You are on page 1of 8

TINEA CAPITIS

A. DEFINISI
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh spesies
dermatofita yaitu Microsporum dan Trichophyton.
B. ETIOLOGI
Jenis jamur yang dapat menyebabkan terjadinya tinea kapitis antara lain adalah T. verrucosum, T.
mentagrophytes var. equinum, M. Nanum, M. Distortum, M. audouinii, M. ferrugineum, T.
schoenleinii, T. Rubrum, T. Megninii, T. soudanense, T. Yaoundei. Akan tetapi jenis jamur yang
paling sering menyebabkan tinea kapitis di dunia adalah jamur dengan species Microsporum
canis, sementara di Amerika Serikat jenis T. Tonsurans menduduki peringkat teratas dan diikuti
oleh M. Canis.
C. EPIDEMIOLOGI
Insidensi dari tinea kapitis sering dijumpai pada anak-anak dengan umur 3-14 tahun dan jarang
ditemukan pada orang dewasa. Kemungkinan untuk terinfeksi jamur penyebab tinea kapitis
meninggi ketika kebersihan pribadi buruk, berada pada lingkungan yang padat serta status sosial
ekonomi yang rendah. Dermatofita penyebab tinea kapitis juga ditemukan di barang-barang
pribadi penderita seperti sisir, handuk, sarung bantal dan sebagainya.
D. PATOGENESIS
Tinea kapitis disebabkan oleh spesies dermatofita terutama oleh oleh Trichophyton
tonsurans atau Microsporum canis yang umumnya terjadi pada anak-anak menjelang pubertas. .
Dermatofita sendiri merupakan golongan jamur yang dapat mencerna keratin kulit karena
mempunyai daya tarik terhadap keratin (keratinofilik) sehingga dapat menyerang kulit dari
stratum korneum sampai dengan stratum basalis. Cara penularan penyakit ini dapat melalui
kontak langsung dengan jamur,

benda-benda yang sudah terkontaminasi, ataupun kontak

langsung dengan penderita. Pada umumnya T. tonsurans biasanya ditularkan melalui kontak
langsung dari anak ke anak, sedangkan M.canis biasanya ditularkan dari kucing atau anjing ke
anak-anak. Infeksi oleh dermatofita dapat menyebabkan berbagai jenis kelainan kulit yang mana
hal ini tergantung oleh beberapa faktor antara lain :
1. Faktor virulensi dari dermatofita tersebut yang tergantung pada afinitas jamur (antrofilik,
zoofilik, dan geofilik). Jamur antrofilik umumnya menyerang pada manusia kerena manusia
merupakan hospes tetapnya. Jamur zoofilik umumnya menyerang pada hewan, sedangkan
geofilik biasanya menyerang pada manusia yang bersifat akut dan mudah sembuh.

2. Faktor trauma yakni ada tidaknya lesi pada kulit kepala. Kulit yang utuh / tanpa lesi umum
lebih susah terserang oleh jamur.
3. Faktor suhu dan kelembaban. Kulit kepala yang cenderung lembab biasanya mudah terserang
jamur.
4. Higienitas individu
5. Faktor usia dimana tinea kapitis ini lebih sering menyerang pada anak-anak sampai usia
prapubertas.
E. PATOFISIOLOGIS
Dari inokulasi didapatkan hifa jamur berbentuk sentrifugal di stratum korneum dan tumbuh
mengikuti dinding keratin folikel rambut. Zona yang terlibat terlibat meluas hingga ke atas
mengikuti arah pertumbuhan rambut dan dapat diamati di atas permukaan kulit kepala pada hari
ke 12-14. Rambut yang terinfeksi menjadi rapuh dan pada minggu ke-3 menjadi mudah patah.
Jika infeksi berlangsung terus menerus kira-kira 8 hingga 10 minggu maka akan menyebar ke
bagian stratum korneum rambut lainnya dimana diameter area yang terinfeksi mencapai 3,5
hingga 7 cm.
F. GAMBARAN KLINIS

