You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Mata merah merupakan keluhan penderita yang sering dijumpai, Keluhan ini
biasanya timbul akibat terjadinya perubahan warna bola mata yang sebelumnya
berwarna putih menjadi merah.
Pada mata normal, sklera akan terlihat berwarna putih karena sklera dapat terlihat
melalui bagian konjungtiva dan kapsul Tenon yang tipis dan tembus cahaya. Hiperemi
konjungtiva terjadi akibat bertambahnya asupan pembuluh darah ataupun berkurangnya
pengeluaran darah seperti pada pembendungan pembuluh darah. Bila terjadi pelebaran
pembuluh darah konjungtiva atau episklera atau perdarahan antara konjungtiva dan
sklera maka akan terlihat warna merah pada mata yang sebelumnya berwarna putih.
Mata terlihat merah akibat melebarnya pembuluh darah konjungtiva yang terjadi
pada peradangan mata akut misalnya konjungtivitis, keratitis atau iridosiklitis.
Pada konjungtiva terdapat beberapa pembuluh darah dimana jika terjadi pelebaran
pembuluh tersebut maka mata akan menjadi merah. Pembuluh-pembuluh darah tersebut

yaitu:
a.
Arteri konjungtiva posterior, yang memperdarahi konjungtiva bulbi.
b.
Arteri siliar anterior atau episklera yang memberikan cabang:
1. Arteri episklera masuk ke dalam bola mata dan dengan srteri siliar posterior longus
bergabung membentuk arteri sirkular mayor atau pleksus siliar, yang akan
memperdarahi iris dan badan siliar.
2. Arteri perikornea, yang memperdarahi kornea.
3 Arteri episklera yang terletak di atas sklera, merupakan bagian dari arteri siliar anterior
yang memberikan perdarahan ke dalam bola mata.
Selain melebarnya pembuluh darah, mata merah dapat juga terjadi akibat
pecahnya salah satu dari kedua pembuluh darah di atas dan darah tertimbun di bawah
jaringan konjungtiva. Keadaan ini disebut sebagai perdarahan subkonjungtiva.
Mata merah dapat dibagi menjadi mata merah dengan visus normal ataupun mata
merah dengan visus menurun akibat keruhnya media penglihatan.
Penatalaksanaan kasus mata merah dengan visus normal dan mata merah dengan
visus menurun tidak sama. Pada mata merah dengan visus normal, tidak ada keterlibatan
media refrakta sehingga penggunaan obat-obatan anti inflamasi steroid bisa digunakan
kecuali pada penyakit yang disebabkan oleh jamur. Sedangkan penatalaksanaan kasus

mata merah dengan visus menurun yang melibatkan media refrakta seperti kornea, maka
anti inflamasi steroid tidak diberikan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.

Anatomi Mata

Mata atau organon visus secara anatomis terdiri dari occulus dan alat tambahan
(otot-otot) di sekitarnya. Occulus terdiri dari nervus opticus dan bulbus occuli. Bulbus
1.
2.

occuli terdiri dari tunika dan isi. Tunika atau selubung terdiri dari 3 lapisan, yaitu:
Tunika fibrosa (lapisan luar) yang terdiri dari kornea dan sklera.
Tunika vasculosa (lapisan tengah) yang mengandung pembuluh darah, terdiri dari
chorioidea, corpus ciliaris, dan iris yang mengandung pigmen dengan musculus dilatator

pupillae dan musculus spchinter pupillae.


3.
Tunika nervosa (lapisan paling dalam), mengandung reseptor dan terdiri dari dua
lapisan, yaitu stratum pigmenti dan retina. Retina dibedakan atas pars coeca yang
meliputi pars iridica dan pars ciliaris, serta pars optica yang berfungsi menerima
rangsang dari conus dan basilus.
Sedangkan isi pada bulbus oculli terdiri dari :
a.

Humor aqueous, zat cair yang mengisi antara kornea dan lensa kristalina, di

b.

belakang dan di depan iris.


Lensa kristalina, meliputi capsula lentis dengan ligmentum suspensorium lentis

untuk berhubungan dengan corpus ciliaris.


c.
Corpus vitreum, yaitu badan kaca yang mengisi ruangan antara lensa dengan
retina.

Gambar 1. Anatomi Mata


B.
1.

Diagnosis Mata Merah dengan Visus Menurun


Keratitis
Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan kornea.
Peradangan tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman, stroma, membran
Descemet, ataupun endotel. Peradangan juga dapat melibatkan lebih dari satu lapisan
kornea.

Keratitis memberikan gejala dan tanda berupa epifora, fotofobia, penglihatan


kabur, mata merah, kdang sakit, blefarospasme dan injeksi perikornea.
Keratitis mikrobial atau infektif disebabkan oleh proliferasi mikroorganisme, yaitu
bakteri, jamur, virus dan parasit, yang menimbulkan inflamasi dan destruksi jaringan
kornea.
a.

