You are on page 1of 16

Pengobatan yang Tidak Teratur terhadap Tuberculosis Paru

ZAIN AIMAN BIN MOHD ZAIN


102013523
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
zainaiman11@gmail.com

Pendahuluan
Penderita Tuberkulosis (TB) seringkali tidak patuh menghabiskan obat yang telah
diberikan, penyebabnya paling banyak adalah karena malas atau lupa. Namun ketidakpatuhan
mengonsumsi obat dapat menimbulkan kekebalan tubuh terhadap obat tersebut. Akibatnya,
obat yang sebelumnya efektif akan menjadi tidak efektif sama sekali pada tubuh penderita.
Tetapi tingkat keberhasilan pengobatan tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah
mencapai lebih dari 90 persen dan tingkat deteksi kasus baru TB jumlahnya di atas 70 persen.
Prestasi yang cukup membanggakan.
Jumlah pasien TB di Indonesia adalah sekitar 5,8 persen dari total jumlah pasien TB
dunia. Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru di Indonesia dengan tingkat
kematian sekitar 91.000 orang namun bukan berarti tugas masyarakat Indonesia sudah selesai
dalam memerangi TB.
Kekebalan terhadap obat TB atau dikenal sebagai Multi-Drug Resistant TB (MDRTB) merupakan salah satu faktor penyebab masih ada sekitar 10 persen penderita TB di
Indonesia belum sembuh sempurna.
Pasien yang sudah terlanjur menderita MDR-TB tubuhnya akan jadi kebal terhadap
obat TB, misalnya Isoniazid (INH). Untuk pengobatannya diberikan obat lini kedua.
Pendeteksian terhadap MDR-TB yang memakan waktu dalam hitungan bulan membuat
pasien TB seringkali terlalu lama menunggu hasil tes, akibatnya pasien TB menjadi terlambat
diberi pengobatan.

Anamnesis
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau
dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis). Berbeda dengan wawancara
biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, yaitu berdasarkan pengetahuan tentang
penyakit dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu penyakit serta
bertolak dari masalah yang dikeluhkan oleh pasien.
Pada pasien yang datang dengan symptom tuberculosis, diagnosis kerja harus di
dukung dengan indeks kecurigaan yang tinggi terutama pada pasien dengan imunosupresi
atau dari daerah endemisnya. Gejala lokal: Batuk, sesak napas, hemoptisis, limfadenopati,
ruam (misalnya lupus vulgaris), kelainan rontgen toraks, atau gangguan GI. Efek
sistemik:Demam, keringat malam, anoreksia, atau penurunan berat badan.
Beberapa pertanyaan penting tentang rekam medis perjalanan penyakit juga
dianjurkan untuk ditanyakan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui riwayat perjalanan penyakit
sudah sejauh mana. Beberapa pertanyaan tersebut terbagi menjadi sebagai berikut :

Riwayat penyakit sekarang


o Catatan penting: biasanya pasien datang dengan gejala local batuk-batuk, sesak
napas, hemoptosis, limfadenopati, ruam, kelainan rontgen thorax disertai demam,

keringat malam, anoreksia, dan penurunan berat badan.


Riwayat penyakit dahulu
o Pernahkah pasien berkontak dengan pasien TB lainnya ?
o Apakah pasien mengalami imunosupresi? Seperti pemakain kortikosteroid atau
mengidap penyakit HIV juga ?
o Apakah pasien pernah menjalani pemeriksaan rontgen thorax dengan hasil
abnormal ?
o Adakah riwayat vaksinasi BCG atau tes mantoux ?
o Adakah riwayat diagnosis TB?

Obat-obatan
o Pernahkah pasien menjalani terapi TB? Jika ya, obat apa yang digunakan, berapa
lama terapinya, bagaimana kepatuhan pasien mengikuti terapi, dan apakah dilakukan
pengawasan terapi?

