Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Mata merah merupakan keluhan penderita yang sering dijumpai, Keluhan ini
biasanya timbul akibat terjadinya perubahan warna bola mata yang sebelumnya
berwarna putih menjadi merah.
Pada mata normal, sklera akan terlihat berwarna putih karena sklera dapat terlihat
melalui bagian konjungtiva dan kapsul Tenon yang tipis dan tembus cahaya. Hiperemi
konjungtiva terjadi akibat bertambahnya asupan pembuluh darah ataupun berkurangnya
pengeluaran darah seperti pada pembendungan pembuluh darah. Bila terjadi pelebaran
pembuluh darah konjungtiva atau episklera atau perdarahan antara konjungtiva dan
sklera maka akan terlihat warna merah pada mata yang sebelumnya berwarna putih.
Mata terlihat merah akibat melebarnya pembuluh darah konjungtiva yang terjadi
pada peradangan mata akut misalnya konjungtivitis, keratitis atau iridosiklitis.
Pada konjungtiva terdapat beberapa pembuluh darah dimana jika terjadi pelebaran
pembuluh tersebut maka mata akan menjadi merah. Pembuluh-pembuluh darah tersebut
yaitu:
a.
Arteri konjungtiva posterior, yang memperdarahi konjungtiva bulbi.
b.
Arteri siliar anterior atau episklera yang memberikan cabang:
1. Arteri episklera masuk ke dalam bola mata dan dengan srteri siliar posterior longus
bergabung membentuk arteri sirkular mayor atau pleksus siliar, yang akan
memperdarahi iris dan badan siliar.
2. Arteri perikornea, yang memperdarahi kornea.
3 Arteri episklera yang terletak di atas sklera, merupakan bagian dari arteri siliar anterior
yang memberikan perdarahan ke dalam bola mata.
Selain melebarnya pembuluh darah, mata merah dapat juga terjadi akibat
pecahnya salah satu dari kedua pembuluh darah di atas dan darah tertimbun di bawah
jaringan konjungtiva. Keadaan ini disebut sebagai perdarahan subkonjungtiva.
Mata merah dapat dibagi menjadi mata merah dengan visus normal ataupun mata
merah dengan visus menurun akibat keruhnya media penglihatan.
Penatalaksanaan kasus mata merah dengan visus normal dan mata merah dengan
visus menurun tidak sama. Pada mata merah dengan visus normal, tidak ada keterlibatan
media refrakta sehingga penggunaan obat-obatan anti inflamasi steroid bisa digunakan
kecuali pada penyakit yang disebabkan oleh jamur. Sedangkan penatalaksanaan kasus
mata merah dengan visus menurun yang melibatkan media refrakta seperti kornea, maka
anti inflamasi steroid tidak diberikan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Anatomi Mata
Mata atau organon visus secara anatomis terdiri dari occulus dan alat tambahan
(otot-otot) di sekitarnya. Occulus terdiri dari nervus opticus dan bulbus occuli. Bulbus
1.
2.
occuli terdiri dari tunika dan isi. Tunika atau selubung terdiri dari 3 lapisan, yaitu:
Tunika fibrosa (lapisan luar) yang terdiri dari kornea dan sklera.
Tunika vasculosa (lapisan tengah) yang mengandung pembuluh darah, terdiri dari
chorioidea, corpus ciliaris, dan iris yang mengandung pigmen dengan musculus dilatator
Humor aqueous, zat cair yang mengisi antara kornea dan lensa kristalina, di
b.
Kondisi
ini
sangat
mengancam
tajam
penglihatan
dan
merupakan
Gambar 2. Descemetocele
Gambar 3. Keratitis Bakterial
Terapi yang diberikan biasanya berdasarkan jenis gram bakterinya. Pada bakteri
gram (-) diberikan tobramisin, gentamisin, atau polimiksin. Sedangkan pada gram (+)
b.
Keratitis Pungtata
Keratitis pungtata merupakan keratitis yang terkumpul di daerah membrane
Bowman, dengan infiltrate berbentuk bercak-bercak halus. Keratitis pungtata
disebabkan oleh hal yang tidak spesifik dan dapat terjadi pada herpes simpleks, herpes
zoster, trakoma, moluskum kontagiosum, blefaritis neuropaaralitik, infeksi virus, dry
eyes, lagoftalmus, keracunan obat seperti neomisin, tobramisin, dan bahan pengawet
1)
superficialis. Pada yang stromal terjadi reaksi imunologis tubuh terhadap virus yang
menyerang reaksi antigen-antibodi yang menarik sel-sel radang kedalam stroma. Sel
radang juga mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan
merusak jaringan stromal di sekitarnya. Pengobatan pada yang epitelial ditujukan pada
virusnya sedangkan pada stromal ditujukan untuk menyerang virus dn reaksi radangnya.