Kondisi

ini

sangat

mengancam

tajam

penglihatan

dan

merupakan

kegawatdaruratan di bidang oftalmologi.


Keratitis Bakterial
Keratitis bakterial jarang terjadi pada mata normal dikarenakan adanya mekanisme
pertahanan alami kornea terhadap infeksi. Faktor predisposisi yang umum terjadi adalah
penggunaan lensa kontak, trauma, riwayat operasi kornea, kelainan permukaan bola
mata, penyakit sistemik dan imunosupresi. Di negara berkembang, streptokokus,
stafilokokus dan pseudomonas merupakan penyebab keratitis bakterial terbanyak.
Tanda dan gejala klinis keratitis bakterial bergantung kepada virulensi organisme
dan durasi infeksi. Tanda utama adalah infiltrasi epitel atau stroma yang terlokalisir
ataupun difus. Umumnya terdapat defek epitel di atas infiltrat stromal nekrotik yang
berwarna putih-keabu-abuan. Tampilan umum lainnya adalah abses stroma di bawah
epitel yang intak. Infiltrat dan edema kornea dapat terletak jauh dari lokasi infeksi
primer. Ulserasi kornea dapat berlanjut menjadi neovaskularisasi. Jika proteinase
menyebabkan stromal melting maka akan terbentuk descemetocele (pada keratitis
ulseratif yang diakibatkan oleh P. aeruginosa akibat penggunaan lensa kontak yang
tidak hygiene). Gejala yang dikeluhkan dapat berupa rasa nyeri, pembengkakan kelopak
mata, mata merah atau mengeluarkan kotoran, silau, dan penglihatan yang buram.

Gambar 2. Descemetocele
Gambar 3. Keratitis Bakterial
Terapi yang diberikan biasanya berdasarkan jenis gram bakterinya. Pada bakteri
gram (-) diberikan tobramisin, gentamisin, atau polimiksin. Sedangkan pada gram (+)
b.

diberikan cefazolin, vancomyxin, atau basitrasin.


Keratitis Jamur

Keratitis jamur (keratomikosis) merupakan inflamsi yang disebabkan oleh infeksi


jamur dan menyebabkan peradangan pada kornea. Faktor predisposisinya antara lain
trauma, pemakaian lensa kontak, dan steroid topical. Infeksi ini pertama kali menyerang
epitel kornea dan stroma kornea, endothelium dan bilik mata depan juga dapat terinfeksi
pada kasus yang berat.
Jamur yang dapat menyebabkan keratitis adalah Fusarium, Cephalocepharium,
dan Curvularia. Namun dilaporkan bahwa Aspergillus sp. merupakan penyebab
terbanyak keratitis yang timbul di seluruh dunia.
Gejala keratitis jamur umumnya tidak seakut keratitis bakterial. Gejala awal dapat
berupa rasa mengganjal di mata dengan peningkatan rasa nyeri. Tanda klinis yang
paling sering ditemukan pada pemeriksaan lampu celah juga umum ditemukan pada
keratitis mikrobial seperti supurasi, injeksi konjungtiva, defek epitel, infiltrasi stroma,
reaksi radang di bilik mata depan atau hipopion. Tanda klinis yang dapat membantu
penegakan diagnosis keratitis jamur filamentosa adalah ulkus kornea yang bercabang
dengan elevasi, batas luka yang iregular dan seperti kapas, permukaan yang kering dan
kasar, serta lesi satelit. Tampilan pigmentasi coklat dapat mengindikasikan infeksi oleh
jamur dematiaceous. Keratitis jamur juga dapat memiliki tampilan epitel yang intak
dengan infiltrat stroma yang dalam. Walaupun terdapat tanda-tanda yang cukup khas
untuk keratitis jamur, penelitian klinis gagal membuktikan bahwa pemeriksaan klinis
cukup untuk membedakan keratitis jamur dan bakterial.
Diagnosis pasti dari keratitis jamur dapat dibuat dengan pemeriksaan mikroskopik
kerokan kornea menggunakan KOH 10% yang akan menunjukkan adanya hifa.
Penatalaksaan pada keratitis jamur adalah pengobatan menggunakan obat anti
jamur. Dapat digunakan golongan polyene (natamycin, nystatin, dan amphotericin B)
yang bekerja dengan cara mengikat pada dinding sel fungi dan mengganggu
permeabilitas membrane jamur sehingga terjadi ketidakseimbangan intraseluler, atau
golongan azole (imidazole dan triazole) yang dapat menghambat suntesa ergosterol
pada konsentrasi rendah dan pada konsentrasi tinggi bekerja merusak dinding sel.
Apabila terjadi perburukan atau semakin bertambahnya infeksi pada kornea
walaupun telah mendapat pengobatan anti fungi yang maksimal, maka perlu dilakukan
operasi.

