You are on page 1of 25

Pelayanan Publik Pemerintah

A. Konsep Dasar Pelayanan


Pelayanan publik merupakan salah satu fungsi yang harus disediakan oleh
pemerintah selaku penyelenggara negara kepada masyarakat. Dalam menjalankan
fungsi pelayanan publik, pemerintah harus berusaha untuk memberikan pelayanan
secara prima terhadap masyarakat.
Konsep dasar dari Pelayanan (Service) adalah sebagai berikut:
1. Menurut American Marketing Association, seperti yang dikutip oleh Donald W,
Cowell: Pelayanan pada dasarnya adalah merupakan kegiatan atau manfaat yang
ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain dan pada hakekatnya tidak
berwujud serta tidak menghasilkan kepememilikan sesuatu, proses produksinya
mungkin dan mungkin juga tidak dikaitkan dengan suatu produk fisik.
2. Menurut Christoper H Lovelock: Pelayanan adalah produk yang tidak berwujud,
berlangsung sebentar dan dirasakan atau dialami.
3. Menurut Gronroos: Pelayanan adalah suatu aktivitas atau rangkaian aktivitas,
yang mana timbul interaksi dengan seseorang atau mesin secara fisik dan
penyediaan kepuasan pelanggan.
4. M.A. Imanto mengatakan bahwa siklus pelayanan adalah: Sebuah rangkaian
peristiwa yang dilalui pelanggan sewaktu menikmati atau menerima layanan
yang diberikan. Dikatakan bahwa siklus layanan dimulai pada saat konsumen
mengadakan kontak pertama kali dengan service delivery system/sistem
pemberian pelayanan dan dilanjutkan dengan kontak-kontak berikutnya sampai
dengan selesai jasa tersebut diberikan
5. Lembaga Administrasi Negara (1998) mendefinisikan pelayanan umum sebagai:
Segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi
Pemerintahan di Pusat dan Daerah, dan di lingkungan BUMN/BUMD dalam
bentuk barang dan/atau jasa, baik dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat
maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
B. Definisi Pelayanan Publik
Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam
interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan
menyediakan kepuasan pelanggan. Dalam konteks instansi pemerintahan, yang
menjadi fokus utama adalah bagaimana sebuah instansi dapat memberikan
pelayanan yang terbaik kepada para stakeholder-nya yang dikenal dengan istilah
pelayanan prima.
UUD 1945 mengamanatkan negara untuk memberikan pelayanan kepada warga
negara dan penduduk dalam pemenuhan kebutuhan serta haknya. Sebagai upaya
untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai
dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi
perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan
wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik, pemerintah menyusun

Undang-Undang No 25 tahun 2009 yang mengatur tentang Pelayanan Publik.


Berdasarkan Undang-Undang tersebut, pelayanan publik didefinisikan sebagai
kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan
penduduk atas barang, jasa, dan/ atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik. Sedangkan standar pelayanan adalah tolok ukur
yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan
penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada
masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan
terukur. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa kualitas pelayanan publik adalah
pelayanan publik yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik (dalam hal
ini pemerintah) kepada masyarakat yang mengacu kepada/memenuhi standar
pelayanan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, ruang lingkup pelayanan publik
meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang
meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi
dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan,
perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.
Pelayanan publik diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik yang
mencakup setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen
yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan
badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
Dalam menjalankan tugasnya, organisasi penyelenggara berkewajiban
menyelenggarakan pelayanan publik sesuai dengan tujuan pembentukan
Penyelenggaraan pelayanan publik, sekurang kurangnya meliputi:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pelaksanaan pelayanan,
Pengelolaan pengaduan masyarakat,
Pengelolaan informasi,
Pengawasan internal,
Penyuluhan kepada masyarakat, dan
Pelayanan konsultansi.
Penyelenggara berkewajiban melaksanakan evaluasi terhadap kinerja pelaksana
di lingkungan organisasi secara berkala dan berkelanjutan. Berdasarkan hasil
evaluasi ini, penyelenggara berkewajiban melakukan upaya peningkatan kapasitas
pelaksana. Evaluasi terhadap kinerja pelaksana dilakukan dengan indikator yang
jelas dan terukur dengan memperhatikan perbaikan prosedur dan/atau
penyempurnaan organisasi sesuai dengan asas pelayanan publik dan peraturan
perundang-undangan. Antar penyelenggara pelayanan publik dapat dilakukan kerja
sama meliputi kegiatan yang berkaitan dengan teknis operasional pelayanan dan/
atau pendukung pelayanan sehingga kegiatan menjadi lebih efektif dan efisien.
Dalam hal penyelenggara yang memiliki lingkup kewenangan dan tugas
pelayanan publik tidak dapat dilakukan sendiri karena keterbatasan sumber daya
dan/atau dalam keadaan darurat, penyelenggara dapat meminta bantuan kepada
penyelenggara lain yang mempunyai kapasitas memadai. Bahkan dalam keadaan

darurat, permintaan penyelenggara lain wajib dipenuhi oleh penyelenggara pemberi


bantuan sesuai dengan tugas dan fungsi organisasi penyelenggara yang
bersangkutan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang mengamanatkan penyelenggara pelayanan publik untuk
menyusun dan menetapkan standar pelayanan dengan memperhatikan kemampuan
penyelenggara, kebutuhan masyarakat, dan kondisi lingkungan. Standar ini
mencakup:
1. Dasar hukum,
2. Persyaratan,
3. Sistem, mekanisme, dan prosedur,
4. Jangka waktu penyelesaian,
5. Biaya/tarif,
6. Produk pelayanan,
7. Sarana, prasarana, dan/ atau fasilitas,
8. Kompetensi pelaksana,
9. Pengawasan internal,
10. Penanganan pengaduan, saran, dan masukan,
11. Jumlah pelaksana,
12. Jaminan pelayanan yang memberikan kepastian,
13. Pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan,
14. Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk
memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keraguraguan, dan
15. Evaluasi kinerja pelaksana.
Dalam praktiknya, tidak jarang sistem dan tata kelola telah didesain sedemikian
rupa guna menghindari perilaku-perilaku penyelewengan oleh para pelaksana
pelayanan publik namun beberapa oknum gagal melaksanakan tugasnya dengan
baik. Berikut ini adalah perilaku yang seharusnya ditunjukkan oleh pelaksana
pelayanan publik kepada masyarakat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Adil dan tidak diskriminatif,


Cermat,
Santun dan ramah,
Tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut,
Profesional,
Tidak mempersulit,
Patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar,
Menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi
penyelenggara,
9. Tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan,
10. Terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan
kepentingan,
11. Tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik,
12. Tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi
permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat,
13. Tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan yang
dimiliki,

