You are on page 1of 5

Masa cuma satu? tanya Tristan.

Hah? O iya! emangnya perlu berapa ya? tanyaku malu.


Ambil yang sama aja ya. usul Trsitan.
Iya. jawabku pasrah karena sudah dua kali ketahuan grogi.
Tristan mengambil bebrapa buku tulis dari lemari display dan memberikannya kepadaku.
Banyak juga ya. basa-basiku.
Namanya juga sekolah, Mir. canda Tristan.
Candaan Tristan aku balas dengan tawa yang ku tahan agar terlihat semanis mungkin.
Quest-ce qui marrive?1 Kenapa gua jadi kelebihan gini jaimnya? jangan sampe gua
naksir Tristan. Dia itu cowok saudara lo!
Kami berjalan menuju meja kasir yang berada tidak jauh dari situ.
Abis ini kemana Mir? tanya Tristan.
Pulang. jawabku singkat.
Mo makan dulu ga? ajak Tristan.
What? Tristan ngajak gua makan? No way! masak gua nusuk Imel dari belakang?!
Sukanya makan apa? tanya Tristan lagi.
Hah? enggak deh. Makan di rumah aja.
Ooo pasti ga enak sama Imel ya? tuduh Tristan.
Aku tidak dapat menjawab tuduhan Tristan yang spontan karena mengandung 100%
kebenaran.
Tristan tertawa geli melihat kegugupanku. Seharusnya aku tidak boleh menunjukkan
sedikitpun rasa gugup. Itu hanya akan menunjukkan bahwa aku menyembunyikan sesuatu
darinya.
Imel udah tau kok. celetuk Tristan.
Hah? Udah tau apa? pekikku.
Kok bisa si Imel tahu gua suka sama Tristan! Merde! Mati gua! segiru obvious-nya
kah? batinku.
Udah tahu kalo gua nemenin lo di sini. jelas Tristan.

1.Apayangterjadipadaku?

Diam-diam aku menarik napas panjang. Bodohnya diriku bisa jatuh cinta dengan cowok
saudaraku. Tapi siapa yang bisa menebak kapan perasaan itu muncul. Unfortunately, aku
jatuh cinta di waktu dan cowok yang tidak tepat.
Oh, gitu? jawabku.
Jadi gimana? mo makan ga?
Enggak deh. Ga laper juga.
Kalo enggak, minum aja. gimana?
Nih orang persistent juga ya. Tapi ga ada salahnya juga minum sebentar
Gimana? Mo ke Coffee Bean ga? Di sana ada Coffee Bean kan? tanya Tristan.
Coffee Bean? Kayaknya pernah denger deh! Tapi kayak gimana ya? di majalah
pernah lihat logonya. Tapi sampai sekarang belum pernah ngerasain minumannya.
Masak gua bilang enggak tahu?! Gengsi!
Ada! Ada! jawabku tegas.
Mau ga?
Ya, udah. Yuk.

Aku mengikuti langkah pelan Tristan. Tubuh tegapnya sesekali berputar ke arahku.
Senyuman manis terlontar dari wajahnya.
Ku atur langkahku agar aku tidak berdiri sejajar dengannya. Aku berada selangkah di
belakangnya. berpura-pura melihat-lihat etalase sekeliling seraya memperlambat jalanku
agar kegugupanku tidak terlihat Tristan sekaligus dapat memperhatikan Tristan dari
belakang.
Kenapa sih jalan di belakang terus? tanya Tristan.
Enggak! Lagi liat-liat. jawabku beralasan.
Tristan menghentikan langkahnya. Lagi liat yang mana?
Spontan aku menunjuk ke arah kiriku, sebuah toko karpet Pakistan!
Tristan memperhatikan toko karpet dengan tampang sedikit bingung. Kemudian dia
melihatku dengan wajah Karpet? Yang bener aja lo!.
Aku tidak bisa berkata-kata lagi, hanya senyum getir yang menghiasi wajah mencoba
menutupi rasa malu.
Ooo lo suka karpet ya? tanya Tristan dengan wajah serius.

