You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Anastesi dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes yang berarti tidak ada
rasa sakit. Anastesi dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anastesi lokal dan anastesi
umum. Anastesi lokal

menyebabkan hilangnya rasa sakit tanpa disertai kehilangan

kesadaran, sedangkan anastesi umum menyebabkan hilangnya rasa sakit disertai


hilang kesadaran. Sejak dahulu anastesi telah dilakukan untuk mempermudah
tindakan operasi.
Pada dasarnya, pemberian anastesi memang dilakukan untuk mengurangi
bahkan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai

hilangnya

kesadaran. Keadaan anestesi umum yang ideal harus mencakup analgesi, amnesia,
hilangnya kesadaran, hambatan sensorik dan refleks otonom, serta relaksasi
muskulus. Ini semuanya dapat dicapai dengan berbagai tingkat depresi sistem saraf
pusat akibat kerja obat anestetik yang berbeda, sehingga masing-masing obat
anestetik dapat menimbulkan efek yang berbeda.
Klasifikasi obat anestesi umum dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Anestesi Inhalasi
Contoh dari anestetika inhalasi yaitu gas tertawa, halotan, enfluran, isofluran
dan sevofluran. Obat-obat ini diberikan sebagai uap melalui saluran nafas.
Keuntungannya adalah resorpsi yang cepat melalui paru-paru seperti juga ekspresinya
melalui gelembung paru (alveoli) yang biasanya dalam keadaan utuh. Pemberiannya
mudah dipantau dan bila perlu setiap waktu dapat dihentikan. Nitrogen oksida yang
stabil pada tekanan dan suhu kamar merupakan salah satu anestetik gas yang banyak
dipakai karena dapat digunakan dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya.
Anestetik

inhalasi

konvensional

seperti

eter,

siklopropan,

dan

kloroform

pemakaiannya sudah dibatasi karena eter dan siklopropan mudah terbakar sedangkan
kloroform toksik terhadap hati.

2. Anestesi Intravena
Beberapa obat anestetik diberikan secara intravena baik tersendiri maupun
dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya untuk mempercepat tercapainya
stadium anestesi ataupun sebagai obat penenang pada penderita gawat darurat yang
mendapat pernapasan buatan untuk waktu yang lama. Termasuk disini adalah: (1)
barbiturat (tiopental, metoheksital), (2) benzodiazepin (midazolam, diazepam), (3)
opioid analgesik dan neuroleptik, (4) obat-obat lain (profopol, etomidat), dan (5)
ketamin, arilheksolamin yang sering disebut disosiatif anestetik.
Pada praktikum ini, pemberian anestesi umum pada kelinci ini menggunakan
obat anestetik menguap yaitu eter. Anastetik yang menguap (volatile anesthetic)
mempunyai sifat dasar yang sama yaitu berbentuk cairan pada suhu kamar
mempunyai sifat anestetik kuat pada kadar rendah dan relative mudah larut dalam
lemak darah dan jaringan. Semua zat anestesi umum bekerja dengan menghambat
SSP secara bertahap. Kelarutan yang baik dalam darah dan jaringan dapat
memperlambat terjadinya keseimbangan dan terlewatinya induksi namun hal ini dapat
diatasi dengan memberikan kadar lebih tinggi dari kadar yang dibutuhkan. Eter
dapat merangsang sekresi kelenjar bronkus dan mengiritasi saluran napas.
Pada induksi dan waktu pemulihan, eter menimbulkan salivasi. Tetapi pada
stadium yang lebih dalam, salivasi akan dihambat dan terjadi depresi
nafas. Eter juga menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah ginjal
sehingga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus dan produksi urine
secara berlebihan sedangkan pada pembuluh darah otak, eter menyebabkan
vasodilatasi. Eter menyebabkan mual dan muntah terutama pada waktu pemulihan,
tetapi dapat pula pada waktu induksi. Ini disebabkan oleh efek sentral eter atau akibat
iritasi lambung oleh eter yang tertelan. Aktifitas saluran cerna dihambat selama dan
sesudah anesthesia. Eter menekan kontraktilitas otot jantung, tetapi in vivo efek ini
dilawan oleh meningginya aktifitas simpatis sehingga curah jantung tidak berubah.
Pada praktikum ini, kami melihat pengaruh pemberian eter terhadap perubahan

