You are on page 1of 18

2.

(b) Menurut Williamson sendiri, istilah NIE digunakan untuk memisahkan


dengan istilah lain, yakni OIE (old institutional economics), yang dipelopori
oleh Common dan Veblen. Mazhab OIE berargumentasi bahwa
kelembagaan merupakan faktor kunci dalam menjelaskan dan
memengaruhi perilaku ekonomi, namun dengan sedikit analisis dan tanpa
kerangka teoritis yang mumpuni. Pendekatan ini murni beroperasi di luar
pendekatan ekonomi neoklasik dan tanpa menggunakan teori kuantitatif,
di mana dari pendekatan kuantitatif tersebut biasanya suatu generalisasi
diambil atau pilihan-pilihan kebijakan yang tepat dapat dibuat. Ekonomi
"neoklasik" sebaliknya- mengabaikan secara total peran kelembagaan;
diasumsikan pelaku-pelaku ekonomi beroperasi dalam ruang yang bebas
nilai (vacuum). Oleh karena itu, NIE mencoba memperkenalkan
pentingnya peran dari kelembagaan, namun tetap berargumentasi bahwa
pendekatan ini bisa dipakai dengan menggunakan kerangka ekonomi
neoklasik. Dengan kata lain, di bawah NIE beberapa asumsi yang tidak
realistik dari neoklasik (seperti informasi yang sempurna, tidak ada biaya
transaksi/zero transaction costs, dan rasionalitas yang lengkap) diabaikan,
tetapi asumsi individu yang berupaya untuk mencari keuntungan pribadi
(self-seeking individuals) untuk memperoleh kepuasan maskimal tetap
diterima. Selebihnya, kelembagaan dimasukkan sebagai rintangan
tambahan di bawah kerangka kerja NIE.
Kunci perbedaaan antara OIE dan NIE adalah bahwa pendekatan
yang pertama sangat memfokuskan kajiannya mengenai
"kebiasaan" (habit), Bagi para ahli OIE, kebiasaan/perilaku
dianggap sebagai faktor krusial yang akan menentukan formasi dan
sustenance kelembagaan. Sebaliknya, di ujung spektrum lain yang
berseberangan, NIE lebih memberikan perhatian kepada kendala yang
menghalangi proses penciptaan/ pengondisian kelembagaan, dan
utamanya memfokuskan kepada pentingnya kelembagaan sebagai
kerangka interaksi antarindividu.

1. a). Jelaskan pemikiran dari aliran supply side ?


b). Sebutkan relevansi pemikiran supply side dengan perekonomian yang
ada saat ini ?
2. a). Jelaskan tokoh-tokoh pemikir dari Old Institutional Economics ? OIE
(Ekonomi
Kelembagaan lama ) & pokok pemikirannya ?
b). Sebutkan relevansi pemikiran OIE dengan perekonomian yang ada
saat ini ?
3. a). Jelaskan tokoh-tokoh pemikir dari New Institutional Economics / NIE
(Ekonomi
Kelembagaan Baru) & pokok pemikirannya .
b). Sebutkan relevansi pemikiran NIE dengan perekonomian yang ada saat
ini ?
4. Jelaskan dan tunjukan dengan grafik serta berikan contoh :
a). Band Wagon Effect (Efek ikut rus)
b). Snob Effect (Efek Sombong)

1. a). Aliran Sisi Penawaran (Supply Side Economics) Pada tahun 1971-1973
perekonomian AS mengalami guncangan dari berbagai sisi, hal ini menyebabkan
perekonomian mulai lesu, produksi berkurang, pengangguran semakin bertambah dan
inflasi. Kebijakan-kebijakan ekonomi mulai dijalankan dan dikembangkan untuk
mengatasi inflasi yang semakin tinggi. AS kemudian mengadopsi kebijakan dari aliran
monetaris yang kemudian melahirkan kebijakan monetaris yang selanjutnya
dijalankan oleh pemerintah Thatcher di Inggris. Kebijakan yang dianut oleh Reagan di
AS ini menciptakan teori sisi penawaran (supply-side economics).
Tokoh-Tokoh Aliran Penawaran
Menurut Harold McCure dan Thomas Willis (1983) aliran sisi penawaran dibagi
dalam 2 kelompok yaitu :
1. Kelompok Utama (Martin Feldstein dan Mihael Boskin) yang menekankan pada
insentif pajak dalam pertumbuhan ekonomi lewat dampaknya terhadap tabungan
dan investasi

2. Kelompok Radikal (Arthur Laffer, George Gilder dan angoota kongres Jack
Kemp) yang menekankan padadampak pemotongan pajak terhadap proudktivitas
kerja dan meningkatkan laju pertumbuhan output dan mengurangi inflasi
Pandangan pakar ekonomi tentang aliran sisi penawaran sering disebut
Reaganomics
Perbandingan Pandangan Keynesian dan Monetaris dengan Aliran Sisi Penawaran
Pandangan Keynesian :

Lebih menyukai kebijakan fiskal yang ekspansif

Menggunakan analisis jangka pendek

Lebih suka melakukan fine tunning

Mengatasi masalah dari sisi permintaan

Pandangan Monetaris :

Lebih menyukai kebijakan moneter kontraktif-konservatif

Mengatasi masalah dari sisi permintaan

Aliran sisi penawaran lebih mengarah kepada teori Adam Smith, namun dalam versi
yang lebih modern. Robert A. Mundel sebagai peletak dasar aliran ini menawarkan
peng-gunaan kombinasi kebijakan moneter dan fiskal dengan analisis jangka panjang.
Teori ini lebih bisda dalam mengatasi penyakit stragflasi.
b). Relevansi pemikiran Supply Side dengan perekonomian yang ada saat ini :
1. Program Penurunan Pajak dan Anggaran Berimbang

