You are on page 1of 61

BAB I

LATAR BELAKANG

Penyakit Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik yang


dinyatakan dengan adanya konsentrasi gula darah tinggi dalam darah
(hiperglikemia), diakibatkan karena defisiensi insulin relatif maupun absolut.
Penyakit DM tidak menular yang mengalami peningkatan terus menerus dari
tahun ke tahun. WHO memprediksi kenaikan jumlahpenderita Non Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik,
diperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah
sebesar 133 juta jiwa, dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7%
dan daerah rural sebesar 7,2 %. Pada tahun 2030 diperkirakan ada 12 juta
penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural.
Diabetes adalah salah satu penyakit yang paling sering diderita dan penyakit
kronik yang serius di Indonesia saat ini. Setengah dari jumlah kasus Diabetes
Mellitus (DM) tidak terdiagnosa karena pada umumnya diabetes tidak disertai
gejala sampai terjadinya komplikasi. Efek kronik dari penyakit DM menyebabkan
kerusakan organ secara menyeluruh secara anatomis maupun fungsional.
Komplikasi kronik dari penyakit DM menyebabkan kelainan pada makrovaskular,
mikrovaskular, gastrointestinal, genito urinari, dermatologi, infeksi, katarak,
glaukoma dan sistem muskulo skeletal.
Prevalensi penyakit diabetes meningkat karena terjadi perubahan gaya hidup,
kenaikan jumlah kalori yang dimakan, kurangnya aktifitas fisik dan meningkatnya
jumlah populasi manusia usia lanjut. Dengan makin majunya keadaan sosio

ekonomi masyarakat Indonesia serta pelayanan kesehatan yang makin baik dan
merata, diperkirakan tingkat kejadian penyakit diabetes mellitus (DM) akan makin
meningkat. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur dan sosio ekonomi.
Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia di dapatkan prevalensisebesar
1,5-2,3 % pada penduduk usia lebih besar dari 15 tahun. Pada suatu penelitian di
Manado didapatkan prevalensi 6,1 %. Penelitian di Jakarta pada tahun 1993
menunjukkan prevalensi 5,7%.
Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang tadi
dibicarakan terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu
populasi, maka dengan demikian dapat di mengerti bila suatu saat atau lebih tepat
lagi dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan DM di
Indonesia akan meningkat drastis. Ini sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan
oleh WHO seperti tampak pada tabel 1, Indonesia akan menempati peringkat
nomor 5 sedunia dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 12.4 juta orang pada
tahun 2025, naik 2 tingkat dibanding tahun 1995.

Dari angka angka diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam jangka
waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan peningkatan

jumlah pasien diabetes yang jauh lebih besar yaitu 86 138% yang disebabkan
oleh karena:
Faktor demografi
Gaya hidup ke barat - baratan
Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi
Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi
lebih panjang.

BAB II
KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. ER

Tanggal Lahir

: 06 Agustus 1965

Umur

: 50 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Status

: Menikah

Alamat

: Pulogadung, Jakarta Timur

Tgl Masuk RS

: 20/05/2015

Dokter yang merawat

: dr. Khomimah Sp.PD K-EMD

B. ANAMNESIS
Autoanamnesis Pada Tanggal 6 Oktober 2015
Keluhan Utama

: Pasien datang ke Poli RSIJ-PK dengan


keluhan nyeri pada kedua siku pada tangan
sejak 7 hari SMRS

Keluhan Tambahan

: Pasien mengeluh nyeri pada kedua telapak


kaki sejak 1 bulan yang lalu

Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke RSIJ-PK dengan keluhan nyeri pada kedua siku sejak 7
hari SMRS. Nyeri dirasakan hilang timbul. Timbul saat istirahat setelah
beraktivitas. Nyeri dirasakan setempat tidak menjalar ke ujung jari. Pasien juga
mengeluh nyeri pada kedua telapak kaki seperti tertusuk pisau. Nyeri dirasakan
menetap pada telapak kaki. Nyeri terjadi terus menerus. Rasa nyeri menjalar ke
ujung jari tidak ada. Pasien juga tidak pernah jatuh. Riwayat trauma pada
kedua siku ataupun telapak kakidisangkal.
Pasien mengaku memiliki penyakit diabetes melitus sejak 2014. Awalnya
pasien datang dengan keluhan lemas. Setelah diperiksa pasien di diagnosa
diabetes melitus tipe 2. Pada saat itu pasien merasakan peningkatan nafsu
makan, peningkatan frekuensi buang air kecil, dan penurunan berat badan.
Pasien saat ini tidak mengeluhkan lemas, tidak mengeluhkan penurunan
berat badan, tidak mengeluhkan peningkatan nafsu makan, tidak mengeluhkan
peningkatan

frekuensi

berkemih,

tidak

mengeluhkan

demam,

tidak

mengeluhkan batuk pilek, tidak mengeluhkan nyeri pada perut, tidak


mengeluhkan BAB, dan tidak terdapat luka pada tubuh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien memiliki riwayat Diabetes Melitus tipe 2 sejak 1 tahun yang lalu
Riwayat Penyakit Jantung tidak ada
Riwayat Hipertensi tidak ada
Riwayat Gagal Ginjal tidak ada

Riwayat Penyakit keluarga

Keluhan yang sama seperti pasien di dalam keluarga disangkal.


Riwayat Penyakit Jantung tidak ada
Riwayat Hipertensi tidak ada
Riwayat Gagal Ginjal tidak ada

Riwayat Pengobatan

Pasien sudah berobat ke RSIJ Pondok Kopi diberikan Metformin 500 mg


3x/hari, Glimepiride 1 gram 1x/hari, Meloxicam 15 mg 1x/hari
Riwayat Alergi

Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat dan makanan


Riwayat Psikososial

Pasien merupakan seorang guru dengan kegiatan sehari hari dari jam7 hingga
jam 3 sore mengajar dan berisitirahat pada jam 12 siang hingga jam 1. Pasien
setiap hari mengkonsumsi nasi 2x/hari dengan takaran 1 gelas minum. Pasien
tidak makan gorengan, tidak meminum kopi dan tidak meminum alkohol
C. PEMERIKSAAN FISIS
Keadaan umum

: tampak sakit ringan

Kesadaran

: composmentis

Tanda vital

: 36.8 oC
: 80 x/menit
: 18 x/menit
: 130/80 mmHg

Suhu
Nadi
RR
TD

Status Gizi
BB
TB
IMT

:
: 55 kg
: 150 cm
: 24.4 (Overweight)

Status Generalis

Kepala
Rambut
Mata

: Norrmochepal
: Hitam, tersebar merata, tidak mudah di cabut
: Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-),

Refleks Cahaya (+/+), Pupil Isokor, Eksoftalmus (+)


Hidung
: Septum Deviasi (-/-), Sekret (-/-), Epistaksis (-/-),
konka normal
Telinga
: Normotia, Serumen (-/-), hiperemis (-/-).
Mulut
: Bibir Kering (+), Sianosis (-), Stomatitis (-),
Tonsil ( T1 / T1 ) Caries dentis (+)
Leher
: Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-)
Kesan

Thorak paru
Inspeksi

: Pemeriksaan Kepala dan leher dalam batas normal


:
: Dada simetris (+), Retraksi Dinding Dada (-),

Bagian yang tertinggal saat inspirasi (-)


Palpasi
: Vocal fremitus sama kanan dan kiri (+)
Perkusi
:Sonor (+/+), redup pada ICS 5-6

linea

midklavikularis sinistra
Auskultasi
: Vesikuler (+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Kesan
: Pemeriksaan paru dalam batas normal
Thorak Jantung
:
Inspeksi
: Ictus Cordis Terlihat (-)

Palpasi

: Ictus Cordis Teraba (+) di ICS V linea

Midclavicula sinistra
Perkusi
: Batas jantung atas relatif di ICS II linea sternalis
sinistra, batas kanan jantung relatif di ICS V linea sternalis dextra, batas
kiri jantung relatif di ICS V linea midclavicula sinistra
Auskultasi
: Bunyi Jantung I dan II Murni reguler, Murmur (-),
Gallop (-)
Kesan

Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi

: Pemeriksaan Jantung dalam batas normal

Perkusi
Kesan
Ekstremitas Atas
Akral
CRT
Edema
Tremor
Reflek bicep

: Perut datar (+)


: Bising Usus (+), Normal
:Abdomen Supel, nyeri tekan epigastrium (-),
Hepatosplenomegali (-)
: Timpani pada keempat kuadran Abdomen
: Pemeriksaan Abdomen dalam batas normal
:
: Hangat
: <2 detik
: -/: -/: -/-

Ekstremitas Bawah
Akral
CRT
Edema
Tremor
Reflek patela

:
: hangat
: <2 detik
: -/: -/: -/-

Kesan

: gangguan nervus

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan

Test

Hasil

Nilai Normal

Laboratorium
2014
12/08/14

Glucosa

294.40

Normal (70-99)
Impaired (100-125)
Diabetes (>126)

Glucosa Urine 1+
Glukosa 2PP
407.00

Negative
Normal (70-140)
Impaired (141-200)
Diabetes (>200)

Glucosa Urine 2+
HBA1C
14.7
Glucosa
154.00

Negative
4.5-6.3
Normal (70-99)
Impaired (100-125)
Diabetes (>126)

Fasting

02/09/14

Fasting

18/09/14

Glucosa Urine Negative


Glukosa 2PP
307.00

Negative
Normal (70-140)
Impaired (141-200)
Diabetes (>200)

Glucosa Urine 4+
Glucosa
173.00

Negative
Normal (70-99)
Impaired (100-125)
Diabetes (>126)

Fasting

06/10/14

Glucosa Urine Negative


Glukosa 2PP
261.00

Negative
Normal (70-140)
Impaired (141-200)
Diabetes (>200)

Glucosa Urine 3+
Glucosa
224.00

Negative
Normal (70-99)
Impaired (100-125)
Diabetes (>126)

Fasting

03/11/14

Glucosa Urine 1+
Glukosa 2PP
290.00

Negative
Normal (70-140)
Impaired (141-200)
Diabetes (>200)

Glucosa Urine 3+
Glucosa
108.00

Negative
Normal (70-99)
Impaired (100-125)

01/12/14

Fasting

Diabetes (>126)

Glucosa Urine Negative


Glukosa 2PP
167.00

Negative
Normal (70-140)
Impaired (141-200)
Diabetes (>200)

Glucosa Urine 3+
Glucosa
157.00

Negative
Normal (70-99)
Impaired (100-125)
Diabetes (>126)

Fasting
Glucosa Urine Negative
Glucosa 2PP
279.00

Negative
Normal (70-140)
Impaired (141-200)
Diabetes (>200)

Glucosa Urine 3+

Negative

Pemeriksaan

Test

Hasil

Nilai Normal

Laboratorium
2015
04/06/15

Glucosa

106.00

Normal (70-99)
Impaired (100-125)
Diabetes (>126)

Fasting

08/06/15
06/07/15
05/08/15

Glucose Urine Negative


Glucosa 2PP
177.00

Negative
Normal (70-140)
Impaired (141-200)
Diabetes (>200)

Glucosa Urine
HBA1C
Kreatinin
Glucosa

Negative

Negative
6.9
0.8
103.00

Fasting

03/09/15

0.51-0.95
Normal (70-99)
Impaired (100-125)
Diabetes (>126)

Glucose Urine Negative


Glucosa 2PP
144.00

Negative
Normal (70-140)
Impaired (141-200)
Diabetes (>200)

Glucosa Urine Negative


Glucosa
117.00

Negative
Normal (70-99)
Impaired (100-125)

29/09/15*

Fasting

Diabetes (>126)

Glucosa Urine Negative


Glukosa 2PP
203.00

Negative
Normal (70-140)
Impaired (141-200)
Diabetes (>200)

Glucosa Urine Negative Negative


Glukosa
Negative Negative
Urine
Glukosa 2PP

209

Normal (70-140)
Impaired (141-200)
Diabetes (>200)

Glukosa

160.00

Normal (70-99)
Impaired (100-125)
Diabetes (>126)

Fasting
* = Hasil laboratorium terbaru yang diperiksa

E. RESUME

:
Ny. ER datang ke Poli Penyakit Dalam dengan keluhan nyeri pada

kedua siku tangan sejak 7 hari SMRS. Nyeri dirasakan menetap pada siku.
Pasien juga mengeluh nyeri pada telapak kaki sejak 1 bulan SMRS. Nyeri
pada telapak kaki juga dirasakan menetap. Pasien mempunyai rwiayat
Diabates Melitus Tipe 2 sejak 1 tahun yang lalu. Pasien saat ini
mengkonsumsi metformin 500 mg 3x/hari, Glimepiride 1 mg 1x/hari,
meloxicam 15 mg 1x/hari. Pasien biasa mengatur pola makan dengan
makan nasi 2x/hari dengan nasi takaran 1 gelas minum. Reflek bicep -/-,
reflek patela -/-. Hasil laboratorium GDP 160mg/dl ;GD2PP 209mg/dl.
F. DIAGNOSIS KERJA
- Diabetes Melitus Tipe 2 tidak terkontrol
G. PENGKAJIAN MASALAH
1. Neuropati
10

S:
Ny. ER datang dengan keluhan nyeri pada kedua siku tangan sejak 7 hari.
Nyeri dirasakan menetap, tidak menjalar. Pasien juga mengeluh nyeri pada
kedua telapak kaki seperti tertusuk pisau. Nyeri tidak menjalar dan tidak ada
riwayat trauma. Riwayat Diabetes Melitus Tipe 2 sejak 1 tahun yang lalu
O:
Suhu
: 36.8 oC
Nadi
: 80 x/menit
RR
: 18 x/menit
TD
: 130/80 mmHg
Reflek bicep -/- reflek patela -/A:
Neuropati Diabetikum
DD/ Plantar tunnel syndrome dan Ulna tunnel syndrome
Osteoarthrosis
P:
Meloxicam 15 mg 1x/hari

11

2. Diabetes Melitus Tipe 2 tidak terkontrol


S : Pasien datang rutinan ke poli untuk kontrol penyakit Diabetes Melitus
Tipe 2. Pasien mempuyai riwayat diabetes melitus tipe 2 sejak 1 tahun
yang lalu. Pada saat itu pasien merasakan peningkatan nafsu makan,
peningkatan frekuensi buang air kecil, dan penurunan berat badan. Saat ini
keluhan penurunan berat badan tidak ada, keluhan peningkatan nafsu
makan tidak ada, keluhan sering berkemih tidak ada.
O:
Suhu
: 36.8 oC
Nadi
: 80 x/menit
RR
: 18 x/menit
TD
: 130/80 mmHg
Pada pemeriksaan 12/08/14
GDP 294,40mg/dl (batasan DM 126mg/dl)
12

GD2PP 407,00mg/dl (batasan DM 200mg/dl)


HbA1c 14,7%
Pada pemeriksaan 29/09/15
GDP 160mg/dl (batasan DM 126mg/dl)
GD2PP 209mg/dl (batasan DM 200mg/dl)
A : Diabetes Melitus Tipe 2 tidak terkontrol
P : Metformin 500 mg 3x/hari
Glimepiride 1 mg 1x/hari
Koreksi IMT (24,4) edukasi pola makan dan kegiatan olahraga
Rencana periksan ulang GDP,GD2PP 1 minggu lagi
Rencana Periksa HBA1C ulang (terahir bulan juli 2015)
Rencana Periksa LDL, HDL, Trigliserida

13

BAB III
DISKUSI

1. ASPEK DIAGNOSTIK
Alur Diagnostik Neuropati DM
LABORATORIUM
LABORATORIUM

Anamnesis :
Kesemutan, tingling atau nyeri pada
kaki sering merupakan gejala yang
pertama, bisa juga nyeri dan
kesemutan. Gejala bisa melibatkan
sistem saraf sensoris atau motorik
ataupun sistem saraf otonom.
terkonfirmasi

