Professional Documents
Culture Documents
Karena keluhan batuk tidak membaik, maka OS dirujuk ke RS Budhi Asih. Di RS dilakukan
pemeriksaan Rontgen Paru dan darah. Hasilnya dikatakan OS mengalami flek paru dan
disarankan meminum obat selama 1 minggu. Setelah 1 minggu, OS kembali ke RS dan
disarankan untuk meminum obat yang berbeda untuk terapi berikutnya. Saat hari ke 3 setelah
meminum obat, OS mengelukan mual dan muntah serta perut tidak enak. Kemudian keluhan
berlanjut sampai terakhir OS dibawa ke UGD RSAU.
OS tidak pernah menjalani operasi apapun dan dirawat dalam jangka waktu panjang.
Riwayat Penyakit HT, Jantung, DM, Asma dan Ginjal disangkal. Riwayat sakit kuning saat
usia 5 tahun. Riwayat minum obat OAT disangkal. Riwayat Alergi Obat juga disangkal.
4. Riwayat Keluarga : Ayah OS dikatakan meninggal karena menderita sakit liver. Riwayat sakit
asma dan alergi dalam keluarga OS disangkal.
5. Riwayat Pekerjaan : OS adalah pensiunan dari perusahaan swasta. Sudah 10 tahun tidak
bekerja. Aktivitas sehari-hari mengurus cucu di rumah.
6. Kondisi Lingkungan : Os tinggal di rumah dengan lingkungan padat penduduk. Tinggal
berdua bersama istri. Dikatakan ventilasi rumah cukup baik.
7. Riwayat Sosial dan Kebiasaan: OS merokok sejak mulai bekerja (15 tahun). Dalam 1 hari
menghabiskan bungkus, berhenti 10 tahun terakhir. OS tidak mengkonsumsi minuman
keras. Tetapi dikatakan OS sering meminum obat-obat nyeri yang dibeli di warung (Panadol,
Paramex, dll) sejak OS muda.
8. Riwayat Makanan dan Minuman : OS makan 2-3x/hari. Menu keluarga sehari-hari. Nafsu
makan dikatakan mulai menurun sejak awal bulan puasa. BB OS juga menurun 5 kg sejak
bulan puasa hingga sekarang.
9. Riwayat Imunisasi : OS tidak mengingat
10. Lain-lain: Daftar Pustaka :
1. Price SA , Standridge MP . Tuberkulosis Paru. Dalam : Price SA, Wilson LM ed.
Patofisiologi edisi 6 volume II. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta ; 2003 : 852 864.
2. Tatalaksana Pasien Tuberkulosis. Dalam: Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Edisi ke-1. Depkes RI. 2014.
3. PDPI. Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Tuberkulosis Di Indonesia, 2006. Available
URL:http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html
4. Raviglione MC, O'Brien RJ. Tuberculosis. In : Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald
E, Hauser SL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine. Volume I. 16th
Edition. McGraw-Hill. New York. 2005 : 953-966.
5. Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I , Simadibrata
KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta 2006: 998-1003.
6. Arif M, Tutiyanti K dkk. Pulmonologi; Tuberkulosis Paru. Kapita Selekta
Kedokteran. Jilid I, edisi III. Media Aesculapius FKUI. Jakarta 2001: 476.
Rangkuman hasil pembelajaran portofolio :
1. Subyektif
OS usia 58 tahun datang ke UGD RSAU dr. Esnawan Antariksa dengan keluhan sesak napas
2
sejak 1 jm SMRS. Sesak sebenarnya sudah dirasakan sejak 3 hari yang lalu, hanya semakin
lama semakin bertambah parah hingga mengharuskan pasien ke UDG RS . Sesak dikatakan
disertai dengan batuk berdahak warna putih kental, susah buang air kecil dan kaki bengkak.
Keluhan susah buang air kecil juga dirasakan sejak 3 hari SMRS. Dalam satu hari OS hanya
BAK sebanyak 2x dan jumlahnya kurang dari 1 botol aqua 600cc. Semakin hari sejak 3 hari
tersebut, kaki OS menjadi semakin membengkak.
Selain keluhan tersebut diatas, OS juga mengatakan adanya mual muntah sejak 3 hari tersebut,
semua makanan yang dimakan akan keluar kembali, perut juga terasa sakit dan begah. Keluhan
demam disangkal pasien. BAB sulit 2 hr SMRS.
