Professional Documents
Culture Documents
Landasan Teori
2. Mengekstrasi informasi ciri yang menonjol pada suatu citra dimana hasilnya
adalah informasi citra yang bisa didapat manusia secara numerik atau dengan
kata lain komputer melakukan interpretasi terhadap informasi yang ada pada
citra melalui nilai-nilai data yang dapat dibedakan secara jelas.
Dalam perkembangan lebih lanjut dari ilmu komputasi yang menggunakan
pengolahan citra, pengenalan terhadap suatu penyakitlah yang lebih banyak
dimanfaatkan dan diaplikasikan. Hal ini dikarenakan pengenalan/pendeteksian
suatu penyakit akan membantu pengobatan agar lebih cepat ditangani, sehingga
menjauhkan kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosa maupun analisis yang
dilakukan secara manual oleh pihak medis.
Citra itu sendiri pengertiannya merupakan sebuah representasi informasi
dua dimensi yang diciptakan dengan melihat atau merasakan sebuah objek. Secara
matematis, citra merupakan fungsi kontinyu dari intensitas cahaya pada bidang 2D
(Purnomo & Puspitodjati, 2010).
Citra yang dimaksud dalam penelitian ini adalah citra X-ray bergambar
rangka tulang tangan yang setelah melalui proses scan akan berbentuk citra
digital. Citra digital akan didefinisikan sebagai fungsi f(x,y) dimana x menyatakan
nomor baris, y menyatakan nomor kolom, dan f menyatakan nilai warna pada
citra. Fungsi tersebut dapat digambarkan pula dalam bentuk matriks dengan
ukuran N baris x M kolom seperti di bawah ini
Gambar 1. (a) Citra X-ray 24 bit hasil Scan; (b) Citra X-ray 8 bit hasil
konversi
II.1.2 Thresholding
Thresholding merupakan salah satu proses pengolahan citra yang
digunakan untuk mengelompokkan piksel-piksel dalam batas intensitas tertentu.
Selain itu, thresholding juga berfungsi untuk memisahkan bagian citra yang sesuai
ab
Gambar 2. (a)Citra X-ray Greyscale; (b)Citra X-ray Greyscale setelah
Thresholding
Gambar di atas merupakan salah satu contoh dari hasil penggunaan
thresholding (untuk gambar b) dengan threshold sebesar 80. Nilai threshold akan
menentukan batasan dari nilai-nilai piksel mana yang akan dikategorikan sebagai
background dan mana yang dikategorikan sebagai foreground. Piksel dengan nilai
lebih kecil dari threshold yang diberikan akan diset menjadi nol, sedangkan piksel
dengan nilai yang lebih besar sama dengan dari threshold akan bernilai tetap.
10
informasi penting yang berada dalam citra tersebut dapat diambil dan disimpan ke
dalam vektor fitur (feature vector).
Fitur-fitur yang dapat diekstrak pada citra dapat berdasarkan elemen
warna, bentuk, tekstur, kecerahan, kontur, dan kontras dengan menggunakan
teknik ekstraksi fitur tertentu. Pemilihan teknik ekstraksi fitur akan mempengaruhi
bentuk nilai serta jumlah fitur yang didapat, sehingga diperlukan analisis
sebelumnya terhadap jenis data yang akan diekstrak serta elemen dasar apa yang
memang tepat untuk digunakan sebagai vektor fitur. Vektor fitur inilah yang
kemudian dapat juga disebut dengan descriptor atau index (Lu, 1963). Dan di
dalam penelitian ini, fitur yang diekstrak adalah berdasarkan intensitas warna dan
tekstur yang terkandung di dalam citra X-ray.
II.2.1 Ekstraksi Fitur Berdasarkan Intensitas Warna
Informasi warna sangat diperlukan sebagai pendeskripsi sebuah objek
dalam proses analisis suatu citra. Proses ekstraksi objek dalam suatu citra dapat
disederhanakan dengan mengambil intensitas warnanya.
Intensitas
atau
kecerahan
warna
pada
citra
didapat
dari
hasil
penyederhanaan ketiga komponen nilai warna RGB (24 bit) menjadi satu buah
komponen intensitas (8 bit). Warna yang didapat merupakan tingkat kecerahan
atau nilai keabuan yang umumnya berada diantara level 0-255. Semakin tinggi
levelnya, semakin cerah citra tersebut. Begitu pula sebaliknya. Semakin rendah
levelnya, semakin gelap citra tersebut. Intensitas atau kecerahan warna dari suatu
citra bisa dilihat melalui sebuah histogram.
11
Dimana :
ni = jumlah piksel yang memiliki nilai keabuan i (i = 0 .....L-1)
L = maksimal interval warna
n = total piksel dalam citra
hi = probabilitas dari nilai keabuan i
12
13
c. Kuantisasi Tapered
Bila ada daerah tingkat keabuan yang sering muncul sebaiknya
dikuantisasi secara lebih halus dan di luar batas daerah tersebut dapat
dikuantisasi secara lebih kasar.
