You are on page 1of 48

LAPORAN KASUS

Asma Bronkkial Anak 10 tahun

Pembimbing

dr. Rivai Usman Sp.A

Disusun Oleh :
Muhammad Taufiq Hidayat S.Ked
030.09.160

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
PERIODE 25 MEI 1 AGUSTUS 2015
1

BEKASI, JAWA BARAT


HALAMAN PENGESAHAN

Nama
NIM
Fakultas

:
:
:

Muhammad Taufiq Hidayat S.Ked


03.09.160
Kedokteran Umum

Judul
Bagian

:
:

Laporan Kasus Tetanus


Ilmu Kesehatan Anak

Pembimbing :

dr. Rivai Usman Sp. A

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Di RSUD Kota Bekasi

Bekasi, 2 Juli 2015

Pembimbing

Penulis

(dr. Rivai Usman, Sp. A)

(Muhammad Taufiq Hidayat, S.Ked)

BAB I
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. RA
Umur
: 10 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Suku bangsa
: Jawa
Alamat
: Jl. Arijuna Raya, Duren Jaya
Tanggal MRS
: 16 Juni 2015,
ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan Ibu pasien pada hari Senin
tanggal 17 Juni 2015 di bangsal anak ruang Melati-15.
Keluhan Utama :
Sesak setengah jamm sebelum masuk RS
Keluhan Tambahan :
Batuk-batuk
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien perempuan umur 10 tahun datang ke UGD RSUD Bekasi pada tanggal 17
juni 2015 dengan keluhan sesak setengah jam sebelum masuk RS. Sesak dirasakan tibatiba datang, sebelumnya sempat di bawa ke RS lain dan sempat di uap tapi tidak ada
perbaikan dan akhirnya di rujuk ke sini. Sebelumnya pasien sering mengalami hal
serupa dan pasien mempunyai riwayat asma. Serangan sesak timbul saat malam hari,
keadaan stress, debu, kecapean dan pertama kali ketika umur 6 bulan biasa nya sesudah
di uap sesak menghilang. Pasien mengakui sesak yang sekarang ini adalah yang paling
berat, posisi duduk sangat membantu mengurangi sesak pasien dan saat di rawat di RS
sesak sempat timbul lagi 3 kali. Selain sesak juga pasien mengeluhkan batuk berdahak
berwarna putih. Pasien tidak memelihara binatang berbulu di rumahnya seperti kucing
atau anjing.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Memiliki riwayat Asma sejak umur 6 bulan
Riwayat Penyakit Keluarga :
Ayah pasien memiliki riwayat Asma seperti pasien tetapi sudah meninggal karena
stroke.
.
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :

KEHAMILAN
KELAHIRAN

Morbiditas kehamilan
Perawatan antenatal
Tempat kelahiran
Penolong persalinan
Cara persalinan
Masa gestasi
Keadaan bayi

Tidak ditemukan kelainan


Rutin periksa ke bidan
Rumah Sakit
Dokter Sp.OG
Caesar, factor umur ibu
39 Bulan
Baik

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :


Pertumbuhan gigi I :
5 bulan
(normal: 5-9 bulan)
Psikomotor
Tengkurap
:
3,5 bulan
(normal: 3-4 bulan)
Duduk
:
7 bulan
(normal: 6 bulan)
Berdiri
:
10 bulan
(normal: 9-12 bulan)
Berjalan
:
11 bulan
(normal: 13 bulan)
Bicara
:
11 bulan
(normal: 9-12 bulan)
Riwayat Makanan
Umur (bulan) ASI/PASI
Buah/biskuit
Bubur susu
0-2
+
2-4
+
4-6
+
6-8
+
+
+
8-10
+
+
+
Riwayat Imunisasi :
Vaksin
Dasar (umur)
BCG
2 bulan
DPT
2 bulan 4 bulan
POLIO
Lahir
2 bulan
CAMPAK
9 bulan 24 bulan
HEPATITIS B -

Nasi tim
+
+

Ulangan (umur)
6 bulan
4 bulan
6 tahun
-

18 bulan
6 bulan

5 tahun
18 bulan

5 tahun

Riwayat Keluarga :
Nama
Perkawinan ke
Umur
Keadaan kesehatan

Ayah
Tn. T
Pertama
60
Meninggal

Ibu
Ny. M
Pertama
55
Baik

Anak pertama
An. RA
3
10 tahun

Riwayat Perumahan dan Sanitasi :


Tinggal dirumah sendiri. Terdapat tiga kamar. Tempat tinggal pasien bersih, ventilasi
cukup, air bersih.

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada An. Ra pada tanggal 17 Juni 2015 di bangsal anak ruang Melati-15.

Keadaan umum
: tampak sakit sedang
Tanda vital
Kesadaran
: compos mentis
Frekuensi nadi
: 125 x/menit
Tekanan darah
: Tidak dilakukan
Frekuensi pernapasan
: 25 x/menit
Suhu tubuh
: 36,2 oC
Data antropometri
Berat badan
: 35 kg
Tinggi badan
: 140 cm
Status gizi
Berdasarkan kurva CDC usia 2-20 tahun:

BB/U = 35/33 x 100% = 3500/33 = 106%

TB/U = 140/138 x 100% = 14000/138 = 101,4%

BB/TB = 35/35 x 100% = 3500/35 = 100%


Kesan : Gizi baik

Kepala
Bentuk
Rambut

Mata

Telinga

Hidung
Mulut

: normocephali
: rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi
merata
: conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil
isokor, RCL +/+, RCTL +/+
: normotia, membran timpani intak, serumen -/-,
otorrhea -/: bentuk normal, sekret -/-, nafas cuping hidung -/: Tampak bercak putih di pipi bagian dalam kanan
3 buah

Leher

KGB
: tidak membesar
Kelenjar tiroid
: tidak membesar
Thorax
Inspeksi
: pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-)
Palpasi
: Vocal vremitus simetris
Perkusi
: Sonor kedua lapang paru
Auskultasi
o Pulmo
: suara nafas vesikuler, ronki -/-, wheezing +/+
saat ekspirasi dan inspirasi
o Kardio
: bunyi jantung I dan II reguler, murmur -, gallop
Abdomen
Inspeksi
: perut datar, distensi (-), jejas (-)
Auskultasi
: bising usus 3x/menit
Palpasi
: supel, bising usus (+), organomegali (-)
Perkusi
: timpani, shifting dullness ()
Kulit
: Turgor baik, ptechiae (-),
Genitalia Eksterna
: tidak tampak kelainan
Ekstremitas :
Superior
Inferior
Dextra
Sinistra
Dextra
Sinistra
Akral
Hangat
Hangat
Hangat
Hangat
Sianosis Edema
Tonus
Normo
Normo
Normo
Normo
Trofi
Normo
Normo
Normo
Normo
Motorik 5555
5555
5555
5555
Sensorik +
+
+
+
7

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium darah 16/6/15
Jenis Pemeriksaan Hasil
HEMATOLOGI
Darah rutin
Leukosit
11,5
Hemoglobin
13,4
Hematokrit
38,2
Trombosit
349
Tanggal 17/6/15
Jenis Pemeriksaan
Darah rutin
Leukosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
Eritrosit
Index eritrosit
MCV
MCH
MCHC
Glukosa
darah

