You are on page 1of 16

BAHASA INDONESIA SEBAGAI IDENTITAS NASIONAL BANGSA INDONESIA

(INDONESIAN LANGUAGE AS THE NATIONAL IDENTITY OF INDONESIAN)


Akhmad Yazidi
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Pakuan, Jalan Pakuan Bogor, e-mail tasyrifin_karim@yahoo.co.id
Abstract
Indonesian Language as the National Identity of Indonesian. This paper
discusses the history of the Indonesian language, the role of the Indonesian
language in Indonesian nationalism, the position and function of the Indonesian
language, both as a national language as well as the state language, the
Indonesian language as well as the characteristics of their national identity. Of
this section can be summarized as follows. Youth Pledge results by Indonesian
Youth Congress on October 28, 1928 is the crystallization of Indonesian
nationalism. Indonesian as a young man vows content plays an important role
for Indonesian nationalism. Indonesian language is established and developed
blood nationalism in our society who inhabit the thousands of islands in this
archipelago with different tribes and languages. Indonesian language that is
derived from the Malay language as one of the local languages in the
archipelago is then developed into an intermediate language (lingua franca),
continues to be the national language and the official language of the State. In
the position as the national language, the Indonesian language serves as (1) a
symbol of national pride, (2) a symbol of national identity, (3) as the language of
national unity of the various peoples of different languages and cultures, and (4)
as a lingua franca among regions and intercultural. In a position as an official
language, the Indonesian language serves as (1) the official language of the
state, (2) the language of instruction in educational institutions, (3) language of
relationships in the implementation of national development and governance,
and (4) the language of instruction in the development of science and modern
technology. As the national language and official language, the Indonesian
language is the language standard, open, dynamic along with the dynamics of the
development of society as national. For development impact, we as Indonesian
speaker demanded always open and dynamic in order to follow the development
of Indonesian Indonesian language used always good and right. In addition, the
community to always be positive about the Indonesian language and Indonesian
language in an effort to foster the Indonesian language. Fostering the Indonesian
language means to foster nationalism as well as the Indonesian language is
Indonesian national identity.
Key words: Indonesian, national identity, fostering Indonesian

Abstrak
Bahasa Indonesia sebagai Identitas Nasional Bangsa Indonesia. Tulisan ini
membahas tentang sejarah bahasa Indonesia, peranan bahasa Indonesia dalam
nasionalisme Indonesia, kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, baik sebagai
bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara, serta karakteristik bahasa
Indonesia sebagai identitas nasional bangsa. Dari pembahasan ini dapat
disimpulkan sebagai berikut. Sumpah Pemuda hasil oleh Kongres Pemuda
Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 merupakan kristalisasi dari nasionalisme
Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai salah satu isi sumpah pemuda memegang
peranan penting bagi nasionalisme Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan
darah yang menjalin dan menumbuhsuburkan nasionalisme dalam masyarakat
kita yang mendiami beribu-ribu pulau di nusantara ini dengan berbagai suku
bangsa dan bahasa daerah. Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu
sebagai salah satu bahasa daerah yang ada di nusantara ini kemudian
berkembang menjadi bahasa perantara (lingua franca), terus menjadi bahasa
nasional, dan bahasa resmi Negara. Dalam kedudukan sebagai bahasa nasional,
bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2)
lambang identitas nasional, (3) sebagai bahasa persatuan nasional dari
berbagai masyarakat yang berbeda-beda bahasa dan budaya, serta (4) sebagai
bahasa perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Dalam kedudukan sebagai
bahasa resmi, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan,
(2) bahasa pengantar di lembaga pendidikan, (3) bahasa perhubungan dalam
pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan tingkat nasional, dan (4) bahasa
pengantar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara, bahasa Indonesia
merupakan bahasa yang baku, terbuka, dinamis seiring dengan dinamika
perkembangan masyarakat sebagai dampak pembangunan nasional.Untuk itu,
kita sebagai penutur bahasa Indonesia dituntut selalu terbuka dan dinamis
mengikuti perkembangan bahasa Indonesia agar bahasa Indonesia yang
digunakan selalu baik dan benar. Di samping itu, masyarakat agar selalu
bersikap positif terhadap bahasa Indonesia dan dalam berbahasa Indonesia
sebagai upaya membina bahasa Indonesia. Membina bahasa Indonesia berarti
juga membina nasionalisme bangsa karena bahasa Indonesia merupakan
identitas nasional bangsa Indonesia.
Kata-kata kunci: bahasa indonesia, identitas nasional, membina bahasa indonesia

PENDAHULUAN
Identitas nasional adalah ungkapan nilai budaya suatu masyarakat atau bangsa
yang bersifat khas yang membedakannya dengan bangsa lain. Identitas nasional bukan
sesuatu yang sudah selesai, tetapi terus berkembang secara kontekstual sesuai dengan
perkembangan zaman. Unsur-unsur identitas nasional antara lain pola perilaku, simbol
simbol, alat-alat perlengkapan, dan tujuan yang akan dicapai secara nasional, sedangkan
unsur pembentuk identitas nasional meliputi sejarah, kebudayaan, suku bangsa, agama,
dan bahasa (Ubaedillah dan Rozak, 2008: 19-21).
Sumpah Pemuda yang dihasilkan Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober
1928 berisi tiga deklarasi tentang nasionalisme Indonesia terkait dengan kesatuan bangsa,
kesatuan tanah air, dan bahasa persatuan Indonesia. Kebermaknaan Sumpah Pemuda

