You are on page 1of 10

MARTABAT TUJUH DALAM SULUK SUJINAH DAN

SERAT WIRID HIDAYAT JATI

10 Votes
L.S. AHMAD
Dalam mencari ridhoNya, para sufi menggunakan jalan
yang bermacam-macam. Baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama, dengan melalui kearifan,
kecintaan dan tapa brata.
Sejarah mencatat, pada akhir abad ke-8, muncul
aliran Wahdatul Wujud, suatu faham tentang segala
wujud yang pada dasarnya bersumber satu. Allah Taala.
Allah yang menjadikan sesuatu dan Dialah ain dari
segala sesuatu. Wujud alam adalah ain wujud Allah,
Allah adalah hakikat alam. Pada hakikatnya, tidak ada
perbedaan antara wujud qadim dengan wujud baru yang
disebut dengan makhluk. Dengan kata lain, perbedaan
yang kita lihat hanya pada rupa atau ragam dari hakikat
yang Esa. Sebab alam beserta manusia merupakan aspek
lahir dari suatu hakikat batin yang tunggal. Tuhan Seru
Sekalian Alam.
Faham wahdatul wujud mencapai puncaknya pada
akhir abad ke-12. Muhyidin Ibn Arabi,seorang sufi
kelahiran Murcia, kota kecil di Spanyol pada 17
Ramadhan 560 H atau 28 Juli 1165 M adalah salah

seorang tokoh utamanya pada zamannya. Dalam


bukunya yang berjudul Fusus al-Hikam yang
ditulis pada 627 H atau 1229 M tersurat dengan jelas
uraian tentang faham Pantheisme (seluruh kosmos
adalah Tuhan), terjadinya alam semesta, dan
keinsankamilan. Di mana faham ini muncul dan
berkembang berdasarkan perenungan fakir filsafat dan
zaud (perasaan) tasauf.
Faham ini kemudian berkembang ke luar jazirah
Arab, terutama berkembang ke Tanah Indiayang
dipelopori oleh Muhammad Ibn Fadillah, salah seorang
tokoh sufi kelahitan Gujarat(-1629M). Di dalam
karangannya, kitab Tuhfah, beliau mengajukan konsep
Martabat Tujuh sebagai sarana penelaahan tentang
hubungan manusia dengan Tuhannya. Menurut
Muhammad Ibn Fadillah, Allah yang bersifat gaib bisa
dikenal sesudah bertajjali melalui tujuh martabat atau
sebanyak tujuh tingkatan, sehingga tercipta alam
semesta dengan segala isinya. Pengertian tajjali berarti
kebenaran yang diperlihatkan Allah melalui penyinaran
atau penurunan di mana konsep ini lahir dari suatu
ajaran dalam filsafat yang disebut monisme. Yaitu suatu
faham yang memandang bahwa alam semesta beserta
manusia adalah aspek lahir dari satu hakikat tunggal.
Allah Taala.
Dr. Simuh dalam Mistik Islam Kejawen Raden
Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi Terhadap Serat
Wirid Hidayat Jati menyatakan; Konsep ajaran
martabat tujuh mengenai penciptaan alam manusia
melalui tajjalinya Tuhan sebanyak tujuh tingkatan jelas
tidak bersumber dari Al Quran. Sebab dalam Islam tak
dikenal konsep bertajjali. Islam mengajarkan tentang
proses Tuhan dalam penciptaan makhluknya dengan
Alijad Minal Adam, berasal dari tidak ada menjadi ada.

Selanjutnya, konsep martabat tujuh di Jawa dimulai


sesudah keruntuhan Majapahit dan digantikan dengan
kerajaan Demak Bintara yang menguasai Pulau Jawa.
Sedangkan awal perkembangannya, ajaran martabat
tujuh di Jawa berasal dari konsep martabat tujuh yang
berkembang di Tanah Aceh terutama yang
dikembangkan oleh Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai
(-1630) dan Abdul Rauf (1617-1690).
Lebih lanjut ditambahkan; Ajaran Syamsudin Pasai
dan Abdul Rauf kelihatan besar pengaruhnya dalam
perkembangan kepustakaan Islam Kejawen. Pengaruh
Abdul Rauf berkembang melalui penyebaran ajaran
tarekat Syatariyah yang disebarkan oleh Abdul Muhyi
(murid Abdul Rauf) di tanah Priangan. Ajaran tarekat
Syatariyah segera menyebar ke Cirebon dan Tegal. Dari
Tegal muncul gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa Jawa
dengan sekar macapat yang ditulis sekitar tahun 1680.
Sedangkan Buya Hamka mengemukakan bahwa
faham Wahddatul Al-Wujud yang melahirkan ajaran
Martabat Tujuh muncul karena tak dibedakan atau
dipisahkan
antara asyik denganmasyuknya. Dan
apabila ke-Ilahi-an telah menjelma di badan dirinya,
maka tidaklah kehendak dirinya yang berlaku,
melainkan kehendak Allah.
Dr. Simuh pun kembali menambahkan, dalam ajaran
martabat tujuh, Tuhan menampakkan DiriNya setelah
bertajjali dalam tujuh di mana ketujuh tingkatan
tersebut dibagi dalam dua wujud. Yakni tiga aspek batin
dan empat aspek lahir. Tiga aspek batin terdiri dari
Martabat Ahadiyah (kesatuan mutlak), Martabat
Wahdah (kesatuan yang mengandung kejamakan secara
ijmal keseluruhan), dan Martabat Wahadiyah (kesatuan
dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batas
setiap sesuatu). Sedangkan aspek lahir terdiri Alam

