You are on page 1of 31

Bab II

Landasan Teori

Di dalam thesis penelitian ini, terdapat beberapa landasan teori yang


digunakan sebagai penunjang. Teori tersebut diantaranya mengenai pengolahan
citra, feature extraction, normalisasi data, penyakit osteoarthritis, dan jaringan
syaraf tiruan backpropagation.

II. 1 Pengolahan Citra (Image Processing)


Pengolahan citra adalah suatu sistem dimana proses dilakukan dengan
masukan berupa citra dan menghasilkan citra pula dengan kualitas yang lebih
baik.
Terminologi yang berkaitan dengan pengolahan citra adalah computer
vision. Pada hakikatnya computer vision mencoba meniru cara kerja human vision
(sistem visual manusia). Human vision sesungguhnya sangat kompleks, dimana
manusia melihat objek dengan mata, lalu citra objek diteruskan ke otak untuk
diinterpretasi sehingga manusia mengerti objek apa yang tampak dalam matanya.
Computer vision merupakan proses otomatis yang mengintegrasikan sejumlah
besar proses untuk persepsi visual, seperti akuisisi citra, pengolahan citra,
klasifikasi, pengenalan (recognation), dan membuat keputusan.
Sesuai dengan perkembangan computer vision itu sendiri, pengolahan citra
mempunyai dua tujuan utama (Ahmad, 2005), yakni :
1. Memperbaiki kualitas citra, dimana citra yang dihasilkan dapat menampilkan
informasi secara jelas sehingga dapat diinterpretasikan oleh manusia.

2. Mengekstrasi informasi ciri yang menonjol pada suatu citra dimana hasilnya
adalah informasi citra yang bisa didapat manusia secara numerik atau dengan
kata lain komputer melakukan interpretasi terhadap informasi yang ada pada
citra melalui nilai-nilai data yang dapat dibedakan secara jelas.
Dalam perkembangan lebih lanjut dari ilmu komputasi yang menggunakan
pengolahan citra, pengenalan terhadap suatu penyakitlah yang lebih banyak
dimanfaatkan dan diaplikasikan. Hal ini dikarenakan pengenalan/pendeteksian
suatu penyakit akan membantu pengobatan agar lebih cepat ditangani, sehingga
menjauhkan kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosa maupun analisis yang
dilakukan secara manual oleh pihak medis.
Citra itu sendiri pengertiannya merupakan sebuah representasi informasi
dua dimensi yang diciptakan dengan melihat atau merasakan sebuah objek. Secara
matematis, citra merupakan fungsi kontinyu dari intensitas cahaya pada bidang 2D
(Purnomo & Puspitodjati, 2010).
Citra yang dimaksud dalam penelitian ini adalah citra X-ray bergambar
rangka tulang tangan yang setelah melalui proses scan akan berbentuk citra
digital. Citra digital akan didefinisikan sebagai fungsi f(x,y) dimana x menyatakan
nomor baris, y menyatakan nomor kolom, dan f menyatakan nilai warna pada
citra. Fungsi tersebut dapat digambarkan pula dalam bentuk matriks dengan
ukuran N baris x M kolom seperti di bawah ini

Dalam setiap citra digital, mengandung sejumlah elemen-elemen dasar


berupa kecerahan (brightness), kontras (contrast), kontur (contour), warna
(color), bentuk (shape), dan tekstur (texture). Citra digital inilah yang kemudian
akan dipergunakan sebagai data masukan untuk mengukur tingkat keparahan
penyakit osteoathritis dengan elemen dasar yang dipilih pada penelitian ini adalah
dari tingkat intensitas warna dan tekstur .
II.1.1 Konversi Warna RGB ke Greyscale
Sistem pengolahan citra yang pertama akan dilakukan di dalam penelitian
ini adalah mengkonversi warna citra true color (24 bit) pada X-ray menjadi
greyscale (8 bit). Untuk mendapatkan nilai greyscale, setiap piksel pada citra yang
terdiri atas nilai R (Red), G (Green), B (Blue) akan dirata-rata sehingga akan
menghasilkan nilai keabuan berinterval 0 s/d 255. Hasil dari konversi warna dapat
dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 1. (a) Citra X-ray 24 bit hasil Scan; (b) Citra X-ray 8 bit hasil
konversi

II.1.2 Thresholding
Thresholding merupakan salah satu proses pengolahan citra yang
digunakan untuk mengelompokkan piksel-piksel dalam batas intensitas tertentu.
Selain itu, thresholding juga berfungsi untuk memisahkan bagian citra yang sesuai

dengan objek (foreground) dan latar belakangnya (background), serta mengubah


citra menjadi citra biner (binerisasi) agar mempermudah proses selanjutnya
(Ahmad, 2005).
Di dalam penelitian ini, untuk menentukan nilai threshold diperlukan
pembelajaran berupa pengetahuan sifat-sifat dari masing-masing citra yang akan
diproses yaitu dengan melakukan try and error berulang hingga mendapatkan
nilai threshold yang kurang lebih cocok untuk semua citra (Nugroho, 2005).

ab
Gambar 2. (a)Citra X-ray Greyscale; (b)Citra X-ray Greyscale setelah
Thresholding
Gambar di atas merupakan salah satu contoh dari hasil penggunaan
thresholding (untuk gambar b) dengan threshold sebesar 80. Nilai threshold akan
menentukan batasan dari nilai-nilai piksel mana yang akan dikategorikan sebagai
background dan mana yang dikategorikan sebagai foreground. Piksel dengan nilai
lebih kecil dari threshold yang diberikan akan diset menjadi nol, sedangkan piksel
dengan nilai yang lebih besar sama dengan dari threshold akan bernilai tetap.