Dari anamnesis
Rasa nyeri disiku sejak 7 hari menetap dan

tidak menjalar
Rasa nyeri ditelapak kaki seperti tertusuk

pisau menetap dan tidak menjalar


Riwayat trauma disangkal
Os didiagnosis dm sejak 1 tahun yang lalu

Pemeriksaan
Pemeriksaan glukosa
glukosa plasma
plasma puasa
puasa 126
126
mg/dl.
mg/dl.
Atau
Atau
Pemeriksaan
Pemeriksaan glukosa
glukosa plasma
plasma 200
200
mg/dl
mg/dl 22 jam
jam
Atau
Atau
Pemeriksaan
Pemeriksaan glukosa
glukosa plasma
plasma sewaktu
sewaktu
200
200 mg/dl
mg/dl dengan
dengan keluhan
keluhan klasik.
klasik.
Atau
Atau
Pemeriksaan
HbA1c
Pemeriksaan HbA1c 6,5%
6,5% dengan
dengan
menggunakan
metode
menggunakan metode HighHighPerformance
Performance Liquid
Liquid Chromatography
Chromatography
(HPLC)
(HPLC) yang
yang terstandarisasi
terstandarisasi oleh
oleh
National
National Glycohaemoglobin
Glycohaemoglobin
Standarization
Standarization Program
Program (NGSP)
(NGSP)
Atau
Atau
NEUROPATI
DM
Pemeriksaan
Pemeriksaan elektrofisiologi
elektrofisiologi

Diagnosis neuropati DM
Bentuk-bentuk gambaran klinik adalah sebagai berikut :
a. Polineuropati sensorik-motorik simetris

14

Bentuk ini paling sering dijumpai, dan biasanya terjadi pada penderita
diabetes. Keluhan dapat dimulai dari yang paling ringan hingga paling
berat. Ada rasa tebal atau kesemutan, terutama pada tungkai bawah
dan menurunnya serta hilangnya refleks tendon Achilles atau tendon
lain. Kadang-kadang ada rasa nyeri ditungkai. Nyeri ini dapat
mengganggu penderita pada waktu malam hari. parese jarang terlihat,
tetapi bila ada akan mengenai ujung-ujung kaki secara simetris
b. Neuropati otonom
Keluhan ini dapat bermacam-macam, bergantung pada saraf otonom
mana yang terkena. Penderita dapat mengeluh diare yang bergantian
dengan konstipasi, dilatasi lambung dan disfagia. Gangguan
pengosongan

kandung

kemih

yang

disebabkan

oleh

karena

mukosanya kurang peka. Impotensi lebih sering dijumpai, terjadinya


impotensi ini perlahan-lahan, mulai dari gangguan ereksi sampai
gangguan ejakulasi. Gangguan berkeringat dapat dalam bentuk
hiperhidrosis, berkeringat hanya keluar banyak disekitar wajah, leher,
dan dada bagian atas, terutama sesudah makan. Sementara itu,
gangguan lain dapat berbentuk hipotensi ortostatik dan bahkan sinkop
yang sulit diatasi.
c. Mononeuropati
Berbeda

dengan

polineuropati

yang

bersifat

lambat,

maka

mononeuropati terjadi secara cepat dan biasanya lebih cepat pula


untuk kembali membaik. Yang sering terkena adalah nervi craniales,
ulnaris, medianus, radialis, femoralis, peroneus, dan kutaneus
15

femoralis. Apabila beberapa saraf terkena, namun dari akar yang


berlainan,

maka

keadaan

tersebut

dinamakan

mononeuropati

multipleks.
Pada N. Spinalis
Awitan suatu mononeuritis adalah selalu mendadak. Setiap N.
Spinalis dapat dihinggapi, namun yang sering dihinggapi dalah
N. Iskhiadikus, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Radialis, N.
Femoralis, N. Kutaneus Femoralis, dll. Gejala yang mungkin
timbul adalah gangguan sensorik, motorik atau gangguan
sensorik sekaligus motorik. Di samping itu tampak pula adanya
rasa nyeri di saraf yang bersangkutan. Pada umumnya prognosa
pada mononeuritis ini lebih baik dibandingkan dengan
polineuropati diabetic simetris.
Pada N. Kranialis
Yang paling sering adalah N. Okulomotorius, N. Abdusen, N. Optikus, dll.
Terdapat pula rasa nyeri di daerah saraf yang bersangkutan. Bila berhadapan
dengan penderita dengan lesi N.III dan nyeri dibelakang bola mata, maka
kemungkinan akan adanya suatu aneurisma sirkulus arteriosus willisi. Bila
mononeuritis itu mengenai N. II maka timbul neuritis retrobulbaris yang lama
kelamaan dapat menimbulkan papilla alba
Diagnostik neuropati ditegakkan berdasarkan adanya gejala dua atau lebih
dari empat kriteria dibawah ini :
1.Kehadiran satu atau lebih gejala.
2. Ketidakhadiran dua atau lebih refleks ankle atau lutut
3. Nilai ambang persepsi getaran/vibration-abnormal.

16

4. Fungsi otonomik abnormal (berkurangnya heart rate variability (HRV)


dengan rasio RR kurang dari 1,04 postural hypotension dengan turunnya tekanan
darah sistolik 20 mmHg atau lebih, atau kedua-duanya)

Alur Diagnostik Diabetes Melitus Tipe II

ANAMNESIS
Keluhan

klasik

LABORATORIUM
DM

berupa

poliuria, polidipsia, polifagia, dan

Curiga DM

penurunan berat badan yang tidak


dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa: lemah
badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta
pruritus vulvae pada wanita.

Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126


mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma 200
mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban
plasma 75 gram.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c 6,5% dengan
menggunakan metode HighPerformance Liquid Chromatography
(HPLC) yang terstandarisasi oleh
Konfirmasi
National Glycohaemoglobin
DIABETES Standarization
MELITUS
TIPE
II
diagnosis
Program (NGSP)

Dari anamnesis :
Satu tahun yang lalu

Peningkatan nafsu makan


Peningkatan frekuensi BAK
Penurunan berat badan

Saat ini

17

Tidak ada keluhan penurunan berat badan, peningkatan nafsu makan


ataupun peningkatan frekuensi BAK.

Diagnosis diabetes melitus


Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah
ini:

Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan

berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.


Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Kriteria diagnosis DM adalah :


Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma 200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban plasma 75 gram.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c 6,5% dengan menggunakan metode High-Performance
Liquid

Chromatography

(HPLC)

yang

terstandarisasi

oleh

National

Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP)

18

2. ASPEK TERAPI
Strategi pengelolaan pasien DM dengan keluhan neuropati diabetik dibagi
ke dalam 3 bagian. Strategi pertama adalah diagnosis ND sedini mungkin, strategi
kedua dengan kendali glikemik dan perawatan kaki sebaik-baiknya , dan strategi
ketiga yaitu pengendalian keluhan neuropati/ nyeri neuropati diabetik setelah
strategi kedua dikerjakan.
ND merupakan komplikasi kronik dengan berbagai faktor risiko yang
terlibat, maka pada pengelolaan ND perlu melibatkan banyak aspek, seperti
perawatan umum, pengendalian glukosa darah dan parameter metabolik lain
sebagai komponen yang tidak terpisahkan secara terus menerus.
Terapi Preventif
Untuk pencegahan dan penetalaksannan neuropati diabetikum prioritas
utama adalah pengendalian glukosa darah dan monitor HbA1c secara berkala.
Disamping itu pengendalian faktor metabolik lain seperti hemoglobin, albumin,
dan lipid sebagai komponen tak terpisahkan juga perlu dilakukan. Tiga studi
epidemiologi besar, Diabetes Control and Complications Trial (DCCT),
Kumamoto Study dan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS)
membuktikan bahwa dengan mengendalikan glukosa darah, komplikasi kronik
diabetes termasuk neuropati dapat dikurangi.
Pada DCCT, kelompok pasien dengan terapi intensif yang berhasil
menurunkan HbA1c dari 9 ke 7%, telah menurunkan risiko timbul dan
berkembangnya

komplikasi

mikrovaskular,

termasuk

menurunkan

risiko

timbulnya neuropati sebesar 60% dalam 5 tahun. Pada studi Kumamoto, suatu
penelitian mirip DCCT, tetapi pada DM tipe 2, juga membuktikan bahwa dengan