Riwayat keluarga dan sosial


o Adakah riwayat TB di keluarga atau lingkungan sosial? Tanyakan konsumsi alkohol,
penggunaan obat intravena, dan riwayat bepergian ke luar negeri.1

Pemeriksaan Fisik
Salah satu pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah memeriksa tanda-tanda vital yang
terdiri dari suhu, tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan. Suhu tubuh yang normal
adalah 36-37oC. Pada pagi hari suhu mendekati 36 oC, sedangkan pada sore hari mendekati
37oC. Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter dengan angka normalnya
120/80 mmHg. Pemeriksaan nadi biasa dilakukan dengan melakukan palpasi a. radialis.
Frekuensi nadi yang normal adalah sekitar 60-80 kali permenit. Dalam keadaan normal,
frekuensi pernapasan adalah 16-24 kali per menit.2
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik pada toraks. Pemeriksaan ini terdiri dari
inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi pada bagian anterior dan posterior.
Pada inspeksi, yang diperhatikan adalah bagaimana bentuk dada (apakah normal /
barrel chest / pectus excavatum / pectus carinatum). Selain itu perlu inspeksi mengenai
bagaimana cara dan pola bernapasnya, apakah normal atau tidak.
Selanjutnya dilakukan palpasi untuk mengevaluasi area toraks, kesimetrisan toraks,
dan vokal fremitus. Saat melakukan palpasi, evaluasi apakah pasien merasa nyeri saat
ditekan. Dalam vokal fremitus, hal yang dirasakan adalah getaran yang terjadi pada dinding
toraks.
Hal yang diperiksa selanjutnya adalah perkusi. Normalnya suara paru yang diperkusi
adalah sonor. Apabila terjadi pneumonia, hasil perkusi parunya adalah redup. Apabila terjadi
hipersonor, terjadi emfisema.3
Kelainan TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai
adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara
napas bronkial. Akan didapatkan juga suara napas menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat
kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi
memberikan suara amforik.2

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah, pemeriksaan


radiologis, pemeriksaan sputum,tes tuberkulin, dan uji kepekaan obat.2
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapatkan perhatian, karena hasilnya kadang-kadang
meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat TB baru mulai (aktif)
akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke
kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila
penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi.
Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi.
Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga: 1) Anemia ringan dengan gambaran
normokrom dan normositer; 2) Gamma globulin meningkat; Kadar natrium darah menurun.
Pemerisaan tersebut di atas nilainya juga tidak spesifik.2
Hasil pemeriksaan darah pasien 7 bulan yang lalu adalah hemoglobin 10 g/dl,
hematokrit 30%, leukosit 9.900 l, trombosit 160.000 l, LED 70 mm/jam, dan jumlah
eritrosit yang menurun.
Pemeriksaan Radiologis
Pada tuberkulosis primer, hal-hal berikut dapat terlihat pada sinar-X dada:2,4
-

Daerah konsolidasi pneumonik perifer (fokus Gohn) dengan pembesaran kelenjar

hilus mediastinum. Keadaan ini biasanya dapat sembuh dengan gambaran kalsifikasi.
Daerah konsolidasi yang dapat berukuran kecil, lobaris, atau lebih luas hingga seluruh
lapangan paru.
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan

pleura (pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru (efusi pleura/empiema), bayangan hitam
radiolusen di pinggir paru/pleura (pneumotoraks).

Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukan kuman BTA, diagnosis
TB sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan

evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah
sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah
untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk non produktif. Dalam
hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air
sebanyak +2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan memberikan
tambahan obat-obat mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik
selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi
diambil dengan brushing dan bronchial washing atau BAL (broncho alveolar lavage). BTA
dari sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada
anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa
hendaknya sesegar mungkin.
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman
baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar, sehingga
sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar. Kriteria sputum BTA positif adalah
bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata
lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mL sputum.2
Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis TB
terutama pada anak-anak. Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc
tuberkulin PPD (Purified Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5TU (intermediate
strength). Bila ditakutkan reaksi hebat dengan 5TU dapat diberikan dulu 1 atau 2 TU (first
strength). Kadang-kadang bila dengan 5TU masih memberikan hasil negatif dapat diulangi
dengan 250TU (second strength). Bila dengan 250TU masih memberikan hasil negatif,
berarti tuberkulosis dapat disingkirkan. Umumnya tes Mantoux dengan 5TU saja sudah
cukup berarti.
Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah
mengalami infeksi M. tuberculosis, M. bovis, vaksinasi BCG, dan Mycobacteria patogen
lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Pada penularan dengan
kuman patogen baik yang virulen ataupun tidak (Mycobacterium tuberculose atau BCG)
tubuh manusia akan mengadakan reaksi imunologi dengan dibentuknya antibodi seluler pada
permulaan dan kemudian diikuti oleh pembentukan antibodi humoral yang dalam perannya
akan menekankan antibodi seluler.

