You are on page 1of 14

ASKEP FLAIL CHES

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Trauma Thorak
2.1.1. Definisi
Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa
tajam atau tumpul. (Hudak, 1999). Trauma thorak adalah trauma yang terjadi pada toraks yang
menimbulkan kelainan pada organ-organ didalam toraks.
Hematotorax adalah tedapatnya darah dalam rongga pleura, sehingga paru terdesak dan terjadinya
perdarahan.
Pneumotorax adalah terdapatnya udara dalam rongga pleura, sehingga paru-paru dapat terjadi kolaps.
2.1.2.
1.

Etiologi
Trauma tembus

Luka Tembak

Luka Tikam / tusuk

2.

Trauma tumpul

Kecelakaan kendaraan bermotor

Jatuh

Pukulan pada dada

2.1.3. Klasifikasi
1.

Trauma Tembus

Pneumothoraks terbuka

Hemothoraks

Trauma tracheobronkial

Contusi Paru

Ruptur diafragma

Trauma Mediastinal

2.

Trauma Tumpul

Tension pneumothoraks

Trauma tracheobronkhial

Flail Chest

Ruptur diafragma

Trauma mediastinal

Fraktur kosta

2.1.4. Insidensi
Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun.
Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta
trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
2.1.5. Prognosis Penyakit
1.

Open Pneumothorak

Timbul karena trauma tajam, ada hubungan dengan rongga pleura sehingga paru menjadi kuncup.
Seringkali terlihat sebagai luka pada dinding dada yang menghisap pada setiap inspirasi ( sucking chest
wound ). Apabila luban ini lebih besar dari pada 2/3 diameter trachea, maka pada inspirasi udara lebih
mudah melewati lubang dada dibandingkan melewati mulut sehingga terjadi sesak nafas yang hebat
2.

Tension Pneumothorak

Adanya udara didalam cavum pleura mengakibatkan tension pneumothorak. Apabila ada mekanisme
ventil karena lubang pada paru maka udara akan semakin banyak pada sisi rongga pleura, sehingga
mengakibatkan :

Paru sebelahnya akan terekan dengan akibat sesak yang berat

Mediastinum akan terdorong dengan akibat timbul syok

Pada perkusi terdengar hipersonor pada daerah yang cedera, sedangkan pada auskultasi bunyi vesikuler
menurun.
3.

Hematothorak masif

Pada keadaan ini terjadi perdarahan hebat dalam rongga dada. Ada perkusi terdengar redup, sedang
vesikuler menurun pada auskultasi.
4.

Flail Chest

Tulang iga patah pada 2 tempat pada lebih dari 2 iga sehingga ada satu segmen dinding dada yang tidak
ikut pada pernafasan. Pada ekspirasi segmen akan menonjol keluar, pada inspirasi justru masuk kedalam
yang dikenal dengan pernafasan paradoksal
2.1.6. Patofisiologi
Dada merupakan organ besar yang membuka bagian dari tubuh yang sangat mudah terkena tumbukan
luka. Karena dada merupakan tempat jantung, paru dan pembuluh darah besar. Trauma dada sering
menyebabkan gangguan ancaman kehidupan. Luka pada rongga thorak dan isinya dapat membatasi
kemampuan jantung untuk memompa darah atau kemampuan paru untuk pertukaran udara dan osigen
darah. Bahaya utama berhubungan dengan luka dada biasanya berupa perdarahan dalam dan tusukan
terhadap organ

Luka dada dapat meluas dari benjolan yang relatif kecil dan goresan yang dapat mengancurkan atau
terjadi trauma penetrasi. Luka dada dapat berupa penetrasi atau non penetrasi ( tumpuln ). Luka dada
penetrasi mungkin disebabkan oleh luka dada yang terbuka, memberi keempatan bagi udara atmosfir
masuk ke dalam permukaan pleura dan mengganggua mekanisme ventilasi normal. Luka dada penetrasi
dapat menjadi kerusakan serius bagi paru, kantung dan struktur thorak lain.
2.1.7. Tanda Dan Gejala
Tanda-tanda dan gejala pada trauma thorak :
1.