II.2.2 Ekstraksi Fitur Berdasarkan Tekstur
Tekstur merupakan karakteristik intrinsik dari suatu citra yang terkait
dengan tingkat kekasaran (roughness), granularitas (granulation), dan keteraturan
(regularity) susunan struktural piksel. Tekstur dicirikan sebagai distribusi spasial
dari derajat keabuan di dalam sekumpulan piksel-piksel yang bertetangga.
Analisis tekstur penting dan berguna dalam bidang computer vision. Dari elemen
tekstur, sebuah citra akan dapat dimanfaatkan dalam proses segmentasi,
klasifikasi, maupun interpretasi citra.
Ekstraksi fitur citra berdasarkan tekstur pada orde pertama dapat
menggunakan metode statistik, yaitu dengan melihat statistik distribusi derajat
keabuan pada histogram citra tersebut (Wong & Zrimec, 2006). Dari nilai-nilai
pada histogram yang dihasilkan, dapat dihitung parameter ciri atau fitur antara
lain :
2
a. Variance ( )
Menunjukkan variasi elemen pada histogram dari suatu citra
Dimana :
= nilai rata-rata piksel yang ada di dalam suatu citra
fn = nilai intensitas keabuan
14
c. Entropy (H)
Menunjukkan ukuran ketidakteraturan bentuk dari suatu citra
15
Normalisasi pada vektor fitur dapat dilakukan dengan berbagai cara, dan
pada penelitian ini normalisasi yang dipergunakan adalah dengan metode MinMax Normalization [10] :
Dimana :
D = data hasil normalisasi
D = nilai sebelum normalisasi
U = nilai batas atas (upper bound)
L = nilai batas atas (lower bound)
Penggunaan rumus di atas akan menghasilkan data akan dikelompokkan
ke dalam interval [0.1, 0.9]. Hal ini disesuaikan dengan penggunaan fungsi
aktivasi sigmoid biner pada proses jaringan syaraf tiruan di dalam penelitian ini
yang memiliki interval [0, 1]. Namun, jika fungsi aktivasi yang digunakan adalah
fungsi sigmoid bipolar, maka data perlu dinormalisasikan ke interval [-1, 1] atau
interval lain yang mendekati terlebih dulu.
II. 4 Osteoarthritis
Osteoarthritis (OA) atau dikenal sebagai pengapuran adalah suatu
penyakit tulang
Dikarenakan proses kerusakan terjadi pada rawan sendi, maka kelainan dan nyeri
yang dijumpai umumnya tejadi pada sendi-sendi tulang rawan atau kartilago
(Jauwerissa, 2009).
16
17
besar tingkat osteoarthritis yang telah diderita serta untuk mempertegas kondisi
pasien.
Dengan foto rontgen, seorang rheumatologi dapat mengetahui adanya
osteoarthritis beserta derajatnya. Hal ini akan memberikan pengobatan yang tepat
bagi
penderita
osteoarthritis
sehingga
tidak
overtreatment
ataupun
undertreatment.
s
Gambar 4. Struktur Rangka Tangan Manusia (Computer Vision, 2005)
Berdasarkan analisa foto rontgen, penyakit osteoarthritis dapat dibagi
menjadi empat tingkat (grade) keparahan yaitu (Brandt, Doherty & Lohmander,
2003) :
a. Grade 1 (Doubtful) :
18
b. Grade 2 (Minimal) :
c. Grade 3 (Moderate) :
d. Grade 4 (Severe) :
19
Gambar 5. (a) Citra X-ray normal atau non-osteoathritis; (b) Citra X-ray
osteoarthritis (Szendroi, 2008)
20
21
bermacam arsitektur, dimulai dari jaringan syaraf yang paling sederhana yaitu
22
single-layer yang hanya terdiri atas layer input dan sebuah unit output dan
jaringan syaraf multi-layer dengan adanya hidden layer diantara layer input dan
output.
Untuk beberapa kasus, jaringan syaraf multi-layer memang cenderung
lebih menguntungkan, tetapi pada umumnya dengan satu layer saja sudah
memadai untuk menyelesaikan berbagai masalah.
Beberapa model jaringan, seperti backpropagation, menerapkan sebuah
unit bias sebagai bagian tiap lapisan. Unit ini mempunyai nilai pengaktifan
konstan berharga 1, atau bernilai random dengan faktor skala tertentu yang
didapat dari metode Nguyen Widrow, dimana tiap unit bias dihubungkan ke semua
unit pada lapisan selanjutnya yang lebih tinggi dan pembobotan padanya diatur
selama back-error propagation. Unit bias memberikan masa konstan dalam
jumlah pembobotan dari unit-unit di lapisan selanjutnya. Hasilnya kadang kala
merupakan properti konvergensi (menuju target) dari jaringan.
Pada JST, belajar adalah proses pembentukan konfigurasi nilai-nilai bobot
dari jaringan. Proses ini bertujuan agar input-input yang diberikan padanya akan
direspon melalui bobot-bobot tersebut sehingga menghasilkan output yang sesuai
atau mendekati dengan target.
