You are on page 1of 13

I.

PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan zaman, agama semakin dituntut agar ikut
terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat
manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau
berhenti sekadar disampaikan dalam khotbah, melainkan secara konsepsional
menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Dalam memahami agama banyak pendekatan yang dilakukan. Hal demikian
perlu dilakukan, karena pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional
dapat dirasakan oleh penganutnya. Berbagai pendekatan tersebut meliputi
pendekatan sosiologis, filosofis, historis, psikologis, dan pendekatan kebudayaan,
serta pendekatan-pendekatan lainnya. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan
disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu
yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.

II.

RUMUSAN MASALAH
A. Apa Pengertian dari Pendekatan?
B. Bagaimana Memahami Agama melalui berbagai Pendekatan (sosiologis,
filosofis, historis, psikologi, kebudayaan)?

III.

PEMBAHASAN
A. Definisi Pendekatan
Secara etimologi pendekatan adalah derivasi kata dekat, artinya tidak jauh,
setelah mendapat awalan pe dan akhiran an maka artinya (a) proses, perbuatan,
cara mendekati (b) usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan
hubungan dengan orang yang diteliti atau metode-metode untuk mencapai
pengertian tentang masalah penelitian. Pendekatan dari sudut terminologi adalah
cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang
selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dari keterangan di atas, dapat
kita pahami bahwa pendekatan terhadap objek pengkajian perlu dimasyarakatkan
guna mendapatkan keterangan ilmiah seiring dengan tuntunan zaman.1

B. Pendekatan- pendekatan dalam Memahami Agama


Dalam memahami agama ada beberapa pendekatan diantaranya:
1. Pendekatan Sosiologis
Secara etimologi, kata sosiologi berasal dari bahasa latin yang terdiri
dari kata socius yang berarti teman, dan logos yang berarti berkata
1https://www.scribd.com/doc/254259532/Pendekatan-Studi-Agama-Islam#download diakses pada Jumat, 18
September 2015 jam 11.00 WIB.

atau berbicara tentang manusia yang berteman atau bermasyarakat. Secara


terminologi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan
proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial. Adapun objek
sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antara
manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia dalam
masyarakat. Sedangkan tujuannya adalah meningkatkan daya kemampuan
manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya.
Sosiologi adalah kajian ilmiah tentang kehidupan sosial manusia yang
berusaha mencari tahu tentang hakekat dan sebab-sebab dari berbagai pola
pikir dan tindakan manusia yang teratur dapat berulang. Berbeda dengan
psikologi yang memusatkan perhatiannya pada karakteristik pikiran dan
tindakan perorangan, sosiologi hanya tertarik kepada pikiran dan tindakan
yang dimunculkan seseorang sebagai anggota suatu kelompok atau
masyarakat. Namun perlu diingat, sosiologi adalah disiplin ilmu yang luas
dan mencakup banyak hal, dan ada banyak jenis sosiologi yang
mempelajari sesuatu yang berbeda dengan tujuan yang berbeda-beda
pula.2
Pendekatan Sosiologis dalam memahami agama di fokuskan perhatian
pada interaksi antar agama dan masyarakat. Dasar Perspektif sosiologis
adalah pada struktur sosial, konstruksi pengalaman manusia, kebudayaan,
dan agama.3 Adapun fungsi agama bagi masyarakat yaitu agama
meneguhkan kaidah-kaidah susila dari adat yang dipandang baik bagi
kehidupan moral warga masyarakat, agama mengamankan dan
melestarikan kaidah-kaidah moral (yang dianggap baik) dari serbuan
destruktif dari agama baru dan dari sistem hukum negara modern dimana
nilai hukum adat yang baik masih dapat ditingkatkan atau disempurnakan
agama-agama mengadakan inkulturasi dan pelanggaran terhadap hukum
adat (asli) maupun hukum negara (yang berdimensi moral) dikenai sanksisanksi.4
Karakteristik dasar dari pendekatan sosiologis, menurut Michael S.
Northcott menyatakan bahwa teori sosiologis tentang watak agama serta
kedudukan dan signifikansinya dalam dunia sosial, mendorong
ditetapkannya serangkaian kategori-kategori sosiologis meliputi: (1)
stratifikasi sosial seperti kelas dan etnisitas; (2) kategori biososial,
seperti seks, gender, perkawainan, keluarga masa kanak-kanak dan usia;
2Lihat makalah Yusri & Misman, Pendekatan Sosiologi dalam Studi Islam, (Medan: IAIN SUMUT, 2010)
dalam program pascasarjana, hlm. 1-2
3Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2002), hlm. 271
4Hendropuspito, Sosiologi Agama, ( Yogyakarta: KANISIUS, 1983), hlm. 47