Man! What a humiliating moment ever! Aku mencoba untuk tidak panik, Iya, bagus ya
karpetnya. jawabku sekenanya.
Aku tidak berani menatap wajah tampan Tristan. Rasa maluku sepertinya sudah di ubunubun.
Iya, bagus. sahut Tristan.
Mau ditaruh dimana muka ini? Dari awal aku bertemu dia, aku seperti bukan diriku. Aku
tidak ingat lagi diriku yang dulu. Tubuh ini seperti tidak sejalan dengan pikiranku.
Di hadapannya, aku seperti ingin menjadi sosok lain. Sosok yang ingin disukai dan dicintai
Tristan.
Tapi akal ini melarangku. Akal sehat yang mengingatkanku akan kewajibanku. Yang
memberiku sinyal akan unpleasant things yang mungkin aku alami jika aku mengikuti
keinginan tubuhku.
Mo lihat ke dalam? ajak Tristan.
Ah, enggak! Yuk! Udah yuk! Aku berjalan cepat meninggalkan Tristan yang masih
bingung dengan gelagatku.
Tristan menyusulku dengan langkah cepat. Aku berhenti di depan escalator, Tris, kita ke
atas apa ke bawah?
Ke atas.
Aku kembali melangkah cepat menaiki anak tangga satu persatu. Tristan kembali
terbengong-bengong melihatku berjalan di atas tangga jalan.
Semakin cepat sampai, semakin kecil kemungkinanku melakukan hal-hal aneh!
pikirku.
Mir! Mir! panggil Tristan sambil mengejarku.
Jalannya cepet-cepet banget! ujarnya.
Hah? Iya ya? jawabku dengan wajah sok bingung.
Pelan-pelan aja. Buru-buru ya?
Enggak kok.
Emang, lo kalo jalan secepet ini ya?
Hah? Gak tau deh. Kayaknya biasa aja. jawabku berpura-pura tidak mengerti.
Aku menarik napas panjang kemudianku usap wajah agar aku dapat berpikir dengan
jernih. Aku harus me reset ulang semua.

This is not good! Gua harus menanamkan pada diri bahwa Tristan hanya teman dan
tidak ada intention untuk mendekatinya.
Ku tarik lagi napas untuk menutup resolusi singkatku. Sori, sori. Ga maksud ninggalin lo
kok.
Kecil-kecil langkahnya besar. canda Tristan.
Enak aja! Daripada lo, gede-gede langkahnya kecil kayak pengantin! balasku.
Yes! Berhasil! Aku tidak lagi grogi! keep it this way and everything will be alright!
kataku dalam hati.
Mo mesen apa? tanya Tristan.
Mataku menjelajah daftar minuman yang terpampang di atas. Semua nama-nama yang
tidak ku kenal tapi terlihat sangat nikmat.
Namun aku tidak dapat memutuskan, semua nama begitu asing. Tapi aku tidak boleh
terlihat norak! Bukan salahku kalau tidak ada Coffee Bean di kotaku dulu.
Sama aja deh sama lo. jawabku.
Espresso Machiato aja mba dua. pinta Tristan ke pelayan Coffee Bean.
Aku mengeluarkan dompetku namun Tristan dengan sigap menyerahkan lembaran
seratus ribu ke pelayan.
Eh, kok lo bayarin? Ga usah. Gua ada kok. ujarku.
Ga papa. sekali-kali nraktir. Lain kali lo yang bayarin. canda Tristan.
Iya, iya. Thanks ya. ucapku walaupun aku agak sungkan,
Tak berapa terdengar panggilan nama Tristan. Dua Espresso Machiato pun telah tersedia.
Tristan mengambil dua gelas itu dan duduk di sofa caf.
Gimana? tanya Tristan.
Gimana apanya?
Ya gimana menurut lo Jakarta sekarang?
Lebih rame. jawabku singkat.
Udah? gitu doang?
Hmmm lebih banyak mal.
Kalo di sana gimana?
Di sana lebih sepi dari di sini. Tapi lebih bersih.
Ooo gitu, anak-anaknya gimana?

