You are on page 1of 24

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekologi adalah cabang ilmu yang mempelajari tentang ekosistem.
Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal
balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dilingkungannya, oleh sebab itu
ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh
antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi. Makhluk hidup
dalam ekosistem tidak dapat dipisahkan

dengan unsur-unsur kehidupan baik

biotik maupun abiotik.


Dalam sebuah ekosistem, terdapat kedudukan makhluk hidup yang berada
dalam satu habitat yang disebut dengan relung. Relung atau Niche tidak dapat
dipisahkan dari kajian habitat suatu ekosistem atau populasi serta individu
didalamnya. Relung (Niche) menurut Heddy (1994), menunjukkan peranan
fungsional dan posisi suatu organisme dalam ekosistem. Relung suatu organisme
ditentukan oleh tempat hidupnya (habitat) dan oleh berbagai fungsi yang
dikerjakannya. Dapat dikatakan, bahwa relung adalah kedudukan organisme
dalam habitatnya.
Kedudukan organisme menunjukkan fungsi organisme dalam habitatnya.
Seperti yang kita ketahui, berbagai organisme dapat hidup pada habitat yang sama
akan tetapi apabila dua atau lebih organisme berbeda menempati relung yang
sama dalam satu habitat akan terjadi persaingan. Makin besar kesamaan dalam
relung dari tiap organisme pada suatu habitat maka semakin besar pula persaingan
yang ada. Adanya kesaman relung ini disebut dengan Niche overlap (relung
tumpang tindih). Sejauh mengandalkan dua spesies yang sama jenis makanan
untuk mempertahankan populasi mereka, sejauh itu mereka bersaing dengan satu
sama lain. Organisasi bergantung pada lingkungan untuk sumber daya mereka
untuk mempertahankan diri mereka sendiri, dan sehingga organisasi populasi
bersaing satu sama lain.Tingkat persaingan di antara dua populasi adalah
sebanding dengan tingkat tumpang tindih dalam sumber daya relung mereka.
Pengetahuan tentang konsep relung dalam ekologi merupakan hal yang
penting, pengetahuan ini dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kedudukan
1

fungsional suatu makhluk hidup tertentu dalam komunitasnya. Konsep relung


ekologi dapat diaplikasikan dalam upaya pelestarian atau konservasi hewan
langka. Manfaat relung dalam ekologi untuk aktivitas konservasi adalah sebagai
pengetahuan penggunaan sumber daya biotik dan abiotik oleh organisme yang
secara teoritis mampu digunakan oleh suatu populasi dibawah keadaan ideal,
sehingga dapat dijadikan sebagai bahan acuan memahami dan mengatasi masalah
kondisi dan sumberdaya yang membatasi atau secara potensian membatasi suatu
populasi hewan langka tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, makalah ini disusun
dengan judul Konsep Relung Ekologi dan Pemisahan Relung serta Aplikasinya
dalam Konservasi Hewan Langka.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah sebagai berikut.
1. Apakah pengertian relung (niche) dalam ekologi?
2. Bagaimana konsep relung tumpang tindih (niche overlap) dan pemisahan
relung?
3. Bagaimanakah aplikasi konsep relung ekologi dalam upaya konservasi
hewan langka?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka rumusan masalah sebagai
berikut.
1. Menjelaskan pengertian relung (niche) dalam ekologi.
2. Menjelaskan konsep relung tumpang tindih (niche overlap) dan pemisahan
relung.
3. Mendeskripsikan aplikasi konsep relung ekologi dalam upaya konservasi
hewan langka.

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Relung Ekologi
Relung ekologi adalah posisi atau status dari struktur adaptasi organisme,
respon psikologi, dan tingkah laku spesifik (Odum, 1993). Menurut Pidwirny

(2006) relung ekologi merupakan total kebutuhan suatu spesies terhadap seluruh
sumber daya dan kondisi fisik yang menjadi faktor penentu di mana dia hidup dan
seberapa melimpah spesies tersebut pada suatu lokasi dalam rentangan tersebut.
Suarsana (2011) menyatakan bahwa relung ekologi berbeda dengan habitat,
habitat adalah suatu tempat organisme hidup sedangkan relung merupakan status
organisme dalam suatu komunitas dan ekosistem tertentu yang merupakan
akibat adaptasi struktural, tanggap fisiologis, serta perilaku spesifik
organisme itu. Jadi relung suatu organisme bukan hanya ditetntukan oleh
tempat organisme itu hidup, tetapi juga oleh berbagai fungsi yang ada
disekitarnya.
Para

ahli

ekologi

menggunakan

istilah

Niche

untuk

mencoba

mengungkapkan dalam satu kata: diaman, kapan, dan bagaimana spesies


disesuaikan genetik untuk bersaing dengan spesies lain (untuk cahaya,
kelembapan, nutrisi dan lain-lain) dalam ekosistem, yaitu situs atau habitat, waktu
dominasi dalam urutan succesional dan (fisiologis) adaptasi fungsionalnya.
Relung spesies adalah hasil spesialisasi multidimensi yang spesies dalam
ekosistemnya. Dengan menempati Niche yang berbeda, spesies dapat hidup
berdampingan dalam sebuah ekosistem dengan minimal kompeteisi langsung
(Spurr dan Burton, 1980). Menurut Hutchinson dalam Chase dan Leibold (2003),
relung ekologi memperkenalkan konsep relung ekologi multidimensi, dengan
setiap kisaran toleransi terhadap suatu faktor lingkungan dianggap sebagai
satu dimensi. Sementara persyaratan hidup suatu hewan pasti menyangkut
banyak dimensi.

Dimensi relung adalah toleransi terhadap kondisi-kondisi yang


bervariasi (kelembaban, pH, temperatur, kecepatan angin, aliran air, dan
sebagainya) dan kebutuhannya akan sumber daya alam yang bervariasi. Di
alam, dimensi relung suatu spesies bersifat multidimensi.