sebagai deklarasi atas kebangsaan, tanah air, dan bahasa, karena kita bangsa Indonsia
terdiri atas beribu-ribu pulau (13 ribu lebih), banyak suku bangsa (652), beratus-ratus
bahasa daerah (742), serta beragam keyakinan keagamaan. Oleh karena itu, bangsa
Indonesia mengenal falsafah bhinneka tunggal ika.
Antara bahasa Indonesia dengan rasa kebangsaan Indonesia terdapat hubungan
kejiwaan yang saling menentukan (Muslich dan Oka, 2010: 72). Bahkan dapat dikatakan
bahwa terdapat hubungan simbiosis antara bahasa Indonesia dan nasionalisme kita.
Kesamaan lingua franca (bahasa Melayu) antarsuku bangsa turut memicu lahirnya
nasionalisme kita, dan sebaliknya nasionalisme kita memperkuat posisi bahasa Melayu
sebagai lingua franca yang akhirnya menjadi bahasa nasional bangsa Indonesia.
Berkaitan dengan tema tulisan ini, yaitu Bahasa Indonesia Identitas Nasional
Bangsa Indonesia, permasalahan yang dibahas adalah sejarah bahasa Indonesia, peranan
bahasa Indonesia dalam nasionalisme Indonesia, kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia,
karakteristik bahasa Indonesia sebagai identitas nasional bangsa. Tulisan ini dibuat
sebagai hasil kajian pustaka atas topik ini.
PEMBAHASAN
Sejarah Bahasa Indonesia
Kongres II bahasa Indonesia tahun 1954 mengakui bahwa bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Melayu. Dalam catatan bahwa bahasa Melayu memiliki sejarah yang
cukup panjang. Dari batu-batu bertulis yang ditemukan, seperti Kedukan Bukit, Talang
Tuwo, Kota Kapur, Karang Brahi, Gandasuli, Bogor, dan Pagaruyung, maka yang paling
awal bertahun 683 M. Hal ini menunjukkan bahwa sejak abad ke-7, bahasa Melayu sudah
ditemukan dalam tulisan dengan aksara Pallawa (Collins, 2009: 78; Adul, 1981: 1-2).
Dari bukti ini dapat diduga bahwa secara lisan beberapa abad sebelumnya bahasa Melayu
sudah digunakan masyarakat penuturnya (orang Melayu).
Ada 5 faktor yang mendorong tersebarnya bahasa Melayu di nusantara ini.
Pertama, bahasa Melayu adalah bahasa yang digunakan oleh kerajaan Sriwijaya sebagai
salah satu kerajaan di nusantara ini yang berpusat di Sumatera bagian Selatan dan Riau
(Ophuijsen, 1983). Kerajaan Sriwijaya pada masanya pernah menguasai wilayah yang
cukup luas di nusantara ini, sehingga bahasa Melayu sebagai bahasa kerajaan menyebar
seiring dengan meluasnya wilayah kerajaan Sriwijaya.
Faktor kedua, pusat kerajaan Sriwijaya merupakan wilayah pusat perdagangan
internasional. Di wilayah ini terjadi pertemuan dagang antarpedagang di nusantara ini
dengan pedagang yang datang dari luar nusantara. Dalam pertemuan perdagangan
tersebut terjadi komunikasi dengan menggunakan bahasa Melayu sehingga secara tidak
langsung para pedagang dari pelosok nusantara ini dan juga pedagang yang datang dari
luar, mau tidak mau mesti berkomunikasi dalam bahasa Melayu.
Faktor ketiga, pusat kerajaan Sriwijaya menjadi pusat pendidikan, kebudayaan,
dan keagamaan agama Buddha. Sebagai pusat pembelajaran agama Buddha, membuat
wilayah ini didatangi oleh para pembelajar agama Buddha dari berbagai wilayah,
termasuk yang berasal dari Cina, Champa dan Kamboja dengan bahasa pengantar bahasa
Melayu Kuno. Dalam kaitan ini terjadilah persentuhan antara penutur bahasa Melayu
dengan penutur yang berbahasa asing. Sebagai pusat pendidikan, kebudayaan, dan

keagamaan, intensitas hubungan berbahasa sangat kuat sehingga berdampak terhadap


penguasaan dan pemakaian bahasa Melayu.
Faktor keempat, letak geografis kerajaan Sriwijaya ini di selat Melaka menjadi
pintu masuk para pedagang dari dan ke nusantara sehingga frekuensi dan intensitas
pertemuan dan komunikasi sangat tinggi di jalur ini. Faktor kelima adalah bahasa dan
sastra Melayu. Bahasa Melayu memiliki sistem bahasa yang sangat sederhana, tidak
mengenal tingkat kebahasaan, serta terbuka, sehingga mudah dipelajari, sedangkan dari
segi kesusastraan, sastra Melayu sudah demikian tinggi yang berarti bahwa bahasa
Melayu sudah mempunyai tradisi kesusastraan yang sudah sangat baik.
Kelima faktor di atas yang membuat bahasa Melayu tersebar dan digunakan di
nusantara ini dalam komunikasi antarsuku dan antarbangsa, bagi kepentingan
perdagangan, kebudayaan, pendidikan, dan keagamaan. Dalam kondisi ini memposisikan
bahasa Melayu tidak hanya sebagai bahasa daerah, tetapi sudah menjadi bahasa perantara
lingua franca dari berbagai suku dan bangsa yang berbeda bahasa di nusantara ini.
Bahkan oleh Van Ophuijsen (1983) disebutnya sebagai bahasa internasional.
Pendidikan sebagai bentuk politik etis dari pemerintah Hindia Belanda di
nusantara dengan bahasa pengantar adalah bahasa daerah yang bersifat lokal, bahasa
Melayu, dan bahasa Belanda. Pelaksanaan pendidikan ini dapat dinikmati oleh rakyat di
tanah air maupun oleh segelintir rakyat di Belanda dalam bidang hukum, kedokteran,
ekonomi, dan teknik menumbuhkan benih-benih nasionalisme dalam tubuh rakyat dan
masyarakat. Tumbuh rasa hak asasi sebagai manusia yang harus merdeka dari penjajahan.
Rasa nasionalisme ini berpadu dengan rasa anti penjajahan yang dilakukan oleh berbagai
gerakan pemberontakan dan peperangan dengan berbagai tokohnya. Kristalisasi dari
nasionalisme dan anti penjajahan ini dituangkan dalam satu deklarasi nasionalisme hasil
Kongres Pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928 berupa Sumpah Pemuda.
Ketika pembahasan dalam Kongres Pemuda Indonesia tersebut dijelaskan bahwa
tidak ada satu pun dari para pemuda yang berasal dari semua daerah di nusantara ini yang
keberatan menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dan sebagai bahasa
nasional Indonesia. Sumpah Pemuda dengan 3 deklarasi tersebut oleh A. Teeuw disebut
sebagai pentasmiahan nama Indonesia bagi bangsa, tanah air, dan bahasa sehingga
dengan peritiwa ini memposisikan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan dan bahasa
nasional bangsa Indonesia.
Pendirian Komisi Bacaan Rakyat tahun 1908 dan kemudian diubah menjadi Balai
Pustaka pata tahun 1917 sebagai lembaga pemerintah Hindia Belanda yang menerbitkan
dan menyediakan bahan bacaan rakyat dalam berbagai sektor kehidupan dalam bahasa
Melayu membuat berkembangnya dan tersebarnya bahasa Melayu di seluruh wilayah
nusantara. Demikian pula terbitnya majalah Pujangga Baru oleh Sutan Takdir
Alisjahbana dan kawan-kawan yang berwawasan nasionalisme dan kebudayaan modern
menjadikan bahasa Indonesia sebagai media perjuangan bangsa bagi kemajuan kehidupan
yang maju dan modern juga memberi andil dalam perkembangan dan pertumbuhan
bahasa Indonesia. Masa pendudukan Jepang di wilayah Hindia Belanda setelah Jepang
mengalahkan Belanda nusantara ini merupakan masa yang amat berarti bagi

