You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN
I.1. Latar belakang

Reformasi tahun 1998 membuka kesempatan seluas-luasnya bagi

daerah

dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Berbagai peraturan perundangundangan diterbitkan untuk memayungi otonomi daerah itu, diantaranya UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemekaran demi pemekaran
telah dilaksanakan oleh pemerintah untuk memperkuat asas desentralisasi. Asas ini
memungkinkan pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan desa untuk mengatur
daerahnya sendiri berdasarkan asas otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dengan
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, kedudukan
pemerintahan desa menjadi lebih kuat sebagai pelaksana otonomi daearah. Hal ini
berimplikasi terhadap pentingnya penetapan batas antar daerah bahkan antar desa.
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 27 tahun 2006 tentang
penetapan dan penegasan batas desa mengamanatkan setiap pemerintah daerah untuk
melakukan penetapan dan penegasan batas desa. Permendagri Nomor 27 tahun 2006
dilaksanakan menurut ketentuan Pasal 106 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun
2005 tentang desa. Penetapan dan penegasan batas desa menjadi program yang
sangat penting guna memberikan kepastian hukum terhadap batas desa dalam rangka
menentukan batas kewenangan dan administrasi kepala desa dalam menjalankan
sistem pemerintahan otonomi daerah.
Penetapan batas desa perlu dilakukan mengingat desa-desa yang ada di
Indonesia terus berkembang dan jumlahnya meningkat seiring dengan otonomi
daerah yang diterapkan oleh pemerintah pusat. Pembentukan desa baru
mengakibatkan perubahan batas-batas administrasi desa sehingga perlu dilakukan
penetapan batas desa kembali. Di Indonesia terdapat 81.253 desa yang terdiri dari
72.944 administrasi desa dan 8.309 administrasi kelurahan (Kemendagri, 2013).

Badan Informasi Geospasial selanjutnya disebut BIG yang merupakan instansi


pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang informasi geospasial
bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mewujudkan penetapan batas desa.
Penetapan batas desa yang telah dilakukan di Indonesia baru mencapai sekitar
20 persen sehingga masih terdapat 80 persen batas desa yang belum ditetapkan dan
ditegaskan batas desanya. Dalam rangka proses percepatan penetapan dan penegasan
batas desa di Indonesia, BIG menyelenggarakan kegiatan ajudikasi batas desa di
berbagai wilayah Pulau Jawa sebagai pilot project. Kegiatan penetapan batas desa
dilaksanakan secara kartometrik khususnya dalam tahap menyiapkan peta kerja
untuk dasar pelacakan titik-titik dan garis batas. Pilot project ini dilakukan di
daerah:
1. Kabupaten Bogor
2. Kabupaten Semarang
3. Kabupaten Bantul
4. Kota Surabaya.
Sebagai kontribusi penetapan batas desa, proyek ini menjalankan pekerjaan
penetapan batas antar desa di kabupaten Bantul. Kegiatan penetapan batas desa
dilakukan di Kecamatan Bantul dan Kecamatan Bambanglipuro. Kegiatan yang
dilakukan meliputi perijinan, pembuatan peta kerja, pengumpulan dokumen batas
desa, penetapan batas desa dengan metode kartometrik pada peta kerja, survei
lapangan, dan pembuatan peta batas desa.
Metode kartometrik adalah penelusuran/penarikan garis batas pada peta kerja
dan pengukuran/perhitungan posisi titik, jarak serta luas cakupan wilayah dengan
menggunakan peta dasar dan peta-peta lain sebagai pelengkap. Metode kartometrik
ini sangat cocok untuk menetapkan batas desa-desa yang wilayahnya luas dan
memiliki batas desa yang panjang. Penetapan batas desa dengan metode kartometrik
ini memudahkan dalam penetapan batas desa, deliniasi batas desa hanya dilakukan
pada peta kerja sehingga lebih mempercepat dalam menetapkan batas desa
dibandingkan dengan penetapan batas dengan metode suvei lapangan yang
membutuhkan banyak biaya dan waktu yang lama.