Satuan

Nilai Normal

ribu/uL
g/dL
%
ribu/uL

5-10
11-14,5
37-47
150-400

Hasil

Satuan

Nilai Normal

8,1
12,9
36,3
319
4,56

ribu/uL
g/dL
%
ribu/uL
Juta/uL

5-10
11-14,5
37-47
150-400
4-5

29,7
28,3
35,5
113

Fl
Pg
%

75-87
24-30
31-37
60-110

139
4,5
99

Mmol/L
Mmol/L
Mmol/L

135-145
3,5-5,0
94-111

sewaktu
Elektrolit
Natrium
Kalium
Klorida

Rongten : PA 16/6/15

Kesan : corakan bertambah, lebih lucent atau hitam parunya dan costa lebih
datar.
RESUME
Pasien perempuan umur 10 tahun dengan keluhan sesak setengah jam sebelum
masuk RS. Sesak dirasakan tiba-tiba datang, sebelumnya sempat di uap tapi tidak ada
perbaikan dan akhirnya di rujuk ke sini. Sebelumnya pasien sering mengalami hal
serupa dan pasien mempunyai riwayat asma. Serangan sesak timbul saat malam hari,
keadaan stress, debu, kecapean dan pertama kali ketika umur 6 bulan biasa nya sesudah
di uap sesak menghilang. Pasien mengakui sesak yang sekarang ini adalah yang paling
berat, posisi duduk sangat membantu mengurangi sesak pasien dan saat di rawat di RS
sesak sempat timbul lagi 3 kali. Selain sesak juga pasien mengeluhkan batuk berdahak
berwarna putih. Pasien tidak memelihara binatang berbulu di rumahnya seperti kucing
atau anjing. Ayah pasien memiliki riwayat asma seperti pasien. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan paru saat auskultasi wheezing pada kedua lapang paru saat ekspirasi maupun
inspirasi. Pada pemeriksaan lab Leukositosis ringan (lab tanggal 16/6/15), Hematokrit
menurun (lab tanggal 17/6/15) dan Glukosa darah sewaktu meningkat (lab tanggal
18/6/15). Untuk hasil rongten corakan bertambah, lebih lucent atau hitam parunya dan
costa lebih datar.

DIAGNOSIS KERJA
Asma bronkial episodik persisten serangan sedang
9

DIAGNOSIS BANDING
PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa
Tirah baring
Edukasi kepada orangtua tentang penyakit yang diderita
Medikamentosa
- IVFD KaEn 3b 12 tpm
- Ambroxol 3x1 Cth
- Inhalasi/8jam (ventolin 1amp/jam dan Nacl 2cc)
PROGNOSIS
Ad vitam
: Dubia ad bonam
As fungsionam
: Dubia ad bonam
Ad sanationam
: Dubia ad malam
FOLLOW UP
Tanggal S
17/6/15 Batuk

O
TTV: Suhu 36,2C,

berdahak (+),

Nadi 125 x/menit,

dahak sulit

RR 25 x/menit

keluar.

KU: Tampak sakit

Sesak pada
jam 03.00
pagi, sesak
dirasa berat
sekali.

sedang, pasien
keadaan tenang
Mata: konjungtiva

A
Asma
bronkial
episodik
persisten
serangan
sedang

P
-

IVFD KaEn 3b
12 tpm
Ambroxol 3x1
Cth
Inhalasi/8jam
(ventolin
1amp/jam dan
Nacl 2cc)

anemis -/Thoraks:
Cor: S1-S2 reguler,
murmur -, gallop
Pulmo: SN
Vesikuler, rhonki
-/-, wheezing +/+
saat ekspirasi dan
inspirasi
Abdomen: supel,
10

BU (+) 3x/menit,
nyeri tekan
abdomen -, hepar
dan lien tidak teraba
membesar, shifting
dullness

18/6/15

Batuk

Ekstremitas: akral
hangat, oedem -/-,
CRT <2
Suhu 36,2C, Nadi

berdahak (+),

96 x/menit, RR 24

dahak warna

x/menit

putih, sekali

KU: Tampak sakit

keluar kurang

sedang, pasien

lebih

keadaan tenang

sebanyak

Mata: konjungtiva

setengah

anemis -/-

sendok

Thoraks:

makan.

Cor: S1-S2 reguler,

Sesak pada

murmur -, gallop

jam 04.30

Pulmo: SN

pagi, sesak

Vesikuler, rhonki

dirasa berat

-/-, wheezing +/+

sekali sama

saat ekspirasi dan

seperti

inspirasi

sebelumnya.

Abdomen: supel,

Nyeri dada

BU (+) 3x/menit,

saat serangan.

nyeri tekan

Pusing (+)

abdomen -, hepar

Asma
bronkial
episodik
persisten
serangan
sedang

IVFD D5% 20 tpm


Cefoporazon 3 x 500mg
Kalmethasone 3 x 1
ampul
Vectrin 2 x 1 Cth
Inhalasi k/p

dan lien tidak teraba


membesar, shifting
dullness
Ekstremitas: akral

11

hangat, oedem -/-,


CRT <2

BAB II
ANALISA KASUS

12

Penegakan diagnosis pada pasien ini adalah Asma bronkial episodik persisten
serangan sedang berdasarkan anamnesis dan fisik serta dibantu pemeriksaan rongten.
Pada anamnesis adnya keluhan sesak nafas dengan adanya suara bunyi ngik serta
adanya factor-faktor yang memicu timbulnya asma seperti stress dan kecapean. Sesak
di rasakan pasien sangat berat hingga mengganngu aktivitas nya. Ketika sesak pasien
membuat dirinya agar lebih ringan sesaknya dengan posisi duduk. Pada kriteria
klasifikasi asma sangat sesuai dengna derajat persisten sedang sesuai klinis yang
ditemukan. Pada rongten torak telihat lapang paru lebuh lucent dan costa datar ini
menandakan masih banyak udara yang terjebak di dalamnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

13

1. Definisi
Menurut United States National Tuberculosis Association 1967, asma
bronkial merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh reaksi yang meningkat dari
trakea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan berupa kesukaran
bernapas yang disebabkan oleh penyempitan dari saluran napas. Penyempitan
saluran napas ini bersifat dinamis, dan derajat penyempitan dapat berubah, baik
secara spontan maupun karena pemberian obat, dan kelainan dasarnya merupakan
gangguan imunologi.(2)
Obstruksi saluran napas ini memberikan gejala asma seperti batuk, mengi,
dan sesak napas. Penyempitan saluran napas pada asma dapat terjadi secara
bertahap, perlahan-lahan, dan bahkan menetap dengan pengobatan tetapi dapat pula
terjadi mendadak, sehingga menimbulkan kesulitan bernapas yang akut. Derajat
obstruksi ditentukan oleh diameter lumen saluran napas, edema dinding bronkus,
produksi mukus, kontraksi dan hipertrofi otot polos bronkus. Diduga obstruksi
maupun peningkatan respons terhadap berbagai rangsangan didasari oleh inflamasi
saluran napas.(2)
2. Epidemiologi
Asma bronkial merupakan salah satu penyakit alergi dan masih menjadi
masalah kesehatan baik di negara maju maupun di negara berkembang. Prevalensi
dan angka rawat inap penyakit asma bronkial di negara maju dari tahun ke tahun
cenderung meningkat. Perbedaan prevalensi, angka kesakitan dan kematian asma
bronkial berdasarkan letak geografi telah disebutkan dalam berbagai penelitian.
Selama sepuluh tahun terakhir banyak penelitian epidemiologi tentang asma
bronkial dan penyakit alergi berdasarkan kuisioner telah dilaksanakan di berbagai
belahan dunia. Semua penelitian ini walaupun memakai berbagai metode dan
kuisioner namun mendapatkan hasil yang konsisten untuk prevalensi asma bronkial
sebesar 5-15% pada populasi umum dengan prevalensi lebih banyak pada wanita
dibandingkan laki-laki. Di Indonesia belum ada data epidemiologi yang pasti namun
diperkirakan berkisar 3-8%.(3)
Dua pertiga penderita asma bronkial merupakan asma bronkial alergi (atopi)
dan 50% pasien asma bronkial berat merupakan asma bronkial atopi. Asma bronkial
atopi ditandai dengan timbulnya antibodi terhadap satu atau lebih alergen seperti