perkembangan bahasa Indonesia. Jepang sebagai penguasa baru tidak ingin segala hal
yang berbau Belanda digunakan, termasuk bahasa. Jepang berkeinginan agar bahasa
Jepang yang digunakan di wilayah pendudukan ini. Namun penguasaan bahasa tidak
semudah menguasai suatu wilayah, penguasaan dan penggunaan bahasa memerlukan
proses yang panjang. Dalam kondisi transisi ini, pertimbangan yang sangat realistis
adalah digunakannya bahasa pribumi. Dalam hal ini, dipilihlah bahasa Melayu
(Indonesia) sebagai bahasa dalam pemerintahan dan pendidikan atau pengajaran sehingga
pada masa pendudukan Jepang ini bahasa Indonesia digunakan secara resmi sebagai
bahasa pemerintahan dan pendidikan atau pengajaran.
Perjuangan pergerakan kemerdekaan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia, baik
perlawanan fisik berupa peperangan maupun dalam bentuk politik, ditunjang pula oleh
perkembangan dan kondisi wilayah Hindia Belanda di nusantara ini. Kekalahan Belanda
atas Jepang dan kemudian kekalahan Jepang atas sekutu menyebabkan terjadinya
kevakuman kekuasaan di wilayah Hindia Belanda ini. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para
pejuang untuk memproklamasikan diri menjadi negara dan bangsa yang merdeka dan
berdaulat oleh Bapak Soekarno Hatta atas nama rakyat Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945. Sidang PPKI pada tangal 18 Agustus 1945 menetapkan UUD RI 1945
serta mengangkat Ir. Soekarno dan Drs. Muh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden
RI. Dalam UUD 1945 bab 15 pasal 36 ditetapkan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara.
Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Melayu sebagai salah satu bahasa daerah di nusantara ini, kemudian berkembang menjadi
bahasa perantara lingua franca antarmasyarakat. Kemudian Kongres Pemuda Indonesia,
28 Oktober 1928 menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional
bangsa Indonesia. Setelah merdeka, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi
Negara.
Berkaitan dengan hal tersebut Slametmulyana mengemukakan bahwa dipilihnya
bahasa Melayu yang dijadikan bahasa nasional Indonesia karena 4 faktor, yaitu (1)
bahasa Melayu sudah merupakan lingua franca di nusantara. (2) sistem bahasa Melayu
sederhana sehingga mudah dipelajari. (3) suku Jawa, suku Sunda, dan suku lainnya
dengan suka rela menerima bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional, dan (4) bahasa Melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa
kebudayaan dalam arti luas (Arifin dan Tasai, 2008: 8). Di samping itu, Moeliono (1981:
44) mengemukakan bahwa bahasa Melayu bukan merupakan bahasa asing di nusantara,
dan karena bahasa Melayu merupakan bahasa dengan penutur yang sangat kecil (4,9%)
sementara bahasa Jawa digunakan oleh penutur 47% dan bahasa Sunda digunakan oleh
penutur 14.5% sehingga tidak ada perasaan kalah dan menang, sehingga dalam hubungan
ini, Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan sebagai mukjizat dan Sapardi Djoko Damono
menganggap sebagai keajaiban.
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, namun bahasa Indonesia bukan
bahasa Melayu, karena bahasa Indonesia sudah sangat berbeda dengan bahasa Melayu.
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia sangat banyak menyerap kosakata dari
berbagai bahasa, baik bahasa asing maupun bahasa daerah di Indonesia. Bahasa asing
yang berkontribusi dalam pengembangan bahasa Indonesia meliputi bahasa Sanskerta,
bahasa India, bahasa Tamil, bahasa Portugis, bahasa Parsi, bahasa China, bahasa Jepang,
bahasa Belanda, bahasa Jerman, bahasa Arab, dan bahasa Inggris, sedangkan dari bahasa

daerah meliputi bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Batak, bahasa Minang, bahasa
Palembang, bahasa Bugis, bahasa Banjar, bahasa dari Papua, bahasa dari Maluku, dan
lain-lain.
Peranan Bahasa Indonesia Dalam Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Bahasa dan nasionalisme sangat berkaitan dan saling memegang peranan penting
(Samuel, 2008: 159). Teori Jerman yang dianggap sebagai teori kuno tentang bangsa
mengatakan bahwa suatu bangsa itu ditandai oleh persamaan keturunan, persamaan
tempat dan dilengkapi oleh persamaan bahasa dan kepercayaan. Jadi, menurut teori ini
antara bangsa dan bahasa itu terdapat hubungan yang saling menentukan, dalam arti
adanya suatu bangsa itu karena adanya bahasa yang menandainya dan adanya bahasa
karena adanya bangsa pemakainya (Muslich dan Oka, 2010: 67). Menurut Renan
(Muslich dan Oka, 2010: 68), bangsa itu adalah suatu lembaga sosial yang tumbuh
sebagai akibat pengalaman sejarah berupa perjuangan dan penderitaan dari penjajahan
yang sama, yang lalu menimbulkan keinginan untuk tetap bersama pada masa-masa
sekarang dan masa-masa yang akan datang (Gazalba, dalam Muslich dan Oka, 2010: 68).
Bahasa adalah alat pengikat sosial yang paling kuat, kalau kita hubungkan dengan
kenyataan fungsi sosial budaya bahasa itu dalam masyarakat (Vendreyes, dalam Muslich
dan Oka, 2010: 68). Menurut Chase (Muslich dan Oka, 2010: 68), suatu bahasa di dalam
masyarakat mempunyai 3 fungsi (1) sebagai alat komunikasi eksternal (antarwarga), (2)
sebagai alat komunikasi internal (berpikir), dan (3) sebagai pembentuk pandangan hidup.
Menurut Voessler (Muslich dan Oka, 2010: 71), rasa kebangsaan (nasionality)
itu tergantung sekali oleh bahasa nasional itu, karena bahasa nasional itu merupakan
elemen yang membentuk rasa kebangsaan suatu bangsa. Tentang peranan bahasa nasional
sebagai pembentuk rasa kebangsaan dikemukakan oleh Grya (Muslich dan Oka, 2010:
71) bahwa dengan peranan bahasa sebagai alat pembentuk rasa kebangsaan maka setiap
bangsa berkeinginan untuk memiliki suatu bahasa sendiri karena memiliki suatu bahasa
itu sama saja dengan memiliki suatu peradaban. Voessler (Muslich dan Oka, 2010: 71)
menyatakan antara rasa kebangsaan atau nasional karakter itu identik dengan bahasa
nasional.
Perjuangan kemerdekaan Indonesia boleh dikatakan sejajar dengan perjuangan
bahasa Indonesia dalam mencapai kedudukannya atau fungsinya sebagai bahasa nasional
(Alisjahbana, 1957, dalam Muslich dan Oka, 2010: 72). Antara bahasa Indonesia dengan
rasa kebangsaan Indonesia terdapat hubungan kejiwaan yang saling menentukan bila
ditinjau dari teori di atas (Muslich dan Oka, 2010: 72). Bahkan dapat dikatakan bahwa
terdapat hubungan simbiosis antara bahasa Indonesia dan nasionalisme kita. Kesamaan
lingua franca (bahasa Melayu) antarsuku bangsa atau bangsa turut memicu lahirnya
nasionalisme kita, dan sebaliknya nasionalisme kita memperkuat posisi bahasa Melayu
sebagai lingua franca yang akhirnya menjadi bahasa nasional bangsa Indonesia.
Prasyarat pokok yang harus ada dalam rangka mewujudkan kesatuan bangsa
adalah kesadaran nasional tentang pentingnya kesatuan bangsa bagi bangsa Indonesia
yang serba majemuk ini. Dalam kaitan ini peranan bahasa Melayu sebagai bahasa per
gaulan (lingua franca) dalam proses kesatuan bangsa Indonesia sangat penting (Padi,
dalam Atmadi dan Setiyaningsih, 2003: 114).

