You are on page 1of 12

I;

PENDAHULUAN
Pengaruh Islam dalam masyarakat Jawa banyak melahirkan kepustakaan baru
dalam bidang sastra. Kepustakaan baru tersebut mempertemukan tradisi-tradisi
kejawen dengan unsur-unsur Islam. Dalam pertemuan itu lahirlah sastra jawa
seperti serat suluk, serat wirid, babad, dan primbon. Adapun serat suluk dan wirid
berkaitan dengan ajaran tasawuf atau mistik dalam Islam. Babad berisi cerita
atau kisah dalam Islam sedang Primbon berisi rangkuman berbagai ajaran yang
berkembang dalam tradisi jawa seperti ramalan.
Masyarakat Jawa banyak mempercayai ajaran-ajaran yang terkandung dalam
serat suluk dan wirid yang berhubungan dengan aliran tasawuf. Mereka menyakini
bahwa rohani tidak akan hidup tanpa adanya sebuah tasawuf. Adapun salah satu
ajaran yang ada dalam serat suluk dan wirid yaitu ajaran Martabat Tujuh. Ajaran
tersebut dimuat dalam beberapa serat dan suluk diantaranya serat suluk Sujinah.
Konsep Martabat Tujuh sebagai sarana penelaahan tentang hubungan manusia
dengan Rabb Nya. Masyarakat Jawa percaya untuk menjadi insan kamil kita harus
bertajalli kepada Rabb Nya dengan melewati tujuh tingkatan. Perjalanan sufistik
tersebut tidak lepas dengan nama nya Tarekat. Untuk itulah penulis akan
membahas mengenai hubungan konsep Martabat Tujuh dengan tradisi masyarakat
Jawa.

II;

RUMUSAN MASALAH
A; Bagaimana Konsep Martabat Tujuh dalam Berbagai Versi?
B; Bagaimana Sejarah Martabat Tujuh di Pulau Jawa?
C; Bagaimana Hubungan Konsep Martabat Tujuh dengan Tradisi Masyarakat
Jawa?

III;

PEMBAHASAN
A; Konsep Martabat Tujuh dalam Berbagai Versi
Konsep Martabat Tujuh banyak terdapat dibeberapa Naskah, Serat, Suluk,
Kitab dan Wirid. Di bawah ini beberapa konsep Martabat Tujuh dalam berbagai
versi:

1;

Konsep Martabat Tujuh dalam Ajaran Tarekat Syattariyah di Naskah Risalah


Syattariyah
Dalam Risalah Syatariyah tidak secara sistematis diuraikan sebagai
tajalli (manifestasi) Tuhan. Abu Arifani hanya menyebutkan bahwa
ahadiyah (tingkat manifestasi pertama) adalah dzat Allah. Wahdah(manifestasi
1

kedua) adalah sifat Allah. Wahidiyyah (manifestasi ketiga) adalah nama


Allah. Alam arwah(manifestasi keempat), alam mitsal(manifestasi kelima),
alam ajsam (manifestasi keenam), dan insan kamil (manifestasi ketujuh)
adalah perbuatan Allah. Jadi, Abu Rifani lebih melihat tujuh manifestasi
tersebut dalam kerangka penjabaran dzat, sifat, nama, dan perbuatan Tuhan.
Karena itu, tidak mengherankan apabila Abu rifani masih memberikan
uraian mengenai tingakatan alam. Ia membagi tingkatan alam menjadi empat
dan memberikan posisi simbolik masing-masing dalam skema tubuh
manusia: (1) Alam nasut, yaitu alam manusia. Kenyataan alam tersebut
adalah dalam mata; (2) Alam malakut, yaitu alam jin. Wujud alam
tersebut adalah dalam putih mata; (3) Alam jabarut , yaitu malaikat. Wujud
alam tersebut adalah pada bagian hitam mata. Ia dipandang sebagai alam sifat
yang pertama; (4) Alam asma yang diibaratkan ayan thabitah. Ia adalah
hakikat adam (tiada) dan taayun kedua; (5) Alam lahut , yaitu alam
ketuhanan. Wujud alam tersebut adalah cahaya mata.
Karakteristik yang kental dari ajaran martabat tujuh tampak dalam
penjelasan mengenai alam ilahi ayan thabitah , yaitu prototipe bagi alam
semesta. Konsep ayan thabitah (entitas tetap) adalah sebuah konsep yang
menghubungkan antara Tuhan dengan realitas semesta. Ayan thabitah
adalah pola-pola atau model-model pertama bagi semua makhluk. Pola-pola
tersebut bersifat akli sehingga belum bisa diamati.
Untuk melegitimasi ajaran mengenai ayan thabitah, dan martabat
tujuh secara umum, Abu Rifani mencoba menjangkarkan gagasan tersebut
kepada ahli hukum Islam, yaitu al-Syafii, Abu Hanifah, Malik, Ahmad
bin Hanbal, dan kepada ahli hadits al-Bukhari. Ia mengutip pendapat yang
dinisbatkan kepada para imam ahli hukum tersebut mengenai ayan
thabitah. Tentu saja penisbatan semacam itu tidak ada landasannya, tetapi itu
adalah sebuah upaya yang bisa dipahami dalam kerangka pencarian dukungan
dari otoritas hukum sebagai otoritas yang diterima luas oleh umat Islam
sebagai bagian inti ortodoksi Islam.1
2;