14

debu, tungau rumah, bulu binatang dan jamur. Atopi ditandai oleh peningkatan
produksi IgE sebagai respon terhadap alergen. Prevalensi asma bronkial non atopi
tidak melebihi angka 10%. Asma bronkial merupakan interaksi yang kompleks
antara faktor genetik dan lingkungan. Data pada penelitian saudara kembar
monozigot dan dizigot, didapatkan kemungkinan kejadian asma bronkial diturunkan
sebesar 60-70%.(3)
3. Etiologi
Menurut The Lung Association of Canada, ada 2 faktor yang menjadi
pencetus asma:
1.

Faktor yang menyebabkan bronkokonstriksi


Bronkokonstriksi adalah gangguan pernafasan akut yang belum berarti

asma, tapi bisa menjurus menjadi asma

jenis intrinsik. Gejala yang

ditimbulkan cenderung tiba-tiba, berlangsung dalam waktu pendek dan


relatif mudah di atasi dalam waktu singkat. Namun saluran pernapasan akan
bereaksi lebih cepat terhadap pemicu apabila sudah terjadi peradangan.
Umumnya

pemicu

yang

mengakibatkan

bronkokonstriksi

termasuk

stimulus sehari-hari seperti :


Perubahan cuaca dan suhu udara
Polusi udara
Asap rokok
Infeksi saluran pernapasan
Gangguan emosi
Olahraga yang berlebihan
2.

Faktor yang menyebabkan inflamasi pada saluran pernapasan


Faktor ini merupakan penyebab asma yang sesungguhnya atau asma

jenis ekstrinsik. Gejala yang ditimbulkan berlangsung lebih lama (kronis)


dan lebih sulit di atasi dibanding yang diakibatkan oleh pemicu.
Umumnya penyebab asma adalah alergen yang bisa dalam bentuk :

15

Ingestan : alergen yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut


(dimakan/diminum). Ingestan yang utama adalah makanan dan obatobatan
Inhalan : alergen yang dihirup masuk ke dalam tubuh melalui
hidung

atau

mulut seperti

serbuk

bunga, tungau, serpih/kotoran

binatang, jamur, dan lain-lain.


Kontak dengan kulit contohnya bedak, lotion, beberapa metal dalam
bentuk perhiasan, juga karena bersentuhan dengan barang-barang
berbahan lateks.(2)
4. Klasifikasi
Klasifikasi asma berdasarkan level terkontrolnya menurut Global Initiative for
Asthma (GINA) 2011 yakni:
No

Karakteristik

Gejala siang

2
3
4
5

Terkontrol

Tidak ada atau


2x / minggu
Hambatan aktivitas
Tidak ada
Gejala malam/ bangun Tidak ada
waktu malam
Perlu reliever /
Tidak ada atau
bantuan inhalasi
2x / minggu)
Fungsi paru PEF atau Normal
FEV1)**

Terkontrol
parsial
> 2x / minggu
Ada
Ada

Tidak
Terkontrol
3 atau lebih
keadaan
terkontrol
parsial*

> 2x / minggu

< 80% prediksi


atau hasil terbaik
(bila ada)
Tabel 1. Level Kontrol Asma.

*secara definisinya, bila terjadi eksaserbasi maka disebut sebagai asma tidak terkontrol.
**tanpa pemberian bronkodilator, pemeriksaan fungsi paru tidak dapat digunakan pada anak usia 5
tahun.

Secara etiologis, asma bronchial terbagi dalam 3 tipe 8


1. Asma bronchial tipe non atopi (intrinsic)
Asma intrinsik adalah asma yang tidak responsif terhadap pemicu yang
berasal dari allergen. Asma ini disebabkan oleh stres, infeksi saluran nafas dan
kodisi lingkungan yang buruk seperti kelembaban, suhu, polusi udara, zat-zat
iritan kimia atau obat-obatan serta aktivitas olahraga yang berlebihan. Pada

16

golongan ini keluhan ini tidak ada hubungannya dengan paparan (exposure)
terhadap allergen dengan sifat-sifat:
a. Serangan timbul setelah dewasa
b. Pada keluarga tidak ada yang menderita asma
c. Penyakit infeksi sering menimbulkan serangan
d. Ada hubungan dengan pekerjaan atau beban fisik
e. Rangsangan/stimuli psikis mempunyai peran untuk menimbulkan serangan
reaksi asma
f. Perubahan-perubahan cuaca atau lingkungan yang non-spesifik merupakan
keadaan yang peka bagi penderita.
2. Asma bronchial tipe atopi (ekstrinsic)
Asma ekstrinsik adalah bentuk asma paling umum yang disebabkan karena
reaksi alergi penderita terhadap allergen dan tidak membawa pengaruh apa-apa
terhadap orang yang sehat. Pada golongan ini, keluhan ada hubungannya dengan
paparan (exposure) terhadap allergen lingkungan yang spesifik. Kepekaan ini
biasanya dapat ditimbulkan dengan uji kulit atau uji provokasi bronchial. Pada tipe
mempunyai sifat-sifat:
a. Timbul sejak kanak-kanak
b. Keluarga ada yang menderita asma
c. Adanya eksim saat bayi
d. Sering menderita rhinitis
e. Di Inggris jelas penyebabnya House Dust Mite, di USA tepung sari bunga
rumput.
3. Asma bronchial tipe campuran (mixed)
Pada golongan ini, keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor intrinsic
maupun ekstrinsik.
Berdasarkan derajatnya, asma dapat dibagi menjadi:
1. Intermite
a. Gejala klinis < 1 kali/minggu
b. Gejala malam < 2 kali/bulan
c. Tanpa gejala di luar serangan
d. Serangan berlangsung singkat
e. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) > 80% nilai prediksi atau
arus puncak ekspirasi (APE) > 80% nilai terbaik

17

f. Variabilitas APE < 20%


2. Persisten ringan
a. Gejala klinis > 1 kali/minggu tetapi < 1 kali/hari
b. Gejala malam > 2 kali/bulan
c. Tanpa gejala di luar serangan
d. Serangan dapat menggangu aktivitas tidur dan tidur
e. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) > 80% nilai prediksi atau
arus puncak ekspirasi (APE) > 80% nilai terbaik
f. Variabilitas APE 20%-30%
3. Persisten sedang
a. Gejala setiap hari
b. Gejala malam > 2 kali/minggu
c. Sering dapat menggangu aktivitas dan tidur
d. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) 60%-80% nilai prediksi
atau arus puncak ekspirasi (APE) 60%-80% nilai terbaik
e. Variabilitas APE > 30%
4. Persisten berat
a. Gejala terus menerus
b. Gejala malam sering
c. Sering kambuh
d. Aktivitas fisik terbatas
e. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) < 60% nilai prediksi atau
f.

