You are on page 1of 21

SEPSIS PADA NEONATUS

Oleh:
RUGAS PRIBAWA
NIM : FAA 111 0013

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK DAN REMAJA


RSUD dr DORIS SYLVANUS/PSPD-UNPAR
PALANGKA RAYA
2015

SEPSIS PADA NEONATUS

A. Defenisi Sepsis

Sepsis adalah respon tubuh terhadap infeksi yang menyebar melalui darah dan jaringan lain.
Tubuh mengadakan respon inflamasi secara luas terhadap infeksi yang dapat terjadi secara
berlebihan diluar kendali dan meningkatkan risiko bahaya. Sepsis merupakan suatu keadaan
yang sangat serius. Bahkan walaupun sepsis telah
diketahui dan dirawat dini, sepsis dapat menyebabkan syok, kerusakan organ, cacat
permanen atau kematian.
Pemahaman mengenai terminologi merupakan hal yang penting untuk dapat mengerti
terjadinya sepsis. Selama ini definisi umum mengenai sepsis telah ada untuk pasien dewasa,
namun belum pada pasien anak. Perlu modifikasi banyak variabel dari pemeriksaan fisik dan
laboratorium untuk menjelaskan systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dan disfungsi
organ dalam perjalanan dan tingkatan sepsis pada anak.
Variabel klinis yang digunakan untuk menjelaskan SIRS atau disfungsi organ sangat
dipengaruhi oleh perubahan fisik normal yang terjadi sesuai umur anak. Oleh karena itu, definisi
sepsis pada anak didasarkan pada nilai normal tanda vital dan nilai laboratorium yang spesifik
menurut umur. Pembagian menurut umur dapat dilihat di tabel 1 :
Tabel 1. Pembagian umur anak untuk definisi severe sepsis2
1
2
3
4
5
6

Bayi baru lahir


Neonatus
Bayi
Balita dan Prasekolah
Anak usia sekolah
Remaja dan dewasa muda

0 hari sampai 1 minggu


1 minggu sampai 1 bulan
1 bulan sampai 1 tahun
2 5 tahun
6 12 tahun
13 sampai <18 tahun

Bayi baru lahir, neonatus, balita dan usia prasekolah, usia sekolah, remaja dan dewasa
muda. Pada tabel tersebut bayi baru lahir berumur 0 7 hari. Ini tidak termasuk bayi prematur
karena biasanya perawatannya dilakukan di neonatal intensive care units (NICU). Pembagian

menurut umur ini didapat dari kombinasi risiko yang spesifik terhadap umur untuk terjadinya
infeksi invasif, rekomendasi pengobatan dengan antibiotik yang spesifik terhadap umur, dan
perubahan fisiologis kardiorespiratory. Kata anak meliputi semua kelompok umur ini.
Menurut American College of Chest Physicians and Society of Critical Care, SIRS
merupakan istilah yang dipakai untuk menjelaskan proses inflamasi nonspesifik yang terjadi
pada pasien dewasa setelah trauma, infeksi, luka bakar, pankreatitis, atau penyakit lain. Sepsis
diartikan sebagai SIRS yang behubungan dengan infeksi. Kriteria SIRS dibuat untuk dewasa, dan
memuat sejumlah gejala klinik dan laboratorium yang nilainya spesifik untuk dewasa. Beberapa
modifikasi dari kriteria untuk anak-anak bisa didapatkan di literatur.
Konsensus definisi SIRS pada anak dapat dilihat pada tabel 2, perbedaan dengan SIRS
pada dewasa adalah yang dicetak tebal. Perbedaan utama definisi SIRS pada dewasa dan anak
adalah pada diagnosis SIRS pada anak harus didapatkan abnormalitas suhu dan leukosit. Jumlah
normal untuk tiap kriteria harus disesuaikan dengan umur anak. Bradikardia dapat merupakan
tanda sepsis pada bayi baru lahir, namun hal ini tidak berlaku untuk anak yang lebih besar.
Anak dengan suhu tubuh > 38oC dapat dikatakan demam. Perlu dilakukan pengukuran
suhu dari rektum, kandung kemih, atau kateter sentral, karena pengukuran dari telinga, tumit,
atau aksila kurang akurat. Demam pada bayi kecil dapat disebabkan pakaian yang terlalu tebal,
oleh karena itu pakaian harus dibuka dan pengukuran suhu diulang 15 sampai 30 menit
kemudian. Hipotermi (<36oC) juga dapat menandakan infeksi serius, terutama pada bayi.
Definisi severe sepsis adalah sepsis ditambah salah satu gejala berikut : disfungsi organ
kardiovaskular, sindrom distress pernafasan akut (ARDS), atau 2 atau lebih disfungsi organ
(pernafasan, ginjal, neurologis, hematologik, atau hepatik). Definisi disfungsi organ untuk anak
telah disesuaikan, dan dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel Definisi SIRS, infeksi, sepsis, severe sepsis dan syok septik
SIRS
Adanya 2 dari 4 kriteria berikut, salah satunya harus suhu abnormal atau jumlah leukosit abnormal :

Suhu badan > 38,5oC atau <36oC

Takikardi, yaitu denyut jantung rata-rata diatas 2 SD normal sesuai umur, tanpa stimulus
eksternal, pengobatan lama, atau stimulus nyeri atau kenaikan persisten yang tidak diketahui
sebabnya selama periode 30 menit sampai 4 jam ATAU untuk anak < 1 tahun : bradikardi,
yaitu denyut jantung rata-rata dibawah persentil 10 sesuai umur tanpa stimulus vagal,
obat -bloker, atau penyakit jantung kongenital, atau penurunan persisten yang tidak
diketahui sebabnya selama lebih dari 30 menit.