Bila pembentukan antibodi seluler cukup misalnya pada penularan dengan kuman
yang sangat virulen dan jumlah kuman sangat besar atau pada keadaan dimana pembentukan
antibodi humoral amat berkurang (pada hipogama-globulinemia), maka akan mudah terjadi
penyakit sesudah penularan.
Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi
selular dengan antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan antibodi seluler
dan antigen tuberkulin amat dipengaruhi oleh antibodi humoral, makin besar pengaruh
antobodi humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, hasil tes Mantoux ini dibagi dalam:
1. Indurasi 0-5 mm (diameternya), hasil tes mantoux negative (golongan no
sensitivity)
2. Indurasi 6-9 mm (diameternya), hasil tes mantoux meragukan (golongan low
grade sensitivity)
3. Indurasi 10-15 mm (diameternya), hasil tes mantoux positif (golongan normal
sensitivity)
4. Indurasi >15 mm (diameternya), hasil tes mantoux positif kuat (golongan
hypersensitivity)
Biasanya hampir seluruh pasien TB memberikan reaksi Mantoux yang positif
(99.8%). Kelemahan tes ini juga dapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau
terinfeksi dengan Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak ditemui daripada positif
palsu.
Hal-hal yang memberikan reaksi tuberkulin berkurang (negatif palsu) yakni:
-

Pasien baru 2-10 minggu terpajan TB


Anergi, penyakit sistemik berat (Sarkoidosis, LE)
Penyakit eksantematous dengan panas yang akut: morbili, cacar air, poliomielitis
Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikular (Hodgkin)
Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obat-obat imunosurpresi lainnya
Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan

Untuk pasien dengan HIV positif, tes Mantoux +5mm, dinilai positif.2
Uji Kepekaan Obat
M. tuberculosis yang telah diasingkan harus diuji untuk kepekaan terhadap isoniazid
dan rifampin untuk mendeteksi MDR-TB, terlebih jika satu atau lebih faktor resik

teridentifikasi atau pasien pernah gagal dalam terapi atau terjadi kekambuhan setelah
pengobatan selesai. Dan lagi, uji kepekaan lebih luas untuk obat anti-TB lini kedua wajib
dilakukan ketika MDR-TB ditemukan. Uji kepekaan dapat dilakukan secara langsung atau
secara tidak langsung pada media padat maupun cair. Hasil didapatkan dengan cepat pada uji
kepekaan secara langsung pada media cair, dengan rata-rata waktu laporan sekitar 3 minggu.
Dengan cara tidak langsung pada media padat, hasil dapat tidak ada untuk lebih dari 8
minggu. Metode molekuler untuk identifikasi cepat pada mutasi genetik diketahui terkait
dengan resistensi terhadap rifampin dan isoniazid telah berkembang dan secara luas
dijalankan untuk screening pasien dengan resiko TB resisten obat yang meningkat.5