Contohnya , untuk mengatasi guncangan ekonomi pada tahun 1973, AS


menempuh cara seperti :

mendorong masyarakat untuk rajin menabung

menurunkan tingkat pajak

mendorong masyarakat untuk berani mengambil resiko berusaha

mendorong mobilisasi angkatan kerja

mendorong masyarakat untuk lebih banyak bekerja di sektor riil

Namun untuk diterapkan di Indonesia saat ini kurang bisa mengatasinya. Hasil-hasil
yang dicapai oleh program pemerintah tidak maksimal, bahkan tidak sedikit yang
mendapat predikat buruk. Untuk itu kita perlu mengevaluasi program itu kembali.
Salah satu cara untuk membatasi pengeluaran pemerintah dengan mengurangi
pemasukan. Dalam hal ini intinya adalah kepercayaan untuk mengatur sendiri
keuangan masyarakat. Aliran sisi penawaran mempercayai adanya dampak positif
penggunaan dana sendiri oleh swasta. Pada masa Reagan penurunan pajak
menciptakan teori anggaran berimbang yangdidukung oleh para ahli yaitu Alan
Blinder, Douglas Holtz Eakin, dan Herbert Stein. Reagan menyukai program
penurunan pajak karena kan meningkatkan partisipasi kerja dan tidak terlalu banyak
memegang dana. Hal-hal tersebut yang bisa diterapkan di Indonesia untuk
memperbaiki situasi di negara Indonesia.
Faktorutamamemburuknya
(demand

side)

melainkan

kinerjaeksporbukandisebabkan
sisipenawaran

bahwaterdapatpersoalan kinerja ekonomi domestik yang

faktorpermintaan

(supplyside)ataudapatdikatakan
berdampak pada rendahnya

produktivitas produk ekspor Indonesia.


MenurutWorldEconomicForum,beberapafaktor
yangdidugamenjadipenyebabrendahnyadaya saingindustri ditingkat mikrodiantaranya:
1. buruknya infrastruktur,
2. buruknya

institusi

kelembagaanpemerintahdanswastaterkaitdenganpelayananpublik,

dan

3.
4.
5.
6.
7.

inefisiensipasarbarang industri,
pendidikandankeahliantenagakerjayangbelummemadai,
efisiensipasartenaga kerjayangrendah,
rendahnyakemampuanperusahaanuntukmengadopsiteknologibaru,
perkembangan pasar keuangan yang belum mendorong perkembangan

industri, dan
8. rendahnyainovasidanpenerapanteknologitinggiyangefisien.
BerdasarkanIndustrialDevelopmentReporttahun2011,
industrimanufakturIndonesiamengalami

penurunan

dayasaingdari40padatahun2005menjadi peringkat ke-43


Indonesia

peringkat

padatahun2009.

Daya

saing

yang diukur dengan indeks daya saing kinerja industri(Competitiveness

Industrial Performance) masih di bawah


Thailand, Malaysia, danFilipina.

negara-negara ASEAN, seperti Singapura,

Gambaran dayasaing

komoditas ekspordiantara

negaraanggota dalamkerjasama RCEPmenuntut Indonesia untukmeningkatkan efisiensi dan


efektifitas produksi sehingga dapat bersaing dengan produk-produk serupa, menciptakan
iklim usahayangkondusifdalamrangkameningkatkandayasaing,memperluasakses pasardan
meningkatkan
termasuk

kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi


promosipemasaran

danlobby.Apabilatidakmempersiapkan

diridenganbaik,makaIndonesia akanmenjadipasarbagikomoditasnegara-negaralainnya.
Menolak

bergabungdalamsuatu

perjanjianperdaganganbukanmerupakansuatu

pilihanbagi Indonesia. Indonesia dapat kehilangan kesempatan bertransakasi dengan tarif


rendah dengan negara-negara tersebut dan negara-negara anggota ASEAN lainnya dapat
memanfaatkan

kekosongantersebut.Indonesiaperlu

selektifdalammelakukanliberalisasitarifperdagangan

internasionalnyayaitu

denganmembukaliberalisasiseluas-luasnyauntukkomoditasunggulandan
tetapprotektifterhadapkomoditas yangkurangunggul,ataukomoditas yangsangatdibutuhkan
dalam

pasardomestiktetapimemilikidayasaingyangrelatifrendah.Olehkarenaitu,pemerintah

membutuhkan kebijakan fiskal yang

mendukung kesinambungan perbaikan kinerja

industri nasional, termasuk industri yang bersifat inward


diversifikasi dan peningkatankualitasprodukekspor.
2. a). Tokoh Aliran Institusional
1.1

Thorstein Bunde Veblen (1857-1929)

looking maupun dengan

Veblen adalah anak seorang petani miskin yang melakukan imigrasi dari
Norwegia ke Amerika. Veblen mengritik teori-teori yang digunakan kaum klasik dan neoklasik yang model-model teoritis dan matematisnya dinilai bias dan terlalu menyederhanakan
fenomena-fenomena ekonomi serta dianggap mengabaikan aspek-aspek non-ekonomi seperti
kelembagaan dan lingkungan. Veblen menilai pengaruh keadaan dan lingkungan sangat besar
terhadap tingkah laku ekonomi masyarakat. Struktur politik dan sosial yang tidak mendukung
dapat memblokir dan menimbulkan distorsi proses ekonomi. Bagi Veblen masyarakat
merupakan suatu fenomena evolusi yang segala sesuatunya mengalami perubahan secara
terus-menerus. Pola perilaku seseorang dalam masyarakat disesuaikan dengan kondisi sosial
sekarang, jika perilaku tersebut cocok dan diterima

