You are on page 1of 45

BAB I

KASUS
I.1 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan dengan secara auto dan alloanamnesis pada tanggal 5
Agustus 2015.

Masuk VK 28 Juli 2015 pukul 15.30

Masuk ICU 28 Juli 2015 pukul 17.00

Masuk ruangan Jeruk 31 Juli 2015 pukul 13.00

Masuk pindah rawat IPD ke ruangan Markisa tanggal 1/8/2015 pukul


17.00

Keluhan Utama :
Pasien rujukan dari PKM Cimarga dengan HPP
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RS dalam keadaan lemas. Sebelumnya pasien sudah melahirkan
di bidan puskesmas pukul 14.00, bayi lahir dalam keadaan meninggal, laki-laki
dengan berat lahir 4000 gram, ari-ari lahir lengkap. Setelah melahirkan pasien
mengalami robekan pada jalan lahir dan sudah dijahit di bidan. Namun darah
masih mengalir banyak dari lubang vagina (jalan lahir) 500 cc.
Keluhan yang dirasakan saat itu yaitu lemas, mata berkunang-kunang. Hingga
sempat tidak ingat kejadian selanjutnya atau tidak sadarkan diri.
Ini merupakan kehamilan kedua. Anak pertama keguguran pada usia kehamilan 5
bulan. Pasien mengaku terjatuh sebelum terjadinya keguguran.

Pada kehamilan ini pasien mengaku tidak pernah terjatuh, menderita suatu
penyakit, atau pingsan. Namun pasien sering merasa lesu dan tidak ada gairah.
Sering dikatakan keluarga atau teman-temannya bahwa pasien terlihat pucat.
Pasien tidak rutin ANC ke bidan dan tidak pernah USG selama kehamilan. Sekitar
1 hari sebelum persalinan pasien sudah mengetahui sudah tidak ada gerak janin.
Sehingga pada saat persalinan bayi lahir mati.
Pasien menyangkal adanya demam, nyeri dada, pasien tidak menderita penyakit
saat kehamilan, tidak ada riwayat darah sulit berhenti saat terluka, tidak sedang
mengidap penyakit jantung maupun paru.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak pernah mengalami keluhan lemas hingga pingsan sebelumnya. Pasien
menyangkal memiliki penyakit hipertensi, Diabetes Mellitus, jantung, Penyakit
ginjal, Penyakit kuning, Penyakit paru, maupun kelainan darah.

I.2 PEMERIKSAAN FISIK


KEADAAN UMUM :
Tampak sakit berat, cm
TANDA VITAL :
TD

: 70/40

: 102 x/ menit, regular, lemah

FR

: 28x/ menit

: 35oC

Kepala : Normochepali, rambut tersebar merata, tidak mudah dicabut.


Mata : Konjungtiva anemis : +/+, sclera ikterik -/Hidung: Deformitas (-)
Mulut : candidiasis oral (-)
Leher : JVP 5-2 cmH2O , KGB tidak teraba membesar.
2

Pemeriksaan Paru :

Pemeriksaan Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V 1 jari medial midclavicula line sinistra
Perkusi :
Batas pinggang jantung : ICS III Parasternal sinistra
Batas jantung kanan: : ICS IV parasternal dextra
Batas jantung-kiri : ICS V 1 jari medial mid clavicula line sinistra
Auskultasi : BJ S1 & S2 regular, murmur (-), gallop (-)

Pemeriksaan Abdomen :
Inspeksi: Tampak datar, supel
Palpasi : Nyeri tekan

epigastrium(+) , hepato

splenomegali (-)
Perkusi: Timpani, shifting

dullness (-)

Auskultasi: Bising usus (+) N


Pemeriksaan Ekstremitas :
Atas: akral dingin +/+, clubbing finger -/-, edema -/Bawah: akral dingin +/+, clubbing finger -/-, edema -/-

Status Obstetrikus :
TFU setinggi pusat, kontraksi lemah
VU : perdarahan aktif (+)
VT : Ruptur perineum gr II dan telah di periniorafi

I.3 PEMERIKSAAN LABORATORIUM (Tanggal 28/7/2015)

I.4 PEMERIKSAAN RONTGEN TORAKS

Interpretasi :
foto tidak simetris
Jaringan lunak dan tulang baik
Tidak terdapat destruksi ataupun fraktur tulang costae
Trakea tertarik ke paru kiri
Sudut costophrenicus kanan kiri lancip
Tampak gambaran infiltrate di lapang atas paru kiri dan kanan
Aorta sulit dinilai, Corakan bronkovaskuler meningkat, CTR < 50%
Kesan :
Jantung : kardiomegali tanpa bendungan paru

Paru: tidak tampak TB paru


I.5 DIAGNOSIS

P1A1 post pasrtum IUFD dengan Syok Hipovolemik ec HPP ec Atonia


Uteri dan Syok Sepsis

Laserasi perineum grade II

Anemia ec perdarahan

Leukositosis

Gangguan Fungsi hati

Hipoalbunemia

I.6 PENATALAKSANAAN
O2 6 lpm simple mask
IVFD RL 1500 cc loading, RL 500 c + oksitosin 20 Unit
Misoprostol 4 tablet per rektal
Ceftriaxon 1 x 2 gr (H-1)
Metergin 1 ampul IV
Kalnex 1 ampul
Vit K 1 ampul
Ondansentron 1 ampul
Ranitidin 1 ampul
Transfusi PRC 4 kantong hingga Hb 10
Masase uterus
Repair perineum
DC

I.7 FOLLOW UP

28/7/2015
Pukul 16.30 di VK
S/mengeluh pandangan berkurang, mual
O/ 60/ palpasi Pemasangan CVC

28/7/2015
Pukul 17.00 di ICU
S/O/ KU lemah
TD 94/55,N 155,RR 51,Sat 81
Anemis, Cor/pulmo = dbn, TFU=3 jari bpst kontraksi lemah
VT=perdarahan rembes
A/ Syok Hipovolemik pada P1A1 post partum IUFD ec HPP ec atonia uteri,
Laserasi perineum grade II, Anemia ec perdarahan, Leukositosis, Gangguan
Fungsi hati, Hipoalbunemia
P/terpasang CVC, O2 RM 10-15 lpm, R/ ventilator VC, transfusi, resusitasi
cairan CVC 18 cmH20, drip oksitosin 2 ampul dalam RL 20 tpm, drip
dobutamin dan drip vaskon target TD Sistol 100 MAP 70, ceftriaxon 1 x 2 gr
(H-2), ondansentron 3 x 4 mg, Ranitidin 2 x 1 ampul, kalnex dan vit K 1 ampul /
NaCl 0,9% 100 cc 3x 1 habis dalam 30 menit.

29/7/2015
di ICU
S/O/ KU TSB, CM
TD 119/79,N 123,RR 12 terkontrol ventilator,Sat O2 100

Anemis, Cor/pulmo = dbn, TFU=2 jari bpst kontraksi cukup baik


Lab : leukosit 40.480, Hb 10,6, trombosit 87.000, OT/PT = 1.660/1725, albumin
1,73, kreatinin 2,29, UL : keruh, leukosit +1, glukosa +2. protein +2, darah +3,
sedimen eritrosit 15-20, leukosit 7-8, bakteri +1, AGD : alkalosis respiratorik
A/ P1A1 post partum IUFD dengan riwayat syok hipovolemik ec HPP ec atonia
uteri, Laserasi perineum grade II, Anemia ec perdarahan, Leukositosis, Gangguan
Fungsi hati berat, Hipoalbunemia, AKI, Infeksi saluran kemih
P/terpasang ventilator, NGT tertutup, IVFD : RL + Oksitosin 2 A / 8 jam, vaskon
+ dobutamin, Inj Ceftriaxon 1 x 2gr (H-3), ondansentron 3 x 1 amp, drip kalnex
dan vit K 1 ampul/ 8 jam, Inj Ranitidin 2 x 1 ampul.