kondisi kesadaran kelinci yang dapat diamati dengan beberapa parameter penting,
yaitu respon nyeri, lebar pupil, jenis pernafasan, frekuansi jantung, dan tonus otot.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana melakukan anastesi umum dengan eter pada kelinci percobaan?
2. Bagaimana menentukan stadium anastesi yang terjadi melalui parameter
parameter (respon nyeri, lebar pupil, jenis pernafasan, frekuansi jantung, dan
tonus otot)?
3. Apa yang membedakan masing- masing stadium pada anastesi?
1.3 Tujuan
1. Melakukan anastesi umum dengan eter pada kelinci percobaan.
2. Mengamati stadium anastesi yang terjadi melalui parameterparameter antara
lain: respon nyeri, lebar pupil, jenis pernafasan, frekuansi jantung, dan tonus
otot.
3. Menjelaskan stadium- stadium anastesi.
1.4 Manfaat
1. Mampu melakukan anastesi umum dengan eter pada kelinci percobaan.
2. Mengetahui stadium anastesi yang terjadi melalui parameter parameter
(respon nyeri, lebar pupil, jenis pernafasan, frekuansi jantung, dan tonus otot).
3. Mampu menjelaskan stadium- stadium anastesi.

BAB 2
ALAT, BAHAN DAN CARA KERJA
2.1 Alat
1

Corong anaestesi

1. Gunting
1. Penggaris
1. Klem
1. Stetoskop
2. Lampu Senter
a. Lampu Senter & gunting

b. Stetoskop

2.2 Bahan
1. Kelinci
2. Eter

a. Kelinci

b. Eter

2.3 Cara kerja


1

Alat dan bahan disiapkan.

1. Periksa dan catat keadaan pernapasan, keadaan mata, pergerakan


otot, keadaan saliva, rasa nyeri dan auskultasi pada kelinci.
1. Corong anaestesi dipasang pada moncong kelinci dengan baik
dan benar.
1. Eter diteteskan dengan kecepatan 60 tetes per menit.
1. Waktu dan hasil pemeriksaan dicatat ketika memulai percobaan, setiap adanya
tanda- tanda dari tiap- tiap stadium, dan keadaan dimana kelinci berada dalam
anaestesi yang diinginkan.
1. Percobaan dilakukan hingga tercapai stadium III plane 3.
1. Corong dilepaskan dari moncong kelinci dan kelinci dipijat agar sadar lagi.

BAB 3
HASIL PRAKTIKUM
Catatan Waktu
1

Mulai meneteskan eter

: 00:01.00

Tercapainya stadium I

: 01:00.92

Tercapainya stadium II

: 01:46.41

Tercapainya stadium III :


1) Plan 1 : 01:55.00
2) Plan 2 : 03:14.00
3) Plan 3 : 06:10.00

Kembali sadar

: 16:28.28

Hasil Pemeriksaan
PERNAPASAN
Kontrol
Frekuensi
Irama

96
Teratur

Jenis

Torakoabdominal

Stadium

Stadium

Stadium

I
84
Teratur

II
68
Teratur

III
56
Teratur
Abdome

Abdomen Abdomen

Selesai
52
Teratur
Torax
Tidak

Amplitudo

Dangkal

Dalam

Dalam

Dalam

terlalu
dalam

MATA

Lebar pupil
Reflek
Cahaya
Reflek

Stadium

Stadium

0,8 cm

II
0.5 cm

III
0,8 cm

Ada

Ada

Ada

Tidak ada

ada

Ada

Ada

Ada

Tidak ada

Ada

Kontrol

Stadium I

1 cm

Selesai
1 cm

Kornea
Pergerakan
mata

Ada

Ada

Ada

GERAKAN / OTOT
Stadium
Kontrol
Stadium I
II

Tidak ada

Stadium
III

Tonus Otot

Ada

Tidak ada

Tidak ada Tidak ada

Gerakan

Ada

Tidak ada

Tidak ada Tidak ada

Ada

Selesai
Tidak
ada
Tidak
ada

RASA NYERI
Kontrol

Stadium I

Ada

Ada

Rasa Nyeri

Stadium

Stadium

II
Tidak

III
Tidak

Ada

Ada

Stadium

Stadium

II

III

Tidak ada

ada

Stadium

Stadium

II

III

Selesai
Ada

SALIVASI

Hipersalivas
i

Kontrol

Stadium I

Tidak ada

Tidak ada

Selesai
Ada

AUSKULTASI

Ronchi

Kontrol

Stadium I

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada Tidak ada

Selesai
Tidak
ada

Catatan waktu perubahan keadaan kelinci:


