You are on page 1of 26

1.

1 Latar Belakang
Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004 pangan adalah segala sesuatu yang
berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan
tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman.
Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup
dan karenanya kecukupan pangan bagi setiap orang setiap waktu merupakan hak azasi yang
layak dipenuhi. Berdasar kenyataan tersebut masalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi
seluruh penduduk setiap saat di suatu wilayah menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi
pemerintahan suatu negara. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar
menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan
penduduknya. Ketahahan pangan merupakan bagian dari ketahahan ekonomi nasional yang
berdampak besar pada seluruh warga negara yang ada dalam Indonesia. Dalam hal ketahanan
pangan, bukan hanya sebatas pada sesuatu yang dianggap mudah dan ia memiliki pengaruh
besar terhadap pertahahanan keamanan. Pertahanan pangan merupakan salah satu hal yang
mendukung dalam mempertahankan pertahahanan keamanan, bukan hanya sebagai komoditi
yang memiliki fungsi ekonomi, akan tetapi merupakan komoditi yang memiliki fungsi sosial
dan politik, baik nasional maupun global. Untuk itulah, ketahahan pangan dapat mempunyai
pengaruh yang penting pula agar pertahanan keamanan dapat diciptakan.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan ketahanan pangan?
2. Bagaimanakah sistem ketahanan pangan?
3. Bagaimana pengaruh ketahanan pangan terhadap ketahan nasional?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan ketahanan pangan
2. Untuk mengetahui bagaimana sistem ketahanan pangan.
3. Untuk mengetahui pengaruh ketahanan pangan terhadap ketahanan nasional.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1

Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan ialah kondisi dimana setiap individu mampu secara fisik dan ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan pangan yang cukup, aman dan bergizi bagi kehidupan yang aktif
dan sehat. Pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara merata dengan harga yang
terjangkau juga tidak boleh dilupakan.
Kondisi iklim yang ekstrim di berbagai belahan dunia baru-baru ini secara langsung dan tidak
langsung dapat mempengaruhi ketersediaan pangan. Kekeringan yang berkepanjangan,
kebakaran hutan, banjir serta bencana alam lainnya di berbagai wilayah dunia terutama di
sentra-sentra produksi pangan, sangat mempengaruhi ketersediaan gandum dan tanaman
bijian-bijian lainnya yang tentu saja berdampak pada ketersediaan produk pangan tersebut
untuk marketing season 2010/2011.
Menurut FAO jumlah penduduk dunia yang menderita kelaparan pada tahun 2010 mencapai
925 juta orang. Situasi ini diperparah dengan semakin berkurangnya investasi di sektor
pertanian yang sudah berlangsung selama 20 tahun terakhir, sementara sektor pertanian
menyumbang 70% dari lapangan kerja baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kekhawatiran akan makin menurunnya kualitas hidup masyarakat, bahaya kelaparan,
kekurangan gizi dan akibat-akibat negatif lain dari permasalahan tersebut secara keseluruhan
akan menghambat pencapaian goal pertama dari Millennium Development Goals (MDGs)
yakni eradication of poverty and extreme hunger.
Bagi Indonesia, masalah ketahanan pangan sangatlah krusial. Pangan merupakan basic
human need yang tidak ada substitusinya. Indonesia memandang kebijakan pertanian baik di
tingkat nasional, regional dan global perlu ditata ulang. Persoalan ketahanan pangan dan
pembangunan pertanian harus kembali menjadi fokus dari arus utama pembangunan nasional
dan global. Oleh karena itu Indonesia mengambil peran aktif dalam menggalang upaya
bersama mewujudkan ketahanan pangan global dan regional.
Upaya mengarusutamakan dimensi pembangunan pertanian, ketahanan pangan dan
pengentasan kemiskinan Indonesia selaku koordinator G-33 secara aktif mengedepankan isu
food security, rural development dan livelihood security sebagai bagian dari hak negara
berkembang untuk melindungi petani kecil dari dampak negatif masuknya produk-produk
pertanian murah dan bersubsidi dari negara maju, melalui mekanisme special products dan
special safeguard mechanism.
Sebagai negara dengan komitmen yang tinggi untuk menjaga stabilitas ketahanan pangan
global, Indonesia juga telah menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan FAO pada bulan
Maret 2009 sebagai bentuk dukungan Indonesia terhadap berbagai program peningkatan
ketahanan pangan global dan pembangunan pertanian negara-negara berkembang lainnya.
terutama dalam kerangka Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation), kerjasama
teknis negara-negara berkembang (KTNB/TCDC) dan pencapaian goal dari MDGs.
Penandatanganan LoI ini juga diharapkan akan semakin memperkuat peran Indonesia dalam
membantu peningkatan pembangunan pertanian di negara-negara berkembang, terutama di
negara-negara Asia Pasifik dan Afrika yang telah berjalan sejak tahun 1980.
2.2

Sistem Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan diwujudkan oleh hasil kerja sistem ekonomi pangan yang terdiri dari
subsistem ketersediaan meliput produksi , pasca panen dan pengolahan, subsistem distribusi
dan subsistem konsumsi yang saling berinteraksi secara berkesinambungan. Ketiga subsistem

tersebut merupakan satu kesatuan yang didukung oleh adanya berbagai input sumberdaya
alam, kelembagaan, budaya, dan teknologi. Proses ini akan hanya akan berjalan dengan
efisien oleh adanya partisipasi masyarakat dan fasilitasi pemerintah.
Partisipasi masyarakat ( petani, nelayan dll) dimulai dari proses produksi, pengolahan,
distribusi dan pemasaran serta jasa pelayanan di bidang pangan. Fasilitasi pemerintah
diimplementasikan dalam bentuk kebijakan ekonomi makro dan mikro di bidang
perdagangan, pelayanan dan pengaturan serta intervensi untuk mendorong terciptanya
kemandirian pangan. Output dari pengembangan kemandirian pangan adalah terpenuhinya
pangan, SDM berkualitas, ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional.
Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan
antara impor dan ekspor pangan. Subsistem ini berfungsi menjamin pasokan pangan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk, baik dari sisi jumlah, kualitas, keragaman maupun
keamanannya. Acuan kualitatif untuk ketersediaan pangan adalah Angka Kecukupan Gizi
(AKG) rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII Tahun 2004, yaitu energi
sebesar 2200 kkal/kapita/hari dan protein 57 gram/kapita/hari. Acuan untuk menilai tingkat
keragaman ketersediaan pangan adalah Pola Pangan Harpan dengan skor 100 sebagai PPH
ideal. Dalam aspek ketersediaan pangan, masalah pokok adalah semakin terbatas dan
menurunnya kapasitas produksi dan daya saing pangan nasional. Hal ini disebabkan oleh
faktor faktor teknis dan sosial ekonomi;
1. 1. Teknis
1. Berkurangnya areal lahan pertanian karena derasnya alih lahan pertanian ke
non pertanian seperti industri dan perumahan (laju 1%/tahun).
2. Produktifitas pertanian yang relatif rendah dan tidak meningkat.
3. Teknologi produksi yang belum efektif dan efisien.
4. Infrastruktur pertanian (irigasi) yang tidak bertambah selama krisis dan
kemampuannya semakin menurun.
5. Masih tingginya proporsi kehilangan hasil pada penanganan pasca panen (1015%).
6. Kegagalan produksi karena faktor iklim seperti El-Nino yang berdampak pada
musim kering yang panjang di wilayah Indonesia dan banjir .
2. 2.