II. 2 Ekstraksi Fitur (Feature Extraction)


Ekstraksi fitur (feature extraction) atau juga dikenal dengan sebutan
indexing, merupakan langkah awal dalam melakukan suatu klasifikasi dan
interpretasi citra. Proses ini berkaitan dengan kuantisasi karakteristik citra ke
dalam sekelompok nilai fitur yang sesuai. Dengan adanya ekstraksi fitur,

10

informasi penting yang berada dalam citra tersebut dapat diambil dan disimpan ke
dalam vektor fitur (feature vector).
Fitur-fitur yang dapat diekstrak pada citra dapat berdasarkan elemen
warna, bentuk, tekstur, kecerahan, kontur, dan kontras dengan menggunakan
teknik ekstraksi fitur tertentu. Pemilihan teknik ekstraksi fitur akan mempengaruhi
bentuk nilai serta jumlah fitur yang didapat, sehingga diperlukan analisis
sebelumnya terhadap jenis data yang akan diekstrak serta elemen dasar apa yang
memang tepat untuk digunakan sebagai vektor fitur. Vektor fitur inilah yang
kemudian dapat juga disebut dengan descriptor atau index (Lu, 1963). Dan di
dalam penelitian ini, fitur yang diekstrak adalah berdasarkan intensitas warna dan
tekstur yang terkandung di dalam citra X-ray.
II.2.1 Ekstraksi Fitur Berdasarkan Intensitas Warna
Informasi warna sangat diperlukan sebagai pendeskripsi sebuah objek
dalam proses analisis suatu citra. Proses ekstraksi objek dalam suatu citra dapat
disederhanakan dengan mengambil intensitas warnanya.
Intensitas

atau

kecerahan

warna

pada

citra

didapat

dari

hasil

penyederhanaan ketiga komponen nilai warna RGB (24 bit) menjadi satu buah
komponen intensitas (8 bit). Warna yang didapat merupakan tingkat kecerahan
atau nilai keabuan yang umumnya berada diantara level 0-255. Semakin tinggi
levelnya, semakin cerah citra tersebut. Begitu pula sebaliknya. Semakin rendah
levelnya, semakin gelap citra tersebut. Intensitas atau kecerahan warna dari suatu
citra bisa dilihat melalui sebuah histogram.

11

II.2.1.1 Histogram Citra


Histogram citra merupakan grafik yang dapat digunakan untuk mengetahui
sebaran tingkat keabuan suatu citra (Purnomo & Muntasa, 2010). Histogram
dihitung dengan rumus berikut :

Dimana :
ni = jumlah piksel yang memiliki nilai keabuan i (i = 0 .....L-1)
L = maksimal interval warna
n = total piksel dalam citra
hi = probabilitas dari nilai keabuan i

Gambar 3. Histogram dengan tingkat keabuan 0 255


Gambar di atas merupakan bentuk dari histogram citra yang memiliki
tingkat keabuan (greylevel) sebanyak 256 warna.
Pada penelitian ini, tingkat keabuan yang digunakan kemudian akan
dikelompokkan lagi menjadi skala tertentu melalui proses kuantisasi.

12

II.2.1.2 Kuantisasi Citra


Kuantisasi citra merupakan bagian dari proses digitasi citra analog, yaitu
sebuah teknik pengelompokkan nilai tingkat keabuan citra kontinu ke dalam
beberapa level. Kuantisasi juga merupakan sebuah proses membagi skala keabuan
[0, L] menjadi G buah level yang dinyatakan dengan suatu harga bilangan bulat
(integer) :
G = 2m
Dimana :
G = derajat keabuan
m = bilangan bulat positif atau jumlah bit
Kuantisasi akan menentukan resolusi kecemerlangan dari suatu citra. Jika
skala yang digunakan terlalu kecil, resolusi citra akan semakin kecil dan hal
tersebut bisa menyebabkan citra terlihat buram, patah-patah atau tidak jelas.
Dalam resolusi kecemerlangan, kuantisasi dibagi menjadi tiga jenis :
a. Kuantisasi Uniform
Kuantisasi ini mempunyai interval pengelompokkan tingkat keabuan yang
sama (misalnya, intensitas 1 s/d 10 diberi nilai 1, intensitas 11 s/d 20
diberi nilai 2, dan seterusnya).
b. Kuantisasi Non-uniform
Kuantisasi yang lebih halus diperlukan terutama pada bagian citra yang
menggambarkan detail atau tekstur atau batas suatu daerah objek, dan
kuantisasi yang lebih kasar diberlakukan pada daerah yang sama pada
bagian objek