arus puncak ekspirasi (APE) < 60% nilai terbaik


Variabilitas APE > 30%.(2,3)

5. Patofisiologi
Sesuatu yang dapat memicu serangan asma ini sangat bervariasi antara satu
individu dengan individu yang lain. Beberapa hal diantaranya adalah alergen, polusi
udara, infeksi saluran nafas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat atau ekspresi
emosi yang berlebihan, rinitis, sinusitis bakterial, poliposis, menstruasi, refluks
gastroesofageal dan kehamilan.(4)
Alergen akan memicu terjadinya bronkokonstriksi akibat dari pelepasan IgE
dependent dari sel mast saluran pernafasan dari mediator, termasuk diantaranya
histamin, prostaglandin, leukotrin, sehingga akan terjadi kontraksi otot polos.
Keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini kemungkinan juga terjadi oleh karena
saluran pernafasan pada pasien asma sangat hiper responsif terhadap bermacam-macam
jenis serangan. Akibatnya keterbatasan aliran udara timbul oleh karena adanya
pembengkakan dinding saluran nafas dengan atau tanpa kontraksi otot polos.

18

Peningkatan permeabilitas dan kebocoran mikrovaskular berperan terhadap penebalan


dan pembengkakan pada sisi luar otot polos saluran pernafasan.(4,5)

Gambar 1 bronkiolus normal dan bronkiolus pada asma bronkial


Penyempitan saluran pernafasan yang bersifat progresif yang disebabkan oleh
inflamasi saluran pernafasan dan atau peningkatan tonos otot polos bronkioler
merupakan gejala serangan asma akut dan berperan terhadap peningkatan resistensi
aliran, hiper inflasi pulmoner, dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi.(4)
Pada penderita asma bronkial karena saluran napasnya sangat peka
(hipersensitif) terhadap adanya partikel udara, sebelum sempat partikel tersebut
dikeluarkan dari tubuh, maka jalan napas (bronkus) memberi reaksi yang sangat
berlebihan (hiperreaktif), maka terjadilah keadaan dimana.(4)

Otot

polos

yang

menghubungkan

cincin

tulang

rawan

akan

berkontraksi/memendek/mengkerut

Produksi kelenjar lendir yang berlebihan

Bila ada infeksi akan terjadi reaksi sembab/pembengkakan dalam saluran napas
Hasil akhir dari semua itu adalah penyempitan rongga saluran napas. Akibatnya

menjadi sesak napas, batuk keras bila paru mulai berusaha untuk membersihkan diri,
keluar dahak yang kental bersama batuk, terdengar suara napas yang berbunyi yang
timbul apabila udara dipaksakan melalui saluran napas yang sempit. Suara napas
tersebut dapat sampai terdengar keras terutama saat mengeluarkan napas.(4,5)

19

Skema 1. Patofisiologi Asma.(6)


Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma
akut. Gangguan ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspirasi dan
dapat dinilai dengan tes fungsi paru yang sederhana seperti Peak Expiratory Flow Rate
(PEFR) dan FEV1 (Forced Expiration Volume). Ketika terjadi obstruksi aliran udara saat
ekspirasi yang relatif cukup berat akan menyebabkan pertukaran aliran udara yang kecil
untuk mencegah kembalinya tekanan alveolar terhadap tekanan atmosfer maka akan
terjadi hiper inflasi dinamik. Besarnya hiper inflasi dapat dinilai dengan derajat
penurunan kapasitas cadangan fungsional dan volume cadangan. Fenomena ini dapat
pula terlihat pada foto toraks yang memperlihatkan gambaran volume paru yang
membesar dan diafragma yang mendatar.(4)
Hiperinflasi dinamik terutama berhubungan dengan peningkatan aktivitas otot
pernafasan, mungkin sangat berpengaruh terhadap tampilan kardiovaskular. Hiper
inflasi paru akan meningkatkan after load pada ventrikel kanan oleh karena peningkatan
efek kompresi langsung terhadap pembuluh darah paru.(4)

20

Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus,
sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat
selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut.
Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa
diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional
dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total.
Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas
berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu
napas.(7)
Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar,
sedang, maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran napas
besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan
dibanding mengi.(7)
6. Manifestasi klinik
Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak, disertai fase
inspirasi yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan diikuti bunyi
mengi (wheezing), batuk yang disertai serangan sesak napas yang kumat-kumatan.
Pada beberapa penderita asma keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat dan
sesak napas penderita timbul mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat
atau tiba-tiba menjadi lebih berat. Hal ini sering terjadi terutama pada penderita
dengan rhinitis alergika atau radang saluran napas bagian atas. Sedangkan pada
sebagian besar penderita keluhan utama ialah sukar bernapas disertai rasa tidak enak
di daerah retrosternal. Mengi (wheezing) terdengar terutama waktu ekspirasi.(2)
Suara mengi ini sering kali dapat didengar dengan jelas tanpa menggunakan
alat. Keadaan ini tergantung cepat atau lambatnya aliran udara yang keluar-masuk
paru. Bila dijumpai obstruksi ringan atau kelelahan otot pernapasan, mengi
(wheezing) akan terdengar lemah atau tidak terdengar sama sekali. Sedang batuk
hampir selalu ada, bahkan sering kali diikuti dengan dahak putih berbuih. Selain itu,
makin kental dahak akan memberikan keluhan sesak napas yang lebih berat, apalagi
penderita mengalami dehidrasi.(2)
Dalam keadaan sesak napas hebat, penderita lebih menyukai posisi duduk
membungkuk dengan kedua telapak tangan memegang kedua lutut. Tanda lain yang

21

menyertai sesak napas berat ialah pergerakan cuping hidung yang sesuai dengan
irama pernapasan, otot bantu pernapasan ikut aktif dan penderita tampak gelisah.
Frekuensi pernapasan terlihat meningkat (takipneu), selain karena sesak napas
mungkin pula karena rasa takut. Pada fase permulaan sesak napas akan diikuti
dengan penurunan PaO2 dan PaCO2, tetapi pH normal atau sedikit naik.
Hipoventilasi yang terjadi kemudian akan memperberat sesak napas, karena
menyebabkan penurunan PaO2 dan pH serta meningkatkan PaCO2 darah. Selain itu
terjadi kenaikan tekanan darah dan denyut nadi sampai 110-130 kali/menit, karena
peningkatan konsentrasi katekolamin dalam darah. Bila tanda-tanda hipoksemia
tetap ada (PaO2 <60 mmHg) diikuti dengan hiperkapnia (PaCO2 <45 mmHg),
asidosis respiratorik, sianosis, gelisah, kesadaran menurun, papiledema dan pulsus
paradoksus, berarti asma makin memberat.(2)
Pada perkusi dada, suara napas normal sampai hipersonor. Pada asma ringan
letak diafragma masih normal, dan menjadi datar serta rendah pada asma berat.
Suara vesikuler meningkat, disertai ekspirasi memanjang. Kalau ada sekret,
terdengar ronki kasar waktu inspirasi dan tumpang tindih dengan wheezing waktu
inspirasi. Suara napas tambahan yang bersifat lokal, mungkin menunjukkan ada
bronkiekstasis atau pneumonia dan kadang-kadang karena atelektasis ringan.(2)
7. Diagnosis
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,
disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya
penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga
penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang
bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan
variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.