14. Sesuai dengan kepantasan, dan


15. Tidak menyimpang dari prosedur.
Kualitas Pelayanan Publik
A. Definisi Kualitas Pelayanan Publik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kualitas didefinisikan sebagai
tingkat baik buruk sesuatu, taraf atau derajat, dan mutu. Valarie A.Zeithaml dan
Mary Jo Bitner menyebutkan Customer expectations are the standards of or
reference points for performance againts which service experiences are compared
and are often formulated in terms of what customer believes should or will happen.
Kurang lebih dapat diartikan bahwa harapan pelanggan merupakan standar acuan
yang menjadi petunjuk bagi pelanggan sebelum membeli suatu produk dalam
menilai kinerja produk tersebut, baik dalam produk yang berbentuk barang maupun
penyediaan jasa.
Sehingga secara sederhana dapat dikatakan bahwa kualitas atas suatu pelayanan
(service quality) dapat diketahui dengan cara membandingkan persepsi para
konsumen atas pelayanan yang sesungguhnya mereka harapkan / inginkan dengan
pelayanan yang nyata-nyata mereka terima/peroleh. Apabila pelayanan jasa yang
diterima atau dirasakan (perceived service) tersebut telah sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh konsumen, maka kualitas pelayanan dipersepsikan baik dan
memuaskan, serta berkualitas. Sebaliknya, apabila pelayanan jasa yang diterima
lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan
kurang. Kepuasan masyarakat atas pelayanan publik merupakan suatu ukuran yang
bisa digunakan untuk menilai mutu dari pelayanan publik yang diberikan oleh
pemerintah. Untuk bisa memberikan pelayanan yang dapat memberikan kepuasan
bagi masyarakat, pemerintah harus bisa menyediakan pelayanan publik yang
berkualitas. Kualitas pelayanan ini jika dihubungkan dengan kepuasan masyarakat
terdiri dari dua faktor yaitu expected service dan perceived service. Apabila
pelayanan yang dirasakan atau diterima oleh masyarakat (perceived service) sesuai
dengan yang diharapkan (expected service) maka dapat dikatakan bahwa pelayanan
yang disediakan oleh pemerintah adalah berkualitas tinggi karena mampu
memberikan kepuasan bagi masyarakat. Begitu juga sebaliknya, apabila pelayanan
yang dirasakan atau diterima oleh masyarakat (perceived service) tidak sesuai
dengan yang diharapkan (expected service), maka dapat dikatakan bahwa pelayanan
yang disediakan oleh pemerintah tersebut cenderung kurang atau bahkan tidak
berkualitas.
Berikut adalah model konseptual kualitas pelayanan yang diungkapkan oleh
Zeithaml, Parasuraman dan Berry:

Adapun menurut Lembaga Administrasi Negara, berikut adalah kriteria-kriteria


pelayanan:
1. Kesederhanaan, yaitu bahwa tata cara pelayanan dapat diselenggarakan
secaramudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan
dilaksanakan olehpelanggan.
2. Reliabilitas, meliputi konsistensi dari kinerja yang tetap dipertahankan dan
menjaga saling ketergantungan antara pelanggan dengan pihak
penyediapelayanan, seperti menjaga keakuratan perhitungan keuangan, teliti
dalampencatatan data dan tepat waktu.
3. Tanggung jawab dari para petugas pelayanan, yang meliputi pelayanan
sesuaidengan urutan waktunya, menghubungi pelanggan secepatnya apabla
terjadisesuatu yang perlu segera diberitahukan.
4. Kecakapan para petugas pelayanan, yaitu bahwa para petugas
pelayananmenguasai keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan.
5. Pendekatan kepada pelanggan dan kemudahan kontak pelanggan dengan
petugas. Petugas pelayanan harus mudah dihubungi oleh pelanggan, tidak
hanyadengan pertemuan secara langsung, tetapi juga melalui telepon atau
internet. Olehkarena itu, lokasi dari fasilitas dan operasi pelayanan juga harus
diperhatikan.
6. Keramahan, meliputi kesabaran, perhatian dan persahabatan dalam
kontak antarapetugas pelayanan dan pelanggan. Keramahan hanya
diperlukan jika pelanggantermasuk dalam konsumen konkret. Sebaliknya, pihak
penyedia layanan tidakperlu menerapkan keramahan yang berlebihan jika

layanan yang diberikan tidakdikonsumsi para pelanggan melalui kontak


langsung.
7. Keterbukaan, yaitu bahwa pelanggan bisa mengetahui seluruh informasi
yangmereka butuhkan secara mudah dan gamblang, meliputi informasi
mengenai tatacara, persyaratan, waktu penyelesaian, biaya dan lain-lain.
8. Komunikasi antara petugas dan pelanggan. Komunikasi yang baik
denganpelanggan adalah bahwa pelanggan tetap memperoleh informasi yang
berhakdiperolehnya dari penyedia pelayanan dalam bahasa yang mereka
mengerti.
9. Kredibilitas, meliputi adanya saling percaya antara pelanggan dan
penyediapelayanan, adanya usaha yang membuat penyedia pelayanan tetap
layakdipercayai, adanya kejujuran kepada pelanggan dan kemampuan
penyediapelayanan untuk menjaga pelanggan tetap setia.
10. Kejelasan dan kepastian, yaitu mengenai tata cara, rincian biaya layanan dan
tatacara pembayarannya, jadwal waktu penyelesaian layanan tersebut. Hal ini
sangatpenting karena pelanggan tidak boleh ragu-ragu terhadap pelayanan
yangdiberikan.
11. Keamanan, yaitu usaha untuk memberikan rasa aman dan bebas pada
pelanggandari adanya bahaya, resiko dan keragu-raguan. Jaminan keamanan
yang perlu kitaberikan berupa keamanan fisik, finansial dan kepercayaan pada
diri sendiri.
12. Mengerti apa yang diharapkan pelanggan. Hal ini dapat dilakukan
denganberusaha mengerti apa saja yang dibutuhkan pelanggan. Mengerti apa
yangdiinginkan pelanggan sebenarnya tidaklah sukar. Dapat dimulai
denganmempelajari kebutuhan-kebutuhan khusus yang diinginkan pelanggan
danmemberikan perhatian secara personal.
13. Kenyataan, meliputi bukti-bukti atau wujud nyata dari pelayanan, berupa
fasilitasfisik, adanya petugas yang melayani pelanggan, peralatan yang
digunakan dalam memberikan pelayanan, kartu pengenal, dan fasilitas
penunjang lainnya.
14. Efisien, yaitu bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal
yangberkaitan langsung dengan pencapai sasaran pelayanan dengan
tetapmemperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan.
15. Ekonomis, yaitu agar pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar
dengan memperhatikan nilai barang/jasa dan kemampuan pelanggan untuk
membayar.
Komponen standar pelayanan adalah komponen yang merupakan unsur-unsur
administrasi dan manajemen yang menjadi bagian dalam sistem dan proses
penyelenggaraan pelayanan publik.
1. Dasar Hukum, adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
penyelenggaraan pelayanan.
2. Persyaratan, adalah syarat (dokumen atau hal lain) yang harus dipenuhi dalam
pengurusan suatu jenis pelayanan, baik persyaratan teknis maupun
administratif.

3. Sistem, mekanisme, dan prosedur, adalah tata cara pelayanan yang dibakukan
bagi pemberi dan penerima pelayanan, termasuk pengaduan.
4. Jangka waktu penyelesaian, adalah jangka waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan seluruh proses pelayanan dari setiap jenis pelayanan.
5. Biaya/tarif, adalah ongkos yang dikenakan kepada penerima layanan dalam
mengurus dan/atau memperoleh pelayanan dari penyelenggara yang besarnya
ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara penyelenggara dan masyarakat.
6. Produk pelayanan, adalah hasil pelayanan yang diberikan dan diterima sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
7. Sarana, prasarana, dan/atau fasilitas, adalah peralatan dan fasilitas yang
diperlukan dalam penyelenggaraan pelayanan, termasuk peralatan dan fasilitas
pelayanan bagi kelompok rentan.
8. Kompetensi pelaksana, adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh pelaksana
meliputi pengetahuan, keahlian, ketrampilan dan pengalaman.
9. Pengawasan internal, adalah sistem pengendalian intern dan pengawasan
langsung yang dilakukan oleh pimpinan satuan kerja atau atasan langsung
pelaksana.
10. Penanganan pengaduan, saran, dan masukan, adalah tata cara pelaksanaan
penanganan pengaduan dan tindak lanjut.
11. Jumlah pelaksana, adalah tersedianya pelaksana sesuai dengan beban kerja.
Informasi mengenai komposisi atau jumlah petugas yang melaksanakan tugas
sesuai pembagian dan uraian tugasnya.
12. Jaminan pelayanan, adalah memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan
sesuai dengan Standar pelayanan
13. Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan, adalah dalam bentuk
komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, risiko, dan keraguraguan.
14. Evaluasi kinerja pelaksana, adalah penilaian untuk mengetahui seberapa jauh
pelaksanaan kegiatan sesuai dengan standar pelayanan.