Relung dua dimensi contohnya adalah hubungan temperatur dan salinitas


sebagai bagian dari relung kerang di pasir. Untuk relung tiga dimensi, contohnya
adalah hubungan temperatur, pH, dan ketersediaan makanan sebagai bagian dari
relung suatu organisme. Dimensi relung ekologi digambarkan oleh Hutchinson
dalam Chase dan Leibold (2003) yakni Penggambaran hipotetis volume tiga
dimensi (tiga faktor) n-dimensi Niche hypervolume. Area di dalam kubus
mewakili jumlah total yang tersedia dari masing-masing faktor, sementara
wilayah dalam lingkup yang mewakili jumlah masing-masing faktor yang
diperlukan untuk spesies tertentu untuk bertahan hidup.

Gambar 2.1 Hipotesis Volume Tiga Dimensi


(Sumber: Chase dan Leibold, 2003)
Pengertian relung sebenarnya lebih ditekankan pada fungsi setiap organisme
terhadap komunitas dibandingkan dengan tempatnya secara fisik didalam habitat,
pernyataan ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh Olton (dalam
Colinvaux,1973), yang menyatakan bahwa relung adalah tempat hewan didalam
lingkungan biotiknya, dalam hubungannya dengan makanan dan musuh.
Relung ekologi merupakan tempat dimana menentukan habitatnya dan
menentukan status organisme dalam suatu komunitas dan mengetahui kegiatan
atau aktivitas terutama mengenai sumber pangan dan energinya, laju metabolisme
dan pertumbuhannya, pengaruh terhadap organisme lain sehingga mampu
mengubah hal-hal yang penting di dalam suatu ekosistem

Hutchinson dalam Pidwirny (2006), menyatakan bahwa relung dapat


dimodelkan sebagai ruang imajiner dengan banyak dimensi. Setiap dimensi
mewakili rentangan kondisi lingkungan yang dibutuhkan oleh spesies. Perluasan
konsep relung adalah perbedaan antara relung fundamental (pokok) dan relung
yang terealisasi. Relung fundamental suatu spesies meliputi total rentangan
kondisi lingkungan yang sesuai untuk hidup tanpa pengaruh kompetisi
interspesies atau predasi. Sedangkan relung terealisasi adalah bagian dari relung
fundamental yang ditempati oleh spesies tersebut. Pengertian tersebut
diilustrasikan pada gambar 2.2 berikut.

Gambar 2.2 Relung Fundamental dan Relung Terealisasi


(Sumber: Pidwirny, 2006)
Gambar 2.2 di atas menunjukkan bahwa distribusi spesies yang dikontrol
oleh dua macam variabel lingkungan, yaitu suhu dan kelembaban. Area kuning
dan hijau menunjukkan kombinasi suhu dan kelembaban yang dibutuhkan oleh
spesies untuk bertahan dn berkembangbiak dalam habitatnya, ruang sumber daya
ini disebut relung fundamnetal. Sedangkan area hijau menunjukkan kombinasi
dua variabel yang benar-benar digunakan oleh spesies dalam habitatnya
(Pidwirny, 2006).
Dicetuskan oleh Hutchinson dalam Colinvaux (1973) atas dasar kondisi
fisikokimia (faktor-faktor lingkungan), Niche dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
1)

Niche Pokok (Fundamental Niche) adalah beberapa kondisi fisikokimia


yang masih memungkinkan suatu organisme atau populasi dapat hidup, atau
merupakan potensi secara utuh kisaran toleransi hewan terhadap berbagai

faktor lingkungan, yang hanya dapat diamati dalam laboratorium dengan


kondisi lingkungan terkendali. Misalnya yang diamati hanya satu atau dua
2)

faktor saja, tanpa ada pesaing, predator dan lain sebagainya.


Niche Sesungguhnya (Realized Niche) adalah kondisi fisikokimia yang
ditempati oleh organisme atau populasi tertentu secara bersamaan atau
merupakan status fungsional yang benar-benar ditempati dalam kondisi alami,
dengan beroperasinya banyak faktor lingkungan seperti interaksi faktor,
kehadiran pesaing, predator dan lain sebagainya.
Joseph Connell seorang biologiwan mempelajari dua spesies kerang yakni

Balanus balanoides dan Chthamalus stellatus, yang telah dikelompokkan


distribusi di bebatuan sepanjang pantai Skotlandia. Di alam, Balanus gagal untuk
bertahan hidup di bebatuan yang tinggi karena tidak mampu menahan kekeringan
selama pasang surut. Sebaliknya, Chthamalus biasanya terkonsentrasi pada
lapisan atas batuan.

Gambar 2.3 Realized Niche Balanus dan Chthamalus


(Sumber : www.blendspace.com)
Percobaan Connell untuk menentukan fundamental Niche Chthamalus,
Connell membuang Balanus dari strata yang lebih rendah, ketika Connell
membuang Balanus dari strata yang lebih rendah, hal ini menyebabkan
penyebaran Chthamalus ke daerah strata yang lenih rendah tersebut. Penyebaran
Chthamalus ketika Balanus telah dihapus menunjukkan bahwa adanya kompetisi
antara Balanus dan Chthamalus, hal ini juga menunjukkan bahwa relaized Niche
Chthamalus jauh lebih kecil daripada fundamental Niche nya.

