Professional Documents
Culture Documents
KASUS
I.1 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan dengan secara auto dan alloanamnesis pada tanggal 5
Agustus 2015.
Keluhan Utama :
Pasien rujukan dari PKM Cimarga dengan HPP
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RS dalam keadaan lemas. Sebelumnya pasien sudah melahirkan
di bidan puskesmas pukul 14.00, bayi lahir dalam keadaan meninggal, laki-laki
dengan berat lahir 4000 gram, ari-ari lahir lengkap. Setelah melahirkan pasien
mengalami robekan pada jalan lahir dan sudah dijahit di bidan. Namun darah
masih mengalir banyak dari lubang vagina (jalan lahir) 500 cc.
Keluhan yang dirasakan saat itu yaitu lemas, mata berkunang-kunang. Hingga
sempat tidak ingat kejadian selanjutnya atau tidak sadarkan diri.
Ini merupakan kehamilan kedua. Anak pertama keguguran pada usia kehamilan 5
bulan. Pasien mengaku terjatuh sebelum terjadinya keguguran.
Pada kehamilan ini pasien mengaku tidak pernah terjatuh, menderita suatu
penyakit, atau pingsan. Namun pasien sering merasa lesu dan tidak ada gairah.
Sering dikatakan keluarga atau teman-temannya bahwa pasien terlihat pucat.
Pasien tidak rutin ANC ke bidan dan tidak pernah USG selama kehamilan. Sekitar
1 hari sebelum persalinan pasien sudah mengetahui sudah tidak ada gerak janin.
Sehingga pada saat persalinan bayi lahir mati.
Pasien menyangkal adanya demam, nyeri dada, pasien tidak menderita penyakit
saat kehamilan, tidak ada riwayat darah sulit berhenti saat terluka, tidak sedang
mengidap penyakit jantung maupun paru.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak pernah mengalami keluhan lemas hingga pingsan sebelumnya. Pasien
menyangkal memiliki penyakit hipertensi, Diabetes Mellitus, jantung, Penyakit
ginjal, Penyakit kuning, Penyakit paru, maupun kelainan darah.
: 70/40
FR
: 28x/ menit
: 35oC
Pemeriksaan Paru :
Pemeriksaan Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V 1 jari medial midclavicula line sinistra
Perkusi :
Batas pinggang jantung : ICS III Parasternal sinistra
Batas jantung kanan: : ICS IV parasternal dextra
Batas jantung-kiri : ICS V 1 jari medial mid clavicula line sinistra
Auskultasi : BJ S1 & S2 regular, murmur (-), gallop (-)
Pemeriksaan Abdomen :
Inspeksi: Tampak datar, supel
Palpasi : Nyeri tekan
epigastrium(+) , hepato
splenomegali (-)
Perkusi: Timpani, shifting
dullness (-)
Status Obstetrikus :
TFU setinggi pusat, kontraksi lemah
VU : perdarahan aktif (+)
VT : Ruptur perineum gr II dan telah di periniorafi
Interpretasi :
foto tidak simetris
Jaringan lunak dan tulang baik
Tidak terdapat destruksi ataupun fraktur tulang costae
Trakea tertarik ke paru kiri
Sudut costophrenicus kanan kiri lancip
Tampak gambaran infiltrate di lapang atas paru kiri dan kanan
Aorta sulit dinilai, Corakan bronkovaskuler meningkat, CTR < 50%
Kesan :
Jantung : kardiomegali tanpa bendungan paru
Anemia ec perdarahan
Leukositosis
Hipoalbunemia
I.6 PENATALAKSANAAN
O2 6 lpm simple mask
IVFD RL 1500 cc loading, RL 500 c + oksitosin 20 Unit
Misoprostol 4 tablet per rektal
Ceftriaxon 1 x 2 gr (H-1)
Metergin 1 ampul IV
Kalnex 1 ampul
Vit K 1 ampul
Ondansentron 1 ampul
Ranitidin 1 ampul
Transfusi PRC 4 kantong hingga Hb 10
Masase uterus
Repair perineum
DC
I.7 FOLLOW UP
28/7/2015
Pukul 16.30 di VK
S/mengeluh pandangan berkurang, mual
O/ 60/ palpasi Pemasangan CVC
28/7/2015
Pukul 17.00 di ICU
S/O/ KU lemah
TD 94/55,N 155,RR 51,Sat 81
Anemis, Cor/pulmo = dbn, TFU=3 jari bpst kontraksi lemah
VT=perdarahan rembes
A/ Syok Hipovolemik pada P1A1 post partum IUFD ec HPP ec atonia uteri,
Laserasi perineum grade II, Anemia ec perdarahan, Leukositosis, Gangguan
Fungsi hati, Hipoalbunemia
P/terpasang CVC, O2 RM 10-15 lpm, R/ ventilator VC, transfusi, resusitasi
cairan CVC 18 cmH20, drip oksitosin 2 ampul dalam RL 20 tpm, drip
dobutamin dan drip vaskon target TD Sistol 100 MAP 70, ceftriaxon 1 x 2 gr
(H-2), ondansentron 3 x 4 mg, Ranitidin 2 x 1 ampul, kalnex dan vit K 1 ampul /
NaCl 0,9% 100 cc 3x 1 habis dalam 30 menit.