19

terapi intensif mampu menurunkan risiko komplikasi, termasuk perbaikan


kecepatan konduksi saraf dan ambang rangsang vibrasi. Demikian juga dengan
UKPDS yang memberikan hasil serupa dengan 2 studi sebelumnya
Tindakan preventif yang tidak kalah penting adalah menurunkan jumlah
populasi pasien DM. Hal ini dilakukan dengan modifikasi gaya hidup seperti
program latihan dan diet intensif atau intensive dengan OAD
Oleh karena secara klinik terbukti bahwa neuropati diabetikum kdapat
mengakibatkan ulkus kaki bahkan gangrene, maka perliu diberikan penyuluhan
untuk perawatan kaki. Perlu juga dilakukan follow up ytang lebih serius .
Terapi Medikamentosa
Manifestasi nyeri dapat berupa rasa terbakar, hiperalgesia, alodinia, nyeri
menjalar, dll. Pemahaman terhadap mekanisme nyeri penting agar dapat member
terapi yang lebih rasional, meskipun terapi nyeri neuropati diabetik pada dasarnya
bersifat simtomatis
Terami simtomatis ini bertujuan untuk menghilangkan nyeri dan
perawatan kaki. Jadi sebenarnyya berguna untuk menurunkan angka morbiditas
dan mencegah komplikasi.
Guidelines untuk farmakoterapai ialah
1. Dimulai dengan obat tunggal
2. Dimulai dengan dosis terkecil
3. Dosis ditingkatkan bertahap tiap 3-7 hari sampai nyeri hilang atau terjadi
intoleransi
4. Politerapi dimulai bila pengurangan gejala hanya sebagian kecil pada dosis
maksimal

20

5. Tidak ada hubungan antara suatu obat dengan dosis, tidak ada target dosis.
6. Lama (durasi) terapi bervariasi. Apabila nyeri hilang total dengan pengobatan,
oerlu penurunan terapi setiap 6 bulan. Pasien perlu lanjut terapi atau tidak.
Pedoman pengelolaan ND dengan nyeri yang dianjurkan ialah :
1. NSAID (ibuprofen 600 mg 4x/hari, sulindac 200mg 2x/hari)
Dapat membantu mengurangi peradangan yang disebabkan oleh neuropati
diabetika dan juga mengurangi rasa sakit.

Interaksi: kombinasi dengan aspirin meningkatkan resiko efek


samping atau dengan probenecid dapat meningkatkan konsentrasi
dan kemungkinan toksisitas NSAID.

Kontra Indikasi : hipersensitivitas, perdarahan GI Tract, terutama


penyakit ulkus peptikum, penyakit ginjal, penyakit jantung

Efek samping : perhatian pada pasien yang berpotensi mengalami


dehidrasi, efek jangka panjang dapat meningkatkan nekrosis
papiler ginjal, nefritis interstitial, proteinuria, terkadang bisa terjadi
sindrom nefrotik.

2. Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50-150 mg malam hari, imipramin


100mg/hari, nortriptilin 50-150 mg malam hari, paroxetine 40 mg/ hari)
TCA umumnya merupakan pengobatan yang paling banyak digunakan
pada diabetes neuropati sensorimotor. Efek analgesic TCA muncuk
tergantung pada penghambatan re-uptake norepinefrin dan serotonin. Efek
antikolinergik yang dapat timbul adalah mulut kering (xerostomia),

21

sembelit, pusing, penglihatan kabur, dan retensi urin. Selain itu TCA juga
dapat menimbulkan sedasi dan hipotensi ortostatik.

Amitriptilin : bila berinteraksi dengan Phenobarbital akan


menurunkan efek amitriptilin, kombinasi dengan simetidin dapat
meningkatkan dosis amitriptilin. Kontra indikasi bila ada
hipersensitivitas, riwayat kejang, aritmia jantung, glaucoma, retensi
urin.

Imipramin : mekanisme kerja obat ini dengan menghambat reuptake norepinefrin pada sinapsis di pusat jalur menurun modulasi
nyeri terletak di batang otak dan sumsum tulang belakang. Kontra
indikasi bila ada hipersensitivitas, penggunaan bersama MAOIs,
dan bila selama periode pemulihan akut infark miokard

3. Pengahambat ambilan serotonin selektif (SSRIs) termasuk antidepresan


relatif baru yang berbeda dengan TCA. SSRis adalah menghambat
ambilan serotonin presinaptik, tetapi tidak menghambat neuroadrenalin
dan efek blocking reseptor pasca sinaptik. Termasuk SSRIs adalah
fluoxetines, poroxetine, citalopram dan velafalxine. Secara keseluruhan
SSRIs belum memuaskan untuk terapi nyeri ND.
4. Duloxetine
Golongan obat ini menghambat ambilan serotonin dan NE non selektif.
Mekanisme aksinya mirip TCA, tetapi tanpa mengaktifkan reseptor
adrenergik, dopaminergik, muskarinik, dan histaminic. Pada penelitian
double blind placebo control trias, efektifitasnya pada depresi dan nyeri
22

neuropati diabetikum adalah 49%. Dosis efektifnya 60-10 mg/hari.


Perbaikan jelas setelah 1-2 minggu. Efek sampingnya termasukdistress
GIT, mulut kering, dan nyeri kepala. Jarang terjadi peningkatan tekanan
darah dan denyut jantung
5. Buspiron suatu antidepresan golongan aminoketon
Berfungsi sebagai suantu penghambat khusus ambilan epinephrine dan
penghambat ringan amnbilan dopamine. Buspiron SR 150-300 mg
dilaporkan

lebih

bermaknadalam

menghilangkan

nyeri

neuropati

diabetikum dibandingkan placebo. Efek sampingnya ringan.


6. Antikonvulsan (gabapentin 900mg 3x/hari, karbamazepin 200mg 4x/hari)
Farmakologi obat ini memblokir saluran dan menghambat komponen
neuronik spesifik.

Karbamazepin
Digunakan dalam neuropati perifer sebagai baris ketiga agen jika
semua agen lain gagal untuk mengurangi gejala neuropati
diabetika. Merupakan antikonvulsan generasi pertama. Kombinasi
dengan fenobarbital, fenitoin, atau primidone dapat menurunkan
dosis. Kontra indikasi bila ada hipersensitivitas dan riwayat
gangguan depresi sumsum tulang.

Gabapentin
Gabapentin (GBP), mekanisme anti analgesic dan antikonvuosan
tidak diketahui. Mempunyai struktur mirip GABA. Tetapi tidak
berinteraksi dengan reseptor GABA. Dosis efektif untuk nyeri
23

neuropati diabetikum adalah 100 mg 3 dd1, efek samping tidak


nyata, tidak dimetabolisme, sehingga tidak berinteraksi dengan
obat lain. Efek samping yangb sering terjadinpada dosis tinggi
adalah mengantuk, pusing, mual, atau gangguan lambung. GBP
adalah drug of choice untuk nyeri neuropati diabetikum

Pregabilin (PGB)
PGB suatu derivate GABA, terikatnya dengan alpha-2 delta
subunit Ca chanel dengan menurunkan pelepasan NT eksitasi. PGB
di approved FDA untuk nyeri neuropati dan neurelgis pasca herpes.
Dosis biasanya 100-600 mg/hari, oral dalam dosis terbagi. Untuk
nyeri neuropati diabetikum penggunaan obat PGB adalah lebih

baik dari GBP.