Arwah (alam nyawa dalam wujud jamak), Alam Mitsal


(kesatuan dalam kejamakan secara ijmal), Alam Ajsam
(alam segala tubuh, kesatuan dalam kejamakan secara
terperinci dan batas-batasnya) dan Insan Kamil (bentuk
kesempurnaan manusia).
Menanggapi hal ini, Buya Hamka mengutip dari karya
Ibnu Arabi yang berjudul Al-Futuhat al-Makkiya fi
Marifa Asrar al-Malakiya (589 H atau 1201 M), bahwa
tajjalinya Allah Taala yang pertama adalah dalam alam
Uluhiyah. kemudian dari alam Uluhiyah mengalir alam
Jabarut, Malakut, Mitsal, Ajsam, Arwah dan Insan
Kamil di mana yang dimaksud dengan alam Uluhiyah
adalah alam yang terjadi dengan perintah Allah tanpa
perantara.
Martabat Pertama, Ahadiyah
Martabat pertama adalah Martabat Ahadiyah yang
diungkapkan sebagai Martabat Lataayyun, atau al-Ama
(tingkatan yang tidak diketahui). Disebut juga AlTanazzulat li l-Dhat (dari alam kegelapan menuju alam
terang), al-Bath (alam murni), al-Dhat (alam zat), alLahut (alam ketuhanan), al-Sirf (alam keutamaan), alDhat al-Mutlaq (zat kemutlakan), al-Bayad al-Mutlaq
(kesucian yang mutlak), Kunh al-Dhat (asal
terbuntuknya zat), Makiyyah al-Makiyyah (inti dari
segala zat), Majhul al Nat (zat yang tak dapat disifati),
Ghayb al Ghuyub (gaib dari segala yang gaib), Wujud alMahad (wujud yang mutlak).
Dan berikut adalah nukilan dari terjemahan tingkat
pertama yang disebut Martabat Ahadiyah dalam Suluk
Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati.
Suluk Sujinah
Ada pengetahuan perihal tingkatan dalam
kehidupan manusia, yang diceritakan dengan
ajalollah dan dikenal dengan sebutan martabat

tujuh, diawali dengan kegaiban. Zat yang


membawa pengetahuan tentang Diri-Nya, dan
tanpa membeberkan tentang kenyataan (fisik),
Keadaannya kosong namun dasarnya ada.
Tapi dalam martabat ini belum berkehendak.
Martabat Akadiyah disebut juga dengan Sarikul
Adham. Awal dari segala awal.
Dalam alam ahadiyah dimulai dengan aksara La
dan bersemayam ila. Itulah kekosongan pertama
dari empat bentuk kekosongan. Kedua bernama
Maslub. Ketiga adalah Tahlil, dan keempat
Tasbeh. Maslub bermakna belum adanya bentuk
atau wujud roh atau jiwa. Tak berbentuk badan
atau wujud lainnya.
Tahlil berarti tak bermula dan tak berakhir.
Sedangkan Tasbeh bermakna Tuhan Maha Suci
dan Tunggal. Tuhan tak mendua atau bertiga. Tak
ada Pangeran lain kecuali Allah yang disembah
dan dipuja, yang asih pada makhluknya.
Serat Wiirid Hidayat Jati
Sajaratul Yakin tumbuh dalam alam adam
makdum yang sunyi senyap azali abadi, artinya
pohon kehidupan yang berada dalam ruang
hampa yang sunyi senyap selamanya, belum ada
sesuatu pun, adalah hakikat Zat Mutlak yang
qadim. Zat yang pasti terdahulu, yaitu zat atma,
yang menjadi wahana alam Ahadiyah.
Di dalam Suluk Sujinah, tingkat pertama disebut
dengan alam Ahadiyah, yaitu alam tentang tingkat
keesaan-Nya. Keesaan-Nya agung, dan bukan obyek dari
pengetahuan khusus mana pun dan karena itu tidak
dapat dicapai oleh makhluk apa pun. Hanya Allah yang
mengetahui diri-Nya dan keesaan-Nya.