29/7/2015
di ICU
S/O/ KU TSB, CM
TD 119/79,N 123,RR 12 terkontrol ventilator,Sat O2 100
30/7/2015
Di ICU
S/ O/ TD 100/64
TFU 2 jari bpst kontraksi baik.
Lab : leukosit 17.000, Hb 6,30, trombosit 77.000, OT/PT = 555/910, albumin
1,92, Ur/Cr= 88,86, 1,56
A/ P1A1 post partum IUFD dengan riwayat syok hipovolemik ec HPP ec atonia
uteri, Laserasi perineum grade II, Anemia ec perdarahan, Leukositosis, Gangguan
Fungsi hati berat, Hipoalbunemia, AKI, Infeksi saluran kemih
P/terpasang ventilator, NGT tertutup, vaskon + dobutamin, Inj Ceftriaxon 1 x 2gr
(H-4), ondansentron 3 x 1 amp, drip kalnex dan vit K 1 ampul/ 8 jam, Inj
Ranitidin 2 x 1 ampul, OMZ 1x1 ampul, lesichol 3 x 1, SNMC drip.
31/7/2015
di ICU
S/O/ KU TSS, CM
TD 101/56,N 80,RR 19,Sat O2 100
1/8/2015
Di jeruk
S/ O/ TD 100/80
TFU 2 jari bpst kontraksi baik.
A/ P1A1 post partum IUFD riwayat HPP ec atonia uteri, Syok Sepsis perbaikan,
Laserasi perineum grade II, Anemia ec perdarahan, Leukositosis, Gangguan
Fungsi hati berat, Hipoalbunemia, AKI dd acute on CKD, Infeksi saluran kemih
P/terpasang ventilator, NGT tertutup, Inj Ceftriaxon 1 x 2gr (H-6), ondansentron 3
x 1 amp, drip kalnex dan vit K 1 ampul/ 8 jam, Inj Ranitidin 2 x 1 ampul, OMZ
1x1 ampul, lesichol 3 x 1, SNMC drip.
3/8/2015
di Markisa
S/batuk berdahak
O/ KU TSS, CM
TD 120/80 Anemis, Cor = dbn, pulmo rh +/+, TFU=2 jari bpst kontraksi baik
Lab : Leukosit 13.120, Hb 8,70, trombosit 220.000. OT/PT 66/360, Ur/Cr =
116,06/ 5,98
A/ P1A1 post partum IUFD riwayat HPP ec atonia uteri, Syok Hipovolemik +
Syok Sepsis perbaikan + DIC, Laserasi perineum grade II, Anemia ec perdarahan,
Leukositosis, Hipoalbumin+ Gangguan Fungsi hati berat+AKI dd acute on CKD
ec DIC, Infeksi saluran kemih, Pneumonia
P/lanjut
Ceftriaxon STOP, Meropenem 3 x 1 gr IV, Dexamethason 3 x 1 ampul, inhalasi
ventolin bisolvin/ 8 jam.
Anjuran HD pasien menolak
8/8/2015
Di Markisa
S/ batuk berdahak +, sesak berkurang
O/ CM/TSS TD 120/70
Kor : BJ I-II regular, M-, gPulmo : vesikuler +/+, rhonki -/-, whezing -/Abdomen : BU + normal
Ekstremitas : hangat, CRT <2 detik
A/ P1A1 HPP dan ruptur perineum grade II, Riwayat Syok Sepsis + DIC,
Pneumonia, gangguan fungsi hati, AKI dd/ acute on CKD, ISK
10
BAB II
PEMBAHASAN
11
Selain itu juga IUFD bisa mengakibatkan terjadinya DIC dan HPP.