13

c. Kuantisasi Tapered
Bila ada daerah tingkat keabuan yang sering muncul sebaiknya
dikuantisasi secara lebih halus dan di luar batas daerah tersebut dapat
dikuantisasi secara lebih kasar.
II.2.2 Ekstraksi Fitur Berdasarkan Tekstur
Tekstur merupakan karakteristik intrinsik dari suatu citra yang terkait
dengan tingkat kekasaran (roughness), granularitas (granulation), dan keteraturan
(regularity) susunan struktural piksel. Tekstur dicirikan sebagai distribusi spasial
dari derajat keabuan di dalam sekumpulan piksel-piksel yang bertetangga.
Analisis tekstur penting dan berguna dalam bidang computer vision. Dari elemen
tekstur, sebuah citra akan dapat dimanfaatkan dalam proses segmentasi,
klasifikasi, maupun interpretasi citra.
Ekstraksi fitur citra berdasarkan tekstur pada orde pertama dapat
menggunakan metode statistik, yaitu dengan melihat statistik distribusi derajat
keabuan pada histogram citra tersebut (Wong & Zrimec, 2006). Dari nilai-nilai
pada histogram yang dihasilkan, dapat dihitung parameter ciri atau fitur antara
lain :
2

a. Variance ( )
Menunjukkan variasi elemen pada histogram dari suatu citra

Dimana :
= nilai rata-rata piksel yang ada di dalam suatu citra
fn = nilai intensitas keabuan

14

p(fn) = nilai histogramnya (probabilitas kemunculan intensitas pada


citra)
b. Skewness (3)
Menunjukkan tingkat kecondongan relatif kurva histogram dari suatu citra

c. Entropy (H)
Menunjukkan ukuran ketidakteraturan bentuk dari suatu citra

d. Relative Smoothness (R) (Singh & Mazumdar, 2010)


Menunjukkan tingkat kehalusan relatif dari bentuk suatu citra

Fitur-fitur ini diterapkan pada penelitian Wong & Zrimec sebagai


karakteristik dari sebuah kista (honeycombing cycts) dalam CT. Scan paru-paru,
dan menghasilkan persentase klasifikasi yang baik yaitu antara 83,3% - 8,7%. Dan
fitur-fitur ini lah yang kemudian peneliti coba terapkan pula dalam mengambil
karakteristik dari penyakit osteoarthritis pada data Manus X-ray.

II. 3 Normalisasi Data


Normalisasi data merupakan sebuah metode untuk mengelompokkan range
atau interval dari nilai-nilai yang berbeda ke dalam skala yang sama yang lebih
kecil. Normalisasi penting digunakan untuk memberikan bobot yang sama
terhadap nilai-nilai fitur yang berbeda dari hasil ekstraksi.

15

Normalisasi pada vektor fitur dapat dilakukan dengan berbagai cara, dan
pada penelitian ini normalisasi yang dipergunakan adalah dengan metode MinMax Normalization [10] :

Dimana :
D = data hasil normalisasi
D = nilai sebelum normalisasi
U = nilai batas atas (upper bound)
L = nilai batas atas (lower bound)
Penggunaan rumus di atas akan menghasilkan data akan dikelompokkan
ke dalam interval [0.1, 0.9]. Hal ini disesuaikan dengan penggunaan fungsi
aktivasi sigmoid biner pada proses jaringan syaraf tiruan di dalam penelitian ini
yang memiliki interval [0, 1]. Namun, jika fungsi aktivasi yang digunakan adalah
fungsi sigmoid bipolar, maka data perlu dinormalisasikan ke interval [-1, 1] atau
interval lain yang mendekati terlebih dulu.

II. 4 Osteoarthritis
Osteoarthritis (OA) atau dikenal sebagai pengapuran adalah suatu
penyakit tulang

yang menggambarkan kerusakan pada tulang rawan sendi.

Dikarenakan proses kerusakan terjadi pada rawan sendi, maka kelainan dan nyeri
yang dijumpai umumnya tejadi pada sendi-sendi tulang rawan atau kartilago
(Jauwerissa, 2009).

16

II.4.1 Faktor dan Gejala Osteoarthritis


Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit osteoathritis
diantaranya usia yang sudah diatas 45 tahun, berat badan yang berlebihan,
sehingga mengakibatkan tekanan pada sendi-sendi, Adanya cedera atau trauma
otot, aktifitas yang memerlukan pergerakan terus menerus, adanya penyakit
lainnya seperti Rheumatoid Athritis (RA), akromegali, gout, dan lain-lain
Osteoarthritis umumnya bermula dari kelainan sel-sel yang membentuk
komponen tulang rawan seperti kolagen dan proteoglikan. Akibat dari kelainan
tersebut, tulang rawan akhirnya menipis dan membentuk retakan-retakan pada
permukaan sendi. Rongga kecil akan terbentuk di dalam sumsum dari tulang di
bawah tulang rawan tersebut. Keadaan itu akan membuat tubuh berusaha
memperbaiki kerusakannya dengan membentuk tulang baru dan mengakibatkan
timbulnya benjolan pada pinggiran sendi (osteophyte).
Gejala yang ditimbulkan juga secara bertahap, diawali dengan rasa nyeri
dan kekakuan pada sendi. Sendi-sendi jari tangan, pangkal ibu jari, leher,
punggung bawah, jari kaki, panggul dan lutut adalah bagian yang paling sering
terkena osteoarthritis.
II.4.2 Diagnosa X-ray Osteoarthritis
Dalam mendiagnosa osteoathritis, pakar rheumatologi umumnya dapat
melakukan tiga serangkaian pemeriksaan, yaitu analisis terhadap gejala yang
ditimbulkan, pemeriksaan fisik sendi, dan pemeriksaan tambahan seperti rontgen
tulang (sinar X-ray), MRI (Magnetic Resonance Imaging), dan arthrocentesis.
Pemeriksaan tambahan tersebut dilakukan hanya jika ingin diketahui seberapa