Dalam keesaan-Nya tak ada sesuatu pun yang


menguasai dan mengetahui kecuali diri-Nya. Firmannya
adalah diri-Nya sendiri, begitu pun malaikat-Nya dan
nabi-Nya. Allah dalam tingkatan ini berada pada kondisi
al-Kamal, yaitu, dalam kesempurnaan-Nya.
Hakikat-Nya,
keesaan-Nya
adalah
tempat
berkumpulnya seluruh keragaman dan tenggelam atau
lenyap dalam kesatuan-Nya. Dalam alam Ahadiyah
keragaman dan kejamakan tersebut tidak dapat
dipertentangkan dengan gagasan metafisis tentang
tahapan atau tingkatan eksistensi.
Dalam tingkatan ini, Allah berada dalam kondisi
Ghayb al-Ghuyub, yaitu, keberadaan-Nya yang gaib.
Tuhan tak dapat diindrawi. Sebab Allah tidak
membeberkan tentang kenyataan yang fisik. Allah dalam
keadaan yang tak berujud, yang tak dapat dideteksi oleh
manusia atau para wali, nabi, bahkan para malaikat
terdekat-Nya. Sebab Ia masih dalam kesendirian-Nya.
Allah belum menguraikan atau menciptakan sesuatu. Di
dalam derajat ini, semua sifat umum kumpul melebur di
dalam diri-Nya. Perbedaan sifat pun ada dalam
kesatuan-Nya.
Tuhan dalam alam pertama disebut juga al-Unsur
Adam, Allah adalah unsur yang pertama, dan tak ada
makhluk-makhluk lainnya yang mendahului. Diri-Nya
adalah unsur yang terdahulu yang bersifat agung. ZatNya adalah substansi universal dan hakikat-Nya yang
tak dapat dipahami. Dalam sifat adam-Nya, hakikat-Nya
tak dapat dipahami. Sebab awalnya adalah Ada dalam
ketiadaan. Dan ketiadaan-Nya adalah hakikat yang tak
terlukiskan dan tak dapat dimengerti oleh siapa pun.
Hakikatnya di luar segala perumpamaan dan citraan
yang memungkinkan.

Selanjutnya, alam Ahadiyah terbagi dalam empat


tingkatan. Tahap pertama dikenal dengan kata La yang
bersemayam di dalam kata illa. La dan illa adalah dua
kata yang manunggal, karena setiap realitas-realitas
hanya merupakan refleksi dari realitas-realitas Allah. La
dan illa menunjukan pada asal segala sesuatu yaitu
dalam
ketiadaan-Nya,
diri-Nya Ada.
Sedangkan
pengertian illa juga menunjukan pada kembali sesuatu
dalam kesatuan-Nya yang bersifat keabadian.
Jika memperhatikan tatanan ontologis, bila
diterapkan La dan illa akan mengisyaratkan pemisahan
antara ada Ilahi dan para makhluknya. Dengan
demikian, Ad-Nya pertama menjadi tabu bagi adanya
yang kedua. Pengetian La dan illa dalam masyarakat sufi
memiliki tiga makna. Pertama, adalah tiada Tuhan
melainkan Allah. Kedua adalah tiada Mabud melainkan
Allah dan ketiga tiada maujud melainkan Allah.
Pengertian pertama mengacu pada keberadaan pada
kekuasaan-Nya. Yaitu penegasan tiada Tuhan yang
pantas menjadi penguasa selain Allah yang Esa.
Pengertian kedua, Allah adalah Zat yang wajib disembah
sebab Allah bersifat disembah. Tiada penguasa yang
wajib disembah selain Allah, Zat yang Maha Suci.
Sedangkan pengertian ketiga, Allah adalah awal segala
yang berwujud. Sebab Zat-Nya adalah wujud yang
pertama dan tak berakhir.
Ketiga pengertian tersebut di atas adalah suatu
kesatuan yang tak dapat dikaji secara terpisah. Sebab,
segala bentuk yang maujud ini pada hakikatnya sama
sekali tidak ada. Yang ada hanyalah Allah. Jadi, kalau
yang ada ini semuanya dikatakan ada, artinya ada dalam
Allah. Inilah konsep dasar dari Widhatul al-Wujud.
Sementara, tingkatan kedua dari alam Ahadiyah adalah
Nafi Uslub, yaitu, tingkat ketiadaan-Nya yang ada.

