RSUP HASAN SADIKIN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2015
Identifikasi Forensik
Identifikasi forensic merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu
penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Peran ilmu kedokteran forensic dalam identifikasi terutama pada jenazah tidak dikenal, jenazah yang telah membusuk, rusak, hangus terbakar dan pada kecelakaan masal, bencana alam atau huru hara yang mengakibatkan banyak korban mati, serta potongan tubuh mausia atau kerangka. Selain itu identifikasi forensic juga berperan dalam berbagai kasus lain seperti penculikan anak, bayi yang tertukar atau diragukan orang tuanya.
Penentuan identitas personal dapat menggunakan metode identifikasi sidik jari,
visual, dokumen, pakaian dan perhiasan, medic, gigi, serologic dan secara eksklusi. Akhir akhir ini dikembangkan pula metode identifikasi DNA. Walaupun ada sembilan metode identifikasi yang kita kenal, maka di dalam prakteknya untuk menentukan jati diri tidak semua metode dikerjakan, melainkan cukup minimal dua metode saja: identifikasi primer dari pakaian; identifikasi konfirmatif dari gigi.
Metode Identifikasi forensic
1. Primer. Merupakan metode yang paling sering dipakai karena bersifat spesifik untuk tiap individu dan bertahan tetap sepanjang hidup hingga setelah meninggal, serta dapat diandalkan pembuktiannya secara ilmiah. Beberapa di antaranya mencakup: o
Odontologi. Dilakukan oleh ahli odontologi forensic, yaitu dengan
membandingkan kondisi antemortem (data didapat dari dokter gigi yang dikunjungi) dan pascamortem. Jika tidak terdapat data antemortem, dari gigi dapat diketahui data lain seperti perkiraan usia jenazah; Sidik jari. Metode ini membandingkan gambaran sidik jari jenazah dengan data sidik jari antemortem. Sampai saat ini, pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan yang diakui paling tinggi keetepatannya untuk menentukan identitas seseorang. Walaupun pemeriksaan sidik jari tidak dilakukan oleh dokter, dokter masih mempunyai kewajiban yaitu untuk mengambilkan (mencetak) sidik jari, khususnya sidik jari pada korban yang tewas dan keadaan mayatnya telah membusuk. Teknik pengembangan sidik jari pada jari yang telah keriput, serta mencopot kulit ujung jari yang telah mengelupas dan memasangnya pada jari yang sesuai pada jari pemeriksa, baru kemudian dilakukan pengambilan sidik jari. Identifikasi DNA. Membandingkan DNA jenazah dengan data antemortem (jika tersedia), atau dibandingkan dengan DNA keluarga inti (ayah/ibu/anak kandung) jenazah.
2. Sekunder, merupakan metode identifikasi pendukung yang dapat berubah
sepanjang hidup dan setelah kematian serta tidak bersifat individual. Metode ini mencakup: o Data antropologi: tinggi badan, berat badan, usia, jenis kelamin, ras, warna kulit, warna mata; o Serologi: menentukan golongan darah dengan pemeriksaan rambut, kuku, atau tulang; o Tanda khusus pada tubuh: tanda lahir, tindikan tato bekas luka; o Property: pakaian, perhiasan, mata uang, alat komunikasi. 3. Ekslusi, misalnya pada kecelakaan missal yang melibatkan sejumlah orang yang dapat diketahui identitasnya (seperti data penumpang pesawat). Apabila sebagian besar korban telah dipastikan identitasnya dengan metode lain dan masih tersisa korban yang tidak dapat dipastikan identitasnya, maka sisa korban tersebut diidentifikasi dengan mencocokkan dengan daftar penumpang.
Identifikasi kasus mutilasi
Dalam kasus mutilasi, perlu dibedakan apakah potongan berasal dari binatang atau manusia, dan apakah berasal dari satu tubuh atau tidak. Untuk memastikan potongan tubuh tersebut berasal dari manusia, digunakan pemeriksaan makroskopik, mikroskopik dan serologic berupa reaksi antigen-antibodi (reaksi presipitin). Penentuan jenis kelamin dapat dilakukan secara mikroskopik dengan menemukan kromatin seks perempuan, yaitu drum stick pada leukosit dan barr body pada sel epitel.
