Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan
sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan
pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak
bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi masalah bagi
banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib
anak jalanan tampaknya belum begitu besar. Padahal mereka adalah saudara kita.
Mereka adalah amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga
tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa
depan cerah.
Hidup menjadi anak jalanan bukanlah pilihan hidup yang diinginkan oleh
siapapun. melainkan keterpaksaan yang harus mereka terima karena adanya sebab
tertentu. Anak jalanan bagaimanapun telah menjadi fenomena yang menuntut
perhatian kita semua. Secara psikologis mereka adalah anak-anak yang pada taraf
tertentu belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada
saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan
cenderung berpengaruh negatif bagi perkembangan dan pembentukan
kepribadiannya. Aspek psikologis ini berdampak kuat pada aspek sosial. Di mana
labilitas emosi dan mental mereka yang ditunjang dengan penampilan yang kumuh,
melahirkan pencitraan negatif oleh sebagian besar masyarakat terhadap anak jalanan
yang diidentikan dengan pembuat onar, anak-anak kumuh, suka mencuri, sampah
masyarakat yang harus diasingkan. Pada taraf tertentu stigma masyarakat yang
seperti ini justru akan memicu perasaan alienatif mereka yang pada gilirannya akan
melahirkan kepribadian introvet, cenderung sukar mengendalikan diri dan asosial.
Padahal tak dapat dipungkiri bahwa mereka adalah generasi penerus bangsa untuk
masa mendatang.
Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan
meminta-minta dimuka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mendapatkan
belas kasihan dari orang lain. Keberadaan anak jalanan tampak telah menjadi
fenomena di kota-kota besar Indonesia. Fenomena ini, selain dampak dari derasnya
2
PEMBAHASAN
A. KAJIAN PUSTAKA
a. Pengertian Anak
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan No.1/1974 pasal 47 (1)
dikatakan bahwa anak adalah: seseorang yang belum mencapai umur 18 tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan, ada dibawah kekuasaan
orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Dalam UndangUndang No.4 tahun 1974 tentang kesejahteraan anak disebutkan anak adalah
seorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah menikah.
Di dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(UUPA), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak
juga yang masih dalam kandungan (UNICEF, 2003 : 23). Di dalam Keputusan
Presiden No.36 Tahun 1990 tentang hak-hak anak dinyatakan, anak-anak seperti
juga halnya dengan orang dewasa memiliki hak dasar sebagai manusia. Akan
4
b. Anak Jalanan
Pengertian anak jalanan adalah anak-anak berusia dibawah 18 tahun,
sebagian besar waktunya dihabiskan di tempa-tempat umum untuk mencari
nafkah atau berkeliaran, penampilan mereka biasanya kumal, kotor serta tidak
terawat dan memiliki hubungan yang kurang dekat dengan keluarga (Depsos,
2006 dan Garliah, 2004).
Anak jalanan memiliki karakteristik sosial seperti warna kulit yang
kusam, penampilan yang tidak rapih serta kotor, jumlah anak jalanan lebih
banyak laki-laki pada usia 16 sampai 18 tahun dan pada perempuan pada usia 13
sampai 15 tahun, berada ditempat-tempat keramaian dan banyak makanan, sangat
rentan mengalami tindak kekerasan dari lingkungan bekerja, berasal dari keluarga
yang kurang mampu dengan pendidikan kepala keluarga hanya sampai SD,
memiliki hubungan yang kurang baik dengan keluarga, orang tua bukan
merupakan orang terdekat bagi anak jalanan, dan penyebab terjadinya anak
jalanan dapat dibedakan menjadi tiga tipe berdasarkan faktor ekonomi, keluarga,
dan iseng (Sutinah, 2001; Garliah, 2004; Handoyo, 2004; Depsos, 2006 dan
Suhartini, 2008).
Selain karakteristik sosial, anak jalanan juga memiliki krakteristik
ekonomi yang dapat dilihat dari lokasi bekerja, aktivitas yang dilakukan, kondisi
ekonomi keluarga, dan modal untuk melakukan pekerjaan. Lokasi bekerja anak
jalanan biasanya berada di pasar, terminal bus, stasiun kereta api, taman-taman
kota, daerah lokalisasi WTS, perempatan jalanan atau jalan raya terutama daerah
lampu merah (traffic light), di kendaraan umum, dan tempat pembuangan sampah
(Depsos, 2006 dan Sutinah, 2001).
