Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
Pneumocystis pneumonia (PCP) merupakan penyakit oportunistik pada infeksi HIV (human immunodeficiency virus) yang disebabkan oleh
Pneumocystis jiroveci. Infeksi Pneumocystis pneumonia terjadi bila kadar CD4 penderita kurang dari 200 sel/mm3. Profilaksis diberikan bila kadar
CD4 pada penderita HIV kurang dari 200 sel/mm3. Obat yang digunakan untuk pengobatan PCP antara lain trimetoprim-sulfametoksazol,
primakuin, klindamisin, atavaquon, pentamidin.
Kata kunci: pneumocystis pneumonia, infeksi oportunistik, HIV, CD4
ABSTRACT
Pneumocystis pneumonia is an opportunistic infection among HIV-positive people caused by Pneumocystis jiroveci. Infection occurs if CD4 level
fell below 200/mm3, so prophylaxis should be given at this stage. Drugs used for treatment are trimetoprim-sulphametoxazol, primaquin,
clindamycin, atavaquon, pentamidine. M. Yanuar Fajar. Pneumocystis Pneumonia in Human Immunodeficiency Virus Infection.
Key words: pneumocystis pneumonia, opportunistic infection, HIV, CD4
PENDAHULUAN
Saat ini lebih dari 150 negara dilaporkan
telah terjadi infeksi HIV-AIDS dari berbagai
penjuru dunia. Data tahun 2000 dilaporkan
58 juta penduduk dunia terinfeksi HIV, 22 juta
diantaranya meninggal akibat AIDS. Transmisi
masih terus berlangsung dengan 16 ribu jiwa
terinfeksi baru setiap harinya. Didapatkan
sedikitnya 40 juta manusia hidup dengan
AIDS di akhir tahun 2005. Diperkirakan 4,9 juta
manusia terdiagnosis infeksi HIV di tahun 2005
dengan 95% terjadi di Afrika, Eropa Timur dan
Asia.2,6
Pneumocystis pneumonia (PCP) disebabkan
oleh organisme yang disebut Pneumocystis
jiroveci, sebelumnya dikenal dengan nama
Pneumocystis carinii. Penyakit ini merupakan
salah satu penyebab kematian penderita
immunocompromised, antara lain pada
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).
Pneumocystis pertama kali dikemukakan oleh
Chagas pada tahun 1909 dan digolongkan
sebagai protozoa. Analisis DNA tahun 1988
menjelaskan bahwa Pneumocystis adalah
Alamat korespondensi
email: aanyf_dr@yahoo.co.id
253
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 2 Derajat penyakit PCP11
Derajat
Kriteria
Berat
Sesak napas pada waktu istirahat atau PaO2 kurang dari 50 mmHg dalam suhu ruangan.
Sedang
Sesak napas pada latihan ringan, PaO2 antara 50-70 mmHg pada suhu ruangan saat istirahat, AaDO2
lebih dari 30 mmHg atau saturasi oksigen kurang 94%.
Ringan
Sesak napas pada latihan sedang, PaO2 lebih 70 mmHg dalam suhu kamar saat istirahat.
MANIFESTASI KLINIS
Pneumocystis menyebabkan pneumonia
pada penderita HIV dengan karakteristik
sesak napas, demam dan batuk yang tidak
produktif. Pneumocystis pneumonia biasanya
terjadi pada CD4 kurang 200 sel/mm3 pada
pasien HIV. Pemeriksaan fisis biasanya hanya
didapatkan takipnea, takikardia namun tidak
didapatkan ronkhi pada auskultasi. Takipnea
biasanya berat sehingga penderita mengalami
kesulitan berbicara. Sianosis akral, sentral dan
membran mukosa juga dapat ditemukan.
Foto toraks memperlihatkan infiltrat bilateral
yang dapat meningkat menjadi homogen.