Konsep Martabat Tujuh menurut Ibn Arabi dan Syaikh Muhammad Ibn Fadl
Allah Al Burhanpuri
Menurut Ibn Arabi zat Tuhan yang Mujarrad (unik) dan Transedental
(diluar jangkuan) itu bertajalli dalam tiga martabat melalui sifat dan asma Nya
yang pada akhirnya muncul berbagai wujud empiris. Ketiga Martabat
tersebut adalah

1 Ahwan Fanani, Ajaran Tarekat Syattariyyah Dalam Naskah Risalah Shattariyyah Gresik: Studi Kajian
Filologi,Jurnal Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya (Surabaya: Walisongo, 2012), hal 363-364.

a; Martabat Ahadiyah (wujud Tuhan merupakan zat yang mutlak lagi mujarrad
tidak bernama dan tidak bersifat). Pada martabat ini Tuhan berada dalam
keadaan murni bagaikan kabut yang gelap; tidak sesudah atau sebelum;
tidak terikat atau terpisah; tidak atas atau bawah; tidak mempunyai isim
atau musamma. Pada Martabat ini juga Tuhan tidak dapat dikomunikasikan
oleh siapapun dan tidak diketahui.
b; Martabat Wahidiyyah (Martabat tajalli zat pada sifat atau taayyun awwal).
Pada martabat ini zat yang mujarrad itu bertajalli melalui sifat dan namanama Nya. Dengan tajalli ini, zat tersebut dinamakan Allah , pengumpul
dan pengikat sifat-sifat dan nama yang maha sempurna( asmaul husna).
Disini kita berhadapan dengan zat Allah , tetapi Dia mengandung di dalam
diri Nya berbentuk potensial dari hakikat alam semesta, yang diebut ayan
tsabitah (entitas-entitas permanen).
c; Martabat Tajalli Syuhudi (penampakan diri secara nyata). Pada martabat ini
Allah bertajalli melalui nama dan sifat Nya dalam kenyataan empiris.
Tuhan menampakkan citra diri Nya kedalam wujud tersendiri dengan
masing-masing wujud sebagai penampakan dari nama-nama Nya. Yang
pertama muncul ialah al jism al kulli (jasad universal) sebagai penampakan
lahir dari nama Tuhan Al dhahir, lalu al syakl al kauli (bentuk universal)
sebagai tajalli sifat Tuhan, al hakim. Selanjutnya arsy tajalli sifat al muhit,
kursi tajalli sifat al syukur, falak bintang-bintang tajalli sifat al ghani, falak
berorbit tajalli sifat al muqtadir. Setelah itu muncul berturut-turut sesuai
dengan nama-nama Tuhan, langit pertama hingga keenam dan langit dunia,
api, udara, air, tanah, mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, malaikat, jin,
manusia, dan yang terakhir ialah insan kamil. Insan kamil di atas bumi
terdapat pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai akhir Nabi-nabi.
Dengan demikian, alam ini tidak lain adalah kumpulan fenemona
empiris yang merupakan mazhar (manifestasi) tajalli Tuhan. Alam yang
menjadi wadah tajalli itu sendiri merupakan wujud atau bentuk yang tidak
ada akhirnya. Ia tidak lain laksana Arad (aksidens) dan jawhar (substansi)
dalam istilah ilmu kalam. Selama ada jawhar maka arad tetap ada. Begitu
pula dalam Tasawuf menurut Ibn Arabi selama ada Allah SWT maka alam
akan tetap ada, Ia akan muncul dan tenggelam tanpa akhir.
Dari ketiga konsep Ibn Arabi, Muhammad Ibn Fadl Allah
mengembangkan nya menjadi Martabat Tujuh. Empat martabat lainnya
dalam Martabat Tujuh adalah di bawah ini:
d; Martabat Alam Arwah adalah digambarkan sebagai tajalli Tuhan melalui
citra ruh-ruh secara global. Penciptaaan alam oleh Tuhan berawal dari
3