Identikasi pada kerangka
o Upaya identifikasi pada kerangka bertujuan membuktikan bahwa kerangka tersebut adalah kerangka manusia, ras, jenis kelamin, perkiraan umur, tinggi badan, ciri-ciri khusus, deformitas dan bila memungkinakan dapat dilakukan rekonstruksi wajah. Dicari pula tanda kekerasan pada tulang. Perkiraan saat kematian dilakukan dengan memperhatikan keadaan kekeringan tulang. o Bila terdapat foto terakhir wajah orang tersebut semasa hidup, dapat dilaksanakan metode superimposisi, yaitu dengan jalan menumpukkan foto rontgen tulang tengkorak di atas foto wajah yang berukuran sama dan diambil dari sudut pemotretan yang sama dengan demikian dapat dicari adanya titik-titik persamaan. o Selain secara anatomis tulang dapat diperiksa secara serologic (reaksi presipitin) dan histologik (jumlah dan diameter kanal havers) untuk memastikan kerangka berasal dari manusia. Penentuan ras dilakukan dengan memeriksa tengkorak, gigi geligi, dan tulang panggul. Misalnya arkus zigomatikus dan gigi seri atas pertama yang berbentuk seperti sekop merujuk ke ras Mongoloid.
Jenis kelamin dilakukan dengan memeriksa tulang panggul, tengkorak,
sternum, tulang panjang, serta scapula dan metacarpal. Indeks isio-pubis (panjang pubis x 100 dibagi panjang iscium) laki laki lebih kecil dari perempuan. Nilai laki-laki sekitar 83,6, wanita 99,5. Selain itu, pada laki-laki arsitektur tengkorak lebih besar dan kasar, tonjolan lebih nyata, orbita lebih persegi, dahi kurang bundar, tulang pipi berat, mandibula lebih besar dengan ramus lebar, palatum besar dan lebar, serta gigi geligi juga lebih besar pada tulang panjang, tulang laki-laki lebih panjang dan masif dibanding perempuan dengan perbandingan 100:90. Luas permukaan processus mastoideus pada pria lebih besar disbanding wanita, hal ini dikaitkan dengan adanya inersi otot leher yang lebih kuat pada pria. Juga terdapat ciri khas lain seperti ukuran kaput dan kondilus serta sudut antara kaput femoris dan batang yang lebi kecil pada laki-laki. Juga terdapat perforasi fosa olekrani yang khas pada perempuan dan belah sigmoid notch yang khas pada lakilaki. Tulang juga dapat digunakan untuk menentukan umur, misalnya dengan pemeriksan pusat penulangan dan penyatuan epifisis tulang menggunakan foto radiologis. Selain itu juga dapat diperiksa permukaan simfisis pubis, humerus, femur, klavikula, iga, tulang belakang, dan gigi geligi (gigi susu seluruhnya menandakan usia 6 bulan-3 tahun, statis gigi susu usia 3-6 tahun, dan kondisi campuran pada 6-12 tahun). o Bayi yang baru dilahirkan kriteria umum yang dipakai adalah berat badan, tinggi badan, dan pusat pusat penulangan. Tinggi badan diukur dari puncak kepala sampai ke tumit (crown-heel), dapat digunakan untuk perkiraan umur menurut rumus dari Haase. Cara pengukuran lain yaitu dari puncak kepala ke tulang ekor (Crown-rup) dipergunakan oleh Streeter. o Anak anak dan dewasa di bawah 30 Persambungan speno-occipital terjadi dalam umur 17 25 tahun. Pada wanita saat persambungan tersebut antara 17 20 tahun. Tulang selangka merupakan tulang terakhir yang mengalami unifikasi. Unifikasi dimulai pada umur 18 25 tahun, dan mungkin tidak lengkap sampai 25 30 tahun, dalam usia 31 tahun ke atas unimenjadi lengkap Tulang belakang ossis vertebrae, sebelum 30 tahun akan menunjukkan alur-alur yang dalam yang berjalan radier pada bagian permukaan atas dan bawah; dalam hal ini corpus vertebraenya. o Dewasa di atas 30 tahun
Sutura sagitalis, coronaries dan sutura lambdoideus mulai
menutup pada umur 20 30 tahun. Lima tahun berikutnya terjadi pada penutupan sutura parietomastoid dan sutura squamaeus, tetapi dapat juga terbuka atau menutup sebagian pada umur 60 tahun. Sutura sphenoparietal umumnya tidak akan menutup sampai umur 70 tahun. Tinggi badan ditentukan dengan berbagai rumus antara lain rumus antropologi Universitas Gajah Mada (UGM), Trotter dan Gleser untuk Mongoloid, serta rumus hasil penelitan Djaja Surya Atmadja.