30/7/2015
Di ICU
S/ O/ TD 100/64
TFU 2 jari bpst kontraksi baik.
Lab : leukosit 17.000, Hb 6,30, trombosit 77.000, OT/PT = 555/910, albumin
1,92, Ur/Cr= 88,86, 1,56
A/ P1A1 post partum IUFD dengan riwayat syok hipovolemik ec HPP ec atonia
uteri, Laserasi perineum grade II, Anemia ec perdarahan, Leukositosis, Gangguan
Fungsi hati berat, Hipoalbunemia, AKI, Infeksi saluran kemih
P/terpasang ventilator, NGT tertutup, vaskon + dobutamin, Inj Ceftriaxon 1 x 2gr
(H-4), ondansentron 3 x 1 amp, drip kalnex dan vit K 1 ampul/ 8 jam, Inj
Ranitidin 2 x 1 ampul, OMZ 1x1 ampul, lesichol 3 x 1, SNMC drip.

31/7/2015
di ICU
S/O/ KU TSS, CM
TD 101/56,N 80,RR 19,Sat O2 100

Anemis, Cor/pulmo = dbn, TFU=2 jari bpst kontraksi baik


Lab : leukosit 18.910, Hb 9,9, trombosit 103.000, OT/PT = 383/657, Ur/cr =
147,28/ 3,74
A/ P1A1 post partum IUFD riwayat HPP ec atonia uteri, Syok Sepsis perbaikan,
Laserasi perineum grade II, Anemia ec perdarahan, Leukositosis, Gangguan
Fungsi hati berat, Hipoalbunemia, AKI dd acute on CKD, Infeksi saluran kemih
P/terpasang ventilator, NGT tertutup, Inj Ceftriaxon 1 x 2gr (H-5), ondansentron 3
x 1 amp, drip kalnex dan vit K 1 ampul/ 8 jam, Inj Ranitidin 2 x 1 ampul, OMZ
1x1 ampul, lesichol 3 x 1, SNMC drip.

1/8/2015
Di jeruk
S/ O/ TD 100/80
TFU 2 jari bpst kontraksi baik.
A/ P1A1 post partum IUFD riwayat HPP ec atonia uteri, Syok Sepsis perbaikan,
Laserasi perineum grade II, Anemia ec perdarahan, Leukositosis, Gangguan
Fungsi hati berat, Hipoalbunemia, AKI dd acute on CKD, Infeksi saluran kemih
P/terpasang ventilator, NGT tertutup, Inj Ceftriaxon 1 x 2gr (H-6), ondansentron 3
x 1 amp, drip kalnex dan vit K 1 ampul/ 8 jam, Inj Ranitidin 2 x 1 ampul, OMZ
1x1 ampul, lesichol 3 x 1, SNMC drip.

3/8/2015
di Markisa
S/batuk berdahak
O/ KU TSS, CM
TD 120/80 Anemis, Cor = dbn, pulmo rh +/+, TFU=2 jari bpst kontraksi baik
Lab : Leukosit 13.120, Hb 8,70, trombosit 220.000. OT/PT 66/360, Ur/Cr =
116,06/ 5,98

A/ P1A1 post partum IUFD riwayat HPP ec atonia uteri, Syok Hipovolemik +
Syok Sepsis perbaikan + DIC, Laserasi perineum grade II, Anemia ec perdarahan,
Leukositosis, Hipoalbumin+ Gangguan Fungsi hati berat+AKI dd acute on CKD
ec DIC, Infeksi saluran kemih, Pneumonia
P/lanjut
Ceftriaxon STOP, Meropenem 3 x 1 gr IV, Dexamethason 3 x 1 ampul, inhalasi
ventolin bisolvin/ 8 jam.
Anjuran HD pasien menolak

8/8/2015
Di Markisa
S/ batuk berdahak +, sesak berkurang
O/ CM/TSS TD 120/70
Kor : BJ I-II regular, M-, gPulmo : vesikuler +/+, rhonki -/-, whezing -/Abdomen : BU + normal
Ekstremitas : hangat, CRT <2 detik
A/ P1A1 HPP dan ruptur perineum grade II, Riwayat Syok Sepsis + DIC,
Pneumonia, gangguan fungsi hati, AKI dd/ acute on CKD, ISK

10

BAB II
PEMBAHASAN

II.1 ANALISIS MASALAH

Ny.Mimin 22 tahun datang ke ruang VK RSUD Adjidarmo dengan keluhan


perdarahan setelah melahirkan (HPP). Sebelumnya pasien melahirkan di bidan
dengan bayi laki-laki 4.000 gram lahir mati.Sehari sebelumnya pasien memang
sudah tidak merasakan gerakan janin. Dari autoanamnesis didapatkan perdarahan
per vaginam pasien sekitar 500 cc sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien telah
mengalami Haemorragik Post Partum. Untuk menilai penyebab dari HPP dapat
diamati dari 4T yaitu Tonus (atonia uterus), Trauma (luka jalan lahir), Tissue
( Retensio/ sisa plasenta), dan thrombine ( gangguan pembekuan darah). Dari
kasus ini didapati pemeriksaan fisik terutama dalam pemeriksaan khusus
obstetrikus yaitu kontraksi uterus lemah dan ruptur perineum derajat 2 yang sudah
diperineorafi. Jadi bisa disimpulkan bahwa penyebab HPP pada pasien ini adalah
karena Atonia Uteri. Pasien ini bisa mengalami atonia uteri karena terdapat
beberapa faktor resiko yaitu IUFD, anemia, dan bayi besar. Anemia bisa menjadi
salah satu penyebab atonia uteri dan berakhir pada HPP.

11

Selain itu juga IUFD bisa mengakibatkan terjadinya DIC dan HPP.
IUFD
kerusakan pada desidua plasenta
menghasilkan tromboplastin
tromboplastin masuk ke peredaran darah ibu
Pembekuan intravaskular dimulai dan endotel pembuluh darah oleh
trombosit
pembekuan darah meluas
DIC dan hipofibrinogenemia
berkurangnya fibrinogen
hemoragik Post Partum

Pasien datang dengan tampak pucat, TD 70/40, nadi 102 x/menit, frekuensi napas
28 x/menit, suhu 35oC, dan akral dingin dan dapat disimpulkan pasien detang
dalam keadaan syok.
Sementara Syok ini bisa disebabkan perdarahannya atau disebut sebagai syok
hipovolemik. dan juga bisa disebabkan oleh sepsis karena didapati juga
leukositosis dan ISK.

12

Dan Syok serta DIC yang terjadi pada pasien ini menyebabkan terjadinya MODs
(Multiple Organ Disfunction Syndrome).

DIC

II.2 MATERI

PERDARAHAN POST PARTUM (HEMORAGIK POST PARTUM/HPP)


A. Pengertian
Post partum / puerperium adalah masa dimana tubuh menyesuaikan, baik fisik
maupun psikososial terhadap proses melahirkan. Dimulai segera setelah bersalin
sampai tubuh menyesuaikan secara sempurna dan kembali mendekati keadaan
sebelum hamil ( 6 minggu ). Masa post partum dibagi dalam tiga tahap :
Immediate post partum dalam 24 jam pertama, Early post partum period (minggu
pertama) dan Late post partum period ( minggu kedua sampai minggu ke
enam)..Potensial bahaya yang sering terjadi adalah pada immediate dan early post
partum period sedangkan perubahan secara bertahap kebanyakan terjadi pada late
post partum period. Bahaya yang paling sering terjadi itu adalah perdarahan paska
persalinan atau HPP (Haemorrhage Post Partum). Menurut Willams & Wilkins
(1988) perdarahan paska persalinan adalah perdarahan yang terjadi pada masa
post partum yang lebih dari 500 cc segera setelah bayi lahir. Tetapi menentukan
jumlah perdarahan pada saat persalinan sulit karena bercampurnya darah dengan
air ketuban serta rembesan dikain pada alas tidur. POGI, tahun 2000
mendefinisikan perdarahan paska persalinan adalah perdarahan yang terjadi pada
masa post partum yang menyebabkan perubahan tanda vital seperti klien

13

mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, dalam pemeriksaan fisik hiperpnea,


sistolik < 90 mmHg, nadi > 100 x/menit dan kadar HB < 8 gr %.
B. Klasifikasi perdarahan
Perdarahan paska persalinan dini/ early HPP/ primary HPP adalah perdarahan
berlebihan ( 600 ml atau lebih ) dari saluran genitalia yang terjadi dalam 12 - 24
jam
pertama
setelah
melahirkan.
Perdarahan paska persalinan lambat / late HPP/ secondary HPP adalah
perdarahan yang terjadi antara hari kedua sampai enam minggu paska persalinan.