Anamnesis yang baik cukup untuk

menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal


paru terutama reversibiliti

kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan

nilai

diagnostik.(8)
RIWAYAT PENYAKIT / GEJALA :
1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
2. Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
22

3. Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari


4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
5. Respons terhadap pemberian bronkodilator.(8)
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
1. Riwayat keluarga (atopi)
2. Riwayat alergi / atopi
3. Penyakit lain yang memberatkan
4. Perkembangan penyakit dan pengobatan.(8)
PEMERIKSAAN FISIK
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi
pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal
walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan
napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran
napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis
berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya
terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak
terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai
gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan
penggunaan otot bantu napas.(8)
FAAL PARU
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai
asmanya, demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan
mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk
menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif menilai berat
asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
1. obstruksi jalan napas
2. reversibiliti kelainan faal paru
3. variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan napas

23

Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan
spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).(8)
a. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita
sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita.
Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai
yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai
rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.(8)
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
-

Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau

VEP1 < 80% nilai prediksi.


Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid

(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma


Menilai derajat berat asma

b. Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan
yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter)
yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin
tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun
instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami
baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah
sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE
dengan ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang
jelas.(8)
Manfaat APE dalam diagnosis asma

24

Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi bronkodilator


(uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi

kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)


Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti
APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai
derajat berat penyakit (lihat klasifikasi)
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru

lain, di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat
obstruksi. Oleh karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan
dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak
diketahui nilai terbaik penderita yang bersangkutan.(8)
Cara pemeriksaan variabiliti APE harian
Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk
mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui 2
cara:
-

Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan nilai


APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari
sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum
bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah bronkodilator menunjukkan
persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai

> 20% dipertimbangkan

sebagai asma.
APE malam - APE pagi
Variabiliti harian = -------------------------------------------- x 100 %
1/2 (APE malam + APE pagi)
-

Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE
pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan
dengan persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari).(8)

PERAN PEMERIKSAAN LAIN UNTUK DIAGNOSIS


1. Uji Provokasi Bronkus
25

Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita


dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi
bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi
tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis
asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut
asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik,
berbagai

gangguan

dengan

penyempitan

jalan

napas

seperti

PPOK,

bronkiektasis dan fibrosis kistik.(8)


2. Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan
uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai
kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/
pencetus

sehingga

dapat

dilaksanakan

kontrol

lingkungan

dalam

penatalaksanaan.(8)
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi,
umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang
tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun
negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan
hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik
dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain
dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan
lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis
alergi/ atopi.(8)
8. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan asma:
a. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
b. Mencegah eksaserbasi akut
c. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

26

d. Mengupayakan aktivitas normal


e. Menghindari efek samping obat
f. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation)
g. Mencegah kematian karena asma.(9)
Penatalaksanan asma bronkial terdiri dari pengobatan non medikamentosa dan
pengobatan medikamentosa :
1. Pengobatan non medikamentosa
Pengobatan non medikamentosa terdiri dari :
-

Penyuluhan

Menghindari faktor pencetus

Pengendalian emosi

Pemakaian oksigen.(9)

2. Pengobatan medikamentosa
Pada prinsipnya pengobatan asma dibagi menjadi dua golongan yaitu
antiinflamasi merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol penyakit serta
mencegah serangan dikenal dengan pengontrol, dan bronkodilator yang merupakan
pengobatan saat serangan untuk mencegah eksaserbasi/serangan dikenal dengan
pelega.(8)
1. Antiinflamasi (pengontrol)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan
setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada
asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat
pengontrol :

Kortikosteroid inhalasi

Kortikosteroid sistemik

Sodium kromoglikat

Nedokromil sodium

Metilsantin

Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi

Agonis beta-2 kerja lama, oral

Leukotrien modifiers

27

Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)

Lain-lain.(8)

Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah agen anti inflamasi yang paling potensial dan
merupakan anti inflamasi yang secara konsisten efektif sampai saat ini. Efeknya
secara umum adalah untuk mengurangi inflamasi akut maupun kronik, menurunkan
gejala asma, memperbaiki aliran udara, mengurangi hiperresponsivitas saluran
napas, mencegah eksaserbasi asma, dan mengurangi remodelling saluran napas.
Kortikosteroid terdiri dari kortikosteroid inhalasi dan sistemik.(8)
Kromolin
Mekanisme yang pasti kromolin belum sepenuhnya dipahami, tetapi
diketahui merupakan antiinflamasi non steroid, menghambat penglepasan mediator
dari sel mast. Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada
asma persisten ringan. Studi klinis menunjukkan pemberian sodium kromoglikat
dapat memperbaiki faal paru dan gejala, menurunkan hiperesponsif jalan napas
walau tidak seefektif glukokortikosteroid inhalasi. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu
pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak. Efek samping
umumnya minimal seperti batuk atau rasa obat tidak enak saat melakukan inhalasi.(8)
Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner
seperti antiinflamasi. Pada dosis yang sangat rendah efek antiinflamasinya minim
pada inflamasi kronik jalan napas dan studi menunjukkan tidak berefek pada
hiperesponsif jalan napas. Teofilin juga digunakan sebagai bronkodilator tambahan
pada serangan asma berat. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan
bersama/kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat, sebagai alternatif
bronkodilator jika dibutuhkan.(8)
Agonis beta-2 kerja lama
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Seperti lazimnya agonis
beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier,
menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator
dari sel mast dan basofil. Kenyataannya pada pemberian jangka lama, mempunyai

28

efek antiinflamasi walau kecil. Inhalasi agonis beta-2 kerja lama yang diberikan
jangka lama mempunyai efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor.
Pemberian inhalasi agonis beta-2 kerja lama, menghasilkan efek bronkodilatasi
lebih baik dibandingkan preparat oral.(8)
Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui
oral. Selain bersifat bronkodilator juga mempunyai efek anti inflamasi. Mekanisme
kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrin
(contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada sel
target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut
menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat
alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai
efek antiinflamasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa penambahan leukotriene
modifiers dapat menurunkan kebutuhan dosis glukokortikosteroid inhalasi penderita
asma persisten sedang sampai berat, mengontrol asma pada penderita dengan asma
yang tidak terkontrol walau dengan glukokortikosteroid inhalasi.(8)

29

30

Tabel 2. Sediaan dan dosis obat pengontrol asma


2. Bronkodilator (pelega)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki
dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi,
rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan
hiperesponsif jalan napas.(8)
Termasuk pelega adalah :

Agonis beta2 kerja singkat

31

Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila


penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).