penciptaan makhluk pertama, yaitu nur yang mempunyai sejumlah nama,


antara lain ruh Muhammad, nur Muhammad, aql, dan al qalam al ala (pena
tertinggi). Ruh atau nur Muhammad bersama dengan segala arwah yang
diciptakan oleh Tuhan.
e; Martabat Alam Mitsal dirumuskannya sebagai sesuatu yang murakkab
(tersusun), latif (halus), ghair mutajazzi (tidak mengandung bagianbagian), la mubaad (tidak dapat dibagi), la mukhraq (tidak dapat dipisahpisah), la multaim (tidak dapat bersatu yang lain), dan termasuk alam
ghaib. Alam mitsal dapat dipahami berbeda dari alam ruh, karena lam ruh
dirumuskan sebagai sesuatu yang bast (sederhana), katsif (tebal), bisa
dibagi-bagi, dipisah-pisah,dan disatukan yang lain.
f; Martabat Alam Ajsam (tubh-tubuh materi), yakni alam yang dapat
ditangkap panca indra lahir manusia, yang disebut sejumlah nama, antara
lain alam ajsam, alam syahadah, dan alam mulk.
g; Martabat Insan, penciptaan manusia merupakan realisasi paling tinggi dan
paling mulia dari tajalli Tuhan selain diri Nya.2
Untuk mempermudahkan pembagian konsep Martabat Tujuh dalam
versi Ibn Arabi dan Syaikh Muhammad Ibn Fadl Allah Al Burhanpuri, di
buat tabel di bawah ini:
Pertama

Martabat

Lahu taayun

Kedua

Martabat

Lahu taayun awal

Ketiga

Martabat

Lahu taayun tsani

Keempat

Martabat

Alam misal

Kelima

Martabat

Alam arwah

Keenam

Martabat

Alam ajsam

ketujuh

Martabat

Alam insan

zat

sifat

Afal

Asma

islam

iman

tauhid

Makrifat

ahadiyah

wahdah

wahidiyah

Wahdaniyah

2 Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta , Ensiklopedi Tasawuf Jilid III (Bandung: Angkasa, 2008), hal
1272-1274.

Alam ruh

Alam misal

ajsam

Insan

3;

Konsep Martabat Tujuh dalam Serat Wirid Hidayat Jati


Konsep Martabat Tujuh dalam wirid Hidayat Jati karangan Ranggawarsita di
hubungkan dengan konsep Manunggaling Kawulo Gusti yang merupakan bentuk
sinkretisme antara ajaran wahdatul wujud dengan paham dan tradisi kejawen.
Dibawah ini konsep Martabat Tujuh dalam Wirid Hidayat Jati:
No.
1.

Penggunaan Istilah Martabat Tujuh


Sajaratul yakin (h ayyu)

Arti dan Makna


Pohon kehidupan atau atman dalam a

2.
3.

Nur Muhammad
Miratul hayai

Hindu
Ia merupakan sifat atma
Kaca wirai, yang diidentikkan dengan pra

dalam Serat Dewa Ruci. Ia merupakan


4.
5.

atma
Nyawa yang jernih
Lampu tanpa api, kandil juga diartikan

Roh Iafi
Kandil

yang tergantung tanpa kaitan, menjadi b


6.