Gambar 2.4 Fundamental Niche Chthamalus


(Sumber : www.blendspace.com)
Relung (Niche) dalam ekologi merujuk pada posisi unik yang ditempati
oleh suatu spesies tertentu berdasarkan rentang fisik yang ditempati dan peranan
yang dilakukan di dalam komunitasnya. Konsep ini menjelaskan suatu cara yang
tepat dari suatu organisme untuk menyelaraskan diri dengan lingkungannya.
Habitat adalah pemaparan tempat suatu organisme dapat ditemukan, sedangkan
relung adalah pertelaahan lengkap mengenai bagaimana suatu organisme
berhubungan dengan lingkungan fisik dan biologisnya oleh sebab itu relung
ekologi suatu organisme tidak hanya tergantung di mana organisme tadi hidup,
tetapi juga pada apa yang dilakukan organisme (bagaimana organisme mengubah
energi, bertingkah laku, bereaksi, mengubah lingkungan fisik maupun biologi)
dan bagaimana organisme dihambat oleh spesies lain (Heddy, 1994).
Colinvaux (1973) mengemukakan bahwa ada beberapa pengertian
yang berbeda tentang relung, meskipun semua saling berhubungan, sebagai
berikut.
1. Relung sebagai fungsi komunitas (disebut relung kelas 1).
Dalam pengertian ini, relung berarti tempat hewan didalam lingkungan
biotiknya, dalam hubungannya dengan makanan dan musuh. Relung ini juga
dapat disebut relung komunitas. Misalnya, ular berperan sebagai pemangsa
katak dan merupakan makanan burung elang. Dalam rantai makanan, relung
dalam pengertian ini dinyatakan sebagai tingkat trofik, artinya jika suatu hewan
menduduki suatu tingkat trofik tertentu maka tingkat trofik tersebut merupakan
relungnya didalam rantai makanan. Misalnya kijang menduduki tingkat trofik
II mempunyai relung sebagai trofik II bagi organisme lain dalam rantai

makanan yang didudukinya dalam rantai makanan tersebut kijang mempunyai


relung sebagai pemangsa produsen dan menjadi mangsa dari konsumen yang
menduduki trofik di atasnya.
2. Relung dalam definisi jenis (relung kelas II)
Relung dapat didefinisikan dari sudut pandang individu diantara
populasinya. Maka relung adalah sejumlah kemampuan khusus dari individu
untuk memenfaatkan sumber daya, bertahan dari bahaya dan berkompetisi
sesuai dengan keperluannya. Kemampuan-kemampuan individu yang sudah
teradaptasi merupakan ciri dari populasi atau sejenisnya, dan ciri itu
merupakan relung jenis (species Niche). Sebagai contoh: Burung Robin yang
aslinya hidup di Amerika (Turdus migratorius) mempunyai kemampuan yang
sudah teradaptasi yaitu menarik cacing dari liangnya, berburu serangga,
menerima panggilan alam dari sesamanya, dan mempunyai ketrampilan
navigasi untuk bermigarsi ketempat yang jauh sebanyak dua kali dalam
setahun. Kemampuan-kemampuan tersebut merupakan cara hidup yang khas
dari burung Robin, dan merupakan relung burung Robin. Relung kelas I dan
kelas II sama-sama menjelaskan tentang profesi hewan, tetapi dari sudut
pandang yang berbeda. Misalnya relung kelas I menyoroti burung Robin
sebagai pemangsa cacing dan menjadi makanan elang (perannya dalam
komunitas), sedangkan relung kelas II memandang peran burung Robin bagi
dirinya sendiri (relung jenis) yaitu menarik cacing, menghindarkan diri dari
elang dan lain-lain. Relung kelas II hanya dimiliki oleh burung Robin dari
Eropa. Burung Robin dari Eropa (antara lain : Turdus merula, dan Turdus
ericetorum) meskipun dapat menarik cacing, mungkin kecakapannya berbeda.
3. Relung sebagai kualitas lingkungan (Relung kelas III).
Relung jenis ini hanya dapat dijalankan pada kondisi-kondisi tertentu saja.
Misalnya ; kemampuan burung Robin untuk menarik cacing hanya dapat
dilakukan dilingkungan yang banyak cacingnya. Maka dari itu pengertian
relung jenis ini ada hubungannya dengan kondisi-kondisi lingkungan khusus.
Colivaux (1973) menyebutkan denga environmental space, dimana suatu
populasi dapat bertahan hidup dan berkembang biak secara optimal.

Berdasarkan prinsip inilah tampaknya Macfayden (dalam Colinvaux, 1973)


merumuskan definisi tentang relung sebagai berikut; relung adalah sejumlah
kondisi ekologis diman jenis dapat mengkolonisasi sumber energi secara
efektif

sehingga

mampu

berkembang

biak

dan

selanjutnya

dapat

mengkolonisasi ko0ndisi lingkungan tersebut. Sementar itu Hucthinson (dalam


Colinvaux, 1973) menyatakan relung adalah suatu hipervolume yang
multidimensional dari akses-akses sumber daya. Definisi Hutchinson itu dapat
dijelaskan dengan mudah sebagai berikut. Organisme dari suatu jenis dapat
bertahan hidup, tumbuh dan berkenbang biak, serta mempertahankan
populasinya hanya dalam batas temperatur tertentu. Rentangan temperatur itu
merupakan relung hanya dalam satu dimensi yaitu dimensi suhu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan Relung Ekologi antara lain
sebagai berikut.
a. Kedudukan yang ditempati oleh suatu spesies di dalam jaring-jaring
makanan (relung trofik).
b. Kisaran suhu, kelembaban, salinitas yang diterima oleh setiap spesies
dalam suatu habitat (relung multidimensional).
c. Tempat atau ruang spesies hidup (relung habitat).
Tiap faktor merupakan bagian dari relung suatu spesies, biasanya berkisar
dalam kisaran toleransi. Jadi setiap organisme dapat menahan suatu kisaran
tertentu dari suhu, kelembaban, pH, dan salinitas.
2.2 Konsep Niche Overlap dan Pemisahan Relung
Niche overlap (relung tumpang tindih) terjadi ketika ada dua
organisme yang menggunakan sumber daya alam yang sama atau variabel
lingkungan

lainnya.