Gambar 4. Keratitis jamur


c.

Keratitis Pungtata
Keratitis pungtata merupakan keratitis yang terkumpul di daerah membrane
Bowman, dengan infiltrate berbentuk bercak-bercak halus. Keratitis pungtata
disebabkan oleh hal yang tidak spesifik dan dapat terjadi pada herpes simpleks, herpes
zoster, trakoma, moluskum kontagiosum, blefaritis neuropaaralitik, infeksi virus, dry
eyes, lagoftalmus, keracunan obat seperti neomisin, tobramisin, dan bahan pengawet

1)

lainnya. Kelainan pada keratitis pungtata berupa:


Keratitis pungtata superficial
Gambarannya berupa infiltrat halus bertitik-titik pada permukaan kornea.
Merupakan cacat halus kornea superficial dan bila diwarnai dengan fluoresin akan
berwarna hijau.
Keratitis pungtata superficial dapat disebabkan sindrom dry eye, blefaritis,
keratopati lagoftalmus, keracunan obat topikal, sinar ultraviolet, trauma kimia ringan,
pemakaian lensa kontak.
Pasien akan mengeluh sakit, silau, mata merah, dan rasa kelilipan.
Penatalaksanaannya menggunakan air mata buatan, kemudian antibiotik tetes mata
seperti tobramisin, dan siklopegik.
Keratitis herpes simpleks
Virus herpes simpleks menempati manusia sebagai host, merupakan parasit
intraselular obligat, dapat ditemukan pada mukosa rongga hidung, rongga mulut, dan
mata. Penularan dapat terjadi melaluikontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga
mata, mulut, alat kelamin yang mengandung virus.
Bentuk infeksi keratitis herpes simpleks ini dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitel dan
stromal; pada epitelial mengakibatkan kerusakan sel epitel dan membentuk ukus kornea

superficialis. Pada yang stromal terjadi reaksi imunologis tubuh terhadap virus yang
menyerang reaksi antigen-antibodi yang menarik sel-sel radang kedalam stroma. Sel
radang juga mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan
merusak jaringan stromal di sekitarnya. Pengobatan pada yang epitelial ditujukan pada
virusnya sedangkan pada stromal ditujukan untuk menyerang virus dn reaksi radangnya.
Gambaran klinis infeksi primer herpes simpleks pada mata biasanya berupa
konjungtivitis

folikularis

akut

disertai

blefaritis

vesikuler

yang

ulseratif,

sertapembengkakan kelenjar limfa regional. Kebanyakan penderita juga disertai keratitis


eptelial dan dapat mengenai stroma tetapi jarang. Pada dasarnya infeksi primer ini dapat
sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan tertentu di mana daya tahan tubuh yang sangat
lemah akan menjadi parah dan menyerang stroma.
Gambaran khas pada kornea adaah bentuk dendrit, akan tetapi dapat juga bentuk
lain. Secara subjektif, keratitis herpes simples epiteliel kadang tidak dikeluhkan oleh
penderita, keuhan mungkin karena kelopak yang sedikit membengkak atau mata yang
berair yang bia sering diusap menyebabkan lecet pada kulit palpebra. Secara objektif
didapatkan iritasi yang ringan, sedikit merah, berair, dan unilateral.
Pada serangan berulang, kornea menjadi target utama dan menimbulkan keratitis
stroma yang dapat disertai uveitis. Gambaran pada kornea adalah lesi disformis tetapi
dapat juga berbentuk yang ein yang tidak spesifik dan lazim seperti keratitis metaherpetika. Pada keadaan ini pasien datang dengan keluhan mata berair, silau, pengihatan
kabur dan pada pemeriksaan didapatkan injeksi konjungtiva dan silier.
Diagnosis banding keratitis herpes simpleks adalah keratitis herpes zoster,
vaksinia, dan keratitis stafilokokus.
Pengobatan topikan diberikan obat anti virus. Dapat pula dilakukan kauterisasi
dengan asam karbonat atau larutan yodium (7% dan 5% dalam larutan alkohol). Tujuan
kauterisasi adalah untuk menghancurkan sel-sel yang sakit dan mencegah perluasan
penyakuit ini kebagian stroma atau yang lebih dalam lagi.

