D rost, S.J., lahir pada | Agustus 1925 di Batavia, Beliau adalah mantan rektor IKIP Sanata Dharma (1968-197 6) dan mantan direktur SMA\ is Jakarta (1977-1986). Perhatiannya yang sangal hesar terhadap persoalan pendidikan di Indonesia |f icayy o79-672-116-3 kerap diungkapkan lewat tulisan-tulisannya di media-m | | ll | | | Pater Drost dalam kurun waktu 1970-an hing 7 dan diterbithan m 97961721160 oleh Penerbit Kanisius dalam kerja sama dengan Uni dan seminar-seminar. Buku ini merupakan | bunga rampai ne pennant usiabeliau y yang pada tah i ini ge a 7 mM senbian vind 2h, VMvvmun

You might also like