C. Etiologi
Penyebab perdarahan dibagi dua sesuai dengan jenis perdarahan yaitu :
Penyebab perdarahan paska persalinan dini :
1. Perlukaan jalan lahir : ruptur uteri, robekan serviks, vagina dan perineum, luka
episiotomi.
2. Perdarahan pada tempat menempelnya plasenta karena : atonia uteri, retensi
plasenta, inversio uteri.
3. Gangguan mekanisme pembekuan darah
Penyebab perdarahan paska persalinan terlambat biasanya disebabkan oleh sisa
plasenta atau bekuan darah, infeksi akibat retensi produk pembuangan dalam
uterus
sehingga
terjadi
sub
involusi
uterus.
D. Faktor predisposisi
Beberapa kondisi selama hamil dan bersalin dapat merupakan faktor predisposisi
terjadinya perdarahan paska persalinan, keadaan tersebut ditambah lagi dengan
tidak maksimalnya kondisi kesehatannya dan nutrisi ibu selama hamil. Oleh
karena itu faktor-faktor haruslah diketahui sejak awal dan diantisipasi pada waktu
persalinan
:
1. Trauma persalinan
Setiap tindakan yang akan dilakukan selama proses persalianan harus diikuti
dengan pemeriksaan jalan lahir agar diketahui adanya robekan pada jalan lahir dan
segera
dilakukan
penjahitan
dengan
benar.
2. Atonia Uterus
Pada kasus yang diduga berisiko tinggi terjadinya atonia uteri harus diantisipasi
dengan pemasangan infus. Demikian juga harus disiapkan obat uterotonika serta

14

pertolongan

persalinan

kala

III

dengan

baik

dan

benar.

3. Jumlah darah sedikit


Keadaan ini perlu dipertimbangkan pada kasus keadaan itu jelek, hipertensi saat
hamil, pre eklampsia dan eklamsi.
4. Kelainan pembekuan darah
Meskipun jarang tetapi bila terjadi sering berakibat fatal, sehingga perlu
diantisipasi
dengan
hati-hati
dan
seksama.
E. Patofisiologi
Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah didalam uterus masih
terbuka. Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum
spongiosum sehingga sinus-sinus maternalis ditempat insersinya plasenta terbuka.
Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan
menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga
perdarahan akan terhenti. Adanya gangguan retraksi dan kontraksi otot uterus,
akan menghambat penutupan pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan yang
banyak. Keadaan demikian menjadi faktor utama penyebab perdarahan paska
persalinan. Perlukaan yang luas akan menambah perdarahan seperti robekan
servix, vagina dan perinium.
F. Gambaran klinik
Untuk memperkirakan kemungkinan penyebab perdarahan paska persalinan
sehingga pengelolaannya tepat, perlu dibenahi gejala dan tanda sebagai berikut :
Gejala
dan
tanda
Penyulit
Diagnosa
penyebab
Uterus tidak berkontraksi dan lembek
Perdarahan segera setelah bayi lahir
Syok
Bekuan darah pada serviks atau pada posisi terlentang akan menghambat aliran
darah keluar
Atonia uteri
Darah segar mengalir segera setelah anak lahir
Uterus berkontraksi dan keras
Plasenta lengkap

15

Pucat
Lemah
Mengigil
Robekan jalan lahir
Plasenta belum lahir setelah 30 menit
Perdarahan segera, uterus berkontraksi dan keras
Tali pusat putus
Inversio uteri
Perdarahan lanjutan
Retensio plasenta
Plasenta atau sebagian selaput tidak lengkap
Perdarahan segera
Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus uteri tidak berkurang
Tertinggalnya sebagian plasenta
Uterus tidak teraba
Lumen vagina terisi massa
Neurogenik syok, pucat dan limbung Inversio uteri

G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan umum
a. Ketahui secara pasti kondisi ibu bersalin sejak awal
b. Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman
c. Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
d. Segera lakukan penilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan
dengan masalah dan komplikasi
e. Atasi syok jika terjadi syok
f. Pastikan kontraksi berlangsung baik ( keluarkan bekuan darah, lakukan pijatan
uterus, beri uterotonika 10 IV dilanjutkan infus 20 ml dalam 500 cc NS/RL
dengan tetesan 40 tetes/menit ).
g. Pastikan plasenta telah lahir lengkap dan eksplorasi kemungkinan robekan jalan
lahir
h. Bila perdarahan tidak berlangsung, lakukan uji bekuan darah.
i. Pasang kateter tetap dan pantau cairan keluar masuk
j. Lakukan observasi ketat pada 2 jam pertama paska persalinan dan lanjutkan
pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya.
2. Penatalaksanaan khusus

16

a. Atonia uteri
Kenali dan tegakkan kerja atonia uteri
Sambil melakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika,lakukan
pengurutan uterus.
Pastikan plasenta lahir lengkap dan tidak ada laserasi jalan lahir
Lakukan tindakan spesifik yang diperlukan
Kompresi bimanual eksternal yaitu menekan uterus melalui dinding abdomen
dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi
uteus. Bila perdarahan berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus
dapat kembali berkontraksi atau dibawa ke fasilitasv kesehata rujukan.
Kompresi bimanual internal yaitu uterus ditekan diantara telapak tangan pada
dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjempit pembuluh darah
didalam miometrium.
Kompresi aorta abdominalis yaitu raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan
kiri, pertahankan posisi tersebut genggam tangan kanan kemudian tekankan pada
daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna
vertebralis, penekanan yang tepat akan menghetikan atau mengurangi, denyut
arteri femoralis.

b. Retensio plasenta dengan separasi parsial


Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan
diambil.
Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengejan, bila ekspulsi tidak terjadi
cobakan traksi terkontrol tali pusat.
Pasang infus oksitosin 20 unit/500 cc NS atau RL dengan tetesan 40/menit, bila
perlu kombinasikan dengan misoprostol 400mg per rektal.
Bila traksi terkontrol gagal melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara
hati-hati dan halus.
Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia.
Lakukan transfusi darah bila diperlukan.
Berikan antibiotik profilaksis ( ampicilin 2 gr IV/oral + metronidazole 1 g
supp/oral ).
c. Plasenta inkaserata
Tentukan diagnosis kerja
Siapkan peralatan dan bahan untuk menghilangkan kontriksi serviks yang kuat,
tetapi siapkan infus fluothane atau eter untuk menghilangkan kontriksi serviks
yang kuat, tetapi siapkan infus oksitosin 20 Untuk500 NS atau RL untuk
mengantisipasi gangguan kontraksi uterus yang mungkin timbul.
Bila bahan anestesi tidak tersedia, lakukan manuver sekrup untuk melahirkan