Gambar 5. Keratitis dendritik akibat herpes simpleks


Keratitis herpes zoster
Disebabkan oleh virus varicella-zoster. Virus ini menyerang saraf kranial
V,VII,dan VIII. Pada nervus trigemunus, bila yang diserang pons dan ganglion gasseri,
maka akan terjadi gangguan pada ketiga cabang N V. Biasanya yang terganggua adalah
cabang oftalmik.
Bila cabang oftalmik yang terserang, maka terjadi pembengkakan kulit didaerah
dahi, alis dan kelopak mata disertai kemerahan yang dapat siertai vesikel, dapat
mengalami supurasi, yang bila pecah akan menimbulkan sikatriks.
Secara subjektif, biasanya penderita datang dengan rasa nyeri disertai edema kulit
yang tampak kemerahan pada daerah dahi, alis dan kelopak mata serta sudah disertai
adanya vesikel.
Secara objektif, tampak erupsi kulit pada daerah yang dipersarafi cabang oftalmik
nervus trigeminus. Rima palpebra tampak sempit karena adanya pembegkakan pada
kelopak atas mata. Bila kornea atau jaringan yang lebih dalam yang terkena maka dapat
timbul lakrimasi, mata yang silau dan sakit dan penderita tampak kesakitan yang parah.
Bila infeksi mengenai jaringan mata yang lebih dalam lagi, mata dapat menimbulkan
iridosiklitis disertai sinekia iris serta menimbulkan gaukoma sekunder.
Pemberian asiklovir oral maupun topikal tampak menjanjikan, bila disertai infeksi
sekunder dapat diberikan antibiotik.
Keratirtis vaksinia
Keratitis vaksinia dapat terjadi akibat suatu kecelakaan atau kompikasi imunitas
terhadap variola.
Vaksinia dapat mengenai kornea dan dapat dicegah penyebarannya dengan
memberika suntikan gamma globulin intra muskular.
2)
Keratitis pungtata subepitel
Keratitis ini infiltratnya terkumpul di daerah membrana Bowman. Biasanya
bersifat bilateral dan berjalan kronis tanpa terlihatnya gejala kelainan konjungtiva
ataupun tanda radang akut. Lebih sering keratitis pungtata subepitel terjadi pada dewasa
3)

muda.
Pada konjungtivitis verna dan konjungtivitis atopik ditemukan bersama-sama

papil raksasa.
4)
Pada trakoma, pemfigoid, sindrom Stevens Johnson dan pasca pengobatan radiasi
dapat ditemukan bersama-sama dengan jaringan parut konjungtiva.

d.

Keratitis Filamentosa
Keratitis filamentosa adalah keratitis yang disertai adanya filamen mukoid dan
deskuamasi sel epitel pada permukaan kornea. Penyebabnya tidak diketahui. Kelainan
ini ditemukan pada sindrom mata kering, diabetes melitus, pasca bedah katarak, dan
keracunan kornea oleh obat tertentu.
Filamen terdiri atas sel dan sisa mukoid, dengan dasar berbentu segitiga yang
menarik epitel. Epitel yang terdapat pada filament terlihat tidak melekat pada epitel
kornea. Di dekat filamen terdapat defek epitel disertai kekeruhan epitel berwarna abuabu.
Gejalanya dapat berupa rasa kelilipan, sakit, silau, blefarospasme, dan epifora.
Terdapat pula mata merah dan defek epitel kornea. Penatalaksanaan dapat menggunakan
larutan hipertonik NaCl 5% sebagai air mata buatan. Selain itu, tindakan yang bisa
dilakukan adalah mengangkat filamen dan bila mungkin memasang lensa kontak

e.

lembek.
Keratitis fikten
Benjolan putih yang bermula di limbus tetapi mempunyai kecenderungan untuk
menyerang kornea.
Terdapat hiperemis konjungtiva dan memberikan kesan kurangnya air mata.
Secara subjektif, biasanya pasien datang karena ada benjoan putih kemerahan dipinggir
mata yang hitam. Apabia jaringan korne yang terkena mata mata berair, silau dan
disertai rasa sakitdan pengihatan kabur.
Secara objektif, terdapat benjolan putih kekuningan pada daerah limbus yang
dikeliingi daerah konjungtivitis yang hiperemis.
Pada anak-anak dengan gizi buruk, keratitis fikten ini dapat berkembang menjadi
tukak korne karena infeksi sekunder.
Penyembuhan pada keratitis fikten ini menyisakan jaringan parut yang disertai

f.

neovaskularisasi kornea. Pengobatan dapat diberikan berupa tetes mata steroid.