P enetapan batas secara kartometrik dilakukan di desa-desa di Kecamatan


Bantul dan Kecamatan Bambanglipuro. Dua kecamatan ini mempunyai desa-desa
yang wilayahnya luas sehingga tiap desa mempunyai batas antar desa yang panjang.
Akhirnya masing-masing desa mempunyai lebih banyak masalah perbatasan dari
pada desa yang luasnya lebih kecil. Penetapan batas di desa yang luas, dalam waktu
yang terbatas, membutuhkan metode yang tepat untuk efisiensi waktu. Metode
kartometrik relevan dengan kebutuhan ini karena penetapan batas desanya hanya di
atas peta.

I.2. Lingkup kegiatan

Lingkup kegiatan untuk proyek ini meliputi :


1. Wilayah kerja dibatasi pada penetapan batas desa di kecamatan Bantul dan
kecamatan Bambanglipuro di Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
2. Penarikan garis batas desa dilakukan langsung di atas peta kerja.
3. Output yang dihasilkan berupa peta batas desa yang akan menjadi usulan
peta batas desa kepada Bupati.

I.3. Tujuan
Kegiatan proyek ini dilakukan

untuk mencapai tujuan sebagaimana dapat

diuraikan di bawah ini :


1. Menghasilkan peta kerja
2. Pembuatan peta batas desa

I.4. Manfaat
Apabila pilot project ini berhasil akan memperoleh manfaat sebagai berikut :
1. Metode

kartometrik

dapat

dijadikan

sebagai

pelaksanaan penetapan dan penegasan batas desa.

upaya

mempercepat

2. Desa-desa yang dilakukan kegiatan penetapan batas desa memiliki peta


batas desa terkini.
3. Setiap desa yang telah dilakukan kegiatan ini akan memiliki kepastian
hukum terhadap batas desanya.

I.5. Landasan teori

I.5.1. Batas desa


Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Penetapan batas desa adalah kegiatan penentuan batas secara
kartometrik diatas peta dasar yang disepakati. Berdasarkan Permendagri No.27
Tahun 2006 pasal 1 menjelaskan bahwa Batas desa adalah batas wilayah yurisdiksi
pemisah wilayah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
suatu desa dengan desa yang lain. Batas wilayah desa yang dinyatakan dalam bentuk
peta Desa yang ditetapkan dalam peraturan Bupati/Walikota.
Dalam Permendagri No.27 Tahun 2006 pasal 5 ayat, batas desa adalah
pembatas wilayah administrasi pemerintahan antar desa yang merupakan rangkaian
titik-titik koordinat yang berada pada permukaan bumi dapat berupa tanda-tanda
alam seperti igir/punggung gunung/pegunungan (watersheed), median sungai
dan/atau unsur buatan (jalan, rel kereta, saluran irigasi, dan pilar batas) dilapangan
yang dituangkan dalam bentuk peta. Penggunaan unsur-unsur alam akan
mengakibatkan batas menjadi dinamis akibat perubahan bentang alam. Hal inilah
yang menyebabkan bergesernya batas suatu daerah. Namun penggunaan unsur alam
ini umumnya mudah diidentifikasi oleh masyarakat sekitar (Arsana, 2006).
Penetapan batas desa terdiri dari tiga kegiatan, yaitu:
1. Penelitian dokumen batas, terkait dengan undang-undang, sumber hukum
dan peraturan-peraturan lainnya, yang tertulis maupun yang tidak tertulis

tentang pembentukan desa bersangkutan, misalnya Peraturan Pemerintah


No.72 tahun 2005 tentang desa, undang-undang No. 6 tahun 2014, peta
administrasi desa yang telah ada, peta batas desa yang sudah ada, peta rupa
bumi, citra satelit, peta topografi dan dokumen sejarah dan data lainnya.
2. Penentuan peta dasar, peta yang dapat digunakan untuk menggambarkan
batas desa secara kartometrik, seperti : peta citra, peta rupa bumi, peta pajak
bumi dan bangunan,peta pendaftaran tanah.
3. Pembuatan Peta batas desa secara kartometrik, pembuatan peta batas desa
dibuat sesuai dengan spesifikasi teknis yang sudah ditentukan. Dalam hal ini
mengikuti spesifikasi sebagai berikut :