17

plasenta.
Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak jelas.
Jepit porsio dengan klem ovum pada jam 12, 4 dan 8 dan lepaskan spekulum
Tarik ketiga klem ovum agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak jelas.
Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta disisi berlawanan agar
dapat dijepit sebanyak mungkin, minta asisten untuk memegang klem tersebut.
Lakukan hal yang sama pada plasenta kontra lateral
Satukan kedua klem tersebut, kemudian sambil diputar searah jarum jam tarik
plasenta keluar perlahan-lahan.
d. Ruptur uteri
Berikan segera cairan isotonik ( RL/NS) 500 cc dalam 15-20 menit dan siapkan
laparatomi.
Lakukan laparatomi untuk melahirkan anak dan plasenta, fasilitas pelayanan
kesehatan dasar harus merujuk pasien ke rumah sakit rujukan.
Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan memungkinkan,
lakukan operasi uterus.
Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien mengkwatirkan
lakukan histerektomi.
Lakukan bilasan peritonial dan pasang drain dari cavum abdomen.
Antibiotik dan serum anti tetanus, bila ada tanda-tanda infeksi.
e. Sisa plasenta
Penemuan secara dini, dengan memeriksa kelengkapan plasenta setelah
dilahirkan.
Berika antibiotika karena kemungkinan ada endometriosis.
Lakukan eksplorasi digital/bila serviks terbuka dan mengeluarkan bekuan darah
atau jaringan, bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi
sisa plasenta dengan dilatasi dan kuret.
Hbv 8 gr% berikan transfusi atau berikan sulfat ferosus 600mg/hari selama 10
hari.
f. Ruptur peritonium dan robekan dinding vagina
Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber
perdarahan.
Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik.
Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang
dapat diserap.
Lakukan penjahitan luka dari bagian yang paling distal.
Khusus pada ruptur perineum komplit dilakukan penjahitan lapis demi lapis
dengan bantuan busi pada rektum, sebagai berikut:
Setelah prosedur aseptik- antiseptik, pasang busi rektum hingga ujung robekanv

18

Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul sub mukosa,
menggunakan benang polyglikolik No 2/0 ( deton/vierge ) hingga ke sfinter ani,
jepit kedua sfinter ani dengan klem dan jahit dengan benang no 2/0.
Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan sub mukosa dengan benang
yang sama ( atau kromik 2/0 ) secara jelujur.
Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara sub mukosa dan sub kutikuler
Berikan antibiotik profilaksis. Jika luka kotor berikan antibiotika untuk terapi.
g. Robekan serviks
Sering terjadi pada sisi lateral, karena serviks yang terjulur akan mengalami
robekan pada posisi spina ishiadika tertekan oleh kepala bayi.
Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan
banyak maka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan porsio.
Jepitan klem ovum pada kedua sisi porsio yang robek sehingga perdarahan dapat
segera di hentikan, jika setelah eksploitasi lanjutkan tidak dijumpai robekan lain,
lakukan penjahitan, jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian kearah luar
sehingga semua robekan dapat dijahit.
Setelah tindakan periksa tanda vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan
perdarahan paska tindakan.
Berikan antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi.
Bila terjadi defisit cairan lakukan restorasi dan bila kadar Hb dibawah 8 gr%
berikan transfusi darah.

SYOK HIPOVOLEMIK

A.

Pengertian

Syok hipovolemik disebut juga syok preload yang ditamdai dengan menurunnya
volume intravaskuler oleh karena perdarahan. Syok hipovolemik juga bisa terjadi
karena kehilangan cairan tubuh yang lain. Menurunnya volume intravaskuler
menyebabkan penurunan volume intraventrikel kiri pada akhir distol yang
akibatnya juga menyebabkan menurunnya curah jantung (cardiac output).
Keadaan ini juga menyebabkan terjadinya mekanisme kompensasi dari pembuluh
darah dimana terjadi vasokonstriksi oleh katekolamin sehingga perfusi makin
memburuk. Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui
19

permukaan kulit yang hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat atau diare juga
dapat mengakibatkan kehilangan cairan intravaskuler. Pada obstruksi, ileus dapat
terkumpul beberapa liter cairan di dalam usus. Pada diabetes atau penggunaan
diuretic kuat dapat terjadi kehilangan cairan karena dieresis yang berlebihan.
Kehilangan cairan juga dapat ditemukan pada sepsis berat, pancreatitis akut, atau
peritonitis purulenta difus. Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan
kuat, kecuali jika miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat
berkurang. Respon tubuh terhadap perdarahan tergantung pada volume, kecepatan
dan lama perdarahan. Bila volume intravaskuler berkurang, tubuh akan selalu
berusaha mempertahankan perfusi organ-organ vital (jantung dan otak) dengan
mengorbankan perfusi organ yang lain seperti ginjal, hati dan kulit akan terjadi
perubahan-perubahan hormonal melalui system rennin-angiotensin-aldosteron,
system ADH, dan system saraf simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam
pembuluh darah untuk mengembalikan volume intravascular, dengan akibat
terjadi hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial.
Dengan demikian tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan adalah
menormalkan kembali volume intravascular dan interstitial. Bila deficit volume
intravascular hanya dikoreksi dengan memberikan darah maka masih tetap terjadi
deficit interstistial, dengan akibatnya tanda-tanda vital yang masih belum stabil
dan produksi urin yang berkurang. Pengambilan volume plasma dan interstitial ini
hanya mungkin bila diberikan kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran,
dan sebagainya) dan cairan garam seimbang.

DERAJAT SYOK
a)

Syok Ringan

Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti kulit, lemak,
otot rangka, dan tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup lebih lama dengan perfusi
rendah, tanpa adanya perubahan jaringan yang menetap (irreversible). Kesadaran

20

tidak terganggu, produksi urin normal atau hanya sedikit menurun, asidosis
metabolik tidak ada atau ringan.
b)

Syok Sedang

Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal). Organorgan ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti pada lemak, kulit
dan otot. Pada keadaan ini terdapat oliguri (urin kurang dari 0,5 mg/kg/jam) dan
asidosis metabolik. Akan tetapi kesadaran relatif masih baik.
c)

Syok Berat

Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi syok beraksi
untuk menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada syok lanjut terjadi
vasokontriksi di semua pembuluh darah lain. Terjadi oliguri dan asidosis berat,
gangguan kesadaran dan tanda-tanda hipoksia jantung (EKG abnormal, curah
jantung menurun).

B.

Etiologi

Syok hipovolemik disebabkan oleh penurunan volume darah efektif. Kekurangan


volume darah sekitar 15 sampai 25 persen biasanya akan menyebabkan penurunan
tekanan darah sistolik; sedangkan deficit volume darah lebih dari 45 persen
umumnya fatal. Syok setelah trauma biasanya jenis hipovolemik, yang disebabkan
oleh perdarahan (internal atau eksternal) atau karena kehilangan cairan ke dalam
jaringan kontusio atau usus yang mengembang kerusakan jantung dan paru-paru
dapat juga menyokong masalah ini secara bermakna. Syok akibat kehilangan
cairan berlebihan bias juga timbul pada pasien luka bakar yang luas (john
a.boswick,1998:44).

21

Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler,


misalnya terjadi pada:
1)

Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang mengalir

keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptura limpa, dan kehamilan ektopik


terganggu.
2)

Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan

darah yang besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 5001000 ml


perdarahan atau fraktur femur menampung 10001500 ml perdarahan.
3)

Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan

protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:


Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis.
Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison.
Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran
darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam
jaringan.

Kekurangan

oksigen

di

jaringan

menyebabkan

sel

terpaksa

melangsungkan metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman


jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam lemak, dan
keton (Stene-Giesecke, 1991). Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita
bahwa fokus perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi
oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan
dengan penggantian cairan. Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan
prioritas utama (www.medicastore.com).

C.