Ada jejas pada thorak

2.

Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi

3.

Pembengkakan lokal dan krepitasi pada saat palpasi

4.

Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek

5.

Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema subkutan

6.

Penurunan tekanan darah

7.

Peningkatan tekanan vena sentral yang ditunjukkan oleh distensi vena leher

8.

Bunyi muffle pada jantung

9.

Perfusi jaringan tidak adekuat

10. Pulsus paradoksus ( tekanan darah sistolik turun dan berfluktuasi dengan pernapasan ) dapat terjadi
dini pada tamponade jantung.
2.1.8. Pemeriksaan Penunjang
1.

Radiologi : X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)

2.

Gas darah arteri (GDA), mungkin normal atau menurun.

3.

Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa.

4.

Hemoglobin : mungkin menurun.

5.

Pa Co2 kadang-kadang menurun.

6.

Pa O2 normal / menurun.

7.

Saturasi O2 menurun (biasanya).

8.

Toraksentesis : menyatakan darah/cairan.

9.

Bila pneumotoraks < 30% atau hematothorax ringan (300cc) terap simtomatik, observasi.

10. Bila pneumotoraks > 30% atau hematothorax sedang (300cc) drainase cavum pleura dengan WSD,
dainjurkan untuk melakukan drainase dengan continues suction unit.
11. Pada keadaan pneumothoraks yang residif lebih dari dua kali harus dipertimbangkan thorakotomi

12. Pada hematotoraks yang massif (terdapat perdarahan melalui drain lebih dari 800 cc segera
thorakotomi.

2.1.9. Komplikasi
1.

Iga : fraktur multiple dapat menyebabkan kelumpuhan rongga dada.

2.

Pleura, paru-paru, bronkhi : hemo/hemopneumothoraks-emfisema pembedahan.

3.

Jantung : tamponade jantung ; ruptur jantung ; ruptur otot papilar ; ruptur klep jantung.

4.

Pembuluh darah besar : hematothoraks.

5.

Esofagus : mediastinitis.

6.

Diafragma : herniasi visera dan perlukaan hati, limpa dan ginjal (Mowschenson, 1990).

2.1.10. Penatalaksanaan
1.

Bullow Drainage / WSD

Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :


a. Diagnostik :
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi
torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shock.
b. Terapi :
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura
sehingga "mechanis of breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventive :
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" tetap
baik.
2.

Perawatan WSD dan pedoman latihanya :

a.

Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.

Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan perlu
diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu
menyeka tubuh pasien.
b.
Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat akan diberi analgetik
oleh dokter.
c.

Dalam perawatan yang harus diperhatikan :

Penetapan slang.

Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak terganggu dengan bergeraknya
pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi.

Pergantian posisi badan.

Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi
tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan, atau
menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera.
d.

Mendorong berkembangnya paru-paru.

Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.

Latihan napas dalam.

Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu slang diklem.

Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.

e.

Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.

Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika perdarahan dalam 1 jam melebihi 3
cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga
secara bersamaan keadaan pernapasan.
f.

Suction harus berjalan efektif :

Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap 1 - 2 jam selama 24 jam
setelah operasi.

Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka, keadaan pernapasan,
denyut nadi, tekanan darah.

Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika suction kurang baik, coba
merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di
bawah atau di cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat
rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena perlekatanan di dinding paru-paru.
g.

Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.

Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar kalau ada dicatat.

Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya gelembung udara yang
keluar dari bullow drainage.

Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu meng"klem" slang pada dua
tempat dengan kocher.

Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan slang harus tetap steril.

Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri, dengan memakai sarung
tangan.

Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang terlepas, botol
terjatuh karena kesalahan dll.

h.

Dinyatakan berhasil, bila :

Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.

Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.

Tidak ada pus dari selang WSD.

3.

Therapy

Chest tube / drainase udara (pneumothorax).

WSD (hematotoraks).

Pungsi.

Torakotomi.

Pemberian oksigen.

Antibiotika.

Analgetika.

Expectorant.