Dari sejarah bahasa Indonesia terlihat dengan jelas bahwa bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional mempersatukan bangsa yang demikian bhinneka karena
memungkinkan komunikasi yang lancar antara anggota masyarakat, sekalipun berasal
dari beraneka ragam suku bangsa. Betapa hebat peranan bahasa Indonesia untuk
membawa kawan-kawan kita di daerah untuk dapat cepat turut dalam kehidupan nasional
bangsa Indonesia. Persatuan nasional tersebut merupakan tonggak utama untuk
terpeliharanya kemerdekaan bangsa (Suryohadiprodjo, 1980: 40). Tanpa hadirnya bahasa
Indonesia sulit dibayangkan dengan alat apakah bangsa Indonesia akan mempersatukan
seluruh kekuatan untuk melawan penjajah dan merebut kemerdekaan (Suwito, 1983: 483
dan Mahayana, 2008: 38). Junus (1969:40) menegaskan bahwa bahasa Indonesia adalah
(a) bahasa yang digunakan dalam pergerakan kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan
Indonesia, dan (b) bahasa yang digunakan pada penerbitan-penerbitan yang bertujuan
untuk mewujudkan cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia, baik berupa bahasa pers
maupun bahasa dalam karya sastra.
Sudah terbukti peran bahasa Indonesia mampu mencairkan persatuan etnik
sebagai pemersatu dan membangkitkan nasionalisme. Peranan bahasa Indonesia tentu
tidak lagi sebagai alat perjuangan dan sarana mempererat kesatuan bangsa, melainkan
bagaimana bahasa Indonsia mampu mengangkat citra bangsa di mata dunia. Menyadari
betapa penting peran kesamaan bahasa bagi terwujudnya kesatuan bangsa, maka usaha
memasyarakatkan bahasa Indonesia di semua lapisan makin gencar dilakukan
(Mahayana, 2008: 34). Melihat perjalanan bahasa Indonesia selepas merdeka sampai
keluar SK Presiden RI No. 57 tanggal 17 Agustus 1972 tentang peresmian berlakunya
Ejaan yang Disempurnakan peranan bahasa Indonsia tidak lagi sebagai alat perjuangan
kebagsaan sebagaimana yang dilakukan bangsa kita selepas Sumpah Pemuda, peranannya
justru memperkokoh keanekaragaman suku, adat, agama, serta bagi kemampuan bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara.
Berkaitan dengan peran bahasa Melayu (Indonesia) dalam nasionalisme bangsa
Indonesia juga bisa dilihat pada pernyataan Moh. Yamin dan George MCTruman Kahin
sebagai berikut. Moh. Yamin dalam pidato pada Kongres Pemuda Pemuda Indonesia, 2728 Oktober 1928 dengan judul Persatuan dan Kesatuan Indonesia menyatakan:
Kalau saya sepuluh tahun yang berbicara tentang hal ini semuanya tentu
saya gambarkan sebagai cita-cita saja. Tetapi dalam waktu yang sepuluh
tahun ini sudah banyak digunakan bahasa yang dulu dinamakan bahasa
Melayu sekarang sudah dikuburkan dan hidup menjelma menjadi bahasa
Indonesia. Dalam kongres tahun 1926 telah saya uraikan panjang lebar
bagaimana arti bahasa ini bagi kita dan tanah air kita, dan mengapa bahasa
Indonesia lahir ke dunia. Segala apa yang saya katakan tiada akan saya
ulang lagi, hanyalah yang saya hendak terangkan bagaimana peranan
sesungguhnya bahasa Indonesia kepada persatuan kita (Ihsan dan
Soeharto, 1981: 148).
Menurut Kahin bahwa dalam proses sosial budaya, paling kurang ada 3 faktor
yang telah menyumbang pada terciptanya rasa persatuan Indonesia, yaitu (a) agama Islam
sebagai agama mayoritas rakyat, (b) kenyataan bahwa di Hindia Belanda sejak abad ke11 bahasa Melayu telah merupakan bahasa pergaulan (lingua franca), dan (c)