B. Pelayanan Publik pada BLUD RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes


1. Dasar Hukum
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 tentang
Pedoman Penyusunan dan Penerapan STandar Minimal.
Permendagri Nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah
Kepmenkes Nomor: 129/Menkes/SK/II/2008 Tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit
Kepmenkes Nomor: 779/Menkes/SK/VIII/2008 tentang Standar Pelayanan
Anestesiologi dan Reanimasi di Rumah Sakit.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis

Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor: 02 Tahun 2011

2. Standar Pelayanan Minimal Unit Gawat Darurat


No
1.

Deskripsi

SPM

24 Jam

Hasil Pengamatan
Tahun 2012
Masih ada pasien yang
meninggal
24 Jam

100%

100%

Satu Tim

Satu Tim

lima menit terlayani,


setelah pasien datang
90

Kadang Terlambat

100%

6.

Kemampuan menangani life


saving anak dan dewasa
Ketersediaan Pelayanan
Gawat Darurat
Pemberi Pelayanan Gawat
Darurat yang Bersertifikat
Ketersediaan Tim
Penanggulangan Bencana
Waktu Tanggap Pelayanan
Dokter di Gawat Darurat
Kepuasan Pelanggan

7.

Kematian Pasien < 24 Jam

8.

Tidak adanya pasien yang


diharuskan membayar uang
muka

dua per seribu


(pindah ke pelayanan
rawat inap setelah 8
jam)
100%

2.
3.
4.
5.

Terakhir dilakukan
survey kepuasan
pelanggan adalah tahun
2008
< 48 Jam
1520 dari 4750

100%

Deskripsi mengenai Pelayanan di Unit Gawat Darurat pada BLUD RSUD Prof.
Dr. W.Z. Johannes Kota Kupang
Berdasarkan hasil pengamatan dan evaluasi terhadap Pelayanan Unit Gawat
Darurat, terdapat permasalahan sebagai berikut:
a. Tidak tersedia Bagan Alur atas layanan yang diberikan, dan hanya tersedia
struktur organisasi. Hal tersebut menyebabkan kurang cepatnya
penanganan pasien Gawat Darurat hingga akhirnya meninggal. Birokrasi
RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes acap kali disebut sebagai mesin pembunuh
karena tidak efektif dan lamban.
b. Unit Gawat Darurat (UGD) RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes memberikan
pelayanan 24 jam dengan satu tim petugas jaga. Jumlah dokter jaga
berdasarkan jadwal sebanyak 2 orang, namun pernah realisasi di lapangan
hanya 1 orang. Hal ini terjadi pada tanggal 26 Juli 2012 Jam 21.00.
c. Seluruh dokter pemberi pelayanan gawat darurat sudah bersertifikat.
d. Tersedia satu tim penanggulangan bencana.
e. Tidak semua pasien yang datang ke UGD mendapat penanganan langsung
dari petugas di bawah 5 menit sejak kedatangan.
f. Survey Kepuasan Pelanggan terakhir kali dilakukan pada tahun 2008.
Namun jika dilihat dari media massa, banyak sekali ditemukan keluhan
warga utamanya terkait dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang
berbelit-belit.

g. Untuk tahun 2012, dari total 4.750 orang yang dirawat di UGD, 32%
diantaranya, yaitu 1520 pasien meninggal di bawah 48 jam sesudah
memasuki UGD.
h. Untuk pasien yang akan memasuki UGD, keluarga tidak diharuskan untuk
membayar uang muka.
i. Terdapat pasien yang menjalani rawat inap di UGD, karena menunggu
tersedianya kamar/ruangan perawatan. Terhadap pasien tersebut telah
diperlakukan sebagai pasien rawat inap selama pasien tersebut dirawat di
UGD, namun tidak memperoleh hak sebagai pasien rawat inap seperti jatah
makanan dan selimut. Hal tersebut menunjukan kekakuan bentuk
pelayanan dari RSUD yang tidak mengacu kebutuhan pasiesn.
j. Kondisi kebersihan di UGD sangat buruk antara lain: kamar mandi/wc
pasien tersumbat, tersedia tempat sampah di ruang pemeriksaan namun
penuh dengan sampah medis terutama pada malam hari karena sampah
tersebut tidak segera diambil oleh petugas kebersihan.
k. Terdapat pasien yang purna perawatan dan tidak diberikan surat rujukan
padahal kondisi pasien masih memerlukan kontrol di poliklinik (rawat
jalan). Dan pada waktu mendaftar di loket pendaftaran untuk menjalani
kontrol di Poliklinik, pasien tersebut ditolak karena tidak membawa surat
rujukan. Kemudian pasien tersebut mencoba meminta surat rujukan pada
dokter yang menanganinya, namun dokter yang yang bersangkutan sedang
tidak bertugas.
l. Hal ini mengakibatkan pasien UGD tidak memperoleh hak pelayanan
kesehatan sebagaimana mestinya.
3. Standar Pelayanan Minimal Pelayanan Rawat Jalan
No
1.

Deskripsi
Dokter pemberi Pelayanan di
Poliklinik Spesialis

2.

Ketersediaan Pelayanan
Rawat Jalan

3.

Ketersediaan Pelayanan di
Poli Jiwa

4.

Jam buka pelayanan

5.
6.

Waktu tunggu di rawat jalan


Kepuasan Pelanggan

SPM
100% adalah tenaga
dokter spesialis yang
kompeten
Terdapat klinik anak,
penyakit kebidanan,
dan bedah
Pelayanan untuk anak
remaja, pecandu
NAPZA, gangguan
psikotik, neurotik,
organik, dan mental
retardasi
08.00 s/d 13.00
Setiap hari kerja
kecuali Jumat: 08.0011.00
60 menit
90%

Hasil Evaluasi
100% tenaga spesialis

Komplit

Komplit

Kadang terlambat
dibuka dan tutup lebih
cepat
> 60 menit
Terakhir dilakukan
survey kepuasan

7.

a. Penegakan diagnosis TB
melalui pemeriksaan
mikroskop TB
b. Terlaksananya kegiatan
pencatatan dan pelaporan
TB di RS

a. 60 %
b. 60 %

pelanggan adalah tahun


2008
Tidak ada data

Deskripsi mengenai Pelayanan Rawat Jalan pada BLUD RSUD Prof. Dr. W.Z.
Johannes Kota Kupang
Berikut adalah uraian mengenai kegiatan Pelayanan Rawat Jalan pada BLUD
RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes:
a. Seluruh dokter di Poliklinik Spesialis adalah tenaga dokter spesialis.
Namun, seperti halnya Rumah Sakit di Indonesia Timur, tenaga dokter
yang ada adalah tenaga dokter muda yang minim pengalaman. Untuk
penyakit tertentu yang memerlukan keahlian khusus, seperti kanker,
walaupun belum stadium lanjut (kritis), terkadang ditelantarkan oleh dokter
petugas rawat jalan.
b. RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes telah memiliki klinik anak, penyakit
kebidanan, dan bedah.
c. Poli Jiwa RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes belum memiliki Poli untuk
pecandu NAPZA.
d. Jam buka pelayanan Poli Rawat Jalan adalah pkl. 08.00 s/d 13.00 Setiap
hari kerja kecuali Jumat, yaitu pkl. 08.00-11.00. Namun seringkali
terlambat sehingga menimbulkan penumpukan antrian.
e. Waktu tunggu untuk pelayanan rawat jalan adalah lebih dari 60 menit. Hal
tersebut disebabkan karena tidak adanya bagan alur mulai dari pendaftaran
sampai dengan purna layanan. Di samping itu, terjadi penumpukan antrian
di tempat pendaftaran pasien (TPP), terutama pada pkl. 09.3010.30. Pada
jam tersebut pasien yang telah memperoleh perawatan di poliklinik dan
akan melakukan membayar obat di Bank NTT berbaur dengan pasien yang
antri di loket pendaftaran, karena harus melalui pintu yang sama. Sistem
antrian di semua poli dilakukan dengan cara mengurutkan data medical
record pasien, dimana dokumen yang datang terakhir ditaruh pada
tumpukan paling bawah. Hal ini memungkinkan terjadi ketidakadilan
dalam antrian karena tidak ada pengendalian atas antrian.
f. Lain-lainnya
1) Poli Bedah
Untuk Poli Bedah, selalu terjadi penumpukan pasien yang terus menerus
hampir sepanjang hari. Hal ini terjadi karena lokasi antrian pasien poli
bedah berada di areal perlintasan. Selain itu juga disebabkan poli bedah
merangkap pelayanan tindakan bedah ringan.
2) Poli Kulit dan Kelamin