17

besar tingkat osteoarthritis yang telah diderita serta untuk mempertegas kondisi
pasien.
Dengan foto rontgen, seorang rheumatologi dapat mengetahui adanya
osteoarthritis beserta derajatnya. Hal ini akan memberikan pengobatan yang tepat
bagi

penderita

osteoarthritis

sehingga

tidak

overtreatment

ataupun

undertreatment.

s
Gambar 4. Struktur Rangka Tangan Manusia (Computer Vision, 2005)
Berdasarkan analisa foto rontgen, penyakit osteoarthritis dapat dibagi
menjadi empat tingkat (grade) keparahan yaitu (Brandt, Doherty & Lohmander,
2003) :
a. Grade 1 (Doubtful) :

Distal Interphalangeal joints : Sendi normal, dan osteofit


(osteophyte) di satu titik

Proximal Interphalangeal joints : Osteofit di satu titik dan


dimungkinkan adanya kista (cyst)

18

First Carpometacarpal joint : Osteofit kecil dan dimungkinkan


terbentuknya kista (cyst)

b. Grade 2 (Minimal) :

Distal Interphalangeal joints : Osteofit di dua titik dengan sedikit


subchondral sclerosis dan kadang subchondral cysts, tapi tidak ada
penyempitan ruang sendi dan kelainan

Proximal Interphalangeal joints : Osteofit di dua titik dan


dimungkinkan ada penyempitan ruang sendi di satu titik

First Carpometacarpal joint : Adanya osteofit dan dimungkinkan


adanya kista (cyst)

c. Grade 3 (Moderate) :

Distal Interphalangeal joints : Osteofit di beberapa titik, adanya


kelainan bentuk tulang, dan penyempitan ruang sendi

Proximal Interphalangeal joints : Osteofit di banyak titik, adanya


kelainan bentuk tulang

First Carpometacarpal joint : Osteofit di beberapa titik,


penyempitan ruang sendi, subchondral sclerosis, dan kelainan
bentuk tulang

d. Grade 4 (Severe) :

Distal Interphalangeal joints : Banyak osteofit, kelainan bentuk


tulang dengan kerusakan ruang sendi, sclerosis dan kista (cysts)

Proximal Interphalangeal joints : Banyak osteofit, penyempitan


ruang sendi, subchondral sclerosis, dan sedikit kelainan

19

First Carpometacarpal joint : Banyak osteofit, sclerosis parah, dan


penyempitan ruang sendi.

Gambar 5. (a) Citra X-ray normal atau non-osteoathritis; (b) Citra X-ray
osteoarthritis (Szendroi, 2008)

Gambar 6. Citra X-ray osteoarthritis dalam berbagai derajat pada Distal


Interphalangeal joints: (a) grade 1 ; (b) grade 2 ; (c) grade 3 ; (d) grade 4
(Brandt, Doherty & Lohmander, 2003)

Gambar 7. Citra X-ray osteoarthritis dalam berbagai derajat pada Proximal


Interphalangeal joints : (a) grade 1 ; (b) grade 2 ; (c) grade 3 ; (d) grade 4
(Brandt, Doherty & Lohmander, 2003)

20

Gambar 8. Citra X-ray osteoarthritis dalam berbagai derajat pada First


Carpometacarpal joint : (a) grade 1 ; (b) grade 2 ; (c) grade 3 ; (d) grade 4
(Brandt, Doherty & Lohmander, 2003)

II.5 Jaringan Syaraf Tiruan


Jaringan Saraf Tiruan (JST) didefinisikan sebagai suatu sistem pemrosesan
informasi yang mempunyai karakteristik menyerupai jaringan saraf manusia.
Jaringan saraf tercipta sebagai suatu generalisasi model matematis dari
pemahaman manusia (Siang, 2005).
Ada beberapa tipe jaringan syaraf, namun demikian, hampir semuanya
memiliki komponen-komponen yang sama. Seperti halnya otak manusia, jaringan
syaraf tiruan juga terdiri dari beberapa neuron, dan ada hubungan antara neuronneuron tersebut. Neuron-neuron tersebut akan mentransformasikan informasi yang
diterima melalui sambungan keluarnya menuju ke neuron-neuron yang lain. Pada
jaringan syaraf tiruan, hubungan ini dikenal dengan nama bobot. Informasi
tersebut disimpan pada suatu nilai tertentu pada bobot tersebut.

Gambar 9 . Struktur Neuron Jaringan Syaraf Tiruan

21

Gambar diatas menunjukkan bahwa neuron buatan sebenarnya dibangun


mirip dengan sel neuron biologis. Neuron-neuron buatan bekerja dengan cara
yang sama pula dengan sel neuron biologis. Informasi (disebut dengan input) akan
dikirim ke neuron dengan bobot kedatangan tertentu. Input ini akan diproses oleh
suatu fungsi perambatan yang akan menjumlahkan nilai-nilai semua bobot yang
datang. Hasil penjumlahan ini kemudian akan dibandingkan dengan suatu nilai
ambang (threshold) tertentu melalui fungsi aktivasi setiap neuron. Apabila input
tersebut melewati semua nilai ambang tertentu, maka neuron tersebut diaktifkan,
tapi kalau tidak, maka neuron tersebut tidak akan diaktifkan. Apabila neuron
tersebut akan diaktifkan, maka neuron tersebut akan mengirimkan output melalui
bobot-bobot outputnya ke seluruh neuron yang berhubungan dengannya.
Demikian seterusnya.
Jaringan syaraf tiruan yang telah dan sedang dikembangkan merupakan
pemodelan matematika dari jaringan syaraf biologis, berdasarkan asumsi :
-

Pemrosesan info terjadi pada banyak elemen pemroses sederhana yang


disebut neuron.