2.2

Flail Chest

Adalah area toraks yang "melayang" (flail) oleh sebab adanya fraktur iga multipel berturutan = 3 iga , dan
memiliki garis fraktur = 2 (segmented) pada tiap iganya.Akibatnya adalah: terbentuk area "flail" yang
akan bergerak paradoksal (kebalikan) dari gerakan mekanik pernapasan dinding dada. Area tersebut akan
bergerak masuk saat inspirasi dan bergerak keluar pada ekspirasi.
Flail Chest. terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan
dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan
dua atau lebih garis fraktur. Adanya semen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan
pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan
kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan
Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidakstabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi,
defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini
terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan
parunya.
Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada. Gerakan
pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan
pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosisi. Dengan foto
toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi
costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan
pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian
ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan.
Bila tidak ditemukan syok maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk
mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka akan

sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik
harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal. Terapi definitif ditujukan untuk
mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk
memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia
merupakan hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu
singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap.
Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan
akan memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi.
2.2.1. Gangguan Mekanika Bernapas pada Flail Chest
Fraktur sternum dengan pergeseran fragmennya menimbulkan nyeri yang menyebabkan penderita
menahan napas sehingga pernapasan menjadi dangkal. Hal ini diperberat dengan akibat retensi sputum
menyebabkan atelektasis, pneumonia yang menyebabkan gangguan ventilasi, hipoksemia, hiperkarbia
dan pada gilirannya akan menyebabkan insufisiensi pernapasan dan berakhir dengan gagal pernapasan
akut.
Flail sternum disebut juga central flail chest, bila berat akan menyebabkan volume intratorasik berkurang
sehingga mengganggu pengembangan paru, ventilasi menurun mengakibatkan hipoksemia dan
hiperkarbia. Gangguan ekspansi paru diakibatkan elastic recoil ke dalam tak tertahankan sehingga
volumenya berkurang. Penekanan ventilasi dan atelektasis akan menyebabkan terjadinya pintas
arteriovenosa (AV) yang memperberat insufisiensi pernapasan sehingga bila dibiarkan akan berakhir
dengan gagal pernapasan akut.
Nyeri hebat juga akan menyebabkan penderita mengurangi gerakan segmen melayang sambil terus
menerus berupaya paksa menarik dan mengeluarkan napas, hal ini terlihat dengan pernapasan cepat dan
dangkal bila dibiarkan akan menyebabkan kelelahan otot-otot pernapasan dan berakhir dengan gagal
pernapasan akut.
Akibat dari atelektasis, pneumonia, pirau A-V sendiri akan memperberat kerja napas, hal ini ditunjukkan
dengan gambaran gas darah memburuk, suatu tanda gagal pernapasan akut
2.2.2. Prognosis
Tulang iga patah pada 2 tempat pada lebih dari 2 iga sehingga ada satu segmen dinding dada yang tidak
ikut pada pernafasan. Pada ekspirasi segmen akan menonjol keluar, pada inspirasi justru masuk kedalam
yang dikenal dengan pernafasan paradoksal
2.2.3. Pathofisiologi
Dada merupakan organ besar yang membuka bagian dari tubuh yang sangat mudah terkena tumbukan
luka. Karena dada merupakan tempat jantung, paru dan pembuluh darah besar. Trauma dada sering
menyebabkan gangguan ancaman kehidupan. Luka pada rongga thorak dan isinya dapat membatasi
kemampuan jantung untuk memompa darah atau kemampuan paru untuk pertukaran udara dan osigen
darah. Bahaya utama berhubungan dengan luka dada biasanya berupa perdarahan dalam dan tusukan
terhadap organ
Luka dada dapat meluas dari benjolan yang relatif kecil dan goresan yang dapat mengancurkan atau
terjadi trauma penetrasi. Luka dada dapat berupa penetrasi atau non penetrasi ( tumpuln ). Luka dada
penetrasi mungkin disebabkan oleh luka dada yang terbuka, memberi keempatan bagi udara atmosfir
masuk ke dalam permukaan pleura dan mengganggua mekanisme ventilasi normal. Luka dada penetrasi
dapat menjadi kerusakan serius bagi paru, kantung dan struktur thorak lain.