Dalam

terminologi

Hutchinson,

setiap

n-dimensi

hypervolume termasuk bagian dari yang lain, atau beberapa poin dalam dua
kelompok yang membentuk mereka menyadari Niche adalah identik. Tumpang
tindih berakhir ketika dua unit organisme memiliki relung yang identik, dan tidak
ada tumpang tindih jika dua Niche benar-benar berbeda. Pada umumnya, relung
tumpang tindih hanya sebagian, dengan beberapa sumber dibagi dan lainlain yang digunakan secara eksklusif oleh masing-masing unit organisme.

10

Hutchinson

(1957)

dalam

Colinvaux

(1973)

mengatakan

bahwa

memperlakukan relung tumpang-tindih dalam cara yang sederhana dengan asumsi


bahwa lingkungan adalah sepenuhnya jenuh, tumpang tindih Niche itu tidak dapat
ditoleransi untuk jangka waktu dan pengecualian kompetitif harus terjadi di
bagian tumpang tindih dari setiap dua celah. Dengan demikian, persaingan
diasumsikan intens dan menghasilkan hanya satu spesies hidup di relung yang
diperebutkan. Sementara pendekatan disederhanakan ini memiliki kekurangan, itu
sangat berguna untuk memeriksa setiap kemungkinan kasus yang mungkin terjadi
sebelum mempertimbangkan relung tumpang tindih dan persaingan dalam cara
yang lebih realistis. Pertama, dua relung mendasar bisa identik, sesuai persis satu
sama lain, walaupun identitas ekologis seperti tidak terbatas. Dalam hal ini sangat
mustahil hal tersebut, unit organisme yang unggul termasuk kompetisi yang lain.
Kedua, salah satu relung mendasar mungkin akan benar-benar termasuk dalam
lain; dalam situasi ini, hasil dari kompetisi tergantung pada kemampuan
kompetitif relatif dari dua unit organisme. Jika satu dengan yang disertakan adalah
secara kompetisi relung lebih rendah, hal itu dimusnahkan dan seluruh relung
menempati ruang lain, sedangkan jika unit organisme sebelumnya lebih unggul,
menghilangkan yang terakhir dari relung yang diperebutkan. Dua unit organisme
lalu hidup berdampingan dengan menduduki relung yang unggul termasuk dalam
relung-relung yang lain. Ketiga, dua segmen mendasar mungkin tumpang tindih
hanya sebagian, dengan beberapa relung ruang yang sedang berbagi dan beberapa
digunakan organisme tertentu oleh masing-masing unit, dalam kasus ini masingmasing unit organisme memiliki "perlindungan" dari pesaingnya ruang relung dan
keberadaan yang tidak bisa dihindari, dengan pesaing superior yang menduduki
diperebutkan (tumpang tindih) ruang relung. Keempat, relung mendasar mungkin
berbatasan satu sama lain seperti pada; meskipun persaingan tidak langsung dapat
terjadi, seperti hubungan relung mungkin mencerminkan menghindari persaingan.
Akhirnya, jika dua fundamental relung sepenuhnya terpisah-pisah (tidak tumpang
tindih), tidak ada persaingan dan keduanya menempati unit organisme seluruh
relung mendasar. Berikut adalah macam-macam Niche overlap (Smith,1990).
1) An Included Niche

11

Keadaan ini terjadi pada suatu kedudukan dari suatu spesies berada
dalam kedudukan dari spesies yang lain. Keadaan ini digambarkan pada
grafik dibawah ini.

Gambar 2.5 An Included Niche


(Sumber: Pianca, 1974)
Pada grafik di atas terlihat bahwa kedudukan dari spesies dua (S 2)
berada di dalam kedudukan spesies satu (S 1), artinya seluruh kedudukan dari
spesies 2 tumpang tindih dengan kedudukan spesies 1. Dalam hal ini ada 2
bentuk kompetisi yang mungkin terjadi sebagai akibat dari adanya Niche
overlap atau kedudukan yang tumpang tindih, yaitu:
Jika spesies 2 unggul maka akan mengurangi kedudukan atau relung
yang dimiliki oleh spesies 1 karena spesies 2 mampu berkompetisi dalam
mempertahankan sumber daya dan kedudukannya di dalam ekosistem
(digambarkan dengan garis putus-putus), sehingga relung yang dimiliki oleh
spesies 1 semakin berkurang.
Sebaliknya jika spesies 1 unggul maka spesies 2 akan terancam
keberadaannya, karenanya spesies 2 tidak mampu bersaing atau berkompetisi
dengan spesies 1 sehingga tidak mampu mempertahankan kedudukannya
dalam ekosistem untuk mendapatkan sumber daya atau faktor-faktor
lingkungan yang lain.
2) Equal overlap

12

Gambar 2.6 Equal overlap


(Sumber: Pianca, 1974).
Pada equal overlap besar kedudukan yang dimiliki oleh dua spesies
adalah sama besar, dan di antara Niche tersebut ada sebagian kedudukan yang
digunakan

secara

bersama-sama

(tumpang

tindih/overlap

sebagian).

Persaingan atau kompetisi yang muncul antara spesies 1 (S 1) dan spesies 2


(S2) cenderung seimbang karena masing-masing spesies memiliki luas
kedudukan yang sama.
3) Unequal Overlap

Gambar 2.7 Unequal Overlap


(Sumber: Pianca, 1974))
Unequal overlap terjadi apabila kedudukan dari spesies 1 lebih besar
dari pada kedudukan spesies 2, dan terjadi penggunaan sebagian kedudukan
dan sumber daya secara bersama-sama. Kompetisi yang timbul dalam
menggunakan sumber daya/kedudukan pada keadaan ini tidak seimbang
karena kedudukan dari spesies 1 hanya sebagian kecil saja, sedangkan pada
spesies 2 hampir mencapai separuh dari kedudukannya mengalami overlap
(digunakan bersama-sama) dengan spesies 1.