Sosial-Ekonomi
1. Penyediaan sarana produksi yang belum sepenuhnya terjamin oleh
pemerintah.
2. Sulitnya mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dalam produksi pangan karena
besarnya jumlah petani (21 juta rumah tangga petani) dengan lahan produksi
yang semakin sempit dan terfragmentasi (laju 0,5%/tahun).

3. Tidak adanya jaminan dan pengaturan harga produk pangan yang wajar dari
pemerintah kecuali beras.
4. Tata niaga produk pangan yang belum pro petani termasuk kebijakan tarif
impor yang melindungi kepentingan petani.
5. Terbatasnya devisa untuk impor pangan sebagai alternatif terakhir bagi
penyediaan pangan.
Subsistem distribusi pangan yang efektif dan efisien sebagai prasyarat untuk menjamin agar
seluruh rumahtangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik
sepanjang waktu. Subsistem ini mencakup aspek aksesibilitas secara fisik, ekonomi maupun
sosial atas pangan secara merata sepanjang waktu. Akses pangan didefinisikan sebagai
kemampuan rumahtangga untuk secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang cukup,
melalui berbagai sumber atau kombinasi cadangan pangan yang dimiliki, hasil produksi
pangan, pembelian/barter, pemberian, pinjaman dan bantuan pangan. Akses pangan secara
fisik ditunjukkan oleh kemampuan memproduksi pangan, infrastruktur dasar maupun kondisi
sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian akses fisik lebih bersifat kewilayahan
dan dipengaruhi oleh ciri dan pengelolaan ekosistem. Akses pangan secara ekonomi
menyangkut keterjangkauan masyarakat terhadap pangan yang ditunjukkan oleh harga,
sumber mata pencaharian dan pendapatan. Sumber mata pencaharian meliputi kemampuan,
asset dan aktivitas yang dapat menjadi sumber pendapatan. Seringkali, sumber mata
pencaharian sangat dipengaruhi oleh kondisi maupun pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan. Akses pangan secara sosial antara lain dicerminkan oleh tingkat pendidikan,
bantuan sosial, kebiasaan makan, konflik sosial/keamanan. Dalam subsistem distribusi,
hambatan yang terjadi antara lain :
1. 1.

Teknis
1. Belum memadainya infrastruktur, prasarana distribusi darat dan antar pulau
yang dapat menjangkau seluruh wilayah konsumen.
2. Belum merata dan memadainya infrastruktur pengumpulan, penyimpanan dan
distribusi pangan , kecuali beras.
3. Sistem distribusi pangan yang belum efisien.
4. Bervariasinya kemampuan produksi pangan antar wilayah dan antar musim
menuntut kecermatan dalam mengelola sistem distribusi pangan agar pangan
tersedia sepanjang waktu diseluruh wilayah konsumen.

2.

Sosial-ekonomi

a. Belum berperannya kelembagaan pemasaran hasil pangan secara baik dalam menyangga
kestabilan distribusi dan harga pangan.
b. Masalah keamanan jalur distribusi dan pungutan resmi pemerintah pusat dan daerah serta
berbagai pungutan lainnya sepanjang jalur distribusi dan pemasaran telah menghasilkan biaya
distribusi yang mahal dan meningkatkan harga produk pangan.

Subsistem konsumsi pangan berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan


memenuhi kaidah mutu, keragaman dan keseimbangan gizi, keamanan dan halal, serta
efisiensi untuk mencegah pemborosan. Subsistem ini menyangkut upaya peningkatan
pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan
kesehatan yang baik sehingga dapat mengatur menu beragam, bergizi, seimbang secara
optimal, pemeliharaan sanitasi dan hygiene serta pencegahan penyakit infeksi dalam
lingkungan rumahtangga. Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan pangan oleh
tubuh. Kondisi konsumsi pangan rumahtangga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
ekonomi, sosial dan budaya setempat.
1.

Teknis

a.
Belum berkembangnya teknologi dan industri pangan berbasis sumber daya pangan
local.
b.

Belum berkembangnya produk pangan alternatif berbasis sumber daya pangan lokal.

2.

Sosial-ekonomi

a.
Tingginya konsumsi beras per kapita per tahun (tertinggi di dunia > 100 kg, Thailand
60 kg, Jepang 50 kg).
b.
Kendala budaya dan kebiasaan makan pada sebagian daerah dan etnis sehingga tidak
mendukung terciptanya pola konsumsi pangan dan gizi seimbang serta pemerataan konsumsi
pangan yang bergizi bagi anggota rumah tangg
c.
Rendahnya kesadaran masyarakat, konsumen maupun produsen atas perlunya pangan
yang sehat dan aman.
d.
Ketidakmampuan bagi penduduk miskin untuk mencukupi pangan dalam jumlah yang
memadai sehingga aspek gizi dan keamanan pangan belum menjadi perhatian utama.
2.3 Pengaruh Ketahanan Pangan terhadap Gizi Kesmas
Pemenuhan kebutuhan pangan bagi setiap individu selalu mendapatkan prioritas perhatian
masyarakat dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Perhatian atas pangan
lebih mengemuka semenjak diadakannya Worlds Food Summit oleh FAO (Food and
Agriculture Organization) pada tahun 1974, tetapi masih kurang bisa diwujudkan. Kemudian
pada tahun 1996 di Roma dalam Declaration on World Food Security, FAO baru memberikan
tekanan lebih besar mengenai ketahanan pangan bagi setiap orang dan untuk melanjutkan
upaya menghilangkan kelaparan di seluruh dunia. Sasaran jangka menengah yang ingin
dicapai adalah menurunkan jumlah orang yang kekurangan gizi menjadi setengahnya paling
lambat 2015 (Sukandar, dkk, 2001).
Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensial, yaitu berkaitan antar mata rantai
sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi. Oleh karena
itu, indikator ketahanan pangan rumah tangga dapat dicerminkankan melalui tingkat
kerusakan tanaman, tingkat produksi, ketersediaan pangan, pengeluaran pangan, jumlah dan
mutu konsumsi pangan serta status gizi (Suhardjo, 1996). Konsumsi pangan adalah salah satu
subsistem ketahanan pangan yang erat kaitannnya dengan tingkat keadaan gizi (status gizi).