2.2.4. Karakteristik
Gerakan "paradoksal" dari (segmen) dinding dada saat inspirasi/ekspirasi; tidak terlihat pada pasien dalam
ventilator Menunjukkan trauma hebat. Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen,
ekstremitas)
2.2.5. Komplikasi
Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya ineffective air movement, yang seringkali
diperberat oleh edema/kontusio paru, dan nyeri. Pada pasien dengan flail chest tidak dibenarkan
melakukan tindakan fiksasi pada daerah flail secara eksterna, seperti melakukan splint/bandage yang
melingkari dada, oleh karena akan mengurangi gerakan mekanik pernapasan secara keseluruhan.
2.2.6. Indikasi Operasi (stabilisasi) pada flail chest

Bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain (cth: hematotoraks masif, dsb).

Gagal/sulit weaning ventilator.

Menghindari prolong ICU stay (indikasi relatif).

Menghindari prolong hospital stay (indikasi relatif).

Menghindari cacat permanent.

Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga sehingga tidak didapatkan lagi area "flail"
Trauma hancur pada sternum atau iga dapat berakibat terjadinya pemisahan total dari suatu bagian
dinding dada, sehingga dinding dada tersebut bersifat lebih mobil. Pada setiap gerakan respirasi, maka
fragmen yang mobil tersebut akan terhisap ke arah dalam. Pengembangan normal rongga pleura tidak
dapat lagi berlangsung, sehingga pertukaran gas respiratorik yang efektif sangat terbatas.
2.2.7. Manifestasi klinis
Biasanya karena ada pembengkakan jaringan lunak di sekitar dan terbatasnya gerak pengembangan
dinding dada, deformitas, dan gerakan paradoksal flail chest yang ada akan tertutupi. Pada mulanya,
penderita mampu mengadakan kompensasi terhadap pengurangan cadangan respirasinya. Namun bila
terjadi penimbunan secret-sekret dan penurunan daya pengembangan paru-paru akan terjadi anoksia
berat, hiperkapnea, dan akhirnya kolaps.
2.2.8. Penatalaksanaan
Sebaiknya pasien dirawat intensif bila ada indikasi atau tanda-tanda kegagalan pernapasan atau karena
ancaman gagal napas yang biasanya dibuktikan melalui pemeriksaan AGD berkala dan takipneu pain
control.
Stabilisasi area flail chest (memasukkan ke ventilator, fiksasi internal melalui operasi) bronchial toilet
fisioterapi agresif tindakan bronkoskopi untuk bronchial toilet.
Tindakan stabilisasi yang bersifat sementara terhadap dinding dada akan sangat menolong penderita, yaitu
dengan menggunakan towl-clip traction atau dengan menyatukan fragmen-fragmen yang terpisah dengan
pembedahan. Takipnea, hipoksia, dan hiperkarbia merupakan indikasi untuk intubasi endotrakeal dan
ventilasi dgn tekanan positif

3.1 Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono,
1994 : 10).
Pengkajian pasien dengan trauma thoraks meliputi :
a.

Aktivitas / istirahat

Gejala : dipnea dengan aktivitas ataupun istirahat.


b.

Sirkulasi

Tanda : Takikardia ; disritmia ; irama jantunng gallops, nadi apical berpindah, tanda Homman ; TD :
hipotensi/hipertensi ; DVJ.
c.

Integritas ego

Tanda : ketakutan atau gelisah.


d.

Makanan dan cairan

Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral/infuse tekanan.


e.

Nyeri/ketidaknyamanan

Gejala : nyeri uni laterl, timbul tiba-tiba selama batuk atau regangan, tajam dan nyeri, menusuk-nusuk
yang diperberat oleh napas dalam, kemungkinan menyebar ke leher, bahu dan abdomen.
Tanda : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, mengkerutkan wajah.
f.