Manifestasi Klinik
22

Manifestasi klinis tergantung pada penyebab syok (kecuali syok neurogenik) yang
meliputi :
1

Sistim pernafasan : nafas cepat dan dangkal

Sistim sirkulasi : ekstremitas pucat, dingin, dan berkeringat dingin, nadi cepat dan lemah, tekanan darah turun bila kehilangan darah mencapai 30%.

Sistim saraf pusat : keadaan mental atau kesadaran penderita bervariasi


tergantung derajat syok, dimulai dari gelisah, bingung sampai keadaan
tidak sadar.

Sistim pencernaan : mual, muntah

Sistim ginjal : produksi urin menurun (Normalnya 1/2-1 cc/kgBB/jam)

Sistim kulit/otot : turgor menurun, mata cowong, mukosa lidah kering.


Individu dengan syok neurogenik akan memperlihatkan kecepatan denyut jantung
yang normal atau melambat, tetapi akan hangat dan kering apabila kulitnya diraba.
(www.medicastore.com)
Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala seperti berikut:
1)

Hipotensi: tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau TAR (tekanan arterial

rata-rata) kurang dari 60 mmHg, atau menurun 30% lebih


2)

Oliguria: produksi urin kurang dari 20 ml/jam.

Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta pengisian
kapiler yang jelek. Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada
usia, kondisi premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya
berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respons
kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan
cairan dengan jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan takhikardia. Kehilangan
volume yang cukp besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia

23

lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang
cepat atau singkat.
Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan hipovolemia,
penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam beberapa
menit. Adalah penting untuk mengenali tanda-tanda syok, yaitu:
v

Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian

kapiler selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.


v

Takhikardia: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respons

homeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke


mikrosirkulasi berfungsi mengurangi asidosis jaringan.
v

Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah

sistemik dan curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor yang esensial
dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat
dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak di bawah 70 mmHg.
v

Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik.

Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam.
Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia akan
menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti: (1) Turunnya turgor jaringan;
(2) Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering; serta
(3) Bola mata cekung.
Akumulasi asam laktat pada penderita dengan tingkat cukup berat, disebabkan
oleh metabolisme anaerob. Asidosis laktat tampak sebagai asidosis metabolik
dengan celah ion yang tinggi. Selain berhubungan dengan syok, asidosis laktat
juga berhubungan dengan kegagalan jantung (decompensatio cordis), hipoksia,
hipotensi, uremia, ketoasidosis diabetika (hiperglikemi, asidosis metabolik,
ketonuria), dan pada dehidrasi berat

24

D.

Patofisiologi

Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu :


1

Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga timbul
gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan
seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk
menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran
darah ke tempat yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk
menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan konservasi air.
Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di daerah
arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas
otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk
memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi
karena ginjal mempunyai cara regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi
glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga
menurun.

Fase Progresif
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan
tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi
mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan
darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata,
gangguan seluler, metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan
akhirnya terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak
mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, vena balik (venous return)
menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan
tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis
25

kecil-kecil sehingga dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas (DIC =


Disseminated Intravascular Coagulation). Menurunnya aliran darah ke otak
menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini
menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia menyebabkan terlepasnya
toksin dan bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bradikinin) yang ikut
memperjelek syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan
anoksia usus menimbulkan penurunan integritas mukosa usus, pelepasan toksin
dan invasi bakteri usus ke sirkulasi. Invasi bakteri dan penurunan fungsi
detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat timbul sepsis, DIC bertambah
nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak, integritas mikro sirkulasi juga
rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari aerobik
menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi peningkatan asam
laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.
1

Fase Irevesibel
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat
diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya ireversibilitas syok.
Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah yang
cukup, paru menjadi kaku, timbul edema interstisial, daya respirasi menurun, dan
akhirnya anoksia dan hiperkapnea (www.els.co.id).

E.

Komplikasi

Kegagalan multi organ akibat penurunan alilran darah dan hipoksia jaringan yang
berkepanjangan.

Sindrom distress pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan alveolus kapiler


karena hipoksia.

DIC (Koagulasi intravascular diseminata) akibat hipoksia dan kematian jaringan


yang luas sehingga terjadi pengaktifan berlebihan jenjang koagulasi.

26

Efek Dari Syok Seluler


Saat sel-sel tubuh kekurangan pasokan darah dan oksigen maka kemampuan
metabolisme energy pada sel-sel tersebut akan terganggu. Metabolisme energy
pada sel-sel tersebut akan terganggu. Metabolisme terjadi di dalam tempat nutrient
secara kimiawi dipecahkan dan disimpan dalam bentuk ATP (adenosine tripospat).
Sel-sel menggunakan simpanan energy ini untuk melakukan berbagai fungsi
seperti transport aktif, kontraksi otot, sintesa biokimia dan melakukan fungsi
seluler khusus seperti konduksi impuls listrik.
Pada keadaan syok, sel-sel tidak mendapat pasokan darah yang adekuat dan
kekurangan oksigen dan nutrient, karena sel-sel harus menghasilkn energy melalui
anaerob dan nutrient, karena sel-sel harus menghasilkan energy melalui anaerob.
Metabolisme ini menghasilkan tingkat energy yang rendah dari sumber nutrient,
dan lingkungan intraseluler yang bersifat asam. Karena perubahan ini, fungsi sel
menurun. Sel membengkak dan membrannya menjadi lebh permiabel, sehingga
memungkinkan elektrolit dan cairan untuk merembes dari dalam sel. Pompa
kalium-natrium menjadi terganggu. Struktur sel (mitokondria dan lisosom)
menjadi rusak dan terjadi kematian sel

Respon Vaskuler
Oksigen melekat pada molekul hemoglobin dalam sel-sel darah merah dan dibawa
ke sel-sel tubuh melalui darah. Jumlah oksigen yang dikirimkan ke sel-sel
bergantung pada aliran darah ke area spesifik dan pada konsentrasi oksigen. Darah
secara continue didaur ulang kembali melalui paru-paru untuk direoksigenasi dan
untuk

menyingkirkan

produk-produk

akhir

metabolism

seluler

seperti

karbondioksida. Otot jantung memberikan pompa yang dikeluarkan untuk


mengeluarkan darah segar yang dioksigenasi ke luar jaringan tubuh. Vaskulatur
27

dapat berdilatasi dan berkontraksi sesuai dengan mekanisme pengatur pusat dan
local. Mekanisme pengaturan pusat menyebabkan dilatasi dan konstriksi vaskuler
untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Mekanisme pengaturan
local, disebut sebagai otoregulasi, menyebabkan vasodilatasi/vasokontriksi dalam
berespon

terhadap

bahan

kimia

yang

dilepaskan

oleh

sel-sel

yang

mengkomunikasikan kebutuhannya akan oksigen dan nutrient.

Pengaturan Tekanan Darah


Tiga komponen utama system sirkulatori yaitu: volume darah, pompa jantung, dn
vaskulatur harus berespon secara efektif terhadap kompleks system umpan balik
neural, kimiawi, dan hormonal untuk mempertahankan tekanan darah yang
adekuat dan akhirnya memberikan perfusi jaringan.
Mekanisme utama yang mengatur tekanan darah melalui baroreseptor (tekanan
darah) terletak pada sinus karotis dan arkus aorta. Reseptor tekanan ini
menghantarkan impuls ke pusat saraf simpatik yang terletak di medulla otak. Pada
kejadian turunnya tekanan darah, ketokolamin (epinefrin dan norepinefrin)
dilepaskan dari medulla adrenal yang menyebabkan peningkatan frekuensi
jantung dan vasokontriksi, dengan demikian memulihkan tekanan darah.
Maka dapat disimpulkan bahwa volume darah yang adekuat, pompa jantung yang
efektif dan vaskulatur yang efektif penting untuk mempertahankan tekanan darah
dan perfusi jaringan. Jika salah satu dari ketiga komponen ini gagal, tubuh dapat
mengkompensasi dengan meningkatkan kerja kedua komponen lain. Jika
mekanisme kompensasi tidak mampu lagi mengkompensasi system yang gagal,
maka jaringan tubuh tidak memperoleh perfusi yang adekuat dan syndrome syok
dimulai. Kecuali jika intervensi cepat dilakukan, syok akan berlanjut dan
menyebabkan kegagalan organ dan kematian (Brunner & Suddarth,2001).