Sinyal dilewatkan antar neuron yang membentuk jaringan neuron.

Setiap elemen pada jaringan neuron memiliki 1 (satu) pembobot. Sinyal


yang dikirimkan ke lapisan neuron berikutnya adalah info dikalikan
dengan pembobot yang bersesuaian.

Tiap-tiap neuron mengerjakan fungsi aktivasi untuk mendapatkan nilai


output masing-masing.
Jaringan syaraf tiruan di dalam penggunaannya dapat terbagi menjadi

bermacam arsitektur, dimulai dari jaringan syaraf yang paling sederhana yaitu

22

single-layer yang hanya terdiri atas layer input dan sebuah unit output dan
jaringan syaraf multi-layer dengan adanya hidden layer diantara layer input dan
output.
Untuk beberapa kasus, jaringan syaraf multi-layer memang cenderung
lebih menguntungkan, tetapi pada umumnya dengan satu layer saja sudah
memadai untuk menyelesaikan berbagai masalah.
Beberapa model jaringan, seperti backpropagation, menerapkan sebuah
unit bias sebagai bagian tiap lapisan. Unit ini mempunyai nilai pengaktifan
konstan berharga 1, atau bernilai random dengan faktor skala tertentu yang
didapat dari metode Nguyen Widrow, dimana tiap unit bias dihubungkan ke semua
unit pada lapisan selanjutnya yang lebih tinggi dan pembobotan padanya diatur
selama back-error propagation. Unit bias memberikan masa konstan dalam
jumlah pembobotan dari unit-unit di lapisan selanjutnya. Hasilnya kadang kala
merupakan properti konvergensi (menuju target) dari jaringan.
Pada JST, belajar adalah proses pembentukan konfigurasi nilai-nilai bobot
dari jaringan. Proses ini bertujuan agar input-input yang diberikan padanya akan
direspon melalui bobot-bobot tersebut sehingga menghasilkan output yang sesuai
atau mendekati dengan target.
Secara umum, proses pembelajaran JST dapat dikategorikan dalam dua
jenis proses (Purnomo & Kurniawan, 2006) :

Supervised training (Pelatihan terbimbing)


Pada tipe pembelajaran ini, tiap pola input memiliki pola target, sehingga
masing-masing input memiliki pasangan output yang bersesuaian. Dalam
hal ini, dapat diterapkan toleransi kesalahan output respon terhadap target

23

yang seharusnya. Error digunakan untuk mengubah bobot sambungan


sehingga kesalahan akan semakin kecil dalam siklus pelatihan berikutnya.

Unsupervised training (Pelatihan tidak terbimbing)


Pada pelatihan ini, vektor target tidak dibutuhkan untuk keluarannya
sehingga tidak ada perbandingan untuk menentukan respon yang ideal.
Proses ini hanya terdiri dari vektor-vektor masukan, dan berfungsi sebagai
pengubah pembobot jaringan untuk menghasilkan pola vektor, sehingga
penerapan dua vektor pelatihan suatu vektor lain yang cukup sejenis
menghasilkan pola keluaran yang sama.

2.5.1 Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation


Ada berbagai algoritma diterapkan di dalam jaringan syaraf tiruan, salah
satunya adalah algoritma pelatihan Backpropagasi (Backpropagation). Metode
Backpropagasi atau disebut juga propagasi balik pertama kali dirumuskan oleh
Werbos dan dipopulerkan oleh Rumelhart bersama McClelland untuk dipakai
pada jaringan syaraf tiruan (Hermawan, 2006). Algoritma ini termasuk metode
pelatihan terbimbing (supervised), yaitu metode pelatihan yang memasukkan
target keluaran dalam data untuk proses pelatihannya, dan didesain untuk operasi
pada jaringan syaraf tiruan feed forward multi-layer (lapis banyak)
Algoritma ini juga banyak dipakai pada aplikasi pengendalian karena
proses pelatihannya didasarkan pada interkoneksi yang sederhana, yaitu : Jika
keluaran memberikan hasil yang salah, maka bobot dikoreksi supaya galatnya
dapat diperkecil dan tanggapan JST selanjutnya diharapkan akan lebih mendekati
nilai yang benar. backpropagation juga berkemampuan untuk memperbaiki bobot
pada lapis tersembunyi (hidden layer).