(3) pola organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomi, sistemsistem pertukaran, dan birokrasi; (4) proses sosial seperti formasi batas,
relasi intergroup, intraksi personal, penyimpangan, dan globalisasi. 5
Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam
memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang
kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat
apabila menggunakan jasa bantuan ilmu sosiologi. Dalam agama islam
dapat dijumpai peristiwa Nabi yusuf yang dahulu budak lalu akhirnya bisa
menjadi penguasa Mesir. Mengapa dalam tugasnya Nabi Musa harus di
bantu oleh Nabi Harun. Beberapa peristiwa tersebut baru dapat dijawab
dan sekaligus dapat ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial.
Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa tersebut sulit dijelaskan dan sulit
pula di pahami maksudnya. Di sinilah letaknya sosiologi sebagai salah
satu alat dalam memahami ajaran agama.6
Dari sisi lain terdapat pula signifikasi pendekatan Islam dalam
sosiologi, salah satunya adalah dapat memahami fenomena sosial yang
berkenaan dengan ibadah dan muamalat. Pentingnya pendekatan
sosiologis dalam memahami agama dapat dipahami karena banyak sekali
ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian
agama terhadap masalah sosial ini, selanjutnya mendorong agamawan
memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat memahami agamanya. Dalam
bukunya yang berjudul Islam alternatif. Jalaluddin Rahmat telah
menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini adalah
Islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai
berikut: Pertama dalam al-Quran atau kitab Hadis, proporsi terbesar
kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah.
Sedangkan menurut Ayatullah Khoemeini dalam bukunya al-Hukumah alIslamiyah yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat dikemukakan bahwa
perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut
kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus. Artinya untuk satu ayat
ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial). Kedua bahwa
ditekankannya masalah muamalah atau sosial dalam Islam ialah adanya
kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan
muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau
ditangguhkan (bukan ditinggalkan) melainkan tetap dikerjakan
5Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2002), hlm. 283
6https://www.scribd.com/doc/254259532/Pendekatan-Studi-Agama-Islam#download diakses pada Jumat, 18
September 2015 jam 11.00 WIB.

sebagaimana mestinya. Ketiga bahwa ibadah yang mengandung segi


kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari ibadah yang bersifat
perseorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara berjamaah dinilai
lebih tinggi nilainya daripada shalat yang dikerjakan sendirian dengan
ukuran satu berbanding dua puluh tujuh derajat. Keempat dalam Islam
terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal,
karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya ialah melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Bila puasa tidak
mampu dilakukan misalnya, maka jalan keluarnya; dengan membayar
fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin. Kelima dalam
Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan
mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah. Demikian
sebaliknya sosiologi memiliki kontribusi dalam bidang kemasyarakatan
terutama bagi orang yang berbuat amal baik akan mendapatkan status
sosial yang lebih tinggi ditengah-tengah masyarakat, secara langsung hal
ini berhubungan dengan sosiologi.
Berdasarkan pemahaman ke lima alasan di atas, maka melalui
pendekatan sosiologis, agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena
agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Quran
misalnya dijumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan
manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran
suatu bangsa dan sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya
kesengsaraan. Semua itu hanya baru dapat dijelaskan apabila yang
memahaminya mengetahui sejarah sosial pada ajaran agama itu
diturunkan.7
2. Pendekatan Filosofis
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta
kepada kebenaran, ilmu dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula berarti
mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta
berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam kamus
umum bahasa Indonesia, poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab,
asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam
semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti adanya sesuatu.
Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang
7Lihat makalah Yusri & Misman, Pendekatan Sosiologi dalam Studi Islam, (Medan: IAIN SUMUT,
2010) dalam program pascasarjana, hlm. 13-14

dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah berpikir secara


mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari
kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya
berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang
berada dibalik obyek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar,
asas dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah. Sebagai contoh,
kita jumpai berbagai merek bulpoint dengan kualitas dan harganya yang
berlain-lainan namun inti semua bulpoint itu adalah sebagai alat tulis.
Ketika disebut alat tulis, maka tercakuplah semua nama dan jenis
bulpoint. Louis O. Kattsof mengatakan, bahwa kegiatan kefilsafatan ialah
merenung. Tetapi merenung bukanlah melamun, juga bukan berpikir
secara kebetulan yang bersifat untung-untungan, melainkan dilakukan
secara mendalam, radikal, sistematik dan universal. Mendalam artinya
dilakukan sedemikian rupa hingga dicari sampai ke batas di mana akal
tidak sanggup lagi. Radikal artinya sampai ke akar-akarnya hingga tidak
ada lagi yang tersisa, dan sistematik maksudnya adalah dilakukan secara
teratur dengan menggunakan metode berpikir tertentu, dan universal
maksudnya tidak dibatasi hanya pada suatu kepentingan kelompok
tertentu, tetapi untuk seluruhnya.
Berpikir secara filosofis tersebut selajutnya dapat digunakan dalam
memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti
dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama.
Pendekatan filosofis yang demikian itu sebenarnya sudah banyak
dilakukan oleh para ahli. Kita misalnya membaca buku berjudul Hikmah
al-Tasryri wa Falsafatuhu yang ditulis oleh Muhammad al Jurjawi.
Dalam buku tersebut al-Jurjawi berupaya mengungkapkan hikmah yang
terdapat dibalik ajaran-ajaran agama islam. Ajaran agama misalnya
mengajarkan agar melaksanakan salat berjamaah. Tujuannya antara lain
agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan
orang lain. Dengan mengerjarkan puasa misalnya agar seseorang dapat
merasakan lapar yang selanjutnya menimbulkan rasa iba kepada
sesamanya yang hidup serba kekurangan. Demikian pula ibadah haji yang
dilaksanakan di kota Mekkah, dalam waktu yang bersamaan, dengan
bentuk dan gerak ibadah (manasik) yang sama dengan dikerjakan lainnya
dimaksudkan agar orang yang mengerjakan berpandangan luas, merasa
bersaudara dengan sesama muslim dari seluruh dunia. Thawaf yang
dikerjakan mengandung makna bahwa hidup harus penuh dengan
5