Hal ini menyebabkan gizi merupakan faklor penting dalam menentukan tingkat kesehatan
dan kesejahteraan manusia. Keadaan gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat
keseimbangan perkembangan fisik dan mental (Departemen Pertanian Republik Indonesia,
2002).
Menurut Siswono (2002), status gizi seseorang sangat dipengaruhi oleh banyak faktor antara
lain tingkat pendapatan, pengetahuan gizi dan budaya setempat. Tingginya pendapatan tidak
diimbangi dengan pengetahuan gizi yang cukup, akan menyebabkan seseorang menjadi
konsumtif dalam pola makan sehari hari. Dapat dipastikan bahwa pemilihan suatu bahan
makanan lebih didasarkan pada pertimbangan selera ketimbang gizi. Sedangkan menurut
Idrus dan Kusnanto (1990), keadaan gizi adalah akibat dari keseimbangan antara konsumsi
dan penyerapan zat gizi serta penggunaan zat gizi tersebut. Sedangkan status gizi adalah
ekspresi dari keseimbangan dalam bentuk variabel variabel tertentu status gizi adalah
keadaan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan makanan oleh tubuh. Status gizi
merupakan keadaan seseorang sebagai refleksi dari konsumsi pangan serta penggunaannya
oleh tubuh. Ketidakseimbangan antara intake dengan kebutuhan mengakibatkan terjadinya
malnutrisi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari pembahasan makalah ini adalah :
1. Ketahanan pangan ialah kondisi dimana setiap individu mampu secara fisik dan
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pangan yang cukup, aman dan bergizi bagi
kehidupan yang aktif dan sehat. Pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara
merata dengan harga yang terjangkau juga tidak boleh dilupakan.
2. Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta
keseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Subsistem ini berfungsi menjamin
pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk, baik dari sisi jumlah, kualitas,
keragaman maupun keamanannya.
3. Konsumsi pangan adalah salah satu subsistem ketahanan pangan yang erat kaitannnya
dengan tingkat keadaan gizi (status gizi). Hal ini menyebabkan gizi merupakan faklor
penting dalam menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia.

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia
mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh
pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan oleh
Undang Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Dalam UU tersebut
disebutkan Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian
dan pengawasan, sementara masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan
penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang
berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi,
beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli mereka.

Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai


peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya
penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan
yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan
efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan,
mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan dan
mengembangkan lahan produktif. Di PP tersebut juga disebutkan dalam rangka
pemerataan ketersediaan pangan ke seluruh wilayah dilakukan distribusi pangan
melalui upaya pengembangan sistem distribusi pangan secara efisien, dapat
mempertahankan keamanan, mutu dan gizi pangan serta menjamin keamanan
distribusi pangan.
Disamping itu, untuk meningkatkan ketahanan pangan dilakukan diversifikasi
pangan dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal
melalui peningkatan teknologi pengolahan dan produk pangan dan peningkatan
kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi anekaragam pangan dengan gizi
seimbang. PP Ketahanan Pangan juga menggarisbawahi untuk mewujudkan
ketahanan pangan dilakukan pengembangan sumber daya manusia yang meliputi
pendidikan dan pelatihan di bidang pangan, penyebarluasan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang pangan dan penyuluhan di bidang pangan. Di samping itu,
kerjasama internasional juga dilakukan dalam bidang produksi, perdagangan dan
distribusi pangan, cadangan pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah
pangan serta riset dan teknologi pangan.
Dari uraian di atas terlihat ketahanan pangan berdimensi sangat luas dan
melibatkan banyak sektor pembangunan. Keberhasilan pembangunan ketahanan
pangan sangat ditentukan tidak hanya oleh performa salah satu sektor saja
tetapi juga oleh sektor lainnya. Dengan demikian sinergi antar sektor, sinergi

pemerintah dan masyarakat (termasuk dunia usaha) merupakan kunci


keberhasilan pembangunan ketahanan pangan.
Menyadari hal tersebut di atas, Pemerintah pada tahun 2001 telah membentuk
Dewan Ketahanan Pangan ( DKP) diketuai oleh Presiden RI dan Menteri Pertanian
sebagai Ketua Harian DKP. DKP terdiri dari 13 Menteri termasuk Menteri Riset
dan Teknologi dan 2 Kepala LPND. Dalam pelaksanaan sehari-hari, DKP dibantu
oleh Badan Bimas Ketahanan Pangan Deptan, Tim Ahli Eselon I Menteri Terkait
(termasuk Staf Ahli Bidang Pangan KRT), Tim Teknis dan Pokja.
Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang ketahanan pangan pasal 9
menyebutkan: (1) penganekaragaman pangan diselenggarakan untuk meningkatkan
ketahanan pangan dengan memperhatikan sumber daya, kelembagaan, dan budaya
lokal, (2) penganekaragaman pangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat1
dilakukan dengan a. Meningkatkan keragaman pangan, b. Mengembangkan
teknologi pengolahan dan produk pertanian dan c. Meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk mengkonsumsi anekaragam pangan dengan prrinsip gizi
berimbang.
BAB II
PEMBAHASAN
Kondisi iklim yang ekstrim di berbagai belahan dunia baru-baru ini secara
langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi ketersediaan pangan.
Kekeringan yang berkepanjangan, kebakaran hutan, banjir serta bencana alam
lainnya di berbagai wilayah dunia terutama di sentra-sentra produksi pangan,
sangat mempengaruhi ketersediaan gandum dan tanaman bijian-bijian lainnya
yang tentu saja berdampak pada ketersediaan produk pangan tersebut untuk
marketing season 2010/2011.
Menurut FAO jumlah penduduk dunia yang menderita kelaparan pada tahun 2010
mencapai 925 juta orang. Situasi ini diperparah dengan semakin berkurangnya