maka perilaku diteruskan begitu

sebaliknya. Keadaan dan lingkungan seperti inilah yang disebut Veblen institusi yang
dalam artian terkait dengan nilai-nilai, norma-norma, kebiasaan serta budaya yang semuanya
terefleksikan dalam kegiatan ekonomi baik dalam berproduksi maupun mengkonsumsi.
Dalam berproduksi akan kelihatan bagaimana nilai-nilai dan norma-norma serta kebiasaan
yang dianut dalam mengejar tujuan akhir dari kegiatan produksi yauti keuntungan. Dalam
bukunya yang berjudul The Theory of Business Enterprise Veblen menjelaskan bahwa
perilaku para pengusaha Amerika di masanya telah banyak mengalami perubahan dahulu para
pengusaha pada umumnya menghasilakan barang-barang dan jasa untuk memperoleh
keuntungan melalui kerja keras atau yang disebut dengan production for use. Tetapi pada
masa sekarang laba dan keuntungan sebagian tidak lagi diperoleh melalui kerja keras dengan
menciptakan barang-barang yang disukai oleh konsumen, tetapi lewat trik-trik bisnis atau
yang disebut production of profit. Veblen melihat dalam masyarakat Amerika yang tumbuh
begitu pesat telah melahirkan suatu golongan absentee ownership yaitu para pengusaha yang
memiliki modal besar dan menguasai sejumlah perusahaan tetapi tidak ikut terjun langsung
dalam kegiatan operasional perusahaan. Kemudian dalam perilaku konsumsi ada perilaku
konsumsi yang wajar yaitu ingin memperoleh manfaat atau utilitas yang sebesar-besarnya
dari tiap barang yang dikonsumsinya, dan ada pula yang tidak wajar kalau konsumsi
ditujukan hanya untuk pamer yang oleh Veblen disebut conspicuouc consumption dalam
bukunya yang berjudul The Theory of the Leisure Class.
1.2

Wesley Clair Mitchel (1874-1948)


Wesley Clair Mitchel adalah murid, teman dan pengagum Veblen yang mendukung

serta mengembangkan pemikiran-pemikirannya. Mitchel juga berjasa dalam mengembangkan


metode-metode kuantitatif dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa ekonomi. Salah satu

karyanya yaitu Business Cycles and Their Cause (1913). Dengan menggunakan bermacam
data statistik ia menjelaskan masalah fluktuasi ekonomi.
1.3

Gunnar Karl Myrdal (1898-19..)


Myrdal adalah orang swedia yang mendukung aliran institusional. Ia mempunyai pesan

pada ahli-ahli ekonomi agar ikut membuat value judgement, sebab jika itu tidak dilakukan
maka struktur-struktur teoritis ilmu ekonomi akan menjadi tidak realistis. Sebagai penganjur
aliran institusional ia percaya bahwa pemikiran institusional sangat diperlukan dalam
melaksanakan pembangunan negara-negara berkembang.
1.4

Joseph A. Schumpeter (1883-1950)

Oleh beberapa penulis ia dimasukan sebagai pendukung aliran institusional karena


pendapatnya yang mengatakan bahwa sumber utama kemakmuran bukan terletak dalam
domain ekonomi itu sendiri melainkan berada di luarnya yaitu dalam lingkungan atau
institusi masyarakat. Lebih jelasnya sumber kemakmuran terletak dalam jiwa kewiraswastaan
(entrepreneurship) para pelaku ekonomi yang mengarsiteki pembangunan karena
entrepreneur pertama kali yang mempraktekkan dan berani mengadobsi temuan-temuan baru
atau inovasi yang dibuat inovator yang membuat masyarakat meninggalkan cara-cara lama
yang tidak efisien.
1.5

Douglas North
Penghargaan terhadap aliran konstitusional mencapai puncaknya tahun 1993 pada saat

Douglas North dari Universitas of Washington, missouri, Amerika Serikat menerima hadiah
nobel dalam bidang ekonomi karena jasanya dalam memperbarui riset dal penelitian sejarah
ekonomidan metode-metode kuantitatif. North menilai peran institusi baik institusi politik
maupun institusi politik sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Ia menyimpulkan
bahwa negara-negara komunis hancur karena tidak mempunyai institusi yang mendukung
mekanisme pasar. North mengatakan reformasi tidak akan memberikan hasil nyata hanya
dengan memperbaiki kebijakan makro saja tetapi dibutuhkan seperangkat institusi yang
mampu memberikan insentif yang tepat kepada setiap pelaku ekonomi diantaranya hukum
paten dan hak cipta, hukum kontrak dan pemilik tanah.
Aliran kelembagaan lama, pakar ekonomi setuju menetapkan bapak ekonomi kelembagaan
Thorstein Bunde Veblen (1857-1929). Beliau mengkritik mengenai ilmu ekonomi ortodoks
yang lebih kepada aliran ekonomi Klasik, dan ekonomi heterodoks yang melihat perilaku