Frekuensi nafas rata-rata diatas 2SD normal sesuai umur atau ventilasi mekanik yang tidak
berhubungan dengan penyakit neuromuskular sebelumnya atau sedang menerima anestesi umum

Penurunan atau peningkatan jumlah leukosit sesuai umur (bukan akibat sekunder karena
leukopenia yang diinduksi kemoterapi) atau > 10% neutrofil immatur

Infeksi
Dicurigai atau terbukti (dengan hasil kultur positif, sisa jaringan, atau tes PCR) infeksi disebabkan
oleh kuman patogen ATAU sindrom klinik yang berhubungan dengan kemungkinan infeksi yang
sangat tinggi. Bukti infeksi termasuk didapatnya tanda positif pada pemeriksaan klinis, pencitraan
atau tes laboratorium (contoh : sel leukosit dalam cairan tubuh yang seharusnya steril, perforasi
visera, foto thorax dengan gambaran pneumonia, rash petekie atau purpura, atau purpura fulminan)
Sepsis
SIRS karena adanya atau akibat infeksi, baik yang dicurigai maupun yang sudah terbukti.
Severe Sepsis
Sepsis ditambah salah satu berikut : disfungsi organ kardiovaskuler atau sindrom distress
pernafasan akut atau disfungsi dua atau lebih organ. Disfungsi organ

Tabel Kriteria disfungsi organ


Disfungsi kardiovaskuler
Meskipun diberikan cairan intravena isotnis bolus > 40 ml/kgBB dalam 1 jan

Penurunan tekanan darah < 5 persentil sesuai umur atau tekanan darah sistolik <2 SD dibawah normal sesuai usia
ATAU

Memerlukan obat vasoaktif untuk mempertahankan tekanan darah dalam batas normal (dopamin >5/kg/mnt atau
dobutamin, epinefrin atau epinefrin dalam dosis lain)

2 dari kriteria berikut :


Asidosis metabolik tanpa sebab jelas, defisit basa >5,0 mEq/L
Peningkatan laktat arterial >2 kali batas atas normal
Oliguria : urin output < 0,5 ml/kgBB/hari
Pengisian kapiler memanjang >2 detik
Selisih suhu tubuh rektal dan perifer (aksiler) > 3oC

Pernafasan

PaO2 / FI O2 <300 tanpa penyakit jantung sianotik atau penyakit paru sebelumnya ATAU

PaCO2 > 65 Torr atau 20 mmHg diatas garis dasar PaCO2 ATAU

Diperlukan buktic atau >50% FIO2 untuk mempertahankan saturasi O2 >92% ATAU

Memerlukan ventilasi mekanik invasif atau noninvasif yang nonelektif d

Neurologis

GCS < 11

Perubahan akut status mental dengan penurunan GCS > 3 dari batas dasar abnormal

Hematologi

Jumlah trombosit < 80000/mm3 atau penurunan trombosit 50% dari nilai tertinggi yang dihitung setelah 3 hari (untuk
pasien hematologi / onkologi yang kronik) ATAU

Rasio international normalized >2

Ginjal

Serum kreatinin >2 kali diatas batas normal sesuai umur, atau kenaikan dua kali dari batas dasar kreatinin

Hepar

Bilirubin total >4 mg/dL (tidak dapat dipakai untuk newborn) ATAU

ALT naik 2 kali diatas batas normal

Definisi syok septik masih diperdebatkan. Karena biasanya anak-anak dapat


mempertahankan tekanan darahnya sampai penyakitnya parah, tidak perlu adanya hipotensi
untuk mendiagnosis syok septik seperti halnya pada dewasa. Pada anak-anak, syok dapat terjadi
lama sebelum terjadi hipotensi. Carcillo dkk mendefinisikan syok septik pada anak adalah
takikardia (yang dapat tidak ada pada pasien hipotermi) dengan tanda penurunan perfusi,
termasuk melemahnya nadi perifer, perubahan kesadaran, capillary refill < 2 detik, mottled skin
atau dingin pada ekstremitas, atau penurunan ekskresi urin. Hipotensi adalah gejala lanjut dari
syok atau syok yang terkompensasi pada anak, meskipun tidak diperlukan pada definisi, namun
hal ini membantu meyakinkan adanya syok pada anak yang diduga mengalami infeksi.
B. Epidemiologi
Angka kejadian sepsis neonatorum di dunia diperkirakan 1-10 kasus per 1000 kelahiran
hidup dan 1 per 250 kelahiran prematur.Angka kejadian sepsis neonatorum di negara maju 1-4
per 1000 kelahiran, di Asia Tenggara berkisar 2,1-16 per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan untuk
angka kejadian sepsis neonatorum di beberapa rumah sakit rujukan di Indonesia berkisar antara
1,5%-3,72% dengan angka kematian mencapai 37,09%-80%9,10 Keragaman angka kejadian pada
masing-masing rumah sakit dapat dihubungkan dengan angka prematuritas, perawatan prenatal,
pelaksanaan persalinan, dan kondisi lingkungan di ruang perawatan.
Angka sepsis neonatorum meningkat secara bermakna pada bayi dengan berat badan lahir
rendah dan bila ada faktor risiko ibu (obstetrik) atau tanda-tanda korioamnionitis seperti ketuban
pecah lama (>18 jam), demam intrapartum ibu(>37,5C), leukositosis ibu (>18.000), pelunakan
uterus, dan takikardia janin (>180 kali/menit). Sedangkan faktor risiko host untuk sepsis
neonatorum adalah jenis kelamin laki-laki, cacat imun didapat atau kongenital, galaktosemia
(Escherichia coli), pemberian besi intramuskular, anomali kongenital (saluran kencing, asplenia,

myelomeningokel, saluran sinus), omfalitis, dan kembar (terutama kembar kedua dari janin yang
terinfeksi). Prematuritas merupakan faktor risiko baik pada SNAD maupun SNAL.

