You are on page 1of 15

BAB II

TELAAH PUSTAKA
2.1. Definisi Problem Based Learning (PBL)
PBL adalah metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam
mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru (Suradijono, 2004). Menurut Boud
dan Felleti (1991, dalam Saptono, 2003) menyatakan bahwa Problem Based Learning is a
way of constructing and teaching course using problem as a stimulus and focus on student
activity.
H.S. Barrows (1982), sebagai pakar PBL menyatakan bahwa definisi PBL adalah sebuah
metode pembelajaran yang didasarkan pada prinsip bahwa masalah (problem) dapat
digunakan sebagai titik awal untuk mendapatkan atau mengintegrasikan ilmu (knowledge)
baru. Dengan demikian, masalah yang ada digunakan sebagai sarana agar anak didik dapat
belajar sesuatu yang dapat menyokong keilmuannya.
PBL adalah proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran berdasarkan masalah dalam
kehidupan nyata lalu dari masalah ini mahasiswa dirangsang untuk mempelajari masalah
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka punyai sebelumnya (prior
knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan terbentuk pengetahuan dan pengalaman
baru. Diskusi dengan menggunakan kelompok kecil merupakan poin utama dalam penerapan
PBL.
PBL merupakan satu proses pembelajaran di mana masalah merupakan pemandu utama ke
arah pembelajaran tersebut. Boud dan Tamblyn (1980) mendefinisikan PBL sebagai ...the
learning which result from the process of working towards the understanding of, or resolution
of, a problem.
Menurut Duch (1995), PBL adalah metode pendidikan yang medorong siswa untuk mengenal
cara belajar dan bekerja sama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalah-masalah
di dunia nyata. Simulasi masalah digunakan untuk mengaktifkan keingintahuan siswa
sebelum mulai mempelajari suatu subyek. PBL menyiapkan siswa untuk berpikir secara kritis
dan analitis, serta mampu untuk mendapatkan dan menggunakan secara tepat sumber-sumber
pembelajaran.
Margetson (1991) pula menganggap PBL sebagai konsep pengetahuan, pemahaman dan
pendidikan secara mendalam berbeda daripada kebanyakan konsep yang terletak di bawah
pembelajaran berasaskan mata kemahasiswaan. Dengan menggunakan pendekatan PBL ini,
mahasiswa akan bekerja secara kooperatif dalam kumpulan untuk menyelesaikan masalah
sebenarnya dan yang paling penting membina kemahiran untuk menjadi mahasiswa yang
boleh belajar secara sendiri (Hamizer, dkk, 2003).
Mahasiswa akan membina kebolehan berpikir secara kritis secara kontinu berkaitan dengan
ide yang dihasilkan serta apa yang akan dilakukan dengan maklumat yang diterima.
(Gallagher, 1997). Di dalam melaksanakan proses pembelajaran PBL ini, Bridges (1992) dan
Charlin (1998) telah menggariskan beberapa ciri-ciri utama yang perlu ada di dalamnya
seperti berikut:
1.Pembelajaran berpusat atau bermula dengan masalah.
2.Masalah yang digunakan merupakan masalah dunia sebenarnya yang mungkin akan
dihadapi oleh mahasiswa dalam kerja profesional mereka di masa depan.
3.Pengetahuan yang diharapkan dicapai oleh mahasiswa semasa proses pembelajaran disusun
berdasarkan masalah.
4.Para mahasiswa bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran mereka sendiri.
5.Mahasiswa akan bersifat aktif dengan pemrosesan maklumat.
6.Pengetahuan sedia ada akan diaktifkan serta menyokong pembangunan pengetahuan yang

baru.
7.Pengetahuan akan diperoleh dalam konteks yang bermakna.
8.Mahasiswa berpeluang untuk meningkatkan serta mengorganisasikan pengetahuan.
9.Kebanyakan pembelajaran berlaku dalam kumpulan kecil dibanding menerusi kaidah
perkuliahan.
2.2. Metode PBL
Alder dan Milne (1997:195) mendefinisikan PBL dengan metode yang berfokus kepada
identifikasi permasalahan serta penyusunan kerangka analisis dan pemecahan. Metode ini
dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok kecil, banyak kerja sama dan interaksi,
mendiskusikan hal-hal yang tidak atau kurang dipahami serta berbagi peran untuk
melaksanakan tugas dan saling melaporkan.
Menurut Peterson (2004), metode PBL ini memberikan mahasiswa permasalahan yang tidak
terstruktur dengan baik dan pemecahan masalah yang tidak satu saja karena berfokus pada
pembelajaran sendiri (self-learning) serta sangat jauh dari penjelasan yang langsung ke inti
atau penjelasan yang langsung diberikan oleh pengajar.
Milne dan McConnell (2001:64-65) memberikan gambaran proses ideal dari PBL yang
terlihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 2.1. Proses Ideal Metode PBL
Proses
Tujuan
Hasil
Pengajar memulai sesi awal PBL dengan presentasi permasalahan yang akan dihadapi oleh
mahasiswa.
Mahasiswa terstimulus untuk berusaha menyelesaikan permasalahan di lapangan yang
nantinya bisa saja menjadi situasi nyata tempat mereka bekerja.
Belajar sesuai konteksnya
akan diingat lebih lama dan dipahami lebih mudah.
Konteksnya relevan sehingga akan lebih memotivasi.
Mahasiswa mengorganisasikan
apa yang telah mereka pahami tentang permasalahan dan mencoba mengidentifikasi
hal-hal terkait.
Apa yang diketahui?
Mahasiswa berlatih mengobservasi. Mereka ditantang untuk memahami situasi berdasarkan
pengetahuan dan pengalaman yang ada.
Belajar secara terus-menerus mengarah kepada kebiasaan. Penstimulusan pengetahuan yang
ada akan memfasilitasi integrasi pengetahuan baru.
Selama diskusi, mahasiswa mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang tidak mereka
pahami (Apa yang
ingin diketahui?)
Mahasiswa terdorong untuk mengidentifikasi apa yang tidak mereka ketahui atau pahami. Ini
melengkapi dasar mereka dalam menghadapi tantangan belajar selanjutnya.
Belajar akan lebih baik jika mahasiswa bisa mengajukan pertanyaan dan mencari jawabannya