diperkenalkannya sistem pendidikan Belanda di awal abad ke-19 (Tomagola, dalam


Maneger dan Achmad, 2010: 69).
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional menjadi penjalin kesatuan dan pengikat
kekitaan Indonesia, keindonesiaan kita. Kohesi nasional mendapat perekat paling kuat
karena kita memiliki bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda 1928 memiliki arti dan makna
yang dalam dan sangat filosofis bagi bangsa kita, bangsa Indonesia. Eksistensi bangsa
dan negara adalah mendasar, bahasa Indonesia ada dan berkembang bersama-sama
dengan ada dan berkembangnya kebangsaan Indonesia (Soekirno, 2008: 61).
Bahasa Indonesia dapat dianggap sebagai realisasi terpenting pada zaman
penjajahan dari cita-cita kebangkitan bangsa Indonesia sebagai suatu kesatuan dalam
dunia modern serta perwujudan dari realisasi cita-cita kebudayaan modern yang berbeda
dari kebudayaan tradisional yang ada sejak berabad-abad di bumi Indonesia. Dilihat dari
perkembangan bahasa Indonesia dalam dunia modern yang sejalan dengan bangkitnya
nasionalisme sejak zaman Renaissance, terbentuknya bahasa Indonesia dapat dikatakan
sebagai suatu mukjizat yang tidak ada tandingannya dalam sejarah bahasa-bahasa
(Alisjahbana, dalam Purwo, 1992: 1) dan Damono (Sweeney, dkk, 2007: xii)
menganggap sebagai suatu keajaiban. Seperti dikemukakan di atas bahwa pada saat
menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dan bahasa nasional tidak
mengalami hambatan psikologis dalam tubuh bangsa kita. Ketika pembahasan dalam
Kongres Pemuda Indonesia tahun 1928 tidak ada satu pun wakil dari suku bangsa
termasuk wakil dari Jawa dan Sunda, yang keberatan dijadikannya bahasa Melayu
sebagai bahasa nasional. Berbeda dengan di Filipina, India, Pakistan, dan lain-lain saat
menetapkan bahasa nasional sempat menimbulkan gejolak nasional.
Dengan demikian, bahasa Melayu yang telah berabad-abad menjadi lingua franca
di seluruh kepulauan ini dan telah luas dipakai dalam pergerakan kebangkitan
kebangsaan, memantapkan kedudukannya mengatasi bahasa-bahasa daerah. Dengan
kenyataan ini, harus kita sadari bahwa bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu
yang menjadi lingua franca berabad-abad di Asia Tenggara diangkat oleh pergerakan
kebangsaan Indonesia menjadi bahasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dan
kemudian menjadi bahasa resmi negara Indonesia (Alisjahbana, dalam Purwo, 1992: 6).
Pemasyarakatan bahasa Indonesia dalam rangka pemantapan persatuan dan
kesatuan bangsa dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dengan tujuan
agar (1) setiap warga negara Indonesia mau dan mampu berbahasa Indonesia secara baik
dan benar, (2) setiap warga negara Indonesia mempunyai kebanggaan untuk
menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi sesama warga negara Indonesia,
dan (3) setiap warga Negara Indonesia mempunyai kemampuan untuk mengerti dan
menyerap pesan-pesan pembangunan serta program pemerintah. Peran yang menonjol
dari bahasa Indonesia antara lain (1) bahasa Indonesia sebagai alat untuk
mengkomunikasikan pesan-pesan pembangunan dan (2) bahasa Indonesia sebagai alat
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Anas, dalam Alwi, dkk., 2000: 12).
Bahasa Indonesia telah mampu menerjemahkan pesan dan gagasan pembangunan
nasional kepada rakyat dengan jelas dan mudah dipahami. Partisipasi rakyat dalam
pembangunan, meskipun masih memperlihatkan adanya keterbatasan, cukuplah kita
katakan memuaskan. Selain besarnya partisipasi rakyat itu juga kita lihat tanda-tanda
keberhasilan berupa mantapnya stabilitas politik dalam negeri, mantapnya Pancasila
sebagai ideologi nasional, berkembangnya demokrasi, dan mantapnya kesatuan dan

persatuan bangsa. Kita tidak menganggap bahwa kemantapan tersebut terwujud hanya
karena kita memiliki satu bahasa nasional, tetapi banyak faktor yang berperan. Bahasa
Indonesia yang kita miliki paling tidak telah mampu menjadi peubah antisenden terhadap
lahirnya kesatuan dan persatuan untuk kemudian melahirkan kemantapan tersebut.
Tuntutan kita terhadap bahasa Indonesia untuk berfungsi sebagai pemersatu sebagai
wujud jiwa kesatuan bangsa tidak berlebihan (Yogie, dalam Alwi, dkk., 2000: 39).
Sebagai sumber inspirasi ke arah persatuan dan kesatuan bangsa sudah tidak
diragukan, namun bahasa Indonsia bukan satu-satunya sumber, sehingga kalau tidak
mendapat pembinaan dan pengembangan yang tepat akan ditinggalkan. Dalam kondisi
yang tidak menguntungkan itu kualitas persatuan dan kesatuan bangsa yang diikat tanpa
ikatan bahasa akan memperlihatkan penurunan kualitas karena dalam bahasa cermin cara
berpikir dan cara mengandung muatan perasaan (Yoegi, dalam Alwi, dkk., 2000: 41-42).
Abad ke-20 adalah abad kebangkitan nasional, abad kemerdekaan bagi bangsa
Indonesia. Kunci sukses kita untuk mencapai itu tiada lain adalah persatuan. Kita mutlak
membutuhkan persatuan untuk melawan penjajah, untuk mempertahankan kemerdekaan,
untuk menangkal separatisme, untuk menjaga keutuhan wilayah, untuk membangun
perekonomian, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan untuk mengembangkan jati
diri bangsa (Yudhoyono, 2010: 9).
Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Sudah 83 tahun kita bangsa Indonesia mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa
Nasional. Bahasa Indonesia merupakan darah dan perekat nasionalisme bangsa
Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan wahana penjalin bersemi dan bersemainya
nasionalisme dalam diri anggota masyarakat kita yang tersebar pada seluruh kepulauan di
nusantara ini sehingga menjadi satu keluarga bangsa Indonesia.
Seminar politik bahasa nasional yang dilaksanakan oleh Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa pada bulan Pebruari 1975 dan kemudian dikukuhkan dalam
Undang-Undang No. 24 Tahun 2009, menetapkan fungsi bahasa Indonesia dalam
kedudukan sebagai bahasa nasional. Fungsi tersebut adalah (1) sebagai lambang
kebanggaan nasional, (2) sebagai lambang identitas nasional, (3) sebagai bahasa
persatuan nasional dari masyarakat yang berbeda-beda bahasa daerah, dan (4) sebagai
bahasa perhubungan antarbahasa dan antarbudaya.
Bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan nasional merupakan ungkapan
perwujudan sikap kita terhadap bahasa Indonesia dan dalam berbahasa Indonesia. Yang
menjadi pertanyaan bagaimana sikap kita terhadap bahasa Indonesia dan bagaimana
kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia. Positif atau negatifnya sikap kita, atau
kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia tergambar pada perilaku kita dalam berbahasa
Indonesia. Kalau kita masih sering mengeluhkan penggunaan bahasa Indonesia oleh
masyarakat karena masih seringnya kekurangtepatan penggunaan bahasa Indonesia
tersebut, baik masyarakat umum, aparatur pemerintah, pejabat negara, atau para elite
partai politik dan masyarakat. Hal tersebut merupakan gambaran sikap dan rasa
kebanggaan tersebut atas bahasa Indonesia. Kepedulian, rasa memiliki, dan rasa
bertangung jawab merupakan faktor penentu atas sikap dan kebanggaan terhadap bahasa
Indonesia tersebut. Dengan demikian, kembali kita bertanya apakah kita peduli, merasa
memiliki, dan merasa bertanggung jawab terhadap bahasa Indonesia dan dalam berbahasa
Indonesia.