Lamotrigin
Lamotrigin adalah OAE yang menstrabilkan membran neuron
dengan memblok Na channel dan menghambat pelepasan
glutamate presinaptik. Efek klinisnya masih dipertahankan

Topirimat
Topirimat merupakan penghambat karbonik anhidrase. Dosis
dimulai 100mg/hari dan dititirasi bertahap sampai maksimal 1600
mg/hari, dalam dosis terbagi. Efek samping: batu ginjal, depresi

dan penurunan berat badan.


Tiagabin
Tiagabin memblok ambilan GABA. Dosis 2mg 3 dd 1, dan
dititarasi. Efek samping adalah mual, nyeri kepala, lelah, tremor
dan pusing.

7. Opioid
24

Obat golongan Opioid dapat dicoba untuk terapi nyeri neuropati


diabetikum bila gagal dengan obat lain. Jenis obat tersebut adalah
tramadol, petidin, morphin, metadon, oksikodon, dan levorphanol.
Meskipun demikian penggunaan opioid memberikan rasa ketakutan
akan terjadi kecanduan dan efek samping baik pada dokternya sendiri
atau pada pasien. Yang dianjurkan adalah opioid dosis rendah dan long

acting murni.
Tramadol, suatu alternative yang bagus untuk opioid yang kuat. Dosis
dimulai 100mg/hari kemudian ditingkatkan maksimal 400 mg/hari. Bila

intoleran, dosis ditappering off dan kemudian dihentikan


Metadon dosis 1-15 mg dan oksidon dosis 30-60 mg/hari. Petidin dan
morpin obat cadangan terbaik pada kasus yang resisten.

8. Topical : capsaicin 0,075% 4x/hari, fluphenazine 1mg 3x/hari,


transcutaneous electrical nerve stimulation.
Beberapa pertimbangan praktis dalam penggunaan klinis krim capsaicin.
Pertama, dilakukan tiga atau empat kali setiap hari untuk daerah yang
terkena. Capsaicin mengurangi rasa sakit akibat radang sendi, penyakit
ruam saraf, sakit saraf. Capsaicin merupakan komponen alami yang
terkandung dalam cabai merah. Komponen ini mengurangi sensitifitas
reseptor saraf kulit perasa sakit (yang dikenal dengan C-fibers).
Terapi Diabetes Melitus tipe II
Tujuan penatalaksanaan

Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan


rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.

25

Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikro

angiopati, makro angiopati, dan neuropati.


Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,


tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
komperhensif.

Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama:


Evaluasi medis meliputi:
Riwayat Penyakit

Gejala yang timbul,


Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi: glukosa darah, A1C,

dan hasil pemeriksaan khusus yang terkait DM


Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan
Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda
Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk
terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan
DM secara mandiri, serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi

kesehatan
Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,

perencanaan makan dan program latihan jasmani


Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik,

hiperglikemia, dan hipoglikemia)


Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus

urogenitalis serta kaki


Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal,

mata, saluran pencernaan, dll.)


Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah

hiperosmolar

26

Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,


obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan

endokrin lain)
Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM
Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi
Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan.

Pemeriksaan Fisik

Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang


Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam
posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik,
serta anklebrachial index (ABI), untuk mencari kemungkinan penyakit

pembuluh darah arteri tepi


Pemeriksaan funduskopi
Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
Pemeriksaan jantung
Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan

insulin) dan pemeriksaan neurologis


Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain

Evaluasi Laboratoris / penunjang lain

Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial


A1C
Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan

trigliserida)
Kreatinin serum
Albuminuria
Keton, sedimen, dan protein dalam urin
Elektrokardiogram
Foto sinar-x dada

Evaluasi medis secara berkala


27

Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan,
atau pada waktu-waktu tertentu lainnya sesuai dengan kebutuhan
Pemeriksaan A1C dilakukan setiap (3-6) bulan
Secara berkala dilakukan pemeriksaan:
o
o
o
o
o
o
o
o

Jasmani lengkap
Mikroalbuminuria
Kreatinin
Albumin / globulin dan ALT
Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dantrigliserida
EKG
Foto sinar-X dada
Funduskopi

Pilar penatalaksanaan DM
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apa bila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan
yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
(PERKENI,2011)
1.

Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup danperilaku telah

terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan


partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
28

peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri,


tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus.

2.

Terapi Nutrisi Medis


Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian daripenatalaksanaan diabetes

secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter,ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai
dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan
pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat
umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori danzat
gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah
makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah
atau insulin.

A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:


Karbohidrat

Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.


Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat

makan sama dengan makanan keluarga yang lain


Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
29

Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak

melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)


Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau
makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

Lemak

Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak

diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.


Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh

tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh
(whole milk).
Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.

Protein

Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.


Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-

kacangan, tahu, dan tempe.


Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/Kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya
bernilai biologik tinggi.

Natrium

30

Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran


untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan

6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur.


Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam

dapur.
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.

Serat

Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan


mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin,

mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.


Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari.

Pemanis alternatif

Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak

berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.


Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan

xylitol.
Dalam

kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.


Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena

efek samping pada lemak darah.


Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam,

sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.


Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted

penggunaannya,

pemanis

berkalori

perlu

diperhitungkan

Daily Intake / ADI)

31

B. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkanpenyandang
diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkankebutuhan kalori basal
yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal,ditambah atau dikurangi bergantung pada
beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yangdimodifikasi
adalah sbb:

Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.


Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150

cm, rumus dimodifikasi menjadi :


Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).


Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/
TB(m2)

Klasifikasi IMT

BB Kurang
BB Normal
BB Lebih

< 18,5
18,5-22,9
23,0

Keterangan:
o Dengan risiko 23,0-24,9
o Obes I 25,0-29,9
o Obes II > 30

32

*WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective: Redefining


Obesity and its Treatment.
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :
1. Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori
wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.
2. Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk
dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan
69 tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.
3. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan
istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas
sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.
4. Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat
kegemukan.Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan
untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah
kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita
dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi
dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta
2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan
pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk
penyandang diabetes yangmengidap penyakit lain, pola pengaturan makan
disesuaikan dengan penyakit penyertanya.

33

3.

Latihan jasmani

Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih
30 menit,sifatnya sesuai CRIPE (Continuous, Rhithmical, Interval, Progressive
training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85 % denyut nadi
maksimal (220/umur), disesuaikandengan kemampuan dan kondisi penyakit
penyerta. Sebagai contoh olahraga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30
menit, olahraga sedang adalah berjalan selama 20 menit dan olahraga berat
misalnya joging.
4.

Terapi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan


jasmani (gaya hidup sehat).Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
1. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5golongan:
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue):sulfonilurea dan glinid
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformindan tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambatglukosidase alfa.
E. DPP-IV inhibitor

A. Pemicu Sekresi Insulin


1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkansekresi insulin oleh sel
beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
34

normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat
badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan di ekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial.
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada PeroxisomeProliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.
Golongan

ini

mempunyai

efek

menurunkan

resistensi

insulin

dengan

meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan


ambilan glukosa diperifer.Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan
gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga
pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu
dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin

35

Obat

ini

mempunyai

efek

utama

mengurangi

produksi

glukosa

hati

(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.


Terutama

dipakai

pada

penyandang

diabetes

gemuk.

Metformin

dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin


>1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa
pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan
dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.
D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa diusus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus
bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glukagon.

Namun

demikian,secara

cepat

GLP-1

diubah

oleh

enzim

dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak


aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan
untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam

36

pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan


pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4(penghambat DPP-4),
atau memberikan hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis).
Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor,mampu menghambat kerja
DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif
dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan
glukagon.

2. Suntikan
A. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin

37

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:


Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
Insulin kerja panjang (long acting insulin)

Efek samping terapi insulin


Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
B. Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan
insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatanberat badan
yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea.
Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1

38

yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan


pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel betapankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.

3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk
tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO
dapat menjadi pilihan. Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah
atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali
glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,
kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah
puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah

39

sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi
kombinasi insulin.