Diagnosis
Pada kasus ini, sudah jelas sekali diagnosis kerja yang diambil adalah tuberculosis
dalam pengobatan, hal ini didukung dengan datangnya pasien yang bertujuan untuk
mengetahui kondisi penyakit TB parunya, dan sudah memilki riwayat pengobatan dua kali,
yang pertama pasien hanya minum obat sekitar 1 bulan. Saat ini pasien menjalani pengobatan
TB yang kedua kalinya, dan mendapat obat suntik yang sudah berjalan selama 6 bulan.
MDR-TB (Multi Drug Resistant Tuberculosis)
Multi drug resistance TB (MDR TB) disebabkan oleh organisme yang resisten
terhadap obat anti tuberkulosis yang paling efektif, yaitu isoniazid dan rifampisin. MDR TB
merupakan hasil dari infeksi dari organisme yang sudah resisten terhadap obat atau timbul
saat pasien sedang terapi, namun terhenti. Fluorokuinolon merupakan golongan paling kuat di
antara obat-obat lini kedua untuk terapi MDR-TB. Pasien MDR-TB yang disertai resistensi
terhadap golongan fluorokuinolon memiliki manifestasi klinik yang lebih serius
dibandingkan dengan yang tidak. Penyakit ini lebih susah diterapi, dan lebih berisiko untuk
menjadi XDR-TB, dan memungkinkan resistensi terhadap obat-obat lini kedua yang lain.5
XDR-TB (Extensive Drug Resistant Tuberculosis)
XDR TB merupakan bentuk TB yang resisten terhadap setidaknya empat obat inti anti
TBC. XDR TB mencakup resistensi terhadap dua obat anti tuberkulosis yang paling efektif,
isoniazid dan rifampisin, sama seperti MDR TB, ditambah dengan resistensi terhadap
golongan fluorokuinolon (seperti ofloxacin atau moxifloxacin), dan terhadap satu dari tiga
obat second-line therapy (amikacin, capreomycin, atau kanamycin). MDR-TB dan XDR-TB

membutuhkan terapi lebih banyak dibandingkan dengan TB yang tidak resisten, dan
membutuhkan kegunaan obat dari secon-line therapy yang lebih mahal dan mempunyai efek
samping yang lebih banyak dari first-line therapy.5
TDR-TB (Total Drug Resistant Tuberculosis)
Istilah 'tahan benar-benar obat belum jelas untuk TB. Sementara konsep 'resistensi
obat total' mudah dimengerti secara umum, dalam prakteknya, in vitro tes kerentanan
terhadap obat secara teknis menantang. XDR-TB sangat mengurangi pilihan untuk
pengobatan meskipun mereka belum dipelajari dalam kohort besar. Pilihan pengobatan untuk
pasien TB-XDR yang memiliki ketahanan terhadap lini kedua obat anti-TB tambahan bahkan
lebih terbatas.5

Epidemiologi
Lebih dari 5,8 juta kasus TB baru (baik yang pulmonal maupun ekstrapulmonal)
dilaporkan kepada World Health Organization (WHO) pada 2009; 95% kasus dilaporkan dari
negara berkembang. Namun, karena deteksi kasus yang kurang dan pemberitahuan yang tidak
lengkap, kasus yang dilaporkan hanya mewakili 63% dari keseluruhan kasus. WHO
mengestimasi bahwa 9,4 juta kasus TB baru terjadi di seluruh dunia pada 2009, 95% darinya
pada negara berkembang di Asia (5,2 juta), Afrika (2,8 juta), Timur Tengah (0,7 juta), dan
Amerika Latin (0,3 juta). Diestimasikan lebih jauh bahwa 1,7 juta meninggal karena TB,
termasuk 0,4 juta pasien dengan infeksi HIV, terjadi pada 2008, 96% terjadi di negara
berkembang.5

Etiologi
Mikobakteria adalah bakteri obligat aerob, berbentuk batang, yang tidak membentuk
spora. Walaupun tidak mudah diwarnai, jika telah diwarnai bakteri ini tahan penghilangan
warna (dekolorisasi) oleh asam atau alkohol dan karena itu dinamakan basil "tahan-asam".
Mycobacterium tuberculosis menyebabkan tuberkulosis dan merupakan patogen yang sangat
penting bagi manusia.
Dalam jaringan, basil tuberkel merupakan batang ramping lurus berukuran kira-kira
0,4 x 3 pm. Mikobakteria tidak dapat diklasifikasikan sebagai gram-positif atau gram-negatif.
Sekali diwarnai dengan zat warna basa, warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan

alkohol, meskipun dibubuhi iodium. Basil tuberkel yang sebenar-nya ditandai oleh sifat
"tahan-asam"misalnya, 95% etil alkohol yang mengandung 3% asam hidroklorida (asamalkohol) dengan cepat akan menghilangkan warna semua bakteri kecuali mikobakteria. Sifat
tahan-asam ini bergantung pada integritas struktur selubung berlilin.6