Bahasa Indonesia sebagai lambang identitas nasional merupakan fungsi yang


melekat pada masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, setiap anggota masyarakat kita
harus bisa dan mampu berbahasa Indonesia baik secara lisan maupun tertulis. Dalam
fungsi ini pernah terjadi kasus penyalahgunaan kewarganegaraan Indonesia oleh warga
negara asing yang menggunakan pasport Indonesia di satu Negara. Setelah dilakukan
interogasi menggunakan bahasa Indonesia yang bersangkutan tidak bisa berbahasa
Indonesia. Dengan kata lain bahwa orang tersebut bukan warga negara Indonesia, namun
mengunakan pasport palsu Indonesia. Dengan demikian, berarti bahwa anggota
masyarakat kita harus tidak ada lagi yang buta aksara dan buta bahasa Indonesia.
Untuk diketahui bahwa pada saat proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus
1945 kurang dari 10% dari sekitar 85 juta penduduk yang bisa membaca dan menulis
dalam bahasa Indonesia, 600 ribu orang yang duduk di SD dan 500 anak di sekolah
lanjutan. Tahun 1980 hasil sensus penduduk terdata bahwa 39% anak di atas usia 5 tahun
tidak bisa membaca dan menulis. Hasil sensus penduduk tahun 1990 terdata bahwa 17%
penduduk berusia 5 tahun ke atas buta aksara. Pada tahun 2010 masih terdata bahwa 9
juta orang penduduk Indonesia buta aksara (Maryanto, 2011).
Bahasa Indonesia sebagai wahana persatuan nasional, bahasa Indonesia tidak
hanya sebagai lambang persatuan nasonal, tetapi bahasa Indonesia adalah darah persatuan
nasional kita. Bahasa Indonesialah yang menjalin dan menyatukan masyarakat yang
mendiami beribu-ribu pulau di nusantara ini. Bahasa Indonesia yang menyatukan
masyarakat yang berbeda-beda bahasa dan budaya senasib sepenanggungan mulai zaman
penjajahan, masa perjuangan kemerdekaan, sampai sekarang terjalin karena bahasa
Indonesia.
Bahasa Indonesia adalah media perhubungan antarbudaya dan antardaerah yang
berbeda-beda bahasa. Fungsi ini penekanan lebih jauh dari fungsi ketiga di atas pada
aspek perhubungan antarbudaya dan antardaerah. Bahasa-bahasa daerah dan budayabudaya daerah merupakan kekayaan dan kekuatan nasional kita. Karena itu diperlukan
perekat sebagai budaya nasional, yaitu dengan bahasa Indonesia, sehingga semua bentuk
budaya nasional dari berbagai daerah bisa tampil dengan menggunakan bahasa Indonesia
agar dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Resmi Negara
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang ditetapkan pada tangal 18
Agustus 1945 dan dalam Bab XV, Pasal 36 menetapkan bahwa bahasa Indonesia adalah
bahasa resmi negara. Dalam kedudukan sebagai bahasa resmi negara ini, bahasa
Indonesia mempunyai 4 fungsi, yaitu (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa resmi
dalam pengajaran di sekolah, (3) bahasa resmi dalam pembangunan dan pemerintahan
pada tingkat nasional, serta (4) bahasa resmi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Berkaitan dengan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan
terdapat beberapa konteks yang bisa kita lihat. Dalam acara dan upacara resmi
kenegaraan, baik secara lisan maupun tertulis harus menggunakan bahasa Indonesia.
Demikian pula Presiden RI sebagai personfikasi kenegaraan di dalam acara-acara resmi
di manapun, kapan pun, dan dengan siapa pun harus atau boleh selalu menggunakan
bahasa Indonesia. Berbeda dengan para pejabat negara lainnya dalam berkomunikasi
dengan pihak lain, terutama bila berkomunikasi dengan pihak negara lain, dia harus

menggunakan bahasa yang bisa saling dimengerti kedua belah pihak. Demikian pula
secara tertulis, semua dokumen resmi kenegaraan, semua bentuk perundang-undangan,
surat-surat resmi kenegaraan, dokumen notariat di Indonesia, semuanya harus
menggunakan bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar resmi dalam pendidikan dan
pengajaran pada semua jenjang pendidikan. Ada dua kondisi dibolehkan tidak
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan dan pengajaran di
sekolah. Di Sekolah Dasar kelas 1 sampai dengan kelas 3 di lingkungan yang tidak
mungkin digunakannya bahasa Indonesia, boleh menggunakan bahasa daerah; serta
bahasa pengantar dalam pengajaran bahasa asing boleh atau harus menggunakan bahasa
asing. Dalam pengajaran bahasa Inggris harus menggunakan bahasa Inggris, dan lainnya
agar pengajaran efektif.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam pembangunan dan pelaksanaan
pemerintahan tingkat nasional. Di dalam pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan
pada tingkat nasional harus menggunakan bahasa Indonesia. Namun di dalam
pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan pada tingkat yang lebih rendah, terlebih
pada tingkat kelurahan atau desa atau kampung boleh menggunakan bahasa daerah sesuai
dengan daerahnya agar dapat dipahami oleh masyarakat di daerah yang bersangkutan. Di
dalam pelaksanaan penyuluhan pembangunan di masyarakat, seperti dalam bidang
pertanian, kesehatan, KB, agama, energi (seperti kasus kompor gas), atau pertanahan, dan
lain-lain bisa digunakan bahasa daerah. Demikian pula, dalam penanganan berbagai
masalah kemasyarakatan, krisis sosial, konflik sosial, dan berbagai permasalahan
kemasyarakatan lainnya harus menggunakan bahasa yang bisa dipahami masyarakatnya.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan produk dari masyarakat maju dan modern,
serta tidak termasuk dalam ranah adat dan budaya kedaerahan karena itu dalam
pengembangannya harus selalu menggunakan bahasa Indonesia. Ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak mengenal batas wilayah sehingga dalam pengembangannya tidak bisa
menapikan penggunaan bahasa asing. Dalam kaitan ini, sudah banyak dibuat dan
diterbitkan kamus bahasa Indonesia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang
bersumber dari berbagai bahasa asing. Karena itu para ilmuwan Indonesia yang bergerak
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mau tidak mau harus memiliki
kemampuan penguasaan bahasa asing.
Karakteristik Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu, bukan bahasa daerah, dan juga bukan
bahasa asing, bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan bahasa resmi negara
Indonesia. Bahasa Indonesia, sejak awal pembentukannya dari bahasa Melayu sangat
banyak menyerap berbagai bahasa asing dan bahasa daerah. Dilihat dari sifat kebahasaan,
bahasa Indonesia bersifat aglutinasi tidak bersifat derivasi, sehingga dalam proses
morfologis menggunakan imbuhan berupa awalan, akhiran, dan sisipan, serta
penggabungan awalan dan akhiran berupa konfiks serta simullfiks, sedangkan dalam
struktur kalimat bahasa Indonesia menganut hukum DM (diterangkan menerangkan)
bukan MD (menerangkan diterangkan). Hal ini sangat berbeda dibandingkan dengan
bahasa Inggris atau bahasa Arab.