13

4) Abuting Niche

Gambar 2.8 Abuting Niche


(Sumber: Pianca, 1974))
Kondisi ini terjadi ketika kedudukan dari spesies 1 dan spesies 2
bersinggungan, namun tidak sampai terjadi overlap. Hal ini memungkinkan
terjadinya kompetisi secara tidak langsung pada bagian yang bersinggungan.
Persinggungan kedudukan ini dihasilkan dari kompetisi yang terjadi pada
Niche overlap sebagai indikasi untuk menghindari terjadinya persaingan
(kompetisi).
5) Disjunct Niche

Gambar 2.9 Disjunct Nice


(Sumber: Pianca, 1974))
Pada keadaan ini tidak terjadi overlap karena relung atau kedudukan
dari dua organisme memisah secara sempurna. Masing-masing organisme
memiliki Niche yang tidak saling berhubungan satu sama lain sehingga tidak
terjadi kompetisi.
Apabila terjadi overlap relung dalam suatu area sumber daya yang sama,
pilihan untuk hidup bersama menunjukkan bahwa pemisahan relung atau
pengurangan overlap dapat terjadi. Meskipun terdapat banyak spesies yang
memiliki relung yang sama, aksioma kunci dalam ekologi menyebutkan bahwa

14

tidak ada satu spesies yang dapat berperan dalam relung yang sama. Teori dan
beberapa eksperimen menunjukkan bahwa jika hal tersebut terjadi maka salah satu
spesies akan keluar dari kompetisi atau mengeluarkan spesies lainnya.
Desmukh (1992) menyatakan bahwa berbagai jenis populasi dengan
keperluan sumber daya yang sama tidak dapat berkoeksistensi (hidup bersama
dalam satu habitat) untuk waktu yang tidak terbatas dan bahwa hal ini akan
menyebabkan terjadinya pemisahan relung ekologi dalam pemanfaatan sumber
daya. Suatu spesies biasanya memiliki relung yang lebih besar pada saat
ketidakhadiran predator dan kompetitor, Dengan kata lain, ada beberapa
kombinasi tertentu dari kondisi dan sumber daya alam yang dapat membuat suatu
spesies mempertahankan viabilitas (kehidupan) populasinya, hanya bila tidak
sedang diberi pengaruh merugikan oleh musuh-musuhnya.
Prinsip eksklusif kompetitif menyatakan bahwa dua spesies tidak dapat
hidup bersama-sama dalam suatu komunitas jika relungnya identik. Akan tetapi,
spesies yang secara ekologis serupa dapat hidup bersama-sama dalam suatu
komunitas, jika terdapat satu atau lebih perbedaan yang berarti dalam relung
mereka. Bila dua spesies bergantung pada sumber tertentu dalam lingkungannya,
maka mereka saling bersaing untuk mendapatkan sumber tersebut. Peristiwa yang
paling sering terjadi, sumber yang diperebutkan tersebut adalah makanan, tetapi
dapat pula hal-hal seperti tempat berlindung, tempat bersarang, sumber air.
Adanya interaksi persaingan antara dua spesies atau lebih yang memiliki
relung ekologi yang sangat mirip maka mungkin saja spesies-spesies tersebut
tidak terkoeksistensi dalam habitat yang sama secara terus-menerus. Hal ini
menunjukkan bahwa suatu relung ekologi tidak dapat ditempati secara simultan
dan sempurna oleh populasi stabil lebih dari satu spesies. Pernyataan ini dikenal
sebagai Asas eksklusif persaingan atau Aturan Gause.
Sehubungan dengan asas tersebut di atas, menurut Asas koeksistensi,
beberapa spesies yang dapat hidup secara langgeng dalam habitat yang sama ialah
spesies-spesies yang relung ekologinya berbeda-beda. Tentang pentingnya
perbedaan-perbedaan diantara berbagai spesies telah lama dikemukakan oleh
Darwin pada tahun 1859. Darwin menyatakan bahwa makin besar perbedaan-

15

perbedaan yang diperlihatkan oleh berbagai spesies yang hidup di suatu tempat,
makin besar pula jumlah spesies yang dapat hidup di suatu tempat itu. Pernyataan
Darwin tersebut dikenal sebagai asas Asas divergensi.
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa aspek relung ekologi yang
menyangkut dimensi sumberdaya, khususnya yang vital untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakan, dari beberapa spesies harus berbeda (terpisah) agar dapat
berkoeksistensi dalam habitat yang sama. Perbedaan atau pemisahan relung itu
juga mencakup aspek waktu aktif.
2.3 Aplikasi Relung (Niche) pada Konservasi Hewan Langka
Konservasi adalah seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan situasi
dan kondisi setempat. Konservasi muncul akibat adanya suatu kebutuhan untuk
melestarikan sumber daya alam yang mengalami degradasi mutu secara tajam,
dampak degradasi tersebut dapat menimbulkan kepunahan, misalnya satwa
langka. Dengan memanfaatkan pengetahuan tentang relung ekologi maka aktivitas
konservasi dapat dilaksanakn dengan baik. Pengetahuan tentang relung ekologi
bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara hewan tersebut hidup seperti
tumbuh kembang, tempat tinggal yang sesuai dengan hewan tersebut, serta
interaksi hewan dengan hewan lainnya. Jadi, dalam sebuah konservasi maka
harus mempelajari segala hal yang berhubungan dengan hewan yang akan
kita lindungi tersebut, terutama kita mempelajari tentang relungnya agar kita
dapat melestarikannya dengan baik. Berikut beberapa contoh konservasi hewan
langka.
1) Penangkaran Penyu Hijau (Chelonia mydas L.)
Penyu hijau (Chelonia mydas L.) merupakan jenis penyu yang paling
sering ditemukan dan hidup di laut tropis. Dapat dikenali dari bentuk kepalanya
yang kecil dan paruhnya yang tumpul. Ternyata nama penyu hijau bukan karena
sisiknya berwarna hijau, tapi warna lemak yang terdapat di bawah sisiknya
berwarna hijau. Tubuhnya bisa berwarna abu abu, kehitam-hitaman atau
kecoklatcoklatan. Populasi penyu hijau di Indonesia terus menurun, penurunan
populasi penyu hijau di alam disebabkan oleh pencurian telur dan anak penyu
semakin meningkat, lalu lintas air yang semakin ramai oleh para nelayan serta

16

para pengunjung dan banyaknya vegetasi yang rusak akibat terjadinya abrasi yang
mengakibatkan terjadinya pendegradasi habitat penyu. Oleh karena itu perlu
dilakukan upaya konservasi penyu hijau.