Keratitis sika
Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi kelenjar lakrimal
atau sel goblet yang berada di konjungtiva, dapat disebabkan oleh berbagai penyakit

atau keadaan sebagai berikut:


Defisiensi kelenjar air mata
(sindron syogren, tumor kelenjar air mata, obat-obat diuretik, penggunaan atropin ama,

usia lanjut)
Defisiensi komponen lemak dan air mata
(bleferitis menahun, pembedahan kelopak mata)

Defisiensi komponen musin


(SSJ, truma kimia, devisiensi vitamin A)
Paparan air mta yang berebihan
(keratitis karena lagoftalmus, hidup didaerah yang panas dan kering)
Rusaknya mikrofili pada kornea
(trauma kimia)
g.
Keratitis lepra
Suatu bentuk keratitis yang dikibatkan oleh gangguan trofik saraf, disebut juga
keratitis neuroparalitik.
Secara subjektif, penderita datang karena keluahan pembengkakan yang
kemerahan pada papebra dan keluhan lain pada bagian tubuh diluar mata.
Secara objektif, terdapat keratitis avaskular berupa lesi pungtata berwarna
putihseperti kapur yang lama kelamaan batasnya akan mengabur dan sekelilingnya akan
berkabut.
Terhadap mikobakterium lepra diberikan diapson dan rifampisin. Apabila terdapat
deformitas palpebra yang akan mengakibatkan kerusakan kornea dapat dilakukan
koreksi pembedahan.
h.
Keratitis numularis
Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea biasanya multipel pada dan
banyak didapatkan pada petani.
Secara subjektif meneluh silau
Secara objektif, mata yang terserang terlihat merah karena injeksi silier disertai
lakrimasi.
Pemberian kortikosteroid lokal membarikan hasil yang baik yaitu hilangnya tandatanda radang dan lakrimasi tetapi penyerapan infiltrat dapat terjadi dalam waktu yang
lama, sekitar 1-2 tahun.
Anamnesis
Tanda subjektif pada keratitis :
Sakit,

terkecuali

pada

keratitis

neuroparalitika,

fotofobia,

lakrimasi,

blefarospasme, gangguan visus.


Tanda objektif :
Injeksi perikornea dilimbus kornea. Apabila hebat juga disertai dengan injeksi
konjungtiva. Mungkin juga terdapat peradangan dari iris dan badan siliar. Kornea edema
dan terdapat infiltrat.
Diagnosis pada keratitis
Pemeriksaan tajam penglihatan

10

1.
2.

Pemeriksaan slitlamp : infiltrat di kornea. Konjungtiva hieremis tipe siliar


injection/ pericorneal injection
Tes plasido
Hasil (+) plasido berarti permukaan kornea tidak baik, mungkin ada infiltrat, ulkus,
sikatrik, astigmatisma.

3.

Pemeriksaan bakteriologik:
Bila banyak monosit diduga akibat virus:
Leukosit PMN kemungkinan akibat bakteri
Eosinofil, emunjukkan radang akibat alergi
Limfosit, terdapat pada radang yang kronis.

2.

Ulkus Kornea
Ulkus kornea adalah keadaan patologik kornea yang ditandai oleh adanya infiltrat
supuratif disertai defek kornea bergaung, diskontinuitas jaringan kornea dapat terjadi
dari epitel sampai stroma. Ulkus kornea yang luas memerlukan penanganan yang tepat
dan cepat untuk mencegah

perluasan ulkus dan timbulnya komplikasi berupa

descematokel, perforasi, endoftalmitis, bahkan kebutaan. Ulkus kornea yang sembuh


akan menimbulkan kekeruhan kornea dan merupakan penyebab kebutaan nomor dua di
Indonesia.
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan
seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di
permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera
mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan
sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat
terutama bila letaknya di daerah pupil.
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera
datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan
kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera
bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang
terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi

11

infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang
mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh
dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi
kerusakan epitel dan timbullah ulkus kornea.
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik
superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit
juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada
kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang
meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf
kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada
pembuluh iris.
Penyakit ini bersifat progresif, regresif atau membentuk jaringan parut. Infiltrat sel
leukosit dan limfosit dapat dilihat pada proses progresif. Ulkus ini menyebar kedua arah
yaitu melebar dan mendalam. Jika ulkus yang timbul kecil dan superficial maka akan
lebih cepat sembuh dan daerah infiltrasi ini menjadi bersih kembali, tetapi jika lesi
sampai ke membran Bowman dan sebagian stroma maka akan terbentuk jaringan ikat
baru yang akan menyebabkan terjadinya sikatrik.
VI. ETIOLOGI
a.

Infeksi

Infeksi Bakteri : P. aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies Moraxella


merupakan penyebab paling sering. Hampir semua ulkus berbentuk sentral. Gejala
klinis yang khas tidak dijumpai, hanya sekret yang keluar bersifat mukopurulen yang
bersifat khas menunjukkan infeksi P aeruginosa.

Infeksi Jamur : disebabkan oleh Candida, Fusarium, Aspergilus,


Cephalosporium, dan spesies mikosis fungoides.

Infeksi virus
Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai. Bentuk khas
dendrit dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang bila pecah akan
menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk disiform bila mengalami

12

nekrosis di bagian sentral. Infeksi virus lainnya varicella-zoster, variola, vacinia


(jarang).
b.