2. Obyektif
Pemeriksaan fisik umum :
Keadaan umum: Tampak sakit sedang
Kesadaran: Kompos mentis
TD: 90/70 mmHg Nadi: 122x/menit, Pernapasan: 36x/menit, Suhu: 36,5oC
Pemeriksaan sistemik :
Kepala : normocephali, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+),edema palpebral -/visus bedside 6/6, lapang pandang tidak menyempit, pernapasan cuping hidung (-), bibir
: iktus kordis teraba di sela iga V 2 jari lateral linea midklavikula kiri
Palpasi
Perkusi
: sonor
Auskultasi : bunyi nafas vesikular +/+, rhonki +/+ basal paru, wheezing -/Abdomen
Inspeksi
: datar
Palpasi
: supel, nyeri tekan (+)epigastrium dan kuadran kanan atas, hepar dan
3
15 Oktober 2015
LED : 3
SGOT : 380
SGPT : 518
15 Oktober 2015
13,1
36,0
7,554
21,1
90,6
98,4
18,3
-3,8
-1,2
18,9
19,6
23,5
174,4
83,9
0,5
343,8
Trombosit : 119000
leukosit : 3-5
eritrosit : 2-4
silinder : negatif
epitel : positif
Kristal : negative
Interpretasi EKG :
Kesan : Sinus takikardi, 120x/menit, LAD, dengan lateral infarction
Rontgen Thorax (14 Oktober 2015)
Kesan : Kardiomegali
Tb paru aktif dengan pleural efusi dextra
Echocardiografi (15 Oktober 2015)
6
3. Assesment
Dyspnoe et causa CHF + TB paru dalam pengobatan
4. Plan
Tatalaksana awal di UGD (14 Oktober 2015)
Konsul dr. Jusdiono, Sp.JP :
o Dobuject 4-8 cg
o Lasix 2x1 amp (IV)
o Spironolactone 2x25 gr
o Rencana Echo
o Konsul Paru
Konsul dr. Flora, Sp.P :
o Infus Asering 1 kolf/24 jam
o Cefoperazone 2x1 gr
o Bisolvon 2x1/2 amp
o Lesichol 2x1 tab
o OAT stop sementara
o AGD Ulang besok
Tatalaksana R. Garuda (15 Oktober 2015)
o Infus Asering 1 kolf/24 jam
o O2 2L/mnt
o Syringe Pump dobuject 6 meq/jam
o Digoxin 2x1/2
o Cefoperazone 2x1 gr
o Bisolvon 2x1/2 amp
7
Pendamping
TUBERKULOSIS
LATAR BELAKANG
Tuberculosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia.Beban TB semakin
meningkat seiring semakin bertambahnya kasus co-infeksi TB-HIV. Tidak pelak lagi, masalah
TB masih menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat hingga saat ini. Selain masalah
HIV/AIDS, meningkatnya kasus TB disebabkan oleh kemiskinan yang meningkat akibat resesi
ekonomi global, resistensi obat terhadap bakteri penyebab tuberculosis, hingga masalah
perumahan, kepadatan penduduk yang di picu oleh pertumbuhan penduduk yang semakin
meningkat.
EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2011, diperkirakan terdapat 8,7 juta kasus insiden TB (kisaran, 8,3 juta-9,0
juta) secara global, setara dengan 125 kasus per 100.000 penduduk. Sebagian besar dari
perkiraan jumlah kasus pada tahun 2011 terjadi di Asia (59%) dan Afrika (26%); proporsi kecil
8
dari kasus terjadi di wilayah Mediterania Timur (7,7%), wilayah Eropa (4,3%) dan Daerah
Amerika (3%) (WHO, 2012).
Insidensi tertinggi kasus TB di Indonesia adalah 222 per 100.000 penduduk, sedangkan
angka insidensi terendah sebesar 155 per 100.000 penduduk. Selain itu, ditampilkan pula angka
prevalensi tertinggi kasus TB di Indonesia yaitu 489 per 100.000 penduduk, sedangkan angka
prevalensi terendahnya adalah 130 per 100.000 penduduk. Adapun angka kematian tertinggi
yaitu 48 per 100.000 penduduk, sedangkan angka kematian terendah berada di angka 12 per
100.000 penduduk. Angka-angka diatas menggambarkan kasus TB Paru di Indonesia masih
cukup tinggi (WHO, 2012).