Arrah

atma
Artinya permata dan diakui sebagai per

Hijab

zat dan merupakan pintu atma


Tabir yang agung dan merupakan tempat

7.

Atas dasar konsep Martabat Tujuh tersebut, Ranggawarsita mengajarkan ilmu


marifah yang dipandang sebagai ilmu kesempurnaan hidup. Ilmu ini hanya boleh
diajarkan oleh seorang guru yang benar-benar memahami syarat kepada seorang
murid yang layak menerimanya dengan kehadiran empat orang saksi yang seilmu
dan sealiran dengan mereka. Penerapanya dengan sistem Wajangan yakni murid
duduk menghadap guru dengan para saksi lalu guru menyampaikan wajang nya.5
4;

Konsep Martabat Tujuh dalam Serat Suluk Sujinah


Ada pengetahuan perihal tingkatan dalam kehidupan manusia, yang
diceritakan dengan ajalollah dan dikenal dengan sebutan martabat tujuh,

3 Rizka Addini Fathimah Azzahra, Konsep Martabat Tujuh dalam Naskah Tasawuf, Skripsi Program Sarjana
Universitas Indonesia Jakarta, (Jakarta: FIB UI, 2008), hal 52-53.

4 Masmedia Pinem, Ajaran Martabat Tujuh dalam Naskah Asrar al-Khafi karya Shaykh Abd AlMutalibJurnal MANASSA(Masyarakat Pernaskahan Nusantara) Manuskripta (2012), hal 46-47.
5 Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta , Ensiklopedi Tasawuf Jilid II (Bandung: Angkasa, 2008), hal
1023.

diawali dengan kegaiban. Zat yang membawa pengetahuan tentang Diri-Nya,


dan tanpa membeberkan tentang kenyataan (fisik), Keadaannya kosong namun
dasarnya ada. Tapi dalam martabat ini belum berkehendak. Martabat Akadiyah
disebut juga dengan Sarikul Adham. Awal dari segala awal. Dalam alam
ahadiyah dimulai dengan aksara La dan bersemayam ila. Itulah kekosongan
pertama dari empat bentuk kekosongan. Kedua bernama Maslub. Ketiga
adalah Tahlil, dan keempat Tasbeh. Maslub bermakna belum adanya bentuk
atau wujud roh atau jiwa. Tak berbentuk badan atau wujud lainnya. Tahlil
berarti tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan Tasbeh bermakna Tuhan
Maha Suci dan Tunggal. Tuhan tak mendua atau bertiga. Tak ada Pangeran lain
kecuali Allah yang disembah dan dipuja, yang asih pada makhluknya.
Dan martabat kedua adalah Wahdah. Nama-nama sifat yang awal
diuraikan. Awalnya ruh yang akan menguraikan nama-nama roh yang
wujudnya masih dalam bentuk hak. Dan Cahaya-Nya dinamakan Nur
Muhammadiyah. Wujud ilmu dari nur adalah ibadah pengetahuan yang sejati.
Pada tingkatan ini belum dapat diuraikan. Pengetahuan sejatinya adalah dalam
tingkatan Wahdat. Namun, Pangeran, Allah dalam wujud yang jamak, namun
diri-Nya adalah kehampaan. Tak ada Pangeran selain Allah, ia hanya Allah
yang tunggal. Tunggal wujud-Nya. Dia yang memberikan penghidupan. Dia
yang menjadikan sesuatu.
Tiada Tuhan selain Allah yang dikatakan sejati, tingkatannya berada
dalam Wahadiyah, wujudnya mutlak, meski dalam kondisi kekosongan akan
Diri-Nya. Allah dalam alam Wahadiyah mulai memperkenalkan namanamanya. Kalimat yang luhur ditandai dengan kalimat syahadat, yaitu kalimah
pengetahuan tentang Diri-Nya, di mana pengertian kalimatnya dibagi dua.
Kalimat pertama adalah pengetahuan tentang hakikat Allah yang mencipta
jagat raya. Sedangkan pengetahuan yang kedua adalah tentang Muhammad.
Muhammad adalah panutan manusia. Muhammad sangat dicintai Allah. Dan
keduanya telah menyatu dalam rasa yang tunggal.
Hakiki alam arwah dimulai dengan wujud nurani yang disebut afal,
yang sifatnya kudrat kuasa. Zat Nur Muhammad yang agung mendahului nama
dan penciptaan arwah. Nur Muhammad juga dinamakan rasa. Hakikatnya
adalah Rasul Allah, yang sudah menyatu, tunggal. Yang mana hakiki
Muhammad. Ketahuilah oleh kamu dengan jelas, bahwa nama Muhammad
adalah ada dalam kesatuan atau ketunggalan dengan Allah. Itulah hakikat yang
sesungguhnya, dan kemudian bernama Nabi Muhammad. Mengenai kejadian
terbentuknya Nur Muhammad hendaknya dimengerti yang wujud, khayal dan
hak. Jangan sembrono.
6