00:52.61

: Bradicardi

01:00.92

: Nyeri hilang, Midriasis mulai masuk stadium I

01:46.41

: Midriasis, takikardi mulai masuk stadium II

01:55.00

: Bradikardi, Midriasis stadium III plane 1

03:14.00

: Tarikardi stadium III plane 2

06:10.00

: Takikardi stadium III plane 3

16:28.28

: Miosis (kembali normal)sadar

BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan
Praktikum pemberian anestesi umum pada kelinci ini menggunakan obat
anestetik menguap, yaitu eter. Anestetik yang menguap (volatile anesthetic)
mempunyai 3 sifat dasar yang sama, yaitu berbentuk cairan pada suhu kamar,
mempunyai sifat anestetik kuat pada kadar rendah dan relative mudah larut dalam
lemak, darah dan jaringan. Kelarutan yang baik dalam darah dan jaringan dapat
memperlambat terjadinya keseimbangan dan terlewatinya induksi. Namun hal ini
dapat diatasi dengan memberikan kadar lebih tinggi dari kadar yang dibutuhkan.
Semua zat anestesi umum menghambat susunan saraf secara bertahap, mulamula fungsi yang kompleks akan dihambat dan yang paling akhir adalah medula
oblongata yang mengandung pusat vasomotor dan pusat pernafasan yang vital.
Guedel membagi anestesi umum dengan eter menjadi 4 stadium: Stadium I
(analgesi), Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi, Stadium III (pembedahan),
Stadium IV (paralisis medulla oblongata).
Sebelum percobaan dimulai, dilakukan pengamatan pada keadaan kelinci
yang nantinya akan digunakan sebagai kontrol. Pada keadaan normal, frekuensi
pernapasan kelinci adalah 96 kali/menit, iramanya teratur, dan jenis pernapasan
adalah thorako-abdominal. Selain itu, masih terdapat gerakan reflek dari kelinci
ketika telinga kelinci disentuh menggunakan gunting penjepit. Hal ini juga
menunjukkan masih adanya rasa nyeri yang dapat dirasakan kelinci tersebut. Tonus
otot juga masih ada saat kaki kelinci dipegang dan kaki tersebut menghasilkan
tahanan otot. Keadaan mata kelinci saat keadaan normal menunjukkan lebar pupil 1
cm, terdapat refleks cahaya, refleks kornea dan pergerakan mata. Kelinci tidak
mengalami hipersalivasi dan ronchi pada auskultasi tidak ada.
Stadium I anestesi umum dicapai setelah satu menit (01:00.92). Tahap ini
dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran. Kesadaran
kelinci masih tampak namun ukuran pupil mengecil (awal 1 cm, pada stadium I
8