Patofisiologi
Tuberkulosis menyebar dari orang-ke-orang melalui rute aerosol. Paru merupakan
tempat infeksi pertama. Sebagian besar infeksi menghilang dan menyisakan jaringan parut
lokal (kompleks primer). Infeksi dapat menyebar dari fokus primer ke seluruh tubuh
(penyebaran milier). Infeksi ini dapat sembuh spontan atau berkembang menjadi infeksi lokal
(misalnya meningitis). Resistensi terhadap tuberkulosis bergantung pada fungsi sel T.
Penyakit dapat mengalami reaktivasi jika imunitas menurun (diperkirakan risiko reaktivasi
sepanjang hidup adalah 10%). Pada individu immunocompromised seperti pasien yang positif
HIV, infeksi cenderung berkembang menjadi penyakit yang bergejala.
Mycobacterium tuberculosis diingesti oleh makrofag, tetapi dapat lolos dari
fagolisosom untuk kemudian bermultiplikasi dalam sitoplasma. Respon imun yang hebat
menyebabkan destruksi jaringan setempat (kavitasi pada paru) dan efek sistemik yang
diperantarai oleh sitokin (demam dan penurunan berat badan). Bermacam-macam antigen
telah diidentifikasi sebagai kemungkinan penentu virulensi, termasuk lipoarabinomanan
(menstimulasi

sitokin

dan

superoksida

dismutase

(memacu

kelangsungan

hidup

intramakrofag).7

Gejala Klinis
Mycobacterium tuberculosis dapat mempengaruhi semua organ tubuh: menyerupai
baik peradangan maupun penyakit keganasan. Tuberkulosis paru dapat muncul dalam bentuk
batuk kronik, hemoptisis, demam, dan penurunan berat badan, atau sebagai pneumonia
bakterial yang rekuren. Jika tidak diobati, infeksi dapat berkembang menjadi rangkaian
penyakit yang kronik dan terus memburuk.

Penatalaksanaan
Terdapat 2 macam sifat/aktivitas obat terhadap tuberculosis yakni:
-

Aktivitas bakterisid

Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya


masih aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut membunuh
atau melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil negative (2 bulan
dari permulaan pengobatan).
-

Aktivitas sterilisasi
Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat

(metabolismenya kurang aktif). Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah
pengobatan dihentikan.

Paduan obat
Dalam riwayat kemoterapi terhadap tuberculosis dahulu dipakai satu macam obat

saja. Kenyataannya dengan pemakaian obat tunggal ini banyak terjadi resistensi karena
sebagia besar kuman tuberculosis memang dapat dimatikan tetapi sebagian kecil tidak.
Kelompok kecil yang resisten ini malah berkembang dan menimbulkan efek resisten. Untuk
mencegah terjadinya resistensi ini, terapi tuberculosis dilakukan dengan memakai paduan
obat, sedikitnya diberikan 2 macam obat yang bersifat bakterisid.
Dengan memakai paduan obat ini, kemungkinan resistensi awal dapat diabaikan
karena:
-

Jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat atau lebih


Pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah terhadap INH

Tetapi belakangan ini di beberapa Negara banyak terdapat resistensi terhadap lebih
dari satu obat (multi drug resistance) terutama terhadap INH dan rifampisin.

Obat primer
1. Isoniazid
Isoniazid merupakan obat utama untuk tuberculosis. Seluruh pasien dengan penyakit
yang disebabkan oleh galur yang sensitive sebaiknya menerima obat ini jika mereka
dapat mentoleransinya. Isoniazid bekerja dengan cara menghambat biosintesis asam
mikolat
2. Rifampisin

Rifampisin (rifampisin, rifabutin, rifapentin) merupakan antibiotic makrosiklik.