24

Secara garis besar, ketika JST backpropagation diberikan pola masukan


sebagai pola pelatihan maka pola tersebut menuju ke unit-unit pada lapis
tersembunyi untuk diteruskan ke unit-unit lapis keluaran. Kemudian unit-unit
lapis keluaran memberikan tanggapan yang disebut sebagai keluaran JST. Saat
keluaran JST tidak sama dengan keluaran yang diharapkan maka keluaran akan
disebarkan mundur (backward) pada lapis tersembunyi diteruskan ke unit pada
lapis masukan. Oleh karenanya maka mekanisme pelatihan tersebut dinamakan
backpropagation/propagasi balik. Tahap ini termasuk dalam tahap pelatihan, dan
apabila proses pelatihan tersebut selesai, fase ini disebut juga sebagai fase
mapping atau proses pengujian / testing.
Kemampuan dalam mengurangi galat yang terjadi antara target dengan
output pada tahap propagasi balik merupakan kelebihan yang dimiliki pada
arsitektur JST backpropagation, sehingga banyak dimanfaatkan di beberapa
penelitian terutama di bidang medis. Seperti di dalam penelitian Savio et al (2006)
yang mempergunakan backpropagation untuk mengklasifikasikan penyakit
Alzheimer dari 98 data MRI otak manusia (49 normal dan 49 mild AD), telah
berhasil memberikan diagnosa kelas dengan keakuratan mencapai 78%. Penelitian
lainnya juga diterapkan oleh Al-Shayea & Bahia (2010) untuk mendiagnosis
penyakit kandung kemih (urinary bladder) dengan menggunakan arsitektur feedforward backpropagation, yang telah berhasil mengklasifikasikan antara kelas
terinfeksi dan kelas non-terinfeksi dengan ketepatan hingga mencapai 99%.
Seperti halnya dengan kedua penelitian tersebut, penelitian ini juga akan
diterapkan dengan mengaplikasikan arsitektur backpropagation dan diharapkan

25

akan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi pula dalam mendiagnosis


kelas/derajat penyakit osteoarthritis.
2.5.2 Arsitektur Backpropagation
Backpropagation merupakan salah satu dari metode jaringan syaraf tiruan
yang memiliki arsitektur yang lebih kompleks. Umumnya arsitektur dari JST
backpropagation terdiri dari tiga bagian yang meliputi bagian masukan (input
layer), lapis tersembunyi (hidden layer) dan keluaran (output layer). Disamping
itu juga terdapat parameter-parameter yang lainnya.

Gambar 10. Arsitektur Jaringan Syaraf Tiruan Multilayer (Lin, Chu,


Lee & Huang, 2008)
Gambar diatas merupakan arsitektur dari JST multilayer dengan metode
backpropagation. Wxh merupakan bobot garis dari unit masukan Xi ke unit layer
tersembunyi Hj. Why merupakan bobot dari unit layer tersembunyi Hj ke unit
keluaran Yt.
2.5.3 Pemilihan Bobot dan Bias Awal
Dalam jaringan syaraf tiruan, bobot awal akan mempengaruhi apakah
jaringan mencapai titik minimum lokal atau global, dan seberapa cepat
konvergensinya.

26

Bobot yang menghasilkan nilai turunan aktivasi yang kecil sedapat


mungkin dihindari karena akan menyebabkan perubahan bobotnya menjadi sangat
kecil. Demikian pula nilai bobot awal tidak boleh terlalu besar karena nilai
turunan fungsi aktivasinya menjadi sangat kecil juga. Oleh karena itu dalam
standar backpropagation, bobot dan bias diisi dengan bilangan acak kecil.
Pada tahun 1990, Nguyen dan Widrow mengusulkan cara membuat
inisialisasi bobot dan bias ke unit tersembunyi sehingga menghasilkan iterasi lebih
cepat (Siang, 2005).
Algoritma inisialisasi Nguyen Widrow adalah sebagai berikut :
a. Inisialisasi semua bobot (vji( lama )) dengan bilangan acak dalam interval
[-0.5, 0.5].
b. Hitung ||vj|| = vj12 + vj22 + ... + vjn2
c. Bobot yang dipakai sebagai inisialisasi = vji = [.vji (lama)] / ||vj||
d. Bias yang dipakai sebagai inisialisasi = vj0 = bilangan acak antara - dan
.
Dimana ;
n

: jumlah unit masukan

: jumlah unit tersembunyi

: faktor skala = 0.7 n p

2.5.4 Fungsi Aktivasi


Dalam backpropagation, fungsi aktivasi yang dipakai harus memenuhi
beberapa syarat yaitu : kontinu, terdeferensial dengan mudah dan merupakan
fungsi yang tidak turun. Beberapa fungsi yang memenuhi ketiga syarat tersebut

27

sehingga sering dipakai adalah fungsi sigmoid biner yang memiliki range [0,1]
dan fungsi sigmoid bipolar dengan range [-1, 1].
a) Fungsi sigmoid biner

Dengan turunan :

Fungsi diatas dapat digambarkan :

Gambar 11. Fungsi Sigmoid Biner, Range [0,1] (Siang, 2005)

b) Fungsi sigmoid bipolar

Dengan turunan :

Ilustrasi fungsi diatas dapat digambarkan :

28

Gambar 12. Fungsi Sigmoid Bipolar, Range [-1,1] (Siang, 2005)

Fungsi sigmoid memiliki nilai maksimum = 1. Maka untuk pola yang


targetnya > 1, pola masukan dan keluaran harus terlebih dahulu ditransformasi
sehingga semua polanya memiliki range yang sama seperti fungsi sigmoid yang
dipakai. Alternatif lain adalah menggunakan fungsi aktivasi sigmoid hanya pada
lapis yang bukan lapis keluaran. Pada lapis keluaran, fungsi aktivasi yang dipakai
adalah fungsi identitas : f(x) = x.
2.5.5 Pelatihan Standar Backpropagation
Pelatihan backpropagation meliputi 3 fase, yaitu (Hermawan, 2006):
I. Fase I : Propagasi maju
Selama propagasi maju, sinyal masukan (= xi) dipropagasikan ke layer
tersembunyi menggunakan fungsi aktivasi yang ditentukan. Keluaran dari
setiap unit layer tersembunyi (= zj) tersebut selanjutnya dipropagasikan
maju lagi ke layer tersembunyi di atasnya menggunakan fungsi aktivasi
yang ditentukan. Demikian seterusnya hingga menghasilkan keluaran
jaringan (= yk).
Berikutnya, keluaran jaringan (= yk) dibandingkan dengan target yang
harus dicapai (= tk). Selisih hk-yk adalah kesalahan atau galat yang terjadi.
Jika galat ini lebih kecil dari batas toleransi yang ditentukan, maka iterasi