Tersebutlah alam bertingkat Mitsal, wujud adam terjadinya alam jagad


raya yang bersifat kalam, meski pengucap dan pencium, pendengaran dan
penglihatan belum terbentuk semuanya. Calon terbentuknya, cerminan mulut,
wujud mata, rasa kuping, dan penciuman yang berada dalam hidung.
Alam Acesan wujudnya itu dipenuhi badan halus semuanya. Tidak ada
batasnya. Itu dasar sifatnya. Memang begitu kenyataannya yang disebut jisim
nama wujud. Alam ini masih dalam keadaan gaib. Belum lahir wujudnya. Dan
setelah lahir disebut dengan Insan Kamil. Itulah namanya Rasul Allah.
Sifat yang terlihat berwujud manusia. Wujudnya juga yang bernama
mukinat (makanah), yaitu dalam wujud yang berada di martabat ini. Selesailah
penjelasan tentang martabat, dan jumlahnya adalah itu (tujuh). Semua orang
wajib mengerti dan mengetahui. Jika tak mengerti, maka orang itu tergolong
kafir, dan belum mengerti syahadat. 6
5;
No.
1.

Konsep Martabat Tujuh dalam Danding Haji Hasan Mustapa ( 1852-1936 )

Penggunaan Istilah Martabat Tujuh Arti dan Makna


Lautan ahadiyat
Mirasa katunggalan, dibukurna lautan a
mirasa

jisim

sahiji

(ketuggalan

kekosongan yang sama sekali kosong, ga


2.

guyub, tiada sesuatupun, la tayun)


Mirasa pada mirasa, bulukarna ngambang

Lautan wahdat

milang dua jadi hiji, jisim dua jad

(ketunggalan abdi dengan Gusti. Abdi a

dirinya sendiri sedangkan Gusti adalah


3.

ada pada martabat ahadiyat)


Mirasa loba bilangan, kapirasa jadi

Lautan wahidiyat

bulukarna milang nyawa, loba-loba rasa

dibukuran ku jisimna, loba-loba rasa

(berupa hakikat muhammadiyah, hakika


4.

segala hakikat)
Jisim loba-loba rasa hiji, dibukuran ku jis

Lautan arwahna

loba-loba rasa hiji (dunia nayawa se

potensi yang akan melakukan penampaka


6

https://gus7.wordpress.com/2008/04/29/martabat-tujuh-dalam-suluk-sujinah-dan-serat-wirid-hidayat-jati/
diakses pada Kamis, 10 September 2015 pukul 10.00 WIB.

5.

perwujudan menjadi jasad)


Loba jisim hiji rupa, asalna alam

Lautan misal

(martabat di mana potensi akan s

menampakkan diri dalam bentuk jasad d

makna lain tidak ada bedanya orang


6.

seperti saya, saya seperti orang lain)


Kapirasa jadi hiji, perbawa ti ahadiyat,

Lautan ajsam

laut dumukna di jisim hiji (ketung


jasmani
hakikat

sebagai cermin dari manif


muhammadiyah,

sering

diibaratkan dengan kasar dengan kasar


7

7.