Secara umum, proses pembelajaran JST dapat dikategorikan dalam dua
jenis proses (Purnomo & Kurniawan, 2006) :
23
24
25
26
27
sehingga sering dipakai adalah fungsi sigmoid biner yang memiliki range [0,1]
dan fungsi sigmoid bipolar dengan range [-1, 1].
a) Fungsi sigmoid biner
Dengan turunan :
Dengan turunan :
28
29
dihentikan. Akan tetapi apabila galat masih lebih besar dari batas toleransi,
maka bobot setiap garis dalam jaringan akan dimodifikasi untuk
mengurangi galat yang terjadi.
II. Fase II : Propagasi mundur
Berdasarkan galat tk-yk, dihitung faktor k (k = 1, 2, ...., m) yang dipakai
untuk mendistribusikan galat di unit yk ke semua unit tersembunyi yang
terhubung langsung dengan yk. k juga dipakai untuk mengubah bobot
garis yang berhubungan langsung dengan unit keluaran.
Dengan cara yang sama, dihitung faktor , di setiap unit di layer
tersembunyi sebagai dasar perubahan bobot semua garis yang berasal dari
unit tersembunyi di layer di bawahnya. Demikian seterusnya hingga semua
faktor di unit tersembunyi yang berhubungan langsung dengan unit
masukan dihitung.
III. Fase III : Perubahan bobot
Setelah semua faktor dihitung, bobot semua garis dimodifikasi
bersamaan. Perubahan bobot suatu garis didasarkan atas faktor neuron di
layer atasnya. Sebagai contoh, perubahan bobot garis yang menuju ke
layer keluaran di dasarkan atas k yang ada di unit keluaran.
Ketiga fase tersebut diulang-ulang terus hingga kondisi penghentian
dipenuhi. Umumnya kondisi penghentian yang sering dipakai adalah
jumlah iterasi atau galat. Iterasi akan dihentikan jika jumlah iterasi yang
dilakukan sudah melebihi jumlah maksimum iterasi yang ditetapkan, atau
30
jika kesalahan yang terjadi sudah lebih kecil dari batas toleransi yang
diizinkan.
1. Algoritma pelatihan backpropagation terdiri dari dua tahapan, feed
forward dan backpropagation dari galatnya :
a) Langkah 0 :
Pemberian inisialisasi penimbang(diberi nilai kecil secara acak)
b) Langkah 1 :
Ulangi langkah 2 hingga 9 sampai kondisi akhir iterasi dipenuhi
c) Langkah 2 :
Untuk masing-masing pasangan data pelatihan lakukan langkah 3
hingga 8.
2. Umpan maju (Feed Forward)
d) Langkah 3 :
Masing-masing unit masukan (Xi, i = 1, .n) menerimasinyal
masukan Xi dan sinyal tersebut disebarkan ke unit-unit bagian
berikutnya (unit-unit lapis tersembunyi).
e) Langkah 4 :
Masing-masing unit di lapis tersembunyi dikalikan dengan
penimbang dan dijumlahkan serta ditambah dengan biasnya
Z_inj = Vj0 + XiVji
Kemudian dihitung sesuai dengan fungsi pengaktif yang
digunakan :
Zj = f(Z_inj)
31
k = ( tk yk) f,(y_ink)
karena f,(y_ink) = yk menggunakan fungsi sigmoid, maka :
f,(y_ink) = f(y_ink)(1 - f(y_ink))
= yk(1 yk)
Menghitung
perbaikan
memperbaiki Wkj).
penimbang
(kemudian
untuk
32
Wk j =.k.Zj
Menghitung perbaikan korelasi :
Wk0 = .k
Dan menggunakan nilai delta (k) pada semua unit lapis
sebelumnya.
h) Langkah 7 :
Masing-masing penimbang yang menghubungkan unit-unit lapis
keluaran dengan unit-unit pada lapis tersembunyi (Zj, j = 1,p)
dikalikan dengan delta (k) dan dijumlahkan sebagai masukan ke
unit-unit lapis berikutnya.
_inj = k Wk j
Selanjutnya dikalikan dengan turunan dari fungsi pengaktifnya
untuk menghitung galat.
j = _inj f,(y_inj)
Langkah
selanjutnya
menghitung
perbaikan
penimbang
33
34
terlalu tinggi
hingga jaringan menjadi tidak stabil. Dan apabila nilainya terlalu kecil,
jaringan akan lama untuk mencapai konvergen (Navaroli, Turner,
Conception & Lynch, 2008).
d. Momentum
Koofisien ini diberikan pada komputasi JST agar dapat mempercepat
konvergensi, dimana nilai konstanta momentum dapat berupa bilangan
positif antara 0.1 sampai dengan 0.9.
Penggunaan
momentum
akan
mengijinkan
jaringan
tidak
35
sebuah
lapis
tersembunyi
sudah
cukup
bagi
metode
36