Noninfeksi
Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung PH.

Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik, organik dan
organik anhidrat. Bila bahan asam mengenai mata maka akan terjadi pengendapan
protein permukaan sehingga bila konsentrasinya tidak tinggi maka tidak bersifat
destruktif. Biasanya kerusakan hanya bersifat superfisial saja. Pada bahan alkali antara
lain amonia, cairan pembersih yang mengandung kalium/natrium hidroksida dan kalium
karbonat akan terjadi penghancuran kolagen kornea.

Radiasi atau suhu


Dapat terjadi pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari yang akan
merusak epitel kornea.

Sindrom Sjorgen
Pada sindrom Sjorgen salah satunya ditandai keratokonjungtivitis sicca yang
merupakan suatu keadan mata kering yang dapat disebabkan defisiensi unsur film air
mata (akeus, musin atau lipid), kelainan permukan palpebra atau kelainan epitel yang
menyebabkan timbulnya bintik-bintik kering pada kornea. Pada keadaan lebih lanjut
dapat timbul ulkus pada kornea dan defek pada epitel kornea terpulas dengan
flurosein.

Defisiensi vitamin A
Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena kekurangan vitamin A dari
makanan atau gangguan absorbsi di saluran cerna dan ganggun pemanfaatan oleh
tubuh.

Obat-obatan
Obat-obatan yang menurunkan mekanisme imun, misalnya; kortikosteroid, IDU
(Iodo 2 dioxyuridine), anestesi lokal dan golongan imunosupresif.

Kelainan dari membran basal, misalnya karena trauma.

Pajanan (exposure)

13

Neurotropik

c. Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)

Granulomatosa wagener

Rheumathoid arthritis

KLASIFIKASI
Berdasarkan lokasi , dikenal ada 2 bentuk ulkus kornea , yaitu:
1. Ulkus kornea sentral
a. Ulkus kornea bakterialis
b. Ulkus kornea fungi
c. Ulkus kornea virus
d. Ulkus kornea acanthamoeba
2. Ulkus kornea perifer
a. Ulkus marginal
b. Ulkus mooren (ulkus serpinginosa kronik/ulkus roden)
c. Ulkus cincin (ring ulcer)
Ulkus Kornea Sentral
a. Ulkus Kornea Bakterialis
Ulkus Streptokokus : Khas sebagai ulcus yang menjalar dari tepi ke arah
tengah kornea (serpinginous). Ulkus bewarna kuning keabu-abuan berbentuk cakram
dengan tepi ulkus yang menggaung. Ulkus cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan
perforasi kornea, karena eksotoksin yang dihasilkan oleh streptokok pneumonia.
Ulkus Stafilokokus : Pada awalnya berupa ulkus yang bewarna putik
kekuningan disertai infiltrat berbatas tegas tepat dibawah defek epitel. Apabila tidak
diobati secara adekuat, akan terjadi abses kornea yang disertai edema stroma dan
infiltrasi sel leukosit. Walaupun terdapat hipopion ulkus seringkali indolen yaitu reaksi
radangnya minimal.
Ulkus Pseudomonas

: Lesi pada ulkus ini dimulai dari daerah sentral

kornea. ulkus sentral ini dapat menyebar ke samping dan ke dalam kornea. Penyerbukan
14

ke dalam dapat mengakibatkan perforasi kornea dalam waktu 48 jam. gambaran berupa
ulkus yang berwarna abu-abu dengan kotoran yang dikeluarkan berwarna kehijauan.
Kadang-kadang bentuk ulkus ini seperti cincin. Dalam bilik mata depan dapat terlihat
hipopion yang banyak.

Gambar 3.a Ulkus Kornea Bakterialis

Gambar 3.b Ulkus Kornea Pseudomonas

Ulkus Pneumokokus : Terlihat sebagai bentuk ulkus kornea sentral yang dalam.
Tepi ulkus akan terlihat menyebar ke arah satu jurusan sehingga memberikan gambaran
karakteristik yang disebut Ulkus Serpen. Ulkus terlihat dengan infiltrasi sel yang penuh
dan berwarna kekuning-kuningan. Penyebaran ulkus sangat cepat dan sering terlihat
ulkus yang menggaung dan di daerah ini terdapat banyak kuman. Ulkus ini selalu di
temukan hipopion yang tidak selamanya sebanding dengan beratnya ulkus yang
terlihat.diagnosa lebih pasti bila ditemukan dakriosistitis.
b..Ulkus Kornea Fungi
Mata dapat tidak memberikan gejala selama beberapa hari sampai beberapa
minggu sesudah trauma yang dapat menimbulkan infeksi jamur ini.
Pada permukaan lesi terlihat bercak putih dengan warna keabu-abuan yang agak kering.
Tepi lesi berbatas tegas irregular dan terlihat penyebaran seperti bulu pada bagian epitel
yang baik. Terlihat suatu daerah tempat asal penyebaran di bagian sentral sehingga
terdapat satelit-satelit disekitarnya..Tukak kadang-kadang dalam, seperti tukak yang
disebabkan bakteri. Pada infeksi kandida bentuk tukak lonjong dengan permukaan naik.
Dapat terjadi neovaskularisasi akibat rangsangan radang. Terdapat injeksi siliar disertai
hipopion.