3)

4)

5)

6)

Pada Poli Kulit dan Kelamin, terdapat pasien kulit dan kelamin yaitu
penderita kusta basah yang antri bersama-sama dengan pasien yang lain,
sehingga rentan terjadi penularan kepada pasien lain.
Poli Konsultasi Gizi
Pada Poli Konsultasi Gizi, selama pangamatan berlangsung tidak pernah
beroperasi karena semua tenaga ahlinya membantu untuk melayani
nutrisi pasien rawat inap bergabung dengan tim masak.
Pelayanan Poli Gigi
Berdasarkan hasil pengamatan terdapat kondisi sebagai berikut:
Terdapat dua kursi perawatan gigi dalam kondisi rusak sebagian, dan
masih digunakan untuk pelayanan kepada pasien sehingga tidak bisa
dioperasikan secara optimal.
Terdapat satu kursi perawatan gigi tidak dimanfaatkan dengan alasan
tidak ada tenaga untuk memindahkan dari gudang ke poli gigi.
Peralatan medis di poli gigi sudah waktunya diganti karena telah
berumur lebih dari 5 tahun bahkan terdapat peralatan medis gigi yang
sudah patah dan diperbaiki dengan cara dilas.
Kamar mandi/WC di sebelah poli gigi tidak bisa digunakan karena
rusak/tersumbat.
Layanan Pengaduan
RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes telah membuka nomor layanan
pengaduan yang bisa dihubungi selama 24 jam berkaitan dengan
pengaduan dari pasien, tetapi tidak tersedia kotak pengaduan baik di
ruang pelayanan rawat jalan maupun di tempat pendaftaran pasien.
Tesedia help desk atau bagian informasi yang bisa mengarahkan pasien
yang baru datang untuk memperoleh layanan rawat jalan, namun tidak
dioperasikan (tidak pernah buka). Dari hasil pengamatan, terdapat
pasien yang sudah menjalani antrian yang cukup lama di poli penyakit
dalam, namun tidak segera dilayani. Setelah pasien tersebut
menanyakan kepada petugas, ternyata pasien tersebut belum mendaftar
di loket pendaftaran. Dan untuk melakukan pendaftaran, pasien tersebut
harus antri kembali.

Kecepatan Pelayanan
A. Definisi Kecepatan Pelayanan
Waktu adalah dimensi pelayanan yang menjadi perhatian suatu organisasi dalam
memenuhi fungsinya sebagai pelayan stakeholder. Menurut Ratminto, (2006:226227), kecepatan aparatur pelayanan merupakan target waktu pelayanan dapat
diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan.
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa kecepatan aparatur pelayanan adalah target yang

harus diselesaikan oleh aparatur pelayanan dalam menyelesaikan tugasnya dengan


tepat dan benar.
Menurut Charles T. Horngren, Srikant M. Datar, Madhav Rajan dalam Cost
Accounting: A Managerial Emphasis, disebutkan bahwa time is a competitive tool
yang menyatakan bahwa:

Organisasi memandang waktu sebagai variabel penggerak strategi


Operational measures of time: seberapa cepat organisasi merespon permintaan
pelanggan atas barang dan jasa serta reliabilitasnya dalam memenuhi tanggal
penyerahan barang dan jasa yang telah disepakati.

Menurut Horngren ada dua operational measures of time yaitu :


1. Customer-response Time
Customer response time adalah waktu yang diperlukan dari pelanggan mulai
memesan suatu produk atau jasa sampai produk atau jasa itu diberikan ke
pelanggan. Respon yang cepat kepada pelanggan merupakan strategi yang sangat
penting dalam beberapa industri seperti konstruksi, perbankan, rental mobil, dan
makanan siap saji.
Beberapa komponen dari customer-response time antara lain sebagai berikut.
a. Waktu Penerimaan (Receipt Time) adalah berapa lama waktu yang diperlukan
oleh Departemen Pemasaran untuk merinci permintaan pesanan pelanggan
dengan tepat kepada Departemen Manufaktur.
b. Waktu Tenggang Manufaktur (Manufacturing Lead Time) adalah jumlah waktu
menunggu (Waiting Time) dan waktu membuat produk (Manufacturing Time)
pada suatu pesanan. Waktu ini disebut juga sebagai waktu siklus manufaktur
(Manufacturing Cycle Time) yaitu durasi waktu dari order diterima bagian
manufaktur sampai menjadi finished goods. Misalnya, sebuah pesanan pesawat
yang diterima oleh Boeing mungkin harus menunggu karena peralatan yang
diperlukan sedang sibuk memroses pesanan yang diterima sebelumnya.
c. Waktu Pengiriman (Delivery Time) adalah durasi waktu yang dibutuhkan untuk
mengirim sebuah pesanan yang telah selesai kepada pelanggan.
Komponen-komponen tersebut dapat dijadikan sebagai dasar alokasi biaya
overhead yang diharapkan memotivasi manajer untuk mengurangi waktu yang
diperlukan sehingga dapat menurunkan total biaya overhead serta meningkatkan
laba operasi.
2. On-time Performance
On-time performance yaitu pemberian dari suatu produk atau jasa sesuai dengan
waktu yang direncanakan untuk diberikan. On-time performance yang di-manage
secara benar akan meningkatkan kepuasan pelanggan.
Dalam pelaksanaannya ada trade-off antara keinginan pelanggan atas customerreponse time dengan on-time performance. Misalnya menjadwalkan customerresponse times lebih lama, dalam hal waktu sampai di tempat tujuan pada suatu

penerbangan akan membuat pelanggan tidak puas akan customer-response times,


tapi akan meningkatkan kepuasan pelanggan dalam hal on-time performance.
Dalam mengatur customer-response time and on-time performance agar dapat
berjalan baik diperlukan pemahaman tentang penyebab dan biaya dari delay yang
terjadi.
Timedriver yaitu setiap faktor yang menyebabkan perubahan kecepatan dari suatu
aktivitas yang terjadi saat faktor itu berubah. Adapun timedriver itu dapat dibagi atas
dua, yaitu:
a. Ketidakpastian tentang kapan pelanggan akan memesan produk atau jasa.
Dengan tidak adanya kepastian kapan pelanggan akan memesan produk atau jasa
maka akan menyebabkan suatu perusahaan sulit untuk mengantisipasi adanya
pelonjakan pemesanan atas produk atau jasa tersebut.
b. Bottleneck karena keterbatasan kapasitas.
Suatu bottleneck terjadi dalam suatu operasi saat suatu pekerjaan dilakukan
mendekati atau melebihi kapasitas yang tersedia untuk melakukan pekerjaan
tersebut. Misalnya pada pemesanan makanan fast food, pada perusahaan tersebut
hanya tinggal 2 orang delivery man, sementara ada pesanan di empat tempat
sekaligus yang berjauhan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya keterlambatan
karena jumlah pegawainya yang sedikit.
B. Faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Pelayanan
1.
Undang-Undang dan Peraturan
Peraturan atau Undang-undang tentang pelayanan harus ditetapkan agar setiap
pelayanan yang ada bisa memenuhi tujuan sebagai berikut:
a. terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab,
kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan
penyelenggaraan pelayanan publik;
b. terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai
dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik;
c. terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan
perundang-undangan; dan
d. terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik

2.