Antikolinergik

Aminofillin

Adrenalin.(8)

Agonis beta 2 kerja singkat


Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol
yang telah beredar di Indonesia. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian
secara inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping yang minimal.(8)
Metilxantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibanding agonis beta 2. Aminofillin kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk
mengatasi gejala walau disadari onsetnya lebih lama daripada agonis beta-2 kerja
singkat. Teofilin kerja singkat tidak menambah efek bronkodilatasi agonis beta- 2 kerja
singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat untuk respiratory drive, memperkuat
fungsi otot pernapasan dan mempertahankan respons terhadap agonis beta-2 kerja
singkat di antara pemberian satu dengan berikutnya. Teofilin berpotensi menimbulkan
efek samping sebagaimana metilsantin, tetapi dapat dicegah dengan dosis yang sesuai
dan dilakukan pemantauan. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak diberikan pada
penderita yang sedang dalam terapi teofilin lepas lambat kecuali diketahui dan dipantau
ketat kadar teofilin dalam serum .(8)
Antikolinergik
Pemberian secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan
asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan nafas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan
menurunkan tonus vagal intrinsik, selain itu juga menghambat reflek bronkokonstriksi
yang disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis beta-2 kerja singkat,
onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimum. Tidak
mempengaruhi reaksi alergi tipe cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh
terhadap inflamasi. Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan
tiotropium bromide. Analisis meta penelitian menunjukkan ipratropium bromide
32

mempunyai efek meningkatkan bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat pada


serangan asma, memperbaiki faal paru dan menurunkan risiko perawatan rumah sakit
secara bermakna. Oleh karena disarankan menggunakan kombinasi inhalasi
antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator pada terapi awal
serangan asma berat atau pada serangan asma yang kurang respons dengan agonis beta2 saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Tidak bermanfaat diberikan
jangka panjang, dianjurkan sebagai alternatif pelega pada penderita yang menunjukkan
efek samping dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi seperti takikardia, aritmia dan
tremor. Efek samping berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit. Tidak ada bukti
mengenai efeknya pada sekresi mukus.(8)
Tabel 2. obat-obat bronkodilator pada Asma bronkial10

33

34

Tabel 3. Sediaan dan dosis obat pelega untuk mengatasi gejala asma
Berdasarkan derajat berat asma

Asma Intermiten
Termasuk pula dalam asma intermiten penderita alergi dengan pajanan
alergen, asmanya kambuh tetapi di luar itu bebas gejala dan faal paru normal.
Demikian pula penderita exercise induced asthma atau kambuh hanya bila cuaca
buruk, tetapi di luar pajanan pencetus tersebut gejala tidak ada dan faal paru
normal.(8)
Serangan berat umumnya jarang pada asma intermiten walaupun
mungkin terjadi. Bila terjadi serangan berat pada asma intermiten, selanjutnya
penderita diobati sebagai asma persisten sedang.(8)
Pengobatan yang lazim adalah agonis beta-2 kerja singkat hanya jika
dibutuhkan, atau sebelum exercise pada exercise-induced asthma, dengan
alternatif kromolin atau leukotriene modifiers; atau setelah pajanan alergen
dengan alternatif kromolin. Bila terjadi serangan, obat pilihan agonis beta-2
kerja singkat inhalasi, alternatif agonis beta-2 kerja singkat oral, kombinasi
teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat oral atau antikolinergik

35

inhalasi. Jika dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama 3


bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan.(8)

Asma Persisten Ringan


Penderita asma persisten ringan membutuhkan obat pengontrol setiap
hari untuk mengontrol asmanya dan mencegah agar asmanya tidak bertambah
bera; sehingga terapi utama pada asma persisten ringan adalah antiinflamasi
setiap hari dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Dosis yang
dianjurkan 200-400 ug BD/ hari atau 100-250 ug FP/hari atau ekivalennya,
diberikan sekaligus atau terbagi 2 kali sehari.(8)
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi)
jika dibutuhkan sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Bila
penderita

membutuhkan

pelega/

bronkodilator

lebih

dari

4x/

sehari,

pertimbangkan kemungkinan beratnya asma meningkat menjadi tahapan


berikutnya.(8)

Asma Persisten Sedang


Penderita dalam asma persisten sedang membutuhkan obat pengontrol
setiap hari untuk mencapai asma terkontrol dan mempertahankannya. Idealnya
pengontrol adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/ hari
atau 250-500 ug FP/ hari atau ekivalennya) terbagi dalam 2 dosis dan agonis
beta-2 kerja lama 2 kali sehari. Jika penderita hanya mendapatkan
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah ( 400 ug BD atau ekivalennya) dan
belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis beta-2 kerja lama inhalasi
atau alternatifnya. Jika masih belum terkontrol, dosis glukokortikosteroid
inhalasi dapat dinaikkan. Dianjurkan menggunakan alat bantu/ spacer pada
inhalasi bentuk IDT/MDI atau kombinasi dalam satu kemasan (fix combination)
agar lebih mudah.(8)
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi)
jika dibutuhkan , tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. . Alternatif
agonis beta-2 kerja singkat inhalasi sebagai pelega adalah agonis beta-2 kerja
singkat oral, atau kombinasi oral teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja

36

singkat. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah
menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol. (8)

Asma Persisten Berat


Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik mungkin,
gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru
(APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek
samping obat seminimal mungkin. Untuk mencapai hal tersebut umumnya
membutuhkan beberapa obat pengontrol tidak cukup hanya satu pengontrol.
Terapi utama adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid dosis tinggi (> 800
ug BD/ hari atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari.
Kadangkala kontrol lebih tercapai dengan pemberian glukokortikosteroid
inhalasi terbagi 4 kali sehari daripada 2 kali sehari. (8)
Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene
modifiers dapat sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam
perannya sebagai kombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi juga
dapat

sebagai

tambahan

terapi

selain

kombinasi

terapi

yang

lazim

(glukokortikosteroid inhalasi dan agonis beta-2 kerja lama inhalasi). Jika sangat
dibutuhkan, maka dapat diberikan glukokortikosteroid oral dengan dosis
seminimal mungkin, dianjurkan sekaligus single dose pagi hari untuk
mengurangi efek samping. Pemberian budesonid secara nebulisasi pada
pengobatan jangka lama untuk mencapai dosis tinggi glukokortikosteroid
inhalasi adalah menghasilkan efek samping sistemik yang sama dengan
pemberian oral, padahal harganya jauh lebih mahal dan menimbulkan efek
samping lokal seperti sakit tenggorok/ mulut. Sehngga tidak dianjurkan untuk
memberikan glukokortikosteroid nebulisasi pada asma di luar serangan/ stabil
atau sebagai penatalaksanaan jangka panjang. (8)
Indikator asma tidak terkontrol
a. Asma malam, terbangun malam hari karena gejala-gejala asma
b. Kunjungan ke darurat gawat, ke dokter karena serangan akut
c. Kebutuhan obat pelega meningkat (bukan akibat infeksi pernapasan, atau
exercise-induced asthma). (8)