dinamika yang tak kenal lelah, namun semuanya itu harus tertuju sebagai
ibadah kepada Allah semata. Mengerjakan sai, yakni lari-lari kecil
menggambarkan bahwa hidup tidak boleh putus asa, terus mencoba.
Dimulai dari bukit shafa yang artinya bersih, dan berakhir pada bukit
marwa yang artinya berkembang. Dengan demikian hidup ini harus diisi
dengan perjuangan yang didasarkan pada tujuan dan niat yang bersih
sehingga dapat memperoleh keberkahan. dan mengenakan pakaian serba
putih maksudnya adalah agar seseorang mengutamakan kesederhanaan,
kesahajaan dan serba bersih jiwanya sehingga tidak terganggu
hubungannya dengan Tuhan.
Demikian pula kita membaca sejarah kehidupan para nabi terdahulu.
Maksudnya bukan sekedar menjadi tontonan atau sekedar mengenangnya,
tetapi bersamaan dengan itu diperlukan kemampuan menangkap makna
filosofis yang terkandung di belakang peristiwa tersebut. Kisah nabi Yusuf
yang digoda seorang wanita bangsawan, secara lahiriah menggambarkan
kisah yang bertema pornografi atau kecabulan. Kesimpulan demikian itu
bisa terjadi manakala seseorang hanya memahami bentuk lahiriah dari
kisah tersebut. Tetapi sebenarnya melalui kisah tersebut Tuhan ingin
mengajarkan kepada manusia agar memiliki ketampanan lahiriah dan
batiniah secara prima. Nabi Yusuf telah menunjukkan kesanggupannya
mengendalikan farjinya dari berbuat maksiat. Sementara lahiriah ia
tampan dan menyenangkan orang yang melihatnya. Makna demikian
dapat dijumpai melalui pendekatan yang bersifat filosofis. Dengan
menggunakan pendekatan filosofis ini seseorang akan dapat memberi
makna terhadap sesuatu yang dijumpainya; dan dapat pula menangkap
hikmah dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Dengan cara demikian
ketika seseorang mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan merasa
kekeringan spiritual yang dapat menimbulkan kebosanan. Semakin
mampu menggali makna filosofis dari suatu ajaran agama, maka semakin
meningkat pula sikap, penghayatan dan daya spiritualitas yang dimiliki
seseorang.
Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada
pengamalan agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama
dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti.
Yang mereka dapatkan dari pengamalan agama tersebut hanyalah
pengakuan formalistik, misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun
islam yang kelima dan berhenti sampai di situ. Mereka tidak dapat
merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung didalamnya.
6

Namun demikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau


menyepelekan bentuk pengamalan agama yang bersifat formal. Filsafat
mempelajari segi batin yang bersifat esoterik , sedangkan bentuk (forma)
memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik.
Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya
mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan
pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya, yang contohcontohnya telah dikemukakan di atas. Namun demikian pendekatan
seperti ini masih belum diterima secara merata terutama oleh kaum
tradisionalis firmalistis yang cenderung memahami agama terbatas pada
ketepatan melaksanakan aturan-aturan formalistik dari pengalaman
agama.8
3. Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai
peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, obyek, latar belakang, dan
pelaku dari peristiwa tersebut.9 Sedangkan Menurut William H. Frederick,
kata historis diserap dari bahasa Arab, syajaratun yang berarti pohon atau
keturunan atau asal-usul yang kemudian berkembang dalam bahasa
Melayu Syajarah. Menurut Jan Romein, kata sejarah memiliki arti yang
sama dengan kata history (Inggris), geschichte (Jerman) dan
geschiedenis (Belanda), semuanya mengandung arti yang sama, yaitu
cerita tentang kejadian atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau.
Dari berbagai pendapat di atas sejarah dapat diartikan sebagai
gambaran tentang peristiwa-peristiwa atau kejadian masa lampau yang
dialami manusia, disusun secara ilmiah, meliputi urutan waktu tertentu, diberi
tafsiran dan analisa kritis sehingga mudah dimengerti dan dipahami.
Kalau kita kaitkan dengan kajian islam secara historis dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa islam historis dikaji dari aspek sejarah, menganalisis
perkembangannya dari awal sampai sekarang. Mengapa demikian karena
islam tidak lepas dari historisnya.
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis
ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang
akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat
dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.10
8Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 42

9Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 105
10Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 47

Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama,


karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan
berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini
Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang
dalam hal ini islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari
al-Quran, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya
kandungan al-Quran itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama,
berisi konsep-konsep, dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan
perumpamaan.
Untuk memahami lebih dalam mengenai historis dalam kajian islam
setidaknya kita harus mendudukkan permasalahan ini pada ruang lingkup
yang lebih sempit diantarnya:
a) Islam sebagai doktrin dari Tuhan yang sebenarnya bagi para
pemeluknya sudah final dalam arti absolute, dan diterima apa
adanya. Bahwa islam itu terdapat dua macam nilai yakni islam
berdimensi normatif dan islam berdimensi historis. Kedua aspek
ini terdapat hubungan yang menyatu, tidak dapat dipisahkan, tetapi
dapat dibedakan. Pertama; aspek normatif yakni wahyu harus
diterima sebagaimana adanya, mengikat semua pihak dan berlaku
universal. Kedua aspek historis yakni, kekhalifahan senantiasa
dapat berubah, menerinma diskusi karena produk zaman tertentu,
dan hal itu bukan hal yang sakral.
b) Islam Sebagai gejala budaya, yang berarti seluruh yang menjadi
kreasi manusia dalam kaitannya dengan agama, termasuk
pemahaman orang terhadap doktrin agamanya.
c) Islam Sebagai interaksi sosial, yaitu realitas umat islam.
d) Islam sebagai produk historis adalah islam yang tidak bisa
dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan manusia yang berada
dalam ruang dan waktu. Islam yang terangkai dengan konteks
kehidupan pemeluknya. Oleh karenanya realitas kemanusiaan
selalu berada dibawah realitas ke-Tuhan-an. Berbicara tentang
sejarah, biasanya akan segera menghubungkannya dengan cerita,
yaitu cerita tentang pengalaman-pengalaman manusia di waktu
yang lampau. Bahwasanya sejarah pada hakekatnya adalah sebuah
cerita kiranya tidak bisa disangkal lagi. semuanya mencerminkan
gagasan bahwa sejarah itu hakekatnya adalah tidak lain sebagai
suatu bentuk cerita. Kendati begitu, hal yang perlu sekali disadari

adalah kenyataan bahwa sebagai cerita, sejarah bukanlah


sembarang cerita. Cerita sejarah tidaklah sama dengan dongeng
ataupun novel. Ia adalah cerita yang didasarkan pada fakta-fakta
dan disusun dengan metode yang khusus yang bermula dari
pencarian dan penemuan jejak-jejak sejarah, menguji jejak-jejak
tersebut dengan metode kritik yang ketat (kritik sejarah) dan
diteruskan dengan interpretasi fakta-fakta untuk akhirnya disusun
dengan cara-cara tertentu menjadi sebuah cerita yang
menarik tentang pengalaman masa lampau manusia itu.
e) Historis/Sejarah sebagai peristiwa, sebagai Kisah sebagai
ilmu. Sejarah dapat digolongkan sebagai ilmu apabila ia memiliki
syarat-syarat dari suatu ilmu pengetahuan atau syarat-syarat
ilmiah.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki
keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa.
Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari
konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan
orang yang memahaminya.
4. Pendekatan Psikologi
Psikologi terdiri dari dua kata yaitu Psyche (jiwa, roh) logos (ilmu).
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Secara
umum, psikologi mempelajari gejala-gejala manusia yang berkaitan
dengan pikiran (cognisi), perasaan (emotion), dan kehendak (conasi).
Dengan demikian ketiga gejala pokok tersebut dapat diamati melalui sikap
dan perilaku manusia.
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala
perilaku yang dapat diamatinya. Perilaku seseorang yang nampak
lahiriyah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Ilmu
jiwa agama sebagaimana dikemukakan Zakiah Dradjat tidak akan
mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang,
melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama
tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dalam ajaran agama banyak istilah-istilah yang menggambarkan sikap
batin seseorang. Misalnya sikap beriman dan bertakwa kepada Allah,
sebagai orang yang sholeh, orang yang berbuat baik, orang yang jujur dan
sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan
dengan agama. Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui
9

tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang,


juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukan agama kedalam jiwa
seseorang sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu ini agama akan
menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.11
Menurut Zakiat Darajat, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian
psikologi agama meliputi kajian mengenai:
a) Bermacam-macam emosi yang menjalar di luar kesadaran yang
ikut menyertai kehidupan beragama orang umum. Misalnya; rasa
lega dan tentram sehabis sembahyang.
b) Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual
terhadap Tuhannya, seperti, rasa tentram dan kelegaan hati.
c) Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan
akan adanya hidup sesudah mati (sesudah akhirat) pada tiap-tiap
orang.
d) Meneliti dan mempelajari kesadaran serta perasaan orang terhadap
kepercayaan yang berhubungan dengan surga dan neraka serta
dosa dan pahala yang turut memberi pengaruh terhadap sikap dan
tingkah lakunya dalam kehidupan.12
Pendekatan psikologi tidak untuk membuktikan benar tidaknya suatu
agama tetapi hakikat agama dalam hubungan manusia dengan
kejiwaannya, bagaimana perilaku dan kepribadiannya mencerminkan
kepercayaannya. Mengapa manusia ada yang percaya Tuhan dan ada yang
tidak, apakah kepercayaan ini timbul akibat pemikiran yang ilmiah atau
sekedar naluri akibat terjangan cobaan hidup dan pengalaman hidupnya.13
Sebagai salah satu cabang dari psikologi metode yang digunakan dalam
mengkaji agama tidak berbeda dengan psikologi pada umumnya.
Psikologi agama berusaha untuk menjelaskan pekerjaan pikiran dan
perasaan seseorang terhadap agama serta pengaruh agama tersebut
terhadap perilaku seseorang.
Metode psikologis tidak berhak menentukan benar salahnya suatu
agama karena ilmu pengetahuan tidak memiliki teknik untuk
mendemonstrasikan hal-hal seperti itu, baik sekarang maupun waktu yang
akan datang. Selain itu, sifat ilmu pengetahuan sifatnya adalah empirical
science, yakni mengandung fakta empiris yang tersusun secara sistematis
dengan menggunakan metode ilmiah. Fakta empiris ini adalah fakta yang
dapat diamati dengan pola indra manusia pada umumnya, atau dapat di
11Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 50
12Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 15-16
13Raharjo, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm. 17
10

alami oleh semua orang biasa, sedangkan Dzat Tuhan, wahyu, Setan dan
faktor gaib lainnya tidak dapat diamati orang umum dan tidak semua
orang mampu mengalaminya.
Studi psikologi terhadap agama sebenarnya meliputi dua macam
kegiatan yaitu : kegiatan pengumpulan dan klasifikasi data, kegiatan
menyusun dan menguji berbagai keterangan. Penelitian psikologik dapat
dianggap sebagai suatu sistem yang diarahkan kepada pemahaman
terhadap apa yang diperbuat, dipikirkan, dan dirasakan oleh manusia.
Metode metode ini mencakup penggunaan metode statistik (seperti
analisis faktor), penggunaan tes psikologi , berbagai penelitian dengan
berbagai kuesioner yang dialamatkan kepada berbagai kelompok
masyarakat, kajian sejarah kasus terhadap orang-orang tertentu dan
sebagainya. Kadang-kadang data untuk penelitian yang dilakukan oleh
para ahli psikologi dalam bentuk cetakan, misalnya biografi atau
otobiografi.
5. Pendekatan Kebudayaan
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kebudayaan diartikan
sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti
kepercayaan, kesenian, adat istiadat; dan berarti pula kegiatan (usaha)
batin ( akal dan sebagainya) untuk menciptakan sesuatu yang termasuk
hasil kebudayaan. Sementara itu Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan
bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang terjadi dari
unsure-unsur yang berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni,
hukum, moral, adat istiadat, dan segala kecakapan lain, yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat.
Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan
menggunakan dan mengerahkan segenap potensial batin yang dimilikinya.
Di dalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni,
moral, adat istiadat dan sebagainya. Kesemuanya itu selanjutnya
digunakan sebagai kerangka acuan atau blue print oleh seseorang dalm
benjawab berbagai masalah yang dihadapinya. Dengan demikian
kebudayaan tampil sebagai pranat yang secara terus menerus dipelihara
oleh para pembentuknya dan generasi selanjutnya yang diwarisi
kebdayaan tersebut.
Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat pula digunakan untuk
memahami agama yang terdapat pada dataran empiriknya atau agama
yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat.
11