variabel ekonomi secara lebih luas lagi. Vablen lalu menulis buku, yang isinya mengenai
suatu kegiatan konsumtif yang dilakukan sedikit orang yang memiliki kekayaan dan seorang
pengusaha bukan yang menggerakkan ekonomi tetapi malah menyabot. Aliran ekonomi
kelembagaan terus berkembang seiring dengan pakar-pakar ekonomi yang melakukan sebuah
analisa yang melibatkan banyak aspek secara luas. Para pakar ekonomi kelembagaan ini
adalah Mitchell yang melihat adanya siklus karena suatu self generating process yang
diperoleh dari data empiris, John R. Commons yang melakukan perubahan-perubahan sosial
yang berdampak pada ekonomi suatu masyarakat dan selalu menentang dari ekonomi
ortodoks, John A. Hobson yang menyatakan ada tiga kelemahan dari ekonomi ortodoks dari
tidak dapat menyelesaikan full employment, distribusi pendapatn dan pembagian ekonomi
positif dan normatif
1. Aliran Kelembagaan Lama
Bapak Ekonomi kelembagaan yang disetujui oleh para pakar adalah Thorestein Bunde
Veblen (1857-1929). Krirtik Veblen sangat tajam terhadap ekonomi ortodoks, dimana
pengertian ekonomi ortodoks adalah pemikiran-pemikiran yang menggunakan dan
melanjutkan ekonomi Klasik seperti persaingan bebas, persaingan sempurna, manusia
adalah rasional, motivasi memaksimalkan keuntungan dan meminimasi pengeorbanan
ekonomi. Menurut Veblen teori ekonomi ortodoks merupakan teori teologi, oleh
karena akhir cerita telah ditentukan dari awal. Misalnya, keseimbangan jangka
panjang itu tidak pernah dibuktikan, tetapi telah ditentukan walaupun ceritanya belum
dimulai. Ilmu ekonomi bukan hanya mempelajari tingkat harga, alokasi sumbersumber tetapi justru mempelajari faktor-faktor yang dianggap tetap (given).
Salah seorang tokoh ekonomi kelembagaan dari inggris yang penting adalah John A.
Hobson (1858-1940). Menurutnya, ada tiga kelemahan toeri ekonomi ortodoks, yaitu
tidak dapat menyelesaikan maslah full-employment, distribusi pendapatan yang
senjang dan pasar bukan ukuran terbaik untuk menentukan ongkos sosial. Beliau tidak
setuju adanya unsur ekonomi positif dan normatif karena keduanya tetap memerlukan
adanya unsur etika. Timbulnya Imprealsime menurut Hobsoan disebabkan karena
terjadinya konsumsi yang kurang dan kelebihan tabungan di dalam negeri, maka
diperlukan penanaman modal ke daerah-daerah jajahan. Pengeluaran pemerintah dan
pajak dapat mendorong ekonomi ke arah full-employment dan peningkatan
pendapatan pekerja dan produktivitas. Dengan semakin meratanya pembagian
pendapatan akan mendorong peningkatan produktivitas, yang berarti bisa terhindar
dari bahaya adanya resesi.
2. Aliran Quasai Kelembagaan
Para tokoh yang masuk di dalam aliran ini adalah mereka yang terpengaruh oleh
pemikiran veblen dan kawan-kawannya, para tokoh aliran ini antara lain Joseph
Schumpeter, Gunnar Myrdal, dan kenneth Galbraith. Pemikiran schumpeter bertumpu
pada ekonomi jangka panjang, yang terlihat dalam analisisnya baik mengenai
terjadinya inovasi komoditi baru, maupun dalam mejelaskan terjadinya siklus
ekonomi. Keseimbangan ekonomi yang statis dan stasioner seperti konsep kaum

ortodoks mengalami gangguan dengan adanya inovasi, Meskipun demikian, gangguan


tersebut dalam rangka berusaha mencari keseimbangan yang baru. Inovasi tidak bisa
berlanjut kalau kaum wirasawata telah terjebak dalam persoalan-persoalan yang
sifatnya rutin.
Sedangkan Galbraith menjelaskan perkembangan ekonomi kapitalis di Amerika
serikat yang tidak sesuai dengan perkiraan (prediksi) yang dikemukakan kaum
ekonomi ortodoks. Asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh teori ekonomi ortodoks
dalam kenyataannya melenceng jauh sekali. Keberadaan pasar persaingan sempurna
tidak ada, bahkan pasar telah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar. Perusahaanperusahaan ini demikian besar kekuasaanya sehingga selera konsumen bisa diaturnya.
Pada perusahaan yang besar ini, pemilik modal terpisah dengan manajer profesional
dan para manajer ini telah menjadi technostrusture masyarakat. Konsumsi masyarakat
telah menjadi demikian tinggi, tetapi sebaliknya terjadi pencemaran lingkungan dan
kwalitas barang-barang swasta tidak dapat diimbangi oleh barang-barang publik.
Selanjutnya kekuatan-kekuatan perusahaan besar dikontrol oleh kekuatan buruh,
pemerintah dan lembaga-lembaga konsumen. Namun demikian, untuk menjamin
keberlanjutan perusahan-perusahaan ini, maka pemerintah hendaknya berfungsi untuk
menstabilkan perkembangan ekonomi.
3. Aliran Kelembagaan Baru
Aliran Ekonomi Kelembagaan Baru (New Institutional Economics disingkat NIE)
dimulai pada tahun-tahun 1930-an dengan ide dari penulis yang berbeda-beda.
Menurut Yustika (2006), pada tahun-tahun terakhir ini terjadi kesamaan ide yang
mereka usung dan kemudian dipertimbangkan menjadi satu payung yang bernama
NIE. Secara garis besar, NIE sendiri merupakan upaya perlawanan terhadap dan
sekaligus pengembangan ide ekonomi Neoklasik, meskipun tetap saja dapat
terpengaruh oleh ideologi dan politik yang ada pada masing-masing para pemikir.
NIE dengan demikian menempatkan dirinya sebagai pembangun teori kelembagaan
nonpasar dengan fondasi teori ekonomi Neoklasik. Seperti yang diungkapkan oleh
salah satu tokoh NIE Douglas C. North, bahwa NIE masih menggunakan dan
menerima asumsi dasar dari ekonomi Neoklasik mengenai kelangkaan dan kompetisi
akan tetapi meninggalkan asumsi rasionalitas instrumental (instrumental rasionality).
Oleh karena ekonomi Neoklasik memaki asumsi tersebut menyebabkan menjadi teori
yang bebas kelembagaan (institutional-free theory).
NIE selanjutnya memperdalam kajiannya tentang kelembagaan nonpasar, seperti hak
kepemilikan, kontrak, partai revolutioner dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena
sering terjadi masalah kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar muncul
karena terjadinya asimetris informasi, eksternalitas produksi (production externality)
dan adanya kenyataan keberadaan barang-barang-barang publik (publik goods).
Akibat kealpaan teori ekonomi Neoklasik terhadap adanya kegagalan pasar, maka

dilupakan pula adanya kenyataan pentingnya biaya-biaya transaksi (transaction cost).