2.6. Komplikasi
2.6.1. Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari
konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada
diabetes adalah:
A. Ketoasidosis Diabetik (DKA).
Merupakan komplikasi metabolik yang paling serius pada DM . Hal ini terjadi
karena kadar insulin sangat menurun,dan pasien akan mengalami hal berikut:
Hiperglikemia
Hiperketonemia
Asidosis metabolik
Hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis ,peningkatanlipolisis
dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda
keton(asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma
mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion
hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat
mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan
elektrolit. Pasien dapatmenjadi hipotensi dan mengalami syok.
Akhirnya,

akibat

penurunan

penggunaan

oksigen

otak,

pasien

akan

mengalamikoma dan meninggal. Koma dan kematian akibat DKA saat ini jarang

40

terjadi, karena pasien maupun tenaga kesehatan telah menyadari potensi bahaya
komplikasi ini dan pengobatan DKA dapat dilakukan sedini mungkin.

41

Tabel

Penatalaksanaan

Ketoasidosis

Metabolik

42

Tanda dan Gejala Klinis dari Ketoasidosis Diabetik


1. Dehidrasi

8. Poliuria

2. Hipotensi (postural atau supine)

9. Bingung

3. Ekstremitas Dingin/sianosis perifer

10. Kelelahan

4. Takikardi

11. Mual-muntah

5. Kusmaul breathing

12. Kaki kram

6. Nafas bau aseton

13. Pandangan kabur

7. Hipotermia

14. Koma (10%)

B. Hiperglikemia, Hiperosmolar, Koma Nonketotik (HHNK)


Komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita
diabetes tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun

43

relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Ciri-ciri HHNK adalah sebagai


berikut:
Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum > 600 mg/dl.
Dehidrasi berat
Uremia
Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera
ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Perbedaan utama antara
HHNK dan DKA adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis.
Penatalaksanaan HHNK
Penatalaksanaan berbeda dari ketoasidosis hanya dua tindakan yang terpenting
adalah: Pasien biasanya relatif sensitif insulin dan kira-kira diberikan dosis
setengah dari dosis insulin yang diberikan untuk terapi ketoasidosis, biasanya
3unit/jam. (Boon et.al 2006).

C. Hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin)


Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan
glukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma
dengan kejang. Penyebab tersering hipoglikemia adalah obat-obatan hipoglikemik
oral golongan sulfonilurea, khususnya glibenklamid. Hasil penelitian di RSCM
1990-1991 yang dilakukan Karsono dkk, memperllihatkan kekerapan episode
hipoglikemia sebanyak 15,5 kasus pertahun, dengan wanita lebih besar daripada
pria, dan sebesar65% berlatar belakang DM. meskipun hipoglikemia sering pula
terjadi pada pengobatan dengan insulin, tetapi biasanya ringan. Kejadian ini sering

44

timbul karena pasien tidak memperlihatkan atau belum mengetahui pengaruh


beberapa perubahan pada tubuhnya.
Penyebab Hipoglikemia
1. Makan kurang dari aturan yang ditentukan
2. Berat badan turun
3. Sesudah olah raga
4. Sesudah melahirkan
5. Sembuh dari sakit
6. Makan obat yang mempunyai sifat serupa
Tanda hipoglikemia mulai timbul bila glukosa darah < 50 mg/dl, meskipun reaksi
hipoglikemia bisa didapatkan pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Tanda
klinis dari hipoglikemia sangat bervariasi dan berbeda pada setiap orang.

Tanda-tanda Hipoglikemia
1) Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun.
2) Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitanmenghitung
sederhana.
3) Stadium simpatik: keringat dingin pada muka terutama di hidung, bibir atau
tangan, berdebar-debar.
4) Stadium gangguan otak berat: koma dengan atau tanpa kejang. Keempat
stadium hipoglikemia ini dapat ditemukan pada pemakaian obat oralataupun
suntikan. Ada beberapa catatan perbedaan antara keduanya:
1) Obat oral memberikan tanda hipoglikemia lebih berat.

45

2) Obat oral tidak dapat dipastikan waktu serangannya, sedangkan insulin


bisadiperkirakan pada puncak kerjanya, misalnya:
Insulin reguler : 2-4 jam setelah suntikan
Insulin NPH : 8-10 jam setelah suntikan
P.Z.I : 18 jam setelah suntikan

46

Penatalaksanaan Hipoglikemia

Komplikasi Kronik Jangka Panjang


A. Mikrovaskular / Neuropati
Retinopati, katarak : penurunan penglihatan
Nefropati :gagal ginjal

47

Neuropati perifer :hilang rasa, malas bergerak


Neuropati autonomik :hipertensi, gastroparesis
Kelainan pada kaki :ulserasi, atropati
B. Makrovaskular
Sirkulasi koroner :iskemi miokardial/infark miokard
Sirkulasi serebral :transient ischaemic attack, strok
Sirkulasi :claudication, iskemik

Masalah-Masalah Khusus Pada Diabetes


Diabetes dengan Infeksi
Adanya infeksi pada pasien sangat berpengaruh terhadap pengendalian glukosa
darah. Infeksi dapat memperburuk kendali glukosa darah, dan kadar glukosa darah
yang tinggi meningkatkan kemudahan atau memperburuk infeksi. Infeksi yang
banyak terjadi antara lain:

Infeksi saluran kemih (ISK)


Infeksi saluran nafas: pneumonia, TB Paru
Infeksi kulit: furunkel, abses
Infeksi rongga mulut: infeksi gigi dan gusi
Infeksi telinga: otitis eksterna maligna
ISK merupakan infeksi yang sering terjadi dan lebih sulit dikendalikan.
Dapat mengakibatkan terjadinya pielonefritis dan septikemia. Kuman
penyebab yang sering menimbulkan infeksi adalah: Escherichia coli dan
Klebsiella. Infeksi jamur spesies kandida dapat menyebabkan sistitis dan
abses renal. Pruritus vagina adalah manifestasi yang sering terjadi akibat
infeksi jamur vagina.

48

Pneumonia pada diabetes biasanya disebabkan oleh: streptokokus,


stafilokokus, dan bakteri batang gram negatif. Infeksi jamur pada

pernapasan oleh aspergillosis, dan mucormycosis juga sering terjadi.


Penyandang diabetes lebih rentan terjangkit TBC paru. Pemeriksaan
rontgen dada, memperlihatkan pada 70% penyandang diabetes terdapat
lesi paru-paru bawah dan kavitasi. Pada penyandang diabetes juga sering

disertai dengan adanya resistensi obat-obat Tuberkulosis.


Kulit pada daerah ekstremitas bawah merupakan tempat yang sering
mengalami infeksi. Kuman stafilokokus merupakan kuman penyebab
utama. Ulkus kaki terinfeksi biasanya melibatkan banyak mikro
organisme, yang sering terlibat adalah stafilokokus, streptokokus, batang

gram negatif dan kuman anaerob.


Angka kejadian periodontitis meningkat pada penyandang diabetes dan
sering mengakibatkan tanggalnya gigi. Menjaga kebersihan rongga mulut
dengan baik merupakan hal yang penting untuk mencegah komplikasi
rongga mulut.
pada penyandang diabetes, otitis eksterna maligna sering kali tidak
terdeteksi sebagai penyebab infeksi.

Diabetes dengan Nefropati Diabetik

Sekitar 20-40% penyandang diabetes akan mengalami nefropati diabetik


Didapatkannya albuminuria persisten pada kisaran 30-299mg/24 jam

(albuminuria mikro) merupakan tanda dini nefropati diabetik


Pasien yang disertai dengan albuminuria mikro dan berubah menjadi
albuminuria makro ( >300 mg/24 jam), pada akhirnya sering berlanjut
menjadi gagal ginjal kronik stadium akhir.
Diagnosis

49

Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan kadar


albumin > 30 mg dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan
dalam kurun waktu 3- 6 bulan, tanpa penyebab albuminuria lainnya.

Penatalaksanaan

Kendalikan glukosa darah


Kendalikan tekanan darah
Diet protein 0,8 gram/kgBB per hari. Jika terjadi penurunan fungsi
ginjal yang bertambah berat, diet protein diberikan 0,6 0,8 gram/kg

BB per hari.
Terapi dengan obat penyekat reseptor angiotensin II,penghambat ACE,
atau kombinasi keduanya. Jika terdapat kontraindikasi terhadap
penyekat ACE atau reseptor angiotensin, dapat diberikan antagonis

kalsium non dihidropiridin.