dengan halus)
Taya luhura taya handap, asal sam

Lautan kainsanan

walatra, beda soteh pangersana panira


(martabat

sempurna,

tidak

me

kekuarangan, karena citra sepenuhnya


martabat ahadiyat).
B; Sejarah Martabat Tujuh di Pulau Jawa
Konsep Martabat Tujuh di awali dengan aliran Wahdatul Wujud (suatu faham
tentang segala wujud pada dasarnya bersumber satu yaitu Allah SWT). Paham ini
mencapai puncaknya pada akhir abad ke 12. Paham ini di gagas oleh Muhyidin
Ibn Arabi namun menurut W.C. Chittic bahwa orang yang pertama kali
menggunakan istilah Wahdatul Wujud adalah Sadr Al Din Al Qunawi (murid Ibn
Arabi). Menurut Ibn Arabi proses penampakan diri Tuhan dalam tiga martabat
yaitu martabat Ahadiyah, Wahidiyah, dan tajalli syuhudi. Paham ini kemudian
berkembang ke luar Jazirah Arab terutama berkembang ke Tanah India yang
dipelopori oleh Muhammad Ibn Fadl Allah Al Burhanpuri, salah seorang tokoh
sufi kelahiran Gujarat. Di dalam karangannya yaitu kitab Tuhfah. Beliau
mengembangkan konsep Martabat Tiga milik Ibn Arabi menjadi Martabat Tujuh
sebagai sarana penelaahan tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Menurut
beliau Allah yang bersifat ghaib bisa dikenal sesudah bertajalli (Penampakan diri
Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas) melalui
Tujuh Martabat atau sebanyak tujuh tingkatan, sehingga tercipta alam semesta
dengan segala isinya.
7 Masmedia Pinem, Ajaran Martabat Tujuh dalam Naskah Asrar al-Khafi karya Shaykh Abd AlMutalibJurnal MANASSA(Masyarakat Pernaskahan Nusantara) Manuskripta (2012), hal 47.

Di Indonesia, Martabat Tujuh dikembangkan oleh Hamzah Fansuri,


Syamsudin Pasai, Abdul Rauf, dan Nuruddin Al Raniri. Abdul Rauf dan muridnya
yaitu Abdul Muhyi membuat dan menyebarkan ajaran tarekat Syatariyah ke tanah
Priangan, Cirebon, dan Tegal. Dari Tegal muncul gubahan Serat Tuhfah dalam
bahasa jawa dengan sekar Macapat yang ditulis sekitar tahun 1680. Menurut versi
lain konsep martabat tujuh di Jawa dimulai sesudah keruntuhan Majapahit dan
digantikan dengan Kerajaan Demak Bintara yang menguasai Pulau Jawa. Dari
situlah konsep Martabat Tujuh mulai mempengaruhi tradisi masyarakat Jawa.
Sedang pada masa Walisongo ajaran tersebut diperkenalkan lagi oleh Syaikh Siti
Jenar (manunggaling kawulo Gusti), namun ajaran tersebut diberantas oleh
walisongo karena syaikh Siti Jenar mengajarkan Hakikat kepada orang awam
dimana mereka belum mempunyai aqidah dan syariat yang mumpuni, mereka
akan salah paham dengan ajaran nya.8
C; Hubungan Konsep Martabat Tujuh dengan Tradisi (Perjalanan Sufistik)
Masyarakat Jawa
Konsep Martabat Tujuh mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada dalam
alam semesta, termasuk manusia adalah aspek lahir dari hakikat yang tunggal,
yaitu Tuhan. Tuhan sebagai yang mutlak tidak dapat dikenal, baik oleh akal,
indra, maupun khayal. Dia baru dapat dikenal sesudah bertajalli sebanyak tujuh
martabat, sehingga muncul alam semesta beserta isinya, termasuk manusia,
sebagai aspek lahir dari Tuhan.
Konsep Martabat Tujuh cenderung berhubungan dengan teori tanazzul dalam
tasawuf. Tanazzul diartikan sebagai turunnya wujud dengan penyingkapan Tuhan,
dari keghaiban ke alam penampakan melalui berbagai tingkat perwujudan. Teori
ini menggambarkan bahwa manusia sebagai makhluk sempurna merupakan
pancaran dari wujud sejati, yang menurunkan wujud-wujud Nya dari alam rohani
ke alam materi dalam bentuk manifestasi wujud secara hirarki wujud atau gradasi
wujud. Proses

penurunan wujud ini dalam referensi sufi dinamakan dengan

tanazul, yang dikenal melalui bentuk penyingkapan diri (tajalli).9


Konsep Martabat Tujuh berhubungan dengan Tasawuf. Menurut Khan Sahib
Khaja khan dikalangan sufi terdapat dua paham pemikiran yang dianut oeh
8 Disarikan dari berbagai referensi : Tim penulis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Tasawuf Jilid II,
& III (Bandung: Angkasa, 2008)
9 Tim penulis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta , Ensiklopedi Tasawuf Jilid III (Bandung: Angkasa, 2008), hal
1274.