Dalam kehidupan, kita berkomunikasi bisa dalam bahasa lisan dan bisa dalam
bahasa tulis. Dalam situasi resmi, baik lisan maupun tulisan, kita harus menggunakan
bahasa Indonesia baku (standar). Sebagai bahasa baku, menurut W. A. Stewart harus
mempunyai kriteria, yaitu (a) standardization, (b) autonomy, (c) historicity, dan (d)
vitality (Adul, 1981: 13). Keempat kriteria tersebut terpenuhi dalam bahasa Indonesia. Di
samping itu, terdapat kriteria lainnya, yaitu kecendekiaan (intelektualisme) (Lubis, 1993:
53). Bahasa baku, menurut Moeliono (Adul, 1981: 14) berfungsi sebagai (a) pemersatu,
(b) penanda kepribadian, (c) penambah wibawa, dan (d) kerangka acuan dalam
berbahasa. Dalam bahasa lisan, kebakuan bahasa dapat dilihat pada aspek lafal, kosa kata,
dan tata bahasa, sedangkan dalam bahasa tulis, kebakuan bahasa dapat dilihat pada aspek
sistem penulisan yang mengacu pada Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), kosa kata, dan
tata bahasa. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa berbahasa Indonesia baku itu
meliputi baku dalam lafal, kosa kata, tata bahasa, dan penulisan sesuai dengan Ejaan
Yang Disempurnakan.
Salah satu ciri bahasa baku dan modern adalah bersifat dinamis dan terbuka
seiring dengan dinamika masyarakat sebagai implikasi dari modernisasi yang ditopang
oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Keterbukaan dan kedinamisan ini sudah terjadi
sejak awal terbentuknya bahasa Indonesia hingga kini, karena banyak sekali bahasa asing
dan bahasa daerah yang berkontribusi. Dinamika bahasa yang menonjol adalah
perkembangan kosakata bagi keperluan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam
hubungan ini sudah banyak dibuat dan diterbitkan kamus istilah dalam berbagai bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kita bangsa Indonesia merupakan masyarakat dwibahasawan bahkan
multibahasawan. masyarakat kita paling sedikit bisa dalam dua bahasa dan mungkin
lebih, yaitu bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Tidak sedikit pula masyarakat kita yang
bisa berbahasa dalam beberapa bahasa daerah juga bisa berbahasa asing, sehingga mereka
termasuk dalam kategori multibahasawan.
Setiap hari, situasi dan suasana kedaerahan yang paling banyak kita jalani. Hanya
pada segelintir orang ada tuntutan untuk menggunakan bahasa Indonesia baku. Seperti
seorang guru atau dosen saat mengajar di kelas, atau seorang pejabat dan eksekutif
lainnya ketika memimpin rapat di kantor. Jadi, tuntutan penggunaan bahasa baku dalam
kehidupan kita sangat sedikit, selebihnya kita hidup dalam suasana kedaerahan. Bahkan
kita bisa dipandang aneh, jika kita mengunakan bahasa Indonesia baku pada situasi
informal yang menuntut suasana akrab dan personal apakah di kantor, di sekolah, dan
terlebih di rumah.
Demikian pula, terpaan pemakaian produk teknologi informatika berupa HP yang
sudah sangat banyak digunakan oleh masyarakat, baik dalam bahasa lisan maupun bahasa
tulis. Melalui sms berkembang penggunaan bahasa tulis yang tidak baku karena pesan
yang disampaikan melalui sms merupakan media informal, personal, dan familiar
sehingga selalu dalam bahasa yang tidak baku.
Kebakuan dalam lafal mempunyai permasalahan tersendiri di masyarakat karena
banyaknya dialek kebahasaan dalam berbahasa Indonesa. Dialek ini bersumber dari
pengaruh bahasa daerah di dalam berbahasa Indonesia (interferensi). Kita masyarakat
Indonesia lahir dan besar dalam suasana kedaerahan, sehingga hal ini sangat besar
mempengaruhi dalam berbahasa Indonesia.

Permasalahan menonjol dalam penggunaan bahasa lisan meliputi bunyi /e/ oleh
masyarakat Batak, Papua, Maluku, dan Dayak, bunyi /t/ oleh masyarakat Bali, dan Aceh,
bunyi /d/ dan /b/ oleh masyarakat Jawa, bunyi /o/ dan /e/ oleh masyarakat Banjar, bunyi
/n/ dan /ng/ yang dilafalkan terbalik pada posisi akhir kata oleh orang Bugis dan
Makassar, serta bunyi /f/ dan /x/ oleh sebagian masyarakat yang kurang terpelajar. Dalam
tataran struktur, sering muncul dari masyarakat yang berasal dari Maluku dan Papua
dengan struktur terbalik (Mahsun, 2010) serta penggunaan frase daripada, yang mana,
dan dimana sebagai penghubung oleh sebagian besar masyarakat karena terpengaruh pola
bahasa asing. Demikian pula, langgam yang bersifat kedaerahan yang bersumber dari
bahasa daerah terjadi pada semua masyarakat. Pelafalan standar bahasa Indonesia hanya
ada dalam deskripsi ilmiah tetapi kurang menjadi acuan bahan pengajaran bahasa
Indonesia di sekolah sehingga anak didik tidak pernah mendengar model pembelajaran
lafal baku dari setiap fonem bahasa Indonesia.
Permasalahan dalam pengunaan bahasa tulis meliputi penggunaan frase daripada,
yang mana, dan dimana yang sering digunakan sebagai penghubung, penggunaan konfiks
ke-an dan pe-an, simulfiks, di-kan, di-i, me-kan, dan me-i yang menyatukan dua kata.
Demikian pula, penggunaan angka Arab dan angka Romawi yang mengarah ke bilangan
bertingkat banyak terdapat kekeliruan. Selain itu, yang sangat menonjol adalah
penggunaan awalan di- dan kata depan di yang disebabkan kekurangfahaman atas aturan
penggunaannya dalam bahasa Indonesia.
Terkait dengan usaha menjaga ciri dan karakteristik bahasa Indonesia dalam
menyerap setiap kosakata dalam pengembangan bahasa Indonesia sebagai media
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, selalu dilakukan adaptasi
dengan karakter bahasa Indonesia, sehingga setiap kata dari berbagai bahasa yang
diambil, secara struktur dan lafal disesuaikan dengan bahasa Indonesia. Cara ini dapat
memelihara karakteristik bahasa Indonesia, baik dari segi lafal, kosakata, struktur,
maupun penulisan. Hal ini tertuang dalam politik bahasa nasional berkaitan dengan peran
bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing, pedoman Ejaan yang Disempurnakan,
serta pedoman pembentukan istilah.
Dalam hubungan dengan dinamika berbahasa, berkaitan dengan sikap kita sebagai
penutur bahasa Indonesia, apakah positif atau negatif. Bagaimana kepedulian, rasa
memiliki, dan rasa tanggung jawab atas bahasa Indonesia. Di dalam pembelajaran bahasa,
ada 3 aspek yang terkait, yaitu aspek pengetahuan (kognitif), aspek keterampilan
(psikomotor), dan aspek sikap (afektif). Dalam perkembangan awal antara ketiga aspek
terbentuk secara runtut dimulai dari kognitif, psikomotor, dan kemudian afektif. Namun
dalam perkembangan kemudian bisa diawali dan ditentukan oleh aspek afektif. Sikap ini
bisa dilihat pada kesetiaan terhadap bahasa Indonesia, kebanggaan terhadap bahasa
Indonesia, dan kesadaran pemakai bahasa akan norma-norma sosiokultural yang berlaku
yang mendorong seseorang untuk selalu menggunakan bahasa Indonesia secara sungguhsungguh, baik, dan santun (Rahardi, 2006). Permasalahan pemakaian bahasa Indonesia
yang terjadi di masyarakat bisa disebabkan oleh sikap masyarakat yang tidak positif
terhadap bahasa Indonesia dan berbahasa Indonesia sehingga dalam pemakaian bahasa
Indonesia tidak mengindahkan kaidah bahasa Indonesia, apalagi ditambah dengan sangat
kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap kaedah bahasa Indonesia.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Sumpah Pemuda hasil oleh Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928
merupakan kristalisasi dari nasionalisme Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai salah satu
isi sumpah pemuda memegang peranan penting bagi nasionalisme Indonesia. Bahasa
Indonesia merupakan darah yang menjalin dan menumbuhsuburkan nasionalisme dalam
masyarakat kita yang mendiami beribu-ribu pulau di nusantara ini dengan berbagai suku
bangsa dan bahasa daerah. Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu sebagai
salah satu bahasa daerah yang ada di nusantara ini kemudian berkembang menjadi bahasa
perantara (lingua franca), terus menjadi bahasa nasional, dan akhirnya menjadi bahasa
resmi Negara.
Dalam kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai
(1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) sebagai bahasa
persatuan nasional dari berbagai masyarakat yang berbeda-beda bahasa dan budaya, serta
(4) sebagai bahasa perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Dalam kedudukan sebagai
bahasa resmi, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan, (2)
bahasa pengantar di lembaga pendidikan, (3) bahasa perhubungan dalam pelaksanaan
pembangunan dan pemerintahan tingkat nasional, serta (4) bahasa pengantar dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Saran
Sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara, bahasa Indonesia merupakan
bahasa yang baku, terbuka, dinamis seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat
sebagai dampak pembangunan nasional yang ditopang oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi modern. Untuk itu kita masyarakat bangsa sebagai penutur bahasa Indonesia
dituntut selalu terbuka dan dinamis mengikuti perkembangan bahasa Indonesia agar
bahasa Indonesia yang digunakan selalu baik dan benar. Di samping itu, masyarakat agar
selalu bersikap positif terhadap bahasa Indonesia dan dalam berbahasa Indonesia sebagai
upaya membina bahasa Indonsia. Membina bahasa Indonesia berarti juga membina
nasionalisme bangsa karena bahasa Indonesia merupakan identitas nasional bangsa
Indonesia.