C. Etiologi dan Predisposisi

Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat menyebabkan infeksi
berat yang mengarah ke terjadinya sepsis. Sepsis pada bayi hampir selalu disebabkan oleh
bakteri 2,4,8,9.
Bakteri seperti Escherichia coli, Listeria monocytogenes, Neisseria meningitidis,
Sterptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae tipe b, Salmonella, dan Streptococcus grup
B merupakan penyebab paling sering terjadinya sepsis pada bayi berusia sampai dengan 3 bulan.
Streptococcus grup B merupakan penyebab sepsis paling sering pada neonatus.
Selain itu juga dapat disebabkan oleh Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Pseudomonas
aeruginosa, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Candida albicans.
Kuman patogen tersebut dapat masuk dari berbagai tempat, dan tempat tersebut
behubungan dengan jenis kuman yang menyebabkan sepsis. Berikut tabel tempat yang dapat
menjadi sumber sepsis.
Pada berbagai kasus sepsis neonatorum, organisme memasuki tubuh bayi melalui ibu
selama kehamilan atau proses kelahiran. Beberapa komplikasi kehamilan yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya sepsis pada neonatus, antara lain:

Perdarahan

Demam yang terjadi pada ibu

Infeksi pada uterus atau plasenta

Ketuban pecah dini (sebelum 37 minggu kehamilan)

Ketuban pecah terlalu cepat saat melahirkan (18 jam atau lebih sebelum melahirkan)

Proses kelahiran yang lama dan sulit.

Streptococcus grup B dapat masuk ke dalam tubuh bayi selama proses kelahiran. Menurut
Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) Amerika, paling tidak terdapat bakteria pada
vagina atau rektum pada satu dari setiap lima wanita hamil, yang dapat mengkontaminasi bayi
selama melahirkan. Bayi prematur yang menjalani perawatan intensif rentan terhadap sepsis
karena sistem imun mereka yang belum berkembang dan mereka biasanya menjalani prosedurprosedur invasif seperti infus jangka panjang, pemasangan sejumlah kateter, dan bernafas
melalui selang yang dihubungkan dengan ventilator. Organisme yang normalnya hidup di
permukaan kulit dapat masuk ke dalam tubuh kemudian ke dalam aliran darah melalui alat-alat
seperti yang telah disebut di atas .
Bayi berusia 3 bulan sampai 3 tahun beresiko mengalami bakteriemia tersamar, yang bila
tidak segera dirawat, kadang-kadang dapat mengarah ke sepsis. Bakteriemia tersamar artinya
bahwa bakteri telah memasuki aliran darah, tapi tidak ada sumber infeksi yang jelas. Tanda
paling umum terjadinya bakteriemia tersamar adalah demam. Hampir satu per tiga dari semua
bayi pada rentang usia ini mengalami demam tanpa adanya alasan yang jelas - dan penelitian
menunjukkan bahwa 4% dari mereka akhirnya akan mengalami infeksi bakterial di dalam darah.
Streptococcus pneumoniae (pneumococcus) menyebabkan sekitar 85% dari semua kasus
bakteriemia tersamar pada bayi berusia 3 bulan sampai 3 tahun.
Tabel Sumber Sepsis
Suspected Source of Sepsis
Lung
Major
Communi
ty
Acquired
Pathogen
s

Streptococcus
pneumoniae
Haemophilus
influenzae
Legionella sp.
Chlamydia
pneumoniae

Abdomen

Skin/Soft
Tissue

Escherichia coli Streptococcus


Bacteroides
pyogenes
fragilis
Staphylococcus
aureus
Clostridium sp.
Polymicrobial
infections
Aerobic gram
negative bacilli
Pseudomonas
aeruginosa
Anaerobes

Urinary Tract

CNS

Escherichia coli
Klebsiella sp.
Enterobacter
sp.
Proteus sp.

Streptococcus
pneumoniae
Neiserria
meningitidis
Listeria
monocytogene
s
Escherichia
coli
Haemophilus
influenzae

Staphylococcus
sp.