Di samping itu NIE menambah bahasannya tentang terjadinya kegagalan
kelembagaan (institutional failure) sebagai penyebab terjadinya keterbelakangan pada
banyak negara.
Dengan demikian, ilmu ekonomi kelembagaan kemudian menjadi bagian dari ilmu
ekonomi yang cukup penting peranannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan
sosial ekonomi, budaya dan terutama ekonomi politik. Ilmu ekonomi kelembagaan
terus berkembang semakin dalam karena ditekuni oleh banyak ahli ilmu ekonomi dan
ilmu sosial lainnya, termasuk beberapa diantaranya memenangkan hadiah nobel.
Penghargaan tersebut tidak hanya tertuju langsung kepada ahli dan orangnya, tetapi
juga pada bidang keilmuannya, yakni ilmu ekonomi kelembagaan (Rachbini, 2002).
b). Relevansi pemikiran OIE dengan perekonomian yang ada saat ini
Pada saat ini para ekonom memberikan perhatian besar pada seperangkat ide yang kemudian
dikenal dengan istilah "ekonomi kelembagaan baru" (new institutional economics/NIE). Ide
tersebut dikembangkan oleh para penulis mulai dekade 1930-an. Namun, hanya pada waktu
terakhir ini saja kesamaan ide yang mereka usung itu kemudian dipertimbangkan menjadi satu
payung yang bernama NIE. Secara garis besar, NIE sendiri merupakan upaya "perlawanan"
terhadap dan sekaligus pengembangan ide ekonomi neoklasik. Lebih dari itu, NIE sendiri memiliki
para penyumbang pikiran dari beragam pengaruh politik (political persuasions). Ronald Coase,
satu dari founding fathers NIE, mengembangkan gagasan tentang organisasi ekonomi untuk
mengimbangi gagasan intelektual kebijakan kompetisi dan regulasi industri Amerika Serikat pada
dekade 1960-an, yang menganggap semua itu bisa dicapai oleh kekebasan ekonomi dan
kewirausahaan (economic and entrepreneurial freedom). Tetapi, NIE sendiri juga sangat atraktif
bagi sebagian pemikir "sayap kiri" (left-wing thinkers), yakni mereka yang merasa NIE bisa
menyediakan dasar intelektual (teoritis) untuk menggoyang dominasi mazhab neoklasik, atau
ekonomi pasar bebas (free-market economics).
Dengan begitu, NIE menempatkan diri sebagai pembangun teori kelembagaan non-pasar (nonmarket institutitons) dengan pondasi teori ekonomi neoklasik. Seperti yang North ungkapkan, NIE
masih memakai dan menerima asumsi dasar dari neoklasik mengenai "kelangkaan" dan
"kompetisi", tetapi menanggalkan asumsi rasionalitas instrumental (instrumental rationality); di
mana asumsi tersebut membuat ekonomi neoklasik menjadi "teori bebas/nir-kelembagaan"
(institution-free theory). Oleh karena itu, sebagai langkah untuk menjalankan hal itu, NIE
mengeksplorasi gagasan kelembagaan non-pasar (hak kepemilikan, kontrak, partai revolusioner,
dan lain-lain) sebagai jalan untuk mengompensasi kegagalan pasar (market failure). Dalam
pendekatan NIE, kehadiran informasi yang tidak sempurna, eksternalitas produksi (production
externalities), dan barang-barang publik (public goods) diidentifikasi sebagai sumber terpenting
terjadinya kegagalan pasar, sehingga meniscayakan perlunya kehadiran kelembagaan non-pasar.
Sebaliknya, dalam pendekatan neoklasik, ketiga variabel di atas diasumsikan tidak eksis, sehingga
biaya-biaya transaksi (transaction costs) yang diasosiakan dengan variabel tersebut dianggap tidak
ada. Di samping itu, literatur NIE juga menambahkan beberapa poin penting tentang kegagalan
kelembagaan (institutional failures) yang menjadi penyebab terjadinya keterbelakangan di banyak
negara. Kegagalan kelembagaan tersebut merujuk kepada struktur kontrak dan hukum, serta
regulasi dari penegakan pihak ketiga (rules of third party enforcement) yang lemah, padahal
semua itu harus diperkuat untuk dapat menjalankan transaksi pasar.