Standar Operating Procedures


SOP (Standard Operating Procedures) adalah panduan hasil kerja yang diinginkan
serta proses kerja yang harus dilaksanakan. SOP dibuat dan di dokumentasikan
secara tertulis yang memuat prosedur (alur proses) kerja secara rinci dan
sistematis. Alur kerja (prosedur) tersebut haruslah mudah dipahami dan dapat di
implementasikan dengan baik dan konsisten oleh pelaku. Implementasi SOP yang
baik akan menunjukkan konsistensi hasil kerja, hasil produk dan proses pelayanan
seluruhnya dengan mengacu kepada kemudahan, pelayanan dan pengaturan yang
seimbang.

Tujuan dan manfaat SOP sebagai berikut:


a. Memudahkan proses pemberian tugas serta tanggung jawab kepada pegawai
yang menjalankannya.
b. Memudahkan proses pemahaman (penguasaan tugas) staff secara sistematis dan
general.
c. Menghindari error dalam proses kerja.
d. Mempermudah dan mengetahui terjadinya kegagalan, inefisiensi proses dalam
prosedur kerja, serta kemungkinan-kemungkinan terjadinya penyalahgunaan
kewenangan oleh pegawai yang menjalankan.
e. Memudahkan dalam hal monitoring dan menjalankan fungsi kontrol dari setiap
proses kerja.
f. Menghemat waktu dalam program training, karena dalam SOP tersusun secara
sistematis.
g. Sebagai pelindung hukum dari tindakan yang dilakukan aparatur.
3.

Kualitas SDM
SDM yang berkualitas harus memiliki kompetensi yang tepat untuk masingmasing deskripsi tugas yang dikerjakan. Kompetensi aparatur pelayanan dapat
terdiri dari:
a. Profesional, kompetensi terkait dengan pengetahuan dan keahlian.
b. Kompentensi komunikasi, karena dengan komunikasi yang baik maka bisa
menyampaikan pesan dengan baik dan tidak menimbulkan salah paham.
c. Integritas, dengan intergritas yang kuat akan mampu menghindari
penyalahgunaan wewenang dan tindakan korupsi.

4.

Kondisi Geografis
Tidak bisa dihindari dalam kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan dan
pembangunan yang belum merata maka terkadang menimbulkan permasalahan
penerapan peraturan yang biasanya dibuat dengan melihat kondisi pusat
pemerintah. Yang paling utama adalah akses komunikasi dan transportasi sehingga
terkadang menimbulkan biaya yang tinggi dan kurang tepatnya waktu
penyelesaian.

C. Kecepatan dalam Teori Pelayanan Publik


Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,
pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga
negara dan penduduk atas barang, jasa, dan / atau pelayanan administratif yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Dalam Undang-Undang tentang Pelayanan Publik diamanatkan bahwa setiap
Penyelenggara Pelayanan Publik wajib menyusun, menetapkan, dan menerapkan
Standar Pelayanan dengan mengikutsertakan masyarakat dan pihak terkait. Standar
Pelayanan dimaksud merupakan tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman

penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai


kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang
berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur. Penerapan Standar Pelayanan
dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk meminimalisir terjadinya penyimpangan
atau penurunan kinerja dalam penyelenggaraan pelayanan.
Dalam paragraf penjelasaannya tentang ketepatan waktu, penyelesaian setiap jenis
pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan. Standar pelayanan
adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan
dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara
kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah,
terjangkau, dan terukur. Kecepatan sangat berkaitan dengan waktu, suatu organisasi
harus memanage waktunya agar perusahaan dapat berjalan dengan efektif. Maka
menjadi kewajiban setiap instansi pemerintah untuk membuat suatu Standar
Operating Prosedur setiap jenis pelayanan dengan menetapkan batas waktu
penyelesaian layanan.
Dalam rangka mempermudah dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat
dapat dibentuk sistem pelayanan terpadu yang merupakan satu kesatuan pengelolaan
yang dilaksanakan dalam satu tempat dan dikontrol oleh sistem pengendalian
manajemen. Sistem pelayanan terpadu pada hakikatnya adalah menyederhanakan
mekanisme pelayanan sehingga kemanfaatannya benar-benar dirasakan oleh
masyarakat. Artinya, sistem ini diadakan bukan hanya karena adanya peraturan
perundang-undangan yang mewajibkan, tetapi lebih kepada seberapa jauh sistem
pelayanan terpadu tersebut dapat menghasilkan pelayanan yang lebih mudah,
sederhana, cepat, murah, dan tertib dalam administrasi pelayanan.
Merupakan bentuk komitmen mengenai kesanggupan dari pihak unit
penyelenggara untuk memberikan kepastian mengenai kualitas penyelenggaraan dan
produk layanan. Perlu dicermati dan diteliti apakah ada upaya atau kebijakan yang
telah dibuat, diciptakan, yang terkait dengan usaha untuk menjaga pelaksanaan
pelayanan dapat berjalan lancar, cepat, mudah, pasti, aman, dengan tidak
menimbulkan risiko bahaya, misalnya menciptakan rambu-rambu antrian,
menyiapkan sarana/fasilitas untuk keselamatan dan keamanan bagi pengguna
layanan. Bentuk penciptaan sarana/fasilitas tersebut perlu diteliti dan diidentifikasi,
termasuk, apakah sudah didukung standar teknis yang menjamin keamanan maupun
keselamatan pengguna layanan.
Kemajuan teknologi informasi juga merupakan solusi dalam memenuhi aspek
transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat. Keterpaduan sistem
penyelenggaraan pemerintahan melalui jaringan informasi on-line, perlu terus
dikembangkan terutama dalam penyelenggaraan pelayanan, sehingga memungkinkan
tersedianya data dan informasi pada Instansi Pemerintah yang dapat dianalisis dan
dimanfaatkan secara cepat, akurat dan aman. Hal ini juga merupakan bagian dari
wujud kecepatan pelayanan.
Dalam Pasal 37 ayat (1) UU Pelayanan Publik disebutkan bahwa penyelenggara
negara berkewajiban menyusun mekanisme pengelolaan pengaduan dari penerima
pelayanan dengan mengedepankan asas penyelesaian yang cepat dan tuntas.

Di sektor publik, Janji Perbaikan Pelayanan disebut dalam beragam istilah di


berbagai negara. Di Indonesia dalam banyak hal lebih sinonim dengan Services
Pledges seperti yang dimaksud oleh Dep. Hubungan Sosial dan Ekonomi PBB.
Sesuai dengan definisi PBB tersebut, yang dimaksud Janji Perbaikan Pelayanan
adalah kerangka menyeluruh, kombinasi dari Public Service Pledge, Citizen Charter,
Leadership Code and Code of Conduct. Pada tabel berikut diuraikan elemen masingmasing:

Hal yang menjadi fokus perhatian dalam Public Service Pledge adalah pelayanan
yang cepat. Implementasinya berhubungan dengan pihak eksternal. Penggunan atau
user adalah sasaran tembak yang dalam hal ini berada pada posisi stakeholder yang
harus diutamakan kualitas pelayanannya untuk reaksi yang cepat, efektif, efisien, dan
ramah.
D. Evaluasi Pelayanan Rawat Jalan pada BLUD RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes Kota
Kupang
Kepmenkes Nomor : 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit, mendefinisikan Standar Pelayanan Minimal sebagai ketentuan tentang
jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak
diperoleh setiap warga secara minimal. Juga merupakan spesifikasi teknis tentang
tolak ukur pelayanan minimum yang diberikan oleh Badan Layanan Umum kepada
masyarakat.
Berikut merupakan tabel Standar Pelayanan Minimum untuk pelayanan gawat
darurat, rawat jalan dan rawat inap:

