You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Manusia dikenal sebagai makhluk berfikir. Dan hal inilah yang
menjadikan manusia istimewa dibandingkan makhluk lainnya. Kemampuan
berpikir

atau

daya

nalar

manusialah

yang

menyebabkannya

mampu

mengembangkan pengetahuan berfilsafatnya. Dia mengetahui mana yang benar


dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, yang indah dan yang
jelek. Secara terus menerus manusia diberikan berbagai pilihan.
Dalam melakukan pilihan ini manusia berpegang pada filsafat atau
pengetahuan. Salah satu kajian di dalam filsafat ilmu adalah aksiologi yang mana
aksiologi yaitu kegunaan ilmu pengetahuan bagi manusia. Aksiologi juga sering
disebut dengan teori of value. Aksiologi adalah teori yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dalam kajian aksiologi ini pertanyaan
yang sering digunakan untuk membedakan antara aksiologi dan kajian filsafat
yang lainnya yaitu: 1) untuk apa pengetahuan itu digunakan?, 2) Bagaimana
kaitan antara cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral?, 3) Bagaimana
penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Tentu saja
jawaban setiap orang itu akan berbeda-beda. Oleh karena itu dalam makalah ini
akan di bahas megenai dimensi aksiologi.
1.2 Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Apakah pengertian aksiologi?


Apa kategori dasar aksiologi?
Apa saja jenis aksiologi?
Apa saja pendekatan-pendekatan dalam aksiologi?
Apa saja teori-teori nilai dalam aksiologi?
Apa yang disebut dengan nilai dalam kajian aksiologi?
Untuk apa kegunaan nilai dalam aksiologi?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Aksiologi


Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani kuno, terdiri dari kata aksios
yang berarti nilai dan kata logos yang berarti teori. Jadi, aksiologi merupakan
cabang filsafat yang mempelajari nilai. Secara singkat, aksiologi adalah teori nilai.
Dalam kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia tentang nilai-nilai khususnya etika.
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada
umumnya ditinjau dari pandangan kefilsafatan. Aksiologi merupakan bagian
filsafat yang mempersoalkan penilaian, terutama berhubungan dengan masalah
atau teori umum formal mengenai nilai. Gagasan mengenai aksiologi dipelopori
oleh Lotze, kemudian Brentano, Husserl, Scheller, dan Nicolai Hatmann.
Menurut Bramel dalam Amsal (2009), aksiologi terbagi tiga bagian :
1. Moral Conduct yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin
khusus yaitu etika.
2. Estetic expression yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan
keindahan
3. Socio-political life yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan
filsafat social politik.
Menurut pandangan Kattsoff aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki tentang hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang
kefilsafatan. Aksiologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki tentang nilai-nilai,
menjelaskan berdasarkan kriteria atau prinsip tertentu yang dianggap baik di
dalam tingkah laku manusia
2.2 Kategori Dasar Aksiologi
Terdapat dua kategori dasar aksiologi :
1. Objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya
sesuai keadaan objek yang dinilai.
2. Subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses
penilaian terdapat unsur intuisi (perasaan).
2.3 Jenis Aksiologi
2

Dalam penilaiannya, terdapat dua bidang yang paling popular saat ini, yaitu
yang bersangkutan dengan tingkah laku dan keadaan atau tampilam fisik. Dengan
demikian, kita mengenal aksiologi dalam dua jenis, yaitu etika dan estetika
(menurut pendapat Langeveld). Keduanya merupakan masalah yang paling
banyak ditemukan dan dianggap penting dalam kehidupan sehari-hari.
1. Etika
Etika adalah bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian atas
perbuatan manusia dari sudut baik dan jahat. Perlu diamati di sini, bahwa
perbuatan manusia senantiasa mendapat penilaian baik dan jahat.
Etika dalam bahasa Yunani, ethos yang artinya kebiasaan, habit
atau custom. Maksudnya, hampir tidak ada orang yang tidak memiliki
kebiasaan baik atau buruk. Oleh karena itu, istilah etis dan tidak etis dinilai
kurang tepat. Adapun istilah yang lebih tepat adalah etika baik dan etika
jahat. Etika disebut juga sebagai filsafat kesusilaan atau moral
(Driyarkara).
Craig (2005), dalam The Shorter Routledge Encyclopedia of
Phylosophy mengemukakan tiga permasalahan utama dalam etika, yaitu
masalah etika dan meta etika, masalah konsep etis dan teori etis, serta
masalah etika terapan.
a. Masalah etika dan meta etika
Apa yang dimaksud dengan etika, pada dasarnya meluputi empat
pengertian. 1) sistem-sistem nilai kebiasaan yang penting dalam
kehidupan kelompok khusus manusia yang digambarkan sebagai etika
kelompok ini. 2) etika digunakan pada satu di antara sistem-sistem
khusus tersebut, yaitu moralitas yang melibatkan makna dari
kebenaran dan kesalahan, seperti salah dan malu. 3) etika dalam sistem
moralitas itu sendiri mengacu pada prinsip-prinsip moral actual. 4)
etika adalah suatu daerah dalam filsafat yang memperbincangkan
telaahan etika dalam pengertian-pengertian lain. Penting untuk diingat
bahwa etika filosofis tidak bebas dari area filsafati lainnya. Jawaban
terhadap masalah etika bergantung pada jawaban terhadap banyaknya
pertanyaan metafisika dan area lain pemikiran manusia.
b. Masalah konsep dan teori etis
Dalam Craig (2005), menurut Crisp ada beberapa etika falsafiah
yang bersifat luas dan umum, serta berupaya untuk mendapatkan
3