28

F.
1

Pemeriksaan Penunjang

Pada anamnesis Pasien mungkin tidak bisa diwawancara sehingga riwayat sakit
mungkin hanya didapatkan dari keluarga, teman dekat atau orang yang
mengetahui kejadiannya, cari : Riwayat trauma (banyak perdarahan atau
perdarahan dalam perut), Riwayat penyakit jantung (sesak nafas), Riwayat infeksi
(suhu tinggi), Riwayat pemakaian obat ( kesadaran menurun setelah memakan
obat)

Pemeriksaan fisik Kulit

Suhu raba dingin (hangat pada syok septik hanya bersifat sementara, karena
begitu syok berlanjut terjadi hipovolemia). Warna pucat (kemerahan pada syok
septik, sianosis pada syok kardiogenik dan syok hemoragi terminal)
Basah pada fase lanjut syok (sering kering pada syok septik).

Tekanan darah

Hipotensi dengan tekanan sistole < 80 mmHg (lebih tinggi pada penderita yang
sebelumnya mengidap hipertensi, normal atau meninggi pada awal syok septic)

Status jantung

Takikardi, pulsus lemah dan sulit diraba.

Status respirasi

Respirasi meningkat, dan dangkal (pada fase kompensasi) kemudian menjadi


lambat (pada syok septik, respirasi meningkat jika kondisi menjelek)

10 Status Mental
11 Gelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan. Kesadaran dan orientasi menurun,
sopor sampai koma. Fungsi Ginjal Oliguria, anuria (curah urin < 30 ml/jam, kritis)
12 Fungsi Metabolik
Asidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan (pada awal syok septik dijumpai
alkalosis metabolik, kausanya tidak diketahui). Alkalosis respirasi akibat takipnea.
Sirkulasi Tekanan vena sentral menurun pada syok hipovolemik, meninggi pada
syok

kardiogenik.

Keseimbangan

Asam

Basa

Pada awal syok pO2 dan pCO2 menurun (penurunan pCO2 karena takipnea,

29

penurunan pO2 karena adanya aliran pintas di paru). Pemeriksaan Penunjang


Darah (Hb, Hmt, leukosit, golongan darah), kadar elektrolit, kadar ureum,
kreatinin, glukosa darah. Analisa gas darah, EKG.

G.
1

Penatalaksanaan

Pastikan jalan nafas pasien dan nafas dan sirkulasi dipertahankan. Beri bantuan
ventilator tambahan sesuai kebutuhan.

Perbaiki volume darah sirkulasi dengan penggantian cairan dan darah cepat sesuai
ketentuan untuk mengoptimalkan preload jantung, memperbaiki hipotensi, dan
mempertahankan perfusi jaringan.
1)

Kateter tekan vena sentra dimasukkan dalam atau didekat atrium kanan

untuk bertindak sebagai petunjuk penggantian cairan. Pembacaan tekanan vena


sentral kontinu (CVP) memberi petunjuk dan derajat perubahan dari pembacaan
data dasar; kateter juga sebagai alat untuk penggantian volume cairan darurat.
2)

Jarum atau kateter IV diameter besar dimasukkan kedalam vena perifer. Dua

atau lebih kateter mungkin perlu untuk penggantikan cairan cepat dan
pengembalian ketidakstabilan hemodinamik; penekanan pada penggantian
volume.

Buat jalur IV diameter besar dimasukkan ke vena periver. Dua tau lebih kateter
mungkin perlu untuk penggantian cairan cepat dan pengembalian ketidakstabilan
hemodinamik; penekanan pada penggantian volume.

Ambil darah untuk spesimen; garis darah arteri, pemeriksaan kimia, golongan
darah dan pencocokan silang, dan hemtokrit.

Mulai infus IV dengan cepat sampai CVP meningkat pada tingkat pada tingkat
yang memuaskan diatas pengukuran dasar atau sampai terdapat perbaikan pada
kondisi klinis pasien.

30

3)

Infus larutan Ringer Laktat digunakan pada awal penangana karena cairan

ini mendekati komposisi elektrolit plasma, begitu juga dengan osmolalitasnya,


sediakan waktu untuk pemeriksaan golongan darah dan pencocokkan silang,
perbaiki sirkulasi, dan bertindak sebagai tambahan terapi komponen darah.
4)

Mulai tranfusi terapi komponen darah sesuai program, khususnya saat

kehilangan darah telah parah atau pasien terus mengalami hemoragi.


5)

Kontrol hemoragi; hemoragi menyertai status syok. Lakukan pemeriksaan

hematokrit sering bila dicurigai berlanjutnya perdarahan


6)

Pertahankan tekanan darah sistolik pada tingkat yang memuaskan dengan

memberi cairan dan darah sesuai ketentuan.


1

Pasang kateter urine tidak menetap: catat haluaran urine setiap 15-30 menit,
volume urine menunjukkan keadekuatan perfusi ginjal.

Lakukan pemeriksaan fisik cepat untuk menentukan penyebab syok.

Pertahankan surveilens keperawatan terus menerus terhadap pasien total-tekanan


darah, denyut jantung, pernafasan, suhu kulit, warna, CVP, EKG, hematokrit, Hb,
gambaran koagulasi, elektrolit, haluaran urine-untuk mengkaji respon pasien
terhadap tindakan. Pertahankan lembar alur tentang parameter ini; analisis
kecenderungan menyatakan perbaikan atau pentimpangan pasien.

Tinggikan kaki sedikit untuk memperbaiki sirkulasi serebral lebih baik dan
mendorong aliran darah vena kembali kejantung (posisi ini kontraindikasi pada
pasien dengan cidera kepala). Hindarkan gejala yang tidak perlu.

Berikan obat khusus yang telah diresepkan (misalnya inotropik seperti dopamen)
untuk meningkatkan kerja kardiovaskuler.

Dukung mekanisme devensif tubuh


1)

Tenangkan dan nyamankan pasien: sedasi mungkin perlu untuk

menghilangkan rasa khawatir.

31

2)

Hilangkan nyeri dengan kewaspadaan penggunaan analgesik atau narkotik.

3)

Pertahankan suhu tubuh.

Terlalu panas menimbulkan vasodilatasi yang merupakan mekanisme kompensasi


tubuh dari vasokontriksi dan meningkatnya hilangnya caiiran karena perspirasi.

Pasien yang

mengalami septik harus dijaga tetap dingin: demam tinggi

meningkatkan efek metabolik selular terhadap syok.

SEPSIS DAN SYOK SEPTIK


Definisi
Systemic inflammatory response syndrome adalah pasien yang memiliki dua atau
lebih dari kriteria berikut:
1

Suhu > 38C atau < 36C

Denyut jantung >90 denyut/menit

Respirasi >20/menit atau PaCO2 < 32 mmHg

Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau >10% sel imatur

Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun SIRS,
sepsis dan syok sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus
terdapat bakteriemia.
Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan
hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi:
1

Asidosis laktat

Oliguria

Atau perubahan akut pada status mental

Terdapat beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis, diantaranya memasukkan


pertanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein, sebagai
langkah awal dalam diagnosis sepsis.