3. a). Tokoh-tokoh pemikir dari New Instutional Economics / NIE (Ekonomi


Kelembagaan Baru) & pemikirannya
Aliran Ekonomi Kelembagaan Baru (New Institutional Economics disingkat NIE) dimulai pada tahun-tahun 1930-an dengan
ide dari penulis yang berbeda-beda. Menurut Yustika (2006), pada tahun-tahun terakhir ini terjadi kesamaan ide yang mereka
usung dan kemudian dipertimbangkan menjadi satu payung yang bernama NIE. Secara garis besar, NIE sendiri merupakan
upaya perlawanan terhadap dan sekaligus pengembangan ide ekonomi Neoklasik, meskipun tetap saja dapat terpengaruh
oleh ideologi dan politik yang ada pada masing-masing para pemikir.
NIE dengan demikian menempatkan dirinya sebagai pembangun teori kelembagaan nonpasar dengan fondasi teori ekonomi
Neoklasik. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu tokoh NIE Douglas C. North, bahwa NIE masih menggunakan dan
menerima asumsi dasar dari ekonomi Neoklasik mengenai kelangkaan dan kompetisi akan tetapi meninggalkan asumsi
rasionalitas instrumental (instrumental rasionality). Oleh karena ekonomi Neoklasik memaki asumsi tersebut menyebabkan
menjadi teori yang bebas kelembagaan (institutional-free theory).
NIE selanjutnya memperdalam kajiannya tentang kelembagaan nonpasar, seperti hak kepemilikan, kontrak, partai
revolutioner dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena sering terjadi masalah kegagalan pasar (market failure). Kegagalan
pasar muncul karena terjadinya asimetris informasi, eksternalitas produksi (production externality) dan adanya kenyataan
keberadaan barang-barang-barang publik (publik goods). Akibat kealpaan teori ekonomi Neoklasik terhadap adanya
kegagalan pasar, maka dilupakan pula adanya kenyataan pentingnya biaya-biaya transaksi (transaction cost). Di samping itu
NIE menambah bahasannya tentang terjadinya kegagalan kelembagaan (institutional failure) sebagai penyebab terjadinya
keterbelakangan pada banyak negara.
Dengan demikian, ilmu ekonomi kelembagaan kemudian menjadi bagian dari ilmu ekonomi yang cukup penting peranannya
dalam perkembangan ilmu pengetahuan sosial ekonomi, budaya dan terutama ekonomi politik. Ilmu ekonomi kelembagaan
terus berkembang semakin dalam karena ditekuni oleh banyak ahli ilmu ekonomi dan ilmu sosial lainnya, termasuk beberapa
diantaranya memenangkan hadiah nobel. Penghargaan tersebut tidak hanya tertuju langsung kepada ahli dan orangnya, tetapi
juga pada bidang keilmuannya, yakni ilmu ekonomi kelembagaan (Rachbini, 2002).

Para penganut ekonomi kelembagaan percaya bahwa pendekatan multidisipliner sangat penting untuk memotret masalahmasalah ekonomi, seperti aspek sosial, hukum, politik, budaya, dan yang lain sebagai satu kesatuan analisis (Yustika, 2008:
55). Oleh karena itu, untuk mendekati gejala ekonomi maka, pendekatan ekonomi kelembagaan menggunakan metode
kualitatif yang dibangun dari tiga premis penting yaitu: partikular, subyektif dan, nonprediktif.
Pertama, partikular dimaknai sebagai heterogenitas karakteristik dalam masyarakat. Artinya setiap fenomena sosial selalu
spesifik merujuk pada kondisi sosial tertentu (dan tidak berlaku untuk kondisi sosial yang lain). Lewat premis partikularitas
tersebut, sebetulnya penelitian kualitatif langsung berbicara dua hal: (1) keyakinan bahwa fenomena sosial tidaklah tunggal;
dan (2) penelitian kualitatif secara rendah hati telah memproklamasikan keterbatasannya (Yustika, 2008: 69).
Kedua, yang dimaksud dengan subyektif disini sesungguhnya bukan berarti peneliti melakukan penelitian secara subyektif
tetapi realitas atau fenomena sosial. Karena itu lebih mendekatkan diri pada situasi dan kondisi yang ada pada sumber data,
dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir dari sudut pandang orang dalam dalam antropologi disebut dengan emic.
Ketiga, nonprediktif ialah bahwa dalam paradigma penelitian kualitatif sama sekali tidak masuk ke wilayah prediksi
kedepan, tetapi yang ditekankan disini ialah bagaimana pemaknaan, konsep, definisi, karakteristik, metafora, simbol, dan
deskripsi atas sesuatu. Jadi titik tekannya adalah menjelaskan secara utuh proses dibalik sebuah fenomen

b). Relevansi Pemikiran NIE dengan Perekonomian yang ada saat ini
Keberadaan aliran Ekonomi Kelembagaan (Institutional Economics) merupakan
reaksi dari ketidakpuasan terhadap aliran Neoklasik, yang sebenarnya merupakan
kelanjutan dari aliran ekonomi Klasik. Kemudian, Aliran Ekonomi Kelembagaan
Baru (New Intstitutional Economics disingkat NIE) dimulai pada tahun-tahun
1930-an dengan ide dari penulis yang berbeda-beda. Secara garis besar, NIE sendiri
merupakan upaya perlawanan terhadap dan sekaligus pengembangan ide ekonomi
Neoklasik, meskipun tetap saja dapat terpengaruh oleh ideologi dan politik yang ada
pada masing-masing para pemikir. NIE dengan demikian menempatkan dirinya
sebagai pembangun teori kelembagaan nonpasar dengan fondasi teori ekonomi
Neoklasik. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu tokoh NIE Douglass C. North,
bahwa NIE masih menggunakan dan menerima asumsi dasar dari ekonomi Neoklasik
mengenai kelangkaan dan kompetisi, akan tetapi meninggalkan asumsi rasionalitas
instrumental (intrumental rationality), di mana ekonomi Neoklasik memakai asumsi
tersebut menyebabkan menjadi teori yang bebas kelembagaan (institutional-free
theory). NIE sebagai akibatnya memperdalam kajiannya tentang kelembagaan
nonpasar, seperti hak kepemilikan, kontrak, partai revolusioner, dan sebagainya. Hal
ini dilakukan karena sering terjadinya masalah kegagalan pasar (market failure).
Kegagalan pasar muncul dalam rupa terjadinya asimetris informasi, eksternalitas
produksi (production externality) dan adanya kenyataan keberadaan barang-barang
publik (public goods). Akibat kealpaan teori ekonomi Neoklasik terhadap adanya
kegagalan pasar, maka dilupakan pula adanya kenyataan pentingnya biaya-biaya
transaksi (transaction cost). NIE di samping itu menambah bahasannya tentang
terjadinya kegagalan kelembagaan (institutional failure) sebagai penyebab terjadinya
keterbelakangan pada banyak negara. Karakteristik dari para ahli NIE adalah selalu
mencoba menjelaskan pentingnya kelembagaan (emergency of institutions), seperti
perusahaan atau negara, sebagai model referensi terhadap perilaku individu yang
rasional untuk mencegah kemungkinan yang tidak diinginkan dalam interaksi