IUFD
kerusakan pada desidua plasenta
menghasilkan tromboplastin
tromboplastin masuk ke peredaran darah ibu
Pembekuan intravaskular dimulai dan endotel pembuluh darah oleh
trombosit
pembekuan darah meluas
DIC dan hipofibrinogenemia
berkurangnya fibrinogen
hemoragik Post Partum
Pasien datang dengan tampak pucat, TD 70/40, nadi 102 x/menit, frekuensi napas
28 x/menit, suhu 35oC, dan akral dingin dan dapat disimpulkan pasien detang
dalam keadaan syok.
Sementara Syok ini bisa disebabkan perdarahannya atau disebut sebagai syok
hipovolemik. dan juga bisa disebabkan oleh sepsis karena didapati juga
leukositosis dan ISK.
12
Dan Syok serta DIC yang terjadi pada pasien ini menyebabkan terjadinya MODs
(Multiple Organ Disfunction Syndrome).
DIC
II.2 MATERI
13
C. Etiologi
Penyebab perdarahan dibagi dua sesuai dengan jenis perdarahan yaitu :
Penyebab perdarahan paska persalinan dini :
1. Perlukaan jalan lahir : ruptur uteri, robekan serviks, vagina dan perineum, luka
episiotomi.
2. Perdarahan pada tempat menempelnya plasenta karena : atonia uteri, retensi
plasenta, inversio uteri.
3. Gangguan mekanisme pembekuan darah
Penyebab perdarahan paska persalinan terlambat biasanya disebabkan oleh sisa
plasenta atau bekuan darah, infeksi akibat retensi produk pembuangan dalam
uterus
sehingga
terjadi
sub
involusi
uterus.
D. Faktor predisposisi
Beberapa kondisi selama hamil dan bersalin dapat merupakan faktor predisposisi
terjadinya perdarahan paska persalinan, keadaan tersebut ditambah lagi dengan
tidak maksimalnya kondisi kesehatannya dan nutrisi ibu selama hamil. Oleh
karena itu faktor-faktor haruslah diketahui sejak awal dan diantisipasi pada waktu
persalinan
:
1. Trauma persalinan
Setiap tindakan yang akan dilakukan selama proses persalianan harus diikuti
dengan pemeriksaan jalan lahir agar diketahui adanya robekan pada jalan lahir dan
segera
dilakukan
penjahitan
dengan
benar.
2. Atonia Uterus
Pada kasus yang diduga berisiko tinggi terjadinya atonia uteri harus diantisipasi
dengan pemasangan infus. Demikian juga harus disiapkan obat uterotonika serta
14
pertolongan
persalinan
kala
III
dengan
baik
dan
benar.
15
Pucat
Lemah
Mengigil
Robekan jalan lahir
Plasenta belum lahir setelah 30 menit
Perdarahan segera, uterus berkontraksi dan keras
Tali pusat putus
Inversio uteri
Perdarahan lanjutan
Retensio plasenta
Plasenta atau sebagian selaput tidak lengkap
Perdarahan segera
Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus uteri tidak berkurang
Tertinggalnya sebagian plasenta
Uterus tidak teraba
Lumen vagina terisi massa
Neurogenik syok, pucat dan limbung Inversio uteri
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan umum
a. Ketahui secara pasti kondisi ibu bersalin sejak awal
b. Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman
c. Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
d. Segera lakukan penilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan
dengan masalah dan komplikasi
e. Atasi syok jika terjadi syok
f. Pastikan kontraksi berlangsung baik ( keluarkan bekuan darah, lakukan pijatan
uterus, beri uterotonika 10 IV dilanjutkan infus 20 ml dalam 500 cc NS/RL
dengan tetesan 40 tetes/menit ).
g. Pastikan plasenta telah lahir lengkap dan eksplorasi kemungkinan robekan jalan
lahir
h. Bila perdarahan tidak berlangsung, lakukan uji bekuan darah.
i. Pasang kateter tetap dan pantau cairan keluar masuk
j. Lakukan observasi ketat pada 2 jam pertama paska persalinan dan lanjutkan
pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya.