tarekat-tarekat sufi. Paham pertama yaitu paham syuhudiyah yang dikembangkan


oleh Abu Hamid Al Ghazali (tasawuf sunni) dan yang kedua yaitu paham
wujudiyah (tasawuf falsafi atau perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal
dan pemaparan secara rasional-filosofis) yang dikembangkan oleh Al hallaj, Ibn
Arabi dan sebagainya. Dan di Indonesia pada masa Walisongo paham wujudiyah
dikembangkan oleh syaikh Lemah Abang atau syaikh Siti Jenar.10 Tasawuf ini
sangat berbeda sekali. Tasawuf Al Ghazali menekankan pada hubungan antara
syariat dan hakikat. Menurut beliau sebelum mempelajari dan mengamalkan
tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang syariat dan aqidah terlebih
dahulu. Tidak hanya itu, seorang sufi harus konsekuensi menjalankan syariat
dengan tekun dan sempurna. Sesudah menjalankan syariat dengan tertib dan
penuh pengertian, baru dimulai mempelajari tarekat yaitu tentang mawas diri,
pengendalian nafsu-nafsu dan menjalankan dzikir, hingga akhirnya berhasil
mencapai ilmu kasyfi atau penghayatan marifat. Dan beliau berpendapat bahwa
wujud Tuhan meliputi segala wujud. Tidak ada yang wujud melainkan Tuhan dan
perbuatan Tuhan. Tuhan dan perbuatannya adalah dua, bukan satu. Sedang alam
keseluruhan ini adalah makhluk dan bukti tentang kekuasaan dan kebesaran Nya.
Penglihatan akan Tuhan melalui alam dan makhluk Nya adalah sebatas tajalli
akan keberadaan Tuhan bukan berarti Tuhan menyatu dengan alam apalagi
mengalami persatuan kedalam tubuh manusia. Sedang tasawuf Ibn Arabi
menekankan pada penyatuan antara makhluk dan pencipta Nya (manunggaling
kawulo Gusti), sehingga para sufi seakan-akan sudah sampai pada hakikat nya. Di
dalam ajaran tasawuf para Sufi tidak harus melalui martabat tujuh akan tetapi
disarankan memiliki wawasan ketuhanan yang baik agar tidak mudah taqlid
kepada orang yang menyelewengkan konsep ajaran ini. Konsep ajaran Martabat
Tujuh ini baik untuk pegangan atau referensi di dalam perjalanan menuju Tuhan
disamping ilmu-ilmu yang lain sebagai pendukung.
Dengan adanya konsep Martabat Tujuh, Masyarakat Jawa mengenal adanya
Tasawuf pada umumnya dan Tarekat (ruh tradisi) pada khususnya. Cara mengenal
Allah yang terarah dan sistematis salah satu diantaranya yaitu melalui konsep
Martabat Tujuh tersebut. Namun perlu diketahui bahwa untuk memahami konsep
10 Agus Sunyoto , Atlas Walisongo (Depok: Pustaka IIman, Trans Pustaka, dan LTN PBNU, 2012), hal 352354.