menjadi 0,8 cm) dari keadaan awal. Pada tahap ini, reflek nyeri mulai menurun tapi
masih ada (efek analgesia mulai muncul). Pernafasan menggunakan abdomen,
frekwensi menurun dari keadaan awal tetapi irama masih teratur dengan amplitudo
dalam. Pada stadium I sudah tidak ada reflek gerakan otot namun belum muncul efek
hipersalivasi maupun ronchi.
Stadium II, yang disebut juga dengan stadium eksitasi atau delirium, dimulai
dari hilangnya kesadaran hingga permulaan stadium pembedahan. Pada hasil
praktikum didapatkan kelinci memasuki stadium ini pada 1 menit 46 detik. Kelinci
memasuki stadium II ditandai dengan adanya gerakan berlebihan dari kelinci, seperti
kejang-kejang dan memberontak. Pada stadium ini terlihat jelas adanya eksitasi dan
gerakan yang tidak menurut kehendak, seperti refleks bulu mata, pelebaran pupil
mata (midriasis), tonus muskulus skeletal meningkat, pernafasan thoracic dan
abdominal menjadi cepat dan tidak teratur, menurunnya pernafasan, serta takikardi.
Stadium II akan berakhir apabila hewan menunjukkan tanda relaksasi otot, respirasi
menurun, dan terjadi penurunan reflex
Eksitasi disebabkan karena adanya depresi atau hambatan pada pusat inhibisi.
Pernapasan torakal-abdominal yang cepat dan tidak teratur diakibatkan oleh depresi
pernapasan sehingga terjadi retensi CO dan menuju pada sympatho Adrenal
Discharged (SAD) yaitu pelepasan adrenalin dari kelenjar medula adrenalin dan
noradrenalin dari ujung saraf simpatis. Sedangkan bola matanya bergerak-gerak
karena terjadi paralisa otot ekstrinsik bola mata sehingga kontraksinya tidak
terkoodinir. Selain itu ditandai dengan gerakan tubuh yang tidak terkontrol, spasme
laring. Pada stadium ini terjadi induksi eter inhalasi yang memanjang (Boulton,
1994).
Stadium 3 (Anestesi bedah) adalah stadium pembedahan yang terjadi
sementara penderita tidak sadar dan tidak mampu menimbulkan refleks. Ini adalah
stadium anestesi yang telah menekan sistem pengaktifan retikular dan barangkali
secara selektif juga pada sinaps nyeri dari medula spinalis. Pusat medula secara
progresif menjadi tertekan. Penekanan ini mencakup pusat muntah (sehingga muntah
secara aktif tidak menjadi suatu bahaya lagi), pusat pemeliharaan otot tonus

bercoraktermasuk pada dinding perut dan pusat pernapasan. Respons otonom


seperti refleks percepatan dan perlambatan dari jantung, atau pernapasan karena
perangsangan visera tertekan secara komparatif sejak awal, tetapi dengan eter,
respirasi spontan tidak berhenti sampai anestesi yang dalam. Guedel mendefinisikan
anestesi bedah berada diantara titik respirasi tidak lagi dipengaruhi oleh perangsangan
refleks, dan menjadi teratur, dan titik respirasi berhenti karena penekanan medula
(Boulton, 1994). Stadium 3 biasanya menghasilkan keadaan operasi optimal dengan
pernapasan yang cukup baik dan hemodinamis yang stabil (Sabiston, 1992).
Stadium tiga anestesi dibagi menjadi empat plana sesuai dengan kebutuhan
eterisasi :
Plane 1. Kelinci memasuki plane ini setelah 1 menit 55 detik, ditandai dengan
pernafasan teratur, pernafasan abdominal, pupil mengecil lagi (miosis) dan refleks
tidak ada, tonus otot menurun.
Plana 2. Kelinci memasuki Stadium 3 Plana 2 ini setelah 3 menit 14 detik,
yang ditandai dengan pupil membesar atau midriasis, tidak ada eksitasi, tidak terdapat
reflek kornea, dan tidak terdapat rasa nyeri pada hewan coba kelinci tersebut.
Plana 3. Pada hewan coba akan terjadi pernapasan teratur oleh perut karena
otot interkostal mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral,
refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus
otot semakin menurun). Pada praktikum yang kami lakukan, kelinci memasuki tahap
stadium III plane 3 setelah 6 menit 10 detik. Stadium III plana 3 diawali dengan
kelinci yang mengalami takikardi, pernapasannya halus dan teratur dengan
menggunakan pernapasan abdomen, pupil mengalami midriasis, tidak ada reflek
apapun pada mata dan gerakan otot, tidak merasakan nyeri, dan terjadi hipersalivasi.
Praktikum dihentikan pada stadium 3 plana 3. Jika dilanjutkan sampai stadium
3 plana 4 atau sampai satdium 4 maka akan terjadi takikardi terus menerus dan pupil
akan mengalami midriasis yang berlebihan, tekanan darah juga semakin turun,
pernafasan juga semakin melemah, hal ini bisa membahayakan nyawa hewan coba
(kelinci).