Major
Aerobic gram
Nosocomi
Aerobic gram
negative bacilli
al
negative bacilli Anaerobes
pathogen
Candida sp.
s

Pseudomonas
aeruginosa
Staphylococcus Aerobic gram
Escherichia
aureus
negative bacilli
coli
Aerobic gram
Enterococcus
Klebsiella sp.
negative bacilli sp.
Staphylococcu
s sp

D. Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan menjadi dua
bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis) dan sepsis neonatorum
awitan lambat (late-onset neonatal sepsis). Sepsis neonatorum awitan dini (SNAD) merupakan
infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode postnatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya
diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang
ditemukan pada kasus SNAD adalah Streptokokus Grup B (SGB) [(>40% kasus)], Escherichia
coli, Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara berkembang
termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang Gramnegatif. Sepsis
neonatorum awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1000 kelahiran hidup dengan angka
mortalitas sebesar 15-50%.
Sepsis neonatorum awitan lambat (SNAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72
jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Proses
infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal. Angka mortalitas
SNAL lebih rendah daripada SNAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara maju, Coagulasenegative Staphilococci (CoNS) dan Candida albicans merupakan penyebab utama SNAL,
sedangkan di negara berkembang didominasi oleh mikroorganisme batang Gram negatif (E. coli,
Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa).
E. Patofisiologi
Patofisiologi sepsis bayi baru lahir merupakan interaksi respon kompleks antara
mikroorganisme patogen dan pejamu. Keadaan hiperinflamasi yang terjadi pada sepsis

melibatkan beberapa komponen, yaitu : bakteri, sitokin, komplemen, sel netrofil, sel endotel, dan
mediator lipid. Faktor inflamasi, koagulasi dan gangguan fibrinolisis memegang peran penting
dalam patofisiologi sepsis. Meskipun manifestasi klinisnya sama, proses molecular dan seluler
untuk menimbulkan respons sepsis tergantung mikroorganisme penyebab, sedangkan tahapantahapan pada respons sepsis sama dan tidak tergantung penyebab. Respons inflamasi terhadap
bakteri gram negatif dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), suatu endotoksin dari
dinding sel yang dilepaskan pada saat lisis, yang kemudian mengaktifasi sel imun non spesifik
(innate immunity) yang didominasi oleh sel fagosit mononuklear. LPS terikat pada protein
pengikat LPS saat di sirkulasi
Kompleks ini mengikat reseptor CD4 makrofag dan monosit yang bersirkulasi. Kompleks
lipopolisakarida berinteraksi dengan kelompok molekul yang disebut toll like receptor (TLR).
Reseptor TLR menterjemahkan sinyal ke dalam sel dan terjadi aktifasi regulasi protein (nuclear
factor kappa /NFkB). Organisme gram positif, jamur dan virus memulai respons inflamasi
dengan pelepasan eksotoksin / superantigen dan komponen antigen sel. Eksotoksin bakteri gram
positif juga dapat merangsang proses yang sama. Molekul TLR2 leukosit berperan terhadap
pengenalan bakteri gram positif dan TLR4 untuk pengenalan endotoksin bakteri gram negatif.
Sitokin proinflamasi primer yang diproduksi adalah tumour necrosis factor (TNF) , interleukin
(IL)1, 6, 8, 12 dan interferon (IFN) . Peningkatan IL-6 dan IL-8 mencapai kadar puncak 2 jam
setelah masuknya endotoksin. Sitokin ini dapat mempengaruhi fungsi organ secara langsung atau
tidak langsung melalui mediator sekunder (nitricoxide, tromboksan, leukotrien, platelet
activating factor (PAF), prostaglandin), dan komplemen. Mediator proinflamasi ini mengaktifasi
berbagai tipe sel, memulai kaskade sepsis dan menghasilkan kerusakan endotel Imunoglobulin
pertama yang dibentuk fetus sebagai respons infeksi bakteri intrauterin adalah Ig M dan Ig A. Ig
M dibentuk pada usia kehamilan 10 minggu yang kadarnya rendah saat lahir dan meningkat saat
terpapar infeksi selama kehamilan. Peningkatan kadar IgM merupakan indikasi adanya infeksi
fetal. Ada 3 mekanisme terjadinya infeksi neonatus yaitu saat bayi dalam kandungan / pranatal,
saat persalinan / intranatal, atau setelah lahir / pascanatal.

Gambar Interaksi faktor inisiasi dan mediator proinflamasi host (+) dan anti
inflamasi (-) pada infeksi dan proses terjadinya SIRS dan syok sepsis
Paparan infeksi pranatal terjadi secara hematogen dari ibu yang menderita penyakit
tertentu, antara lain infeksi virus atau parasit seperti Toxoplasma,Rubella, Cytomegalovirus,
Herpes (infeksi TORCH), ditansmisikan secara hematogen melewati plasental ke fetus. Infeksi
transplasenta dapat terjadi setiap waktu selama kehamilan. Infeksi dapat menyebabkan aborsi
spontan lahir mati, penyakit akut selama masa neonatal atau infeksi persisten dengan sekuele.
Infeksi bakteri lebih sering di dapat saat intranatal atau pascanatal. Selama dalam kandungan
janin terlindung dari bakteri ibu karena adanya cairan dan lapisan amnion. Bila terjadi kerusakan
lapisan amnion, janin berisiko menderita infeksi melalui amnionitis.
Neonatus terinfeksi saat persalinan dapat disebabkan oleh aspirasi cairan amnion yang
mengandung lekosit maternal dan debris seluler mikroorganisme, berakibat pneumonia. Paparan
bayi terhadap bakteri terjadi pertama kali saat ketuban pecah atau dapat pula saat bayi melalui
jalan lahir. Pada saat ketuban pecah, bakteri dari vagina akan menjalar ke atas sehingga
kemungkinan infeksi dapat terjadi pada janin (infeksi transmisi vertikal).
Paparan infeksi yang terjadi saat kehamilan, proses persalinan dimasukkan ke dalam
kelompok infeksi paparan dini (early onset of neonatal sepsis) dengan gejala klinis sepsis,
terlihat dalam 3-7 hari pertama setelah lahir. Infeksi yang terjadi setelah proses kelahiran
biasanya berasal dari lingkungan sekitarnya. Bakteri masuk ke dalam tubuh melalui udara
pernapasan, saluran cerna, atau melalui kulit yang terinfeksi. Bentuk sepsis semacam ini dikenal
dengan sepsis paparan lambat (late onset of neonatal sepsis). Selain perbedaan dalam waktu
paparan kuman, kedua bentuk infeksi ini (early onset dan late onset) sering berbeda dalam jenis
kuman penyebab infeksi. Walaupun demikian patogenesis, gejala klinik, dan tata laksana dari
kedua bentuk sepsis tersebut tidak banyak berbeda.