1. Grey patch ringworm.


Grey patch ringworm merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh genus
Microsporum dan sering ditemukan pada anak anak. Penyakit mulai dengan papul
merah yang kecil di sekitar rambut. Papul ini melebar dan membentuk bercak yang
menjadi pucat dan bersisik. Keluhan penderita adalah rasa gatal. Warna rambut menjadi
abu abu dan tidak berkilat lagi. Rambut mudah patah dan terlepas dari akarnya,
sehingga mudah dicabut dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di daerah tersebut
terserang oleh jamur, sehingga dapat terbentuk alopesia setempat.
Tempat tempat ini terlihat sebagai grey patch. Grey patch yang di lihat dalam klinik
tidak menunjukkan batas batas daerah sakit dengan pasti. Pada pemeriksaan dengan
lampu wood dapat di lihat flouresensi hijau kekuningan pada rambut yang sakit
melampaui batas batas grey tersebut. Pada kasus kasus tanpa keluahan pemeriksaan
dengan lampu wood ini banyak membantu diagnosis. Tinea kapitis yang disebabkan oleh

Microsporum audouinii biasanya disertai tanda peradangan ringan, hanya sekali sekali
dapat terbentuk kerion.
2. Kerion
Kerion adalah reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa pembengkakan
yang menyerupai sarang lebah dengan serbukan sel radang yang padat disekitarnya. Bila
penyebabnya Microsporum caniis dan Microsporum gypseum, pembentukan kerion ini
lebih sering dilihat, agak kurang bila penyebabnya adalah Trichophyto violaceum.
Kelainan ini dapat menimbulkan jaringan parut dan berakibat alopesia yang menetap,
parut yang menonjol kadang kadang dapat terbentuk.
3. Black dot ringworm
Black dot ringworm terutama disebabkan oleh Trichophyton tonsurans dan Trichophyton
violaceum. Pada permulaan penyakit, gambaran klinisnya menyerupai kelainan yang di
sebabkan oleh genus Microsporum. Rambut yang terkena infeksi patah, tepat pada
rambut yang penuh spora. Ujung rambut yang hitam di dalam folikel rambut ini memberi
gambaran khas, yaitu black dot, Ujung rambut yang patah kalau tumbuh kadang kadang
masuk ke bawah permukaan kulit.
Dalam hal ini perlu dilakukan irisan kulit untuk mendapatkan bahan biakan jamur. Tinea
kapitis juga akan menunjukkan reaksi peradangan yang lebih berat, bila disebabkan oleh
Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyton verrucosum, yang keduanya bersifat
zoofilik. Trichophyton rubrum sangat jarang menyebabkan tinea kapitis, walaupun
demikian bentuk klinis granuloma, kerion , alopesia dan black dot yang disebabkan
Trichophyton rubrum pernah di tulis .

G. DIAGNOSIS

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan dengan lampu wood dan
pemeriksaan mikroskopik rambut langsung dengan KOH. Pada pemeriksaan mikroskopik
akan terlihat spora di luar rambut ( ektotriks ) atau di dalam rambut ( endotriks ).

Diagnosis laboratorium dari dermatofitosis tergantung pada pemeriksaan dan kultur dari
kikisan lesi. Infeksi pada rambut ditandai dengan kerusakan yang ditemukan pada
pemeriksaan. Lesi dapat dilepaskan dengan forsep tanpa disertai dengan trauma atau
dikumpulkan dengan potongan potongan yang halus dengan ayakan halus atau sikat
gigi.
Sampel rambut terpilih di kultur atau dilembutkan dalam 10 20 % potassium hydroxide
( KOH ) sebelum pemeriksaan di bawah mikroskop. Pemeriksaan dengan preparat KOH (
KOH mount ) selalu menghasilkan diagnosa yang tepat adanya infeksi tinea.
Pada pemeriksaan lampu wood didapatlkan infeksi rambut oleh M. canis, M.ferrugineum,
akan memberikan flouresensi cahaya hijau terang hingga kuning kehijauan. Infeksi
rambut oleh T. schoeiileinii akan terlihat warna hijau pudar atau biru keputihan, dan hifa
didapatkan di dalam batang rambut. Pada rambut sapi T. verrucosum memperlihatkan
fluoresensi hijau tetapi pada manusia tidak berfluoresens
Ketika diagnosa ringworm dalam pertimbangan, kulit kepala diperiksa di bawah lampu
wood. Jika fluoresensi rambut yang terinfeksi biasa, pemeriksaan mikroskopik cahaya
dan kultur. Infeksi yang disebabkan oleh spesies microsporum memberikan fluoresensi
warna hijau.