Apabila serum kreatinin >2,0 mg/dL sebaiknya ahli nefrologi ikut

dilibatkan
Idealnya bila klirens kreatinin <15 mL/menit sudah merupakan
indikasi terapi pengganti (dialisis, transplantasi).

Diabetes dengan Disfungsi Ereksi (DE)

Prevalensi DE pada penyandang diabetes tipe 2 lebih dari 10 tahun cukup


tinggi dan merupakan akibat adanya neuropati autonom, angiopati dan

problem psikis.
DE sering menjadi sumber kecemasan penyandang diabetes,tetapi jarang
disampaikan kepada dokter oleh karena itu perlu ditanyakan pada saat
konsultasi.

50

Pengelolaan DE pada diabetes dapat mengacu pada Penatalaksanaan


Disfungsi Ereksi (Materi PendidikanKedokteran Berkelanjutan, IDI,
1999). DE dapat didiagnosis dengan menggunakan instrumen sederhana

yaitu kuesioner IIEF5 (International Index of Erectile Function 5).


Upaya pengobatan utama adalah memperbaiki kontrol glukosa darah
senormal mungkin dan memperbaiki faktor risiko DE lain seperti

dislipidemia, merokok, obesitas dan hipertensi.


Perlu diidentifikasi berbagai obat yang dikonsumsi pasien yang

berpengaruh terhadap timbulnya atau memberatnya DE.


Pengobatan lini pertama ialah terapi psikoseksual dan obat oral antara lain
sildenafil dan vardenafil.

Diabetes dengan Kehamilan/Diabetes Melitus Gestasional

Diabetes melitus gestasional (DMG) adalah suatu gangguan toleransi


karbohidrat (TGT, GDPT, DM) yang terjadi atau diketahui pertama kali

pada saat kehamilan sedang berlangsung.


Penilaian adanya risiko DMG perlu dilakukan sejak kunjungan pertama

untuk pemeriksaan kehamilannya


Faktor risiko DMG antara lain: obesitas, adanya riwayat pernah
mengalami DMG, glukosuria, adanya riwayat keluarga dengan diabetes,
abortus berulang, adanya riwayat melahirkan bayi dengan cacat bawaan
atau melahirkan bayi dengan berat >4000 gram, dan adanya riwayat
preeklamsia. Pada pasien dengan risiko DMG yang jelas perlu segera
dilakukan pemeriksaan glukosa darah. Bila didapat hasil glukosa darah
sewaktu 200 mg/dL atau glukosa darah puasa 126 mg/dLyang sesuai
dengan batas diagnosis untuk diabetes, maka perlu dilakukan pemeriksaan

51

pada waktu yang lain untuk konfirmasi. Pasien hamil dengan TGT dan

GDPT dikelola sebagai DMG.


Diagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan TTGO dilakukan dengan
memberikan beban 75 gram glukosa setelah berpuasa814 jam. Kemudian
dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa, 1 jam dan 2 jam setelah

beban.
DMG ditegakkan apabila ditemukan hasil pemeriksaan glukosa darah
puasa 95 mg/dL, 1 jam setelah beban < 180 mg/dL dan2 jam setelah
beban 155 mg/dL. Apabila hanya dapat dilakukan 1 kali pemeriksaan
glukosa darah maka lakukan pemeriksaan glukosa darah 2 jam setelah
pembebanan, bila didapatkan hasil glukosa darah 155 mg/dL, sudah

dapat didiagnosis sebagai DMG.


Hasil pemeriksaan TTGO ini dapat digunakan untuk memprediksi

terjadinya DM pada ibu nantinya


Penatalaksanaan DMG sebaiknya dilaksanakan secara terpadu oleh
spesialis penyakit dalam, spesialis obstetri ginekologi, ahli diet dan

spesialis anak.
Tujuan penatalaksanaan adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian
ibu, kesakitan dan kematian perinatal. Ini hanya dapat dicapai apabila
keadaan normoglikemia dapat dipertahankan selama kehamilan sampai

persalinan.
Sasaran normoglikemia DMG adalah kadar glukosa darah puasa 95
mg/dL dan 2 jam sesudah makan 120 mg/dL. Apabila sasaran kadar
glukosa darah tidak tercapai dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani, langsung diberikan insulin.

Diabetes dengan Ibadah Puasa

52

Penyandang diabetes yang terkendali dengan pengaturan makan saja tidak


akan mengalami kesulitan untuk berpuasa. Selama berpuasa Ramadhan,
perlu dicermati adanya perubahan jadwal, jumlah dan komposisi asupan

makanan.
Penyandang diabetes usia lanjut mempunyai kecenderungan dehidrasi bila
berpuasa, oleh karena itu dianjurkan minum yang cukup. Perlu
peningkatan kewaspadaan pasien terhadap gejala-gejala hipoglikemia.
Untuk menghindarkan terjadinya hipoglikemia pada siang hari, dianjurkan
jadwal makan sahur mendekati waktu imsak/subuh, kurangi aktivitas fisik

pada siang hari dan bila beraktivitas fisik dianjurkan pada sore hari.
Penyandang diabetes yang cukup terkendali dengan OHO dosis tunggal,
juga tidak mengalami kesulitan untuk berpuasa. OHO diberikan saat
berbuka puasa. Hati-hati terhadap terjadinya hipoglikemia pada pasien

yang mendapat OHO dengan dosis maksimal.


Bagi yang terkendali dengan OHO dosis terbagi, pengaturan dosis obat
diberikan sedemikian rupa sehingga dosis sebelum berbuka lebih besar

dari pada dosis sahur.


Untuk penyandang diabetes DM tipe 2 yang menggunakan insulin, dipakai

insulin kerja menengah yang diberikan saat berbuka saja.


Diperlukan kewaspadaan yang lebih tinggi terhadap

terjadinya

hipoglikemia pada penyandang diabetes pengguna insulin. Perlu


pemantauan yang lebih ketat disertai penyesuaian dosisdan jadwal

suntikan insulin. Bila terjadi gejala hipoglikemia, puasa dihentikan.


Untuk pasien yang harus menggunakan insulin dosis multipel dianjurkan

untuk tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan.


Sebaiknya momentum puasa Ramadhan ini digunakan untuk lebih
meningkatkan pengetahuan dan ketaatan berobat para penyandang

53

diabetes. Dengan berpuasa Ramadhan diharapkan adanya perubahan


psikologis yang menciptakan rasa lebih sehat bagi penyandang diabetes.
2.7.6. Diabetes pada Pengelolaan Perioperatif

Tindakan operasi, khususnya dengan anestesi umum merupakan faktor


stres pemicu terjadinya penyulit akut diabetes, oleh karena itu setiap
operasi elektif pada penyandang diabetes harus dipersiapkan seoptimal
mungkin sasaran kadar glukosa darah puasa <150 mg/dL

Dislipidemia pada Diabetes


Dislipidemia pada penyandang diabetes lebih meningkatkan risiko timbulnya
penyakit
kardiovaskular.

Perlu pemeriksaan profil lipid pada saat diagnosis diabetes ditegakkan.


Pada pasien dewasa pemeriksaan profil lipid sedikitnya dilakukan setahun
sekali dan bila dianggap perlu dapat dilakukan lebih sering. Sedangkan
pada pasien yang pemeriksaan profil lipid menunjukkan hasil yang baik
(LDL<100mg/dL; HDL>50 mg/dL (laki-laki >40 mg/dL,wanita >50
mg/dL); trigliserid <150 mg/dL), pemeriksaan profil lipid dapat dilakukan

2 tahun sekali.
Gambaran dislipidemia yang sering didapatkan pada penyandang diabetes
adalah peningkatan kadar trigliserida, dan penurunan kadar kolesterol
HDL,sedangkan kadar kolesterol LDL normal atau sedikit meningkat.