Gambar 2.10 Penyu Hijau (Chelonia mydas L.)


(Sumber: http://alamendah.org/2009/08/29/hindari-kepunahan-penyu)
Pantai tempat habitat untuk bertelur penyu memiliki persyaratan umum
antara lain pantai mudah dijangkau dari laut, posisinya harus cukup tinggi agar
dapat mencegah telur terendam oleh air pasang tertinggi, pasir relatif lepas (loose)
serta berukuran sedang untuk mencegah runtuhnya lubang sarang pada saat
pembentukannya. Pemilihan lokasi ini merupakan habitat tempat bertelur yang
disukai oleh penyu dengan keadaan lingkungan bersalinitasi rendah, lembab, dan
substrat yang baik sehingga telurtelur penyu tidak tergenang air selama masa
inkubasi. Salah satu tempat habitat bertelur penyu hijau adalah Kawasan TWA
Sungai Liku yang terdapat di Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas. Kawasan
TWA Sungai Liku merupakan pantai berpasir yang cukup luas dan relatif datar
dengan ketinggian tempat 05 meter dari permukaan laut yang sangat baik untuk
habitat tempat bertelur penyu hijau.
Hasil penelitian Pradana, dkk (2013) mengungkap bahwa kondisi fisik
Kawasan TWA Sungai Liku merupakan kawasan dengan pantai yang cukup
panjang, dengan panjang yaitu sebesar 9.893 meter, kemiringan pantai sebesar 6
12% nilai tersebut menujukkan bahwa Kawasan TWA Sungai Liku termasuk
dalam kategori pantai landai. Hasil pengukuran suhu dan kelembaban udara pada
lokasi penelitian terdapat rerata yaitu suhu pada pukul 18.00 dengan rerata sebesar
26,4C suhu terendah sedangkan kelembaban pada pukul 18.00 dengan rerata

17

sebesar 73% merupakan kelembaban tertinggi bahwa penyu naik untuk bertelur
pada malam hari karena suhu relatif rendah dengan kelembaban udara yang tinggi.
Jenis vegetasi yang terdapat di Kawasan TWA Sungai Liku yang paling
mendominasi adalah jenis cemara (Casuarinaceae equisetifolia). Dari hasil
penelitian diketahui bahwa kondisi habitat tempat bertelur penyu hijau di
Kawasan TWA Sungai Liku masih sangat baik untuk habitat dan tempat bertelur
penyu yang dapat dilihat dari kondisi fisik dan bioligis pada kawasan tersebut,
walaupun masih terdapat beberapa gangguan yang terjadi namum gangguan
tersebut masih dapat bisa diatasi.
2) Konservasi Burung Maleo (Macrocephalon maleo)
Burung maleo (Macrocephalon maleo) adalah satwa endemik Sulawesi
yang statusnya dilindungi undang-undang, populasi burung maleo terus menurun
dengan drastis karena degradasi dan fragmentasi habitat, serta dipercepat oleh
eksploitasi terhadap telurnya. Degradasi habitat meliputi penurunan kualitas yang
disebabkan oleh kerusakan hutan dan pengurangan luas akibat konversi hutan.
Fragmentasi habitat disebabkan oleh konversi hutan di sekitar habitatnya sehingga
menjadi terisolasi dan terpencar-pencar dalam kantongkantong habitat yang kecil.
Hal ini disebabkan oleh rencana tata ruang wilayah yang kurang memperhatikan
aspek ekologiakibat kurangnya koordinasi antar sektor.
Komponen habitat burung maleo yang terpenting adalah lapangan tempat
mengeramkan telurnya, karena burung maleo tidak mengerami sendiri telurnya,
melainkan memendamnya didalam tanah atau pasir pada kedalaman tertentu di
pantai atau di hutan dengan cara menimbun tanah dan seresah dengan tinggi satu
setengah meter dan diameter sarang 3 4 meter tergantung jumlah pasangan yang
bertelur. Dalam rangka upaya konservasi burung maleo, diperlukan berbagai
informasi ekologis satwa tersebut. Salah satu aspek yang sangat penting untuk
diketahui adalah strategi burung tersebut dalam seleksi dan penggunaan habitat
tempat bertelurnya sehubungan dengan adanya perbedaan sumber panas,
perubahan struktur vegetasi, keragaman jenis vegetasi, ketersediaan pakan dan
meningkatnya gangguan oleh aktivitas oleh manusia.

18

Gambar 2.11 Burung Maleo (Macrocephalon maleo)


(Sumber: http://www.gocelebes.com/burung-maleo/)
Hasil penelitian Tuhumury (tanpa tahun), mengungkap bahwa burung
maleo membuat sarang pengeraman telurnya dengan bentuk, dimensi dan tipe
sedemikian rupa sehingga dapat memberikan fungsi pengeraman yang efektif dan
memberikan perlindungan serta kemudahan bagi anak maleo setelah menetas agar
dapat mencapai permukaan tanah dengan selamat. Rata-rata masa pengeramannya
65,19 hari, masa pengeraman terpendek 30 hari pada temperatur 38 C dan
terlama 98 hari pada temperatur 34 C. Peningkatan temperatur lebih dari 34 C
dapat memperpendek masa pengeraman tetapi menurunkan keberhasilan
penetasan. Tipe sarang yang paling disukai oleh burung maleo di dalam hutan
berturut-turut yaitu tipe sarang di antara banir pohon, di bawah pohon tumbang, di
samping sistem perakaran, di bawah naungan tajuk danyang paling tidak disukai
adalah di tempat terbuka. Sementara itu, di Tanjung Maleo 100% sarang yang
dipergunakan dibuat di tempat terbuka.
Burung maleo berinteraksi dengan satwa liar lain di habitat tempat
bertelurnya dalam bentuk pemangsaan, persaingan makanan dan komensalisme.
Satwaliar yang menjadi pemangsa (predator) burung maleo atau telurnya antara
lain: Hydrosaurus amboinensis, Varanus sp., Phyton sp., Sus sp., dan burung
elang. Pesaing burung maleo dalam makanan adalah burung-burung yang
memiliki jenis makanan yang sama (buah, biji dan invertebrata) dan mencari