investasi di sektor pertanian yang sudah berlangsung selama 20 tahun terakhir,


sementara sektor pertanian menyumbang 70% dari lapangan kerja baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Kekhawatiran akan makin menurunnya kualitas hidup masyarakat, bahaya
kelaparan, kekurangan gizi dan akibat-akibat negatif lain dari permasalahan
tersebut secara keseluruhan akan menghambat pencapaian goal pertama dari
Millennium Development Goals (MDGs) yakni eradication of poverty and extreme
hunger.
Bagi Indonesia, masalah ketahanan pangan sangatlah krusial. Pangan merupakan
basic human need yang tidak ada substitusinya. Indonesia memandang kebijakan
pertanian baik di tingkat nasional, regional dan global perlu ditata ulang.
Persoalan ketahanan pangan dan pembangunan pertanian harus kembali menjadi
fokus dari arus utama pembangunan nasional dan global. Oleh karena itu
Indonesia mengambil peran aktif dalam menggalang upaya bersama mewujudkan
ketahanan pangan global dan regional.
Upaya mengarusutamakan dimensi pembangunan pertanian, ketahanan pangan dan
pengentasan kemiskinan Indonesia selaku koordinator G-33 secara aktif
mengedepankan isu food security, rural development dan livelihood security
sebagai bagian dari hak negara berkembang untuk melindungi petani kecil dari
dampak negatif masuknya produk-produk pertanian murah dan bersubsidi dari
negara maju, melalui mekanisme special products dan special safeguard
mechanism.
Sebagai negara dengan komitmen yang tinggi untuk menjaga stabilitas ketahanan
pangan global, Indonesia juga telah menandatangani Letter of Intent (LoI)

dengan FAO pada bulan Maret 2009 sebagai bentuk dukungan Indonesia
terhadap berbagai program peningkatan ketahanan pangan global dan
pembangunan pertanian negara-negara berkembang lainnya. terutama dalam
kerangka Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation), kerjasama
teknis negara-negara berkembang (KTNB/TCDC) dan pencapaian goal dari MDGs.
Penandatanganan LoI ini juga diharapkan akan semakin memperkuat peran
Indonesia dalam membantu peningkatan pembangunan pertanian di negara-negara
berkembang, terutama di negara-negara Asia Pasifik dan Afrika yang telah
berjalan sejak tahun 1980.
Sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengutarakan ada
sembilan masalah terkait ketahanan pangan yang dihadapi oleh Indonesia seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia menjadi 235-240 juta
pascasensus penduduk 2010.
Permasalahan itu diantaranya sinergi dan sistem yang terintegrasi diperlukan
untuk dapat mengelola keamanan makanan, energi dan air sehingga tidak
menimbulkan masalah di masa kini dan mendatang. Selain itu upaya untuk
meningkatkan sejumlah komoditas unggulan pertanian --beras, jagung, kedelai,
gula dan daging sapi-- menuju swasembada dan swasembada berkelanjutan. Juga
sistem cadangan dan distribusi serta rantai pasokan dan logistik nasional yang
efisien.
Masalah lainnya adalah kekurangan produksi di sejumlah daerah. Dan terpenting
adalah stabilitas harga. Sementara koordinasi antara peneliti dan kalangan
industri sehingga permasalahan lainnya yaitu penganekaragaman konsumsi pangan
serta mekanisme pasar pasokan pangan.

ARAH PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN 2013


Memasuki tahun 2013 kekhawatiran semakin parahnya krisis pangan menghantui
sebagian besar negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Organisasi Pangan
dan Pertanian (FAO) PBB mengingatkan krisis pangan seperti yang terjadi pada
2007/2008 bisa berulang pada tahun 2013. Untuk mencegah krisis pangan di
Indonesia, ketahanan pangan mutlak diperkuat. Beberapa komoditas seperti
kedelai dan daging tergolong rawan.
Menurut FAO, krisis pangan terjadi karena komoditas pangan tidak terkelola
dengan baik. Setiap negara mengupayakan penyelamatan sendiri. Negara-negara
yang dikenal pengekspor beras seperti Thailand dan Vietnam mulai mengamankan
terlebih dahulu kebutuhan dalam negeri. Mencermati fenomena ini, pemerintah
Indonesia patut melakukan peningkatan produksi pangan secara berkelanjutan.
Kemandirian pangan dan surplus produksi beras sebanyak 10 juta ton tahun 2014
harus dicapai.
Belum Mantap
Pemerintah harus mendorong masyarakat untuk semakin memahami dan
memaknai pentingnya ketahanan pangan dalam pembangunan ekonomi nasional,
meskipun pemerintah kerap mengklaim Indonesia telah berhasil mencapai
swasembada pada beberapa komoditas pangan tertentu. Namun harus diakui
pencapaian swasembada belum mantap karena amat riskan digoyang krisis
ekonomi.
Untuk itu setidaknya ada lima masalah mendasar yang menjadi alasan penting
menentukan arah pembangunan ketahanan pangan 2013. Yaitu: Pertama, pangan
adalah bagian dari basic human need yang tidak ada substitusinya. Kedua,
pertumbuhan penduduk yang masih tinggi, disadari atau tidak, mendorong
terjadinya peningkatan kebutuhan terhadap pangan (growing demand). Selain itu,
peningkatan jumlah the middle class yang berhilir pada peningkatan konsumsi

pangan yang lebih banyak. Ketiga, kerusakan lingkungan yang diakibatkan antara
lain oleh climate change yang sudah mengganggu produksi dan produktivitas
pangan nasional. Keempat, kompetisi antara sumber energi (bio fuel) dan sumber
pangan yang dapat mengganggu suplai pangan. Kelima, pentingnya kemandirian
pangan berkelanjutan serta masih adanya kerentanan dan kerawanan (baca
krisis) pangan di berbagai daerah.
Kelima hal mendasar itu mengindikasikan pentingnya sinergi antara pemerintah
pusat, daerah dan pelaku usaha untuk peningkatan produksi komoditas pangan.
Jika hanya mengandalkan peningkatan produksi untuk pencapaian surplus beras
sebanyak 10 juta ton, setidaknya sektor pertanian membutuhkan tambahan 2
juta hektare (ha) lahan baru. Namun pencetakan sawah baru untuk
mengembangkan tanaman pangan dan menjamin ketahanan pangan di masa depan
adalah pekerjaan yang relatif sulit dan membutuhkan biaya besar.
Saat ini kondisi lahan pertanian, termasuk persawahan, sangat mengkhawatirkan
karena terus dikonversi atau beralih fungsi menjadi nonpertanian, seperti
permukiman, perdagangan, industri, dan jalan. Berkurangnya lahan sudah pasti
akan berpengaruh pada aktivitas sektor pertanian dan berkorelasi positif pada
defisit kebutuhan tenaga kerja. Yang dapat melahirkan lebih banyak lagi
pengangguran karena lahan pertanian semakin sempit yang memaksa pelaku
sektor ini meninggalkan pertanian.
Di setiap provinsi belakangan ini penggunaan kenderaan bermotor roda empat
yang jumlahnya meningkat secara signifikan membutuhkan penambahan jalan
untuk kelancaran lalu lintas. Setiap membuka jalan baru, akan ada konversi lahan
berkali lipat. Pembangunan jalan tol misalnya yang memakan lahan sawah akan
diikuti pembangunan lainnya di sepanjang jalan tol, antara lain untuk permukiman,
pusat perdagangan dan perkantoran. Selain itu, kepemilikan lahan sawah juga
sangat kecil, rata-rata di bawah 0,5 ha per petani. Akibatnya, sampai kapan pun
tidak akan membuat petani sejahtera. Bahkan, kondisi ini memacu penjualan lahan