prinsip-prinsip umum atau keterangan-keterangan dasar mengenai


moralitas, cenderung lebih memfokuskan pada analisis atas masalah
sentral pada etika itu sendiri.
Pertanyaan mengenai apa

yang

dibuat

untuk

kehidupan

kemanusiaan yang baik bagi kehidupan pribadi merupakan inti dari


etika sejak para filosof Yunani mendalaminya ke dalam kebahagiaan
(eudaimonia). Teori para filosof mengenai kebaikan, secara erat
menyatu dengan pandangan-pandangan mereka terhadap masalahmasalah lain. Teori-teori yang berdasar pada kebenaran dapat diperikan
sebagai deontologis. Puncaknya, terjadi pada abad ke-18 dalam filsafat
Jerman, Immanuel Kant. Teori-teori seperti itu beranggapan, bahwa
kita harus memegang janji, bahkan jika kita melanggar atau
menghambat melakukan sesuatu, akibatnya akan lebih.
c. Masalah etika terapan
Etika filsafati selalu dikatikan dengan taraf penerapan tertentu pada
kehidupan nyata sehari-hari. Bidang kedokteran, ilmu dan teknologi,
juga masalah-masalah kesenian yang berhubungan dengan agama dan
norma-norma, nilai social misalnya masalah pornografi dan pornoaksi
serta dalam bidang politik. Bidang politik tampil menonjol dalam sisi
rebutan kekuasaan. Dalam upaya memegang kendali pemerintah
inilah, etika diperlukan.
Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu :
1.
2.
3.
4.

Teori nilai intuitif


Teori nilai rasional
Teori nilai alamiah
Teori nilai emotif

Teori nilai intuitif dan teori nilai rasional beraliran obyectivis sedangkan teori
nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran subyektivis.
1. Teori Nilai intuitif (The Intuitive theory of value)
Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan
mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang absolut.
Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang absolute itu eksis dalam
tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada
tatanan moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis
sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antar obyek, dan
4

validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia.
Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses
intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya
selaras dengan preskripsi moralnya.
2. Teori nilai rasional (The rational theory of value)
Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif
dan murni independent dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai
hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan suatu
yang benar ketika ia tahu degan nalarnya bahwa itu benar, sebagai fakta
bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu
berlawanan dengan kehendak atau wahyu tuhan. Jadi dengan nalar atau
peran Tuhan nilai ultimo, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan
perilakunya.
3. Teori nilai alamiah (The naturalistic theory of value)
Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhankebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk
biososial, artefak manusia, yang diciptakan , dipakai, diuji oleh individu
dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia.
Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan
nilai tidak absolute tetapi bersifat relative. Nilai secara umum hakikatnya
bersifat subyektif, bergantung pada kondisi manusia.
4. Teori nilai emotif (The emotive theory of value)
Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status
kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika
bukanlah keputusan factual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi dan
tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi,
sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting dari tindakan
manusia (Poedjawijatna, 2004).
2. Estetika
Estetika merupakan filsafat yang mempersoalkan penilaian atas
sesuatu dari sudut indah dan jelek. Indah dan jelek adalah pasangan
dikotomis, dalam arti bahwa yang dipermasalahkan secara esensial adalah
penginderaan. Secara umum, estetika disebut sebagai kajian filsafati
mengenai apa yang membuat rasa senang. Secara visual dan imajinasi,
estetika disebut juga kajian mengenai keindahan, atau teori tentang cita