19

makan di hutan. Interaksi dalam bentuk komensalisme terjadi dengan satwaliar


yang memiliki makanan yang sama tetapi melakukan aktivitas makan di atas
pohon dan karena aktivitasnya membuat makanan jatuh ke lantai hutan, seperti
burung rangkong (Rhyticeros plicatus), pombo hutan (Ducula consina/Ducula
bicolor) dan satwa-satwa pemakan buah/biji lainnya seperti kuskus (Phalanger
sp.). Predator yang sering di temukan pada malam hari adalah ular, kucing, anjing,
babi, dan tikus, sedangkan pada siang hari yaitu; burung elang dan manusia yang
mengambil telur atau satwa burung maleonya dengan menggunakan jerat.
Berdasarkan hal diatas, maka upaya pelestarian dan pengelolaan burung
maleo, yaitu:
a. Mengevaluasi rencana tata ruang wilayah yang melibatkan habitat tempat
bertelur burung Maleo.
b. Mencagarkan semua habitat tempat bertelur burung Maleo yang terletak di
luar kawasan konservasi.
c. Membersihkan rumput dan vegetasi sekunder yang menutupi lapangan
persarangan agar dapat memberikan ruang bagi sarang yang cukup.
d. Mengefektifkan Pengamanan habitat tempat bertelur burung Maleo dan
sanksi terhadap pencuri telur burung Maleo.
e. Melakukan penetasan buatan secara in-situ di beberapa lokasi yang rawan.
f. Pembinaan habitat yang telah rusak dan restorasi habitat yang telah
ditinggalkan sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas dan memulihkan
kembali fungsinya.
3) Konservasi ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis)
Hasil penelitian Kartamihardja dan Purnomo (2006), mengungkapkan
bahwa ikan bilih atau dalam bahasa ilmiah disebut Mystacoleucus padangensis
Bleeker adalah ikan endemik yang hidup di danau Singakarak, Sumatera Barat
Kottelat. Sebagai ikan endemik, ikan bilih hidup dalam geografisyang terbatas
sehingga di dunia hanya ditemukan di danau Singkarak. Oleh karenaitu, danau
Singkarak merupakan habitat asli ikan bilih. Ikan bilih rentan terhadap kepunahan
akibat kerusakan habitat dan eksploitasi yang intensif.

20

Gambar 2.12 Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis)


(Sumber: http://p2mkp.com/selamatkan-ikan-bilih/)
Ikan bilih melakukan reproduksi atau pemijahan dengan mengikuti aliran
air di sungai yang bermuara ke danau. Habitat pemijahan adalah perairan sungai
yang jernih, dengan suhu air relatif rendah, berkisar 24-26 C, dasar sungai yang
berbatu kerikil dan atau pasir. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pemijahan
ikan bilih adalah arus air dan substrat dasar. Ikan bilih menuju ke daerah
pemijahan menggunakan orientasi visual dan insting. Sesampai di habitat
pemijahan, betina melepaskan telur dan bersamaan jantan melepaskan sperma
untuk membuahi telur. Telur yang telah dibuahi berwarna transparan dan
tenggelam di dasar sungai (di kerikil atau pasir) untuk kemudian hanyut terbawa
arus air masuk ke danau. Telur-telur tersebut akan menetas di danau sekitar 19 jam
setelah dibuahi pada suhu air antara 27-28 C dan larva berkembang di danau
menjadi dewasa.
Pola tingkah laku pemijahan ikan bilih dimanfaatkan nelayan di danau
Singakarak untuk menangkap menggunakan alat penangkap dipasang di aliran
sungai oleh masyarakat setempat disebut alahan. Alahan ini menangkap ikan bilih
yang akan memijah, sehingga jika terus-menerus dilakukan tanpa pengelolaan
yang baik, populasi ikan bilih akan menurun dan menjadi langka atau punah. Ikan
bilih rentan terhadap kepunahan akibat kerusakan habitat dan eksploitasi yang
intensif.
Konservasi ikan bilih dimulai pada tahun 2003 dengan melakukan
introduksi ikan. Introduksi ikan (fish introduction/transplantation) adalah upaya
memindahkan atau menebar ikan dari suatu perairan ke perairan lain dimana jenis
ikan yang ditebarkan semula tidak terdapat di perairan tersebut. Dengan demikian,
introduksi ikan bilih berarti memindahkan ikan bilih dari habitat asli di danau