10

4.2 Pertanyaan
1. Apakah semua stadium pada amestesi umum dengan eter dapat terlihat
pada percobaan ini?
Iya, semua stadium pada anestesi umum dengan eter dapat terlihat pada
percobaan ini.
2. Bila dapat terlihat dengan jelas, apakah tanda-tanda pada tiap stadium
didapatkan?Tanda-tanda mana sajakah yang tidak didapatkan atau
tidak terlihat dengan jelas?
Semua tanda-tanda pada tiap stadium sudah terlihat dengan jelas.
Stadium 1 : Hewan masih sadar, pupil myosis, refleks cahaya dan
kornea masih terlihat, dan masih ada tahanan otot.
Stadium 2 : Terjadi ekstasi, kesadaran perlahan mulai hilang, refleks
cahaya dan kornea masih terlihat, namun mulai hilang. Pupil midriasis,
masih ada tahanan otot, terasa nyeri.
Stadium 3 :
Plane 1: Kesadaran hilang, pupil myosis, gerakan tahanan otot
melemah, refleks cahaya dan kornea melemah.
Plane 2: Kesadarannya mulai hilang, pupilnya midriasis, tahanan otot
hilang, refleks cahaya dan kornea tidak terlihat.
Plane 3: Kesadaran otot ada, nyeri dan gerakan otot tidak ada, pupil
midriasis, refleks cahaya dan kornea tidak ada.
3. Pada auskultasi, apakah yang didapatkan? Kenapa hal ini dapat terjadi?
Jelaskan!
Pada auskultasi didapatkan suara rochi. Suara ini didapatkan karena ether
menyebabkan iritasi saluran pernafasan dan merangsang sekresi kelenjar
bronchus sehingga terdengar suara seperti mengorok.
4. Pada stadium manakah rasa nyeri mulai hilang?
Rasa nyeri mulai hilang pada stadium 1.
5. Pada stadium manakah terdapat relaksai otot bergaris ?
Relaksasi otot bergaris terjadi pada stadium tiga, dimulai dari akhir stadium II.
6. Bagaimanakah salivasinya ? Mengapa hal ini dapat terjadi ?
Salivasi terjadi karena penurunan reflek kelenjar ludah dan juga ether
merangsang kelenjar bronchus akibat iritasi pada saluran pernafasan sehingga
saliva keluar berlebihan.
7. Tanda-tanda apakah yang didapatkan pada waktu binatang coba dari
keadaan anastesi kembali ke keadaan bangun ?
11

a. Frekuensi nafas, frekuensinya menjadi lebih teratur.


b. Mata mulai kembali normal, ada reflek cahaya dan reflek kornea, dari
midriasis
menjadi miosis.
c. Reflek nyeri mulai ada.
8. Cara pemberian anestesi pada percobaan ini disebut cara apa? Caracara
apa saja yang dapat digunakan pada pemberian anestesi umum?
Pemberian anestesi dalam percobaan ini dengan cara semi open drop. Adapun
cara-cara yang dapat digunakan pada pemberian anestesi umum adalah: open
drop, semi open drop, semi closed system, dan closed system.
9. Apa kerugian / keuntungan eter sebagai anestesi umum?
Keuntungan eter sebagai anestesi umum :
- Potensi anestesi moderat
- Efek analgesik cukup besar
- Batas keamanan besar
- Kadar yang menyebabkan pernafasan berhenti lebih kecil daripada
kadar yang menyebabkan jantung berhenti
- Tidak terdapat toksisitas pada jantung
- Stabil dalam sirkulasi
- Bronkodilatasi
- Relaksasi otot bergaris baik
Kerugian eter sebagai anestesi umum :
- Mudah terbakar, explosive (meledak)
- Induksi dan pemulihan lambat
- Koefisien darah : gas > 10
- Iritasi saluran pernafasan hipersalivasi
- Mual - muntah pasca bedah (iritan)
- Dapat berbahaya pada penderita Diabetes Melitus
- Glukosa darah akibat pelepasan adrenalin pada stadium II dan
stadium III anestesi
10. Dan bagaimana pula dengan kloroform, halotan, siklopropan, nitrus
oksida, dan
pentotal?
a

Kloroform :
- Keuntungan :

12

Non irritable, relaksasi otot baik, tidak mudah terbakar, tidak mudah
meledak (non explosive)
-

Kerugian :
Depresi miokard, hepatotoksik

Halotan :
- Keuntungan :
Potensi anestesi : poten, non iritan, non explosive, induksi cepat,
pemulihan baik, mual muntah pasca bedah jarang
-

Kerugian :
Batas keamanan tidak lebar, relaksasi otot bergaris kurang, depresi
miokard dan vasodilatasi, dapat terjadi hipotensi. Meningkatkan
sensitivitas miokard terhadap adrenalin (terjadi aritmia), depresi
pernafasan, aliran darah otak meningkat oleh karena resistasi vaskular
otak menurun, menimbulkan komplikasi seperti hepatitis pasca bedah.