Aktivitas yang mereka lakukan biasanya hanya membutuhkan sedikit
keterampilan dan tidak membutuhkan banyak tenaga seperti, menyemir sepatu,
mengasong, menjual koran atau majalah, mencuci kendaraan, menjadi pemulung,
5
mengamen, menjadi kuli angkut, menjadi penghubung atau penjual jasa, bersihbersih makam, pekerja seks, pencari kerang (di pantai), dan ojek payung (Depsos,
2006 dan Sutinah, 2001).
Defenisi anak jalanan terus meluas. Dari anak-anak yang baik siang dan
malamnya berada dijalanan, hingga anak-anak yang sebagian besar waktunya ada
di jalan, tetapi malamnya beristirahat di rumah. Departemen Sosial Republik
Indonesia mendefenisikan, anak jalanan adalah anak yang sebagian besar
menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan dan di
tempat-tempat umum lainnya.
Anak jalanan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Berusia antara 5-18 tahun.
2. Melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan.
3. Penampilannya kebanyakan kusam.
4. Pakaiannya tidak terurus.
5. Dan mobilitasnya tinggi (high risk).
Saat ini ada dua macam kategori anak jalanan yang umum dibinakan oleh
berbagai lembaga yang berinteraksi langsung maupun tidak langsung dengan
anak jalanan. Pertama, anak yang bekerja atau mencari uang di jalanan tetapi
masih pulang kerumah dan masih berhubungan dengan orangtuanya. Kedua, anak
yang seluruh waktunya dihabiskan di jalanan untuk bertahan hidup, serta tidak
pernah berhubungan dengan orangtuanya.
Seseorang bisa dikatakan anak jalanan bila berumur dibawah 18 tahun
dan menggunakan jalan sebagai tempat mencari nafkah dan berada dijalan lebih
dari 6 jam sehari. Ada beberapa tipe anak jalanan:
1. Anak jalanan yang masih memiliki orang tua dan tinggal dengan orang tua.
2. Anak jalanan yang masih memiliki orang tua tapi tidak tinggal dengan orang
tua.
3. Anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua tapi tinggal dengan
6
keluarga.
4. Anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua dan tidak tinggal dengan
keluarga.
c. Konsep Kemiskinan
Ada beberapa konsep kemiskinan yang antara lain sebagai berikut:
a.Menurut John Friedman, kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk
mengakumulasikan basis kekuasaan sosial, meliputi modal yang produktif,
sumber keuangan, organisasi sosial dan politik (Kemiskinan tidak hanya
berkaitan dengan aspek sosial saja, tapi juga aspek natural material).
b. Menurut Wolf Scott, kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi
pendapatan (Dalam jumlah uang) ditambah dengan keuntungan non-material
yang diterima seseorang, cukup tidaknya memiliki aset seperti tanah, rumah,
uang,emas dan lain-lain dimana kemiskinan non-material yang meliputi
kekebebasan hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
c.Menurut Bank Dunia, bahwa aspek kemiskinan yaitu pendapatan yang rendah,
kekurangan gizi atau keadaan kesehatan yang buruk serta pendidikan yang
rendah. ( http://anthoine.multiply.com/journal/item/387)
Sedangkan menurut Roesmidi dan Riza Risyanti (2006) mengutip
pendapat Sunyoto Usman (2004 : 125-136) ada tiga macam konsep kemiskinan;
yaitu:
a. Kemiskinan absolut; dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang
kongkret (afixed yard stick). Ukuran itu lazimnya berorientasi pada
Kebutuhan hidup dasar minimum anggota masyarakat seperti sandang,
pangan dan papan. Masing-masing negara mempunyai batasan kemiskinan
absolut yang berbeda-beda sebab kebutuhan hidup dasar masyarakat yang
dipergunakan sebagai acuan memang berlainan. Karena ukurannya yang
dipakai sudah pasti, konsep ini mengenal garis batas kemiskinan. Pernah ada
gagasan yang ingin memasukkan unsur kebutuhan dasar kultur (basic
cultural needs) seperti pendidikan, keamanan, kesehatan dan sebagainya
7
tentang penyebab atau latar belakang yang melahirkan fenomena anak jalanan
tersebut dapat dilihat bahwa penyebab utamanya bersumber dari keluarga.
B. LANDASAN TEORI
Penelitian Anak Sekolah dan Pengemis Tantangan dan Harapan
Dalam Pendidikan ini menggunakan paradigma positifistik yang di kemukakan
oleh B.F. Skinner, melalui teori Operant Conditioning-nya membawa pengaruh
yang sangat besar memahami perilaku-perilaku individu dalam konteks
lingkungannya. Menurut Skinner, Perilaku tersebut terbentuk oleh konsekuensi
yang dimunculkan oleh perilaku itu sendiri. perilaku muncul sebagai akibat
adanya hubungan antara perangsang dan respons.