32

(Hermawan, 2007).
Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi yang menyebabkan
perfusi jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu metabolisme
sel/jaringan. Syok septik merupakan keadaan dimana terjadi penurunan tekanan
darah (sistolik < 90mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik > 40mmHg)
disertai tanda kegagalan sirkulasi, meski telah dilakukan resusitasi secara adekuat
atau perlu vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ
(Chen dan Pohan, 2007).
Etiologi
Penyebab terbesar adalah bakteri gram negatif. Produk yang berperan penting
terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan komponen terluar
dari bakteri gram negatif. LPS merupakan penyebab sepsis terbanyak, dapat
langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat
menimbulkan gejala septikemia. LPS tidak toksik, namun merangsang
pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Bakteri
gram positif, jamur, dan virus, dapat juga menyebabkan sepsis dengan prosentase
yang lebih sedikit. Peptidoglikan yang merupakan komponen dinding sel dair
semua kuman, dapat menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin dapat merusak
integritas membran sel imun secara langsung (Hermawan, 2007).
Patogenesis
Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Sitokin
proinflamasi dan antiinflamasi terlibat dalam patogenesis sepsis. Termasuk sitokin
proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon (IFN-) yang membantu sel
menghancurkan

mikroorganisme

yang

menginfeksi.

Termasuk

sitokin

antiinflamasi adalah interleukin 1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10, yang


bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang
berlebihan. Apabila terjadi ketidakseimbangan kerja sitokin proinflamasi dengan
antiinflamasi, maka menimbulkan kerugian bagi tubuh.
Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama membentuk
LPSab (Lipo Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum penderita kemudian
dengan perantara reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag, dan kemudian

33

makrofag mengekspresikan imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang


menginfeksi adalah bakteri gram negatif yang mempunyai LPS pada dindingnya.
Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah difagosit oleh
monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC),
kemudian ditampilkan dalam APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida
spesifik yang berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen
yang bermuatan pada peptida MHC kelas II akan berikatan dengan CD4+
(limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan TCR (T cell receptor).
Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi
sebagai immunomodulator yaitu: IFN-, IL-2 dan M-CSF (Macrophage Colony
stimulating factor). Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL10. IFN- merangsang makrofag mengeluarkan IL-1 dan TNF-. IFN-, IL-1
dan TNF- merupakan sitokin proinflamasi, pada sepsis terdapat peningkatan
kadar IL-1 dan TNF- dalam serum penderita. Sitokin IL-2 dan TNF- selain
merupakan reaksi sepsis, dapat merusakkan endotel pembuluh darah, yang
mekanismenya sampai saat ini belum jelas. IL-1 sebagai imunoregulator utama
juga mempunyai efek pada sel endotel, termasuk pembentukan prostaglandin E2
(PG-E2) dan merangsang ekspresiintercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1).
Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah tersensitisasi
oleh granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan mudah
mengadakan adhesi. Interaksi neutrofil dengan endotel terdiri dari 3 langkah,
yaitu:
1

Bergulirnya neutrofil P dan E selektin yang dikeluarkan oleh


endotel dan L-selektin neutrofil dala mengikat ligan respektif

Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi


neutrofil yang mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang
melekatkan neutrofil pada endotel dengan molekul adhesi (ICAM)
yang dihasilkan oleh endotel

Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.

Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisozyme yang


melisiskan dinding endotel, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga termasuk
radikal bebas yang mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs,

34

sehingga akibatnya endotel menjadi nekrosis, dan rusak. Kerusakan endotel


tersebut menyebabkan vascular leak, sehingga menyebabkan kerusakan organ
multipel. Pendapat lain yang memperkuat pendapat tersebut bahwa kelainan organ
multipel disebabkan karena trombosis dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil
sehingga terjadi syok septik yang berakhir dengan kematian.
Untuk mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan, Th2 mengekspresikan
IL-10 sebagai sitokin antiinflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-, TNF dan fungsi APC. IL-10 juga memperbaiki jaringan yang rusak akibat
peradangan. Apabila IL-10 meningkat lebih tinggi, maka kemungkinan kejadian
syok septik pada sepsis dapat dicegah.
(Hermawan, 2007).
Patofisiologi Syok Septik
Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi
yang melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin, neutrofil, komplemen,
NO, dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses
homeostasis dimana terjadi keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila
proses inflamasi melebihi kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi
yang maladaptif, sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang destruktif,
kemudian menimbulkan gangguan pada tingkat sesluler pada berbagai organ.
Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang menyebabkan
maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok.
Pengaruh mediator juga menyebabkan disfungsi miokard sehingga terjadi
penurunan curah jantung.
Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang
dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF
merupakan kerusakan pada tingkat seluler (termasuk difungsi endotel), gangguan
perfusi jaringan, iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang
diperkirakan turut berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi
(myocardial depressant substance), malnutrisi kalori protein, translokasi toksin

35

bakteri, gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan
(Chen dan Pohan, 2007).
Gejala Klinis Sepsis
Tidak spesifik, biasanya didahului demam, menggigil, dan gejala konsitutif seperti
lemah, malaise, gelisah atau kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering:
paru, tractus digestivus, tractus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat.
Gejala sepsis akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita
diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan granulositopenia.
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:
1

Sindrom distress pernapasan pada dewasa

Koagulasi intravaskular

Gagal ginjal akut

Perdarahan usus

Gagal hati

Disfungsi sistem saraf pusat

Gagal jantung

Kematian

(Hermawan, 2007).
Diagnosis
Riwayat
Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan apakah
pasien immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:
1

Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi

Hipotensi, oliguria, atau anuria

Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab yang jelas

Perdarahan

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab infeksi dan
inflamasi yang terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan
pemeriksaan rektum, pelvis, dan genital.

36

Laboratorium
Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi,
urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas
darah arteri, elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah, sputum, urin,
dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan.
Temuan

awal

lain:

hiperbilirubinemia,

dan

Leukositosis

dengan

proteinuria.

Dapat

shift
terjadi

kiri,

trombositopenia,

leukopenia.

Adanya

hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratorik. Penderita diabetes dapat


mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat.
Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu trombin,
penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC.
Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase meningkat.
Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik
terjadi setelah alkalosis respiratorik. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan
ketoasidosis yang memperburuk hipotensi.
(Hermawan, 2007).
Penatalaksanaan
Tiga prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis:
1

Stabilisasi pasien langsung


Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien
harus dipantau. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai dengan
obat. Pertimbangkan dialisis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan
tekanan darah arteri pada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif, misal
dopamin, dobutamin, dan norepinefrin.

Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme


Perlu segera perawatan empirik dengan antimikrobial, yang jika diberikan
secara dini dapat menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas.
Setelah sampel didapatkan dari pasien, diperlukan regimen antimikrobial
dengan spektrum aktivitas luas. Bila telah ditemukan penyebab pasti, maka

37

antimikrobial diganti sesuai dengan agen penyebab sepsis tersebut (Hermawan,


2007).
Sebelum ada hasil kultur darah, diberikan kombinasi antibiotik yang kuat,
misalnya antara golongan penisilin/penicillinaseresistant penicillin dengan
gentamisin.
A. Golongan penicillin
- Procain penicillin 50.000 IU/kgBB/hari im, dibagi dua dosis
- Ampicillin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-10 hari
B. Golongan penicillinaseresistant penicillin
- Kloksasilin (Cloxacillin Orbenin) 41 gram/hari iv selama 7-10 hari
sering dikombinasikan dengan ampisilin), dalam hal ini masing-masing
dosis obat diturunkan setengahnya, atau menggunakan preparat kombinasi
yang sudah ada (Ampiclox 4 x 1 gram/hari iv).
- Metisilin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-14 hari.
C. Gentamycin
Garamycin, 5 mg/kgBB/hari dibagi tiga dosis im selama 7 hari, hati-hati
terhadap efek nefrotoksiknya.
Bila hasil kultur dan resistensi darah telah ada, pengobatan disesuaikan.
Beberapa bakteri gram negatif yang sering menyebabkan sepsis dan antibiotik
yang dianjurkan:
Bakteri

Antibiotik

Dosis

Escherichia coli

Ampisilin/sefalotin

- Sefalotin: 1-2 gram tiap 4-6 jam, biasanya

Klebsiella,

Gentamisin

dilarutkan dalam 50-100 ml cairan, diberikan


per

Enterobacter

drip

dalam

20-30

menit

Proteus mirabilis

Ampisilin/sefalotin

menghindari flebitis.