Gambaran klinis infeksi primer herpes simpleks pada mata biasanya berupa
konjungtivitis
folikularis
akut
disertai
blefaritis
vesikuler
yang
ulseratif,
muda.
Pada konjungtivitis verna dan konjungtivitis atopik ditemukan bersama-sama
papil raksasa.
4)
Pada trakoma, pemfigoid, sindrom Stevens Johnson dan pasca pengobatan radiasi
dapat ditemukan bersama-sama dengan jaringan parut konjungtiva.
d.
Keratitis Filamentosa
Keratitis filamentosa adalah keratitis yang disertai adanya filamen mukoid dan
deskuamasi sel epitel pada permukaan kornea. Penyebabnya tidak diketahui. Kelainan
ini ditemukan pada sindrom mata kering, diabetes melitus, pasca bedah katarak, dan
keracunan kornea oleh obat tertentu.
Filamen terdiri atas sel dan sisa mukoid, dengan dasar berbentu segitiga yang
menarik epitel. Epitel yang terdapat pada filament terlihat tidak melekat pada epitel
kornea. Di dekat filamen terdapat defek epitel disertai kekeruhan epitel berwarna abuabu.
Gejalanya dapat berupa rasa kelilipan, sakit, silau, blefarospasme, dan epifora.
Terdapat pula mata merah dan defek epitel kornea. Penatalaksanaan dapat menggunakan
larutan hipertonik NaCl 5% sebagai air mata buatan. Selain itu, tindakan yang bisa
dilakukan adalah mengangkat filamen dan bila mungkin memasang lensa kontak
e.
lembek.
Keratitis fikten
Benjolan putih yang bermula di limbus tetapi mempunyai kecenderungan untuk
menyerang kornea.
Terdapat hiperemis konjungtiva dan memberikan kesan kurangnya air mata.
Secara subjektif, biasanya pasien datang karena ada benjoan putih kemerahan dipinggir
mata yang hitam. Apabia jaringan korne yang terkena mata mata berair, silau dan
disertai rasa sakitdan pengihatan kabur.
Secara objektif, terdapat benjolan putih kekuningan pada daerah limbus yang
dikeliingi daerah konjungtivitis yang hiperemis.
Pada anak-anak dengan gizi buruk, keratitis fikten ini dapat berkembang menjadi
tukak korne karena infeksi sekunder.
Penyembuhan pada keratitis fikten ini menyisakan jaringan parut yang disertai
f.
usia lanjut)
Defisiensi komponen lemak dan air mata
(bleferitis menahun, pembedahan kelopak mata)
terkecuali
pada
keratitis
neuroparalitika,
fotofobia,
lakrimasi,
10
1.
2.
3.
Pemeriksaan bakteriologik:
Bila banyak monosit diduga akibat virus:
Leukosit PMN kemungkinan akibat bakteri
Eosinofil, emunjukkan radang akibat alergi
Limfosit, terdapat pada radang yang kronis.
2.
Ulkus Kornea
Ulkus kornea adalah keadaan patologik kornea yang ditandai oleh adanya infiltrat
supuratif disertai defek kornea bergaung, diskontinuitas jaringan kornea dapat terjadi
dari epitel sampai stroma. Ulkus kornea yang luas memerlukan penanganan yang tepat
dan cepat untuk mencegah
11
infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang
mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh
dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi
kerusakan epitel dan timbullah ulkus kornea.
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik
superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit
juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada
kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang
meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf
kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada
pembuluh iris.
Penyakit ini bersifat progresif, regresif atau membentuk jaringan parut. Infiltrat sel
leukosit dan limfosit dapat dilihat pada proses progresif. Ulkus ini menyebar kedua arah
yaitu melebar dan mendalam. Jika ulkus yang timbul kecil dan superficial maka akan
lebih cepat sembuh dan daerah infiltrasi ini menjadi bersih kembali, tetapi jika lesi
sampai ke membran Bowman dan sebagian stroma maka akan terbentuk jaringan ikat
baru yang akan menyebabkan terjadinya sikatrik.
VI. ETIOLOGI
a.
Infeksi
Infeksi virus
Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai. Bentuk khas
dendrit dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang bila pecah akan
menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk disiform bila mengalami
12
Noninfeksi
Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung PH.
Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik, organik dan
organik anhidrat. Bila bahan asam mengenai mata maka akan terjadi pengendapan
protein permukaan sehingga bila konsentrasinya tidak tinggi maka tidak bersifat
destruktif. Biasanya kerusakan hanya bersifat superfisial saja. Pada bahan alkali antara
lain amonia, cairan pembersih yang mengandung kalium/natrium hidroksida dan kalium
karbonat akan terjadi penghancuran kolagen kornea.
Sindrom Sjorgen
Pada sindrom Sjorgen salah satunya ditandai keratokonjungtivitis sicca yang
merupakan suatu keadan mata kering yang dapat disebabkan defisiensi unsur film air
mata (akeus, musin atau lipid), kelainan permukan palpebra atau kelainan epitel yang
menyebabkan timbulnya bintik-bintik kering pada kornea. Pada keadaan lebih lanjut
dapat timbul ulkus pada kornea dan defek pada epitel kornea terpulas dengan
flurosein.
Defisiensi vitamin A
Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena kekurangan vitamin A dari
makanan atau gangguan absorbsi di saluran cerna dan ganggun pemanfaatan oleh
tubuh.
Obat-obatan
Obat-obatan yang menurunkan mekanisme imun, misalnya; kortikosteroid, IDU
(Iodo 2 dioxyuridine), anestesi lokal dan golongan imunosupresif.
Pajanan (exposure)
13
Neurotropik
Granulomatosa wagener
Rheumathoid arthritis
KLASIFIKASI
Berdasarkan lokasi , dikenal ada 2 bentuk ulkus kornea , yaitu:
1. Ulkus kornea sentral
a. Ulkus kornea bakterialis
b. Ulkus kornea fungi
c. Ulkus kornea virus
d. Ulkus kornea acanthamoeba
2. Ulkus kornea perifer
a. Ulkus marginal
b. Ulkus mooren (ulkus serpinginosa kronik/ulkus roden)
c. Ulkus cincin (ring ulcer)
Ulkus Kornea Sentral
a. Ulkus Kornea Bakterialis
Ulkus Streptokokus : Khas sebagai ulcus yang menjalar dari tepi ke arah
tengah kornea (serpinginous). Ulkus bewarna kuning keabu-abuan berbentuk cakram
dengan tepi ulkus yang menggaung. Ulkus cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan
perforasi kornea, karena eksotoksin yang dihasilkan oleh streptokok pneumonia.
Ulkus Stafilokokus : Pada awalnya berupa ulkus yang bewarna putik
kekuningan disertai infiltrat berbatas tegas tepat dibawah defek epitel. Apabila tidak
diobati secara adekuat, akan terjadi abses kornea yang disertai edema stroma dan
infiltrasi sel leukosit. Walaupun terdapat hipopion ulkus seringkali indolen yaitu reaksi
radangnya minimal.
Ulkus Pseudomonas
kornea. ulkus sentral ini dapat menyebar ke samping dan ke dalam kornea. Penyerbukan
14
ke dalam dapat mengakibatkan perforasi kornea dalam waktu 48 jam. gambaran berupa
ulkus yang berwarna abu-abu dengan kotoran yang dikeluarkan berwarna kehijauan.
Kadang-kadang bentuk ulkus ini seperti cincin. Dalam bilik mata depan dapat terlihat
hipopion yang banyak.
Ulkus Pneumokokus : Terlihat sebagai bentuk ulkus kornea sentral yang dalam.
Tepi ulkus akan terlihat menyebar ke arah satu jurusan sehingga memberikan gambaran
karakteristik yang disebut Ulkus Serpen. Ulkus terlihat dengan infiltrasi sel yang penuh
dan berwarna kekuning-kuningan. Penyebaran ulkus sangat cepat dan sering terlihat
ulkus yang menggaung dan di daerah ini terdapat banyak kuman. Ulkus ini selalu di
temukan hipopion yang tidak selamanya sebanding dengan beratnya ulkus yang
terlihat.diagnosa lebih pasti bila ditemukan dakriosistitis.
b..Ulkus Kornea Fungi
Mata dapat tidak memberikan gejala selama beberapa hari sampai beberapa
minggu sesudah trauma yang dapat menimbulkan infeksi jamur ini.
Pada permukaan lesi terlihat bercak putih dengan warna keabu-abuan yang agak kering.
Tepi lesi berbatas tegas irregular dan terlihat penyebaran seperti bulu pada bagian epitel
yang baik. Terlihat suatu daerah tempat asal penyebaran di bagian sentral sehingga
terdapat satelit-satelit disekitarnya..Tukak kadang-kadang dalam, seperti tukak yang
disebabkan bakteri. Pada infeksi kandida bentuk tukak lonjong dengan permukaan naik.