37

Pertimbangkan beberapa hal seperti kekerapan/ frekuensi tanda-tanda (indikator)


tersebut di atas, alasan/ kemungkinan lain, penilaian dokter; maka tetapkan langkah
terapi, apakah perlu ditingkatkan atau tidak. Alasan / kemungkinan asma tidak
terkontrol :
1. Teknik inhalasi : Evaluasi teknik inhalasi penderita
2. Kepatuhan : Tanyakan kapan dan berapa banyak penderita menggunakan obatobatan asma
3. Lingkungan : Tanyakan penderita, adakah perubahan di sekitar lingkungan
penderita atau lingkungan tidak terkontrol
4. Konkomitan penyakit saluran napas yang memperberat seperti sinusitis,
bronkitis dan lain-lain
Bila semua baik pertimbangkan alternatif diagnosis lain. (8)
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3
bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin
dengan kondisi asma tetap terkontrol. (8)
Glukokortikosteroid inhalasi yang dapat digunakan pada penanganan Asma
Dewasa
Obat

Dosis Harian
Rendah (g)

Dosis Harian
Sedang (g)

Dosis Harian
Tinggi (g)

Beclomethasone
dipropionate

CFC

200-500

>500-1000

>1000-2000

Beclomethasone
dipropionate

HFA

100-250

>250-500

>500-1000

Budesonide

200-400

>400-800

>8--0-1680

Ciclesonide

80-160

>160-320

>320-1280

Flunisolide

500-1000

>1000-2000

>2000

38

Fluticazone
propionate
Mumetasone fuoat
Triamcinolone
acetonide

100-250

>250-500

>500-1000

200

400

>800

400-1000

>1000-2000

>2000

Tabel 4. Glukokortikosteroid inhalasi dosis dewasa


Anak-anak
Obat

Dosis Harian
Rendah (g)

Dosis Harian
Sedang (g)

Dosis Harian
Tinggi (g)

Beclomethasone
dipropionate

100-200

>200-400

>400

Budesonide

100-200

>200-400

>400

Budesenide neb

250-500

>500-1000

>1000

Ciclesonide

80-160

>160-320

>320

Flunisolide

500-750

>750-1250

>1250

Fluticazone
propionate

100-200

>200-500

>500

Mumetasone
fuoat

100

>200

>400

400-800

>800-1200

>1200.(10)

Triamcinolone
acetonide

Tabel 5. Glukokortikoid inhalasi dosis anak-anak


Kriteria rawat inap dan pemulangan pasien asma
Pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada pre-treatment kurang dari 20% atau
pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada post-treatment kurang dari 40%
merupakan indikasi untuk dilakukan rawat inap pada pasien asma. Pada pasien
dengan nilai FEV1 atau PEF pada post-treatment antara 40-60% dapat dipulangkan
namun dengan syarat harus diawasi secara adekuat. Sedangkan pasien dengan nilai
FEV1 atau PEF pada post-treatment lebih dari 60% dapat langsung dipulangkan.(10)

39

40

Skema 2. Algoritma penatalaksanaan asma di rumah sakit

41

Skema 3. Algoritma penatalaksanaan serangan asma di rumah


Klasifikasi berat serangan asma akut
Gejala dan
Tanda
Sesak napas
Posisi
Cara
berbicara
Kesadaran
RR
Nadi
Pulsus

Berat Serangan Asma


Ringan
Sedang
Berat
Berjalan
Berbicara
Istirahat
Dapat tidur
Duduk
Duduk
telentang
membungkuk
1 kalimat
Beberapa
Kata demi
kata
kata
Mungkin
Gelisah
Gelisah
gelisah
<20x/menit

2030x/menit
<100x/menit
100120x /menit
+/- 10-20

Keadaan
Mengancam jiwa
-

>30x/menit

Mengantuk,
gelisah, kesadaran
menurun
-

>120x menit

Bradikardia

42

paradoksus
Otot bantu
napas dan
retraksi
suprasternal
Mengi
APE
PaO2
PaCO2
SaO2

10 mmHg
-

mmHg
+

>25 mmHg
+

Kelelahan otot
Torakoabdominal
paradoksal

Akhir
ekspirasi
paksa
> 80 %
> 80 mmHg

Akhir
ekspirasi

Inspirasi dan
ekspirasi

Silent chest

60-80 %
< 60%
80-60
< 60 mmHg
mmHg
< 45 mmHg < 45 mmHg
> 45 mmHg
> 95 %
91-95 %
< 90 %
Tabel 6. Klasifikasi berat serangan asma akut

Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan


tempat pengobatan
Serangan
RINGAN
Aktivitas normal
Berbicara satu kalimat
dalam satu nafas
Nadi < 100x/menit
APE > 80%

Pengobatan
Terbaik :
Inhalasi agonis -2
Alternatif :
Kombinasi oral agins -2 dan
teofilin

Tempat Pengobatan
Di rumah

SEDANG
Jalan jarak jauh timbulkan
gejala
Bicara beberapa kata dalam
satu kali nafas
Nadi 100-120 x/ menit
APE 60-80 %

Terbaik:
Nebulisasi agonis -2 tiap 4
jam
Alternatif :
- Agonis -2 subkutan
- Aminofilin IV
- Adrenalin 1/1000 0,3 ml SK

UGD/RS
Klinik
Praktek dokter
Puskesmas

Di praktek
dokter/klinik/puskesmas

Oksigen bila mungkin


Kortikosteroid sistemik
BERAT
Sesak saat istirahat
Berbicara kata perkata
dalam satu nafas
Nadi >120 x/menit
APE <60 % atau 100 l/detik

MENGANCAM JIWA
Kesadaran berubah/menurun
Gelisah
Sianosis

Terbaik :
Nebulisasi agonis -2 tiap 4
jam
Alternnatif :
- Agonis -2 SK/IV
- Adrenalin 1/1000 0,3 ml SK
Aminofilin bolus dilanjutkan
drip
Oksigen
Kortikosteroid IV
Seperti serangan akut berat
Pertimbangkan intubasi dan
ventilasi mekanis

UGD/RS
Klinik

UGD/RS
ICU

43

Gagal nafas

Tabel 7. Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan


tempat pengobatan
9. Komplikasi
1. Status asmatikus
2. Atelektasis
3. Hipoksemia
4. Pneumothoraks
5. Emfisema
10. Pencegahan
Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah tersensitisasi
dengan bahan yang menyebabkan asma, pencegahan sekunder adalah mencegah
yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma; dan pencegahan
tersier adalah mencegah agar tidak terjadi serangan / bermanifestasi klinis asma
pada penderita yang sudah menderita asma.
Pencegahan Primer
Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal dan
perinatal merupakan periode untuk diintervensi dalam melakukan pencegahan
primer penyakit asma. Banyak faktor terlibat dalam meningkatkan atau menurunkan
sensitisasi alergen pada fetus, tetapi pengaruh faktor-faktor tersebut sangat
kompleks dan bervariasi dengan usia gestasi, sehingga pencegahan primer waktu ini
adalah belum mungkin. Walau penelitian ke arah itu terus berlangsung dan
menjanjikan. Periode prenatal Kehamilan trimester ke dua yang sudah terbentuk
cukup sel penyaji antigen (antigen presenting cells) dan sel T yang matang,
merupakan saat fetus tersensisitasi alergen dengan rute yang paling mungkin adalah
melalui usus, walau konsentrasi alergen yang dapat penetrasi ke amnion adalah
penting. Konsentrasi alergen yang rendah lebih mungkin menimbulkan sensitisasi
daripada konsentrasi tinggi. Faktor konsentrasi alergen dan waktu pajanan sangat
mungkin berhubungan dengan terjadinya sensitisasi atau toleransi imunologis.
Penelitian menunjukkan menghindari makanan yang bersifat alergen pada ibu hamil