Dalam ketiadaan-Nya, Allah tak dapat digambarkan


atau dilukiskan oleh siapa pun. Allah dalam keadaan AlAma, yaitu, tingkatan yang tak dapat diketahui. Allah
dalam tingkatan ini hanya mempunyai hubungan murni
dalam hakikat dan tanpa bentuk. Sedang tingkatan yang
ketiga dalam alam Ahadiyah adalah Tahlil. Pengertian
Tahlil berarti kondisi Tuhan yang bermakna La illa
illaha. Tahlil pun bermakna suatu kondisi pemujaan
Allah dengan pengucapan syahadat tentang persaksian
akan keberadaan-Nya.
Dalam kalimah Syahadah yang diucapkan dengan
niat bulat dan mengakui bahwa Allah berkuasa
sendirian, tidak menghendaki pertolongan dari siapa
pun, ia suci dan kaya. Kalimah Syahadah adalah kalimat
yang wajib bagi pemeluk Islam, di mana intinya adalah
pengakuan akan adanya Allah yang menjadi pemimpin
kehidupan, di samping itu, adanya pengakuan rasul
Allah. Yaitu Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya.
Selanjutnya, tingkat empat adalah Ahadiyah Tasbih,
yang bermakna kemahaluasan Allah. Tingkatan ini
berintikan kalimat Subhhanallah, artinya, maha suci
Allah dan mengingatkan serta menunjukan seluruh
keyakinan untuk selalu mempersucikan-Nya.
Sedang pada Serat Wirid Hidayat Jati, ajaran
pertamanya dikenal dengan sebutan Sajaratul Yakin.
Yaitu sebagai lambang pohon kehidupan yang dalam
bahasa Jawa disebut dengan Kajeng Sejati dan memiki
makna pengertian tentang kehidupan atau hayyu.
Hayyu berarti atma, jiwa atau ruh. Dalam Sajaratul
Yakin Allah adalah Wujud al-Sirf, kondisi wujud yang
utama. Atma-Nya belum tersifati, namun ruh-Nya
adalah al-Lahut (bersifat ke-ilahi-an). Ia merupakan
hakikat zat mutlak dan qadim, yaitu, asal zat dari segala
zat yang bersifat abadi. Zat-Nya tak ada dalam

penguraian. Segala penguraian-Nya adalah bersifat


negatif. Sebab Allah bersifat Makiyyah al Makiyyah,
yaitu, inti dari segala zat yang ada di kemudian hari.
Atmanya adalah esa dari yang tak teruraikan dan
diuraikan.
Zat ruh-Nya sesungguhnya adalah zat yang bersifat
esa. Ruh itulah sejatinya Tuhan Yang Mahasuci. RuhNya adalah subyek absolut, di mana benda yang
termasuk subyek individu hanyalah obyektivisasiobyektivisasi ilusi. Sebab Allah adalah Kunh al-Dhat,
asalnya zat terbentuk.
Di dalam kitabnya Daqiqul Akbar, Imam
Abdurahman menuliskan, pada awal permulaan Allah
menciptakan sebatang pohon kayu bercabang empat.
Pohon kayu tersebut dikenal dengan Syajaratul Yakin.
Dan Syajaratul Yakin tercipta dalam alam kesunyian
yang bersifat qadim dan azali. Pengertian sunyi di sini
bukan bermakna tak adanya sesuatu. Namun bermakna
belum terciptanya alam, kecuali tajjali-Nya yang
pertama dalam bentuk Syajaratul Yakin. Sedangkan
pengertian qadim dan azali adalah wujud dari sifat-Nya
yang terawal dan tak berakhir. Zat-Nya adalah
terdahulu, tak ada sesuatu pun yang mendahului dan
tak ada akhir karena masa.
Syajaratul yakin afdalah awal sifat-Nya. Dalam
pohon kehidupan sifat-Nya yang menonjol adalah
tentang hidup hidup (al-Hayat) adalah sifat wajib
yang ada pada Diri-Nya. Sebab sifat al-Hayat adalah
qadim dan azali. Al-Hayat dalam segala martabat-Nya
menjadi pangkal bagi segala macam kenyataan yang
lahir dan kekal. karena hidup atau hayyu atau atma
adalah subyek yang absolut, maka, hakikat atma atau
hidup adalah mutlak yang qadim. Dan Allah adalah zat

pertama dan sumber dari hidup itu sendiri. Diri-Nya


adalah kekal bersamaan dengan kekalnya zat kehidupan.
Keduanya adalah ada dalam kemanunggalan. ZatNya yang al-Hayat adalah sumber munculnya perkaraperkara sifat wajib-Nya. Yaitu, ilmu, iradat, kalam dan
baqa. Artinya, karena adanya ruh atau hayyu (al-Hayat),
maka, muncul ilmu (pengetahuan). Timbulnya
pengetahuan (al-ilm) menciptakan atau mengalirnya
kehendak (iradat), dan firman-Nya. Dan ketiga sifat-Nya
adalah kekal, baqa.
Sumber: Majalah Misteri, edisi 411, 5
Januari 2007
https://gus7.wordpress.com/2008/04/29/martabat
-tujuh-dalam-suluk-sujinah-dan-serat-wiridhidayat-jati/

You might also like