10

Martabat Tujuh manusia terlebih dahulu harus menempuh empat tanjakan, yaitu
syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Seperti diterangkan dalam kitab Salalim
Al- Fudala karangan Imam Nawawi Al bantani menerangkan bahwa syariat
adalah sebuah kapal, suatu alat yang dengan nya seseorang akan mencapai tujuan,
pada saat yang sama tetap dalam keadaan aman dan menyelamatkan. Tarekat
adalah laut, suatu tempat yang didalamnya mutiara tersimpan, yang disana tujuan
terdapat. Hakikat adalah sebuah mutiara yang hebat dan termahal harganya.
Mutiara dapat ditemukan hanya dilaut dan seseorang tidak dapat mengarungi laut
tanpa sebuah kapal.
Masyarakat Jawa senantiasa berusaha untuk mengenal pencipta Nya dengan
bertahap dan mendekatkan diri mereka dengan cara melakukan syariat yang
benar, kemudian bertarekat (jalan) yang lurus yang dipakai oleh setiap calon sufi
untuk mencapai tujuannya, yaitu berada sedekat mungkin dengan Allah atau
dengan kata lain berada di hadirat Nya tanpa dibatasi oleh dinding atau hijab.
Kemudian mereka mampu berhakikat dan bertajalli menuju seluruh Makrifat nya
Allah SWT. Dan jika manusia dapat mengembangkan kehidupan rohaninya
mereka dapat memperhatikan ketujuh martabat tersebut, maka mereka akan
menjadi manusia sempurna (insan kamil). Adapun Insan kamil yang paling tinggi
dan yang paling sempurna tersebut ada pada diri Nabi Muhammad SAW.
Ritual tradisi dari adanya konsep Martabat Tujuh yang berhubungan langsung
dengan konsep tasawuf yaitu terdapat pada ajaran di dalam Tarekat antara lain:
Istighfar, Shalawat Nabi, dzikir, wasilah, rabitah, suluk, uzlah, zuhud, wara,
wird, hizib, khataman, ataqah atau fida, istighasah, manaqib, ratib, mengamalkan
syariat islam.

IV;

KESIMPULAN
Konsep Martabat Tujuh dalam berbagai versi yaitu antara lain terdapat pada
Ajaran Tarekat Syattariyah di Naskah Risalah Syattariyah, menurut Ibn Arabi dan
Syaikh Muhammad Ibn Fadl Allah Al Burhanpuri, dalam Serat Wirid Hidayat Jati,
dalam Serat Suluk Sujinah dan yang terakhir dalam Danding Haji Hasan Mustapa
( 1852-1936 ). Inti dari Konsep Martabat Tujuh yang terdapat dalam sejumlah
11

naskah tua pada prinsipnya sama yaitu menjelaskan kesatuan wujud hakiki
(Tuhan) dengan segala manifestasi atau penampakan Nya. Adapun Konsep
Martabat Tujuh tersebut yaitu Martabat Ahadiyah, Wahdah, Wahidiah, Alam
Arwah, Alam Mitsal, Alam Ajsam, dan Martabat Insan (manusia).
Sejarah Konsep Martabat Tujuh hingga masuk ke pulau Jawa di mulai dari
adanya paham Wahdatul Wujud yang digagas oleh Ibn Arabi dan murid nya,
kemudian dikembangkan dan disempurnakan menjadi Martabat Tujuh oleh
Muhammad Ibn Fadl Allah Al Burhanpuri. Kemudian di Indonesia dibawa oleh
Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, Abdul Rauf, dan Nuruddin Al Raniri.
Selanjutnya Abdul Rauf dan muridnya yaitu Abdul Muhyi membuat dan
menyebarkan ajaran tarekat Syatariyah ke tanah Priangan, Cirebon, dan Tegal.
dan menurut versi lain konsep martabat tujuh di Jawa dimulai sesudah keruntuhan
Majapahit dan digantikan dengan Kerajaan Demak Bintara yang menguasai Pulau
Jawa. Dari situlah konsep Martabat Tujuh mulai mempengaruhi tradisi masyarakat
Jawa.
Hubungan konsep Martabat Tujuh dengan tradisi masyarakat Jawa yaitu
dengan adanya Tarekat yang telah mengakar dalam masyarakat Jawa. Di dalam
Tarekat banyak ritual tradisi diantaranya istighfar, Shalawat Nabi, dzikir, wasilah,
rabitah, suluk, uzlah, zuhud, wara, wird, hizib, dan sebagainya.

V;

PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami paparkan tentang Konsep Martabat Tujuh
dalam tradisi masyarakat Jawa, semoga bermanfaat bagi pembaca pada umumnya
dan pada kami khususnya. Dan tentunya makalah ini tidak lepas dari kekurangan,
untuk itu saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat kami butuhkan guna
memperbaiki makalah selanjutnya.

12

You might also like