manusia. Faktor penjelasnya adalah dari individu ke kelembagaan (from individuals


of institutions), dengan menganggap individu sebagai apa adanya (given). Pendekatan
ini kemudian dideskripsikan sebagai methodological individualism. NIE membangun
gagasannya bahwa kelembagaan dan organisasi berupaya mencapai tingkat efisiensi
dan meminimalisasikan biaya menyeluruh. Pengertian yang ada dalam konsep biaya
menyeluruh, tidak hanya berupa ongkos produksi seperti konsepsinya ekonomi
Neoklasik, akan tetapi juga biaya transaksi. Keadaan pasar yang kompetitif bisa
sebagai seleksi alamiah, di mana hanya perusahaan yang efisien yang diuntungkan,
akan tetapi perlu pula dicatat bahwa lingkungan dunia nyata bisa tidak pasti dan ajeg
sehingga segala kemungkinan bisa saja terjadi. NIE di sisi lainnya beroperasi pada
dua level, yaitu lingkungan makro yang disebut dengan lingkungan kelembagaan
(institutional environment) dan lingkungan mikro yang disebut dengan kesepakatan
kelembagaan (institutional arrangement). Lingkungan kelembagaan merupakan
seperangkat struktur aturan politik, sosial dan legal yang memantapkan kegiatan
produksi, pertukaran dan distribusi. Lingkungan kebijakan ekonomi sebagai
lingkungan makro meliputi antara lain aturan mengenai tata cara pemilihan, hak
kepemilikan dan hak-hak di dalam kontrak. Kesepakatan kelembagaan merupakan
kesepakatan antara unit ekonomi untuk mengelola dan mencari jalan agar hubungan
antarunit tersebut dapat berlangsung, baik lewat cara kerja sama maupun kompetisi.
Kesepakatan kelembagaan dengan demikian berhubungan dengan tata kelola
kelembagaan (institutions of governance). Sebuah kesepakatan kepemilikan
merupakan kesepakatan kelembagaan karena di dalamnya mengalokasikan hak-hak
kepemilikan kepada individu, kelompok atau pemerintah. Kesepakatan kelembagaan
bisa berupa pula cara untuk mengelola transaksi, baik melalui pasar, pasar bayangan
(quasi-market) maupun model kontrak yang memakai hierarki.
4. a). Band Wagon Efffect (Efek Ikut Arus) Efek bandwagon, atau efek ikut-ikutan,
adalah efek eksternalitas jaringan positif dimana seorang konsumen ingin memiliki
suatu barang karena seseorang atau sekelompok orang yang lain juga memiliki barang
tersebut. Efek ikut-ikutan sering timbul pada mainan anak-anak atau pada mode
pakaian.

Contoh :

SURVEI CAPRES 2014 - Seorang pewarta memotret papan layar bergambar grafik
elektabilitas calon presiden 2014 di Jakarta, Jumat (17/1). Pusat Data Bersatu melakukan
survei elektabilitas calon presiden dan pasangan capres-cawapres, dengan hasil Joko Widodo
sebagai capres terkuat (28 persen) dan pasangan capres-cawapres terkuat Joko Widodo-Jusuf
Kalla (17,4 persen).
Politikus dan partai politik saat ini lebih banyak tertipu lembaga survei.
Politik di Indonesia sedang memasuki era dan tradisi baru. Hal itu ditandai dengan lahirnya
banyak lembaga survei di Indonesia. Kehadiran banyaknya lembaga survei saat ini, semakin
memperlihatkan politik di Indonesia telah berkembang jadi sebuah industri. Politikus dan
partai berlomba memengaruhi publik lewat hasil survei.
Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Gun Gun Heryanto, akhir pekan
lalu mengatakan, lembaga survei mulai mendapatkan ruang lebih luas di masyarakat