rasa, dan kritik dalam kesenian kreatif serta pementasan. Tokoh yang
paling terkenal dalam bidang ini adalah Alexander Baumgarten (17141762) dalam disertasinya pada 1735 yang justru dianggap awal
diwacanakannya estetika.
Estetika merupakan

bagian

aksiologi

yang

membicarakan

permasalah (Russel), pertanyaan (Langer), atau issues (Farber). Mengenai


keindahan, menyangkut ruang lingkup, nilai, pengalaman, perilaku dan
pemikiran seniman, seni serta persoalan estetika dan seni kehidupan
manusia (The Liang Gie, 1976).
Aksiologi, selain pembagiannya berdasarkan etika dan estetika,
para ahli membaginya dalam liputan tentang hakikat penilaian atas
kebenaran, kebaikan, keindahan, dan kesucian. Dalam hal ini, setiap ahli
mempunyai hak untuk mengajukan pendapatnya senidri-sendiri.
2.4 Pendekatan-pendekatan dalam aksiologi
Pertanyaan mengenai hakekat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara:
orang dapat mengatakan bahwa:
1. Nilai sepenuhnya berhakekat subyektif
Nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia
sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung pada pengalamanpengalaman mereka. Yang demikian ini dapat dinamakan subyektivitas.
2. Nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan namun tidak terdapat dalam
ruang dan waktu.
Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat
diketahui melalui akal. Pendirian ini dinamakan obyektiisme logis.
3. Nilai-nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan
Yang demikian ini dinamakan obyektivisme metafisik.
2.5 Teori-teori nilai
Permula adanya teori umum dari terjadinya perdebatan antara Alexius
Meinong dengan Christian von Ehrenfels pada tahun 1890-an berkaitan dengan
sumber nilai. Alexius Meinong berpendapat sumber nilai adalah perasaan
(feeling) atau perkiraan adanya kesenangan terhadap suatu objek. Christian von
Ehrenfels berpendapat sumber nilai adalah hasrat atau keinginan (desire). Menurut
pendapat keduanya nilai adalah milik objek itu sendiri .

Objektivisme atau Realisme Aksiologi


6

Penetapan nilai merupakan suatu yang dianggap objektif.


Alexander mengatakan nilai, norma, ideal, dan sebagainya merupakan
unsure atau berada dalam objek atau berada pada realitas objek .
Penetapan suatu nilai memiliki arti benar atau salah, meskipun penilaian
itu tidak dapat diverifikasi, yaitu yang tidak dapat dijelaskan melalui suatu
istilah tertentu.
Pendukung dari objektivisme aksiologi mencangkup Plato,
Aristoteles , St. Thomas Aquinas, Maritain, Rotce, Alexander , dan lainlainnya. Beberapa bentuk Ekspresi Objektivisme Aksiologi:
1. Bosanquet (idealism)
Nilai adalah kualitas tertentu dari suatu objek, kejujujuran
apa adanya,

tetapi manifestasinya diilhamkan kedalam sikap

pikiran manusia.
2. Scheler (fenomenologi)
Nilai adalah esensi yaitu entitas yang ada dengan sendirinya
yang diintuisikan secara emosional.
3. C.I. Lewis (Pragmatisme konseptual)
Penetapan nilai tunduk pada standar yang sama pada
pengetahuan dan validitas seperti halnya penilaian empiris kognitif
lainnya.
4. G. E. moore ( Intuisime)
Nilai adalah suatu yang tidak dapat diterangkan , yakni
tidak dapat dianalisis, tidak dapat direduksi dari terma itu
sendiri,meskipun nilai adalah suatu tindakan.

Subjektivisme Aksiologi
Penentuan nilai mereduksi penentuan nilai ke dalam statemen yang
berkaitan dengan sikap mental terhadap suatu objek atau situasi dan
penentuan sejalan dengan pernyataan benar atau salah. Subjektivisme
aksiologi

cenderung

mengabsahkan

teori

etika

yang

disebut hedonism, sebuah teori yang mengatakan kebahagian sebagai


kriteria nilai dan naturalism yang meyakini bahwa suatu nilai dapat
direduksi ke dalam psikologis.