15

Gambar 4. Ulkus Kornea Fungi


c. Ulkus Kornea Virus
Ulkus Kornea Herpes Zoster : Biasanya diawali rasa sakit pada kulit
dengan perasaan lesu. Gejala ini timbul satu 1-3 hari sebelum timbulnya gejala kulit.
Pada mata ditemukan vesikel kulit dan edem palpebra, konjungtiva hiperemis, kornea
keruh akibat terdapatnya infiltrat subepitel dan stroma. Infiltrat dapat berbentuk dendrit
yang bentuknya berbeda dengan dendrit herpes simplex. Dendrit herpes zoster berwarna
abu-abu kotor dengan fluoresin yang lemah. Kornea hipestesi tetapi dengan rasa sakit
keadaan yang berat pada kornea biasanya disertai dengan infeksi sekunder.
Ulkus Kornea Herpes simplex : Infeksi primer yang diberikan oleh virus
herpes simplex dapat terjadi tanpa gejala klinik. Biasanya gejala dini dimulai dengan
tanda injeksi siliar yang kuat disertai terdapatnya suatu dataran sel di permukaan epitel
kornea disusul dengan bentuk dendrit atau bintang infiltrasi. terdapat hipertesi pada
kornea secara lokal kemudian menyeluruh. Terdapat pembesaran kelenjar preaurikel.
Bentuk dendrit herpes simplex kecil, ulceratif, jelas diwarnai dengan fluoresin dengan
benjolan diujungnya

Gambar 5.a Ulkus Kornea Dendritik

Gambar5.bUlkus Kornea Herpetik

Ulkus Kornea Perifer


a. Ulkus Marginal

16

Bentuk ulkus marginal dapat simpel atau cincin. Bentuk simpel berbentuk
ulkus superfisial yang berwarna abu-abu dan terdapat pada infeksi stafilococcus, toksit
atau alergi dan gangguan sistemik pada influenza disentri basilar gonokok arteritis
nodosa, dan lain-lain. Yang berbentuk cincin atau multiple dan biasanya lateral.
Ditemukan pada penderita leukemia akut, sistemik lupus eritromatosis dan lain-lain.

Gambar 7. Ulkus Marginal


b. Ulkus Mooren
Merupakan ulkus yang berjalan progresif dari perifer kornea kearah sentral.
ulkus mooren terutama terdapat pada usia lanjut. Penyebabnya sampai sekarang belum
diketahui. Banyak teori yang diajukan dan salah satu adalah teori hipersensitivitas
tuberculosis, virus, alergi dan autoimun. Biasanya menyerang satu mata. Perasaan sakit
sekali. Sering menyerang seluruh permukaan kornea dan kadang meninggalkan satu
pulau yang sehat pada bagian yang sentral.

Gambar 8. Mooren's Ulcer


3.

Galukoma Akut
Glaukoma adalah neuropati optik yang disebabkan oleh tekanan intraokular (TIO)
yang relatif tinggi, ditandai oleh kelainan lapang pandang yang khas dan atrofi papil
saraf optik. Mata merah dengan penglihatan turun mendadak biasanya merupakan

17

glaukoma sudut tertutup akut. Pada glaukoma sudut tertutup akut, tekanan intraokular
meningkat mendadak dan terjadi pasien dengan sudut bilik mata sempit.

Gambar 6. Glaukoma sudut tertutup akut


Anamnesa yang khas sekali pada galukoma primer sudut tertutup akut adalah
nyeri pada mata yang mendapat serangan. Nyeri dapat berlangsung beberapa jam dan
hilang setelah tidur. Selain nyeri keluhan lain berupa melihat halo (pelangi) di sekitar
lampu dan keadaan ini merupakan stadium prodromal. Gejala dapat disertai penglihatan
kabur, mata merah, kornea keruh, mual dan muntah.
Pengobatan glaukoma akut harus segera dilakukan yaitu berupa pengobatan
topikal dan sistemik. Tujuan pengobatan ialah menurunkan tekanan bola mata
secepatnya dan bila tekanan bola mata normal dan mata tenang dilakukan pembedahan.
Pengobatan topikal dapat diberikan pilokarpin 2%. Sedangkan pengobatan sistemik
diberikan asetazolamid dan manitol. Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan adalah
iridektomi dan pembedahan filtrasi.
4.