2. Penatalaksanaan khusus
16
a. Atonia uteri
Kenali dan tegakkan kerja atonia uteri
Sambil melakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika,lakukan
pengurutan uterus.
Pastikan plasenta lahir lengkap dan tidak ada laserasi jalan lahir
Lakukan tindakan spesifik yang diperlukan
Kompresi bimanual eksternal yaitu menekan uterus melalui dinding abdomen
dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi
uteus. Bila perdarahan berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus
dapat kembali berkontraksi atau dibawa ke fasilitasv kesehata rujukan.
Kompresi bimanual internal yaitu uterus ditekan diantara telapak tangan pada
dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjempit pembuluh darah
didalam miometrium.
Kompresi aorta abdominalis yaitu raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan
kiri, pertahankan posisi tersebut genggam tangan kanan kemudian tekankan pada
daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna
vertebralis, penekanan yang tepat akan menghetikan atau mengurangi, denyut
arteri femoralis.
17
plasenta.
Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak jelas.
Jepit porsio dengan klem ovum pada jam 12, 4 dan 8 dan lepaskan spekulum
Tarik ketiga klem ovum agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak jelas.
Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta disisi berlawanan agar
dapat dijepit sebanyak mungkin, minta asisten untuk memegang klem tersebut.
Lakukan hal yang sama pada plasenta kontra lateral
Satukan kedua klem tersebut, kemudian sambil diputar searah jarum jam tarik
plasenta keluar perlahan-lahan.
d. Ruptur uteri
Berikan segera cairan isotonik ( RL/NS) 500 cc dalam 15-20 menit dan siapkan
laparatomi.
Lakukan laparatomi untuk melahirkan anak dan plasenta, fasilitas pelayanan
kesehatan dasar harus merujuk pasien ke rumah sakit rujukan.
Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan memungkinkan,
lakukan operasi uterus.
Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien mengkwatirkan
lakukan histerektomi.
Lakukan bilasan peritonial dan pasang drain dari cavum abdomen.
Antibiotik dan serum anti tetanus, bila ada tanda-tanda infeksi.
e. Sisa plasenta
Penemuan secara dini, dengan memeriksa kelengkapan plasenta setelah
dilahirkan.
Berika antibiotika karena kemungkinan ada endometriosis.
Lakukan eksplorasi digital/bila serviks terbuka dan mengeluarkan bekuan darah
atau jaringan, bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi
sisa plasenta dengan dilatasi dan kuret.
Hbv 8 gr% berikan transfusi atau berikan sulfat ferosus 600mg/hari selama 10
hari.
f. Ruptur peritonium dan robekan dinding vagina
Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber
perdarahan.
Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik.
Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang
dapat diserap.
Lakukan penjahitan luka dari bagian yang paling distal.
Khusus pada ruptur perineum komplit dilakukan penjahitan lapis demi lapis
dengan bantuan busi pada rektum, sebagai berikut:
Setelah prosedur aseptik- antiseptik, pasang busi rektum hingga ujung robekanv
18
Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul sub mukosa,
menggunakan benang polyglikolik No 2/0 ( deton/vierge ) hingga ke sfinter ani,
jepit kedua sfinter ani dengan klem dan jahit dengan benang no 2/0.
Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan sub mukosa dengan benang
yang sama ( atau kromik 2/0 ) secara jelujur.
Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara sub mukosa dan sub kutikuler
Berikan antibiotik profilaksis. Jika luka kotor berikan antibiotika untuk terapi.
g. Robekan serviks
Sering terjadi pada sisi lateral, karena serviks yang terjulur akan mengalami
robekan pada posisi spina ishiadika tertekan oleh kepala bayi.
Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan
banyak maka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan porsio.
Jepitan klem ovum pada kedua sisi porsio yang robek sehingga perdarahan dapat
segera di hentikan, jika setelah eksploitasi lanjutkan tidak dijumpai robekan lain,
lakukan penjahitan, jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian kearah luar
sehingga semua robekan dapat dijahit.
Setelah tindakan periksa tanda vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan
perdarahan paska tindakan.
Berikan antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi.
Bila terjadi defisit cairan lakukan restorasi dan bila kadar Hb dibawah 8 gr%
berikan transfusi darah.