sawah untuk keperluan nonpertanian. Lahan pertanian yang dikonversi


diperkirakan mencapai 100.000 ha per tahun. Meski pemerintah dan DPR sudah
mengesahkan Undang-Undang tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan, namun penerapannya tidak mudah. Tata ruang di daerah yang
sering berubah-ubah dan tidak konsisten berdampak pada pembangunan sektor
pertanian.
Di sisi lain, petani mewariskan lahan kepada anak-anaknya dalan luasan yang
semakin kecil sehingga tidak efisien, yang akhirnya dijual karena tidak
menguntungkan. Pemerintah patut memikirkan solusi agar keluarga petani tidak
membagi-bagi lahan tetapi membagi penghasilan.
Upaya penambahan lahan untuk pencetakan sawah baru guna mengatasi laju
konversi lahan yang kian masif belakangan ini patut menjadi program kerja
pemerintah. Data yang tersedia di BPN (Badan Pertanahan Nasional) lahan tidur
yang tersedia saat ini di seluruh Tanah Air ada sekitar 7,3 juta ha yang bisa
dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian. Kementerian Pertanian dapat juga
bekerja sama dengan PT Perhutani untuk memanfaatkan lahan di bawah kendali
Perhutani untuk penguatan di sektor hilir. Di Pulau Jawa saja BUMN ini memiliki
lahan seluas 2,4 juta ha. Jika pemerintah bisa memanfaatkan paling tidak
500.000 ha tanaman hutan milik Perhutani untuk dikombinasikan dengan tanaman
pangan akan dapat memperkuat ketahanan pangan nasional
Kinerja Semakin Baik
Kita menyayangkan kenyataan masih sempitnya perspektif para kepala daerah di
sejumlah kabupaten/kota terkait dengan ketahanan pangan. Mereka belum
memaknai ketahanan pangan untuk kepentingan nasional. Namun baru sekedar
untuk kepentingan daerahnya semata sehingga penganggaran biaya program kerja
penguatan ketahanan pangan sering dalam jumlah yang relatif kecil.

Sebagai negara agraris yang dikenal dengan jargon gemah ripah loh jinawi,
Indonesia sesungguhnya menjanjikan surplus produksi beras dan pangan lainnya
yang dapat diandalkan untuk penguatan ketahanan pangan berbasis kedaulatan
pangan. Sejak ratusan tahun lalu petani di negeri ini sudah mengenal pertanian
padi dan membangun lumbung padi untuk menjaga ketersediaan pangan manakala
ada bencana. Dengan program kerja Badan Ketahanan Pangan Kementan yang
belakangan ini menunjukkan kinerja yang semakin baik, kini lumbung pangan tidak
hanya ada di Pulau Jawa, di luar Jawa pun sudah banyak dibangun lumbung pangan
guna mengawal ketahanan pangan berkelanjutan dan mencegah kerentanan dan
kerawanan pangan di berbagai daerah.
Sayangnya pembangunan lumbung pangan yang sudah banyak menyedot anggaran
belanja negara belum berfungsi dengan baik karena petani kini tidak terbiasa lagi
menyimpan hasil panennya di lumbung yang dibangun pemerintah. Padi (beras)
sebagai makanan pokok tingkat konsumsinya ditengah warga masih tetap tinggi
sehingga tidak sempat lagi disimpan dalam lumbung. Sebaliknya, pangan berbasis
umbi-umbian belum dapat berkembang secara optimal baik dari segi budi dayanya
maupun teknologi pengolahan untuk mengatrol citranya di tengah masyarakat.
Pembudidayaan tanaman pangan masih terkonsentrasi pada beberapa komoditas
strategis dan umbi-umbian kerap dianaktirikan. Lima pangan strategis tetap
berpusat pada beras, kedelai, jagung, gula dan daging, diikuti dengan laju
konsumsi produk olahan gandum yang meningkat secara signifikan sehingga harus
diimpor dalam jumlah banyak setiap tahun. Gandum sebagai pangan subtropis kini
semakin menjadi tren konsumsi warga Indonesia.
Untuk memperkuat arah pembangunan ketahanan pangan 2013, wajib hukumnya
pemerintah kembali memperhatikan berbagai pangan potensial wilayah sehingga
kita bisa lebih berdaulat di bidang pangan. Pemerintah juga harus melakukan
perubahan paradigma pembangunan pertanian dari orientasi produksi ke orientasi
petani. Sudah lama petani dibelenggu oleh pemerintah - mulai Orde Lama hingga

Orde Reformasi - hanya sekedar obyek kebijakan yang perumusnya kerap belum
mengenal dan memahami seluk beluk pertanian. Sekedar menyebut contoh
kreativitas petani dikebiri melalui undang-undang, hak dan kedaulatan petani
tergerus atas sumber daya produktif. Yang paling menyedihkan adalah petani
dibiarkan bersaing di pasar bebas tanpa pendampingan.
Solusi instan tidak dikenal untuk pembangunan pertanian. Guna mengawal
penguatan ketahanan pangan dan mengingat krisis pangan akan bisa berulang
pada tahun-tahun mendatang maka perencanaan pembangunan pertanian
membutuhkan political will pemerintah. Tidak sekedar wacana dalam pidatopidato politik partai tetapi harus ada aksi nyata yang membutuhkan kerja keras
dan program kerja yang masuk akal dan pro petani. Pahlawan ketahanan pangan
ini harus ditempatkan sebagai aktor utama pembangunan pertanian yang akan
menyelamatkan kita dari krisis pangan di masa datang.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Istilah ketahanan pangan dalam kebijaksanaan dunia, pertama kali digunakan
pada tahun 1971 oleh PBB, tetapi Inodonesia secara formal baru mengadopsi
ketahanan pangan dalam kebijakan dan program pada tahun 1992, yang kemudian
definisi ketahanan pangan pada undang-undang pangan no:7 ada pada tahun 1996.
Ketahanan pangan merupakan basis utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi,
ketahanan nasional yang berkelanjutan. Ketahanan pangan merupakan sinergi dan
interaksi utama dari subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi, dimana
dalam mencapai ketahanan pangan dapat dilakukan alternatif pilihan apakah