Asumsi teori
1. Pembelajaran adalah perubahan perilaku.
2. Perubahan perilaku atau pembelajaran secara fungsional berkaitan dengan
perubahan dalam peristiwa-peristiwa atau kondisi-kondisi lingkungan.
3. Hubungan hukum-hukum antara perilaku dan lingkungan dapat ditentukan hanya
jika properti perilaku dan kondisi-kondisi eksperimental didefinisikan dalam
istilah-istilah fisik serta dapat diamati dalam kondisi-kondisi yang
terkontrol.
4. Data dari dari studi eksperimen atas perilaku adalah satu-satunya sumber
informasi yang dapat diterima tentang penyebab munculnya perilaku tertentu.
5. Perilaku organisme individual adalah sumber data yang tepat.
6. Dinamika interaksi organisme dengan lingkungannya adalah berlaku sama
untuk semua spesies.
Beberapa literatur yang berkaitan dengan tema penelitian ini adalah buku
Five Families, Mexican Case Studies in the Culture of Poverty, karya Oscar Lewis
(1959). Buku ini adalah salah satu hasil penelitian yang dilakukan tentang
10
luas. Munculnya keadaan ini adalah sebagai reaksi terhadap kurangnya sumbersumber ekonomi, ketakutan dan kepercayaan pada orang lain, upah yang rendah,
dan pengangguran. Kondisi ini akan mengurangi kemungkinan individu/kelompok
untuk berpartisipasi secara efektif dalam situasi ekonomi yang lebih besar.
Akibatnya adalah masyarakat yang terpinggirkan, merasa tidak punya peran sosial
dan kehilangan kepekaan solidaritas sosial, yang mengakibatkan sikap eksklusif
individualis. Menurut
Thelma Mendoza (1981:4-5), ada beberapa faktor yang menyebabkan
seseorang tidak dapat berfungsi sosial yaitu:
a. Personal in adequacies of some times pathologies which may make it
sosial, kultural,
keindahan kota, dan menjadi pusat tindak kejahatan. Oleh para peneliti
PEMNAHASAN
Dari dialog dia atas maka dapat disimpulkan bahwa anak tersebut harus
melakukan pekerjaan ini supaya pengemis tersebut mendapat makanan, uang
jajan dan uang sekolah di lain sisi anak tersenut ditekan oleh orang tunanya
untuk mencari uang sendiri kalau tidan mencari uang sendiri pengemis tersebut
tidak mendapat makanan untuk bisa bertahan. Tekanan dari dalam keluarga yang
sangat terlihat jelas disebabkan orang tua harus memaksa anak tesebut untuk
melakoni pekerjaan tersebut. Anak tersebut harus mengikuti perintah orang tua
untuk mencari uang demi kelangsungan hidup ini, dan ketika anak tersebut
membangkan orang tuanya maka anak tersebut tidak diberi makan atau tidak
diberi uang jajan dan uang sekolah.
Banyak faktor yang mempengaruhi atau melatar belakangi timbulnya
pengemis dijalanan salah satunya adalah faktor ekonomi, tidak lepas juga faktor
lingkungan masyarakat dan keluarga juga dapat berpengaruh atas timbulnya
pengemis dibawah umur tersebut.
Walaupun pengemis dibawah umur tersebut merasa senang karena dapat
membantu perekonomian keluarga tetapi terkadang mereka juga merasakan
kesedihan selama menjadi pengemis. Perlakuan kasar juga sering mereka terima
seperti kekerasan fisik dan psikis yang tidak manusiawi.
Walaupun keberadaan mereka sangat menganggu keindahan kota, tetapi
mereka juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena peran berbagai pihak disini
juga sangat berpengaruh. Peran pemerintah sangatlah penting untuk
menyejahterakan rakyat yang keadaan ekonominya rendah. Masyarakat juga
harus ikut berpartisipasi dalam membantu pemerintah mewujudkan kota yang
bersih dan indah. Peran sekolah juga sangat diperlukan untuk membimbing anak
didiknya agar dapat menjadi anak-anak yang sesuai dengan fungsinya atau sesuai
dengan tugas perkembangannya. Disini peran orangtualah yang utama. Orangtua
harus mampu mendidik dan mengarahkan anaknya agar tidak melakukan
kegiatan atau perbuatan yang seharusnya tidak mereka lakukan diusianya yang
masih belia. Orangtua harus selalu mengawasi anaknya dan selalu mengontrol
apa saja yang dilakukan oleh anak diluar jam sekolah mereka.