Siklopropan :
-

Keuntungan :
Bekerja, saturasi O2 hampir 100%, dapat diberikan dalam bermacammacam konsentrasi tanpa mempengaruhi fungsi badan

Kerugian :
Sangat eksplosif dan mudah terbakar, cenderung mempengaruhi dan

menekan
pernapasan
d

Nitrous oksida :
- Keuntungan :
Non irritable, non explosive, induksi dan pemulihan cepat, efek analgesia
besar, terjadi euforia, batas keamanan lebar, efek terhadap sistem
kardiovaskular dan pernafasan kecil, peningkatan aliran darah ke otak
paling kecil
-

Kerugian:
Potensi anestesi lemah, relaksasi otot bergaris kurang baik, pada akhir
anestesi dapat terjadi hipoksia ringan.
13

Pentotal :
- Keuntungan:
Induksinya sangat cepat, pemulihan cepat kecuali bila diberikan secara
berulang-ulang, non iritan, tidak ada mual muntah pasca bedah, sensitisasi
epinefrin terhadap jantung tidak ada.
-

Kerugian:
Efek analgesia kecil

11. Anestesi umum apa sajakah yang tidak boleh digunakan pada penderita
yang
baru menderita hepatitis infeksiosa?
Anestesi halotan, karena anestesi jenis ini dapat menghasilkan metabolit yang
dapat merusak hepar.
12. Anastesi manakah yang baik / dapat digunakan pada penderita dengan
tuberculosis paru dupleks ?
Anasthesi yang baik / dapat digunakan pada penderita dengan tuberculosis
paru dupleks adalah anasthesi yang tidak mengiritasi saluran napas dan tidak
merangsang sekresi kelenjar bronkus, yaitu Ketamin, karena hanya
menganasthesia area spesifik saja di otak, dan tidak menyebabkan depresi
pernafasan, sehingga nafas tetap normal.
13. Apakah pemberian adrenalin dapat dilakukan pada semua anasthesi
diatas? Dengan anastesi apa yang tidak boleh? Jelaskan!
Tidak. Pada anasthesi menggunakan halotan tidak boleh diberikan adrenalin,
karena halotan memberikan efek kardiovaskular dengan meningkatkan
sensitifitas miokardium terhadap adrenalin, sehingga jika diberikan adrenalin,
bisa menyebabkan terjadinya aritmia. Pada anestesi menggunakan ketamin
juga tidak boleh dikombinasikan dengan adrenalin recovery-nya sudah lama
dan tekanan darahnya sudah bisa meningkat tanpa adrenalin.

14

BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan obat anastesi menguap, yaitu eter,
karena eter memiliki sifat anastetik kuat pada kadar rendah dan mudah larut dalam
lemak, darah, dan jaringan sehingga dapat memperlambat terjadinya keseimbangan
dan terlewatinya induksi. Pemberian eter terus-menerus seiring berjalannya waktu
akan membawa kelinci pada tingkatan-tingkatan stadium, mulai dari stadium 1,
stadium 2, stadium 3 plane 1, stadium 3 plane 2, dan stadium 3 plane 3. Pada stadium
3 plane 3 pemberian eter harus dihentikan karena jika diteruskan dan kelinci
memasuki stadium 3 plane 4 dan stadium 4 akan menyebabkan kematian.
5.2 Saran
Sebaiknya dilakukan pengamatan secara teliti pada kelinci percobaan
sehingga dapat diketahui dengan tepat kapan kelinci mulai memasuki stadium I, II,
III dan IV. Selain itu, pada saat melakukan praktikum perlu berhati-hati, terutama
ketika kelinci memasuki stadium 2 karena kelinci cenderung memberontak.

15

DAFTAR PUSTAKA
Boulton, Thomas B 1994. Anestethetic for Medical Students, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.Indonesia
Sabiston, David C. 1992. Buku Ajar Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. halaman 135-136.

16

You might also like