Gambar Patofisiologi Sepsis Neonatorum


Faktor risiko terjadinya sepsis pada neonatus dapat berasal dari faktor
ibu, bayi dan faktor lain.
Faktor risiko ibu:
1. Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah lebih dari 24
jam maka kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila disertai
korioamnionitis maka kejadian sepsis meningkat menjadi 4 kali.
2. Infeksi dan demam (> 38C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi
saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (group B streptococi = GBS),
kolonisasi perineal oleh E. Coli, dan komplikasi obstetric lainnya.
3. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau
4. Kehamilan multipel.
Faktor risiko pada bayi:

1.
2.

Prematuritas dan berat lahir rendah.


Resusitasi pada saat kelahiran misal pada bayi yang mengalami fetal distress, dan trauma

3.
4.

pada proses persalinan.


Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, kateter, infus, pembedahan.
Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E.coli), defek imun atau

5.
6.
7.
8.
9.

asplenia.
Asfiksia neonatorum
Cacat bawaan.
Tanpa rawat gabung.
Pemberian nutrisi parenteral.
Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.
Faktor risiko lain:
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering terjadi pada

bayi laki-laki daripada bayi perempuan, lebih sering pada bayi kulit hitam daripada bayi kulit
putih, lebih sering pada bayi dengan status sosial ekonomi yang rendah, dan sering terjadi akibat
prosedur cuci tangan yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga pasien.
F. Manifestasi Klinis
Tanda klinis sepsis neonatorum tidak spesifik, berhubungan dengan karakteristik kuman
penyebab dan respon tubuh terhadap masuknya kuman. Neonatus dengan sepsis hipertermia,
distres pernapasan, apnea, sianosis, kuning, hepatomegali, hipotermia, anoreksia, letargi,
kesulitan minum, muntah, distensi abdomen, dan diare.
Tabel Manifestasi klinis sepsis neonatorum.
Keadaan umum

Demam, hipotermia, tidak merasa


baik,tidak mau makan, sklerema

Sistem Gastointestinal

Perut kembung,
hepatomegali

Sistem Pernapasan

Apnea, dispnea, takipnea, retraksi,


grunting, sianosis

Sistem Saraf Pusat

Iritabilitas, lesu, tremor, kejang,


hiporefleksia, hipotonia, refleks Moro
abnormal, pernapasan tidak teratur,
fontanela menonjol, tangisan nada
tinggi

Sistem Kardiovaskuler

Pucat, mottling, dingin,kulit lembab,

muntah,

diare,

takikardi, hipotensi, bradikardi


Sistem Hematologi

Ikterus, splenomegali, pucat, petekie,


purpura, perdarahan

Sistem Ginjal

Oliguria

Neonatus dengan sepsis bakterialis dapat disertai dengan gejala-gejala nonspesifik atau
tanda-tanda fokal infeksi antara lain; temperatur yang tidak stabil, hipotensi, perfusi buruk (pucat
dan atau berbercak-bercak), asidosis metabolik, takikardi atau bradikadi, apnoe, distres
pernafasan, merintih, sianosis, irritable, letargi, kejang, intoleransi makanan, distensi abdomen,
ikterus, petechiae, purpura, dan perdarahan. Manifestasi awal biasanya terbatas pada gejala pada
satu sistem organ saja seperti apnoe saja atau takipnu dengan retraksi atau takikardi. Tetapi dapat
pula langsung bermanifestasi berat dengan disfungsi multiorgan. Bayi harus dire-evaluasi secara
berkala untuk menilai apakah gejala telah berkembang dari ringan menjadi berat. Komplikasi
lanjut dari sepsis meliputi gagal nafas, hipertensi pulmonal, gagal jantung, syok, gagal ginjal,
disfungsi hepar, udem serebral atau trombosis, perdarahan atau insufisiensi adrenal, disfungsi
sum-sum tulang (neutropenia, trombositopenia, anemia), dan DIC.
G. Diagnosis
Seorang bayi memiliki risiko sepsis bila memenuhi dua kriteria mayor atau satu kriteria
mayor ditambah dua kriteria minor. Kriteria tersebut yaitu:
Tabel Faktor Risiko Sepsis
FAKTOR RISIKO MAYOR
Ketuban pecah dini >18 jam
Demam intrapartum >38 C
Korioamnionitis
Ketuban berbau
Denyut jantung janin >160 x/menit

FAKTOR RISIKO MINOR


Ketuban pecah dini >12jam
Demam intrapartum >37,5 C
Skor APGAR rendah
BBLSR
Usia kehamilan <37 minggu
Kembar
Keputihan
Infeksi Saluran kemih

Sepsis neonatorum didiagnosis berdasarkan manifestasi klinis dan disertai dengan


pemeriksaan penunjang berupa:
a.
1.