sendiri.
Sebelum akhir sesi pertama, pengajar mendampingi mahasiswa untuk fokus terhadap
pertanyaan yang dianggap penting. Mahasiswa menentukan cara
membagi tanggung jawab untuk menyelidiki pertanyaan (Apa yang akan
dilakukan? Apa yang harus dilakukan sebagian dari kita? Siapa yang melakukan
apa?)
Mahasiswa bisa memahami hal yang terjadi secara lengkap dan belajar menggunakan
interrelating
ide serta pengetahuan dari bermacam disiplin. Kerja tim dan rasa kebersamaan juga akan
berkembang.
Integrasi dari belajar membantu untuk menggabungkan
pemahaman. Kerja tim dan keahlian manajemen akan terbangun.
Setelah periode self-study, sesi kedua dilakukan. Pada awal sesi ini mahasiswa
diharapkan dapat membagi pengetahuan baru yang mereka peroleh.

Mahasiswa berlatih menukar


informasi dari bermacam
sumber. Mereka membagi
pemahaman baru dengan
mempresentasikan serta
menanyakannya.

Mahasiswa belajar cara untuk mendapatkan informasi dari bermacam sumber. Mahasiswa
belajar bagaimana untuk mempresentasikan informasi dan bagaimana bertanya.
Pengetahuan baru dan Pemahaman diaplikasikan pada permasalahan. Mahasiswa menguji
validitas dari pendekatan awal dan menyaringnya. Mahasiswa mungkin membutuhkan
penguraian solusi walaupun tidak selamanya itu penting.
Mahasiswa belajar mengaplikasikan pengetahuan baru terhadap
permasalahan semula atau
permasalahan yang akan terjadi nantinya.

Mahasiswa berlatih mentransfer pengetahuan dalam konteks nyata.


2.3. Kurikulum PBL
Pada saat ini beberapa program studi di beberapa perguruan tinggi menerapkan kurikulum
(PBL), berbeda dengan kurikulum yang dikenal selama ini yang disebut dengan kurikulum
konvensional. Kurikulum PBL bersifat sentral atau tidak lagi bersifat departemental.
Perbedaan pokok antara keduanya terletak pada aspek integrasi disiplin ilmu, struktur unit
ranah, dan ciri-ciri tiap disiplin ilmu (Supeno Djanali, 2005).
Terdapat dua jenis kurikulum PBL, yaitu hybrid PBL (hPBL) dan PBL curriculum (PBLc).
Hybrid PBL bersifat sederhana, tidak serumit PBLc. Kurikulum PBL mengubah dan
menstransformasikan seluruh kurikulum konvensional menjadi sistem blok melalui pemetaan
kurikulum dan tujuan belajar yang terintegrasi. Pada hPBL, hanya sebagian dari kurikulum
konvensional yang diubah dan ditransformasikan ke sistem blok. Dalam pelaksanaan hPBL
digunakan strategi SPICES (student centered, problem-based learning, community oriented,
early clinical exposure, self directed learning) dengan tetap memperhatikan adanya
pengulangan materi yang bersifat spiral atau helix. Model hPBL seperti ini tidak mengganggu
kurikulum konvensional yang ada (Harsono, 2005).
Setelah melalui proses ini, kurikulum yang telah tersusun perlu melalui beberapa tahap
validasi sebelum dilaksanakan. Komisi yang dapat melakukan validasi antara lain Komisi
Pengkajian Kurikulum yang dapat dibentuk di tingkat jurusan atau fakultas, atau sebagai
salah satu komisi dalam senat fakultas.
2.4. Perbedaan Metode Konvensional dengan PBL
Metode konvensional berupa kuliah atau ceramah yang memusatkan perhatian mahasiswa
sepenuhnya kepada dosen sehingga yang aktif di sini hanya dosen, sedangkan mahasiswa
hanya tunduk mendengarkan penjelasan yang dipaparkan oleh dosen. Partisipasi mahasiswa
rendah karena mahasiswa hanya diberi kebebasan untuk bertanya mengenai materi yang telah
dijelaskan oleh dosen sehingga metode konvensional masih kurang menggugah daya
pemikiran mahasiswa.
Sedangkan, metode PBL adalah metode perkuliahan yang berbasis kepada partisipasi para
mahasiswa. Pada jam pertama perkuliahan, metode yang diterapkan adalah diskusi. Dosen
memberikan pertanyaan kepada mahasiswa yang ditunjuk secara acak. Pertanyaan yang
diajukan bersifat menggali pendapat dan mengembangkan kemampuan analisis mahasiswa.
Kemudian, pada satu jam terakhir, dosen memberikan rangkuman dan inti dari diskusi pada
hari itu disertai dengan inti dari konteks materi dihubungkan dengan implementasi di
lapangan.
Tabel 2.2. Perbedaan Metode Konvensional dengan Metode PBL
Metode Konvensional
Metode PBL
Berfokus pada dosen
Berfokus di mahasiswa
Dosen menerangkan dan mahasiswa mendengarkan (one way learning).
Mahasiswa menjelaskan (two way learning).
Mahasiswa bertanya.
Dosen bertanya.
Dosen menjelaskan seluruh materi.
Dosen merangkum materi berdasarkan hasil diskusi/pemikiran mahasiswa.
Key process is teaching.
Key process is learning.

Dosen hanya menyiapkan materi.