DAFTAR RUJUKAN
Adul, M. Asfandi. 1981. Bahasa Indonesia Baku dan Fungsi Guru dalam Pembinaan
Bahasa Indonesia. Surabaya: Penerbit PT Bina Ilmu.
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1992. Peranan Bahasa Indonesia dalam Modernisasi
Kebudayaan Indonesia. Dalam Bambang Kaswanti Purwo, PELLBA 5. Jakarta:
Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.

Alwi, Hasan, dkk., (Ed.). 2000. Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud RI.
Arifin, E. Zainal dan Tasai, S. Amran. 2008. Cermat Berbahasa Indonesia untuk PT.
Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo.
Collins, James T. 2009. Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan Ecole
Francaise dExtreme-Orient.
Junus, Umar. 1969. Sedjarah dan Perkembangan Ke arah Bahasa Indonesia dan
Bahasa Indonesia. Djakarta: Bhrata.
Lubis, A. Hamid Hasan. 1993. Jenggala Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa.
Mahayana, Maman S. 2008. Bahasa Indonesia Kreatif. Jakarta: Penaku.
Mahsun. 2010. Genolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maryanto. 2011. Prospek Keberaksaraan Bahasa Persatuan, Koran Tempo, Jakarta, 21
Oktober 2011.
Moeliono, Anton M. 1981. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan
Alternatif di Dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.
Muslich, Masnur dan Oka, I Gusti Ngurah. 2010. Perencanaan Bahasa pada Era
Globalisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Padi, A. A. 2000. Integrasi Bangsa Dalam Pengajaran Sejarah. Dalam A. Atmadi dan Y.
Setiyaningsih (ed.). Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga.
Yogyakarta: Kanisius-Penerbitan Universitas Sanata Darma.
Rahardi, R. Kunjana. 2006. Dimensi-Dimensi Kebahasaan, Aneka Masalah Bahasa
Indonesia Terkini. Jakarta: Erlangga.

Samuel, Jerome. 2008. Kasus Ajaib Bahasa Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Soekirno, Ichary. 2008. Globalisasi dan Revolusi Saintifik dalam Keanekaragaman
Umat Manusia, Budaya, dan Nilai. Bandung: Unpad Press.
Suryodihadiprodjo, Sayidiman. 1980. Bahasa Indonesia sebagai Sarana Pembinaan
Ketahanan Nasional. Dalam Majalah Bahasa dan Sastra, Tahun VI No.4. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.
Suwito. 1983. Sosiolinguistik, Teori dan Problema. Solo: Henary Offset.
Sweeney, Amin, dkk. 2007. Keindonesiaan dan Kemelayuan dalam Sastra. Depok-Jawa
Barat: Desantara.
Tomagola, Tamrin Amal. 2010. Pertautan Warga Bangsa Landasan Kukuh Negara.
Dalam Maneger Nasution dan Nur Achmad (Ed.). Umat Beragama Mengawal
NKRI Satu Abad Kebangkitan Nasional. Jakarta: Panitia Pertemuan Besar Umat
Beragama Mengawal NKRI.
Ubaedillah, A. dan Rozak, Abdul. 2008. Pendidikan Kewargaan, Demokratisasi, Hak
Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah
dan Prenada Media Group.
Van Ophuijsen, Ch. A. 1983. Tata Bahasa Melayu. Jakarta: Djambatan.
Yamin, Moh. 1981. Persatuan dan Kesatuan. Dalam A. Zainoel Ihsan dan Pitut Soeharto.
Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok, Kumpulan Tulisan Asli Pidato Tokoh
Pergerakan Kebangsaan 1913-1938. Jakarta: Jayasakti.
Yudhoyono, Susilo Bambang. 2010. Strategi Menjadi Negara Maju Abad 21, Sambutan Presiden RI pada Silaturahmi Dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Masyarakat Ilmiah Indonesia, Serpong, 20 Januari 2010.

You might also like