swasembada atau kecukupan. Dalam pencapaian swasembada perlu difokuskan


pada terwujudnya ketahanan pangan
Dalam pengembangannya, teknologi pangan diharapkan mampu memfasilitasi
program pasca panen dan pengolahan hasil pertanian, serta dapat secara efektif
mendukung kebijakan strategi ketahanan pangan.
Mengacu pada permasalahan dan program pengolahan dan pemasaran hasil
pertanian serta kebijakan strategi ketahanan pangan (ketersediaan, distribusi
dan konsumsi), dan keberhasilan swasta (kasus Garudafood) dan daerah (kasus
Pemerintah Daerah Gorontalo) dalam pengembangan agribisnis jagung dapat
dirumuskan kebijakan strategis pengembangan teknologi pangan. Kebijakan
strategis tersebut mencakup aspek pengembangan kualifikasi teknologi;
keterpaduan pengolahan dan pemasaran; relevansi dan efektivitas teknologi;
pemberian otonomi luas kepada daerah; pelibatan swasta/pemilihan komoditas
prospektif berbasis pemberdayaan/dan pengembangan jaringan kerja secara
luas; pengembangan program kemitraan berawal/berbasis pemasaran; dan
pengembangan program Primatani berbasis industri pengolahan.
Saran
Adapun saran yang bisa di berikan adalah sebaiknya pemerintah lebih
memperhatikan masalah ketahanan pangan yang ada di Indonesia. Karena masih
banyak masyarakat yang belum memahami bagaimana cara atau strategi yang
baik guna menjaga ketahanan pangan mereka.

Ketahanan pangan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pertumbuhan produksi pangan per kapita selalu meningkat sejak tahun 1961. Sumber: World
Resources Institute.

Kuburan masal anak-anak yang meninggal karena kelaparan di Afrika Timur

Peta kerawanan pangan ekstrim.[1]


Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk
mengaksesnya. Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika penghuninya
tidak berada dalam kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan.[2] Ketahanan pangan
merupakan ukuran kelentingan terhadap gangguan di masa depan atau ketiadaan suplai
pangan penting akibat berbagai faktor seperti kekeringan, gangguan perkapalan, kelangkaan
bahan bakar, ketidak stabilan ekonomi, peperangan, dan sebagainya. Penilaian ketahanan
pangan dibagi menjadi keswadayaan atau keswasembadaan perorangan (self-sufficiency) dan
ketergantungan eksternal yang membagi serangkaian faktor risiko. Meski berbagai negara
sangat menginginkan keswadayaan secara perorangan untuk menghindari risiko kegagalan
transportasi, namun hal ini sulit dicapai di negara maju karena profesi masyarakat yang sudah
sangat beragam dan tingginya biaya produksi bahan pangan jika tidak diindustrialisasikan.[3]
Kebalikannya, keswadayaan perorangan yang tinggi tanpa perekonomian yang memadai akan
membuat suatu negara memiliki kerawanan produksi.
World Health Organization mendefinisikan tiga komponen utama ketahanan pangan, yaitu
ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan adalah
kemampuan memiliki sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasar. Akses pangan
adalah kemampuan memiliki sumber daya, secara ekonomi maupun fisik, untuk mendapatkan
bahan pangan bernutrisi. Pemanfaatan pangan adalah kemampuan dalam memanfaatkan
bahan pangan dengan benar dan tepat secara proporsional. FAO menambahkan komponen
keempat, yaitu kestabilan dari ketiga komponen tersebut dalam kurun waktu yang panjang.[2]
Kebijakan sebuah negara dapat mempengaruhi akses masyarakat kepada bahan pangan,
seperti yang terjadi di India. Majelis tinggi India menyetujui rencana ambisius untuk
memberikan subsidi bagi dua pertiga populasi negara itu. Rancangan Undang-Undang
Ketahanan Pangan ini mengusulkan menjadikan pangan sebagai hak warga negara dan akan
memberikan lima kilogram bahan pangan berharga murah per bulan untuk 800 juta penduduk
miskinnya.[4]

Daftar isi

1 Sejarah

2 Pilar ketahanan pangan


o 2.1 Ketersediaan
o 2.2 Akses
o 2.3 Pemanfaatan
o 2.4 Stabilitas

3 Tantangan untuk mencapai ketahanan pangan


o 3.1 Degradasi lahan
o 3.2 Hama dan penyakit
o 3.3 Krisis air global
o 3.4 Perebutan lahan
o 3.5 Perubahan iklim

4 Lihat pula

5 Referensi

6 Bahan bacaan terkait

7 Pranala luar

Sejarah
Ketahanan pangan adalah sebuah kondisi yang terkait dengan ketersediaan bahan pangan
secara berkelanjutan. Kekhawatiran terhadap ketahanan pangan telah ada dalam sejarah.
Sejak 10 ribu tahun yang lalu lumbung telah digunakan di China dengan kekuasaan
penggunaan secara terpusat di peradaban di China Kuno dan Mesir Kuno. Mereka
melepaskan suplai pangan di saat terjadinya kelaparan. Namun ketahanan pangan hanya
dipahami pada tingkat nasional, dengan definisi bahwa negara akan aman secara pangan jika
produksi pangan meningkat untuk memenuhi jumlah permintaan dan kestabilan harga.
Definisi baru mengenai ketahanan pangan dibuka pada tahun 1966 di World Food Summit
yang menekankan ketahanan pangan dalam konteks perorangan, bukan negara.[5][6]