H. TERAPI

Pada dasarnya penatalakasanaan tinea kapitis bisa dilakukan melalui 4 tahapan, yaitu
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Penyuluhan kepada masyarakat berkaitan
dengan pengetahuan tentang tinea kapitis sebenarnya merupakan langkah awal dalam
mengurangi jumlah insidensi penyakit ini. Pengetahuan-pengetahuan yang diberikan bisa
menyangkut tentang definisi, epidemiologi, penyebab, faktor-faktor yang mempengaruhi,
gejala singkat penyakit, penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit tersebut. Hal-hal
diatas merupakan langkah awal dalam menanggulangi penyakit tersebut.
Disamping upaya promotif, upaya preventif juga harus dilakukan. Faktor kebersihan yang
buruk, kontak langsung dengan binatang peliharaan seperti anjing atau kucing,

lingkungan kotor dan panas, serta udara yang lembab juga berperan dalam penularan
penyakit ini.Untuk itu pencegahan akan faktor-faktor yang berperan dalam penularan
penyakit tersebut sangat penting dilakukan, untuk meminimalisir dan mengurangi
penularan penyakit tersebut.
Untuk upaya pengobatan (kuratif) tinea kapitis sebenarnya menitikberatkan pada
pengobatan mycological dengan meminimalisir efek samping dan penyebaran sistemik
penyakit. Pengobatan tinea kapitis adalah dengan pemberian antifungi oral sebagai
pengobatan utama dan pemberian pengobatan topikal sebagai pengobatan kedua. Untuk
pengobatan oral, sering dipakai obat antifungi oral, griseofulvin. Griseofulvin merupakan
pilihan utama (first line) pengobatan penyakit ini. Griseofulvin merupakan obat
fungistatic yang menghambat sintesis asam nukleat, metafase sel, pembentukan sintesis
dinding sel jamur dan juga merupakan anti inflamasi. Dosis pemberian obat untuk anakanak adalah 10 mg/kg/hari dan dapat ditingkatkan sampai 25 mg/kg/hari. Pemberian obat
antifungi oral dengan dosis tinggi atau jangka panjang tidak dianjurkan, karena akan
memberikan efek resisten fungi terhadap obat tersebut. Sebelumnya tinea kapitis sering
menunjukkan sifat resisten terhadap pemberian nistatin (candida albicans). Efek samping
dari pemberian griseosulfin diantaranya adalah nausea, rashes dan reaksi gastrointestinal.
Pemberian griseofulvin ini juga kontraindikasi untuk ibu yang sedang hamil.
Selain pemberian griseofulvin, pemberian antifungi lain seperti terbinafine, ketoconazole,
itraconazole ataupun flucanazole juga bisa menjadi pilihan kedua (second line).
Terbinafine merupakan golongan fungisidal yang bekerja pada membran sel fungi.
Pemberian obat ini sangat efektif untuk semua dermatofita, termasuk tinea kapitis.
Walaupun keefektifan terbinafine hampir sama dengan griseofulvin, tapi obat ini belum
dianjurkan sebagai pengobatan utama. Dosis pemberian terbinafine adalah 62,5 mg untuk
berat badan <20 kg, 125 mg untuk berat badan 20-40 kg dan 250 mg untuk berat badan
>40 kg. Sedangkan efek samping dari terbinafine hampir sama dengan griseofulvin, yaitu
nausea, rashes dan gangguan gastrointestinal.
Sedangkan golongan azole pada dasarnya termasuk obat golongan fungistatik. Cara
kerjanya adalah dengan menghambat enzim lanosterol 14-alpha-demethylase yang
menyebabkan ketidakseimbangan membran dan kebocoran membran fungi. Dosis yang
diberikan adalah 100 mg/hari selama 4 minggu atau 5 mg/kg/hari.