Rifampisin

bersifat

bakterisid

untuk

mikroorganisme

intraseluler

maupun

ekstraseluler.
3. Pirazinamid
Pirazinamid menunjukan aktivitas antibiotic secara in vitro hanya pada pH yang
sedikit asam. Ini tidak menimbulkan masalah karena pirazinamida membunuh basilus
tuberkulum yang terletak pada fagosom asam di dalam makrofag
4. Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid untuk basilus tuberkulum secara in vitro. Mayoritas
galur M. tuberculosis sensitif terhadap streptomisin. Streptomisin secara in vivo tidak
mengeradikasi basilus tuberkulum, kemungkinan karena obat ini tidak mudah
memasuki sel hidup sehingga tidak dapat membunuh mikroba intraseluler.
5. Etambutol
Etionamida menghambat pertumbuhan mikrobakteri dengan cara menghambat
biosintesis asam mikolat dan mengakibatkan gangguan pada sintesis dinding sel.
Obat Sekunder
1. Kanamisin
8. Kapreomisin
2. PAS (Para Amino Salicylic acid)
9. Amikasin
3. Tiasetazon
10. Ofloksasin
4. Etionamid
11. Siprofloksasin
5. Protionamid
12. Norfloksasin
6. Sikloserin
13. Klofazimin
7. Viomisin
Dengan dikenalkannya asam para-aminosalicylic (PAS) pada praktek klinis dan
isoniazid, ini menjadi jelas pada 1950 awal bahwa untuk menyembuhkan TB membutuhkan
administrasi kontaminan dari paling tidak dua agen yang mana organisme tersebut rentan.
Terlebih lagi, uji klinis awal mendemonstrasikan bahwa pengobatan jangka panjang,
contohnya 12-24 bulan, dibutuhkan untuk mencegah kekambuhan. Pengenalan rifampin
(rifampicin) di awal 1970 menjanjikan era dari kemoterapi jangka pendek yang efektif,
dengan durasi pengobatan kurang dari 12 bulan. Penemuan dari pyrazinamide, yang mana
digunakan pertama kali pada 1950, menambah potensi regimen dari isoniazid/rifampin
mengarah pada penggunaan 6 bulan dari regimen obat sebagai terapi standar.5
Sebelum ditemukan rifampisin, metode terapi tuberculosis paru adalah dengan system
jangka panjang (terapi standar) yakni : INH (H) + streptomisin (S) + PAS atau etambutol (E)
tiap hari dengan fase initial selama 1-3 bulan dan dilanjutkan dengan INH + etambutol atau
PAS selama 12-18 bulan.

Setelah rifampisin ditemukan paduan obat menjadi INH + Rifampisin + streptomisin


atau etambutol setiap hari (fase initial) dan diteruskan dengan INH + rifampisin atau
etambutol (fase lanjut).
Paduan ini selanjutnya berkembang menjadi terapi jangka pendek, dengan
memberikan INH + rifampisin + streptomisin atau etambutol atau pirazinamid (Z) setiap hari
sebaga fase initial selama 1-2 bulan dilanjutkan dengan INH + rifampisin atau etambutol atau
streptomisin 2-3 kali seminggu selama 4-7 bulan, sehingga lama pengobatan keseluruhan
menjadi 6-9 bulan.
Paduan obat yang di pakai di Indonesia dan di anjurkan juga oleh WHO adalah :
2RHZ/4RH dengan variasi