Dosen tidak hanya menyiapkan materi, tetapi juga harus menguasai metode penyampaian
materi yang efektif.
Mahasiswa membaca menjelang ujian, terutama catatan (reading habit rendah).
Mahasiswa membaca sesuai silabus sebelum kuliah dimulai (reading habit tinggi).
Mahasiswa pasif (partisipatif rendah).
Mahasiswa aktif (partisipatif tinggi).
Mahasiswa hanya menghafal materi) dan kemudian lupa.
Mahasiswa dapat dengan mudah menangkap esensi dari perkuliahan.
(Magister Management UI, 2006)
2.5. Pengembangan Sikap Kritis dalam Belajar
Sesungguhnya, belajar itu merupakan pekerjaan yang cukup berat yang menuntut sikap kritissistemik dan kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan praktik langsung.
Sikap kritis manusia sama sekali tidak dapat dihasilkan oleh pendidikan yang bergaya bank
(banking education). Sebaliknya pendidikan semacam itu justru pada dasarnya membunuh
semangat, keingintahuan, dan kreativitas kita (Paulo Freire, 1999).
Berikut ini bagan evaluasi diri dalam pengembangan sikap kritis dalam belajar:
Gambar 2.1. Obyek dan Komponen Evaluasi Diri
(Sumber : Buku Pedoman Evaluasi-Diri BAN PT, 2002)
Dalam pendidikan gaya bank, yang dibutuhkan bukanlah pemahaman akan isi, tetapi sekedar
hafalan. Sekali lagi bukannya memahami teks, tetapi tugasnya hanya menghafal dan jika
mahasiswa melakukannya berarti telah memenuhi kewajibannya. Lain halnya dengan visi
pendidikan yang kritis : seorang pembaca, dalam hal ini adalah pelajar merasa tertantang oleh
teks yang disodorkan padanya dan tujuan membaca adalah untuk memahami makna yang
lebih dalam.
Berikut ini beberapa cara untuk mengembangkan sikap kritis dalam belajar menurut Paulo
Freire (1999) :
a.Pembaca harus mengetahui peran dirinya. Tidak mungkin orang dapat belajar secara serius
jika motivasi membaca disebabkan oleh ketertarikan terhadap daya pikat kata-kata
pengarangnya, terpesona oleh kekuatan magis, atau jika dia bersikap pasif dan terbelenggu,
hanya berusaha menghafal pemikiran pengarangnya, atau jika dia membiarkan dirinya
diserbu oleh pemikiran pengarang, atau jika pembaca dijadikan sebuah bejana yang cukup
diisi dengan kutipan-kutipan dari teks yang termaktub di dalamnya.
b.Pada dasarnya praktik belajar adalah bersikap terhadap dunia. Belajar adalah memikirkan
pengalaman, dan memikirkan pengalaman adalah cara terbaik untuk berpikir secara benar.
Orang yang sedang belajar tidak boleh menghentikan rasa ingin tahunya terhadap orang lain
dan kehidupan nyata. Mereka itu selalu bertanya dan berusaha menemukan jawaban, serta
terus mencarinya. Dengan memelihara sikap ingin tahu ini menyebabkan kita menjadi
cekatan dan mendapat banyak keuntungan.
Sikap kritis dalam belajar sama dengan sikap yang diperlukan untuk menghadapi dunia
(yakni dunia dan kehidupan nyata pada umumnya), untuk bertanya dalam hati, yang dimulai
dengan terus mengamati kebenaran yang tersembunyi di balik fakta yang dipaparkan dalam
teks-teks.
Semakin tekun kita belajar semakin kita mempunyai pandangan global dan makin mampu
mengaplikasikannya ketika membaca suatu teks dengan cara memilah-milah komponennya.
Membaca ulang sebuah teks untuk mengetahui batasan-batasan komponen tersebut akan
menciptakan pemahaman yang lebih signifikan secara keseluruhannya.
Kualitas perilaku belajar tidak bisa diukur dengan jumlah halaman yang dibaca selama satu

semester. Belajar bukanlah mengonsumsi ide, namun menciptakan dan terus menciptakan ide.
Berikut ini bagan Standar Keterkaitan Tri Dharma Perguruan Tinggi Terintegrasi dengan
Perwujudan Suasana Akademik Kondusif:
Gambar 2.2. Mekanisme Standar Keterkaitan Tri Dharma Perguruan Tinggi Terintegrasi
dengan Perwujudan Suasana Akademik Kondusif
(Sumber : Buku Pedoman Evaluasi-Diri BAN PT, 2002)
Konsep inovasi pendidikan (Harsono, 2004):
1.Mahasiswa memperoleh pengetahuan dasar (basic sciences) yang berguna untuk
memecahkan masalah-masalah yang dijumpainya.
2.Student-centered: mahasiswa belajar secara aktif dan mandiri (sebagai adult learner)
dengan sajian materi terintegrasi (horisonal dan vertikal) dan relevan dengan real setting
(profesionalisme).
3.Mahasiswa mampu berpikir kritis, mengembangkan inisiatif.
2.6. Studi Kasus dalam Metode PBL
Metode studi kasus memungkinkan mahasiswa mempraktikkan keterampilan komunikasi
baik secara tertulis maupun lisan. Metode studi kasus menggunakan strategi pembelajaran
kooperatif atau kolaborasi antara dosen yang berfungsi sebagai fasilitator dan mahasiswa
sebagai team (kelompok) melalui diskusi dan presentasi kelompok. Latihan-latihan berpikir
yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa sebagai team work dalam melakukan analisis studi
kasus adalah serupa analogi dengan aktivitas ilmuwan dalam riset.
Latihan-latihan solusi masalah dalam studi kasus merupakan pelatihan dan persiapan yang
baik bagi mahasiswa yang akan memasuki dunia kerja (bisnis dan industri) maupun akan
meniti karier sebagai ilmuwan, karena akan memberikan kebiasaan berpikir melalui masalah
(think through the real problems).
Mahasiswa sering bertanya mengapa mereka perlu mempelajari suatu topik atau informasi
apa yang akan diperoleh dan digunakan oleh mereka ketika mempelajari topik. Studi kasus
menempatkan pembelajaran dalam konteks dunia, yang berkaitan dengan masalah-masalah
yang dihadapi dalam kehidupan nyata atau setidak-tidaknya mendekati dunia nyata.
Belajar menganalisis dan menyelesaikan studi kasus merupakan penerapan body of
knowledge yang penting dan sesungguhnya. Studi kasus mengembangkan kemampuan
penggunaan atau penerapan ilmu pengetahuan secara efektif dalam menanggapi dan
menyelesaikan masalah-masalah.
2.7. Langkah-Langkah Kegiatan PBL
Peran mahasiswa secara umum dalam perkuliahan ber-PBL adalah mempersiapkan diri untuk
belajar dan bekerja secara kelompok serta berperan aktif dalam kuliah. Peran serta mahasiswa
yang dimaksud adalah seperti menghadiri dan mengikuti keseluruhan perkuliahan dan tidak
diperkenankan men-drop mata kuliah di saat mata kuliah tersebut sedang berjalan.
Dalam mengikuti kegiatan PBL, waktu kegiatan disesuaikan dengan beban kurikulum yang
hendak dicapai. Setiap pengajar memiliki kebijakan sendiri dalam menyusun waktu kegiatan
yang akan dilaksanakan.
Tabel 2.3. Langkah-langkah PBL berikut ini:
Kegiatan
Langkah-langkah