Pengamalan agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh


penganutnya dari sumber agama yaitu wahyu melalui penalaran. Kita
misalnya membaca kitab fiqih, maka fiqih yang merupakan pelaksanaan
dari nash alquran maupun hadist sudah melibatkan unsur penalaran dan
kemampuan manusia. Dengan demikian agama menjadi membudaya atau
membumi di tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam
bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang
berkembang di masyarakat tempat agama itu berkembang. Dengan
melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut sesorang akan dapat
mengamalkan ajaran agama.
Kita misalnya menjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul,
bermasyarakat, dan sebagainya. dalam produk kebudayaan tersebut unsur
agama ikut berintegrasi. Dalam pakaian model jilbab, kebaya atau lainnya
dapat dijumpai dalam pengamalan agama. Sebaliknya tanpa adanya
unsure budaya, maka agama akan sulit dilihat sosoknya secara jelas. Di
DKI Jakarta misalnya kita jumpai kaum prianya ketika menikah
mengenakan baju ala Arab. sedangkan kaum wanitanya mengenakan baju
Ala China. Disitu terlihat produk budaya yang berbeda yang di pengaruhi
oleh pemahaman keagamaanya.14
IV.

KESIMPULAN
Pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu
bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.
Pendekatan Sosiologis dalam memahami agama di fokuskan perhatian pada
interaksi antar agama dan masyarakat. Melalui pendekatan sosiologis, agama akan
dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk
kepentingan sosial. Dalam Alquran misalnya kita jumpai ayat-ayat berkenaan
dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya, sebab-sebab yang terjadinya
kemakuran suatu bangsa, dan sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya
kesengsaraan. Semua itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya
mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan.
Berpikir secara filosofis (pendekatan filosofis) dapat digunakan dalam
memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari
ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Dengan
menggunakan pendekatan filosofis ini seseorang akan dapat memberi makna
terhadap sesuatu yang dijumpainya; dan dapat pula menangkap hikmah dan ajaran
yang terkandung di dalamnya. Dengan cara demikian ketika seseorang
14Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 49

12

mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan merasa kekeringan spiritual yang dapat
menimbulkan kebosanan. Semakin mampu menggali makna filosofis dari suatu
ajaran agama, maka semakin meningkat pula sikap, penghayatan dan daya
spiritualitas yang dimiliki seseorang.
Pendekatan Historis dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu
sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan. Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki
keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini,
maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya,
karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang yang memahaminya.
Pendekatan psikologi tidak untuk membuktikan benar tidaknya suatu agama
tetapi hakikat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya, bagaimana
perilaku dan kepribadiannya mencerminkan kepercayaannya. Mengapa manusia
ada yang percaya Tuhan dan ada yang tidak, apakah kepercayaan ini timbul akibat
pemikiran yang ilmiah atau sekedar naluri akibat terjangan cobaan hidup dan
pengalaman hidupnya
Kebudayaan dapat digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada
dataran empiriknya atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang
menggejala di masyarakat. Dengan demikian agama menjadi membudaya atau
membumi di tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya
yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat
tempat agama itu berkembang. Dengan melalui pemahaman terhadap kebudayaan
tersebut sesorang akan dapat mengamalkan ajaran agama.
V.

PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami paparkan tentang pendekatan dalam
memahami agama (II), semoga bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan
pada kami khususnya. Dan tentunya makalah ini tidak lepas dari kekurangan,
untuk itu saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat kami butuhkan guna
memperbaiki makalah selanjutnya.

13

You might also like