21

Singkarak ke habitat baru di Danau Toba. Introduksi ikan bilih ke Danau Toba
dilakukan melalui proses penelitian yang cukup panjang. Kegiatan penelitian
pertama adalah mempelajari tingkah laku di habitat asli Danau Singkarak yang
meliputi aspek makanan dan kebiasaan makan, pertumbuhan, dan reproduksi serta
karakteristik habitat yang diperlukan, baik habitat pemakanan, asuhan dan
pemijahan (Kartamihardja dan Purnomo, 2006).
Faktor-faktor kunci keberhasilan introduksi ikan bilih antara lain adalah
karakteristik limnologis Danau Toba mirip dengan Danau Singkarak, habitat
pemijahan ikan bilih di Danau Toba lebih banyak/luas dari Danau Singkarak,
makanan alami sebagai makanan utama ikan bilih cukup tersedia dan belum
seluruhnya dimanfaatkan oleh jenis ikan lain yang hidup di Danau Toba. Selain
introduksi ikan, konservasi yang dilakukan pada ikan bilih adalah dengan
penetapan suaka perikanan di muara-muara sungai seperti Sungai Sipangolu di
Bakara, Sungai Sipiso-piso di Tongging, Sungai Sisodang di Tornok dan Sungai
Naborsahan di Ajibata. Upaya untuk melindung ikan bilih yang memijah
diantaranya dengan pengaturan alat tangkap baik jenis maupun jumlahnya dan
pengaturan ukuran ikan bilih yang tertangkap.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Relung ekologi adalah posisi atau status dari struktur adaptasi organisme,
respon psikologi, dan tingkah laku spesifik organisme. Relung ekologi
juga diartikan sebagai total kebutuhan suatu spesies terhadap seluruh
sumber daya dan kondisi fisik yang menjadi faktor penentu di mana dia
hidup dan seberapa melimpah spesies tersebut pada suatu lokasi dalam
rentangan tersebut. Relung ekologi berbeda dengan habitat, habitat adalah
suatu tempat organisme hidup sedangkan relung merupakan status
organisme dalam suatu komunitas dan ekosistem tertentu yang merupakan
akibat adaptasi struktural, tanggap fisiologis, serta perilaku spesifik
organisme itu.

22

22

Niche overlap (relung tumpang tindih) terjadi ketika ada dua organisme
yang menggunakan sumber daya alam yang sama atau variabel lingkungan
lainnya. Adanya interaksi persaingan antara dua spesies atau lebih yang
memiliki relung ekologi yang sangat mirip maka mungkin saja spesiesspesies tersebut tidak terkoeksistensi dalam habitat yang sama secara
terus-menerus. Berbagai jenis populasi dengan keperluan sumber daya
yang sama tidak dapat berkoeksistensi (hidup bersama dalam satu habitat)
untuk waktu yang tidak terbatas dan bahwa hal ini akan menyebabkan

terjadinya pemisahan relung ekologi dalam pemanfaatan sumber daya.


Manfaatkan pengetahuan tentang relung ekologi maka aktivitas konservasi
dapat dilaksanakan dengan baik. Pengetahuan tentang relung ekologi
bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara hewan tersebut hidup seperti
tumbuh kembang, tempat tinggal yang sesuai dengan hewan tersebut, serta
interaksi hewan dengan hewan lainnya. Jadi, dalam sebuah konservasi
maka harus mempelajari segala hal yang berhubungan dengan hewan yang
akan dilindungi. Konservasi di Indonesia telah dilakukan seperti

konservasi Penyu hijau, burung maelo dan ikan bilih.


3.2 Saran
Dengan mengetahui konsep relung ekologi diharapkan manusia dapat lebih
menjaga perilaku dalam menggunakan unsur-unsur kehidupan, karena
segala unsur kehidupan yang ada saat ini sangat berpengaruh terhadap

kelangsungan seluruh makhluk hidup yang ada di bumi


Konsep relung ekologi dapat dimanfaatkan dalam konservasi hewan
langka, dengan demikian diharapkan konservasi hewan langka dapat
diselenggarakan ditempat yang memiliki dimensi yang sama dengan
habitat asli hewan langka tersebut (konservasi ex-situ).

23

DAFTAR PUSTAKA
Chase, Jonathan M. dan Leibold, Mathew A. 2003. Ecological Niche. London:
University Of Chicago
Chase,
Timothy.
2014.
Evolutioan
And
Biodiversity.
(Online).
https://www.blendspace.com/lessons/Mc1YUCSxrVLZOA/evolutionbiodiversity). Diakses tanggal 10 September 2015
Colinvaux, Paul. 1986. Ecology 2. New york: John wiley & son, inc.
Desmukh. 1992. Ekologi dan Biologi Tropika Terjemahan Kuswata dan Sarkat P.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Heddy, S., M. Kurniati. 1994. Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi. Jakarta: P.T. Raja
Grafindo Persada.
Kartamiharja, E. S. dan Purnomo, K. 2006. Keberhasilan Introduksi Ikan Bilih
(Mystacoleucos padangens) ke Habitatnya yang Baru di Danau Toba,
Sumatera Utara. Prosiding Seminar Nasional Ikan IV. Jatiluhur, Agustus 2930.
Odum, E.P. 1993. Dasar- Dasar Ekologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

24

Pianca, Eric.1974. Evolution Ecology. New York: Harper and Row Publisers
Pidwirny. 2006. Fundamentals of Physical Geography, 2nd Edition. (Online)
http://www.physicalgeography.net. Diakses tanggal 10 September 2015
Pradana, F. A., Said, S., Siahaan S.,. 2013. Habitat Tempat Bertelur Penyu Hijau
(Chelonia mydas L) di Kawasan Taman Wisata alam Sungai Liku
Kabupaten
Sambas
Kalimantan
Barat.
jurnal.untan.ac.id/index.php/jmfkh/article/view/2688/2668
Smith, Robert leo. 1990. Ecologi and Field Biologi Fourt Edition. New York:
Harper Collins Publisher.Inc
Spurr, Stephen H and Burton V.barnes. 1980. Forest Ecology Third Edition.
Florida: Krieger publishing company
Suarsana, I made. 2011. Habitat Dan Niche Paku Air Tawar (Azolla pinnata Linn)
(Suatu Kajian Komponen Penyususn Ekosistem Sawah). Widyatech Jurnal
Sains dan Teknologi Vol 1 no 2
Tuhumury, A. A. Tanpa Tahun. Rencana pengelolaan Satwa Burung Maleo/
Maleo (Eulipoa wallace) di Maluku. (Online) http://www.kewangharuku.org. Diakses tanggal 10 September 2015

You might also like