Jenis
Pelayanan
Gawat Darurat

Rawat jalan

Rawat Inap

Indikator
Jam buka pelayanan
gawat darurat
waktu tanggap
pelayanan dokter di
gawat darurat
kepuasan pelanggan
Jam Buka Pelayanan

waktu tunggu rawat


jalan
kepuasan pelanggan
Jam Visite Dokter
Spesialis
kepuasan pelanggan

Standar
Kepmenkes
Pergub
129/Menkes/SK/II/2008
No.02 Tahun 2011
24 Jam
24 Jam
5 menit terlayani,
setelah pasien datang

5 menit terlayani,
setelah pasien datang

70%
08.00 s/d 13.00 setiap
hari kerja
kecuali jumat 08.00 s/d
11.00
60 menit

80%

90%
08.00 s/d 14.00 setiap
hari kerja
90%

80%
08.00 s/d 14.00
setiap hari kerja
80%

60 menit

Dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan di RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes


berdasarkan Laporan Hasil Pengamatan Pelayanan Publik pada RSUD Prof. DR.
W.Z. Johannes Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2012 diperoleh beberapa kondisi
sebagai berikut :
N
URAIAN
PERMASALAHAN
O
a.

Pelayanan di Unit
Gawat Darurat

1
2

Tidak tersedia Bagan Alur atas layanan yang diberikan


Jumlah dokter jaga berdasarkan jadwal sebanyak 2 orang,
namun realisasi di lapangan hanya sebanyak 1 orang
terutama pada waktu malam hari.
Terdapat pasien yang dirawat inap di UGD karena
menunggu memperoleh kamar /ruangan perawatan.
Terhadap pasien tersebut telah diperlakukan sebagai
pasien rawat inap selama pasien tersebut dirawat di UGD,
namun tidak memperoleh hak sebagai pasien rawat inap
seperti tidak makanan dan selimut
Terhadap pasien yang purna perawatan tidak diberikan
surat rujukan padahal kondisi pasien masih memerlulan
kontrol di poliklinik (rawat jalan). Pada waktu pasien
tersebut menjalani kontrol ke Poliklinik, saat mendaftar
ditolak karena tidak membawa surat rujukan. Kemudian
pasien tersebut meminta surat rujukan ke UGD namun
tidak diperoleh karena dokter yang merawat pada waktu
itu sedang tidak bertugas

b.

c.

Pelayanan Rawat
Jalan

Berdasarkan hasil pengamatan pelayanan rawat jalan, terdapat


kondisi sebagai berikut:
1 Tidak ada bagan alur mulai dari pendaftaran sampai
dengan purna layanan
2 Terjadi penumpukan antrian di loket pendaftaran terutama
pada jam dimana pasien yang telah memperoleh perawat
di poliklinik yang akan membayar di Bank NTT berbaur
dengan pasien yang antri di loket pendaftaran sehingga
terjadi crowded (sekitar jam sepuluh).
3 Terjadi penumpukan pasien di poli bedah sepanjang hari
secara terus menerus, hal ini terjadi karena lokasi antrian
pasien poli bedah berada di areal perlintasan, sehingga
banyak pasien yang antri disitu dan terjadi penumpukan
orang. Hal ini antara lain disebabkan sering ada tindakan
perawatan di poli bedah, sehingga kalau dokter sudah
menangani tindakan pasien yang hanya konsul tidak bisa
ditangani
4 Poli Konsultasi Gizi, selama pangamatan berlangsung
tidak pernah beroperasi karena jumlah tenaga ahlinya
terserap untuk melayani nutrisi pasien rawat inap (masuk
dalam Tim masak)
5 Terdapat informasi nomor telpon yang bisa dihubungi
berkaitan dengan pengaduan dari pasien, tetapi tidak ada
pos pengaduan baik di ruang pelayanan rawat jalan
maupun di ruang pendaftaran
6 Tesedia help desk atau bagian informasi yang bisa
mengarahkan pasien yang baru datang untuk memperolah
layanan rawat jalan, namun tidak diopersikan (tidak
pernah buka). Dari hasil pengamatan ada pasien yang
sudah menjalani antrian yang cukup lama di Poli namun
tidak segera dilayani. Setelah pasien tersebut menanyakan
kepada petugas di Poli ternyata pasien tersebut belum
mendaftar di loket pendaftaran. Dan untuk memdaftar di
loket pendaftran pasien tersebut harus antri lagi.
Pelayanan Rawat Inap Berdasarkan hasil pengamatan pelayanan rawat inap, terdapat
kondisi sebagai berikut:
1. Kartu tunggu untuk keluarga pasien tidak berjalan sesuai
dengan SOP
2. Jam Besuk tidak diterapkan, keluarga pasien dapat keluar
masuk kapan saja
3. Ruang tunggu untuk keluarga pasien rawat inap tidak ada
sehingga keluarga pasien terlantar
4. Pelayanan kurang ramah

a.

b.

c.

Dari Laporan Hasil Pengamatan Pelayanan Publik pada RSUD Prof. DR. W.Z. Johannes
Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2012 dapat kita evaluasi berdasarkan factor-faktor
yang mempengaruhi kecepatan dalam pemberian pelayanan antara lain :
Peraturan Perundang-undangan
Dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat RSUD Prof. DR. W.Z. Johannes
telah bersandar pada Kepmenkes Nomor : 129/Menkes/SK/II/2008 dan Pergub NTT
No.02 Tahun 2011. Dalam penetapan SPM Kepala daerah telah berperan dalam
menyusun dan mengesahkan Standar Pelayanan Minimal yang wajib diselenggarakan
Rumah Sakit, bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pelayanan rumah sakit
sesuai Standar Pelayanan Minimal.
Standar Operating Prosedur
RSUD Prof. DR. W.Z. Johannes telah membentuk SOP untuk pelaksanaan kegiatan
pelayanannya. Kondisi yang terjadi adalah kurangnya sosialisasi dari pihak rumah
sakit baik kepada staff pelaksananya maupun kepada masyarakat, sehingga pelayanan
yang seharusnya dapat berjalan dengan baik menjadi tidak efektif dan efisien. Staff
tidak dapat mengatasi kendala yang terjadi dalam pelayanan karena tidak mengetahui
secara menyeluruh SOP yang diterapkan. Hal ini menyebabkan tujuan SOP untuk
penguasaan tugas para staff, menghindari timbulnya error, mengantisipasi
timbulnya kegagalan serta fungsi monitoring menjadi tidak berjalan.
Sementara masyarakat tidak mengetahui kemana dan bagaimana prosedur untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan keluhan mereka. Efeknya akan
timbul inefisiensi waktu dalam pemberian pelayanan, dan yang patut menjadi
perhatian utama adalah masyarakat tidak memperoleh perlindungan hukum atas
tindakan yang tidak seharusnya dilakukan oleh pemberi pelayanan.
Kualitas SDM
Tidak adanya kontrol terhadap kinerja staff pelayanan, menyebabkan mekanisme
pelayanan dan efektifitas pelayan kepada masyarakat menjadi tidak terjamin. Hal
tersebut memicu terjadinya penurunan displin pegawai, kemungkinan timbulnya
pelanggaran ataupun kesalahan sangat tinggi, bahkan potensi terjadinya tindak
korupsi.
Theory of Constrain
A. Definisi Kecepatan Pelayanan
Theory Of Constraints (TOC) merupakan pendekatan ke arah peningkatan
proses yang berfokus pada elemen-elemen yang dibatasi untuk meningkatkan
output. TOC adalah suatu filosofi manajemen yang membantu sebuah perusahaan
dalam meningkatkan keuntungan dengan memaksimalkan produksinya dan
meminimalisasi semua ongkos atau biaya yang relevan seperti biaya simpan, biaya
langsung, biaya tidak langsung, dan biaya modal. Penerapan TOC lebih terfokus
pada pengelolaan operasi yang terpusat pada kendala yang muncul sebagai kunci