B. Duka Anak yang Menjadi Pengemis di jalan Ketintang
14
Pengemis : Sukanya ya saya bisa dapat uang sendiri untuk tambahan uang jajan
dan tambahan uang sekolah, dukanya kadang dimarahi pengunjung
warung.
Saya : Apakah kamu mempunyai keinginan untuk berhenti mengemis?
Pengemis : Iya saya ingin berhenti mengemis, tapi kalau saya berhenti
mengemis saya tidak mempunyai uang untuk jajan dan tambahan uang
sekolah .
Saya : Apakah semua pengunjung yang pernah kamu datangi semuanya dapat
bersikap baik sama kamu?
Pengemis : Tidak, kadang ada yang baik langsung memberi, kadang juga ada
yang memarahi kami.
Berdasarkan dialog di atas dapat disimpulkan bahwa anak-anak yang
menjadi pengemis di jalan raya Ketintang sering kali mengalami beban psikis dan
fisik yang seharusnya tidak mereka terima apalagi di usianya yang masih anakanak. Keinginan anak untuk tidak melakoni pekerjaan ini sangat bersar tetapi anak
tersebut harus menerima konsekwesi yang sangat yaitu tidak di beri uang jajan dan
uang sekolah. Begitu banyak tekanan yang di terimah oleh anak tersebut daik dari
kalangan lingkungan keluarga maupun lingkungan di luar sana.
C. Upaya Mengatasi Pengemis yang Masih Dibawah Umur
15
Pemerintah
Pemerintah dapat memberikan penyuluhan kepada anak-anak yang mengemis
tentang dampak menjadi pengemis, dan tentang menfaat ketrampilan bagi
masa depan anak.
b.
c.
a.
Sekolah
Dari pihak sekolah harus membimbing anak didik yang bersangkutan agar
tidak menjadi pengemis lagi.
b.
Sekolah dapat memberi ketrampilan yang mudah dipelajari oleh anak supaya
anak dapat mengembangkan ketrampilannya sesuai dengan kemampuan yang
telah dimiliki, misalnya ketrampilan memanfaatkan barang bekas.
c.
d.
Supaya anak tidak mengemis lagi sekolah dapat memberikan arahan agar
waktu yang digunakan untuk mengemis tersebut dapat digunakan untuk
belajar.
3.
a.
Masyarakat
Masyarakat harus dapat bekerja sama dengan pemerintah dan sekolah untuk
membantu anak-anak agar tidak mengemis lagi.
b.
mau ikut terjun menekuni ketrampilan yang sama seperti yang diberikan
kepada anak-anak pengemis.
c.
a.
Orangtua
Orangtua juga harus mau mendukung program sekolah dan pemerintah
maupun memberi dorongan kepada anak-anaknya untuk berkarya dan
meninggalkan kegiatan sebagai pengemis.
b.
c.
d.
Orangtua harus mendorong dan mengarahkan anak agar tidak turun kejalanan
lagi.
D. Faktor Internal
Faktor internal dan keluarga yang dimaksudkan dalah suatu keadaan di
dalam diri individu dan keluarga Gepeng yang mendorong mereka untuk
melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis. Faktor-faktor tersebut
diuraikan secara ringkas berikut ini.
1. Mengemis Sebagai Bentuk Kebudayaan Kemiskinan
Bagi pengemis anak, kegiatan mengemis merupakan suatu cara atau
reaksi untuk menyesuaikan diri di lingkungan perkotaan yang penuh dengan
kemewahan. Kegiatan mengemis yang cenderung mudah dan cepat
menghasilkan uang dinilai sebagai cara penyesuaian diri yang efektif, karena
dengan mengemis anak dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan dan
tuntutan gaya hidup di perkotaan . Terpenuhinya kebutuhan dan tuntutan gaya
hidup dengan mudah dan cepat melalui kegiatan mengemis menjadikan
pengemis
Hasil penelitian, pengemis anak, kegiatan mengemis juga merupakan suatu
17
kegiatan untuk membantu orang tua, karena pengemis anak merasa bahwa
penghasilan orang tua mereka yang tidak dapat mencukupi kebutuhan sehingga
pengemis anak pun akhirnya melakukan kegiatan mengemis. Dari data yang
diperoleh, penghasilan pengemis anak di Jalan Ketintang, cukup menguntungkan.
Hasil mengemis yang diperoleh digunakan untuk mencukupi kebutuhan seperti
biaya makan, uang saku sekolah, dan uang jajan.