29

dihentikan. Akan tetapi apabila galat masih lebih besar dari batas toleransi,
maka bobot setiap garis dalam jaringan akan dimodifikasi untuk
mengurangi galat yang terjadi.
II. Fase II : Propagasi mundur
Berdasarkan galat tk-yk, dihitung faktor k (k = 1, 2, ...., m) yang dipakai
untuk mendistribusikan galat di unit yk ke semua unit tersembunyi yang
terhubung langsung dengan yk. k juga dipakai untuk mengubah bobot
garis yang berhubungan langsung dengan unit keluaran.
Dengan cara yang sama, dihitung faktor , di setiap unit di layer
tersembunyi sebagai dasar perubahan bobot semua garis yang berasal dari
unit tersembunyi di layer di bawahnya. Demikian seterusnya hingga semua
faktor di unit tersembunyi yang berhubungan langsung dengan unit
masukan dihitung.
III. Fase III : Perubahan bobot
Setelah semua faktor dihitung, bobot semua garis dimodifikasi
bersamaan. Perubahan bobot suatu garis didasarkan atas faktor neuron di
layer atasnya. Sebagai contoh, perubahan bobot garis yang menuju ke
layer keluaran di dasarkan atas k yang ada di unit keluaran.
Ketiga fase tersebut diulang-ulang terus hingga kondisi penghentian
dipenuhi. Umumnya kondisi penghentian yang sering dipakai adalah
jumlah iterasi atau galat. Iterasi akan dihentikan jika jumlah iterasi yang
dilakukan sudah melebihi jumlah maksimum iterasi yang ditetapkan, atau

30

jika kesalahan yang terjadi sudah lebih kecil dari batas toleransi yang
diizinkan.
1. Algoritma pelatihan backpropagation terdiri dari dua tahapan, feed
forward dan backpropagation dari galatnya :
a) Langkah 0 :
Pemberian inisialisasi penimbang(diberi nilai kecil secara acak)
b) Langkah 1 :
Ulangi langkah 2 hingga 9 sampai kondisi akhir iterasi dipenuhi
c) Langkah 2 :
Untuk masing-masing pasangan data pelatihan lakukan langkah 3
hingga 8.
2. Umpan maju (Feed Forward)
d) Langkah 3 :
Masing-masing unit masukan (Xi, i = 1, .n) menerimasinyal
masukan Xi dan sinyal tersebut disebarkan ke unit-unit bagian
berikutnya (unit-unit lapis tersembunyi).
e) Langkah 4 :
Masing-masing unit di lapis tersembunyi dikalikan dengan
penimbang dan dijumlahkan serta ditambah dengan biasnya
Z_inj = Vj0 + XiVji
Kemudian dihitung sesuai dengan fungsi pengaktif yang
digunakan :
Zj = f(Z_inj)

31

Bila yang digunakan adalah fungsi sigmoid maka bentuk fungsi


tersebut adalah :

Sinyal keluaran dari fungsi pengaktif tersebut dikirim ke semua


unit di lapis keluaran.
f) Langkah 5 :
Masing-masing unit keluaran (Yk, k = 1,2,3m) dikalikan
dengan penimbang dan dijumlahkan serta ditambah dengan
biasnya :
Y_ink = Wk0 + Zj.Wkj
Kemudian dihitung kembali sesuai dengan fungsi pengaktif
yk = f(y_ink)
3. Backpropagasi (Backpropagation) dan Galatnya
g) Langkah 6 :
Masing-masing unit keluaran (Yk, k = 1, .,m) menerima pola
target sesuai dengan pola masukan saat pelatihan/training dan
dihitung galatnya :

k = ( tk yk) f,(y_ink)
karena f,(y_ink) = yk menggunakan fungsi sigmoid, maka :
f,(y_ink) = f(y_ink)(1 - f(y_ink))
= yk(1 yk)
Menghitung

perbaikan

memperbaiki Wkj).

penimbang

(kemudian

untuk

32

Wk j =.k.Zj
Menghitung perbaikan korelasi :
Wk0 = .k
Dan menggunakan nilai delta (k) pada semua unit lapis
sebelumnya.
h) Langkah 7 :
Masing-masing penimbang yang menghubungkan unit-unit lapis
keluaran dengan unit-unit pada lapis tersembunyi (Zj, j = 1,p)
dikalikan dengan delta (k) dan dijumlahkan sebagai masukan ke
unit-unit lapis berikutnya.

_inj = k Wk j
Selanjutnya dikalikan dengan turunan dari fungsi pengaktifnya
untuk menghitung galat.

j = _inj f,(y_inj)
Langkah

selanjutnya

menghitung

perbaikan

penimbang

(digunakan untuk memperbaiki Vji).