Tanda yang jarang antara lain terdapat nodul
soliter atau multipel, infiltrat pada lobus atas
pada pasien dengan pengobatan pentamidin,
pneumatokel dan pneumotoraks. Efusi pleura
dan limfadenopati jarang ditemukan. Jika
pada foto toraks tidak didapatkan kelainan
maka dianjurkan pemeriksaan high resolution
computed tomography (HRCT).1,2,9-11
Pemeriksaan histopatologi memperlihatkan
gambaran eksudat eosinofil aseluler yang
mengisi alveoli. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan
pemeriksaan
immunofloresen
menggunakan antibodi monoklonal. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 95% dan
spesifisitas 100%. Pemeriksaan lain menggunakan sputum dan BAL dengan hasil didapatkan 97% positif pada 100 pasien HIV.
Pemeriksaan laboratorium darah tidak khas,
kecuali peningkatan laktat dehidogenase (LDH)
dan gradien oksigen alveolar-arterial (AaDO2)
dikaitkan dengan prognosis lebih buruk.4,11
DIAGNOSIS
Pneumocystis sulit didiagnosis karena gejala
dan tanda yang tidak spesifik. Diagnosis
ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis.
Bahan pemeriksaan antara lain berasal dari
sputum, bronchoalveolar lavage (BAL), jaringan
paru. Pneumocystis tidak dapat dikultur. Induksi
sputum menggunakan larutan hypertonic
saline menghasilkan diagnosis 50 sampai
90% dan merupakan prosedur diagnosis
utama. Jika pemeriksaan tersebut negatif,
pemeriksaan dengan BAL dapat dilakukan
(gambar 2).4
254
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 3 Pengobatan PCP4
Jenis obat
Dosis
Trimetoprim
15-20 mg/kg
Sulfametokasazol
75-100 mg/kg
Cara
peroral
30 mg setiap hari
Klindamisin
Atovakuon
peroral
intravena
aerosol
Pentamidin
peroral
Dosis
Cara pemberian
Trimetoprim
Sulfamtoksazol
Dapson
peroral
(alternatif )
peroral
Dapson
Kombinasi dapson dengan trimetoprim efektif
digunakan untuk PCP derajat ringan sampai
sedang. Efek samping yang dapat terjadi
berupa methemoglobinemia, hiperkalemia
ringan, anemia.1,13
50 mg setiap hari
peroral
Pirimetamin plus
50 mg setiap minggu
Leukovorin
25 mg setiap minggu
Pentamidin
aerosol
Atovakuon
peroral
Trimetoprim-Sulfametoksazol
Merupakan obat pilihan terapi PCP.
Penetrasinya baik di jaringan. Studi prospektif
membandingkan pemberian trimetoprimsulfametoksasol
dengan
pentamidin
menunjukkan
bahwa
obat
tersebut
memperbaiki oksigenasi serta daya tahan
hidup lebih baik. Pemberian oral pada PCP
derajat ringan sampai sedang. Efek samping
yang dapat terjadi adalah skin rash dan
gangguan fungsi hati pada 20% penderita.
Tidak dilaporkan efek samping yang dapat
menyebabkan penderita sampai dirawat di
rumah sakit.1,13
Pentamidin
Pentamidin digunakan sebagai terapi lini
kedua;. merupakan antiprotozoa yang
mekanismenya dalam melawan Pneumocystis
belum jelas diketahui. Pentamidin merupakan
obat toksik dengan efek samping antara lain
Atovakuon
Merupakan antimalaria yang merupakan
terapi lini kedua pengobatan PCP. Walaupun
ditoleransi lebih baik dibanding trimetoprimsulfametoksazol, obat ini kurang efektif. Efek
samping yang terjadi yaitu rash, demam,
gangguan gastrointestinal dan gangguan
fungsi hati.1,13
Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada penderita PCP
berat. Kortikosteroid juga dapat menurunkan
efek samping Trimetoprim-sulfametoksasol.