Pr. rettgeri, Pr.

Gentamisin

- Kloramfenikol: 6 x 0,5 g/hari iv


- Klindamisin: 4 x 0,5 g/hari iv

morgagni, Pr.
vulgaris

38

untuk

Mima-Herellea

Gentamisin

Pseudomonas

Gentamisin

Bacteroides

Kloramfenikol/klindamisi

n
(Purwadianto dan Sampurna, 2000).
Fokus infeksi awal harus diobati
Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi
anaerobik. Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang
gangren (Hermawan, 2007).
Penatalaksanaan Syok Septik
Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi yang
perlu dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6
jam pertama, dimulai sejak pasien tiba di unit gawat darurat. Tindakan mencakup
airway:

a)

breathing;

b)

circulation;

c)

oksigenasi,

terapi

cairan,

vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan. Pemantauan dengan kateter


vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 812 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5
ml/kgBB/jam.
1

Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat disfungsi
atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi.
Transpor oksigen ke jaringan juga dapat terganggu akibat keadaan hipovolemik
dan disfungsi miokard menyebabkan penurunan curah jantung. Kadar
hemoglobin yang rendah akibat perdarahan menyebabkan daya angkut oleh
eritrosit menurun. Transpor oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh
gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan gangguan
penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia.
Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan saturasi
oksigen di darah, meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki utilisasi
oksigen di jaringan.

39

Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik
kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor
kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis respon
terhadap pemberian cairan dapat terlihat dari peningkatan tekanan darah,
penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan
ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya penurunan kesadaran. Perlu
diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena jugular,
ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.
Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan
hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
Transfusi eritrosit (PRC) perlu diberikan pada keadaan perdarahan aktif, atau
bila kadar Hb rendah pada keadaan tertentu misalnya iskemia miokardial dan
renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis dipertahankan pada 810 g/dl.

Vasopresor dan inotropik


Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan
pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih mengalami hipotensi.
Terapi vasopresor diberikan mulai dosis rendah secara titrasi untuk mencapai
MAP 60 mmHg, atau tekanan sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor dapat
digunakan dopamin dengan dosis >8 mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5
mcg/kg/menit,

fenileferin

0,5-8

mcg/kg/menit

atau

epinefrin

0,1-0,5

mcg/kg/menit. Inotropik yang dapat digunakan adalah dobutamin dosis 2-28


mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mc/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau
inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan milrinon).
4

Bikarbonat
Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau serum bikarbonat
<9 meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.

Disfungsi renal
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis
maupun hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration). Pada hemodialisis
40

digunakan gradien tekanan osmotik dalam filtrasi substansi plasma, sedangkan


pada hemofiltrasi digunakan gradien tekanan hidrostatik. Hemofiltrasi
dilakukan kontinu selama perawatan, sedangkan bila kondisi telah stabil dapat
dilakukan hemodialisis.
6

Nutrisi
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak, cairan,
vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian
secara enteral dan bila tidak memungkinkan beru diberikan secara parenteral.

Kortikosteroid
Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi insufisiensi
adrenal, dan diberikan secara empirik bila terdapat dugaan keadaan tersebut.
Hidrokortison dengan dosis 50mg bolus intravena 4 kali selama 7 hari pada
pasien renjatan septik menunjukkan penurunan mortalitas dibanding kontrol.

(Chen dan Pohan, 2007).

DIC (Koagulasi Intravaskular Diseminata)


PENGERTIAN
Koagulasi intravaskular diseminata adalah aktivasi system koagulasi dan
fibrinolisis secara berlebihan dan terjadi pada waktu yang bersamaan.
DIAGNOSIS
Klinis:

Gejala-gejala umum seperti demam, hipotensi, asidosis, hipoksia,


proteinuria

Tanda-tanda

perdarahan

(petekie,

purpura,

ekimosis,

hematemesis-melena, hematuria, epistaksis)

Manifestasi trombosis gagal organ (paru, ginjal, hati)

41

hematoma,

KID merupakan akibat dari kausa primer yang lain:


-Bidang obstetri (emboli cairan amnion, kematian janin intra-uterin, abortus,
septik)
-Bidang hematologi (reaksi transfusi, hemolisis berat,leukimia
-Infeksi (septikemia, gram negatif, gram positif, virus HIV, hepatitis, dengue,
parasit malaria)
-Trauma, penyakit hati akut, luka bakar

DIAGNOSIS BANDING
Fibrinolisis primer, penyakit hati berat, pseudo KID
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : DPL, hemostasis lengkap (PT, aPTT, fibrinogen, d-dimer)
TERAPI

Suportif

Memperbaiki dan menstabilkan hemodinamik

Memperbaiki dan menstabilkan tekanan darah

Membebaskan jalan napas

Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan asam basa


Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan elektrolit

Mengobati penyakit primer

Menghambat proses patologis

42

Antikoagulan
Heparin intravena bolus tiap 6 jam dosis 5000 IU,
evaluasi aPTT dengan target 1,5-2,5 x kontrol pada jam kedua dan
keempat
Bila pada jam kedua:
aPTT <1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U
aPTT 1,5-2,5 x kontrol, dosis heparin tetap
aPTT >2,5 x kontrol, evaluasi APTT pada jam keempat, bila:
aPTT <1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U
aPTT >2,5 x kontrol, heparin dikurangi 2500U

Transfusi sesuai komponen darah sesuai indikasi (PRC, TC, FFP,


kriopresipitat)

KOMPLIKASI
Gagal organ , syok/ hipoperfusi, trombosis vena dalam, KID fulminan
PROGNOSIS
Malam

BAB III
PENUTUP

43

KESIMPULAN
Pada kasus ini disimpulkan bahwa IUFD, anemia, dan bayi besar dapat
menyebabkan atonia uteri yang berakhir pada perdarahan post partum (HPP). Dan
HPP serta penyakit ISK yang diderita pasien dapat menyebabkan Syok yaitu syok
hipovolemik dan Syok Septik yang dapat mengakibatkan DIC dan berujung pada
suatu kerusakan multiorgan atau Multiple Organ Disfunction Syundrom berupa
gangguan fungsi hati, gangguan fungs ginjal, dan juga paru. Untuk penanganan
kasus ini dibutuhkan waktu yang cepat agar prognosis pasien bisa lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

44

1. Tambunan, KL. Koagulasi intravascular diseminata. Dalam: Suyono, S.


Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H.dkk. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi III. Jakarta: Balai Penerbit FKUI:
2001: 555-64.
2. Tambunan, KL. Diagnosis dan penatalaksanaan koagulasi intravascular
diseminata. In: Suberti, I. Lydia, A. Rumende, CM. Syam, AF. Mansjoer,
A. Suprohita. Penatalaksanaan kegawatdaruratan di bidang Ilmu Penyakit
Dalam. PIP IPD FKUI Jakarta 2001: 25-31.
3.

Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan. Edisi IV. Yayasan Bina

4. Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

2010.

5. Cunningham, FG. Williams Obstetrics 22nd Edition. USA: McGraw Hill.


2007.
6. WHO Guidelines for The Management of Postpartum Haemorrhage and
Retained Placenta. 2009
7. Alarm Course, in Management of Post partum hemorrhage
8. SOGC Clinical Practice Guidelines in Prevention and Management of
Postpartum Haemorrhage. No.99, April 2000

45

You might also like