Pernapasan

Gejala : kesulitan bernapas ; batuk ; riwayat bedah dada/trauma, penyakit paru kronis, inflamasi,/infeksi
paaru, penyakit interstitial menyebar, keganasan ; pneumothoraks spontan sebelumnya, PPOM.
Tanda : Takipnea ; peningkatan kerja napas ; bunyi napas turun atau tak ada ; fremitus menurun ; perkusi
dada hipersonan ; gerakkkan dada tidak sama ; kulit pucat, sianosis, berkeringat, krepitasi subkutan ;
mental ansietas, bingung, gelisah, pingsan ; penggunaan ventilasi mekanik tekanan positif.
g.

Keamanan

Gejala : adanya trauma dada ; radiasi/kemoterapi untuk keganasan.


h.

Penyuluhan/pembelajaran

Gejala : riwayat factor risiko keluarga, TBC, kanker ; adanya bedah intratorakal/biopsy paru.
3.2 Diagnosa Keperawatan
1.
Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal karena
akumulasi udara/cairan.
2.
Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot
sekunder.

3.

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow drainage.

4.
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk
ambulasi dengan alat eksternal.
5.
Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap
trauma.
3.3 Intervensi Keperawatan
1) Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak maksimal karena
trauma.
Tujuan : Pola pernapasan efektive.
Kriteria hasil :
o Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.
o Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
o Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi :

Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang
sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.

Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.

R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai akibat stress fifiologi dan
nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia.

Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.

R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien
terhadap rencana teraupetik.

Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.

R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.

Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dengan menggunakan pernapasan
lebih lambat dan dalam.
R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai
ketakutan/ansietas.

Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 2 jam :

1) Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar.


R/ Mempertahankan tekanan negatif intrapleural sesuai yang diberikan, yang meningkatkan ekspansi paru
optimum/drainase cairan.

2) Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang ditentukan.
R/ Air penampung/botol bertindak sebagai pelindung yang mencegah udara atmosfir masuk ke area
pleural.
3) Observasi gelembung udara botol penempung.
R/ Gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan lubang angin dari penumotoraks/kerja yang
diharapka. Gelembung biasanya menurun seiring dnegan ekspansi paru dimana area pleural menurun. Tak
adanya gelembung dapat menunjukkan ekpsnsi paru lengkap/normal atau slang buntu.
4) Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan slang tidak terlipat, atau menggantung
di bawah saluran masuknya ke tempat drainage. Alirkan akumulasi dranase bela perlu.
R/ Posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan pada selang mengubah tekanan negative
yang diinginkan.
5) Catat karakter/jumlah drainage selang dada.
R/ Berguna untuk mengevaluasi perbaikan kondisi/terjasinya perdarahan yang memerlukan upaya
intervensi.

Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :

1) Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.


o Pemberian antibiotika.
o Pemberian analgetika.
o Fisioterapi dada.
o Konsul photo toraks.
R/ Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

2) Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot
sekunder.
Tujuan : Nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi.
Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/ menurunkan nyeri.
Pasien tidak gelisah.
Intervensi :

Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif.

R/ Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan


keefektifan dalam mengurangi nyeri.
1) Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan
intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase.
R/ Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi, sehingga
akan mengurangi nyerinya.
2) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
R/ Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.

Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ; misal waktu
tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.
R/ Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.

Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa lama nyeri akan
berlangsung.
R/ Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan dapat membantu
mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.

Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik.

R/ Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.

Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgetik untuk
mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari.
R/ Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif untuk mencegah kemungkinan
komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.

3) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow drainage.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil :
tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi :

Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.

R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.

Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.

R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.

Pantau peningkatan suhu tubuh.

R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.

Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan
plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.

Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.

R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.

Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.

R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak
terjadi infeksi.

Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.

R/ antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi
infeksi.

4) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk
ambulasi dengan alat eksternal.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil :
penampilan yang seimbang..
melakukan pergerakkan dan perpindahan.
mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi :

Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.

R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.

Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.

R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah


ketidakmauan.

Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.

R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.

Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.

R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.

Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.

R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan


mobilitas pasien.

5) Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil :
tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi :

Pantau tanda-tanda vital.

R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.

Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.

R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.

Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.

R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.

Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.

R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses
infeksi.

Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.

R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.

You might also like