SYOK HIPOVOLEMIK
A.
Pengertian
Syok hipovolemik disebut juga syok preload yang ditamdai dengan menurunnya
volume intravaskuler oleh karena perdarahan. Syok hipovolemik juga bisa terjadi
karena kehilangan cairan tubuh yang lain. Menurunnya volume intravaskuler
menyebabkan penurunan volume intraventrikel kiri pada akhir distol yang
akibatnya juga menyebabkan menurunnya curah jantung (cardiac output).
Keadaan ini juga menyebabkan terjadinya mekanisme kompensasi dari pembuluh
darah dimana terjadi vasokonstriksi oleh katekolamin sehingga perfusi makin
memburuk. Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui
19
permukaan kulit yang hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat atau diare juga
dapat mengakibatkan kehilangan cairan intravaskuler. Pada obstruksi, ileus dapat
terkumpul beberapa liter cairan di dalam usus. Pada diabetes atau penggunaan
diuretic kuat dapat terjadi kehilangan cairan karena dieresis yang berlebihan.
Kehilangan cairan juga dapat ditemukan pada sepsis berat, pancreatitis akut, atau
peritonitis purulenta difus. Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan
kuat, kecuali jika miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat
berkurang. Respon tubuh terhadap perdarahan tergantung pada volume, kecepatan
dan lama perdarahan. Bila volume intravaskuler berkurang, tubuh akan selalu
berusaha mempertahankan perfusi organ-organ vital (jantung dan otak) dengan
mengorbankan perfusi organ yang lain seperti ginjal, hati dan kulit akan terjadi
perubahan-perubahan hormonal melalui system rennin-angiotensin-aldosteron,
system ADH, dan system saraf simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam
pembuluh darah untuk mengembalikan volume intravascular, dengan akibat
terjadi hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial.
Dengan demikian tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan adalah
menormalkan kembali volume intravascular dan interstitial. Bila deficit volume
intravascular hanya dikoreksi dengan memberikan darah maka masih tetap terjadi
deficit interstistial, dengan akibatnya tanda-tanda vital yang masih belum stabil
dan produksi urin yang berkurang. Pengambilan volume plasma dan interstitial ini
hanya mungkin bila diberikan kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran,
dan sebagainya) dan cairan garam seimbang.
DERAJAT SYOK
a)
Syok Ringan
Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti kulit, lemak,
otot rangka, dan tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup lebih lama dengan perfusi
rendah, tanpa adanya perubahan jaringan yang menetap (irreversible). Kesadaran
20
tidak terganggu, produksi urin normal atau hanya sedikit menurun, asidosis
metabolik tidak ada atau ringan.
b)
Syok Sedang
Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal). Organorgan ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti pada lemak, kulit
dan otot. Pada keadaan ini terdapat oliguri (urin kurang dari 0,5 mg/kg/jam) dan
asidosis metabolik. Akan tetapi kesadaran relatif masih baik.
c)
Syok Berat
Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi syok beraksi
untuk menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada syok lanjut terjadi
vasokontriksi di semua pembuluh darah lain. Terjadi oliguri dan asidosis berat,
gangguan kesadaran dan tanda-tanda hipoksia jantung (EKG abnormal, curah
jantung menurun).
B.
Etiologi
21
Kekurangan
oksigen
di
jaringan
menyebabkan
sel
terpaksa
C.
Manifestasi Klinik
22
Manifestasi klinis tergantung pada penyebab syok (kecuali syok neurogenik) yang
meliputi :
1
Sistim sirkulasi : ekstremitas pucat, dingin, dan berkeringat dingin, nadi cepat dan lemah, tekanan darah turun bila kehilangan darah mencapai 30%.
Hipotensi: tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau TAR (tekanan arterial
Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta pengisian
kapiler yang jelek. Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada
usia, kondisi premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya
berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respons
kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan
cairan dengan jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan takhikardia. Kehilangan
volume yang cukp besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia
23
lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang
cepat atau singkat.
Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan hipovolemia,
penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam beberapa
menit. Adalah penting untuk mengenali tanda-tanda syok, yaitu:
v
Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian
sistemik dan curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor yang esensial
dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat
dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak di bawah 70 mmHg.
v
Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam.
Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia akan
menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti: (1) Turunnya turgor jaringan;
(2) Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering; serta
(3) Bola mata cekung.
Akumulasi asam laktat pada penderita dengan tingkat cukup berat, disebabkan
oleh metabolisme anaerob. Asidosis laktat tampak sebagai asidosis metabolik
dengan celah ion yang tinggi. Selain berhubungan dengan syok, asidosis laktat
juga berhubungan dengan kegagalan jantung (decompensatio cordis), hipoksia,
hipotensi, uremia, ketoasidosis diabetika (hiperglikemi, asidosis metabolik,
ketonuria), dan pada dehidrasi berat
24
D.
Patofisiologi
Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga timbul
gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan
seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk
menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran
darah ke tempat yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk
menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan konservasi air.
Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di daerah
arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas
otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk
memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi
karena ginjal mempunyai cara regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi
glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga
menurun.
Fase Progresif
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan
tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi
mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan
darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata,
gangguan seluler, metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan
akhirnya terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak
mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, vena balik (venous return)
menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan
tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis
25
Fase Irevesibel
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat
diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya ireversibilitas syok.
Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah yang
cukup, paru menjadi kaku, timbul edema interstisial, daya respirasi menurun, dan
akhirnya anoksia dan hiperkapnea (www.els.co.id).
E.
Komplikasi
Kegagalan multi organ akibat penurunan alilran darah dan hipoksia jaringan yang
berkepanjangan.
26
Respon Vaskuler
Oksigen melekat pada molekul hemoglobin dalam sel-sel darah merah dan dibawa
ke sel-sel tubuh melalui darah. Jumlah oksigen yang dikirimkan ke sel-sel
bergantung pada aliran darah ke area spesifik dan pada konsentrasi oksigen. Darah
secara continue didaur ulang kembali melalui paru-paru untuk direoksigenasi dan
untuk
menyingkirkan
produk-produk
akhir
metabolism
seluler
seperti
dapat berdilatasi dan berkontraksi sesuai dengan mekanisme pengatur pusat dan
local. Mekanisme pengaturan pusat menyebabkan dilatasi dan konstriksi vaskuler
untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Mekanisme pengaturan
local, disebut sebagai otoregulasi, menyebabkan vasodilatasi/vasokontriksi dalam
berespon
terhadap
bahan
kimia
yang
dilepaskan
oleh
sel-sel
yang
28
F.
1
Pemeriksaan Penunjang
Pada anamnesis Pasien mungkin tidak bisa diwawancara sehingga riwayat sakit
mungkin hanya didapatkan dari keluarga, teman dekat atau orang yang
mengetahui kejadiannya, cari : Riwayat trauma (banyak perdarahan atau
perdarahan dalam perut), Riwayat penyakit jantung (sesak nafas), Riwayat infeksi
(suhu tinggi), Riwayat pemakaian obat ( kesadaran menurun setelah memakan
obat)
Suhu raba dingin (hangat pada syok septik hanya bersifat sementara, karena
begitu syok berlanjut terjadi hipovolemia). Warna pucat (kemerahan pada syok
septik, sianosis pada syok kardiogenik dan syok hemoragi terminal)
Basah pada fase lanjut syok (sering kering pada syok septik).
Tekanan darah
Hipotensi dengan tekanan sistole < 80 mmHg (lebih tinggi pada penderita yang
sebelumnya mengidap hipertensi, normal atau meninggi pada awal syok septic)
Status jantung
Status respirasi
10 Status Mental
11 Gelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan. Kesadaran dan orientasi menurun,
sopor sampai koma. Fungsi Ginjal Oliguria, anuria (curah urin < 30 ml/jam, kritis)
12 Fungsi Metabolik
Asidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan (pada awal syok septik dijumpai
alkalosis metabolik, kausanya tidak diketahui). Alkalosis respirasi akibat takipnea.
Sirkulasi Tekanan vena sentral menurun pada syok hipovolemik, meninggi pada
syok
kardiogenik.
Keseimbangan
Asam
Basa
Pada awal syok pO2 dan pCO2 menurun (penurunan pCO2 karena takipnea,
29
G.
1
Penatalaksanaan
Pastikan jalan nafas pasien dan nafas dan sirkulasi dipertahankan. Beri bantuan
ventilator tambahan sesuai kebutuhan.