Tabel I. 1. Spesifikasi teknis pemetaan wilayah desa


No

Jenis

Persyaratan

Datum Horizontal

DGN 95

Elipsoid Referensi

WGS 1984

Skala peta

1 : 3.500 1: 10.000

Sistem Proyeksi Peta

Transverse Mercator (TM)

Sistem Grid

Universal Transverse Mercator (TM)

Ketelitian Planimetris

0.5 mm diukur di atas peta

Sumber : Permendagri Nomor 27 tahun 2006

Batas desa indikatif pada Peta Rupa Bumi Indonesia selanjutnya disebut peta
RBI adalah batas sementara yang dibuat oleh tim penetapan batas desa pada peta RBI
yang merupakan batas desa yang tidak dapat digunakan sebagai acuan batas desa
yang benar akan tetapi batas indikatif dibuat dengan tujuan memudahkan tim
penetapan batas dalam pembuatan batas desa yang sebenarnya (Khafid, 2013).

I.5.2. Metode kartometrik


Metode kartometrik adalah penelusuran/penarikan garis batas pada peta kerja
dan pengukuran/perhitungan posisi titik, jarak serta luas cakupan wilayah dengan
menggunakan peta dasar dan peta-peta lain sebagai pelengkap. Penerapan metode

kartometrik ini mengikuti spesifikasi teknis yang sudah ditentukan oleh Peraturan
Menteri Dalam Negeri No.27 tahun 2006 (Permendagri, 2006). Metode kartometrik
ini dilakukan langsung di atas peta dasar dengan cara membuat garis batas desa di
atas peta dasar secara manual menggunakan alat tulis untuk membuat batas desa dan
survei lapangan jika diperlukan. Pengukuran dan penentuan posisi titik batas secara
kartometrik dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : Pengukuran titik-titik
koordinat batas dengan pengambilan (ekstraksi) titik-titik koordinat pada jalur batas
dengan interval tertentu menggunakan peta kerja. Pengukuran berpedoman pada
hasil pelacakan yang disepakati. Hasil pengukuran dalam bentuk daftar titik-titik
koordinat batas desa. Hasil pengukuran dan penentuan posisi dituangkan dalam
berita acara.

I.5.3. Ajudikasi
Menurut definisi hukum Kamus Umum Bahasa Indonesia Ajudikasi adalah
penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan; pengambilan keputusan. Kegiatan
ajudikasi meliputi pengumpulan dan pengolahan data fisik, pembuktian hak dan
pembukuannya, penerbitan sertifikat, penyajian data fisik dan data yuridis,
penyimpanan daftar umum dan dokumen untuk memperoleh data fisik yang
diperlukan untuk penetapan batas, kumpulan dari bidang-bidang tanah (persil) yang
akan dipetakan dilakukan pengukuran, ditetapkan letaknya, batas-batasnya dan
menurut keperluannya ditempatkan tanda-tanda batas disetiap titik batas yang
bersangkutan. Ajudikasi yang dimaksud dalam kegiatan ini bukan merupakan
pengertian ajudikasi dalam pendaftaran tanah tetapi yang dimaksud dengan ajudikasi
dalam hal ini adalah kegiatan penetapan batas desa yang diwujudkan melalui tahapan
penelitian dokumen, penentuan peta kerja yang dipakai, dan deliniasi batas secara
kartometrik diatas peta kerja.
1. Penelitian dokumen, Dokumen batas yang perlu disiapkan adalah perundangundangan dan peraturan lainnya, baik yang bersifat tertulis maupun yang
tidak tertulis tentang pembentukan batas yang ditentukan. Dokumen batas
yang perlu disiapkan, antara lain adalah :