Pembimbing
Diskusi kelompok I

1. Identifikasi masalah
2. Analisis masalah
3. Hipotesis/penjelasan logis sistematis
4. Identifikasi pengetahuan
Fasilitator

Belajar mandiri/ individual


1. Penentuan sumber pembelajaran
2. Identifikasi pengetahuan baru
3. Sintesis pengetahuan lama dan baru untuk diterapkan pada permasalahan
Narasumber
Diskusi kelompok II
1. Pengulangan kegiatan
2. Menyimpulkan hal yang tidak dipelajari
3. Perangkuman hasil/penyusunan laporan ke masalah berikutnya
Fasilitator
BAB III
METODE PENULISAN
3.1. Waktu dan Tempat Penulisan
Penulisan dilaksanakan pada bulan Februari 2008. Penyusunan karya tulis ini bertempat di
Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran, Jatinangor.
3.2. Metode Penulisan
Metode penulisan yang dilakukan pada karya tulis ini adalah dengan cara penelusuran data.
Informasi pada karya tulis ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari buku tentang
kehidupan politik pendidikan di Indonesia, Filosofi, Pendekatan dan Penerapan Pembelajaran
Metode Kasus. Selain itu, pengumpulan data dilakukan juga melalui pencarian berbagai
jurnal dan artikel di internet yang memuat informasi mengenai metode Problem Based
Learning (PBL) baik pengaruh maupun pengaplikasiannya.
Adapun langkah-langkah yang telah dilakukan diantaranya sebagai berikut :
1. Mengamati dan menelaah mengenai PBL.
2. Menelaah metode PBL di Indonesia.
3. Pencarian dan pengumpulan data yang dilakukan melalui studi literatur yang dilakukan
baik di perpustakaan maupun di internet.
4. Analisis informasi yang meliputi :
a. Klasifikasi data, yaitu pengelompokkan data berdasarkan permasalahan yang akan dibahas.
b. Klarifikasi data, yaitu membandingkan data yang sama dari narasumber yang berbeda
kemudian menentukan data yang digunakan berdasarkan informasi yang paling akurat
c. Menginterpretasikan data berdasarkan hubungan antara data yang satu dengan data yang

lainnya.
d. Penulisan laporan, dimana hasil interpretasi data dari sumber-sumber yang ada dirangkai
secara sistematis dan logis dalam bentuk karya tulis.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Penerapan Metode PBL pada Mata Kuliah
Howard Barrows (2005) menyatakan PBL merepresentasikan metode belajar yang Learnby-doing dan akar dasarnya adalah metode pemagangan (apprenticeship), dimana pemula
mempelajari pengetahuan dan keterampilan dari bidang yang dipilihnya dengan mengerjakan
sesuatu dibawah panduan dan pengajaran seorang yang ahli, sampai ia nantinya mampu
menghasilkan karyanya sendiri. PBL telah mengembangkan metode pembelajaran ini, yang
barangkali sama tuanya dengan peradaban manusia, dengan pemahaman baru melalui
penelitian tentang pendidikan dan pengalaman dalam tiga puluh tahun terakhir. Selayaknya
seorang pakar, seorang pengajar menjadi tutor yang akan memfasilitasi proses pembelajaran,
dan memungkinkan mahasiswa mengambil banyak manfaat saat mereka belajar.
Strategi dalam PBL adalah memberikan mahasiswa problem dan tugas yang akan mereka
hadapi dalam dunia kerja dan dalam proses usaha mereka memecahkan masalah tersebut
mahasiswa akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan atas masalah
itu. Karena itu, sebaiknya urutan-urutan pembelajaran mahasiswa paralel dengan urutan
kejadian yang terjadi di dunia kerja sehingga mahasiswa akan mendapatkan keterampilan
kognitif dan pengetahuan yang mereka butuhkan di dunia kerja saat mereka belajar dengan
konteks dunia kerja.
Dalam proses ini mahasiswa bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri karena
keterampilan itu yang akan mereka butuhkan nantinya dalam kehidupan profesional mereka.
Mereka menerapkan apa yang telah mereka ketahui, menemukan apa yang perlu mereka
ketahui, dan belajar bagaimana mendapatkan informasi yang dibutuhkan lewat berbagai
sumber termasuk sumber-sumber online, perpustakaan, profesional dan para pakar.
Singkatnya, PBL bertujuan untuk mengembangkan dan menerapkan kecakapan yang penting
yakni pemecahan masalah, belajar sendiri, kerja sama tim, dan pemerolehan yang luas atas
pengetahuan (H.Barrows, 2005).
PBL kini telah meluas digunakan di seluruh dunia untuk semua tingkatan pendidikan, mulai
dari sekolah dasar hingga pendidikan pascasarjana profesional. PBL juga optimal untuk
berbagai fakultas dan bidang. Berbagai fakultas yang mempunyai berbagai bidang baik
eksakta maupun non-eksakta, tentu memiliki suatu permasalahan yang secara tidak langsung
harus dapat dipecahkan oleh mahasiswa.
Tidak semua mata kuliah atau mata pelajaran dimungkinkan untuk dilaksanakan dengan
metode PBL. Mata kuliah tingkat lanjut lebih cocok diajarkan dengan metode PBL karena
dalam PBL pembelajaran mahasiswa dilakukan dengan cara membangun penalaran dari
semua pengetahuan yang dimiliki mahasiswa dan dari semua yang diperoleh sebagai hasil
kegiatan berinteraksi dengan sesama individu. Mata kuliah yang sangat relevan dilaksanakan
dengan metode PBL adalah kelompok Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB). Mata kuliah
selain kelompok MKB perlu ditingkatkan untuk mendukung pelaksanaan mata kuliah berPBL dan mendukung paradigma studend-centered learning. Proses pembelajaran dalam mata
kuliah tersebut ditingkatkan dengan mengadopsi pilar student-centered learning (Sudarman,
2007).
Di sisi lain, mata kuliah kuantitatif lebih cocok menggunakan metode PBL. Dalam PBL,
mahasiswa diberikan soal hitungan yang sederhana. Mahasiswa dapat mengerjakan soal