44

dengan risiko tinggi, tidak mengurangi risiko melahirkan bayi atopi, bahkan
makanan tersebut menimbulkan efek yang tidak diharapkan pada nutrisi ibu dan
fetus. Saat ini, belum ada pencegahan primer yang dapat direkomendasikan untuk
dilakukan.
Periode postnatal Berbagai upaya menghindari alergen sedini mungkin
dilakukan terutama difokuskan pada makanan bayi seperti menghindari protein susu
sapi, telur, ikan, kacang-kacangan. Sebagian besar studi menunjukkan mengenai hal
tersebut, menunjukkan hasil yang inkonklusif (tidak dapat ditarik kesimpulan). Dua
studi dengan tindak lanjut yang paling lama menunjukkan efek transien dari
menghindari makanan berpotensi alergen dengan dermatitis atopik. Dan tindak
lanjut lanjutan menunjukkan berkurangnya bahkan hampir tidak ada efek pada
manifestasi alergik saluran napas, sehingga disimpulkan bahwa upaya menghindari
alergen makanan sedini mungkin pada bayi tidak didukung oleh hasil. Bahkan perlu
dipikirkan memanipulasi dini makanan berisiko menimbulkan gangguan tumbuh
kembang.
Diet menghindari antigen pada ibu menyusui risiko tinggi, menurunkan
risiko dermatitis atopik pada anak, tetapi dibutuhkan studi lanjutan.
Menghindari aeroelergen pada bayi dianjurkan dalam upaya menghindari
sensitisasi. Akan tetapi beberapa studi terakhir menunjukkan bahwa menghindari
pajanan dengan kucing sedini mungkin, tidak mencegah alergi; dan sebaliknya
kontak sedini mungkin dengan kucing dan anjing kenyataannya mencegah alergi
lebih baik daripada menghindari binatang tersebut. Penjelasannya sama dengan
hipotesis hygiene, yang menyatakan hubungan dengan mikrobial sedini mungkin
menurunkan penyakit alergik di kemudian hari. Kontroversi tersebut mendatangkan
pikiran bahwa strategi pencegahan primer sebaiknya didesain dapat menilai
keseimbangan sel Th1dan Th2, sitokin dan protein-protein yang berfusi dengan
alergen.
Pencegahan primer di masa datang akan berhubungan imunomodulasi
menggunakan sel Th1 ajuvan, vaksin DNA, antigen yang berkaitan dengan IL-12
atau IFN-, pemberian mikroorganisme usus yang relevan melalui oral
(berhubungan dengan kolonisasi flora mikrobial usus). Semua strategi tersebut
masih sebagai hipotesis dan membutuhkan penelitian yang tepat.

45

Asap rokok lingkungan (Enviromental tobacco smoke/ ETS)


Berbagai studi dan data menunjukkan bahwa ibu perokok berdampak pada
kesakitan saluran napas bawah pada anaknya sampai dengan usia 3 tahun, walau
sulit untuk membedakan kontribusi tersebut pada periode prenatal atau postnatal.
Berbagai studi menunjukkan bahwa ibu merokok selama kehamilan akan
mempengaruhi perkembangan paru anak, dan bayi dari ibu perokok, 4 kali lebih
sering

mendapatkan

gangguan

mengi

dalam

tahun

pertama

kehidupannya.Sedangkan hanya sedikit bukti yang mendapatkan bahwa ibu yang


merokok selama kehamilan berefek pada sensitisasi alergen. Sehingga disimpulkan
merokok dalam kehamilan berdampak pada perkembangan paru, meningkatkan
frekuensi gangguan mengi nonalergi pada bayi, tetapi mempunyai peran kecil pada
terjadinya asma alergi di kemudian hari. Sehingga jelas bahwa pajanan asap rokok
lingkungan baik periode prenatal maupun postnatal (perokok pasif) mempengaruhi
timbulnya gangguan/ penyakit dengan mengi.

Pencegahan sekunder
Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa pencegahan sekunder mencegah yang

sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma. Studi terbaru mengenai
pemberian antihitamin H-1 dalam menurunkan onset mengi pada penderita anak
dermatitis atopik. Studi lain yang sedang berlangsung, mengenai peran imunoterapi
dengan alergen spesifik untuk menurunkan onset asma.
Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan
alergen sedini mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan sudah
dengan gejala asma, adalah lebih menghasilkan pengurangan /resolusi total dari
gejala daripada jika pajanan terus berlangsung.

Pencegahan Tersier
Sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang dapat ditimbulkan

oleh berbagai jenis pencetus. Sehingga menghindari pajanan pencetus akan


memperbaiki kondisi asma dan menurunkan kebutuhan medikasi/ obat.

11. Prognosis

46

Sulit untuk meramalkan prognosis dari asma bronkial yang tidak disertai
komplikasi. Hal ini akan tergantung pula dari umur, pengobatan, lama observasi dan
definisi. Prognosis selanjutnya ditentukan banyak faktor. Dari kepustakaan
didapatkan bahwa asma pada anak menetap sampai dewasa sekitar 26% - 78%.(11)
Umumnya, lebih muda umur permulaan timbulnya asma, prognosis lebih
baik, kecuali kalau mulai pada umur kurang dari 2 tahun. Adanya riwayat dermatitis
atopik yang kemudian disusul dengan rinitis alergik, akan memberikan
kemungkinan yang lebih besar untuk menetapnya asma sampai usia dewasa. Asma
yang mulai timbul pada usia lanjut biasanya berat dan sukar ditanggulangi. Smith
menemukan 50% dari penderitanya mulai menderita asma sewaktu anak. Karena itu
asma pada anak harus diobati dan jangan ditunggu serta diharapkan akan hilang
sendiri. Komplikasi pada asma terutama infeksi dan dapat pula mengakibatkan
kematian.(11)

47

DAFTAR PUSTAKA
1. Mayoclinic. Asthma. Available at: http://www.mayoclinic.com/health/asthma/DS00021.
Accessed on June 22th, 2015
2. Santi.

Asma

Bronkial.

Available

at:

https://www.scribd.com/doc/95505362/ASMA-BRONKIAL. Accessed on June


22th,2015
3. Marleen FS, Yunus F. Asma pada Usia Lanjut. Jurnal Respirologi Indonesia
2008;28. 165-73.
4. Riyanto BS, Hisyam B. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta : Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 981
5. Asma bronkial. Available at: http://www.medicastore.com. Accessed on June
22th,2015
6. Widjaja A. Patogenesis Asma. Makalah Ilmiah Respirologi 2003. Surakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, 2003.27
7. Ward JPT. Ward J, Leach RM, Wiener CM. at a glance Sistem Respirasi. Jakarta:
Erlangga. 54-57
8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Available at:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html. Accessed June 22th,2015
9. Manurung P, Yunus F, Wiyono WH, Jusuf A, Murti B. Hubungan Antara
Eosinofil Sputum dengan Hiperreaktivitas Bronkus pada Asma Persisten
Sedang. Jurnal Respirologi Indonesia 2006;1.45
10. GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma Management
and Prevension In Children. Available at: www. Ginaasthma.org. Accessed on
June 22th, 2015
Suyono. Asma Bronkial. Buku Ajar Ilmu Peny

48

You might also like