a. Batas desa indikatif dari peta RBI


b. Peta acuan batas desa seperti : peta rupa bumi, peta topografi, peta pajak
bumi dan bangunan, peta pendaftaran tanah dan peta citra satelit
c. Data lainnya dan dokumen sejarah.
2. Penentuan peta dasar, menurut undang-undang No. 4 tahun 2011 tentang
informasi geospasial, peta dasar yang digunakan untuk menggambarkan batas
desa secara kartometrik dapat menggunakan peta rupa bumi, peta topografi,
peta hipsografi, peta perairan, peta batas wilayah, peta penutup lahan sebagai
peta acuan batas secara kartometrik.
3. Deliniasi batas secara kartometrik di atas peta kerja, penarikan garis batas
secara kartometrik di atas peta kerja di sesuaikan dengan spesifikasi peta
yang ada yaitu mengacu kepada lampiran Permendagri nomor 27 tahun 2006
tentang prosedur penetapan dan penegasan batas.
Tahapan kegiatan ajudikasi batas desa :
1. Mendatangi kelurahan yang akan ditetapkan batasnya dengan membawa peta
kerja yang telah disiapkan
2. Melakukan penarikan batas desa secara kartometrik diatas peta kerja.
3. Melakukan survei lapangan jika diperlukan.

I.5.4. Citra QuickBird

Satelit Quickbird adalah satelit pertama yang

dikembangkan

oleh

perusahaan Digital Globe yang memiliki keakuratan yang tinggi dan merupakan citra
komersial beresolusi tinggi. Citra pankromatik dan multispektral citra Quickbird
didesain untuk mendukung aplikasi pembuatan peta batas wilayah yang
membutuhkan resolusi citra yang tinggi untuk memudahkan identifikasi obyek diatas
citra.

Tabel I. 2. Karakteristik Citra Quickbird


Diluncurkan

Tanggal 18 Oktober 2001 di Pangkalan SLC-2W, Vandenberg


Air Force Base, California

Wahana

Delta II

Orbit

Dengan ketinggian 450 km dari permukaan bumi,


waktu/periode orbit 93,4 menit, frekuensi kembali pada titik
semula 2-3 hari tergantung pada lintang

Koleksi per orbit

128 gigabits kira-kira 57 image single area

Inklinasi

98 gigabits kira-kira 57 image single area

Lebar swath

Nominal lebar swath : 16,5 km pada nadir. Ground swath yang


dapat dicapai : 544 km berpusat pada ground track satelit
(sampai 30 off-nadir)

Ukuran area yang Single area : 16,5 km x 16,5 km


tercakup
Strip : 16,5 km x 115 km
Ketelitian metric

23 m circular error, 17 m linear error (tanpa kontrol tanah)

Sensor

Pankromatik

Resolusi

0,61 m (2ft) Ground 2,4 m (8ft) GSD pada nadir


Sample
Distance
(GSD) pada nadir

Bandwidth
spectral

Hitam dan putih : 445- Blue : 450-520 nm


900 nm
Green : 520-600 nm

Multispektral

Red : 630-690 nm
Near-IR : 760-900 nm
Rentang Dinamik

11 bits per piksel

11 bits per piksel

Sumber : Harintaka, 2005


Citra Quickbird memiliki resolusi image pankromatik 0,61 m dan resolusi
multispektralnya sebesar 2,4 m dari nadir. Citra pankromatik maupun spektral sangat
baik untuk melakukan klasifikasi dan interpretasi obyek di permukaan bumi dengan
cakupan yang luas. Dengan citra pankromatik tekstur dan bentuk dari suatu obyek