Uveitis
Uveitis termasuk dalam kelompok penyakit ocular inflammatory disease yang
ditandai dengan proses peradangan pada uvea. Uvea merupakan bagian mata yang
memiliki pigmen dan pembuluh darah serta terbagi menjadi iris, badan silier dan koroid.
Klasifikasi uveitis yang digunakan secara luas adalah klasifikasi menurut
Standardization of Uveitis Nomenclature (SUN) Working Group. Dalam klasifikasi ini
uveitis dibagi menurut lokasi proses peradangan jaringan uvea, yaitu uveitis anterior,
uveitis intermediet, uveitis posterior dan panuveitis. Istilah panuveitis digunakan pada

proses inflamasi yang terjadi pada segmen anterior, vitreus, retina dan koroid.
a)
Uveitis anterior
Uveitis anterior ditandai dengan adanya dilatasi pembuluh darah yang akan
menimbulkan gejala hiperemia silier (hiperemi perikorneal atau pericorneal vascular
injection). Peningkatan permeabilitas ini akan menyebabkan eksudasi ke dalam akuos

18

humor, sehingga terjadi peningkatan konsentrasi protein dalam akuos humor. Pada
pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai akuos flare atau sel,
yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndal). Kedua gejala tersebut
menunjukkan proses peradangan akut.
Keluhan pasien dengan uveitis anterior akut adalah mata sakit, merah, fotofobia,
dan penglihatan turun ringan dengan mata berair. Perjalanan penyakitnya khas yaitu
berlangsung antara 2-4 minggu. Kadang-kadang penyakit ini memeperlihatkan gejala
kekambuhan dan menjadi menahun.

Gambar 7. Uveitis Anterior


Tujuan utama dari pengobatan uveitis anterior adalah untuk mengembalikan atau
memperbaiki fungsi penglihatan mata. Apabila sudah terlambat dan fungsi penglihatan
tidak dapat lagi dipulihkan seperti semula, pengobatan tetap perlu diberikan untuk
mencegah memburuknya penyakit dan terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan.
Terapi yang dapat diberikan adalah midritikum (sikloplegik). Tujuan pemberian
midriatikum adalah agar otot-ototiris dan badan silier relaks, sehingga dapat
mengurangi nyeri dan mempercepat panyembuhan. Selain itu, midriatikum sangat
bermanfaat untuk mencegah terjadinya sinekia, ataupun melepaskan sinekia yang telah
ada. Midriatikum yang biasanya digunakan adalah sulfas atropin 1% sehari 3 kali tetes.
Kemudian diberikan juga anti inflamasi kortikosteroid. Kortikosteroid topikal
merupakan metode pemberian yang paling sering dan biasanya digunakan untuk kasuskasus uveitis anterior.
Komplikasi yang dapat terjadi akibat uveitis anterior adalah glaukoma sekunder
dan katarak komplikata.

19

BAB III
KESIMPULAN
Mata merah merupakan keluhan yang timbul akibat terjadinya perubahan warna
bola mata yang sebelumnya berwarna putih menjadi merah. Mata terlihat merah akibat
melebarnya pembuluh darah konjungtiva yang terjadi pada peradangan mata akut.
Klasifikasi mata merah dapat dibagi menjadi dua yakni mata merah dengan visus
normal dan mata merah dengan visus menurun.

20

Diagnosis banding untuk mata merah dengan visus menurun antara lain keratitis,
glaukoma akut, uveitis, dan pterigium yang meradang grade III dan grade IV.
Penatalaksanaan kasus mata merah dengan visus normal dan mata merah dengan
visus menurun tidak sama. Penatalaksanaan kasus mata merah dengan visus menurun
yang melibatkan media refrakta seperti kornea, maka anti inflamasi steroid tidak
diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF. Ilmu Penyakit Mata Ed.III.
Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo.
Ellis, Harold. 2006. Clinical Anatomy, A Revision and Applied Anatomy for Clinical
Students Eleventh Edition. Massachusetts, USA : Blackwell Publishing, Inc .
Ilyas, Sidharta. 2006. Dasar-Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata Edisi
Kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
21

Ilyas, Sidharta. 2008. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Ilyas, Sidharta., Mailangkay., Taim, Hilman., dkk. 2002. Ilmu Penyakit Mata untuk
dokter umum dan mahasiswa kedokteran. Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto
Sowka, J.W., Gurwood, A.S., dan Kabat, A.G. 2010. Review of Optometry, The
Handbook
of
Occular
Disease
Management
Twelfth
Edition.
http://www.revoptom.com/.
Vaughan, Daniel., Asbury, Taylor., Riordan-Eva, Paul. 2006. Oftalmology Umum. Edisi
14. Jakarta: KDT

22

You might also like