Vji = .J Xi
Kemudian menghitung perbaikan bias (untuk memperbaiki Vj0)
Vj0 = .J
4. Memperbaiki penimbang dan bias
i) Langkah 8 :
Masing-masing keluaran unit (Yk, k = 1, ,m) diperbaiki bias
dan penimbangnya (j = 0,..,p),

33

Wkj(baru) = Wkj(lama) + .k.Zj


atau apabila parameter momentum () digunakan menjadi :
Wkj(baru) = Wkj(lama) + .k.Zj + ( (Wkj(lama) - Wkj(lama -1)))
Masing-masing unit tersembunyi (Zj, j = 1, .,p) diperbaiki bias
dan penimbangnya (j = 1, n)
Vji(baru) = Vji(lama) + .J Xi

atau apabila parameter

momentum digunakan menjadi :


Vji(baru) = Vji(lama) + .J Xi + ( (Vji(lama) - Vji(lama -1)))
j) Langkah 9 :
Uji kondisi pemberhentian (akhir iterasi).
2.5.6 Parameter Pelatihan
Parameter parameter yang turut menentukan keberhasilan proses
pelatihan pada algoritma backpropagation :
a. Inisialisasi bobot
Bobot sebagai interkoneksi JST yang akan dilatih biasanya diinisialisasi
dengan nilai real kecil secara random, namun banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa konvergensi tidak akan dicapai apabila penimbang
atau bobot kurang bervarisasi dan bernilai terlalu kecil (Purnomo &
Kurniawan, 2006). Dengan demikian, penentuan nilai inisialisasi bobot
sebaiknya dipilih pada interval -0.5 sampai 0.5, atau -1 sampai 1, atau
dengan cara menggunakan algoritma Nguyen Widrow agar tercapai
konvergensi.

34

b. Jenis adaptasi penimbang


Ada dua jenis adaptasi penimbang pada pelatihan jaringan syaraf tiruan,
yaitu (Purnomo & Kurniawan, 2006) :

Adaptasi kumulatif (commulative weight adjustment)


Yaitu bobot baru diadaptasi setelah semua bobot yang masuk
dilatih.

Adaptasi biasa (incremental updating)


Yaitu bobot diadaptasi pada setiap pola yang masuk.

c. Learning rate (laju pelatihan)


Nilai parameter learning rate atau laju pelatihan sangat mempengaruhi
proses training. Laju pelatihan mempengaruhi seberapa banyak bobot
dalam setiap neuron berubah dalam setiap epoch. Jika nilai laju pelatihan
terlalu besar menyebabkan perubahan bobot jaringan

terlalu tinggi

hingga jaringan menjadi tidak stabil. Dan apabila nilainya terlalu kecil,
jaringan akan lama untuk mencapai konvergen (Navaroli, Turner,
Conception & Lynch, 2008).
d. Momentum
Koofisien ini diberikan pada komputasi JST agar dapat mempercepat
konvergensi, dimana nilai konstanta momentum dapat berupa bilangan
positif antara 0.1 sampai dengan 0.9.
Penggunaan

momentum

akan

mengijinkan

jaringan

tidak

memperhitungkan kesalahan-kesalahan kecil pada perubahan error yang


terjadi antara setiap epoch. Semakin kecil nilai momentum, membuat
jaringan akan berputar disekitar minimum error lokal. Semakin besar

35

nilainya, membuat jaringan akan mengabaikan error sama sekali


sehingga memberikan hasil yang tidak valid (Navaroli, Turner,
Conception & Lynch, 2008).
e. Penentuan jumlah lapis tersembunyi
Beberapa hasil teoritis yang telah didapat menunjukkan bahwa jaringan
dengan

sebuah

lapis

tersembunyi

sudah

cukup

bagi

metode

backpropagation untuk mengenali pola, namun penambahan jumlah


lapis tersembunyi terkadang juga dapat membuat pelatihan menjadi lebih
baik. Hal ini terbukti pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Niu & Ye (2009).
2.5.7 Proses Pelatihan JST (Training)
Setelah ditentukan semua data masukan dari citra dan data target
keluaran, maka dapat dilakukan proses learning/pelatihan.
Untuk menentukan jumlah pelatihan, digunakan dua macam stopping
kriteria yaitu :
Berdasarkan jumlah pelatihan yang dilakukan (epochs), misalnya
pelatihan akan dihentikan setelah dilakukan sejumlah pelatihan.
Berdasarkan Galat Mean Square Error (MSE), maka proses pelatihan
akan terus dilakukan sampai error-nya menjadi lebih kecil dari batas
toleransi. Perhitungan MSE yakni :

2.5.8 Proses Pengujian JST (Testing atau Mapping)


Setelah dilakukan pelatihan terhadap metode JST tersebut, maka
didapatkan weight (bobot/penimbang) hasil pelatihan yang sesuai untuk

36

berbagai macam permasalahan. Proses mapping dilakukan dengan menjalankan


prosedur feed forward dengan bobot-bobot yang telah disimpan sebelumnya
(dilakukan load data penimbang dari file). Hasil keluaran dari JST merupakan
hasil dari proses mapping. Sehingga dengan proses mapping ini, dapat
dilakukan proses identifikasi sekaligus didapatkan diagnosa berupa prediksi dari
x-ray.
2.5.9 Evaluasi
Prediksi yang telah didapat dari masing-masing citra x-ray pada proses
pengujian (testing), kemudian akan dievaluasi tingkat keberhasilannya melalui
pencocokan hasil identifikasi atau prediksi derajat penyakit dengan diagnosa yang
berasal dari ahli rheumatologi.

You might also like