tersebut cukup dengan membaca materi dari text book. Dengan demikian, mahasiswa merasa
percaya diri mengikuti perkuliahan hari tersebut karena merasa bisa mengerjakan tugas yang
diberikan. Lalu, ketika perkuliahan dimulai dengan pembahasan tugas, mahasiswa bisa
diminta satu per satu untuk mengerjakan tugas di depan atau ditanya satu per satu.
Pembahasan tugas tersebut dilanjutkan dengan lecturing. Pada akhir pertemuan, inti materi
hari tersebut serta kaitannya dengan materi untuk pertemuan minggu selanjutnya ditekankan
kembali.
Pendidikan tinggi selain memberikan teori-teori yang cukup, juga perlu memberikan contohcontoh pemecahan problem nyata dengan memanfaatkan teori-teori yang ada. Dengan
demikian, pengembangan proses pembelajaran secara alamiah disimulasi oleh masalahmasalah pada situasi nyata dimana PBL menstimulasi proses belajar dengan menggunakan
masalah-masalah tersebut pada situasi nyata dari suatu bidang.
Institusi, mahasiswa, pengajar masing-masing punya peran yang saling menunjang. Para
pengajar, terutama punya peran memberikan inspirasi agar potensi mahasiswa
dimaksimalkan. Para Pengajar harus mampu mengeluarkan kemampuan setiap mahasiswa
dan memungkinkan mereka berkembang. Para pengajar harus meneliti ulang peran mereka
kini.
Untuk menghasilkan bibit mahasiswa yang baru, para pengajar dan institusi juga harus
berubah. Para pengajar juga harus belajar dan belajar ulang agar tetap terus relevan dan
menginspirasi mahasiswa kita untuk memaksimalkan potensi mereka.
PBL merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik
konstruktivisme. Dalam model PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih
sehingga pembelajar tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan
masalah tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh sebab itu,
mahasiswa tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi
pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan
keterampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola
berpikir kritis (I Wayan Dasna dan Sutrisno, 2007).
Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah, apalagi bila masalah tersebut bersifat
kontekstual, maka dapat terjadi ketidaksetimbangan kognitif pada diri mahasiswa. Keadaan
ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacam-macam pertanyaan di
sekitar masalah seperti apa yang dimaksud dengan., mengapa bisa terjadi.,
bagaimana mengetahuinya dan seterusnya. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah
muncul dalam diri mahasiswa maka motivasi intrinsik mereka untuk belajar akan tumbuh.
Pada kondisi tersebut diperlukan peran dosen sebagai fasilitator untuk mengarahkan
mahasiswa tentang konsep apa yang diperlukan untuk memecahkan masalah, apa yang
harus dilakukan atau bagaimana melakukannya dan seterusnya. Dari paparan tersebut
dapat diketahui bahwa penerapan PBL dalam pembelajaran dapat mendorong mahasiswa
mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri. Pengalaman ini sangat diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari dimana berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung
pada bagaimana dia membelajarkan dirinya.
Lebih lanjut Arends (2004) menyatakan bahwa ada tiga hasil belajar (outcomes) yang
diperoleh mahasiswa yang diajar dengan PBL yaitu:
1. Inkuiri dan keterampilan melakukan pemecahan masalah,
2. Belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan
3. Keterampilan belajar mandiri (skills for independent learning).
Inkuiri dan keterampilan proses dalam pemecahan masalah telah dipaparkan sebelumnya.
Mahasiswa yang melakukan inkuiri dalam pembelajaran akan menggunakan keterampilan
berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skill) di mana mereka akan melakukan operasi
mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan reasoning. PBL juga bertujuan untuk

membantu mahasiswa mahasiswa belajar secara mandiri.