Pengobatan yang kedua adalah pengobatan topikal. Penggunaan pengobatan topikal tanpa
disertai pemberian antifungi oral tidak dianjurkan dilakukan. Pengobatan topikal
mempunyai efek utama untuk mengurangi penyebaran dari penyakit tersebut. Pemakaian
pengobatan topikal ini dilakukan berkesinambungan sampai sekitar 1-2 minggu setelah
penyakit tersebut terobati. Pengobatan topikal yang sering dipakai adalah shampo
(selenium sulphide dan povidone iodine), asam salisil 2-4 %, asam benzoat 6-12 %, sulfur
4-6 %, vioform 3 %, asam undesilenat 2-5 %, zat warna (hijau brilian 1 % dalam cat
castellani) dan obat-obat derivat (imidazol 1-2% dan ketoconazol 2%). Untuk pemberian
obat-obat derivat (krim), dianjurkan dioleskan sekitar 2 cm dari lesi dan dioleskan 1-2
kali sehari sampai 2 minggu.
Upaya rehabilitatif pada kasus kronis biasanya terjadi alopesia maka pada pasien bisa
diberikan vitamin penumbuh rambut dan tidak berganti-ganti shampo.
I.

KOMPLIKASI
Kerion menyebakan reaksi inflamasi dengan masa tanpak basah yang berisi pus dan rambut yang

rapuh. Meninggalkan bekas yang permanen dan kebotakan.


J. PROGNOSIS
Kebanyakan pada infeksi yang ringan ( gray patch) jarang ditemukan, biasanya pada dewasa
muda. Reaksi inflamasi berlangsung pada awal perlangsungan penyakit ini, hal ini menandakan
jenis bakteri yang menginfeksi (M.canis , T.verrucosum, T.mentagrophytes) sebagian besar
infeksi ectothrix tidak menunjukkan gejala yang sangat menganggu sehingga di rasakan tidak
perlu pengobatan. Namun penderita berpotensi untuk menyebarkan bakteri. Hal ini sebaliknya
berbeda dengan infeksi endothrix dimana infeksi dapat berlangsung kronik sampai pada umur
dewasa. Dapat berlangsung persisten dan rekuren.
Dapus :
Sylvia A. Price and Lorraine Marek A. Stawiski. Infeksi Jamur Kulit. Dalam
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2. EGC. Jakarta, 2006 ;
1448 -8.
Wolff K,Goldsmith LA,Katz SI,Gilchrist BA,Paller AS,Leffell DJ,eds.Fitzpatricks
Dermatology In General Medicine,7th ed.New York:McGraw-Hill Medical,2008,p105459.

NYERI DAN GATAL

Belum dipahami secara jelas bagaimana mekanisme gatal pada kulit. Sensasi yang
disebut gatal dihasilkan, dikondisikan, dan diapresiasi pada beberapa tingkat dalam sistem saraf
yaitu 1) stimulus, mediator, dan reseptor, 2) jalur saraf perifer, 3) pemrosesan sistem saraf pusat,
4) interpretasi. Berbagai macam stimui dapat menyebabkan timbulnya rasa gatal. Termasuk
kemungkinan sejumlah at kimia seperti histamin, prostaglandin, dan proteinase. Banyak stimuli
yang mencetuskan timbulnya rasa gatal juga menimbulkan rasa nyeri bila berlangsung pada
intensitas yang lebih tinggi (Brown, 2005).
Mekanisme rasa gatal menurut (Elvina, 2011) terdapat 3 teori yaitu teori spesifisitas,
intensitas, dan teori selektivitas.
1. Teori spesifisitas
Teori ini menyatakan bahwa terdapat suatu kelompok sel saraf sensoris yang hanya
memberikan
respon terhadap stimuli pruritogenik. Teori ini didukung oleh bukti-bukti adanya
serabut saraf C spesifik untuk rasa gatal yang menghantarkan rangsang rasa gatal dari perifer
ke sentral dan terdapatnya sel saraf yang sensitif terhadap histamin pada traktus
spinotalamikus. Eksperimen pada awal 1980 mendapatkan bahwa peningkatan intensitas
rasa gatal menginduksi rasa gatal yang lebih hebat tetapi tidak menyebabkan nyeri.1 Hal ini
memperkuat teori bahwa rasa gatal dan nyeri adalah sensasi yang terpisah yang disalurkan
melalui
jaras yang berbeda.
2. Teori intensitas
Teori ini mengatakan bahwa perbedaan intensitas stimulus berperan penting pada
aktivasi serabut saraf. Intensitas stimulus yang rendah akan mengaktivasi serabut saraf rasa
gatal, sedangkan peningkatan intensitas stimulus akan mengaktivasi serabut saraf nyeri.
Kelemahan teori ini adalah perangsangan dengan stimulus noksius (termal dan mekanik)
pada dosis ambang rangsang tidak menimbulkan rasa gatal. Pemeriksaan mikroneurografi
juga tidak dapat membuktikan kebenaran teori ini. Pengobatan yang menghambat nyeri tidak
dapat menghambat rasa gatal melainkan malah sebaliknya, menyebabkan rasa gatal.
3. Teori selektivitas
Teori ini menyatakan bahwa terdapat suatu kelompok nosiseptor aferen yang secara
selektif memberikan respon terhadap stimulus pruritogenik. Kelompok nosiseptor ini
memiliki hubungan sentral yang berbeda dan mengaktifkan sel saraf sentral yang berbeda
pula. Teori ini didukung oleh penemuan yang mendapatkan bahwa stimulus mekanik, termal
dan kimia noksius dengan memakai bradikinin lebih nyata menginduksi rasa gatal daripada
nyeri pada penderita gatal kronis.
Sensitasi rasa gatal