Bezzote dkk. menjelaskan efek kortikosteroid
akan baik bila diberikan pada penderita derajat
sedang atau berat. Pemberian kortikosteroid
dapat meningkatkan insidens herpes virus
serta oral trush.1,11
Pengobatan berdasarkan derajat
penyakit
PCP Berat
Penderita perlu dirawat dirumah sakit dengan
bantuan ventilator. Obat lini pertama yang
diberikan adalah kotrimoksazol dosis tinggi
intravena (trimetoprim 15 mg/kgBB/hari dan
sulfametoksasol 75 mg/kgBB/hari selama
21 hari). Bila tidak ada respons dapat diberi
lini kedua yaitu pentamidin intravena (3-4
mg/kgBB selama 21 hari). Lini ke tiga adalah
klindamisin (600 mg IV tiap 8 jam) dengan
primakuin (15 mg/oral/hari). Pemberian
kortikosteroid direkomendasikan 40 mg secara peroral dua kali sehari pada hari pertama
sampai kelima, 40 mg satu kali per hari selama
255
TINJAUAN PUSTAKA
6-10 hari, 20 mg setiap hari sampai lengkap
21 hari.6,13
PCP Sedang
Penderita dianjurkan untuk dirawat di rumah
sakit. Pengobatan yang dapat diberikan
adalah Trimetoprim-sulfametoksazol 480 mg
dua tablet tiga kali sehari selama 21 hari.6
PCP Ringan
Penderita dapat diberi kotrimoksazol peroral
480 mg dua tablet sehari selama 21 hari atau
cukup 14 hari jika respons membaik.6
Profilaksis PCP
Sebelum dikenal pengobatan HAART 10%
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Huang L, Moris A, Limper AH, Beck JM. An official ATS workshop summary: recent advences and future directions in Pneumocystis pneumonia (PCP). Am Thorac Soc 2006; 3:655-64.
3.
Rodroguez M, Fishman JA. Prevention due to Pneumocystis spp. in human immunodeficiency virus-negative immunocompromised patients. Clin Microbiol Rev 2004; 17:770-82.
4.
Thomas CF, Limper AH. Pneumocystis pneumonia. N Engl J Med 2004; 350:2487-98.
5.
6.
Lamprey PR, Johnson JL, Khan M. The global challange of HIV and AIDS. Population Bulletin 2006; 61:1-28.
7.
Nasronudin. HIV & AIDS : Pendekatan biologi molekuler klinis dan sosial. Airlangga University Press: 2007.p.1-309.
8.
Nahimana A, Rabodonirina M, Bille J, Francioli P. Mutations of Pneumocystis jiroveci dihydrofolate reductase associated with failure of prophylaxis. Antimicrobial agents and chemotherapy
2004; 48:4301-5.
9.
World Health Organization. WHO case definitions of HIV for surveillance and revised clinical staging and immunoligical classification of HIV-related disease in adults and children. WHO
press; 2006.p.1-38.
10. Wormser GP. Aids and other manifestations of HIV infection. 4th ed. New York:Elsevier; 2003.p.399-40
11. Y Evy, D Samsuridjal, D Zubairi. Infeksi oportunistik pada AIDS. Balai penerbit FKUI; 2005.p.1-78.
12. Red Book online visual library. [ cited 2007 June 18 ]. Available at http://aapredbook.aappub lications.org/visual.
13. Atzori C, Clerici M, Trabattoni D, Fantoni G, Velerio A, tronconi E, et al. Assessment of immune reconstitution to Pneumocustis carinii in HIV-1 patient under different highly active antiretroviral therapy regimens. Jour of Antimicrobial Chemotherapy 2003; 52:276-281.
14. Cruciani M, Marcati P, Malena M, Bosco O, Serpelloni G, Mengoli C. Meta-analisis of diagnostic procedures for Pneumocystis carinii pneumonia in HIV-1-infected patients. Eur Respir J 2002;
20:982-9.
15. RHRC Consortium. HIV/AIDS prevention and control; 2004; 11-31.
16. Hammer SM. Management of newly diagnosed HIV infection. N Engl J Med 2005; 353:1702-10.
256