Pada Global Report WHO 2014, Indonesia menempati urutan ke-4 negara terbanyak
penderita tuberculosis setelah Cina, India dan Afrika Selatan. Didapat data TB Indonesia, total
seluruh kasus TB tahun 2009 sebanyak 294731 kasus, dimana 169213 adalah kasus TB baru
BTA positif, 108616 adalah kasus TB BTA negatif, 11215 adalah kasus TB Extra Paru, 3709
adalah kasus TB Kambuh, dan 1978 adalah kasus pengobatan ulang diluar kasus kambuh
(retreatment, excl relaps)
DEFINISI
10
Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).
Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complexwaxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang
berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 C90)
yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan
oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah
polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks
tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai
akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut denganlarutanasamalkohol.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan
menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat
molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan
spesifisiti yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M.
tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen
yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a,
proteinMTP40danlainlain.
Biomolekuler
Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan
guanin (G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen
11
dan penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen yang merupakan sikuen
DNA mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA target, kelompok II merupakan
sikuen DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA
ulangan seperti elemen sisipan.
Gen pab dan gen groEL masing masing menyandi protein berikatan posfat misalnya
protein 38 kDa dan protein kejut panas (heat shock protein) seperti protein 65 kDa, gen katG
menyandi katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein ribosomal S12
sedangkan gen rpoB menyandi RNA polimerase.
Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS ada dalam
mikobakteria antara lain IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS (IS-like element). Deteksi gen
tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan RFLP (dikutip dari 11).
PATOGENESIS
TUBERKULOSIS PRIMER
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru
sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer.
Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di
hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal
sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami sebagai berikut :
1.
2.
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik,
sarang perkapuran di hilus)
3.
Menyebar dengan cara :
12
yang atelektasis
epituberkulosis.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya
tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh
secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini
akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis
tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia
dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
B
TUBERKULOSIS POSTPRIMER
.
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis primer,
13
biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang
bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis
menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah
kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer
dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun
lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang
pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1.
2.
3.
Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis,
kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan
menjadi:
- meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni ini akan
mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas
- bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh
dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai
kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate
shaped).
14
3
KLASIFIKASI
A. TUBERKULOSIS PARU
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura.
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan
radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
15
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan
kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis
2. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe
pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b.
Kasus kambuh (relaps)
- TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten menangani
16
kasus tuberkulosis
c.
Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2
bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
d.
Kasus gagal
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.
e.
Kasus kronik
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan
ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik
f.
Kasus Bekas TB:
- Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran
radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan
gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung
- Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan
OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi
17
Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran kencing dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari tempat lesi.
Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan
bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstraparu aktif.
DIAGNOSIS
A. GAMBARAN KLINIK
Gejala klinik
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori
(gejala lokal sesuai organ yang terlibat)
1.
Gejala respiratorik
- batuk 2 minggu
- batuk darah
- sesak napas
- nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi.
2.
Gejala sistemik
Demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun
18
3.
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari
kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis,
sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri
dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah
apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya cairan di
rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah
sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di
daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak.
Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess
Gambar
3.
Paru
apeks
lobus
superior
dan
apeks
lobus
inferior
19
Pemeriksaan Bakteriologik
a.
Bahan pemeriksaan
b.
c.
- Mikroskopik
- Biakan
Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa
Mikroskopik fluoresens:
screening)
pewarnaan Ziehl-Nielsen
pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
Egg
base
media:
Lowenstein-Jensen
(dianjurkan),
Ogawa,
Kudoh
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
22
Pemeriksaan khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu
yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam
perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi
kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
1. Pemeriksaan BACTEC
Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang
menunjang ke arah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai
peganganuntukdiagnosisTB
3. Pemeriksaan serologi
24
3. Pemeriksaan darah
4. Uji tuberkulin
25
TERAPI
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan
4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.
26
Obat
Dosis
(Mg/Kg
BB/Har
Dosis
DosisM
yg
aks
dianjur
(mg)
kan
i)
Harian
Intermitten
(mg/
(mg/Kg/BB/kali)
kgBB
< 40
40-
>60
60
hari)
R
8-12
10
10
600
300
450 600
4-6
10
300
150
300 450
20-30
25
35
750
15-20
15
30
750
15-18
15
15
1000
Sesuai
BB
100 150
0
100 150
0
750
0
100
0
27
sekurang-kurangnya
2 kali
dan sebaiknya
3 kali.
Bila
pemeriksaan histopatologi
4.
Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB harus
menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi
5.
Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif
paling kurang pada 3 kali pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali terhadap dahak
pagi hari), foto toraks menunjukkan kelainan TB, tidak ada respons terhadap
antibiotik spektrum luas (hindari pemakaian flurokuinolon karena mempunyai
efek melawan M.tb sehingga memperlihatkan perbaikan sesaat). Bila ada fasiliti,
pada kasus tersebut harus dilakukan pemeriksaan biakan. Pada pasien denagn
atau diduga HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan.
6.
Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura,KGB hilus/mediastinal) pada anak
dengan BTA negatif berdasarkan foto toraks yang sesuai dengan TB dan terdapat
riwayat kontak atau uji tuberkulin/interferon gamma release assay positif. Pada
pasien demikian, bila ada fasiliti harus dilakukan pemeriksaan biakan dari
bahan yang berasal dari batuk, bilasan lambung atau induksi sputum.
7.
Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi
kesehatan masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai
tetapi juga dapat memantau kepatuhan berobat sekaligus menemukan kasuskasus yang tidak patuh terhadap rejimen pengobatan. Dengan melakukan hal
tersebut akan dapat menjamin kepatuhan hingga pengobatan selesai.
8.
Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan
paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat
yang biovaibilitinya sudah diketahui. Fase awal terdiri dari INH, rifampisin,
pirazinamid dan etambutol diberikan selama 2 bulan. Fase lanjutan yang
dianjurkan adalah INH dan rifampisin yang selama 4 bulan. Pemberian INH dan
29
etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif untuk fase lanjutan pada
kasus yan keteraturannya tidak dapat dinilai tetapi terdapat angka kegagalan dan
kekambuhan yang tinggi dihubungkan dengan pemberian alternatif tersebut
diatas kususnya pada pasien HIV. Dosis obat antituberkulosis ini harus
mengikuti rekomendasi internasional. Fixed dose combination yang terdiri dari 2
obat yaitu INH dan rifampisin, yang terdiri dari 3 obat yaitu INH, rifampisin,
pirazinamid dan yang terdiri dari 4 obat yaitu INH, rifampisin, pirazinamid dan
etambutol sangat dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan pengawasan
langsung saat menelan obat.
9.
Untuk
menjaga
dan
menilai
kepatuhan
terhadap
pengobatan
perlu
15). Penilaian respons terapi pada pasien TB paru ekstraparu dan anak-anak,
paling baik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks untuk evaluasi tidak
diperlukan dan dapat menyesatkan (misleading)
11.
Pencatatan tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan, respons
bakteriologis dan efek samping harus ada untuk semua pasien
12.
Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan
kemungkinan co infeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV
diindikasikan untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan
rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan
pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan tanda
tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan
riwayat risiko tinggi terpajan HIV.
13.
Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah mempunyai
indikasi
untuk
diberi
terapi
antiretroviral
dalam
masa
pemberian
pemeriksaan kultur dan uji sensitifity terhadap INH, rifampisin dan etambutol.
15.
Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus terdiri atas obatobat lini kedua. Paling kurang diberikan 4 macam obat yang diketahui atau
dianggap sensitif dan diberikan selama paling kurang 18 bulan. Untuk
memastikan kepatuhan diperlukan pengukuran yang berorientasi kepada pasien.
Konsultasi dengan pakar di bidang MDR harus dilakukan.
16.
Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa individu
yang punya kontak dengan pasien TB harus dievaluasi (terutama anak usia
dibawah 5 tahun dan penyandang HIV), dan ditatalaksana sesuai dengan
rekomendasi internasional. Anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV
yang punya kontak dengan kasus infeksius harus dievaluasi baik untuk
pemeriksaan TB yang laten maupun yang aktif
17.
Semua petugas harus melaporkan baik TB kasus baru maupun kasus pengobatan
ulang dan keberhasilan pengobatan kepada kantor dinas kesehatan setempat
sesuai dengan ketentuan hukum dan kebijakan yang berlaku
32
33
Rawat inap
Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinis, radiologi dan evaluasi
pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang
Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan
-
Sesak napas
Demam tinggi
Paduanobat:2RHZE/4RH
Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan dapat
diberikan kortikosteroid
Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.
Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan
Paduan OAT pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat kadar gula
darah terkontrol
Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan
sampai 9 bulan
Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada mata;
sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektiviti obat oral
antidiabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol / mendeteksi
dini bila terjadi kekambuhan
35