Rasa gatal kronis memiliki banyak persamaan dengan nyeri kronis, keduanya diduga
melalui mekanisme perifer dan sentral. Mediator inflamasi klasik, antara lain prostaglandin,
bradikinin, leukotrien, serotonin, pH yang rendah dan substansi P, dapat mensensitisasi
nosiseptor secara kimiawi. Mediator inflamasi tersebut menurunkan ambang rangsang reseptor
terhadap mediator lain seperti histamin dan capsaicin, sebagai akibatnya terjadi induksi baik
pada nyeri maupun rasa gatal.
a. Sensitasi perifer
Pada penderita gatal kronis, dermatitis atopik dan dermatitis kontak terdapat
peningkatan mediator neurotropin 4 (NT-4) serta ekspresi serum nerve growth factor (NGF).
NGF dan NT-4 juga dapat mensensitasi nosiseptor. Peningkatan mediator tersebut
menunjukkan bahwa pada tingkat perifer terjadi mekanisme sensitisasi yang sama antara
nyeri dan rasa gatal sehingga sampai sekarang belum dapat dibedakan antara nosiseptor dan
pruriseptor.
b. Sensitasi sentral
Ada banyak persamaan mekanisme sensitisasi sentral pada nyeri dan rasa gatal.
Aktivitas nosiseptor kimia pada penderita gatal kronis menimbulkan sensitisasi sentral
sehingga meningkatkan sensitivitas terhadap rasa gatal.
Terdapat dua tipe peningkatan sensitivitas terhadap rasa gatal, yang pertama adalah
aloknesis yang analog dengan alodinia terhadap rangsang nyeri. Alodinia artinya rabaan atau
tekanan ringan yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan rasa nyeri oleh penderita
dirasakan nyeri, sedangkan aloknesis adalah rabaan atau tekanan ringan yang dalam keadaan
normal tidak menimbulkan rasa gatal oleh penderita dirasakan gatal. Aloknesis sering
dijumpai, bahkan pada penderita dermatitis atopik aloknesis merupakan gejala utama.
Aloknesis dapat menerangkan keluhan rasagatal yang berhubungan dengan
berkeringat, perubahan suhu mendadak, serta memakai dan melepas pakaian. Seperti halnya
alodinia, fenomena ini memerlukan aktivitas sel saraf yang terus berlangsung (ongoing
activity).
Tipe kedua adalah hiperknesis punktat yang analog dengan hiperalgesia. Pada
hiperalgesia, suatu rangsang nyeri berupa tusukan ringan (pinprick) dipersepsi sebagai nyeri
yang lebih hebat di sekitar daerah inflamasi, sedangkan hiperknesis punctat merupakan
peningkatan sensitivitas pada rasa gatal dimana suatu rangsang berupa tusukan ringan yang
menginduksi rasa gatal dipersepsi sebagai rasa gatal yang lebih hebat di daerah sekitar lesi
kulit.

Sumber
Brown, Robin Graham. 2005. Lecture notes Dermatologi. Jakarta: Erlangga
Elvina, Putu Ayu. 2011. Hubungan rasa gatal dan nyeri, dalam CDK 195/Vol.39 no.4 / Mei-Juni
2011. http://www.kalbemed.com/Portals. Diunduh November 2014.

You might also like