Pilar ketahanan pangan


Ketersediaan

Kambing dapat menjadi sebuah solusi permasalahan ketahanan pangan global karena mudah
dipelihara
Ketersediaan pangan berhubungan dengan suplai pangan melalui produksi, distribusi, dan
pertukaran.[7] Produksi pangan ditentukan oleh berbagai jenis faktor, termasuk kepemilikan
lahan dan penggunaannya; jenis dan manajemen tanah; pemilihan, pemuliaan, dan
manajemen tanaman pertanian; pemuliaan dan manajemen hewan ternak; dan pemanenan.[8]
Produksi tanaman pertanian dapat dipengaruhi oleh perubahan temperatur dan curah hujan.[7]
Pemanfaatan lahan, air, dan energi untuk menumbuhkan bahan pangan seringkali
berkompetisi dengan kebutuhan lain.[9] Pemanfaatan lahan untuk pertanian dapat berubah
menjadi pemukiman atau hilang akibat desertifikasi, salinisasi, dan erosi tanah karena praktek
pertanian yang tidak lestari.[9]
Produksi tanaman pertanian bukanlah suatu kebutuhan yang mutlak bagi suatu negara untuk
mencapai ketahanan pangan. Jepang dan Singapura menjadi contoh bagaimana sebuah negara
yang tidak memiliki sumber daya alam untuk memproduksi bahan pangan namun mampu
mencapai ketahanan pangan.[10][11]
Distribusi pangan melibatkan penyimpanan, pemrosesan, transportasi, pengemasan, dan
pemasaran bahan pangan.[8] Infrastruktur rantai pasokan dan teknologi penyimpanan pangan
juga dapat mempengaruhi jumlah bahan pangan yang hilang selama distribusi.[9] Infrastruktur
transportasi yang tidak memadai dapat menyebabkan peningkatan harga hingga ke pasar
global.[9] Produksi pangan per kapita dunia sudah melebihi konsumsi per kapita, namun di
berbagai tempat masih ditemukan kerawanan pangan karena distribusi bahan pangan telah
menjadi penghalang utama dalam mencapai ketahanan pangan.[11]

Akses
Akses terhadap bahan pangan mengacu kepada kemampuan membeli dan besarnya alokasi
bahan pangan, juga faktor selera pada suatu individu dan rumah tangga.[7] PBB menyatakan
bahwa penyebab kelaparan dan malnutrisi seringkali bukan disebabkan oleh kelangkaan
bahan pangan namun ketidakmampuan mengakses bahan pangan karena kemiskinan.[12]
Kemiskinan membatasi akses terhadap bahan pangan dan juga meningkatkan kerentanan
suatu individu atau rumah tangga terhadap peningkatan harga bahan pangan.[13] Kemampuan
akses bergantung pada besarnya pendapatan suatu rumah tangga untuk membeli bahan
pangan, atau kepemilikan lahan untuk menumbuhkan makanan untuk dirinya sendiri.[14]
Rumah tangga dengan sumber daya yang cukup dapat mengatasi ketidakstabilan panen dan
kelangkaan pangan setempat serta mampu mempertahankan akses kepada bahan pangan.[11]
Terdapat dua perbedaan mengenai akses kepada bahan pangan. (1) Akses langsung, yaitu
rumah tangga memproduksi bahan pangan sendiri, (2) akses ekonomi, yaitu rumah tangga
membeli bahan pangan yang diproduksi di tempat lain.[8] Lokasi dapat mempengaruhi akses
kepada bahan pangan dan jenis akses yang digunakan pada rumah tangga tersebut.[14] Meski
demikian, kemampuan akses kepada suatu bahan pangan tidak selalu menyebabkan seseorang
membeli bahan pangan tersebut karena ada faktor selera dan budaya.[13] Demografi dan
tingkat edukasi suatu anggota rumah tangga juga gender menentukan keinginan memiih
bahan pangan yang diinginkannya sehingga juga mempengaruhi jenis pangan yang akan
dibeli.[14] USDA menambahkan bahwa akses kepada bahan pangan harus tersedia dengan cara
yang dibenarkan oleh masyarakat sehingga makanan tidak didapatkan dengan cara

memungut, mencuri, atau bahkan mengambil dari cadangan makanan darurat ketika tidak
sedang dalam kondisi darurat.[15]

Pemanfaatan
Ketika bahan pangan sudah didapatkan, maka berbagai faktor mempengaruhi jumlah dan
kualitas pangan yang dijangkau oleh anggota keluarga. Bahan pangan yang dimakan harus
aman dan memenuhi kebutuhan fisiologis suatu individu.[13] Keamanan pangan
mempengaruhi pemanfaatan pangan dan dapat dipengaruhi oleh cara penyiapan, pemrosesan,
dan kemampuan memasak di suatu komunitas atau rumah tangga.[7][8] Akses kepada fasilitas
kesehatan juga mempengaruhi pemanfaatan pangan karena kesehatan suatu individu
mempengaruhi bagaimana suatu makanan dicerna.[8] Misal keberadaan parasit di dalam usus
dapat mengurangi kemampuan tubuh mendapatkan nutrisi tertentu sehingga mengurangi
kualitas pemanfaatan pangan oleh individu.[11] Kualitas sanitasi juga mempengaruhi
keberadaan dan persebaran penyakit yang dapat mempengaruhi pemanfaatan pangan[8]
sehingga edukasi mengenai nutrisi dan penyiapan bahan pangan dapat mempengaruhi
kualitas pemanfaatan pangan.[11]

Stabilitas
Stabiitas pangan mengacu pada kemampuan suatu individu dalam mendapatkan bahan
pangan sepanjang waktu tertentu. Kerawanan pangan dapat berlangsung secara transisi,
musiman, ataupun kronis (permanen).[8] Pada ketahanan pangan transisi, pangan
kemungkinan tidak tersedia pada suatu periode waktu tertentu.[13] Bencana alam dan
kekeringan mampu menyebabkan kegagalan panen dan mempengaruhi ketersediaan pangan
pada tingkat produksi.[13][8] Konflik sipil juga dapat mempengaruhi akses kepada bahan
pangan.[13] Ketidakstabilan di pasar menyebabkan peningkatan harga pangan sehingga juga
menyebabkan kerawanan pangan. Faktor lain misalnya hilangnya tenaga kerja atau
produktivitas yang disebabkan oleh wabah penyakit. Musim tanam mempengaruhi stabilitas
secara musiman karena bahan pangan hanya ada pada musim tertentu saja.[8] Kerawanan
pangan permanen atau kronis bersifat jangka panjang dan persisten.[13]

Tantangan untuk mencapai ketahanan pangan

Erosi tanah; angin meniupkan lapisan tanah atas yang kering

Degradasi lahan
Lihat pula: Desertifikasi

Pertanian intensif mendorong terjadinya penurunan kesuburan tanah dan penurunan hasil.[16]
Diperkirakan 40% dari lahan pertanian di dunia terdegradasi secara serius.[17] Di Afrika, jika
kecenderungan degradasi tanah terus terjadi, maka benua itu hanya mampu memberi makan
seperempat penduduknya saja pada tahun 2025.[18]