Laboratorium
Darah rutin

Darah rutin yaitu jumlah leukosit PMN, jumlah trombosit, dan preparat darah hapus.
Pada preparat darah hapus yang perlu diperhatikan adalah jumlah leukosit imatur (neutropenia <
1800/ul) sehingga dapat diperhitungkan rasio netrofil imatur dengan netrofil total. Dimana
dikatakan terinfeksi apabila I:T rasio > 0,2. Preparat darah hapus menunjukkan gambaran
hemolisis, hipergranulasi, hipersegmentasi, toksik granulasi. Pemeriksaan darah yang dilakukan
untuk mendukung diagnosis neonatus sepsis menurut sistem skor.
Tabel Sistem skor hematologis untuk prediksi sepsis neonaturum (Kriteria Rodwell)

Jika jumlah skor lebih atau sama dengan 3 maka kemungkinan besar sepsis.
2.

Kultur
Untuk membuktikan adanya sepsis bakterial, organisme harus diisolasi dari kultur darah
atau cairan tubuh steril seperti cairan cerebrospinal, cairan sendi, cairan peritoneal dan pleura.
Kultur darah merupakan gold standard dalam diagnosis sepsis. Cairan lumbal diperiksa pada
neonatus sakit kritis dengan kultur darah positif, gambaran klinik septikemia, sebab meningitis
ditemukan pada 1 dari 4 sepsis neonatorum. Hasil kultur positif merupakan tanda definitif
terdapatnya bakteri patogen, hasil biakan baru diperoleh minimal 3-5 hari. Kultur dapat negatif
disebabkan oleh bakteremia transien, spesimen darah kurang, proses spesimen yang tidak
optimal dan antibiotik diberikan intrapartum.

3.

C-Reaktif Protein (CRP)


Pada proses inflamasi sintesis CRP meningkat dalam waktu 4-6 jam dengan puncaknya
36-50 jam. Kadar CRP cepat menurun setelah sumber infeksi tereliminasi. Kadar normal CRP
bayi cukup bulan dan prematur 2-5 mg/L, kadar >10 mg/L berhubungan dengan infeksi-sepsis.
Karena protein ini meningkat pada berbagai kerusakan jaringan tubuh maka pemeriksaan ini

tidak dapat dipakai sebagai indikator tunggal dalam menegakkan diagnosis sepsis neonatal.
Nilainya bermakna apabila dilakukan pemeriksaan serial karena dapat mengevaluasi respon
antibiotik, menentukan lamanya pengobatan dan kekambuhan.
4.

Prokalsitonin
Prokalsitonin dikatakan lebih superior daripada protein fase akut lainnya termasuk CRP,
dengan sensitivitas dan spesifisitas berkisar dari 87-100%. Selain itu prokalsitonoin juga berguna
untuk mengindikasikan keparahan infeksi, memantau kemajuan pengobatan dan memperkirakan
hasil keluaran. Pengukuran kuantitatif dilakukan dengan menggunakan immunoluminometric
assay (ILMA) dengan 2 antibodi monoklonal.

5.

Interleukin
Interleukin -6 (IL-6) adalah sitokin pleiotropic yang terlibat dalam berbagai aspek dari
sistem imunitas. IL-6 disintesis oleh berbagai macam sel seperti monosit, sel endotel, dan
fibroblas, setelah stimulasi TNF dan IL-1. Petanda ini mengindukasi sintesis protein fase akut
hepatik termasuk CRP dan fibrinogen. Pada sebagian besar kasus sepsis neonatorum, interleukin6 meningkat secara cepat. Peningkatan terjadi beberapa jam sebelum peningkatan konsentrasi
CRP dan akan menurun sampai kadar tidak terdeteksi dalam 24 jam.

b.

Gangguan fungsi organ


Adanya proses inflamasi sistemik akan mengakibatkan gangguan fungsi organ yang
selanjutnya menimbulkan gangguan koagulasi, hipotensi, gangguan perfusi jaringan, dan
akhirnya kegagalan fungsi organ serta kematian. Manifestasi klinis gangguan fungsi paru berupa
takipnu, hipoksemia, dan alkalosis respiratorik. Jika keadaan berat terjadi ARDS (acute
respiratory distress syndrome). Pemeriksaan untuk mengetahui fungsi paru adalah Analisis Gas
Darah (AGD).
Adanya kerusakan hati dapat diketahui dengan peningkatan Serum Glutamic Oxaloacetat
Transaminase (SGOT), Serum Glutamic Pyruvat Transaminase (SGPT) bilirubin serum, amonia,
dan alkali fosfatase.
Gangguan fungsi ginjal terjadi karena adanya hipovolemia dan vasodilatasi yang
menyebabkan hipoperfusi renal, sehingga menimbulkan akut tubular nekrosis, uropati obstruktif,
nefritis interstisial rabdomiolisis dan glomerulonefritis. Gagal ginjal akut terjadi pada 50%
penderita sepsis.