Pengemis anak dapat beraksi dengan bebas di sekitar pasar terutama di area
PKL semua kegiatan dan perilaku yang dilakukan, memiliki dampak tersendri bagi
pelakunya. Begitu pula dengan kegiatan mengemis yang dilakukan oleh anak-anak
yang dapat menimbulkan dampak tersendiri bagi mereka. Dampak negatif kegiatan
mengemis yang dilakukan oleh anak-anak antara lain yaitu dapat menyebabkan
rasa minder di hadapan teman-teman sekolahnya dan mengemis dapat menjadikan
pengemis anak ketagihan. Sedangkan dampak positif mengemis adalah pengemis
anak mampu menyisihkan uang/menabung dan pengemis anak dapat memenuhi
kebutuhan.
2. Ijin Orang Tua
Seluruh anak-anak yang melakukan kegiatan menggelandang dan
mengemis yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka telah mendapat ijin dari
orang tuanya dan bahkan disuruh oleh orang tuanya. Melalui wawancara dengan
beberapa pengemis, alasan tersebut di atas juga dibenarkan mengingat kondisi
sosial ekonomi orang tua anak-anak yang menjadi pengemis digolongkas sebagai
kaum proletar. Sehingga pada pulang sekolah, mereka terpaksa membiarkan
anaknya dan menyuruh anaknya untuk ikut mencari penghasilan guna membantu
memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
3. Sikap Mental
Kondisi ini terjadi karena di pikiran para pengemis muncul kecendrungan
bahwa pekerjaan yang dilakukannya tersebut adalah sesuatu yang biasa-biasa saja,
selayaknya pengemis lain yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan. Selain
itu, pekerjaan yang dilakoninya halal daripada mencuri (Raisa).
18
Mental yang selalu tabah dan sabar membuat anak-anak tetap semangat
mencari uang buat tambahan uang sekolah dan membantu orang tua mereka. Dari
hasil wawancara dengan pengemis di lapangan sebagai berikut:
Saya
Pengemis : Biasa jasa, karena guru sudah tauh bahwa saya orang miskin jadi
saya harus mengemis biar tambah uang jajan aku dan uang
sekolah.
Saya
19
Simpulan
Yang menjadikan anak dibawah umur menjadi pengemis adalah karena
adanya faktor ekonomi, lingkungan dan orangtua. Sebagian besar dari mereka
menjadi pengemis sudah dimulai dari mereka masih duduk dibangku kelas 1 SD.
Mereka melakukan kegiatan tersebut untuk mengisi waktu luang dimalam hari
dan untuk bermain-main sambil mencari uang.
Disamping mereka bisa mendapatkan uang sendiri dan dapat membantu
kedua orangtuanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, mereka juga
merasakan duka yang cukup mendalam selama menjadi pengemis. Mereka sering
menerima perlakuan yang bersifat kekerasan fisik maupun psikis dari para
pengunjung.
Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi melonjaknya jumlah
pengemis yang berkeliaran dijalanan. Adanya kerja sama dari pihak pemerintah,
sekolah, masyarakat, dan orangtua sangat diperlukan demi mengurangi jumlah
pengemis dibawah umur.
Operant Conditioning-nya membawa pengaruh yang sangat besar
memahami perilaku-perilaku individu dalam konteks lingkungannya. Menurut
Skinner, Perilaku tersebut terbentuk oleh konsekuensi yang dimunculkan oleh
21
perilaku itu sendiri. perilaku muncul sebagai akibat adanya hubungan antara
perangsang dan respons.
DAFTAR PUSTAKA
Isti Rochatun / Unnes Civic Education Journal 1 (1) (2012
Dewi, R.A. 2008. Bentuk Eksploitasi Terhadap Anak Jalanan. Kompas. Malang 23 Juli
2009
Lexy, Moleong. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Rosdalina. 2007. Aspek Keperdataan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Jalanan.
Jurnal Anak Jalanan. 4 (1):71-72
Suyanto, Bagong. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana
Isti Rochatun,Suprayogi, dan Hamonangan Sigalingging. 2012. Eksploitasi Anak Jalanan
Sebagai Pengemis Di Kawasan Simpang Lima Semarang http://journal.unnes.
ac.id/sju/index.php/ucej
Alan Gilbert & Joseph Gugler (terj. Anshori Juanda), Urbanisasi dan Kemiskinan di
Dunia Ketiga (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), 14.
Hanindita, Wiyono, Nurhadi. 1994. Anak-anak Jalanan dalam Warta Demografi Tahun
ke 24. Jakarta: Universitas Indonesia
OLEH:
Hendrison Baulu
147885010
23
24