54

Perubahan perilaku yang tertuju pada pengurangan asupan kolesterol dan


penggunaan lemak jenuh serta peningkatan aktivitas fisik terbukti dapat

memperbaiki profil lemak dalam darah.


Dipertimbangkan untuk memberikan terapi farmakologis sedini mungkin
bagi penyandang diabetes yang disertai dislipidemia

2.7.8. Hipertensi pada Diabetes

Indikasi pengobatan :Bila TD sistolik >130 mmHg dan / atau TD

diastolik>80 mmHg.
Sasaran (target penurunan) tekanan darah : Tekanan darah <130/80
mmHg Bila disertai proteinuria 1gram / 24 jam : < 125/75 mmHg

Pengelolaan:

Non-farmakologis : Modifikasi gaya hidup antara lain: menurunkan berat


badan, meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan merokok dan alkohol,

serta mengurangi konsumsi garam


Farmakologis : Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obatantihipertensi (OAH):
Pengaruh OAH terhadap profil lipid
Pengaruh OAH terhadap metabolisme glukosa
Pengaruh OAH terhadap resistensi insulin
Pengaruh OAH terhadap hipoglikemia terselubung
Obat anti hipertensi yang dapat dipergunakan:
Penghambat ACE
Penyekat reseptor angiotensin II
Penyekat reseptor beta selektif, dosis rendah

55

Diuretik dosis rendah


Penghambat reseptor alfa
Antagonis kalsium
Pada pasien dengan tekanan darah sistolik antara 130-139 mmHg atau
tekanan diastolik antara 80-89 mmHg diharuskan melakukan perubahan
gaya hidup sampai 3 bulan. Bila gagal mencapai target dapat
ditambahkan terapi farmakologis
Pasien dengan tekanan darah sistolik >140 mmHgatau tekanan diastolik
>90 mmHg, dapat diberikanterapi farmakologis secara langsung
Diberikan terapi kombinasi apabila target terapi tidak dapat dicapai dengan
monoterapi.
Obesitas pada Diabetes

Prevalensi obesitas pada DM cukup tinggi, demikian pula kejadian DM

dan gangguan toleransi glukosa pada obesitas cukup sering dijumpai


Obesitas, terutama obesitas sentral secara bermakna berhubungan dengan
sindrom dismetabolik(dislipidemia, hiperglikemia, hipertensi), yang

didasari oleh resistensi insulin


Resistensi insulin pada diabetes

dengan

obesitas

membutuhkan

pendekatan khusus
Gangguan koagulasi pada Diabetes

Terapi aspirin 75-160 mg/hari diberikan sebagai strategi pencegahan


sekunder bagi penyandang diabetes dengan riwayat pernah mengalami

penyakit kardiovaskular dan yang mempunyai risiko kardiovaskular lain.


Terapi aspirin 75-160 mg/hari digunakan sebagai strategi pencegahan
primer pada penyandang diabetes tipe 2 yang merupakan faktor risiko

56

kardiovaskular, termasuk pasien dengan usia > 40tahun yang memiliki


riwayat keluarga penyakit kardiovaskular dan kebiasaan merokok,

menderita hipertensi, dislipidemia, atau albuminuria.


Aspirin dianjurkan tidak diberikan pada pasien dengan usia di bawah 21

tahun, seiring dengan peningkatan kejadian sindrom Reye.


Terapi kombinasi aspirin dengan antiplatelet lain dapat dipertimbangkan

pemberiannya pada pasien yang memiliki risiko yang sangat tinggi.


Penggunaan obat antiplatelet selain aspirin dapat dipertimbangkan sebagai
pengganti aspirin pada pasien yang mempunyai kontra indikasi dan atau
tidak tahan terhadap penggunaan aspirin. (PERKENI, 2011)

Pencegahan
Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada 3 tahap yaitu ) :
Pencegahan primer: Semua aktifitas ditujukan untuk mencegah timbulnya
hiperglikemia pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi
umum.
Pencegahan sekunder: Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya
dengan tes penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi. Dengan demikian
pasien diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan
demikiandapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah
ada komplikasi masih reversible. (cegah kompilkasi)
Pencegahan tersier: Semua upaya untuk mencegah kecacatan akibat komplikasi
yang sudah ada. Usaha ini meliputi:
- Mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak menjadi
kegagalanorgan (jangan sampai timbul chronic kidney disease)
- Mencegah kecacatan tubuh

57

KESIMPULAN

Diabetes Mellitus adalah penyakit metabolik yang ditandai oleh kenaikan


kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia, ganguan sekresi dan fungsi insulin
atau keduanya. Patogenesis diabetes mellitus melibatkan faktorfaktor genetik,
biomolekuler, imunologi, dan lingkungan. Pencegahan dan pengendalian diabetes
melitus yaitu dengan pengontrolan kadar gula darah, melakukan perawatan luka,
mengatur diet makanan, meminum obat yang teratur, olah raga rutin, dan kontrol
setiap bulan. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah diabetes yang tidak
terkontrol yang dapat menyebabkan komplikasi seperti ketoasidosis dan sindrom
koma hiperglikemik hiperosmolar non ketotik yang dapat menyebabkan kematian
dan juga dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang, seperti penyakit
makrovaskuler, penyakit mikrovaskuler dan penyakit oftamologi lainnya. Salah
satu komplikasi yaitu neuropati diabetikum. Dari 4 faktor (metabolic, vascular,
imun dan NGF) yang berperan pada mekanisme patogenik ND, hiperglikemia
berkepanjangan sebagai komponen faktor metabolik merupakan dasar utama
pathogenesis ND.

58

Oleh karena itu, dalam pencegahan dan pengelolaan ND pada pasien DM,
yang penting ialah diagnosis diikuti pengendalian glukosa darah. Usaha mengatasi
keluhan nyeri pada dasarnya bersifat simtomatis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Soegondo, Sidartawan. Soewondo, Pradana. Subekti, Imam. 1995.
Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Cetakan kelima, 2005.
2.

Jakarta:Balai Penerbit FKUI.


Suyono, Slamet. Diabetes Melitus di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. JilidIII, Ed.IV. 2006. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia


3. Fauci, Anthony S. Braunwald, Eugene. Kasper, Dennis L. Hauser, Stephen
L.Harrisons Principle of Internal Medicine. 17th Edition. The McGrawHillCompanies. 2008.
4. Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakrta: IPD FKUI. 2006.
5. Silabernagi, Stefan. Florian Lang. Penyebab Diabetes Melitus. Teks &
Atlas Berwarna Patofisiologi. 2002. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
6. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 :
PERKENI 2011
7. Boon, Nicholas A. Walker, Brian. Davidsons Principles and Practice of
Medicine. 20th Edition. Elsevier. 2006.
8. Price, Sylvia Anderson. Wilson, Lorraine McCarty. Patofisologi Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2005
9. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya,
Diagnosis, dan Strategi Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1920
10. Gustavani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006;
hal. 1873
59

11. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes


mellitus. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson
price,

Lorraine

Mc

Carty

Wilson;

alih

bahasa,

Brahm

U.

Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia. Jakarta;2005; hal.1259


12. Subekti I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.h.1947-4
13. National Diabetes Information Clearinghouse. Diabetic Neuropathies: The
Nerve

Damage

of

Diabetes.

Diunduh

dari

http://diabetes.niddk.nih.gov/dm/pubs/neuropathies/neuropathies.pdf,
09/10/2015
14. Wibowo S, Gofir A. Farmakoterapi dalam Neurologi. Jakarta : Penerbit
Salemba Medika; 2001.h.145-7
15. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta : Dian
Rakyat; 2010.h.121-2
16. Vinik I, Casellini C, Nevoret MV. Diabetic Neuropathies. Edisi December
2011.

Diunduh

dari

http://www.endotext.org/diabetes/diabetes31/diabetes31.htm, 09/10/2015
17. Gunawan SG, Setiabudy R. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta :
FKUI; 2006.h.172-4, 230-3

60

You might also like