Hama dan penyakit

Karat batang pada gandum


hama dan penyakit mampu mempengaruhi produksi budi daya tanaman dan peternakan
sehingga memiliki dampak bagi ketersediaan bahan pangan. Contoh penyakit tanaman Ug99,
salah satu tipe penyakit karat batang pada gandum dapat menyebabkan kehilangan hasil
pertanian hingga 100%. Penyakit ini telah ada di berbagai negara di Afrika dan Timur
Tengah. Terganggunya produksi pangan di wilayah ini diperkirakan mampu mempengaruhi
ketahanan pangan global.[19][20][21]
Keanekaragaman genetika dari kerabat liar gandum dapat digunakan untuk memperbarui
varietas modern sehingga lebih tahan terhadap karat batang. Gandum liar ini dapat diseleksi
di habitat aslinya untuk mencari varietas yang tahan karat, lalu informasi genetikanya
dipelajari. Terakhir varietas modern dan varietas liar disilangkan dengan pemuliaan tanaman
modern untuk memindahkan gen dari varietas liar ke varietas modern.[22][23]

Krisis air global

Kanal irigasi telah menjadikan kawasan padang pasir yang kering di Mesir menjadi lahan
pertanian
Berbagai negara di dunia telah melakukan importasi gandum yang disebabkan oleh terjadinya
defisit air,[24] dan kemungkinan akan terjadi pada negara besar seperti China dan India.[25]
Tinggi muka air tanah terus menurun di beberapa negara dikarenakan pemompaan yang
berlebihan. China dan India telah mengalaminya, dan negara tetangga mereka (Pakistan,
Afghanistan, dan Iran) telah terpengaruh hal tersebut. Hal ini akan memicu kelangkaan air

dan menurunkan produksi tanaman pangan.[26] Ketika produksi tanaman pangan menurun,
harga akan meningkat karena populasi terus bertambah. Pakistan saat ini masih mampu
memenuhi kebutuhan pangan di dalam negerinya, namun dengan peningkatan populasi 4 juta
jiwa per tahun, Pakistan kemungkinan akan melirik pasar dunia dalam memenuhi kebutuhan
pangannya, sama seperti negara lainnya yang telah mengalami defisit air seperti Afghanistan,
Ajlazair, Mesir, Iran, Meksiko, dan Pakistan.[27][28]
Secara regional, kelangkaan air di Afrika adalah yang terbesar dibandingkan negara lainnya
di dunia. Dari 800 juta jiwa, 300 juta penduduk Afrika telah hidup di lingkungan dengan stres
air.[29] Karena sebagian besar penduduk Afrika masih bergantung dengan gaya hidup berbasis
pertanian dan 80-90% penduduk desa memproduksi pangan mereka sendiri, kelangkaan air
adalah sama dengan hilangnya ketahanan pangan.[30]
Investasi jutaan dolar yang dimulai pada tahun 1990an oleh Bank Dunia telah mereklamasi
padang pasir dan mengubah lembah Ica yang kering di Peru menjadi pensuplai asparagus
dunia. Namun tinggi muka air tanah terus menurun karena digunakan sebagai irigasi secara
terus menerus. Sebuah laporan pada tahun 2010 menyimpulkan bahwa industri ini tidak
bersifat lestari.[31] Mengubah arah aliran air sungai Ica ke lahan asparagus juga telah
menyebabkan kelangkaan air bagi masyarakat pribumi yang hidup sebagai penggembala
hewan ternak.[32]

Perebutan lahan
Kepemilikan lahan lintas batas negara semakin meningkat. Perusahaan Korea Utara Daewoo
Logistics telah mengamankan satu bidang lahan yang luas di Madagascar untuk
mebudidayakan jagung dan tanaman pertanian lainnya untuk produksi biofuel. Libya telah
mengamankan 250 ribu hektare lahan di Ukraina dan sebagai gantinya Ukraina mendapatkan
akses ke sumber gas alam di Libya. China telah memulai eksplorasi lahan di sejumlah tempat
di Asia Tenggara. Negara di semenanjung Arab telah mencari lahan di Sudan, Ethiopia,
Ukraina, Kazakhstan, Pakistan, Kamboja, dan Thailand. Qatar berencana menyewa lahan di
sepanjang panyai di Kenya untuk menumbuhkan sayuran dan buah, dan sebagai gantinya
akan membangun pelabuhan besar dekat Lamu, pulau di samudra Hindia yang menjadi tujuan
wisata.[33][34][35]

Perubahan iklim
Fenomena cuaca yang ekstrim seperti kekeringan dan banjir diperkirakan akan meningkat
karena perubahan iklim terjadi.[36] Kejadian ini akan memiliki dampak di sektor pertanian.
Diperkirakan pada tahun 2040, hampir seluruh kawasan sungai Nil akan menjadi padang
pasir di mana aktivitas budi daya tidak dimungkinkan karena keterbatasan air.[37] Dampak dari
cuaca ekstrem mencakup perubahan produktivitas, gaya hidup, pendapatan ekonomi,
infrastruktur, dan pasar. Ketahanan pangan di masa depan akan terkait dengan kemampuan
adaptasi budi daya bercocok tanam masyarakat terhadap perubahan iklim. Di Honduras,
perempuan Garifuna membantuk meningkatkan ketahanan pangan lokal dengan menanam
tanaman umbi tradisional sambil membangun metode konservasi tanah, melakukan pelatihan
pertanian organik dan menciptakan pasar petani Garifuna. Enam belas kota telah bekerja
sama membangun bank benih dan peralatan pertanian. Upaya untuk membudidayakan spesies
pohon buah liar di sepanjang pantai membantu mencegah erosi tanah.[38]

Diperkirakan 2.4 miliar penduduk hidup di daerah tangkapan air hujan di sekitar Himalaya.[39]
Negara di sekitar Himalaya (India, Pakistan, China, Afghanistan, Bangladesh, Myanmar, dan
Nepal) dapat mengalami banjir dan kekeringan pada dekade mendatang.[40] Bahkan di India,
sungan Ganga menjadi sumber air minum dan irigasi bagi 500 juta jiwa.[41][42] Sungai yang
bersumber dari gletser juga akan terpengaruh.[43] Kenaikan permukaan laut diperkirakan akan
meningkat seiring meningkatnya temperatur bumi, sehingga akan mengurangi sejumlah lahan
yang dapat digunakan untuk pertanian.[44][45]
Semua dampak dari perubahan iklim ini berpotensi mengurangi hasil pertanian dan
peningkatan harga pangan akan terjadi. Diperkirakan setiap peningkatan 2.5% harga pangan,
jumlah manusia yang kelaparan akan meningkat 1%.[46] Berubahnya periode dan musim
tanam akan terjadi secara drastis dikarenakan perubahan temperatur dan kelembaban tanah.[47]

You might also like