2 RHS/4RH, 2 RHZ/4R3H3, 2 RHS/4R2H2, dll. Untuk

tuberkulosis paru yang berat (milier) dan tuberkulosis ekstraparu, terapi tahap lanjutan
diperpanjang menjadi 7 bulan sehingga paduannya menjadi 2 RHZ/7 RH, dll.
Dengan pemberian terapi jangka pendek akan didapat beberapa keuntungan seperti
waktu pengobatan lebih singkat, biaya keseluruhan untuk pengobatan menjadi lebih rendah,
jumlah pasien yang membangkang menjadi berkurang, dan tenaga pengawas pengobatan
menjadi lebih hemat/efisien.
Oleh karena itu Departemen Kesehatan Rl dalam rangka program pemberantasan
penyakit tuberkulosis paru lebih menganjurkan terapi jangka pendek dengan paduan obat
HRE/5 H2R2 (isoniazid + rifampisin + etambutol setiap hari selama satu bulan, dan dilanjutkan dengan isoniazid + rifampisin 2 kali seminggu selama 5 bulan), daripada terapi jangka
panjang HSZ/11 H2Z2.(INH + streptomisin + pirazinamid 2 kali seminggu 11 bulan).
Terapi jangka pendek yang semula dianjurkan oleh WHO belakangan ini mendapat
hambatan-hambatan antara lain karena obat rifampisin dan pirazinamid tidak dapat diterima
pasien karena harganya relatif mahal. Di negara-negara yang sedang berkembang,
pengobatan jangka pendek ini banyak yang gagal mencapai kesembuhan yang ditargetkan
(cure rate) yakni 85% karena program pengobatan yang kurang baik, kepatuhan ber-obat
pasien yang buruk, sehingga menimbulkan populasi tuberkulosis makin meluas, resistensi
obat makin banyak.

Dosis obat8

Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai (di Indonesia) secara harian
maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien.
Dosis harian

Dosis berkala

Nama obat

BB < 50 kg

BB > 50 kg

3 x seminggu

Isoniazid

300 mg

400 mg

600 mg

Rifampisin

450 mg

600 mg

600 mg

Pirazinamid

1.500 mg

2.000 mg

2-3 g

Streptomisin

750 mg

1.000 mg

1.000 mg

Etambutol

750 mg

1.000 mg

1-1.5 g

Etionamid
PAS

500 mg
99mg

750 mg
10 g

Tabel1. Dosis obat8

Efek samping obat8


Dalam pemakaian obat-obat antituberkulosis tidak jarang ditemukan efek samping

yang mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin obat antituberkulosis yang bersangkutan masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil,
tetapi bila efek samping ini sangat mengganggu, obat antituberkulosis yang bersangkutan
harus dihentikan pemberiannya, dan pengobatan tuberkulosis dapat diteruskan dengan obat
lain. Perlu diketahui bahwa semua obat anti tuberkulosis mempunyai efek samping yang
kadarnya berbeda-beda pada tiap-tiap individu.
Adapun efek samping tiap-tiap obat tersebut ialah :
-

INH

: neuropati perifer (hal ini dapat dicegah dengan pemberian vitamin

B6), hepatotoksik
-

Rifampisin

: sindrom.flu,hepatotoksik

Streptomisin

: nefrotoksik,gangguan nervus VIII kranial.

Etambutol

: neuritis optika,nefrotoksik, skin rash/dermatitis.

Etionamid

: hepatotoksik,gangguan pencernaan.

PAS

: hepatotoksik, gangguan pencernaan

Kegagalan Pengobatan8

Sebab-sebab kegagalan pengobatan:


a. Obat:
- Paduan obat tidak adekuat.
- Dosis obat tidak cukup.
- Minum obat tidak teratur/tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan.
- Jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya.
- Terjadi resistensi obat.
- Resistensi obat sudah harus diwaspadai yakni bila dalam 1-2 bulan pengobatan tahap
intensif, tidak terlihat perbaikan. Di Amerika Serikat prevalensi pasien yang resisten
terhadap OAT makin meningkat dan sudah mencapai 9%. Di negara yang sedang
berkembang seperti di Afrika, diperkirakan lebih tinggi lagi. BTA yang sudah resisten
terhadap OAT saat ini sudah dapat dideteksi dengan cara PCR-SSCP {Polymerase Chain
Reaction-Single Stranded Confinnation Polymorphism) dalam waktu 1 hari.
b. Drop out:
-

Kekurangan biaya pengobatan.

Merasa sudah sembuh.

Malas berobat / kurang motivasi.

c. Penyakit
-

Lesi paru yang sakit terlalu luas/sakit berat.

Penyakit lain yang menyertai tuberkulosis seperti diabetes melitus, alkoholisme, dll.

Adanya gangguan imunologis.