Perbaiki volume darah sirkulasi dengan penggantian cairan dan darah cepat sesuai
ketentuan untuk mengoptimalkan preload jantung, memperbaiki hipotensi, dan
mempertahankan perfusi jaringan.
1)
Kateter tekan vena sentra dimasukkan dalam atau didekat atrium kanan
Jarum atau kateter IV diameter besar dimasukkan kedalam vena perifer. Dua
atau lebih kateter mungkin perlu untuk penggantikan cairan cepat dan
pengembalian ketidakstabilan hemodinamik; penekanan pada penggantian
volume.
Buat jalur IV diameter besar dimasukkan ke vena periver. Dua tau lebih kateter
mungkin perlu untuk penggantian cairan cepat dan pengembalian ketidakstabilan
hemodinamik; penekanan pada penggantian volume.
Ambil darah untuk spesimen; garis darah arteri, pemeriksaan kimia, golongan
darah dan pencocokan silang, dan hemtokrit.
Mulai infus IV dengan cepat sampai CVP meningkat pada tingkat pada tingkat
yang memuaskan diatas pengukuran dasar atau sampai terdapat perbaikan pada
kondisi klinis pasien.
30
3)
Infus larutan Ringer Laktat digunakan pada awal penangana karena cairan
Pasang kateter urine tidak menetap: catat haluaran urine setiap 15-30 menit,
volume urine menunjukkan keadekuatan perfusi ginjal.
Tinggikan kaki sedikit untuk memperbaiki sirkulasi serebral lebih baik dan
mendorong aliran darah vena kembali kejantung (posisi ini kontraindikasi pada
pasien dengan cidera kepala). Hindarkan gejala yang tidak perlu.
Berikan obat khusus yang telah diresepkan (misalnya inotropik seperti dopamen)
untuk meningkatkan kerja kardiovaskuler.
31
2)
3)
Pasien yang
Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun SIRS,
sepsis dan syok sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus
terdapat bakteriemia.
Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan
hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi:
1
Asidosis laktat
Oliguria
32
(Hermawan, 2007).
Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi yang menyebabkan
perfusi jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu metabolisme
sel/jaringan. Syok septik merupakan keadaan dimana terjadi penurunan tekanan
darah (sistolik < 90mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik > 40mmHg)
disertai tanda kegagalan sirkulasi, meski telah dilakukan resusitasi secara adekuat
atau perlu vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ
(Chen dan Pohan, 2007).
Etiologi
Penyebab terbesar adalah bakteri gram negatif. Produk yang berperan penting
terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan komponen terluar
dari bakteri gram negatif. LPS merupakan penyebab sepsis terbanyak, dapat
langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat
menimbulkan gejala septikemia. LPS tidak toksik, namun merangsang
pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Bakteri
gram positif, jamur, dan virus, dapat juga menyebabkan sepsis dengan prosentase
yang lebih sedikit. Peptidoglikan yang merupakan komponen dinding sel dair
semua kuman, dapat menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin dapat merusak
integritas membran sel imun secara langsung (Hermawan, 2007).
Patogenesis
Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Sitokin
proinflamasi dan antiinflamasi terlibat dalam patogenesis sepsis. Termasuk sitokin
proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon (IFN-) yang membantu sel
menghancurkan
mikroorganisme
yang
menginfeksi.
Termasuk
sitokin
33
34
35
bakteri, gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan
(Chen dan Pohan, 2007).
Gejala Klinis Sepsis
Tidak spesifik, biasanya didahului demam, menggigil, dan gejala konsitutif seperti
lemah, malaise, gelisah atau kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering:
paru, tractus digestivus, tractus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat.
Gejala sepsis akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita
diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan granulositopenia.
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:
1
Koagulasi intravaskular
Perdarahan usus
Gagal hati
Gagal jantung
Kematian
(Hermawan, 2007).
Diagnosis
Riwayat
Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan apakah
pasien immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:
1
Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi
Perdarahan
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab infeksi dan
inflamasi yang terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan
pemeriksaan rektum, pelvis, dan genital.
36
Laboratorium
Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi,
urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas
darah arteri, elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah, sputum, urin,
dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan.
Temuan
awal
lain:
hiperbilirubinemia,
dan
Leukositosis
dengan
proteinuria.