akan sangat terlihat jelas detilnya. Dari citra multispektral yang terdiri dari beberapa
band (RGB) citra akan memiliki warna, hal tersebut akan memudahkan kita untuk
mengenali obyek di lapangan berdasarkan warna yang divisualisasikan pada citra.
Sehingga dapat meningkatkan kemampuan interpretasi citra secara manual.
Citra Quickbird adalah citra yang memiliki resolusi yang tinggi, dengan
resolusi yang tinggi tersebut obyek di lapangan yang dijadikan sebagai acuan
penetapan batas seperti garis tepi sungai, garis tepi jalan, pematang sawah dan
obyek-obyek lainnya akan mudah diidentifikasi. Untuk menafsirkan atau mengkaji
obyek-obyek yang tampak pada citra dilakukan interpretasi citra. Interpretasi citra
dapat didefinisikan sebagai proses menafsirkan secara intensif suatu citra yang
dilaksanakan secara menyeluruh untuk mengidentifikasi dan menyimpulkan
kenampakan unsur-unsur yang ada pada citra tersebut, yang selanjutnya digunakan
untuk menyajikan informasi yang diperlukan mengenai daerah yang diinterpretasi
(Sumaryo, 2002).
I.5.4.1 Koreksi Geometrik.
I.5.4.1 Koreksi Geometrik. Koreksi Geometrik terdiri dari dua langkah yaitu :
Georeferensi dan rektifikasi. Georeferensi adalah suatu proses pemberian koordinat
peta pada citra yang sebenarnya telah planimetris. Dalam arti pemberian sistem
koordinat suatu peta hasil pada hasil digitasi peta atau hasil scaning citra. Hasil dari
digitasi citra sebenarnya sudah datar tetapi area yang direkam masih memiliki
kesalahan (distorsi) yang diakibatkan oleh pengaruh kelengkungan bumi dan sensor
itu sendiri. Koreksi geometrik sesungguhnya melibatkan proses georeferensi karena
semua sistem proyeksi sangat terkait dengan koordinat peta. Registrasi citra ke citra
melibatkan proses georeferensi apabila citra acuannya sudah digeoreferensi.
Georeferensi hanya merubah sistem koordinat peta dalam file citra, sedangkan grid
citra tidak berubah (Prasetyo,2008).
Rektifikasi adalah proses melakukan transformasi data dari satu sistem grid
menggunakan suatu transformasi geometrik. Karena posisi piksel pada citra output
(hasil) tidak sama dengan posisi piksel input (aslinya) maka piksel-piksel yang
digunakan untuk mengisi citra yang baru harus dilakukan ekstrapolasi nilai data

10

untuk piksel-piksel pada sistem grid yang baru dari nilai piksel citra aslinya
(Harintaka. 2005).

Tahap dalam rektifikasi peta secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Memilih titik kontrol lapangan (Ground Control Point). GCP tersebut
sedapat mungkin adalah titik-titik yang mudah berubah dalam jangka
waktu lama, misalkan tugu dipersimpangan jalan atau di pojok
bangunan.GCP harus menyebar merata keseluruh obyek citra yang akan
dikoreksi. Dan juga bisa menggunakan peta RBI untuk penarikan GCP
dalam penetapan batas sebagai kontrol kualitas titik.
2. Membuat persamaan transformasi yang digunakan untuk interpolasi
spasial. Persamaan yang sering digunakan adalah :
Ordo I : disebut juga persamaan affin (diperlukan 3 GCP)
Ordo II : Memerlukan 6 GCP
Ordo III : Memerlukan 10 GCP
3. Menghitung kesalahan RMS (Root Mean Square Error) dari GCP yang
dipilih.Pada umumnya tidak boleh dari 0,5 piksel.
4. Melakukan interpolasi intensitas (nilai kecerahan).

I.5.5. Dasar hukum penetapan batas desa.


Dasar hukum dalam penetapan batas daerah adalah Peraturan Pemerintah No.
72/2005 tentang desa, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 27/2006 tentang
penetapan dan penegasan batas desa.
1.5.5.1 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005.
1.5.5.1 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005. PP No.7/2005 tentang desa
merupakan Peraturan Pemerintah melaksanakan Undang-undang Nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang No.3 tahun 2005 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang ditetapkan
dengan undang-undang Nomor 8 tahun 2005. Menurut PP No.7/2005 pasal 1 ayat