Indonesia usai Pemilu 2009. Hal itu terjadi karena lembaga survei menghasilkan survei
paling presisi atau paling mendekati hasil akhir Pemilu 2009.
Sejak saat itu, lembaga survei mendapat kepercayaan dari publik, terutama dari para
konsestan pemilu. Para politikus dan partai berlomba melibatkan lembaga survei. Tanpa
lembaga survei, kata Gun Gun, politikus dan partai seakan tidak percaya diri menghadapi
pertarungan atau meraih kemenangan politik.
Ia menjelaskan, ketidakpercayaan politikus dan partai menghadapi pertarungan politik jika
tidak melibatkan lembaga survei, disebabkan hasil survei kini telah dimodifikasi menjadi
konsumsi publik lewat pemberitaan media massa.
Tak heran, politikus dan partai berlomba melibatkan lembaga survei dalam menghadapi
pertarungan politik. Hasil survei yang kini disebarluaskan media massa, diharapkan bisa
mempengaruhi wacana publik, membentuk opini, dan kemudian memengaruhi pilihan dalam
pemilu.
Di Indonesia, menurut Gun Gun, lembaga survei telah melewati tiga fase. Fase pertama
ketika Orde Baru yang ditandai sentralistik informasi. Tahun 1968, ada satu lembaga yang
didirikan Departemen Penerangan, yaitu Lembaga Pers dan Pendapat Umum Djakarta. Salah
satu kontribusi lembaga ini, kata Gun Gun, melakukan riset hasil Pemilu 1971.
Indonesia lalu memasuki fase kedua usai Orde Baru runtuh. Era ini disebut fase konsolidasi.
Periode ini, kata Gun Gun, beberapa lembaga mulai mandiri melakukan survei, di antaranya
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) serta
InternationalFoundation for Election Systems (IFES).
Fase ketiga sekitar 2004, ditandai munculnya tujuh lembaga survei profesional, di antaranya
Lembaga Survei Indonesia (LSI). Ketika itu, ia mengatakan, hasil survei mulai dimodifikasi.
Hasil survei telah menjadi konsumsi media massa. Akibatnya, survei mulai digunakan
politikus dan partai demi kepentingan pemilu untuk memengaruhi diskursus publik.
Industri Politik
Tentu saja hal itu berbeda dengan gambaran lembaga survei di negara-negara maju. Pengamat
politik Universitas Gadjah Mada, AAGN Arie Dwipayana mengatakan, survei yang dilakukan
lembaga riset di berbagai negara maju dan demokratis dilakukan untuk melihat hubungan
antara tokoh dengan suatu isu.
Namun, Ari mengatakan, survei yang dilakukan di Indonesia tidak berupaya mengaitkan
antara tokoh yang disurvei dengan salah satu isu. Survei di Indonesia tidak berbasis pada

rekam jejak tokoh secara keseluruhan. Di Indonesia berkaitan dengan polesan citra,
ujarnya.
Pakar psikologi Universitas Indonesia, Hamdi Muluk menjelaskan, politikus dan partai di
Indonesia gemar melibatkan lembaga survei untuk meraih simpatik publik. Dalam Teori
Opini Publik, kata Hamdi, survei efektif untuk menggiring persepsi publik yang secara ilmiah
disebut Teori Bandwagon Effect.
Berdasarkan teori itu, Hamdi menjelaskan, hasil survei akan terekam di pikiran publik yang
membacanya, dan kemudian tergiring untuk memilih politikus yang diunggulkan dalam
survei itu dalam pemilu nanti. Efek itu yang ingin dikejar para politikus kita, kata Hamdi.
Ia mengatakan, politikus dan partai memang selalu mempertimbangkan tingkat keterpilihan
atau elektabilitas sebagai faktor utama. Elektabilitas seperti mitos yang sulit diruntuhkan. Tak
heran jika politikus dan partai berusaha mati-matian meningkatkan elektabilitasnya.
Hamdi memaparkan, politik di Indonesia memang sedang memasuki era baru yang berubah
menjadi industri. Akibatnya, survei di Indonesia berbeda dengan lembaga survei di negaranegara maju yang memiliki dua fungsi. Di negara maju, lembaga survei berfungsi
memproduksi surveinya untuk kepentingan ilmiah dan edukasi.
Fungsi kedua adalah konsultan politik yang disewa para politikus atau partai, untuk
mengukur citra atau tingkat keterpilihan mereka di publik. Di negara-negara demokratis yang
sudah maju, konsultan politik tidak pernah mengumumkan hasil surveinya ke publik, tetapi
hanya dipakai untuk kepentingan internal pemesan.
Berbeda dengan di Indonesia, hasil survei malah diumumkan ke publik. Kedua fungsi
lembaga survei campur aduk. Dengan demikian fungsinya menjadi kabur, ujar Hamdi.
Fungsi ini kabur akibat pemanfaatannya oleh politikus dan partai politik.
Dalam politik modern, Gun Gun Heryanto mengatakan, survei merupakan sebuah metode
pendekatan ilmiah untuk melihat fenomena. Namun, sayangnya politikus dan partai di
Indonesia saat ini terlena dan terperangkap sihir lembaga survei. Padahal, sesungguhnya
survei hanyalah salah satu alat pemenangan dan peneguh untuk meraih kemenangan dalam
pemilu.
Ia mengingatkan lembaga survei jangan dianggap satu-satunya instrumen untuk meraih
kemenangan politik. Memang jadi serba aneh, karena hasil survei bisa dipuja karena telah
dimodifikasi sehingga menjadi konsumsi publik. Tak heran jika politikus dan partai politik

saat ini berlomba memengaruhi publik lewat lembaga survei. Namun, (mereka) kurang
memahami survei itu selalu punya kelemahan, kata Gun Gun.
Pengamat politik Universitas Lampung, Syarief Makhya mengatakan, survei sebagai sebuah
tradisi baru dalam perpolitikan di Indonesia mengandung banyak kontroversi. Syarief
mengatakan, itu karena hasil survei kini benar-benar dieksploitasi melalui pemberitaaan
media massa.
Survei menjadikan persaingan politik tidak proporsional, kata Syarief. Ia mengakui
lembaga survei di Indonesia yang telah dikomodifikasi dapat membentuk persepsi di
kalangan masyarakat. Itu mengapa politikus dan partai ramai-ramai menggunakan lembaga
survei untuk merebut maupun menguasai opini pubilik.

b. snob effect merupakan kebalikan yang simetris dari efek ikut arus. Snob effect adalah
seorang konsumen ingin menunjukan konsumen atau orang lain bahwa ia berbeda dengan
konsumen. Berbeda disini dalam pengertian ia lebih tinggi dari yang lain. Contohnya :
konsumen kaya sok merasa lebih dari pada yang lain kalau ia memakai pakaian hasil
rancangan dari perancang mode terkenal yang hanya diproduksi satu buah dan bukan
diproduksi secara massal.

You might also like