Keterlibatan sistem hematologi ditandai dengan adanya anemia, leukopenia dan


trombositopenia. Diseminated Inntravascular Coagulophaty (DIC) menyebabkan terjadinya
konsumsi trombosit yang berlebihan. Akibat adanya pembentukan formasi trombus
mikrovaskular dan inhibisi dari fibrinolisis menyebabkan semakin banyaknya pelepasan sitokin,
molekul adhesi dari sel proinflamasi dari kaskade sepsis. Petanda yang dapat dijumpai adalah
kenaikan Prothrombin Time, Partial Thromboplastine Time, D-Dimer dan produk-produk
pemecahan fibrinogen.
H. Penatalaksanaan
Pemberian ampisilin profilaksis intrapartum dapat menurunkan insidensi sepsis
neonatorum SGB secara drastis, namun di sisi lain akan meningkatkan insidens sepsis yang
disebabkan oleh bakteri Gram negatif dan yang resisten terhadap ampisilin. Ampisilin dan
sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim, seftriakson, seftazidim) dilaporkan dapat menyebabkan
organisme Gram negatif memproduksi ESBL yang selanjutnya menimbulkan masalah resistensi.
Oleh karena itu, terapi kombinasi antibiotik betalaktam dan aminoglikosida sangat dianjurkan
untuk mencegah resistensi tersebut.
Karbapenem digunakan di laboratorium untuk menginduksi organisme pembawa gen
beta-laktamase yang terekspresi agar mengekspresikan gen dan memproduksi beta-laktamase.
Jadi, penggunaan imipenem dan meropenem secara berlebihan justru akan menyebabkan
organisme memproduksi beta-laktamase. Oleh karena itu, karbapenem tidak boleh digunakan
secara luas di unit perawatan intensif neonatus (UPIN), dan penggunaannya harus dibatasi hanya
pada kasus berat, yakni pada organisme yang memproduksi ESBL dan sefalosporinase. Antibiotik
tidak boleh digunakan sebagai terapi profilaksis (pada bayi dengan intubasi, memakai kateter
vaskular sentral, chest drain) karena terbukti tidak efektif untuk pencegahan sepsis. Bila bakteri
tumbuh pada pipa endotrakeal, hal itu berarti telah terjadi kolonisasi dan pengobatan profilaksis
tidak akan mengurangi kolonisasi (kultur pipa endotrakeal akan tetap positif) serta tidak akan
mencegah sepsis, tetapi justru meningkatkan resistensi terhadap antibiotik.12,23
a. Pemilihan antibiotik untuk sepsis neonatorum awitan dini
Pada bayi dengan SNAD, terapi empirik harus meliputi SGB, E. coli, dan Listeria
monocytogenes. Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai
aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua organisme penyebab
SNAD. Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri.

b. Pemilihan antibiotik untuk sepsis neonatorum awitan lambat


Kombinasi penisilin atau ampisilin dengan aminoglikosida dapat juga digunakan untuk
terapi awal SNAL. Pada beberapa rumah sakit, strain penyebab infeksi nosokomial telah
mengalami perubahan selama 20 tahun terakhir ini karena telah terjadi peningkatan resistensi
terhadap kanamisin, gentamisin, dan tobramisin. Oleh karena itu, pada infeksi nosokomial lebih
dipilih pemakaian netilmisin atau amikasin. Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang
dilakukan oleh sebagian besar enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat
menginaktifkan aminoglikosida lain
Pada kasus risiko infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular), obat anti
stafilokokus yaitu vankomisin ditambah aminoglikosida dapat digunakan sebagai terapi awal.
Pada kasus endemik MRSA dipilih vankomisin. Pada kasus dengan risiko infeksi Pseudomonas
(terdapat lesi kulit tipikal) dapat diberikan piperasilin atau azlosilin (golongan penisilin spektrum
luas) atau sefoperazon dan seftazidim (sefalosporin generasi ketiga). Secara in vitro, seftazidim
lebih aktif terhadap Pseudomonas dibandingkan sefoperazon atau piperasilin. Di beberapa
tempat, kombinasi sefalosporin generasi ketiga dengan penisilin atau ampisilin, digunakan
sebagai terapi awal pada SNAD dan SNAL. Keuntungan utama menggunakan sefalosporin
generasi ketiga adalah aktivitasnya yang sangat baik terhadap bakteri-bakteri penyebab sepsis,
termasuk bakteri yang resisten terhadap aminoglikosida. Selain itu, sefalosporin generasi ketiga
juga dapat menembus cairan serebrospinal dengan sangat baik. Walaupun demikian, sefalosporin
generasi ketiga sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi awal sepsis karena tidak efektif
terhadap Listeria monocytogenes, dan penggunaannya secara berlebihan akan mempercepat
munculnya mikroorganisme yang resisten dibandingkan dengan pemberian aminoglikosida.
Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin (ampisilin
atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida. Sefalosporin generasi ketiga yang
dikombinasikan dengan aminoglikosida atau penisilin spektrum luas dapat digunakan pada terapi
sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif.
Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang resisten terhadap antibiotik lain
adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin. Enterokokus dapat diobati dengan a cell-wall
active agent (misal: penisilin, ampisilin, atau vankomisin) dan aminoglikosida. Staphilococci
sensitif terhadap antibiotik golongan penisilin resisten penisilinase (misal: oksasiklin, nafsilin,