dalam meningkatkan kinerja sistem produksi yang nantinya dapat berpengaruh


terhadap profitabilitas secara keseluruhan.
Menurut Hansen dan Mowen, jenis kendala dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
1. Kendala internal (internal constraint) adalah faktor-faktor yang membatasi
perusahaan yang berasal dari dalam perusahaan, misalnya keterbatasan jam
mesin. Kendala internal harus dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan
throughput semaksimal mungkin tanpa meningkatkan persediaan dan biaya
operasional.
2. Kendala eksternal (external constraint) adalah faktor-faktor yang membatasi
perusahaan yang berasal dari luar perusahaan, misalnya permintaan pasar atau
kuantitas bahan baku yang tersedia dari pemasok. Kendala eksternal yang berupa
volume produk yang dapat dijual, dapat diatasi dengan menemukan pasar,
meningkatkan permintaan pasar ataupun dengan mengembangkan produk baru.
Berdasar sifatnya
1. Kendala mengikat (binding constraint) adalah kendala yang terdapat pada
sumber daya yang telah dimanfaatkan sepenuhnya.

2. Kendala tidak mengikat atau kendur (loose constraint) adalah kendala yang
terdapat pada sumber daya yang terbatas yang tidak dimanfaatkan sepenuhnya.
Selain itu Kaplan dan Atkinson menambahkan pengelompokan kendala dalam
tiga bagian yaitu:
1. Kendala sumberdaya (resource constraint). Kendala ini dapat berupa
kemampuan faktor input produksi seperti bahan baku, tenaga kerja dan jam
mesin.
2. Kendala pasar (market resource). Kendala yang merupakan tingkat minimal dan
maksimal dari penjualan yang mungkin selama dalam periode perencanaan.
3. Kendala keseimbangan (balanced constraint). Diidentifikasi sebagai produksi
dalam siklus produksi.
Theory of Constraint (TOC) mengakui bahwa kinerja setiap perusahaan dibatasi
oleh kendala-kendalanya, yang kemudian mengembangkan pendekatan kendala
untuk mendukung tujuan, yaitu kemajuan terus-menerus suatu perusahaan
(continious improvement). Teori ini memfokuskan diri pada tiga ukuran yaitu:
1. Throughput, adalah suatu ukuran dimana suatu perusahaan menghasilkan uang
melalui penjualan.

2. Persediaan, adalah semua dana yang dikeluarkan perusahaan untuk mengubah


bahan baku mentah melalui throughput. Bahan persediaan dalam TOC
merupakan semua aktiva yang dimiliki dan terrsedia secara potensial untuk
penjualan.
3. Biaya-biaya operasional, yang dikeluarkan perusahaan untuk mengubah
persediaan menjadi throughput. Biaya operasi ini terjadi untuk mendukung dan
mengoptimalkan throughput dalam kendala.
B. 5 (Lima) Langkah dalam TOC
Dalam mengimplementasikan ide-ide sebagai solusi dari suatu permasalahan,
Goldratt mengembangkan 5 (lima) langkah yang berurutan supaya proses perbaikan
lebih fokus dan berakibat lebih baik bagi sistem. Langkah-langkah tersebut adalah:
1. Identifikasi konstrain sistem (identifying the constraint). Mengidentifikasi bagian
system manakah yang paling lemah kemudian melihat kelemahanya apakah
kelemahan fisik atau kebijakan.
2. Eksploitasi konstrain (exploiting the constraint). Menentukan cara
menghilangkan atau mengelola constraint dengan biaya yang paling rendah.
3. Subordinasi sumber lainnya (subordinating the remaining resources). Setelah
menemukan konstrain dan telah diputuskan bagaimana mengelola konstrain
tersebut maka harus mengevaluasi apakah kostrain tersebut masih menjadi
kostrain pada performansi system atau tidak. Jika tidak maka akan menuju ke
langkah kelima, tetapi jika yam aka akan menuju ke langkah keempat.
4. Evaluasi konstrain (Elevating the constraint). Jika langkah ini dilakukan, maka
langkah kedua dan ketiga tidak berhasil menangani konstrain. Maka harus ada
perubahan besar dalam sistem, seperti reorganisasi, perbaikan modal, atau
modifikasi substansi system.
5. Mengulangi proses keseluruhan (repeating the process). Jika langkah ketiga dan
keempat telah berhasil dilakukan maka akan mengulangi lagi dari langkah
pertama. Proses ini akan berputar sebagai siklus. Tetap waspada bahwa suatu
solusi dapat menimbulkan konstrain baru perlu dilakukan.
Selain memperhatikan lima tahap penerapan TOC diatas, perlu diperhatikan
pula sepuluh prinsip dasar TOC. Kesepuluh prisnsip dasar tersebut adalah:
1. Seimbangkan aliran produksi, bukan kapasitas produksi. Diasumsikan
perusahaan memiliki kapasitas tidak seimbang dengan jumlah permintaan pasar
(demand) karena keseimbangan kapasitas menghambat pencapaian tujuan (goal)
perusahaan.

2. Tingkat utilitas non-bottleneck tidak ditentukan oleh potensi stasiun kerja


tersebut tetapi oleh stasiun kerja bottleneck atau sumber kritis lainnya. Hanya
stasiun kerja yang mengalami bottleneck yang perlu dijalankan dengan utilitas
100 %.
3. Aktivitas tidak selalu sama dengan utilitas. Menjalankan non-bottleneck dapat
mengakibatkan bertumpuknya work in process (buffer) dalam jumlah yang
berlebihan.
4. Satu jam kehilangan pada bottleneck merupakan satu jam kehilangan sistem
keseluruhan.
5. Satu jam penghematan pada non bottleneck merupakan suatu fatamorgana.
6. Bottleneck mempengaruhi throughput dan inventory.
7. Batch transfer tidak selalu sama jumlahnya dengan batch proses.
8. Batch proses sebaiknya tidak tetap (variabel).
9. Penjadwalan (kapasitas & prioritas) dilakukan dengan memperhatikan semua
kendala (constraint) yang ada secara simultan.
C. Penerapan Theory of Constraint
Penggunaan theory of constraint pada sektor publik bertujuan untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan efisiensi dalam pemberian layanan
publik. Dalam hal ini throughput contribution di sektor publik lebih berorientasi
pada kepuasan pelanggan atas pelayanan publik yang disediakan pemerintah. Dalam
paper ini akan dibahas tentang penerapan theory constraint terhadap pelayana rawat
jalan pada BLUD RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes Kota Kupang.
Dari bab kualitas pelayanan yang telah dipaparkan di atas dapat diuraikan
beberapa kendala-kendala (bottleneck) yang terjadi pada kegiatan pelayanan rawat
jalan dan Unit Gawat Darurat pada BLUD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes yaitu
sebagai berikut :
1. Minimnya pengalaman yang dimiliki tenaga dokter yang ada pada
RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes sehingga hal ini dapat mengurangi
kualitas pelayanan yang diberikan RSUD tersebut.
2. Belum tersedianya poli untuk pecandu NAPZA dan buruknya
kondisi kebersihan di UGD