Dapat terjadi neovaskularisasi akibat rangsangan radang. Terdapat injeksi siliar disertai
hipopion.
15
16
Bentuk ulkus marginal dapat simpel atau cincin. Bentuk simpel berbentuk
ulkus superfisial yang berwarna abu-abu dan terdapat pada infeksi stafilococcus, toksit
atau alergi dan gangguan sistemik pada influenza disentri basilar gonokok arteritis
nodosa, dan lain-lain. Yang berbentuk cincin atau multiple dan biasanya lateral.
Ditemukan pada penderita leukemia akut, sistemik lupus eritromatosis dan lain-lain.
Galukoma Akut
Glaukoma adalah neuropati optik yang disebabkan oleh tekanan intraokular (TIO)
yang relatif tinggi, ditandai oleh kelainan lapang pandang yang khas dan atrofi papil
saraf optik. Mata merah dengan penglihatan turun mendadak biasanya merupakan
17
glaukoma sudut tertutup akut. Pada glaukoma sudut tertutup akut, tekanan intraokular
meningkat mendadak dan terjadi pasien dengan sudut bilik mata sempit.
Uveitis
Uveitis termasuk dalam kelompok penyakit ocular inflammatory disease yang
ditandai dengan proses peradangan pada uvea. Uvea merupakan bagian mata yang
memiliki pigmen dan pembuluh darah serta terbagi menjadi iris, badan silier dan koroid.
Klasifikasi uveitis yang digunakan secara luas adalah klasifikasi menurut
Standardization of Uveitis Nomenclature (SUN) Working Group. Dalam klasifikasi ini
uveitis dibagi menurut lokasi proses peradangan jaringan uvea, yaitu uveitis anterior,
uveitis intermediet, uveitis posterior dan panuveitis. Istilah panuveitis digunakan pada
proses inflamasi yang terjadi pada segmen anterior, vitreus, retina dan koroid.
a)
Uveitis anterior
Uveitis anterior ditandai dengan adanya dilatasi pembuluh darah yang akan
menimbulkan gejala hiperemia silier (hiperemi perikorneal atau pericorneal vascular
injection). Peningkatan permeabilitas ini akan menyebabkan eksudasi ke dalam akuos
18
humor, sehingga terjadi peningkatan konsentrasi protein dalam akuos humor. Pada
pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai akuos flare atau sel,
yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndal). Kedua gejala tersebut
menunjukkan proses peradangan akut.
Keluhan pasien dengan uveitis anterior akut adalah mata sakit, merah, fotofobia,
dan penglihatan turun ringan dengan mata berair. Perjalanan penyakitnya khas yaitu
berlangsung antara 2-4 minggu. Kadang-kadang penyakit ini memeperlihatkan gejala
kekambuhan dan menjadi menahun.
19
BAB III
KESIMPULAN
Mata merah merupakan keluhan yang timbul akibat terjadinya perubahan warna
bola mata yang sebelumnya berwarna putih menjadi merah. Mata terlihat merah akibat
melebarnya pembuluh darah konjungtiva yang terjadi pada peradangan mata akut.
Klasifikasi mata merah dapat dibagi menjadi dua yakni mata merah dengan visus
normal dan mata merah dengan visus menurun.
20
Diagnosis banding untuk mata merah dengan visus menurun antara lain keratitis,
glaukoma akut, uveitis, dan pterigium yang meradang grade III dan grade IV.
Penatalaksanaan kasus mata merah dengan visus normal dan mata merah dengan
visus menurun tidak sama. Penatalaksanaan kasus mata merah dengan visus menurun
yang melibatkan media refrakta seperti kornea, maka anti inflamasi steroid tidak
diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF. Ilmu Penyakit Mata Ed.III.
Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo.
Ellis, Harold. 2006. Clinical Anatomy, A Revision and Applied Anatomy for Clinical
Students Eleventh Edition. Massachusetts, USA : Blackwell Publishing, Inc .
Ilyas, Sidharta. 2006. Dasar-Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata Edisi
Kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
21
Ilyas, Sidharta. 2008. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Ilyas, Sidharta., Mailangkay., Taim, Hilman., dkk. 2002. Ilmu Penyakit Mata untuk
dokter umum dan mahasiswa kedokteran. Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto
Sowka, J.W., Gurwood, A.S., dan Kabat, A.G. 2010. Review of Optometry, The
Handbook
of
Occular
Disease
Management
Twelfth
Edition.
http://www.revoptom.com/.
Vaughan, Daniel., Asbury, Taylor., Riordan-Eva, Paul. 2006. Oftalmology Umum. Edisi
14. Jakarta: KDT
22