11

(5), Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asalusul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1.5.5.2 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014.
1.5.5.2 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014. Undang-undang No.6/2014 tentang
desa dibuat mengingat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 5
ayat 1,

pasal 18, pasal 18B ayat 2, pasal 20, pasal 22D ayat 2 bahwa dalam

perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, desa telah berkembang dalam


berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat,
maju, demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam
melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil,
makmur, sejahtera. Berdasarkan bab III tentang penataan desa pasal 8 ayat (3) huruf f
menyatakan bahwa batas wilayah desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang
telah ditetapkan dalam peraturan Bupati/Walikota. Menurut pasal 17 ayat 2 peraturan
daerah Kabupaten/Kota tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan
perubahan status desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi desa diundangkan
setelah mendapat nomor registrasi dari Gubernur dan kode desa dari menteri disertai
lampiran peta batas wilayah desa. Pembuatan peta wilayah desa harus menyertai
instansi teknis terkait dalam hal ini adalah Badan Informasi Geospasial.
1.5.5.3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2006
1.5.5.3

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2006. Permendagri

No.27/2006 tentangPenetapan dan Penegasan Batas Desa merupakan tindak lanjut


untuk melaksanakan ketentuan pasal 106 Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005
tentang desa,perlu menetapkan peraturan menteri dalam negeri tentang penetapan
dan penegasan batas desa. diadakannya penetapan dan penegasan batas desa ini
bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap batas desa di wilayah darat
dan sebagai acuan dalam melaksanakan kegiatan penetapan dan penegasan batas
desa secara tertib dan terkoordinasi.
Permendagri No.27 tahun 2006 tentangPenetapan dan Penegasan Batas
Desa menyatakan bahwa penetapan dan penegasan batas desa yang dilakukan

12

mengikuti prinsip-prinsip penetapan batas desa yang telah ditentukan dalam lampiran
Permendagri No. 27 tahun 2006. Penetapan batas desa dilakukan secara kartometrik
di atas peta dasar yang disepakati.
Penegasan batas daerah berpedoman pada batas daerah yang ditetapkan dalam
undang-undang pembentukan daerah, peraturan perundang-undangan, dan dokumen
lain yang mempunyai kekuatan hukum.Batas daerah hasil penegasan batas ditetapkan
oleh Menteri Dalam Negeri dengan Peraturan Menteri yang memuat titik koordinat
batas daerah yang diuraikan dalam batang tubuh dan dituangkan dalam bentuk peta
batas dan daftar titik koordinat yang tercantum dalam laporan.

I.5.6. Peta batas desa


Peta adalah suatu gambaran dari permukaan bumi dalam skala tertentu dan
diGambarkan pada bidang datar menggunakan simbolsimbol tertentu melalui sistem
proyeksi peta (Riyadi, 1994). Peta hasil penetapan batas adalah peta batas wilayah
yang dibuat secara kartometrik dari peta dasar yang telah ada dan pengukuran di
lapangan. Proses pembuatan peta batas desa dapat dilakukan dengan berbagai cara,
antara lain dengan pembuatan peta situasi atau dibuat dari peta yang sudah ada
(diturunkan dari peta digital).
Pembuatan peta batas desa dapat diperoleh dari peta-peta yang sudah ada
seperti peta-peta dasar, peta pendaftran tanah, peta blok, citra satelit dan sumber data
lainnya. Proses pembuatan peta batas desa perlu dilakukan penyesuaian skala dengan
peralatan dan metode yang digunakan. Detil yang digambarkan pada peta batas desa
adalah unsur-unsur yang berkaitan dengan batas desa seperti pilar batas, jaringan
jalan, perairan dan detil lainnya sesuai dengan keperluan desa. Pembuatan peta batas
desa dilakukan dengan dijitasi dengan perangkat lunak Arc.GIS dan dicetak dengan
menggunakan plotter atau printer.
Peta batas desa yang telah disetujui oleh Kepala Desa yang berbatasan dicetak
dalam jumlah tertentu untuk mendapatkan pengesahan dari Bupati/Walikota. Peta
batas desa yang merupakan batas antar provinsi dan/atau batas antar Kabupaten/Kota
akan diputuskan oleh Menteri Dalam Negeri.

You might also like