Pendukung subjektivisme aksiologi adalah Hume , Perry, Prall,


Parker, Santayana, dan lainnya. Beberapa bentuk Ekspresi Subjektivisme
Aksiologi :
1. Hume ( skeptisime ).
A memiliki nilai berarti orang menyukai A
2. Sarte (eksistensialisme)
Nilai adalah kualitas empiris yang tidak dapat dijelaskan
menyatu dengan kebahagian perasaan daripada berpikir bagaimana
kita ingin merasakannya.
3. D. H. Parker (humanisme)
Nilai merupakan pengalaman , tidak berwujud objek.
4. Perry (naturalisme)
Semua objek dari kepentingan sebagai suatu hubungan
yang saling terkait antara kepentingan dengan objek.

Nominalisme Aksiologis atau Skeptisime (Emotivisme) Aksiologi.


Pandangan ini mengatakan bahwa penentuan nilai adalah ekspresi
emosi atau usaha untuk membujuk yang semua itu tidak faktual.
Emotivisme : Nilai adalah suatu nilai yang tidak dapat dijelaskan dan
bersifat emotif walaupun memiliki makna secara faktual.
Asal mula emotivisme yaitu dengan adanya G. E. Moore
mengajarkan tentang kebahagian yang tidak dapat dijelaskan tetapi
kebaikan secara factual dietakkan pada suatu tindakan atau objek, dengan
I.A.Richard membedakan antara makna faktual dan makna emotif.
Pendukung

emotivisme

aksiologi

adalah

Nietzsche,Ayer,

Stevenson, Carnap, dan lainnya. Beberapa bentuk Ekspresi Subjektivisme


Aksiologi :
1. Nietzsche ( relativisme aksiologi)
Nilai adalah sebuah ekspresi perasaan dan kebiasaan
daripada sebuah pernyataan terhadap suatu fakta.
2. Ayer ( logika positivism)
Nilai adalah fungis ekspresif , memberi cela bagi perasaan ,
dan statemen yang bersifat emotif atau nonkognitif.
3. Stevenson (logika empirisme)

Nilai adalah fungsi persuasive dan tidak memiliki objek


kesalahan seperti benar dan salah, maka persuasi diperlukan dapat
diterima.
2.6 Kajian nilai dalam aksiologi
Dalam kajian aksiologi, apa yang disebut dengan nilai itu pada dasarnya
dapat dikelompokkan menjadi dua macam:
1. Nilai formal
Yaitu nilai yang pada dasarnya tidak ada, menjadi ada karena
dibuat oleh akal. Ia hanya tampak dalam bentuk formal dan simbol. Nilai
ini dapat berwujud nilai diri, misalnya sebutan Bapak Lurah bagi
seseorang yang memangku jabatan lurah. Di sini nilai diberikan pada yang
berhak. Atau dapat juga berwujud nilai turunan, seperti sebutan Ibu
Lurah bagi seseorang wanita yang menjadi istri pemangku jabatan lurah.
Di sini nilai diberikan kepada yang tidak berhak, tetapi ia mengikuti yang
berhak.
2. Nilai Material
Yaitu nilai yang benar-benar nyata dan dapat dialami, baik oleh
jasmani maupun rohani. Nilai yang dapat dialami jasmani, dapat berwujud
nilai hidup (misalnya sakit-sehat, lestari-binasa, awas-buta), nilai nikmat
(misalnya ria-duka, harum-busuk, manis-pahit) dan nilai guna (misalnya
mengambil-membuang) . Sedang yang dialami nilai rohani terdiri atas
nilai intelek/ nilai logika (misalnya cermat-ceroboh, cerdas-bebal), nilai
estetika (misalnya mulus-cacat, mekar-muncup), nilai etika (misalnya
bakti-durhaka, jujur-curang) dan nilai religi (iman).
Nilai-nilai material ini menunjukkan susunan yang berurutan, yaitu
diawali dari nilai hidup dan diakhiri dengan nilai religi. Nilai hidup adalah
nilai dasar yang dikejar manusia bagi kelangsungan hidupnya. Sedangkan
nilai religi adalah nilai utama, yaitu sesuatu yang didambakan oleh
manusia untuk kemuliaan dirinya.
2.7 Kegunaan Nilai dalam Aksiologi
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, aksiologi adalah cabang filsafat yang
mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi
mempertanyakan untuk apa nilai pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan?

Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan


manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam
meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia,
martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam.
Kegunaan bagi akidah
Akidah adalah bagian ajaran Islam yang mengatur cara

berkeyakinan. Pusatnya ialah keyakinan kepada Tuhan.