Hmmm kalo di sini kayaknya lebih enak deh, soalnya, anak SMA aja dah punya mobil.
Di sana, paling punya motor. Itupun Scooter.
Di sana punya cowok ga? tanya Tristan.
Hah?! Jantungku rasanya mau copot! Frontal banget! Tidak ku sangka Tristan berani
melontarkan pertanyaan seperti itu, padahal kita baru kenal.
Kok, nanyanya gitu sih? tanyaku.
Ya, enggak apa-apa. Cuma pengen tau cowok di sana kayak gimana sih? jawab
Tristan.
Ooo eng enggak. Gak punya.
Masa sih? Ga percaya!
Bener kok! Gua ga sempet mikirin yang kayak gitu.
Kok ga diminum sih. sela Tristan sambil menunjuk ke arah gelasku.
O iya. Aku menyeruput espresso-ku
Puuuaaahhh! Tidak sengaja kusemburkan espresso panas dari mulutku. Lidahku seperti
terbakar lahar panas.
Tristan tidak bergerak menghindar dan hanya menutup mata karena terkena semburan
espressoku.
Aduh! Sori! Ga sengaja! Abis panas banget! Tunggu ya, gua ambilin tisu dulu. panikku.
Tristan hanya terdiam dan sesekali melap wajah dengan tangannya. Pengunjung lain
tersenyum dan sebagian menahan tawa melihat kejadian itu.
Ku berlari kecil mengambil beberapa tisu kemudian menyeka sisa-sisa espresso di wajah
Tristan.
Udah-udah, ga usah. Ga papa kok Mir. ujar Tristan sambil menahan tanganku.
Gerakanku terhenti seketika. Tangan Tristan yang memegang lenganku serasa seperti es
yang menjalar cepat ke seluruh tubuhku.
Ku tarik cepat lenganku dari tangan Tristan. Sori ya Tris, gua bener-bener ga sengaja.
Iya. Ga papa. Ga usah minta maaf terus gitu.

You might also like

  • Rom 95
    Rom 95
    Document5 pages
    Rom 95
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Rom 92
    Rom 92
    Document5 pages
    Rom 92
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Rom 94
    Rom 94
    Document5 pages
    Rom 94
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Rom 8
    Rom 8
    Document5 pages
    Rom 8
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Rom 9
    Rom 9
    Document5 pages
    Rom 9
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Rom 93
    Rom 93
    Document5 pages
    Rom 93
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Rom 91
    Rom 91
    Document4 pages
    Rom 91
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Rom 6
    Rom 6
    Document5 pages
    Rom 6
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Sin 98
    Sin 98
    Document5 pages
    Sin 98
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Rom 5
    Rom 5
    Document5 pages
    Rom 5
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Rom 7
    Rom 7
    Document5 pages
    Rom 7
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Rom 1
    Rom 1
    Document6 pages
    Rom 1
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Rom 4
    Rom 4
    Document5 pages
    Rom 4
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Rom 5
    Rom 5
    Document5 pages
    Rom 5
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Rom 3
    Rom 3
    Document6 pages
    Rom 3
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Sin 94
    Sin 94
    Document5 pages
    Sin 94
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Rom 2
    Rom 2
    Document7 pages
    Rom 2
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Sin 97
    Sin 97
    Document180 pages
    Sin 97
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Sin 9
    Sin 9
    Document5 pages
    Sin 9
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Sin 96
    Sin 96
    Document5 pages
    Sin 96
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Sin 95
    Sin 95
    Document5 pages
    Sin 95
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Sin 6
    Sin 6
    Document5 pages
    Sin 6
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Sin 92
    Sin 92
    Document5 pages
    Sin 92
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Sin 94
    Sin 94
    Document5 pages
    Sin 94
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Sin 93
    Sin 93
    Document5 pages
    Sin 93
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Sin 93
    Sin 93
    Document5 pages
    Sin 93
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Sin 91
    Sin 91
    Document5 pages
    Sin 91
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Sin 5
    Sin 5
    Document5 pages
    Sin 5
    Abdul Aziz
    No ratings yet
  • Sin 8
    Sin 8
    Document5 pages
    Sin 8
    Abdul Aziz
    No ratings yet