dan metisilin). Pemberian antibiotik pada SNAD dan SAL di negara-negara berkembang tidak
bisa meniru seperti yang dilakukan di negara maju. Pemberian antibiotik hendaknya disesuaikan
dengan pola kuman yang ada pada masing-masing unit perawatan neonatus. Oleh karena itu,
studi mikrobiologi dan uji resistensi harus dilakukan secara rutin untuk memudahkan para dokter
dalam memilih antibiotik.
c. Terapi suportif (adjuvant)
1. Immunoglobulin intravena
Imunoglobulin intravena saat ini belum dianjurkan untuk pemberian rutin sebagai
profilaksis maupun terapi SNAD. Banyak penelitian mengenai hal ini menggunakan jumlah
sampel yang kecil dan belum ada sediaan imunoglobulin yang spesifik, beberapa efek samping
dan komplikasi telah dilaporkan seperti infeksi, hemolisis, dan supresi kekebalan tubuh pada
pemberian imunoglobulin hiperimun. Pada kondisi tertentu seperti sepsis berat atau infeksi
berulang pada neonatus kurang bulan, ada penelitian yang menganjurkan pemberian
imunoglobulin intravena dengan dosis 500-1000 mg/kg/kali setiap dua minggu.
2. Transfusi fresh frozen plasma (FFP)
Fresh frozen plasma (FFP) mengandung antibodi, komplemen, dan protein lain seperti CReactive Protein dan fibronektin. Antibodi bayi baaru lahir terbatas pada spesifikasi yang
dihasilkan oleh ibunya, tidak termasuk antibodi protektif terhadap patogen patogen tertentu. FFP
mengandung antibodi protektif, namun dalam dosis 10 ml/kg, jumlah antibodi tidak adekuat
untuk mencapai kadar proteksi pada tubuh bayi. Pada pemberian secara kontinu (seperti 10 ml/kg
setiap 12 jam), kadar proteksi dapat tercapai.
3. Transfusi sel darah putih
Transfusi sel darah putih sebagai terapi ajuvan pada SNAD dan infeksi neonatus
umumnya masih dalam tahap uji coba dan belum dianjurkan penggunaannya. Hanya beberapa
pusat kesehatan di Amerika Serikat yang mampu mengisolasi granulosit untuk sediaan transfusi.
Transfusi granulosit juga potensial mempunyai komplikasi seperti infeksi dan reaksi transfusi di
samping biaya yang tinggi dan teknik pembuatannya yang sulit.
4. Pemberian G-CSF dan GM-CSF
Saat ini, banyak peneliti yang mempelajari tentang colony-stimulating factors, yaitu suatu
protein spesifik yang penting untuk proliferasi dan diferensiasi progenitor granulosit serta
mempengaruhi fungsi granulosit matang. Saat ini terdapat 2 jenis protein tersebut yang banyak
diteliti berkaitan dengan infeksi neonatus yaitu granulocyte-colony stimulating factor (G-CSF)
dan granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF). Suatu penelitian melaporkan

peningkatan jumlah neutrofil absolut, eosinofil, monosit, limfosit, dan trombosit dengan
pemberian GM-CSF rekombinan pada neonatus yang sepsis. Namun masih diperlukan penelitian
lebih lanjut untuk mengetahui efektifitas terapi ini.
5. Transfusi tukar
Secara teoretis, transfusi tukar menggunakan whole blood segar pada sepsis neonatorum
bertujuan: 1) mengeluarkan/mengurangi toksin atau produk bakteri serta mediator-mediator
penyebab sepsis, 2) memperbaiki perfusi perifer dan pulmonal dengan meningkatkan kapasitas
oksigen dalam darah, dan 3) memperbaiki sistem imun dengan adanya tambahn neutrofil dan
berbagai antibodi yang mungkin terkandung dalam darah donor. Transfusi tukar juga memiliki
beberapa kelemahan seperti kesulitan teknik pelaksanaan, potensial terjadinya infeksi,

dan

reaksi transfusi.
6. Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid intravena pada sepsis neonatorum masih kontroversial. Walaupun
kortikosteroid pernah digunakan sebagai terapi sepsis, namun kemanjurannya masih diragukan,
karena pemberiannya berlangsung setelah kaskade mediator inflamasi dimulai.

DAFTAR PUSTAKA
1. Stave Kohl, Larry P, 2000. Nelson Textbook of Pediatrics Jilid 2 16th Edition : USA :
Saunders Company. Hal. 846-857
2. Brahm Goldstein,MD.et al.2005.

International Pediatric Sepsis Consensus

conference : Definitions for sepsis and organ dysfunction in pediatrics. Pediatrics


Critical Care Med 2005 Vol.6 No.1
3. Augusto Sola, MD, et al.2002. Rudolph Fundamentals of Pediatrics 3rd Edition: The
Perinatal Period Chapter 4. USA : Mc Graw-Hill Company. Hal 149-151
4. Linda L Bellig, RN.Sepsis. www.emedicine.com/ped/topic2630.htm

5. Sri Rezeki H.H.,. 1997. Sepsis dan Meningitis pada Neonatus. Naskah Lengkap
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XXXVIII. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal
131-148
6. Abdurachman Sukadi, dr dkk.2000. Perinatologi :Sepsis Pada Neonatus. Bandung :
FK UNPAD. Hal 104 109
7. Majalah Simposia Maret 2005. Sepsis: Menyelamatkan Nyawa si Kecil di PICU.
8. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Textbook of Pediatrics, Ilmu Kesehatan Anak,
edisi ke 18. Sepsis dan Meningitis Neonatus. Jakarta : EGC, 2004, hal 653-663.
9. Kosim Sholeh et al. Buku Ajar Neonatologi, edisi pertama, cetakan kedua. Sepsis
Pada Bayi Baru Lahir. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010, hal 170-187.
10. Ann L Anderson-Berry, MD : Neonatal Sepsis. Page was last modified February 23rd,
11. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Rudolph s Pediatrics, Buku Ajar Pediatri
Rudolph, edisi ke 20. Sepsis dan Meningitis Pada Neonatus. Jakarta : EGC, 2006, hal
601-610.

You might also like