Kegunaan bagi hukum
Tujuan utama diturunkannya hukum ialah

menciptakan

kemaslahatan manusia yang dimaksud kemaslahatan ialah kebaikan.


Ternyata kaiadah-kaidah pembuatan hukum itu dibuat berdasarkan
teori-teori filsafat.
Dalam memberikan kritik ideologi, yakni menggunakan fungsi
kritis filsafat. Pemikiran cara filsafat amat diperlukan dalam
menganalisis ideologi secara kritis, mempertanyakan dasarnya,
memperlihatkan implikasinya dan membuka kedok yang mungkin
berada dibelakangnya.
Kesimpulannya, memang benar filsafat khususnya filsafat sebagai

metodologi berguna bagi pengembangan hukum.


Kegunaan bagi bahasa
Disepakati oleh para ahli bahwa bahasa berfungsi sebagai alat
untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran. Tatkala bahasa berfungsi
sebagai alat berpikir, muncul problem yang serius, ini diselesaikan
antara lain dengan bantuan filsafat.
Filosof adalah prototype orang bijaksana. Orang bijaksana tentu
harus menggunakan bahasa yang benar. Bahasa yang benar itu akan
mampu mewakili konsep logis yang dibawakannya. Karena itu pada
logika-lah kita menemukan kaitan erat antara bahasa dan filsafat. Dan
pada logika pula kita temukan manfaat konkret bahasa. Peran logika
dalam bahasa ialah memperbaiki bahasa. Logika dapat mengetahui
kesalahan bahasa. Kekeliruan dalam berbahasa melahirkan kekeliruan
dalam berpikir.

10

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani kuno, terdiri dari kata aksios yang
berarti nilai dan kata logos yang berarti teori. Jadi, aksiologi merupakan cabang
filsafat yang mempelajari nilai. Secara singkat, aksiologi adalah teori nilai. Dalam
kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia tentang nilai-nilai khususnya etika.
Terdapat dua kategori dasar aksiologi :
1. Objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa
adanya sesuai keadaan objek yang dinilai.
2. Subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses
penilaian terdapat unsur intuisi (perasaan).
Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu :
1.
2.
3.
4.

Teori nilai intuitif


Teori nilai rasional
Teori nilai alamiah
Teori nilai emotif

Jenis aksiologi ada 2 yaitu etika dan estetika.


Pendekatan-pendekatan dalam aksiologi:
1. Nilai sepenuhnya berhakekat subyektif
2. Nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan namun tidak terdapat
dalam ruang dan waktu.
3. Nilai-nilai merupakan

unsur-unsur

obyektif

yang

menyusun

kenyataan Yang demikian ini dinamakan obyektivisme metafisik.


Teori-teori nilai:

11

1. Objektivisme atau Realisme Aksiologi


2. Subjektivisme Aksiologi
3. Nominalisme Aksiologis atau Skeptisime (Emotivisme) Aksiologi.

Kajian nilai dalam aksiologi:


1. Nilai formal
2. Nilai material
Kegunaan Nilai dalam Aksiologi:

Kegunaan bagi akidah


Kegunaan bagi hukum
Kegunaan bagi bahasa

12

DAFTAR PUSTAKA

Irma Sandi. 2014. Nilai Kegunaan Ilmu (Aksiologi), (Online),


(http://irmairmaagro01.blogspot.co.id/2014/05/makalah-pengelolaan-airpada-berbagai.html), diakses 1 September 2015
Kattsoff, Louis O. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Muslih, Mohammad. 2005. Filsafat Umum dalam Pemahaman Praktis.
Yogyakarta: Belukar.
Sadulloh, Uyoh. 2004. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi
Aksara.
Susanto. 2013. Aksiologi (Filsapat Ilmu), (Online),
(http://susanto-edogawa.blogspot.co.id/2013/05/aksiologi-filsapatilmu_19.html), diakses 1 September 2015
Tafsir, Ahmad. 2007. Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemoloi dan Aksiologi
Pengetahuan. Bandung: Rosda
Tafsir, Ahmad. 2012. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra.
Bandung: Rosda
Wiramihardja, Sutardjo A. 2007. Pengantar Filsafat (Sistematika Filsafat,
Sejarah
Filsafat, Logika dan Filsafat Ilmu (Epistemologi), Metafisika dan Filsafat
Manusia, Aksiologi. Bandung: Refika Aditama.

13

You might also like