Dapat
shift
terjadi
kiri,
trombositopenia,
leukopenia.
Adanya
37
Antibiotik
Dosis
Escherichia coli
Ampisilin/sefalotin
Klebsiella,
Gentamisin
Enterobacter
drip
dalam
20-30
menit
Proteus mirabilis
Ampisilin/sefalotin
menghindari flebitis.
Gentamisin
morgagni, Pr.
vulgaris
38
untuk
Mima-Herellea
Gentamisin
Pseudomonas
Gentamisin
Bacteroides
Kloramfenikol/klindamisi
n
(Purwadianto dan Sampurna, 2000).
Fokus infeksi awal harus diobati
Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi
anaerobik. Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang
gangren (Hermawan, 2007).
Penatalaksanaan Syok Septik
Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi yang
perlu dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6
jam pertama, dimulai sejak pasien tiba di unit gawat darurat. Tindakan mencakup
airway:
a)
breathing;
b)
circulation;
c)
oksigenasi,
terapi
cairan,
Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat disfungsi
atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi.
Transpor oksigen ke jaringan juga dapat terganggu akibat keadaan hipovolemik
dan disfungsi miokard menyebabkan penurunan curah jantung. Kadar
hemoglobin yang rendah akibat perdarahan menyebabkan daya angkut oleh
eritrosit menurun. Transpor oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh
gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan gangguan
penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia.
Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan saturasi
oksigen di darah, meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki utilisasi
oksigen di jaringan.
39
Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik
kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor
kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis respon
terhadap pemberian cairan dapat terlihat dari peningkatan tekanan darah,
penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan
ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya penurunan kesadaran. Perlu
diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena jugular,
ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.
Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan
hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
Transfusi eritrosit (PRC) perlu diberikan pada keadaan perdarahan aktif, atau
bila kadar Hb rendah pada keadaan tertentu misalnya iskemia miokardial dan
renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis dipertahankan pada 810 g/dl.
fenileferin
0,5-8
mcg/kg/menit
atau
epinefrin
0,1-0,5
Bikarbonat
Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau serum bikarbonat
<9 meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.
Disfungsi renal
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis
maupun hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration). Pada hemodialisis
40
Nutrisi
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak, cairan,
vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian
secara enteral dan bila tidak memungkinkan beru diberikan secara parenteral.
Kortikosteroid
Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi insufisiensi
adrenal, dan diberikan secara empirik bila terdapat dugaan keadaan tersebut.
Hidrokortison dengan dosis 50mg bolus intravena 4 kali selama 7 hari pada
pasien renjatan septik menunjukkan penurunan mortalitas dibanding kontrol.
Tanda-tanda
perdarahan
(petekie,
purpura,
ekimosis,
41
hematoma,
DIAGNOSIS BANDING
Fibrinolisis primer, penyakit hati berat, pseudo KID
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : DPL, hemostasis lengkap (PT, aPTT, fibrinogen, d-dimer)
TERAPI
Suportif
42
Antikoagulan
Heparin intravena bolus tiap 6 jam dosis 5000 IU,
evaluasi aPTT dengan target 1,5-2,5 x kontrol pada jam kedua dan
keempat
Bila pada jam kedua:
aPTT <1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U
aPTT 1,5-2,5 x kontrol, dosis heparin tetap
aPTT >2,5 x kontrol, evaluasi APTT pada jam keempat, bila:
aPTT <1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U
aPTT >2,5 x kontrol, heparin dikurangi 2500U
KOMPLIKASI
Gagal organ , syok/ hipoperfusi, trombosis vena dalam, KID fulminan
PROGNOSIS
Malam
BAB III
PENUTUP
43
KESIMPULAN
Pada kasus ini disimpulkan bahwa IUFD, anemia, dan bayi besar dapat
menyebabkan atonia uteri yang berakhir pada perdarahan post partum (HPP). Dan
HPP serta penyakit ISK yang diderita pasien dapat menyebabkan Syok yaitu syok
hipovolemik dan Syok Septik yang dapat mengakibatkan DIC dan berujung pada
suatu kerusakan multiorgan atau Multiple Organ Disfunction Syundrom berupa
gangguan fungsi hati, gangguan fungs ginjal, dan juga paru. Untuk penanganan
kasus ini dibutuhkan waktu yang cepat agar prognosis pasien bisa lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
44
2010.
45