Sebab-sebab kegagalan pengobatan yang terbanyak adalah karena kekurangan biaya

pengobatan atau merasa sudah sembuh. Kegagalan pengobatan ini dapat mencapai 50% pada
terapi jangka panjang, karena sebagian besar pasien tuberkulosis adalah golongan yang tidak
mampu sedangkan pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu lama dan biaya banyak.

Komplikasi

Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut:2
-

Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus, Poncets

arthropathy
Komplikasi lanjut: Obstruksi jalan napas SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat fibrosis paru, sindrom gagal napas
dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.

Pencegahan
Tidak memungkinkan untuk mencegah mutasi spontan mengenai resistansi yang
terjadi secara alami pada bacilli. Hal paling penting dalam mencegah seleksi pada
subpopulasi resisten dan perkembangan dari TB resisten saat terapi adalah : (1) regimen
terapi yang tepat, (2) kualitas obat yang telah teruji, (3) jaminan kepatuhan pada terapi, dan
(4) jangan menambah obat tunggal pada regimen pengobatan yang gagal.9
Vaksinasi BCG
Dari beberapa peneliti diketahui bahwa vaksinasi BCG yang telah dilakukan pada
anak-anak selama ini hanya memberikan daya proteksi sebagian saja, yakni 0-80%. Tetapi
BCG masih tetap dipakai karena ia dapat mengurangi kemungkinan terhadap tuberkulosis
berat (meningitis, tuberkulosis milier dll) dan tuberkulosis ekstra paru lainnya.8

Prognosis
Ketika pengobatan dengan regimen tertentu telah selesai, ditambah dengan DOT,
angka kekambuhan berkisar dari 0% hingga 14%. Di negara dengan jumlah penderita TB
yang rendah, kekambuhan biasanya terjadi 12 bulan setelah penyelesaian obat dan karena
kekambuhan. Di negara dengan jumlah penderita TB yang tinggi, kebanyakan kekambuhan
setelah pengobatan yang baik adalah karena reinfeksi daripada kekambuhan. Penanda
prognosis

buruk

adalah

keterlibatan

jaringan

ekstrapulmoner,

penderita

immunocompromised, usia lanjut, dan riwayat pengobatan sebelumnya.10

Kesimpulan
Tuberkulosis adalah penyakit yang membutuhkan pengobatan jangka panjang. Namun
karena hal itu, banyak pasien yang menjadi tidak patuh dalam menyelesaikan regimen

pengobatan karena harga obat yang dapat terbilang mahal dan karena pasien telah merasa
lebih membaik. Hal ini dapat menyebabkan kegagalan dalam pengobatan yang berujung pada
tuberkulosis yang resisten terhadap obat. Pada kasus, dapat dilihat bahwa pasien sedang
menjalani pengobatan tuberkulosis untuk yang kedua kalinya. Resistensi tuberkulosis
terhadap obat dapat saja terjadi karena kegagalan pengobatan tuberkulosis yang pertama.

Daftar Pustaka
1. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;2005. h.
175.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 31-2, 2196-9, 2230-47,
2256-7.
3. Swartz MH. Textbook of physical diagnosis history and examination. 5th edition.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. h. 373-83.
4. Patel PR. Lecture notes: radiologi. Jakarta: Erlangga; 2006. h.32-9.
5. Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. Harrisons principles
of internal medicine ed.18. USA: McGraw Hill Professional; 2011.h.1340-53.
6. Jawetz E,Melnick J,Adelberg E. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta :EGC; 2008. h.
302-9.
7. Gillespie SH, Bamford KB. At a glance mikrobiologi medis dan infeksi. Jakarta:
Erlangga;2009.h. 40-1.
8. Soematri ES, Uyainah A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke 3. Jakarta: FK UI.
2003.h.33-881.
9. Kaufmann S.H.E, Hahn H. Mycobacteria and TB. Switzerland: Karger Medical and
Scientific Publisher; 2003.h. 89-90.
10. Tuberculosis,
diunduh
dari:
overview#aw2aab6b2b6, 7 Juli 2014.

http://emedicine.medscape.com/article/230802-

You might also like