3. Jadwal pelayanan poli rawat jalan yang sering molor dari ketentuan yang
ditetapkan sehingga menyebabkan penumpukan antrian
4. Tidak tersedianya bagan alur mulai dari pendaftaran hingga purna layanan yang
serta penerapan SOP yang berbelit-belit berdampak pada tidak efektif dan
lambatnya prosedur penanganann pasien serta lemahnya sistem pengendalian
pada antrian pasien.
5. Terbatasnya ruang yang ada yang antara lain menyebabkan poli bedah
merangkap pelayanan tindakan bedah ringan, tempat antrian yang sama antar
pasien yang berbeda penyakit sehingga beresiko terjadi penularan penyakit.
6. Layanan pengaduan tidak disertai dengan fasilitas kotak
pengaduan sehingga fungsi layanan pengaduan tidak berjalan
optimal. Fungsi help desk tidak diberdayakan secara optimal.
Langkah-langkah dalam theory of constraint yang dapat diadopsi dalam kasus
pelayanan rawat jalan dan Unit Gawat Darurat pada BLUD RSUD Prof. Dr. W. Z.
Johannes adalah sebagai berikut :
1. Recognition the constraint
Langkah pertama yang dilakukan adalah mengakui bahwa operasi bottleneck
menentukan throughput contribution dari sistem secara keseluruhan. Dalam
kasus pelayanan rawat jalan dan Unit Gawat Darurat pada BLUD RSUD Prof.
Dr. W. Z. Johannes terdapat dua jenis kendala yang harus diakui, yakni kendala
fisik dan kendala kebijakan.
Kendala fisik berkaitan dengan kapasitas pelayanan RSUD Prof. Dr. W. Z.
Johannes. Berdasarkan asumsi tersebut maka beberapa kendala dalam proses
pelayanan pelayanan rawat jalan dan Unit Gawat Darurat pada rumah sakit
tersebut adalah sebagai berikut :
a.Kendala eksternal, yakni jumlah pasien yang banyak sehingga dengan belum
memadainya sistem pengendalian terhadap jumlah antrian pasien
menyebabkan sering menumpuknya jumlah antrian yang secara langsung
berdampak negatif terhadap kualitas kinerja pelayanan rumah sakit tersebut.
b.
Kendala internal, dalam hal ini berkaitan dengan ketidaktersediaan bagan
alur pendaftaran dan purna layanan, penerapan SOP yang berbelit-belit,
terbatasnya ruang pelayanan pasien, kurangnya fasilitas kotak pengaduan,
pengalaman tenaga dokter muda yang masih sangat minim dalam melayani
pasien serta sering molornya jadwal pelayanan poli rawat jalan.

Kendala kebijakan berkaitan dengan praktik pelayanan yang belum sesuai


dengan Standard Operating Procedures yang telah ditetapkan. Contoh kendala
dengan kebijakan ini adalah :
a. Loose Constraint di mana kendala di mana sumber daya yang terbatas tidak
digunakan sepenuhnya untuk bauran produk (throughput contribution).
Ketidakdisiplinan pegawai dalam pelayanan menjadi salah satu kendala
misalnya terkait jadwal buka pelayanan rawat jalan yang sering molor.
b. Binding constraint di mana kendala terhadap sumber daya yang tersedia telah
dimanfaatkan sepenuhnya namun belum mampu memenuhi penumpukan
antrian pasien yang datang. Hal ini dikarenakan tidak adanya bagan alur dan
prosedur yang terarah dan efisien mulai dari pendaftaran hingga purna
layanan.
2. Exploiting the constraint
Langkah kedua dengan mengidentifikasikan operasi bottleneck dengan
menggali potensi operasi yang memiliki kuantitas persediaan besar namun
menunggu untuk dikerjakan. Tujuan dari langkah ini adalah untuk
mempertahankan operasi bottleneck dan nonbottleneck agar tetap sibuk. Dalam
hal ini, operasi bottleneck harus dieksploitasi agar bekerja maksimal dan terus
menerus sehingga persediaan tidak menunggu di bottleneck dan operasi
nonbottleneck pun dapat terus berjalan sesuai dengan kapasitas.
Dalam kasus rawat jalan dan Unit Gawat Darurat pada BLUD RSUD Prof.
Dr. W. Z. Johannes, operasi bottleneck yang terjadi di rumah sakit tersebur harus
didorong untuk bekerja secara maksimal agar antrian tidak kian panjang dan
lama. Bahkan pembuat kebijakan pun dapat mengambil beberapa keputusan
demi peningkatan kualitas pelayanan, seperti mengganti prosedur lama dan
berbelit-belit dengan menyediakan bagan alur atas layanan yang diberikan, dan
menertibkan antrian di setiap poli sesuai urutan kedatangan pasien sehingga
pelayanan dapat dilakukan lebih cepat. Selain itu, ketika pelayanan rawat jalan
dan Unit Gawat Darurat di rumah sakit tersebut dapat meningkat sesuai dengan
jumlah pasien yang datang setiap bulannya, kapasitas ruang poli yang ada pun
dapat dimaksimalkan.
3. Get Priority for Bottleneck
Dalam hal ini, operasi bottleneck harus menjadi prioritas dan operasi
bottleneck ini menentukan kecepatan dan kualitas semua operasi nonbottleneck
sehingga tindakan prioritas difokuskan untuk memperbaiki kendala pada operasi
bottleneck
Hal yang menjadi poin penting dalam peningkatan pelayanan rawat jalan dan
gawat darurat RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes adalah meningkatkan kapasitas
pelayanan pada rumah sakit tersebut sehingga dapat mengcover jumlah antrian

pasien yang datang setiap bulannya sehingga dapat meminimalisir penumpukan


antrian pasien di rumah sakit tersebut.
4. Repeating the Process
Dalam hal ini yang dilakukan adalah menghitung throughput contribution,
mengidentifikasi biaya yang relevan, dan tidak relevan, serta menyiapkan analisis
biaya-manfaat dari tindakan alternatif. Hal selanjutnya yang akan terjadi adalah
pengulangan proses. Jika langkah ketiga dilakukan secara terus menerus hingga
kapasitas pelayanan rawat jalan dan gawat darurat RSUD Prof. Dr. W. Z.
Johannes telah menghasilkan output kinerja yang maksimal sesuai dengan jumlah
pasien yang datang, tidak lagi berperan sebagai operasi bottleneck, dan tidak
menjadi kendala yang mengikat (binding constraint) maka operasi bottleneck
akan muncul dari proses pelayanan yang lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Theory of Constraint
dapat diterapkan sepenuhnya dalam sektor publik. TOC berfungsi untuk
meningkatkan kualitas pelayanan di instansi pemerintah dan menganalisis
kendala yang terjadi di dalamnya. Hanya saja, output dari sektor publik bukanlah
peningkatan laba melainkan perbaikan pelayanan dalam birokrasi serta efisiensi
dan efektifitas penggunaan sumber daya.
D. Saran Perbaikan
a. Menyediakan bagan alur serta SOP atas layanan yang diberikan,
b. Menunjukan transparansi atas besarnya tarif pelayanan yang diberikan,
c. Menyediakan kotak layanan pengaduan,
d. Menyediakan help desk atau bagian informasi yang bisa mengarahkan pasien
yang baru datang untuk memperoleh layanan rawat jalan,
e. Memisahkan antrian pasien yang mau mendaftar dengan pasien yang akan
membayar ke Bank NTT,
f. Menertibkan antrian di setiap poli sesuai urutan kedatangan pasien,
g. Menyediakan dan meningkatkan pengawasan atas dokter jaga,
h. Memberikan pendidikan dan pelatihan untuk menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para tenaga medisnya.
i. Pasien yang dirawat inap di UGD agar ke depannya diberikan pelayanan seperti
pasien rawat inap,
j. Lebih menjaga kebersihan di ruangan UGD, dan
k. Pasien yang purna perawatan agar diberikan surat rujukan.
l. Memperbaiki Kamar mandi/WC,
m. Mengoperasikan poli konsultasi gizi,
n. Mengoptimalkan pelayanan pada poli gigi.

You might also like