Pembelajaran PBL dapat diterapkan bila didukung lingkungan belajar yang konstruktivistik.
Lingkungan belajar konstruktivistik mencakup beberapa faktor yaitu (Jonassen dalam
Reigeluth (Ed), 1999:218): kasus-kasus berhubungan, fleksibelitas kognisi, sumber-sumber
informasi, cognitive tools, pemodelan yang dinamis, percakapan dan kolaborasi, dan
dukungan sosial dan kontekstual.
Kasus-kasus berhubungan, membantu mahasiswa untuk memahami pokok-pokok
permasalahan secara implisit. Kasus-kasus berhubungan dapat membantu mahasiswa belajar
mengidentifikasi akar masalah atau sumber masalah utama yang berdampak pada munculnya
masalah yang lain. Kegiatan belajar seperti itu dapat membantu mahasiswa meningkatkan
kemampuan berpikir kritis yang sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari (I Wayan Dasna
dan Sutrisno, 2007).
Fleksibelitas kognisi merepresentasi materi pokok dalam upaya memahami kompleksitas
yang berkaitan dengan domain pengetahuan. Fleksibelitas kognisi dapat ditingkatkan dengan
memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk memberikan ide-idenya, yang
menggambarkan pemahamannya terhadap permasalahan. Fleksibelitas kognisi dapat
menumbuhkan kreativitas berpikir divergen di dalam mempresentasikan masalah. Dari
masalah yang mahasiswa tetapkan, mereka dapat mengembangkan langkah-langkah
pemecahan masalah, mereka dapat mengemukakan ide pemecahan yang logis. Ide-ide
tersebut dapat didiskusikan dahulu dalam kelompok kecil sebelum dilaksanakan.
Sumber-sumber informasi, bermanfaat bagi mahasiswa dalam menyelidiki permasalahan.
Informasi dikonstruksi dalam model mental dan perumusan hipotesis yang menjadi titik tolak
dalam memanipulasi ruang permasalahan. Dalam konteks belajar sains, pengetahuan sains
yang dimiliki siswa terhadap masalah yang dipecahkan dapat digunakan sebagai acuan awal
dan dalam penelusuran bahan pustaka sesuai dengan masalah yang mereka pecahkan.
Percakapan dan kolaborasi, dilakukan dengan diskusi dalam proses pemecahan masalah.
Diskusi secara tidak resmi dapat menumbuhkan suasana kolaborasi. Diskusi yang intensif
dimana terjadi proses menjelaskan dan memperhatikan penjelasan peserta diskusi dapat
membatu siswa mengembangkan komunikasi ilmiah, argumentasi yang logis, dan sikap
ilmiah.
Dukungan sosial dan kontekstual, berhubungan dengan bagaimana masalah yang menjadi
fokus pembelajaran dapat membuat mahasiswa termotivasi untuk memecahkannya.
Dukungan sosial dalam kelompok, adanya kondisi yang saling memotivasi antarmahasiswa
dapat menumbuhkan kondisi ini. Suasana kompetitif antarkelompok juga dapat mendukung
kinerja kelompok. Dukungan sosial dan kontekstual hendaknya dapat diakomodasi oleh para
dosen untuk menyukseskan pelaksanaan pembelajaran (I Wayan Dasna dan Sutrisno, 2007).
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa PBL sebaiknya digunakan dalam
pembelajaran karena:
1. Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Mahasiswa yang belajar memecahkan
suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha
mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Artinya belajar tersebut ada pada konteks aplikasi
konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika mahasiswa berhadapan
dengan situasi di mana konsep diterapkan.
2. Dalam situasi PBL, mahasiswa mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara
simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang mereka
lakukan sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga masalah-masalah dalam
aplikasi suatu konsep atau teori mereka akan temukan sekaligus selama pembelajaran
berlangsung.
3. PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif mahasiswa
dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan

interpersonal dalam bekerja kelompok.


Gejala umum yang terjadi pada mahasiswa pada saat ini adalah malas berpikir mereka
cenderung menjawab suatu pertanyaan dengan cara mengutip dari buku atau bahan pustaka
lain tanpa mengemukakan pendapat atau analisisnya terhadap pendapat tersebut. Bila
keadaan ini berlangsung terus maka mahasiswa akan mengalami kesulitan mengaplikasikan
pengetahuan yang diperolehnya di kelas dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, pelajaran
di kelas adalah untuk memperoleh nilai ujian dan nilai ujian tersebut belum tentu relevan
dengan tingkat pemahaman mereka. Oleh sebab itu, model PBL mungkin dapat menjadi salah
satu solusi untuk mendorong mahasiswa berpikir dan bekerja dibanding menghafal dan
bercerita.
Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah. Dengan
demikian mahasiswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Oleh
sebab itu, penggunaan PBL dapat memberikan pengalaman belajar melakukan kerja ilmiah
yang sangat baik kepada mahasiswa.
4.2. Pengimplementasian Metode PBL dalam Pembelajaran
Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mana suatu kegiatan berasal atau
berubah lewat reaksi dari suatu situasi yang dihadapi, dengan keadaan bahwa karakteristikkarakteristik dari perubahan aktivitas tersebut tidak dapat dijelaskan dengan dasar
kecendrungan-kecendrungan reaksi asli, kematangan, atau perubahan-perubahan sementara
dari organisme.(Learning is the process by which an activity originates or is changed through
reacting to an encountered situation, provided that the characteristics of the change in activity
cannot be explained on the basis of native response tendencies, maturation, or temporary state
of the organism) (Hilgard dan Bower,1996,hal 2, di Bonoma,1987).
Berikut ini bagan Proses Transformasi-Produktif di Perguruan Tinggi:
Gambar 4.1. Proses Transformasi-Produktif di Perguruan Tinggi
(Sumber : Buku Pedoman Evaluasi-Diri Program Studi BAN PT, 2002)
Ada beberapa cara menerapkan PBL dalam pembelajaran. Secara umum, penerapan model ini
mulai dengan adanya masalah yang harus dipecahkan atau dicari pemecahannya oleh
mahasiswa. Masalah tersebut dapat berasal dari mahasiswa atau mungkin juga diberikan oleh
pengajar. Mahasiswa akan memusatkan pembelajaran di sekitar masalah tersebut, dengan arti
lain, mahasiswa belajar teori dan metode ilmiah agar dapat memecahkan masalah yang
menjadi pusat perhatiannya (I Wayan Dasna dan Sutrisno, 2007).
Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah. Dengan
demikian mahasiswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Oleh
sebab itu, penggunaan PBL dapat memberikan pengalaman belajar melakukan kerja ilmiah
yang sangat baik kepada mahasiswa.
Berikut Diagram Sebab-Akibat Pembentukan Suasana Akademik Kondusif:

Gambar 4.2. Diagram Sebab-Akibat Pembentukan Suasana Akademik Kondusif


(Sumber : Buku Pedoman Evaluasi-Diri Program Studi BAN PT, 2002)
Langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran PBL paling sedikit ada delapan
tahapan (Pannen, 2001), yaitu:

1.Mengidentifikasi masalah,
2.Mengumpulkan data,
3.Menganalisis data,
4.Memecahkan masalah berdasarkan pada data yang ada dan analisisnya,
5.Memilih cara untuk memecahkan masalah,
6.Merencanakan penerapan pemecahan masalah,
7.Melakukan uji coba terhadap rencana yang ditetapkan, dan
8.Melakukan tindakan (action) untuk memecahkan masalah.
Empat tahap yang pertama mutlak diperlukan untuk berbagai kategori tingkat berpikir,
sedangkan empat tahap berikutnya harus dicapai bila pembelajaran dimaksudkan untuk
mencapai keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills).
Langkah mengidentifikasi masalah merupakan tahapan yang sangat penting dalam PBL.
Pemilihan masalah yang tepat agar dapat memberikan pengalaman belajar yang mencirikan
kerja ilmiah seringkali menjadi masalah bagi dosen dan siswa. Artinya, pemilihan masalah
yang kurang luas, kurang relevan dengan konteks materi pembelajaran, atau suatu masalah
yang sangat menyimpang dengan tingkat berpikir siswa dapat menyebabkan tidak tercapainya
tujuan pembelajaran.
Oleh sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh dosen pada tahap ini. Walaupun
dosen tidak melakukan intervensi terhadap masalah tetapi dapat memfokuskan masalah
melalui pertanyaan-pertanyaan agar mahasiswa melakukan refleksi lebih dalam terhadap
masalah yang dipilih. Dalam hal ini dosen harus berperan sebagai fasilitator agar
pembelajaran tetap pada bingkai yang direncanakan. Suatu hal yang sangat penting untuk
diperhatikan dalam PBL adalah pertanyaan berbasis why bukan sekedar how.
Setiap tahap dalam pemecahan masalah, keterampilan mahasiswa dalam tahap tersebut
hendaknya tidak semata-mata keterampilan how, tetapi kemampuan menjelaskan
permasalahan dan bagaimana permasalahan dapat terjadi. Namun yang harus dicapai pada
akhir pembelajaran adalah kemampuannya untuk memahami permasalahan dan alasan
timbulnya permasalahan tersebut serta kedudukan permasalahan tersebut dalam tatanan
sistem yang sangat luas.
4.3.Infrastruktur dan Sumber Daya Pengajar dalam Menerapkan Metode PBL
Sebelum melaksanakan perkuliahan dengan metode PBL perlu dilakukan persiapan yang
lebih intensif. Dalam perkuliahan dengan metode PBL ada tiga komponen yang akan bekerja
yaitu (1) insitusi, (2) dosen dan asisten dosen, dan (3) mahasiswa. Ketiga komponen ini
bekerja sesuai peran atau tugas masing-masing untuk mencapai pembelajaran dalam mata
kuliah ber-PBL secara optimal.
Institusi dalam PBL adalah perguruan tinggi atau satuan pendidikan. Institusi ini akan
mendukung pelaksanaan pembelajaran ber-PBL antara lain: (1) mempersiapkan sarana
perkuliahan, perpustakaan, dan alat-alat laboratorium, (2) menjamin keterlaksanaan
perkuliahan dengan mengganti kuliah yang tak terselenggara dan bila diperlukan membentuk
tim dosen mata kuliah, (3) menyediakan asisten perkuliahan, (4) mempersiapkan sarana
jaringan komputer, dan (5) merekam kehadiran perkuliahan mahasiswa dalam database
sehingga informasinya dapat digunakan untuk evaluasi pelaksanaan mata kuliah ber-PBL.
Dalam PBL, peran dosen dan asisten adalah sebagai fasilitator pembelajaran dan membangun
komunitas pembelajaran. Peran dosen adalah:
1.Mempersiapkan skenario yang akan dibahas pada tiap sesi dan mengatur silabus mata
kuliah dalam format Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester (RPKPS). Jumlah
sesi disesuaikan dengan cakupan materi, output, dan outcome dari perkuliahan.
2.Secara bertahap mempersiapkan materi perkuliahan dalam bentuk file elektronik dan
memberikan beberapa sumber antara lain buku referensi dan link website.

3.Mendorong para mahasiwa untuk mengeksplorasi pengetahuan yang diperlukan


selanjutnya. Dosen umumnya diharapkan untuk menahan diri tidak memberikan informasi,
sebaliknya mendorong dilakukannya diskusi dan pembelajaran antar para mahasiswa.
4.Sebagai evaluator. Walaupun peran dosen tidak lagi dominan dalam pelaksanaan
perkuliahan ber-PBL, namun tetap dosen bertanggung jawab penuh terhadap keberhasilan
pelaksanaan dan pencapaian tujuan perkuliahan. Untuk itu secara berkelanjutan, dosen perlu
mengevaluasi pelaksanaan perkuliahan dan melakukan perbaikan segera bilamana diperlukan
baik dari sisi content maupun proses.

BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1.Problem Based Learning (PBL) optimal untuk segala fakultas, tetapi tidak semua mata
kuliah dimungkinkan untuk dilaksanakan dengan metode PBL. Mata kuliah yang sangat
relevan dilaksanakan dengan metode PBL adalah mata kuliah kelompok Mata Kuliah
Keahlian Berkarya (MKB).
2.Secara umum pengimplementasian model ini mulai dengan adanya masalah yang harus
dipecahkan oleh mahasiswa. Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkahlangkah metode ilmiah. Dengan demikian mahasiswa belajar memecahkan masalah secara
sistematis dan terencana.
3.Infrastruktur harus dipersiapkan dalam pelaksanaan PBL dengan baik. Institusi, mahasiswa,
pengajar masing-masing mempunyai peran yang saling menunjang. Para pengajar, terutama
mempunyai peran memberikan inspirasi agar potensi mahasiswa dimaksimalkan.
5.2. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan oleh penulis, antara lain:
1.Diperlukan penerapan metode Problem Based Learning (PBL) di berbagai fakultas,
sehingga dapat dihasilkan lulusan yang kompeten, mampu berkompetisi, cerdas, kreatif, peka
terhadap perubahan di lingkungan, serta mampu mencari solusi pemecahan masalah.
2.Kurikulum perguruan tinggi di Indonesia seyogyanya diarahkan untuk case Problem Based
Learning (PBL) yang dilakukan melalui teori-teori ilmu pengetahuan diorganisasikan
diseputar masalah-masalah nyata yang diambil dari praktik-praktik profesional.

DAFTAR PUSTAKA

Adler, Ralph W. and Milne, Markus J. 1997. Improving The Quality of Accounting
StudentsLearning Through Action-Oriented Learning Tasks. Accounting Education. Vol. 6
No. 3: 191-215.
Amir, M. Taufiq. 2005. PBL Optimal Untuk Segala Bentuk Fakultas (Wawancara dengan
Prof. Howard Barrows, MD). Diakses dari http://www.ibii.ac.id/files/newsletter/edisi3/ pada
tanggal 21 Februari 2008.
Bahti, Husein H. 2006. Riset Multidisiplin Dan Terpadu Untuk Pelaksanaan Tridharma Di
Unpad Sebagai (Calon) Perguruan Tinggi Bhpmn Dengan Visi Research University. Diakses
dari http://www.unpad.ac.id pada tanggal 10 Februari 2008.
Dasna, I Wayan. 2005. Penggunaan Model Pembelajaran Problem-based Learning dan
Kooperatif learning untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar kuliah metodologi
penelitian. Malang: Lembaga Penelitian UM.
Depdiknas. Buku Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi. 2003.
Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi - Departemen Pendidikan Nasional.
Djanali, Supeno. 2005. Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi.
Diakses dari http://www.kopertis4.or.id/ pada tanggal 21 Februari 2008.
Djanali, Supeno. 2005. Suasana Akademik. Diakses dari http://www.kopertis4.or.id/ pada
tanggal 21 Februari 2008.
Ferdian, Riki. 2006. Pengaruh Problem-Based Learning (Pbl) Pada Pengetahuan Tentang
Kekeliruan DanKecurangan (Errors And Irregularities). Diakses dari
http://info.stieperbanas.ac.id/makalah/ pada tanggal 10 Februari 2008.
Freire, Paulo. 2002. Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembahasan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Harsono. 2004. Pengalaman inovasi pendidikan di Fakultas Kedokteran UGM. Makalah
Seminar Penumbuhan Inovasi Sistem Pembelajaran: Pendekatan Problem-Based Learning
berbasis ICT (Information and Communication Technology), pada tanggal 15 Mei 2004,
Yogyakarta.
Harsono, 2005, Pengantar Problem-Based Learning, edisi kedua. Medika: Fakultas
Kedokteran UGM, Yogyakarta.
Jogiyanto. 2006. Filosofi, Pendekatan dan Penerapan Pembelajaran Metode Kasus.
Yogyakarta: Andi.
Magister Management-UI. 2007. Proses Belajar-Mengajar. Diakses dari
http://www.mmui.edu/pcl.html pada tanggal 11 Februari 2008.
Nur, M., Wikandari, Prima, R.,. 1998. Pendekatan-pendekatan Konstruktivis dalam
Pembelajaran. Surabaya: IKIP Surabaya.
Ragil Turyanto. 2007. Case (Problem) Based Learning. Diakses dari
http://ragilt.org/archives/case-problem-based-learning.html pada tanggal 10 Februari 2008.
Saptono, R. 2003. Is Problem Based Learning (PBL) a better approach for engineering
education? CAFEO-21 (21st Conference of the Asian Federation of Engineering
Organization), 22-23 October 2003, Yogyakarta.
Sudarman. 2005. Problem Based Learning Suatu Model Pembelajaran untuk
Mengembangkan dan Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah. Diakses dari
http://jurnaljpi.files.wordpress.com/2007/09/04-sudarman.pdf pada tanggal 23 Februari 2008.
Suradijono, SHR. 2004. Problem-based learning: Apa dan bagaimana? Makalah Seminar
Penumbuhan Inovasi Sistem Pembelajaran: Pendekatan Problem Based Learning berbasis
ICT (Information and Communication Technology), 15/5/2004, Yogyakarta.
Turyanto, Ragil. 2007. Case (Problem) Based Learning. Diakses dari
http://ragilt.org/archives/case-problem-based-learning.html pada tanggal 10 Februari 2008.

Warmada, I Wayan. 2004. Problem-based learning (PBL) berbasis teknologi informasi (ICT).
Diakses dari http://www.te.ugm.ac.id/ pada tanggal 10 Februari 2008.
Zulharman. 2007. Problem Based Learning (PBL). Diakses dari
http://zulharman79.wordpress.com/2007/07/15/problem-based-learning-pbl/ pada tanggal 10
Februari 2008.
Sumber: Wianti Aisyah, Yola Desnera dan Rizki Amelia
Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran
Disusun dalam rangka mengikuti Lomba Karya Tulis Mahasiswa Edisi Revisi
Dari
http://wianti.multiply.com/journal/item/7

You might also like